• Tidak ada hasil yang ditemukan

6. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN DEMERSAL BERDASARKAN METODE SWEPT AREA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "6. ESTIMASI STOK SUMBERDAYA IKAN DEMERSAL BERDASARKAN METODE SWEPT AREA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Pendahuluan

Laut Cina Selatan merupakan suatu area yang memiliki keanekaragaman biologi yang penting. Perairan ini merupakan daerah di bagian barat Indo Pasifik yang lautnya telah lama dikenal sebagai pusat perairan laut dangkal di dunia, dan merupakan daerah dengan keragaman biologi di wilayah tropis (UNEP 2001). Sebagai pusat keanekaragaman biologi perairan laut dangkal dunia, Laut Cina Selatan merupakan penyokong perikanan dunia yang sangat signifikan terhadap pentingnya jaminan makanan, dan sebagai sumber pendapatan ekspor untuk Negara-negara disekitar perairan ini.

Kontribusi Perikanan tangkap dari Laut Cina Selatan sebesar 10% dari hasil tangkapan dunia yang didaratkan dari sekitar 5 juta ton/thn. Lima dari delapan produsen udang terkenal di dunia adalah dari negara-negara yang berada di sekitar Laut Cina Selatan (pertama, Indonesia; kedua, Viet Nam; ketiga, Cina; keenam, Thailand dan kedelapan, Philippina). Disamping itu juga Negara-negara dari daerah ini, merupakan penghasil 23% hasil tangkapan ikan tuna dunia, dan hampir tigaperempat ikan tuna kalengan dunia. Bagian dari produksi dunia untuk produk budidaya yang mencakup udang dihasilkan melalui pengembangan kultur yang tinggi, kontribusinya sangat signifikan dengan berkurangnya mangrove dan habitat pantai sekeliling Laut Cina Selatan (Aliňo 2001).

Perairan bagian selatan Laut Cina Selatan (perairan teritorial dan ZEE Indonesia) dikategorikan sebagai perairan neritik yang tergolong dangkalan benua dengan kedalaman rata-rata 70 m dan merupakan salah satu daerah potensi perikanan laut (Atmaja, et al. 2001). Perairan ini termasuk salah satu dari 11 wilayah pengelolaan perikanan (WPP) yaitu WPP 711 yang merupakan wilayah pengelolaan Selat Karimata, Laut Natuna dan Laut Cina Selatan (Nurhakim et al. 2007). Potensi yang dimiliki per tahunnya sekitar 1,25 juta ton, dengan tingkat pemanfaatan sebesar 20 % (Boer et al. 2001). Dengan kata lain, wilayah ini masih memiliki peluang dalam pengembangan kelautan khususnya dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan laut.

(2)

Penangkapan sumberdaya ikan demersal biasanya dilakukan dengan alat tangkap seperti jaring insang dasar (bottom gillnet), pancing, pukat ikan, jaring insang kantong, trammel net dan pukat pantai, bubu (trap), jermal, sero, serok, dan perangkap lain yang sebagian besar dioperasikan secara pasif dan mengandalkan proses pasang-surut. Trawl atau pukat harimau merupakan salah satu alat tangkap yang pengoperasiannya dilakukan dengan menyapu area (swept area) tangkapan sehingga diharapkan semua ikan ataupun udang yang berada pada area sapuan alat ini dapat tertangkap. Karena sifatnya yang tidak selektif ini, sejak tahun 1980 trawl dilarang penggunaannya oleh pemerintah melalui KEPPRES No.39/1980. Setelah diberlakukannya KEPRES ini, maka alat tangkap trawl lebih banyak digunakan untuk tujuan penelitian. Penggunaannya juga dibatasi secara parsial dan tidak kontinu pada area penelitian.

Kelimpahan sumberdaya ikan demersal ini dapat diamati melalui laju tangkap atau hasil tangkapan per unit usaha (catch per unit effort, CPUE) yang dilakukan. Hal ini sesuai dengan pendapat Gulland (1983) yang menyatakan bahwa laju tangkap (CPUE) dapat dianggap sebagai indeks kelimpahan stok di suatu perairan. Perubahan nilai indeks kelimpahan stok di suatu perairan mengindikasikan adanya perubahan populasi ikan di perairan tersebut akibat pengaruh penangkapan.

Menurut Boer et al. (2001), potensi ikan demersal di perairan Laut Cina

Selatan (tidak temasuk ZEEI) sebesar 655 650 ton thn-1. Sedangkan produksinya

sebesar 82 460 ton/tahun atau dengan kata lain tingkat pemanfaatannya masih sekitar 12.58%. Sementara dari hasil penelitian yang dilakukan di perairan ini sebelumnya, terlihat bahwa kondisi stok ikan demersal mengalami penurunan yaitu dari 677 320 ton (Martosubroto dan Pauly 1976), 516 600 ton (Sudradjat dan Beck 1978) dan 166 460 ton (PRPT dan P2O-LIPI 2001). Sedangkan Widodo (2003) mengatakan bahwa secara umum kondisi sumberdaya ikan demersal di perairan LCS wilayah lndonesia sudah berada pada tingkat ”fully exploited”. Jika usaha penangkapan terus berlangsung pada tingkat 'fishing effort' baik oleh kapal nelayan Indonesia maupun illegal fishing oleh kapal-kapal asing pada saat ini, maka dapat diduga bahwa keberadaan stok sumber daya ikan demersal di LCS tidak akan ’sustainable’.

(3)

Kajian tentang ikan demersal, terutama di daerah tropis seperti Laut Cina Selatan sangat kompleks karena sifatnya yang multi spesies, ukuran yang beragam dan mendiami habitat dasar yang berbeda-beda. Disamping itu, studi tentang keberadaan ikan demersal sangat penting terutama untuk mengetahui seberapa besar potensi, penyebaran dan kompleksitasnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berapa besar stok sumberdaya ikan demersal di LCSI dengan menganalisis data hasil tangkapan trawl. Informasi ini sangat bermanfaat dalam upaya mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya tersebut. Secara khusus di LCSI yang merupakan salah satu WPP yang sangat sarat dengan aktifitas perikanan baik secara legal maupun ilegal, maka informasi ilmiah menyangkut sumberdaya ikan demersal ini merupakan informasi penting yang akan digunakan sebagai dasar atau acuan bagi pemerintah dalam membuat kebijakan pengelolaan pemanfaatan sumberdaya ikan demersal dan secara umum pada WPP 711.

Penelitian sumberdaya ikan demersal secara intensif telah dilakukan pada tahun 1975-1979 di perairan LCS terutama dilakukan di bagian selatan. (Martosubroto dan Pauly 1976; Sudradjat dan Beck 1978). Penelitian untuk menduga stok ikan demersal lebih banyak dilakukan pada perairan bagian barat Kalimantan. Pada perairan ini aktivitas penangkapan ikan demersal banyak dilakukan dengan alat tangkap yang tidak selektif (misalnya gilltong dan lampara dasar) sebagaimana halnya di pantai utara Jawa, maka tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan demersal dan udang berada pada kondisi yang kurang lebih sama dengan keadaan sebelum dihapusnya trawl (Sumiono et al. 2003).

Pada bab ini dibahas mengenai sumberdaya ikan demersal di lokasi penelitian bulan Juni 2005, dengan tujuan untuk mengetahui berapa besar stok sumberdaya tersebut dan bagaimana distribusinya di lokasi penelitian.

(4)

Bahan dan Metode

Hasil tangkapan ikan demersal di LCSI merupakan subjek atau bahan yang diteliti. Penangkapan dilakukan dengan menggunakan jaring trawl dasar (bottom trawl) pada 18 stasiun. Operasi penangkapan ini dilakukan di lokasi yang berada pada posisi sekitar 105°-109° BT dan 00°-03° LU (Gambar 58). Ikan hasil tangkapan trawl di sortir menurut famili atau spesies dan dihitung jumlah dan berat. Data hasil tangkapan trawl tersebut dicatat dalam formulir Fishing Log, data tersebut menyangkut berat dan jumlah jenis ikan (kelompok ikan, famili) berat

total dan berat per satuan upaya (kg jam-1).

Gambar 58. Peta stasiun pengoperasian trawl dasar.

Estimasi stok atau biomasa sumberdaya ikan demersal di LCSI dilakukan terhadap data hasil tangkapan jaring trawl dasar yang diperoleh selama penelitian. Analisis dilakukan dengan menggunakan metoda swept area menurut Sparre dan Venema (1999). Metoda ini didasarkan pada luas area sapuan trawl (a), panjang alur sapuan (D) dan panjang tali ris atas (hr). Panjang alur sapuan diperoleh dari lama waktu penarikan jaring (t) oleh kapal yang bergerak dengan kecepatan (V), dimana secara matematik dinyatakan sebagai:

t V

D= * ...(6.1) Sehingga luas area sapuan trawl yang diperoleh:

2

*

*hr X

D

(5)

Jika X2 adalah fraksi panjang tali ris atas, maka lebar area yang disapu trawl atau bukaan sayap trawl dinyatakan sebagai:

2

* X hr

H = ...(6.3) Sehingga persamaan (5.2) untuk luas area sapuan trawl (a) adalah:

H D

a= * ...(6.4) Apabila Cw merupakan hasil tangkapan dalam bobot pada satu tarikan, maka Cw/t adalah hasil tangkapan tersebut per jam, di mana t adalah lamanya penarikan jaring (jam). Jika a adalah luas area sapuan (Persamaan 5.4), maka a/t adalah luas sapuan per jam, sehingga hasil tangkapan per satuan area yang diperoleh adalah: 2 /millaut kg a Cw t a t Cw = ...(6.5)

Jika X1 adalah fraksi biomassa ikan pada alur efektif yang disapu jaring

trawl dan yang tertangkap, dan Cw /a adalah rata-rata hasil tangkapan per satuan

area dari semua tarikan, maka rata-rata biomassa per satuan luas ( b ), adalah;

2 1 / / laut mil kg X a Cw b ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ = ...(6.6)

Jika A nm2 adalah luas keseluruhan perairan yang di survai, maka dugaan

total biomassa (B), di perairan Laut Cina Selatan dengan luas A nm2, adalah:

(

)

1 * / X A a Cw B= ...(6.7) Adalah sulit untuk menduga proporsi ikan yang benar-benar berada pada alur sapuan dan tertangkap jaring, atau dengan kata lain sangat sulit untuk

menduga secara tepat nilai X1. Pengamatan melalui televisi bawah air

menunjukkan bahwa reaksi ikan terhadap jaring trawl sangat berbeda antara satu

spesies dengan spesies lainnya. Nilai X1 biasanya dipilih antara 0,5 dan 1,0. Untuk

trawl di Asia Tenggara, nilai X1 yang biasanya digunakan adalah 0,5 (Isarankura

1971; Saeger, Martosubroto dan Pauly 1980 yang diacu dalam Sparre dan Venema 1999). Dickson (1974) diacu dalam Sparre dan Venema (1999) menyarankan nilai

(6)

dipecahkan. Dengan menggunakan nilai X1 = 0,5 nilai dugaan biomassa menjadi

dua kali lipat dari nilai dugaan X1 = 1,0. Dalam analisis ini nilai X1 yang

digunakan adalah 0,5.

Pendugaan biomassa dari perhitungan dengan metoda swept area ini dapat lebih tepat, jika dugaan biomassa pada Persamaan (5.5) diperoleh dari n tarikan, dan Ca(i) adalah hasil tangkapan (dalam bobot) per unit area dari tarikan no. i, (i = 1,2,..., n), sehingga dugaan total biomassa B menjadi:

= = = n i Ca X A i Ca n X A B 1 1 1 * ) ( * 1 * ...(6.8)

dan variansnya adalah:

[

= − − ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎣ ⎡ = n i Ca i Ca n n X A B VAR 1 2 2 1 ) ( * 1 1 * 1 * ) (

]

...(6.9)

(7)

Hasil dan Pembahasan

Komposisi dan Laju Tangkap

Penangkapan dilakukan pada 18 stasiun dengan kedalaman dasar perairan yang bervariasi yaitu 21-77 m. Selama operasi penangkapan diperoleh 154 jenis ikan, yang terdiri dari 134 jenis ikan demersal dan 14 jenis ikan pelagis, 1 jenis lobster (Panulirus pencillatus), udang (shrimp), cumi-cumi (Loligo endulis), sotong dan kepiting. Total jumlah hasil tangkapan ikan demersal yang ditemukan selama penelitian adalah 35 554 ekor ikan. Komposisi tangkapan terbanyak (ekor) selama operasi penangkapan yaitu Leiognathus bindus (Leiognathidae) sebanyak 26 832 ekor (75,46 %). Total hasil tangkapan yang diperoleh, dijumpai 5 jenis ikan demersal dari 3 famili dengan jumlah hasil tangkapannya > 1,00 %. Jenis-jenis ikan tersebut yaitu: Pentaprion longimanus dari famili Pentaporidae dengan jumlah tangkapan 1 353 ekor (3,81 %), dari famili Mullidae masing masing Upeneus luzonius sebanyak 814 ekor (2,29 %), U. sundaicus sebanyak 599 ekor (1,69 %) dan U. sulphureus sebanyak 574 ekor (1,61 %) dan Scolopsis taneniopterus dari famili Nemipteridae yang ditemukan sebanyak 404 ekor (1,14 %), sedangkan jenis ikan demersal lainnya ditemukan dengan jumlah kurang dari 1,00 % (Lampiran 6).

Secara keseluruhan dari hasil tangkapan ikan demersal, diperoleh persentase tertangkap tertinggi adalah ikan demersal dari famili Leiognathidae yaitu 76,49 %), Mullidae (8,93 %), Pentaporidae (4,34 %), Nemipteridae (2,13 %) dan Synodontidae (1,67 %). Jika dibandingkan dengan hasil survei di perairan barat Kalimantan pada bulan Mei 2002 dengan menggunakan fish net, diperoleh hasil tangkapan untuk ikan dari famili Leiognathidae (11,8 %), Nemipteridae (12,8 %), Synodontidae (9,9 %), Ray (8,4 %), dan Mullidae (3,7 %) (Wagiyo & Nurdin 2002 diacu dalam Sumiono et al, 2003). Terlihat bahwa ikan-ikan dari famili Leiognathidae, Mullidae dan Pentaporidae mengalami peningkatan, sedangkan ikan-ikan dari famili Nemipteridae, Synodontidae dan Ray cenderung menurun. Sedangkan hasil survei trawl pada tahun 2001 diperoleh lima famili ikan yang sangat dominan yaitu Mullidae, Nemipteridae, Leiognathidae, Synodontidae dan Ray (PRPT dan P2O LIPI, 2001)

(8)

Berdasarkan kategori ukuran ikan (berat) untuk 134 jenis ikan demersal yang tertangkap selama operasi penangkapan, 100 jenis merupakan ikan yang

berukuran kecil (small food fish) yaitu berukuran berat < 200g ekor-1, sedangkan

24 jenis berukuran antara 200g ekor-1 hingga < 1000g ekor-1 serta 10 jenis

diperoleh dengan berat rata-rata < 1000g ekor-1. Jenis-jenis tersebut adalah

Amboeneusis.sp sebanyak 1 ekor (62,5 kg), Raja sp sebanyak 5 ekor (7,05

kg/ekor), Himantura gerrardi sebanyak 19 ekor (4,36 kg ekor-1), Pletropomus

maculates sebanyak 3 ekor (4,33 kg/ekor), Lutjanus johnii sebanyak 7 ekor (3,69

kg ekor-1), Lutjanus argentimaculatus sebanyak 1 ekor (3,40 kg), Platax

batavianus sebanyak 2 ekor (1,70 kg ekor-1), Plectorhynchus argyreus sebanyak 1

ekor (1,50 kg), Scomberomorus commerson sebanyak 6 ekor (1,30 kg ekor-1) dan

Uppius orbis sebanyak 1 ekor (1,10 kg).

Tabel 16. Hasil tangkapan (CPUE), Laju tangkap dan CPUA ikan demersal

Dasar Perairan Jumlah Ikan

St.

Kdlmn (m) Substrat Jenis Ind.

CPUE (kg) Laju Tangkap (kg jam-1) CPUA (kg km-²) 1 21,0-33,4 S/M 27 994 40,53 38,60 350,29 2 43,0-44,7 SC 26 288 51,69 49,23 434,34 3 52,5-55,5 S/SC 34 199 21,33 20,98 153,09 4 44,10 M/S 23 1 232 29,72 29,23 257,92 5 28,70 SC 34 450 32,4 32,40 324,58 6 31,5-33,0 SC 40 585 80,82 80,82 685,72 7 36,0-40,0 SC 20 105 5,6 5,60 62,99 8 27,50 SC 32 251 41,74 41,74 352,10 9 65,0-66,0 S/M 34 179 86,35 86,35 633,24 10 52,0-54,0 M/SC 35 348 25,01 26,80 216,44 11 57,5-59,0 S/SC 45 910 122 121,97 999,92 12 74,00 S/M 34 916 22,78 22,78 173,29 13 56,5-60,5 M 28 3 103 37,99 37,99 306,25 14 51,00 S/M 41 497 54,69 51,27 393,81 15 31,5-34,0 SC 41 761 111,20 111,19 1 001,72 16 62,00 S/M 38 2 566 34,04 34,04 261,83 17 75,0-77,0 S/M 31 2 779 26,47 26,47 210,06 18 72,70 S/M 29 19 462 93,87 92,33 748,57

Ket: S = Sand; M = Mud; SC = Soft Coral

Operasi penangkapan trawl dilakukan dengan kecepatan tarikan antara 3,2-4,0 knot dengan rata-rata 3,6 knot, dan lama waktu penarikan antara 0,93-1,07 jam atau rata-rata waktu penarikan 1 jam. Berdasarkan Tabel 16 di atas, terlihat bahwa

(9)

laju tangkap ikan demersal terkecil selama penelitian sebesar 5,6 kg jam-1 ditemukan pada stasiun 7 dengan jumlah ikan sebanyak 105 ekor yang terdiri dari

20 jenis, sedangkan laju tangkap terbesar yaitu 121,97 kg jam-1 ditemukan pada

stasiun 11 dengan jumlah ikan sebanyak 910 ekor yang terdiri dari 45 jenis ikan

demersal. Laju tangkap yang diperoleh sebesar > 50 kg jam-1, selain ditemukan

pada stasiun 11, juga ditemukan pada stasiun 15 sebesar 111,19 kg jam-1, stasiun

18 sebesar 92,33 kg jam-1, stasiun 9 sebesar 86,35 kg jam-1, stasiun 6 sebesar

80,82 kg jam-1 dan stasiun 14 sebesar 51,27 kg jam-1. Rata-rata laju tangkap ikan

demersal dalam penelitian ini sebesar 50,6 kg jam-1. Hasil tangkapan (CPUE) dan

laju tangkap berdasarkan usaha tangkap (effort) berbeda di tiap stasiun penangkapan, hal ini seperti terlihat pada gambar dibawah.

0 20 40 60 80 100 120 140 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 Stasion C P U E (kg ) 0 20 40 60 80 100 120 140 L aj u T an g kap (kg /j am ) CPUE Laju Tgkp

Gambar 59. Grafik CPUE (kg) dan Laju Tangkap (kg jam-1) di tiap stasiun

penangkapan.

Ikan demersal yang tertangkap selama penelitian dengan jumlah individu terbanyak (19 462 ekor) ditemukan pada stasiun 18 dengan dasar perairan lumpur berpasir. Hal ini sesuai dengan pendapat RAMM (1995) yang diacuh dalam Badruddin dan Tampubolon (1997), dimana perairan dangkal dengan kondisi dasar rata, dengan substrat lumpur atau lumpur berpasir sampai dengan kedalaman sekitar 100 meter, merupakan daerah penangkapan sumberdaya demersal yang potensial. Daerah penangkapan ikan demersal dengan kedalaman lebih dari 100 meter biasanya dihuni oleh beberapa jenis ikan demersal laut dalam seperti kakap merah atau kurisi besar (Pristipomoides spp., Etelis spp., Aprion spp., dan Glabrilutjanus spp).

(10)

Selain ikan demersal yang tertangkap pada saat operasi penangkapan dilakukan, ditemukan pula sumberdaya ikan lainnya yaitu udang dan cumi. Laju

tangkap untuk udang dan cumi-cumi masing masing sebesar 0,13 kg jam-1

(0,23 %) dan 2,39 kg jam-1 (4,17 %). Cumi-cumi tertangkap diseluruh stasiun

penangkapan, kecuali stasiun 1, dengan hasil tangkapan terbanyak di stasiun 17 dan 18, masing masing 406 ekor (3,60 kg) dan 205 ekor (4,50 kg). Udang yang tertangkap dalam operasi trawl hanya pada stasiun 1 dengan kedalaman perairan antara 21-33,4 m (1 ekor) dan stasiun 10 (56 ekor) dengan kedalaman antara 52-54 m. Tipe dasar perairan yang disukai oleh udang penaeid menurut Penn (1984) adalah dasar perairan lumpur berpasir dan pada kedalaman perairan 10-30 m serta masih dipengaruhi oleh massa air tawar. Namun dari stasiun-stasiun dengan dasar perairan berlumpur seperti lumpur berpasir (M/S), pasir berlumpur (S/M) dan lumpur dengan karang lunak (M/SC), udang yang tertangkap hanya pada stasiun 10 yang letaknya jauh dari pantai dan mempunyai tipe dasar perairannya lumpur dengan karang lunak (M/SC), sedangkan pada stasiun 1 dengan substrat dasar perairan pasir berlumpur hanya ditemukan 1 ekor udang. Sehingga dapat dikatakan bahwa distribusi udang sangat dipengaruhi oleh tipe dasar perairan (berlumpur) dan tidak dipengaruhi oleh kedalaman perairan.

Distribusi, kepadatan dan biomasa ikan.

Kelimpahan jenis ikan demersal tertinggi selama penelitian di jumpai pada stasiun 11 sebesar 45 jenis dan didominasi oleh Pterocaesio chrysozoma sebanyak 278 individu (4,60 kg), sedangkan terendah pada stasiun 7 yang didominasi oleh jenis ikan Lutjanus lutjanus sebanyak 64 individu (1,50 kg). Distribusi kelimpahan hasil tangkapan (individu) terbanyak ditemukan pada stasiun 18 sebanyak 19 700 individu dengan kedalaman perairan 72,70 m. Leiognathus blindus merupakan jenis yang ditemukan terbanyak pada stasiun ini yaitu sebanyak 18 980 individu atau 96 % dari total hasil tangkapan dengan berat total 65,00 kg. Pada stasiun 9 di kedalaman perairan 65-66 m, ditemukan jumlah tangkapan terkecil yaitu 251 individu, dimana jenis ikan Pentaprion longimanus mendominasi hasil tangkapan dengan jumlah sebanyak 38 individu dan berat 1,10 kg. Selain itu pula ditemukan Loligo endulis sebanyak 65 individu seberat 1,60 kg atau 26 % dari total hasil tangkapan.

(11)

Ikan dengan ukuran bobot yang besar umumnya diperoleh dalam jumlah yang sedikit seperti misalnya Amboeneusis,sp sebanyak 1 ekor (62,5 kg) di stasiun 9, jenis ikan Raja sp. sebanyak 2 ekor (34,5 kg) dan Plectorhynchus pictus sebanyak 1 ekor (5,4 kg) di station 11. Jenis ikan dengan bobot yang lebih kecil, kebanyakkan ditemukan dalam bentuk kelompok seperti jenis Leiognathus bindus, dimana di beberapa stasiun ditemukan dengan jumlah lebih dari 100 ekor, dan

y ng terbanyak pada stasiun 18 sebanyak 18 980 ekor (65,0 kg). a

105.0° 106.0° 107.0° 108.0° 109.0° 0.0 ° 1.0° 2.0° 3 .0° LU BT Skala 1 : 50 0 25 50 75 100 Mil laut CPUA (kg/km²) 63 to 250 250 to 500 500 to 750 750 to 1000 1000 to 1002 < 250 > 1000 100 110 120 -10 -5 0 5 Lokasi Survei Peta Indeks Kep. Anambas

P. Bintan Kep. Tambelan

P. Subi P. Lingga P. Kal im an tan

Gambar 60. Distribusi hasil tangkapan per unit area (CPUA) ikan demersal.

Hasil tangkapan per unit area (CPUA) ikan demersal dari 18 stasiun pengoperasian trawl (Tabel 16), diperoleh jumlah tangkapan terbanyak pada

stasiun 15 sebanyak 1 001,72 kg km-², sedangkan CPUA terkecil ditemukan pada

stasiun 7 yaitu 62,99 kg km-². Secara keseluruhan, kepadatan stok sumberdaya

ikan demersal yang diperoleh pada area penelitian seluas 113 753,7 km² ini

sebesar 0,84 ton km-² dari biomasa 95 630,84 ton. Hasil analisis distribusi CPUA

ikan demersal di LCS pada bulan Juni 2005 (Gambar 60), menunjukkan bahwa ikan demersal terbanyak ditemukan di 8 stasiun penangkapan, dengan kisaran

CPUA 250 – 500 kg km-². CPUA < 250 kg km-² ditemukan pada 5 stasiun,

sedangkan 3 stasiun dengan CPUA 500 – 750 kg km-² dan 2 stasiun lainnya yaitu

stasiun 11 dijumpai ikan demersal dengan CPUA 999,92 kg km-² dan stasiun 15

(12)

Jika dilihat dari letak stasiun, kedalaman dasar perairan dan besarnya CPUA yang diperoleh tiap stasiun, maka stasiun 6 dan 15 dianggap mewakili stasiun-stasiun yang terletak dekat pantai dengan kedalaman 31,5 – 34 m dengan CPUA yang tinggi, sedangkan stasiun 11 dan 18 mewakili stasiun yang letaknya jauh dari pantai dengan kedalaman perairan 57,5 – 59,0 m dan 72,7 m.

Pada kedua stasiun dekat pantai (St. 6 dan St.15), jumlah jenis ikan yang ditemukan hampir sama dan tipe dasar perairannya terdiri dari karang lunak (soft coral). Jenis ikan yang mendominasi hasil tangkapan di daerah ini adalah ikan dari famili Mullidae (Upeneus sundaicus dan U, sulphureus). Sedangkan stasiun 11 dan 18 yang terdapat pada perairan yang lebih dalam dan jauh dari pantai, Leiognathus bindus dari famili Leiognathidae mendominasi hasil tangkapan. Hal ini mengidikasikan bahwa jenis ikan ini mendiami perairan dalam dan jauh dari pantai. Jumlah tangkapan pada stasiun 18 sebanyak 19 700 ekor, sekitar 96 % atau 18 980 ekor adalah L. bindus. Hal serupa dijumpai pada beberapa stasiun dengan jumlah > 50 % dari total hasil tangkapan, diantaranya stasiun 13 sebesar 89 %, stasiun 16 sebesar 75 % dan stasiun 17 sebesar 67 %. Sedangkan secara keseluruhan dari hasil tangkapan yang diperoleh pada stasiun-stasiun yang berada dekat pantai, hampir tidak ditemukan L. bindus kecuali pada stasiun 15 sebanyak 22 ekor. Walaupun pada stasiun-stasiun ini memiliki jumlah hasil tangkapan (ekor) yang banyak (stasiun 13, 16, 17 dan 18), namun karena jenis ini merupakan

jenis dengan bobot maksimum ± 10g ekor-1 maka sumbangannya terhadap CPUA

di stasiun tersebut kecil sekali. Dibandingkan dengan stasiun 15 yang walaupun memiliki jumlah tangkapan sedikit, namun dari ukuran berat ikan yang tertangkap lebih besar sehingga CPUA pada stasiun ini lebih besar.

(13)

Kesimpulan

Stok sumberdaya ikan demersal di area survei dengan luas 113 753,7 km² diperoleh sebanyak 134 jenis, dengan jumlah 35 554 ekor yang didominasi oleh Leiognathus bindus sebanyak 75,5 %. Laju tangkap ikan demersal selama

penelitian sebesar 50,6 kg jam-1, dengan biomasa sebesar 95 630,84 ton dan

kepadatan stok sebesar 0,84 ton km-². Distribusi ikan demersal dengan CPUA 250

– 500 kg km-² mendominasi perairan Laut Cina Selatan perairan Indonesia dengan

hasil tangkapan per unit area (CPUA) tertinggi sebesar 1 001,7 kg km-² ditemukan

di bagian timur perairan di daerah dekat pantai Kalimantan Barat pada posisi 108,8108° BT dan 1,8317° LU.

Gambar

Gambar 58. Peta stasiun pengoperasian trawl dasar.
Tabel 16. Hasil tangkapan (CPUE), Laju tangkap dan CPUA ikan demersal  Dasar Perairan  Jumlah Ikan
Gambar 60. Distribusi hasil tangkapan per unit area (CPUA) ikan demersal.

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai contoh, bila ditemukan file atau program yang menarik dan berhubungan dengan masalah yang dihadapi, untuk itu biasanya dilakukan modifikasi pada program

Buat temen-temenku yang TEWUR termasuk aku sendiri diantaranya: Adi Fitrah (tahu) Tewur, Hannes Tewur, Rendi Marcel Tewur, Andri Pithut Tewur, Yanuar tewur, Cimot

3) Fugsi pengarahan dan instruksi Petugas memperkenalkan kapada pemakai tentang bagaimana menggunakan perpustakaan secara umum, penggunaan sumber-sumber bibliografi

Proses alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan tambang yang terjadi di Kecamatan Bungku Timur Desa One Pute jaya dan Desa Bahomoahi membawa dampak pada hal status

Sastra Suluk sebagai salah satu jenis karya sastra Jawa pesisiran mengandung ajaran kerohanian tasawuf atau bernuansa tasawuf yang berupa petunjuk tentang

Tästä muodostuu haaste ja kyberuhkiin varautuminen sekä torjunta edellyttävät yhteiskunnan kaikkien osapuolten nopeaa, läpinäkyvämpää kuin myös entistä paremmin

Data hujan yang digunakan untuk menghitung curah hujan dengan berbagai periode ulang (curah hujan rencana) adalah hujan harian maksimum tahunan. Sehingga curah hujan

13 Keberadaan breeding place berupa sawah, muara sungai, kubangan, dan lagun yang dekat dengan pemukiman penduduk memudahkan nyamuk Anopheles betina untuk meletakan