• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH GEOMETRI SUDUT PAHAT HIGH SPEED STEEL (HSS) TERHADAP UMUR PAHAT DAN PENYUSUNAN STANDARD OPERATING PROCEDURE (SOP) PENGASAHAN PAHAT PADA PROSES BUBUT ALUMINIUM PADUAN RENDAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH GEOMETRI SUDUT PAHAT HIGH SPEED STEEL (HSS) TERHADAP UMUR PAHAT DAN PENYUSUNAN STANDARD OPERATING PROCEDURE (SOP) PENGASAHAN PAHAT PADA PROSES BUBUT ALUMINIUM PADUAN RENDAH"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

PENGARUH GEOMETRI SUDUT PAHAT

HIGH SPEED STEEL (HSS) TERHADAP UMUR PAHAT

DAN PENYUSUNAN STANDARD OPERATING PROCEDURE

(SOP) PENGASAHAN PAHAT PADA PROSES BUBUT

ALUMINIUM PADUAN RENDAH

Skripsi

Sebagai Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teknik

Faris Budi Setyawan NIM. I 1308512

JURUSAN TEKNIK INDUSTRI FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

(2)

commit to user

ii

ABSTRAK

Faris Budi Setyawan, NIM: I 1308512. PENGARUH GEOMETRI SUDUT PAHAT HIGH SPEED STEEL (HSS) TERHADAP UMUR PAHAT DAN PENYUSUNAN STANDART OPERATIONAL PROCEDURE (SOP) PENGASAHAN PAHAT PADA PROSES BUBUT ALUMINIUM PADUAN RENDAH. Skripsi. Surakarta: Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret, Januari 2011.

Geometri sudut pahat perlu diperhatikan dalam proses pengasahan suatu pahat karena geometri sudut pahat mempengaruhi umur pakai pahat tersebut. Pada studi kasus di Laboratorium Perencanaan dan Perancangan Produk Jurusan Teknik Industri Universitas Sebelas Maret Surakarta ditemukan fakta pahat bubut HSS yang digunakan mudah aus yang mengindikasikan bahwa umur pakai pahat rendah. Fakta lainnya geometri sudut pahat bubut HSS yang digunakan tidak sesuai dengan standar optimum geometri sudut pahat bubut HSS. Penelitian ini bertujuan meneliti pengaruh geometri sudut pahat bubut HSS pada pengerjaan proses bubut benda kerja aluminium paduan rendah berdasarkan hasil eksperimen

Dalam penelitian ini dilakukan eksperimen dengan metode Randomized Block Design. Faktor yang digunakan dalam penelitian ini adalah sudut kappa

(κr), sudut gamma (γo), dan diameter material pengujian sebagai blok. Level

faktor sudut kappa (κr) pada penelitian ini adalah 90°, 75°, dan 45°. Level faktor sudut gamma (γo) pada penelitian ini adalah 30°, 26°, 22°, 18° dan 14°. Level

blok diameter material pengujian pada penelitian ini adalah 31,5 mm , 29,9 mm, dan 28,3 mm serta replikasi yang dilakukan sebanyak dua kali. Kenaikan temperatur bidang aktif pahat dijadikan variabel respon sebagai indikator umur pahat.

Dari hasil penelitian ini, geometri sudut pahat yang berpengaruh terhadap kenaikan temperatur mata potong aktif pahat adalah sudut kappa dan sudut gamma. Kombinasi geometri sudut pahat yang dipilih adalah kombinasi antara sudut kappa 90° dengan sudut gamma 18° dan kombinasi antara sudut kappa 45° dengan sudut gamma 30°.

Kata kunci: pahat HSS, Randomized Block Design, sudut gamma, sudut kappa, temperatur bidang aktif pahat, umur pahat.

(3)

commit to user

iii

ABSTRACT

Faris Budi Setyawan, NIM: I 1308512. THE GEOMETRY EFFECT OF HIGH SPEED STEEL (HSS) TOOL ANGEL REGARDING TOOL LIFE AND MAKING STANDART OPERATING PROCEDURE (SOP) FOR SHARPENING TOOL IN THE LATHE PROCESS ON ALUMINIUM LOW ALLOY. Final assignment. Surakarta: Industrial Engineering Department, Faculty of Engineering, Sebelas Maret University, January 2011.

Turning tool sharpening process should consider tool angles determination becouse it would influence life of the tool wich was indicated by it’s temperature. In the case study at the laboratorium of Perencanaan dan Perancangan Produk Jurusan Teknik Industri Universitas Sebelas Maret Surakarta discovered facts that HSS tool is easily worn down as indicated that the tool life was low. Later found that the geometry of HSS tool angel was not set according to the standard geometry which was based on the tool and work material. Furthen more, the standard was not optimized yet since some angles value was still in wide ranges. This study aims to examine the geometry effect of HSS tool angel in the lathe process of aluminum low alloy experimentally.

There was an experiment with Randomized Block Design method to analized tool angels effect on tool’s temperature. The considerate factors in this experiment is the kappa angle (κr), the gamma angle (γo), and the material diameter as a block. Level of kappa angle (κr) in this experiment is 90°, 75°, and 45°. Level of gamma angle (γo) in this experiment is 30°, 26°, 22°, 18° and 14°. Level of diameter material in this experiment is 31.5 mm, 29.9 mm and 28.3 mm. Replication done twice. The raising temperature of active field tool is a variable respon as well as indicator of tool life tool.

The experiment result, showed that all of considerated was the geometry influenced the raising temperature of tools. Combination geometry of tool angel that chosen in this experiment is combination between kappa angle 90° with gamma angel 18° and combination between kappa angle 45° with gamma angel 30°.

Keywords: gamma angle, HSS tools, kappa angle, rendomized block design, temperature of active field chisel, and tool life.

(4)

commit to user

I-1

BAB I

PENDAHULUAN

Pada bab ini diuraikan beberapa hal pokok mengenai penelitian ini, yaitu

latar belakang penelitian, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,

batasan masalah dan asumsi, serta sistematika pembahasan.

1.1 LATAR BELAKANG

Perkembangan cutting tool seperti pahat bubut jenis carbida, CBN, keramik,

dan inserts tool sudah semakin maju. Meskipun demikian, jenis pahat

konvensional salah satunya jenis pahat high speed steel (HSS) masih tetap

dipakai di workshop. Pahat HSS merupakan baja karbon tinggi yang mengalami

proses perlakuan panas (heat treatment) sehingga kekerasan menjadi cukup tinggi

dan tahan terhadap temperatur tinggi tanpa menjadi lunak (annealed) (Rochim,

1993). Pahat HSS dapat digunakan untuk kedalaman pemotongan yang lebih

besar pada kecepatan potong yang lebih tinggi dibanding dengan pahat baja

karbon. Pahat jenis HSS masih banyak dipakai di workshop karena pembentukan

pahat ini lebih mudah karena dapat diasah secara manual tanpa menggunakan

fixture tambahan. Apabila telah mengalami keausan, pahat HSS dapat diasah

kembali. Keuletan pahat HSS relatif baik, sehingga tepat untuk pengerjaan benda

pada kecepatan potong rendah dan fibrasi getaran mesin yang relatif tinggi. Pada

kondisi tersebut bila menggunakan jenis pahat yang lain, seperti carbida, CBN,

keramik, resiko keretakan pahat relatif lebih besar karena sifatnya yang lebih

getas. Akan tetapi pahat HSS memiliki keterbatasan dalam ketahanan aus atau

memiliki umur pahat yang relatif lebih pendek dibanding pahat carbida, CBN,

atau keramik.

Pada dasarnya umur pahat HSS dapat dioptimumkan, dengan menjaga

geometrinya sesuai dengan karakteristik benda kerja yang digunakan. Geometri

pahat yang optimum memberikan proses pemotongan yang cepat dengan hasil

yang halus serta keausan pahat yang minimum. Namun faktanya tidak semua

workshop memahami pentingnya hal tersebut. Selain itu, rata-rata workshop

belum memiliki alat pengasah pahat khusus pahat bubut yang mampu mengasah

(5)

commit to user

I-2

karakteristik material benda kerja berbeda-beda agar hasil pemotongan dapat

optimum.

Hal yang diperhatikan pada optimisasi dari umur pahat adalah geometri

sudut pahat yang mempengaruhi umur pahat antara lain, sudut bebas orthogonal

(αo), sudut geram orthogonal (γo), sudut miring (λs), sudut potong utama (κr), dan

sudut potong bantu (κ’r) (Rochim, 1993). Sudut bebas (αo) dapat mengurangi

gesekan antara bidang utama pahat dengan bidang transien dari benda kerja,

sehingga temperatur yang tinggi akibat gesekan akan dihindari agar keausan tepi

(flank wear) tidak cepat terjadi. Sudut geram (γo) mempengaruhi proses

pembentukan geram. Sudut miring (λs) mempengaruhi arah aliran geram, bila

sudut miring berharga nol maka arah aliran geram tegak lurus mata potong.

Dimensi geram yang terbentuk dan arah aliran geram pada pahat mempengaruhi

umur pakai pahat. Sudut potong utama (κr) berfungsi menentukan lebar dan tebal

geram sebelum terpotong, menentukan panjang mata potong yang aktif atau

panjang kontak antara geram dengan bidang pahat, dan menentukan besarnya

gaya radial Fx (Rochim, 1993). Sudut bantu κ’r mempengaruhi kekuatan ujung

pahat dan kehalusan dari material benda kerja.

Umur pahat yang optimum diperoleh dengan pemilihan geometri pahat yang

paling tepat untuk setiap karakteristik benda kerja. Dalam menentukan geometri

sudut pahat yang efektif untuk setiap karakteristik material benda kerja, beberapa

geometri sudut sudah ditentukan nilainya tetapi ada beberapa geometri yang

nilainya masih memberikan range dan beberapa pilihan. Hal tersebut

dimungkinkan karena material benda kerja juga memiliki range tingkat kekerasan,

sehingga diperlukan variasi geometri sudut pahat. Sebagai contoh pada material

aluminium, geometri sudut pahat yang efektif digunakan pada pahat HSS adalah

sudut bebas orthogonal (αo) 12°, sudut potong bantu (κ’r) 60°, sudut geram

orthogonal (γo) 14°-30°, sudut potong utama (κr) 45°, 75°, 90°, sudut penampang

orthogonal 48°-64°. Geometri tersebut adalah geometri yang dapat

meminimumkan temperatur proses pemotongan. Temperatur bidang aktif pahat

yang dihasilkan setaraf dengan besarnya dimensi keausan yang dianggap sebagai

(6)

commit to user

I-3

Material benda kerja yang sering digunakan di Laboratorium Perencanaan

dan Perancangan Produk (P3) jurusan Teknik Industri Universitas Sebelas Maret

adalah aluminium paduan rendah. Material ini pada dasarnya merupakan

aluminium murni, hanya saja masih terdapat unsur logam yang mengotori.

Aluminium paduan rendah berasal dari peleburan barang-barang yang terbuat dari

bahan aluminium sehingga unsur-unsur logam pengotor ikut tercampur.

Persentase paduan logam yang ikut tercampur tidak teridentifikasi jumlahnya

sehingga disebut aluminium paduan rendah. Aluminium paduan rendah memiliki

kekuatan tensil 90 Mpa (Hafizh, 2009). Material ini cukup lunak sehingga apabila

dikerjakan pada kecepatan potong rendah hasilnya tergolong baik. Oleh karena itu

material ini sering digunakan pada pengerjaan menggunakan mesin konvensional

yang kecepatan potongnya rendah.

Pada studi kasus proses bubut di workshop Laboratorium Perencanan dan

Perancangan Produk Jurusan Teknik Industri ditemukan fakta bahwa pahat yang

digunakan tidak mengikuti standar geometri pahat yang optimum. Hal ini

berkaitan dengan proses pengasahan yang masih dilakukan secara manual tanpa

memperhatikan geometri sudut pahat, sehingga pahat yang digunakan dari

material HSS menjadi mudah aus meskipun digunakan hanya untuk memotong

material aluminium yang lunak. Sebagai contoh dengan putaran spindel mesin

bubut 300 rpm, pahat sudah aus untuk mengerjakan 3 poros dengan diameter 10

mm dan panjang pemotongan 50 mm dalam feed manual yang sangat rendah. Hal

ini ditandai dengan tingkat kekasaran permukaan benda kerja hasil proses bubut

tersebut yang memiliki roughness tinggi. Pahat yang digunakan mudah aus,

sehingga proses pengasahan pahat menjadi lebih sering dan membutuhkan biaya

lebih banyak, baik karena pembelian pahat baru akibat habisnya tubuh pahat

maupun habisnya batu gerinda untuk mengasah. Pengasahan dengan mesin

pengasah khusus di ATMI dikenakan biaya Rp.30.000,00 untuk satu kali asah.

Hal ini belum termasuk biaya dari habisnya pahat itu sendiri. Selain itu proses

pengasahannya belum ada standard operating procedure (SOP) pengasahan pahat

HSS. Oleh sebab itu, perlu diadakan penelitian pengaruh geometri sudut pahat

terhadap umur pahat untuk mendapatkan geometri pahat yang optimum sebagai

(7)

commit to user

I-4

1.2 PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang dapat dirumuskan permasalahan dalam

penelitian ini adalah bagaimana pengaruh geometri sudut pahat HSS pada

penggunaan proses bubut benda kerja aluminium paduan rendah terhadap cepat

ausnya bidang aktif pahat.

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Tujuan dalam penelitian ini yaitu meneliti pengaruh geometri sudut pahat

HSS pada pengerjaan proses bubut benda kerja aluminium paduan rendah untuk

mencegah cepat ausnya bidang aktif pahat berdasarkan hasil eksperimen sebagai

dasar penyusunan Standard Operating Procedure (SOP) pengasahan pahat HSS.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

Adapun manfaat dalam penelitian ini, yaitu:

1. Memberikan rekomendasi geometri sudut pahat optimum untuk umur pahat

tertinggi yang dapat berdampak pada efisiensi proses permesinan.

2. Membantu dalam mendesain fixture pengasahan pahat untuk Laboratorium

Perencanan dan Perancangan Produk Jurusan Teknik Industri UNS.

1.5 BATASAN MASALAH

Batasan masalah penelitian menentukan pegaruh geometri sudut pahat HSS

yang paling optimal sehingga memperpanjang umur pahat, sebagai berikut:

1. Pahat yang digunakan adalah pahat HSS tipe plain HSS (HSS murni) ukuran

9mm x 9mm x 120mm.

2. Material benda kerja yang digunakan adalah aluminium casting paduan rendah.

3. Faktor yang diuji adalah geometri sudut kappa dan sudut gamma.

4. Parameter permesinan yang digunakan, antara lain putaran mesin 1500 rpm,

feed rate 0.13, depht of cut 0.8 mm, panjang pemakanan 180 mm.

5. Dimensi keausan pahat hanya diprediksi berdasarkan parameter temperatur

(8)

commit to user

I-5

1.6 ASUMSI PENELITIAN

Asumsi-asumsi yang digunakan pada penelitian menentukan pengaruh

geometri sudut pahat HSS yang paling optimum sehingga memperpanjang umur

pahat, sebagai berikut:

1. Mesin bubut yang digunakan tidak mengalami penurunan kinerja.

2. Material pahat HSS dan material benda kerja aluminium yang digunakan untuk

setiap variasi geometri pahat memiliki karakteristik yang sama.

3. Setup pahat terhadap benda kerja dan pencekaman benda kerja untuk setiap

pengambilan data dalam kondisi yang sama.

1.7 SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan dibuat agar dapat memudahkan pembahasan

penyelesaian masalah dalam penelitian ini. Adapun dari pokok-pokok

permasalahan dalam penelitian ini dapat dibagi menjadi enam bab, seperti

dijelaskan di bawah ini.

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan berbagai hal mengenai latar belakang penelitian,

perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan

masalah, asumsi-asumsi dan sistematika penulisan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan teori yang dipakai untuk mendukung penelitian,

sehingga perhitungan dan analisis dilakukan secara teoritis. Tinjauan

pustaka diambil dari berbagai sumber yang berkaitan langsung dengan

permasalahan yang dibahas dalam penelitian.

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN

Bab ini berisi tahapan yang dilalui dalam penyelesaian masalah secara

umum yang berupa gambaran terstruktur dalam bentuk flowchart sesuai

dengan permasalahan yang ada mulai dari studi pendahuluan,

pengumpulan data sampai dengan pengolahan data dan analisis.

BAB IV : PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA

Bab ini berisi data-data yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah,

(9)

commit to user

I-6

BAB V : ANALISIS DAN INTERPRETASI HASIL

Bab ini memuat uraian analisis dan intepretasi dari hasil pengolahan

data yang telah dilakukan

BAB VI : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan tahap akhir penyusunan laporan penelitian yang

berisi pencapaian tujuan penelitian yang diperoleh dari analisis

pemecahan masalah maupun hasil pengumpulan data serta saran

(10)

commit to user

II-1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan teori-teori yang diperlukan dalam mendukung

penelitian, sehingga pelaksanaan eksperimen, pengolahan data dan analisis

permasalahan dapat dilakukan secara teoritis.

2.1 PROSES BUBUT (TURNING)

Proses pembubutan pada dasarnya merupakan proses pengubahan bentuk

dan ukuran benda kerja dengan jalan menyayat benda kerja tersebut dengan suatu

pahat penyayat sehingga dihasilkan benda kerja yang silinder (Rochim, 1993).

Posisi benda kerja dicekam pada chuck dan berputar sesuai dengan sumbu mesin

dan pahat diam bergerak ke kanan atau kiri searah dengan sumbu mesin bubut

menyayat benda kerja.

Gambar 2.1 Skematis proses bubut

Sumber: www.ictpamekasan.net, 2010

Proses bubut permukaan adalah proses bubut yang identik dengan proses

bubut rata, tetapi arah gerakan pemakanan tegak lurus terhadap sumbu benda

kerja. Proses bubut tirus sebenarnya identik dengan proses bubut rata di atas,

hanya jalannya pahat membentuk sudut tertentu terhadap sumbu benda kerja.

Demikian juga proses bubut kontur, dilakukan dengan cara memvariasi

kedalaman potong, sehingga menghasilkan bentuk yang diinginkan.

Gerakan-gerakan dalam mesin bubut meliputi:

1. Gerakan berputar, kecepatan putar benda kerja digerakkan pada pahat dan

(11)

commit to user

II-2

2. Gerakan memanjang, jika pemotongan itu arahnya sejajar dengan sumbu benda

kerja, gerakan ini dinamakan ”gerakan memanjang” dan juga dinamakan

”pemakanan”.

3. Gerakan melintang, jika pemotongan itu arahnya tegak lurus terhadap sumbu

benda kerja, dinamakan ”gerakan melintang” atau ”pemotongan permukaan”.

Perputaran dan pemakanan serta kecepatan potong dalam membubut dipengaruhi

oleh faktor-faktor, sebagai berikut:

1. Kekuatan bahan yang dikerjakan.

2. Ukuran bagian tatal yang terpotong.

3. Tingkat kehalusan yang diinginkan.

4. Bahan pahat yang dipakai.

5. Bentuk pahat (geometri pahat).

6. Pencekaman benda kerja.

7. Jenis dan keadaan mesin bubut.

2.1.1 Bagian-bagian Mesin Bubut

Gambar mesin bubut dan keterangan bagiannya.

Gambar 2.2. Mesin bubut

Sumber: Wijayanto, 2005

Keterangan gambar mesin bubut:

a. Weys, yaitu sebuah balok berbentuk rangka dengan tahanan yang besar

(12)

commit to user

II-3 b. Head stock.

Bagian mesin terdiri dari motor penggerak dan tranmisinya untuk

menggerakksn spindel mesin.

c. Coumpound rest.

Adalah eretan untuk menggerakkan pahat yang dapat diputar membentuk sudut

tertentu.

d. Tail stock.

Bagian ini mempunyai beberapa fungsi, yaitu:

1) Penyenter benda kerja.

2) Penahan benda kerja, jika yang dibubut panjang (L = 4 sampai dengan 10x

diameter) agar benda kerja tidak melengkung.

3) Pengeboran.

4) Pengatur pembubutan tirus (untuk sudut kecil).

Terdiri dari 2 bagian lepas untuk menyetel senter benda kerja. Pada

badannya terdapat lubang untuk tempat selongsong yang senter dengan

poros mesin (spindel).

e. Feed change gear box.

Handle untuk merubah posisi gear sesuai rasio yang diinginkan sehingga

didapat putaran mesin yang diinginkan.

f. Lead screw, fungsinya untuk pembuatan ulir (penguliran). Bagian ini

memindahkan gerakan pemakanan pembuatan ulir dan memanjang sepanjang

lintasan.

g. Feed rod, fungsinya untuk pembubutan otomatis yang mengubah gerakan

putaran menjadi gerak lurus.

h. Alat penghubung.

Adalah shaf untuk menghubungkan handle penggerak yang berhubungan

dengan gear box dan motor penggerak sehingga ketika handle pada posisi on

maka spindel akan berputar.

i. Chuck (Pencekam), fungsinya untuk mencekam benda kerja dan mengatur

posisi benda kerja terhadap kepala tetap. Ada beberapa macam, yaitu:

1) Chuck 2 rahang digunakan untuk benda kerja berbentuk plat, pada jenis ini

(13)

commit to user

II-4

2) Chuck 3 rahang digunakan untuk benda kerja silinder, jika rahang satu

digerakkan yang lain ikut geser.

3) Chuck 4 rahang digunakan untuk benda kerja dengan bentuk tidak

beraturan. Jika rahang satu digeser, yang lain tidak ikut geser.

4) Chuck magnetik digunakan untuk benda kerja tipis dengan menggunakan

sifat magnetik saat proses berlangsung.

j. Spindel, fungsinya mengatur posisi penempatan benda kerja dipasang agar

mampu menunjang operasi permesinan.

k. Tool post, fungsinya untuk tempat pahat, bisa mengatur ketinggian senter pahat

dan mengunci kedudukannya saat proses pembubutan berlangsung. Selain itu

juga mengatur sudut pemakanan benda saat membuat chamfer dan tirus.

l. Center lathe, menentukan titik tengah diameter mata bor terhadap benda kerja.

m.Carriage, mengatur perkakas dalam mengerjakan atau memproses benda kerja

pada operasi tertentu. Merupakan tempat tool post merubah gerakan feed road

dan lead screw menjadi gerakan lurus dan melintang.

n. Kepala tetap, menempatkan dan memutar benda kerja sesuai kecepatan yang

dikehendaki, bersifat statis dan pada bagian ini terdapat gigi ulir penggerak,

pengatur kecepatan serta peralatan pendukung penempatan benda kerja.

Bagian-bagian lain dari mesin bubut, yaitu:

1. Bangku (bed).

Fungsinya sebagai ruang pengerjaan, dimana benda kerja mengalami operasi

pengerjaan di sepanjang kolom ruang pengopersian yang disediakan.

2. Sadel.

Fungsinya untuk menempatkan pahat pada rumah pahat dan mengatur posisi

pahat terhadap sudut pemakanan.

3. Mandril.

Fungsinya untuk mencekam benda kerja dan mengatur posisi benda kerja

terhadap kepala tetap.

4. Kolom.

Fungsinya memberikan dukungan vertikal dan horisontal serta memandu

(14)

commit to user

II-5 5.Eretan.

Fungsinya untuk mengatur perkakas dalam mengerjakan benda kerja pada

operasi permesinan.

6.Quick charge gear box.

Merupakan tempat bagi roda gigi, berfungsi mengubah putaran motor menjadi

feed rod dan lead screw. Mesin ini juga menghubungkan putaran poros mesin

dengan eretan (carriage) pada pembubutan otomatis.

7.Speed gear box.

Merupakan rangkaian roda gigi yang berfungsi untuk mengatur perubahan

kecepatan makan. Bagian ini mengubah motor menjadi putaran spindel.

8.Steady rest.

Fungsinya untuk menahan benda kerja yang terpasang di bed. Berlokasi di

landasan dan digunakan untuk menyangga ujung suatu batang yang dijepitkan

pada cakar, untuk meratakan muka bagian ujung, untuk pengeboran center.

9.Follow rest.

Fungsinya untuk penahan benda kerja yang terpasang di carriage. Bagian ini

bergerak sepanjang benda kerja di samping pahat pada saat proses berlangsung.

2.1.2 Parameter Yang Dapat Diatur Pada Mesin Bubut

Pada mesin bubut ada beberapa parameter yang dapat diubah sesuai

dengan kebutuhan proses pemotongan. Parameter utama yang dapat diubah pada

setiap proses bubut, adalah:

1. Kecepatan putar spindel (speed).

2. Gerak makan (feed).

3. Kedalaman potong (depth of cut).

Faktor yang lain seperti bahan benda kerja dan jenis pahat sebenarnya juga

memiliki pengaruh yang cukup besar, tetapi tiga parameter di atas adalah bagian

yang bisa diatur oleh operator langsung pada mesin bubut.

1. Kecepatan putar spindel (speed).

Kecepatan putar spindel selalu dihubungkan dengan sumbu utama

(spindel) dan benda kerja. Kecepatan putar dinotasikan sebagai putaran per

(15)

commit to user

II-6

kecepatan potong (cutting speed atau v) atau kecepatan benda kerja dilalui oleh

pahat/keliling benda kerja. Secara sederhana kecepatan potong dapat

digambarkan sebagai keliling benda kerja dikalikan dengan kecepatan putar.

1000

dn

v = p ...(2.1)

dengan; v = kecepatan potong (m/menit)

d = diameter benda kerja (mm)

n = putaran benda kerja (putaran/menit)

Gambar 2.3 Skematis kecepatan potong Sumber www.ictpamekasan.net, 2010

Kecepatan potong ditentukan oleh diameter benda kerja. Selain

kecepatan potong ditentukan oleh diameter benda kerja, faktor bahan benda

kerja, dan bahan pahat sangat menentukan harga kecepatan potong. Pada

dasarnya pada waktu proses bubut kecepatan potong ditentukan berdasarkan

bahan benda kerja dan pahat. Harga kecepatan potong sudah tertentu, misalnya

untuk benda kerja mild steel dengan pahat high speed steel (HSS), kecepatan

potongnya antara 20 m/menit sampai dengan 30 m/menit.

2. Gerak makan (feed).

Gerak makan (feed) adalah jarak yang ditempuh oleh pahat setiap benda

kerja berputar satu kali, sehingga satuan f adalah mm/putaran. Gerak makan

ditentukan berdasarkan kekuatan mesin, material benda kerja, material pahat,

bentuk pahat, dan terutama kehalusan permukaan yang diinginkan. Gerak

makan biasanya ditentukan dalam hubungannya dengan kedalaman potong (a).

Gerak makan tersebut berharga sekitar 1/3 sampai 1/20 (a), atau sesuai dengan

(16)

commit to user

II-7

Gambar 2.4 Gerak makan (f) dan kedalaman potong (a) Sumber: www.ictpamekasan.net, 2010

3. Kedalaman potong (depth of cut).

Kedalaman potong a (depth of cut), adalah tebal bagian benda kerja yang

dibuang dari benda kerja, atau jarak antara permukaan yang dipotong terhadap

permukaan yang belum terpotong. Ketika pahat memotong sedalam a, maka

diameter benda kerja akan berkurang 2a, karena bagian permukaan benda kerja

yang dipotong ada di dua sisi, akibat dari benda kerja yang berputar (Rochim,

1993).

2.1.3 Perlengkapan Mesin Bubut

Mesin bubut tidak akan bekerja sempurna jika tidak ada alat-alat berikut

ini yang berperan sebagai perlengkapan dalam mesin bubut. Adapun

perlengkapannya, sebagai berikut:

1. Pahat bubut.

Kualitas benda kerja dan efisiensi pekerjaan pada proses pembubutan

sangat tergantung pada jenis dan keadaan pahatnya. Selain dari bentuk pahat

yang sebenarnya, bahan juga merupakan suatu hal yang penting sekali, kualitas

kekenyalannya harus tahan tekanan berat dan kejutan, dan kekerasannya

memungkinkan untuk memegang sebuah pahat potong. Pahat-pahat bubut

mempunyai kesamaan patokan seperti pada pahat-pahat lainya, misalnya pada

bentuk bidang baji. Sudut-sudut pahat bubut tergantung pada bahan yang

dibubut dan bahan pahat itu sendiri. Pahat-pahat tersebut mungkin dibuat dari

baja perkakas, baja kecepatan tinggi sangat keras atau karbida. Sesuai dengan

bentuk dan penggunaan pahat bubut dinamakan pahat kasar, pahat

(17)

commit to user

II-8

Gambar 2.5 Pemegang pahat HSS

(a) pahat alur, (b) pahat dalam, (c) pahat rata kanan, (d) pahat rata kiri), dan (e) pahat ulir

Sumber: www.ictpamekasan.net, 2010

2. Kunci chuck.

Kunci ini digunakan untuk mengencangkan atau mengendurkan pencekam

saat hendak melakukan proses pembubutan.

2.2 GEOMETRI PAHAT BUBUT

Geometri atau bentuk pahat bubut terutama tergantung pada material benda

kerja dan material pahat. Terminologi standar ditunjukkan pada gambar 2.6. Pahat

bubut bermata potong tunggal, sudut pahat yang paling pokok adalah sudut geram

(rake angle), sudut bebas (clearance angle), dan sudut sisi potong (cutting edge

angle). Sudut-sudut pahat HSS dibentuk dengan cara diasah menggunakan mesin

gerinda pahat (tool grinder machine) (Rochim, 1993).

(18)

commit to user

II-9

Beberapa geometri sudut pahat yang berpengaruh terhadap umur pakai dari

pahat, yaitu:

1. Sudut bebas orthogonal (αo).

Fungsi dari sudut bebas untuk mengurangi gesekan antara bidang utama pahat

dengan bidang transien dari benda kerja. Temperatur yang tinggi akibat

gesekan akan dihindari agar keausan tepi (flank wear) tidak cepat terjadi.

Pemilihan dari harga sudut bebas ditentukan oleh jenis benda keja dan Kondisi

pemotongan. Semakin besar gerak pemakanan maka gaya pemotongan yang

ditimbulkan semakin besar sehingga untuk memperkuat pahat diperlukan

penampang βo yang besar, oleh sebab itu sudut bebas αo harus diperkecil (bila

sudut geram γo tidak boleh di ubah) (Rochim, 1993). Pada umumnya untuk suatu harga gerak pemakanan tertentu ada harga optimum bagi sudut bebas

yang memberikan umur pahat tertinggi. Karena pengaruh deformasi akibat

gaya makan yang tinggi, maka harga sudut bebas dapat diperkecil bila material

benda kerjanya sangat keras dan diperbesar bila benda kerja relatif lebih lunak.

2. Sudut geram orthogonal (γo).

Sudut geram mempengaruhi proses pembentukan geram. Kecepatan potong

tertentu, sudut geram yang besar menurunkan rasio pemampatan tebal geram λh

yang mengakibatkan kenaikan sudut geser Φ. Sudut geser yang besar

menurunkan penampang bidang geser sehingga gaya pemotongan akan turun.

Sudut geram γo tidak boleh terlalu besar untuk menjaga kekuatan pahat serta memperlancar proses perambatan panas. Perambatan panas yang terhambat

menaikkan temperatur pahat, sehingga sehingga umur pahat akan turun.

Ditinjau dari umur pahat maka ada harga sudut geram optimum yang

memberikan umur pahat tertinggi. Jenis material benda kerja juga berpengaruh

terhadap pemilihan sudut geram. Material yang lunak dan ulet (soft & ductile)

memerlukan sudut geram yang besar (untuk mempermudah pembentukan

geram), sebaliknya untuk material yang keras dan rapuh (hard & brittle)

memerlukan sudut geram yang kecil atau negatif (untuk memperkuat pahat)

(19)

commit to user

II-10 3. Sudut miring (λs).

Sudut miring mempengaruhi arah aliran geram, bila sudut miring berharga nol

maka arah aliran geram tegak lurus mata potong. Aliran geram membuat sudut

sebesar ρc terhadap garis tegak lurus mata potong dan menurut stebler sudut

miring aliran geram kurang lebih sama dengan sudut miring λs. Adanya sudut miring maka panjang kontak antara pahat dengan benda kerja menjadi lebih

diperpanjang dan energi pemotongan spesifik Esp tidak akan berubah sampai

sampai sudut miring mencapai 20º (Rochim, 1993). Temperatur bidang kontak

mencapai harga minimum bila λs berharga +5º untuk proses finishing dan -5º untuk proses roughing. Lebih memperkuat pahat serta menurunkan gaya kejut

(impact) dalam proses pembubutan dapat dipilih sudut miring sebesar -20º.

4. Sudut potong utama (κr).

Sudut potong utama mempunyai peran, yaitu:

a. Menentukan lebar dan tebal geram sebelum terpotong.

b. Menentukan panjang mata potong yang aktif atau panjang kontak antara

geram dengan bidang pahat.

c. Menentukan besarnya gaya radial Fx.

Kedalaman pemotongan tertentu dan kecepatan potong yang konstan, maka

dengan memperkecil sudut potong utama akan menurunkan tebal geram

sebelum terpotong dan menaikkan lebar geram. Tebal geram yang kecil secara

langsung akan menurunkan temperatur pemotongan, sedangkan lebar geram

yang besar akan mempercepat proses perambatan panas pada pahat sehingga

temperatur pahat akan relatif rendah dan umur pahat akan lebih tinggi

(Rochim, 1993). Pemakaian sudut potong utama yang kecil tidak selalu

menguntungkan sebab menaikkan gaya radial Fx. Gaya radial yang besar

mungkin menyebabkan lenturan yang terlau besar ataupun getaran sehingga

menurunkan ketelitian geometri produk dan hasil pemotongan yang kasar. Oleh

sebab itu sudut potong utama κr dapat diubah sampai mandapat harga yang

(20)

commit to user

II-11

Gambar 2.7 Resultan gaya yang ditimbulkan oleh sudut potong utama Sumber: Rochim, 1993

5. Sudut potong bantu (κ’r).

Orientasi dari bidang potong bantu terhadap permukaan benda kerja yang telah

terpotong ditentukan sudut bantu κ’r dan sudut bebas minor. Apabila sudut

bebas minor α’o cukup besar untuk mengurangi gesekan, pada prinsipnya sudut

potong bantu κ’r dapat dipilih sekecil mungkin karena selain memperkuat ujung pahat maka kehalusan produk dapat dipertinggi (Rochim, 1993).

Kendalanya adalah kekakuan sistem pemotongan (benda kerja, metode

pencekam benda kerja dan pahat serta mesin perkakas yang digunakan), karena

sudut potong bantu yang kecil akan mempertinggi gaya radial Fx. Petunjuk

yang digunakan sebagai acuan, sebagai berikut:

a. Sistem pemotongan yang kaku, κ’r = 5º sampai dengan. 10º.

b. Sistem pemotongan yang lemah, κ’r = 10º sampai dengan 20º.

6. Radius pojok (rε).

Radius pojok berfungsi untuk memperkuat ujung pertemuan antara mata

potong utama S dengan mata potong minor S’ dan selain itu menentukan

kehalusan hasil pemotongan. Semakin besar penampang geram maka pojok

pahat harus dipilih lebih kuat. Radius pojok yang besar akan memperbesar

(21)

commit to user

II-12

Tabel harga radius pojok yang dianjurkan sesuai kedalaman pemotongan yang

dipilih.

Tabel 2.1 Harga radius pojok

Kedalaman pemakanan (mm) rε (mm)

s.d. 3 0.5 s.d. 0.8

3 s.d. 10 0.8 s.d. 1.5

10 s.d. 20 1.5 s.d. 2.0

Sumber: Rochim 1993

2.3 MATERIAL PAHAT

Pahat yang baik harus memiliki sifat-sifat tertentu, sehingga nantinya dapat

menghasilkan produk yang berkualitas baik (ukuran tepat) dan ekonomis

(waktuyang diperlukan pendek). Kekerasan dan kekuatan pahat harus tetap

bertahan meskipun pada temperatur tinggi, sifat ini dinamakan hot hardness.

Ketangguhan (toughness) dari pahat diperlukan, sehingga pahat tidak akan pecah

atau retak terutama pada saat melakukan pemotongan dengan beban kejut.

Ketahanan aus sangat dibutuhkan yaitu ketahanan pahat melakukan

pemotongan tanpa terjadi keausan yang cepat. Penentuan material pahat

didasarkan pada jenis material benda kerja dan kondisi pemotongan (pengasaran,

adanya beban kejut, penghalusan). Material pahat yang ada ialah baja karbon

sampai dengan keramik dan intan. Sifat hot hardness dari beberapa material pahat

ditunjukkan pada gambar 2.8.

Gambar 2.8 (a) Kekerasan dari beberapa macam material pahat sebagai fungsi dari temperatur, (b) jangkauan sifat material pahat

(22)

commit to user

II-13

Pahat HSS adalah baja paduan yang mengalami proses perlakuan panas

(heat treatment) sehingga kekerasan menjadi cukup tinggi dan tahan terhadap

temperatur tinggi tanpa menjadi lunak (annealed). Pahat HSS juga dapat

digunakan untuk pemotongan untuk kedalaman pemotongan yang lebih besar

pada kecepatan potong yang lebih tinggi dibanding dengan pahat baja karbon.

Apabila telah mengalami keausan, pahat HSS dapat diasah kembali. Keuletan

pahat HSS relatif baik maka sampai saat ini berbagai jenis pahat HSSmasih tetap

digunakan.

Hot Hardness dan recovery hardness yang cukup tinggi pada pahat HSS

dapat dicapai berkat adanya unsur paduan W, Cr, V, Mo, dan Co. Pengaruh

unsur-unsur tersebut pada unsur-unsur dasar besi (Fe) dan karbon (C), sebagai berikut:

a. Tungsten atau Wolfram (W), mempertinggi hot hardness, dengan membentuk

(Fe4W2C) yang meyebabkan kenaikan temperatur untuk proses hardening dan

hot hardness.

b. Chronium (Cr),menaikkan hardenability dan hot hardness.

c. Vanadium (V), menurunkan sensitivitas terhadap overheating serta

menghaluskan besar butir.

d. Melybdenum (Mo), mempunyai efek yang sama seperti W tetapi lebih sensitif

terhadap overheating, serta lebih liat.

e. Cobalt (Co), untuk menaikkan hot hardness dan tahan keausan.

Material pahat HSS dapat dipilih jenis M atau T. Jenis M berarti pahat HSS

yang mengandung unsur molibdenum, dan jenis T berarti pahat HSS yang

mengandung unsur tungsten. Beberapa jenis HSS dapat dilihat pada tabel 2.2.

Tabel 2.2 Jenis pahat HSS

Jenis HSS Standart AISI

1. HSS Konvensional

a. Molibdenum HSS M1, M2, M7, M10 b. Tungsten HSS T1, T2

2. HSS Spesial

a. Cobal added HSS M33, M36, T4, T5, T6 b. High Vanadium HSS M3-1, M3-2, M4, T15

c. High Hardness Co HSS M41, M42, M43, M44, M45, M46 d. Cast HSS

e. Powdered HSS f. Coated HSS

(23)

commit to user

II-14

Pahat HSS dipilih jika pada proses pemesinan sering terjadi beban kejut,

atau proses pemesinan yang sering dilakukan interupsi (terputus-putus). Hal

tersebut misalnya membubut benda segi empat menjadi silinder, membubut bahan

benda kerja hasil proses penuangan, dan membubut eksentris (proses

pengasarannya).

2.4 UMUR PAHAT

Umur pahat adalah ukuran lamanya pahat dapat memotong dengan hasil

baik. Pahat HSS dianggap rusak apabila tepi telah aus sedalam 1,58 mm. Keausan

terjadi pada muka pahat dalam bentuk kawah kecil atau depresi di belakang

ujungnya. Depresi terjadi akibat aksi pengamplasan dari serpihan sewaktu

melintas di permukaan pahat. Hubungan yang terdapat antara umur pahat dengan

kecepatan memotong (Taylor, 1906).

C = V. Tn………...………..(2.2)

dengan; V = kecepatan potong (m/menit)

T = Umur pahat (menit)

n = Bilangan eksponensial tergantung pada kondisi pemotongan

C = Konstanta (kecepatan memotong untuk umur pahat selama 1 menit)

2.4.1 Analisis Teoritik Umur Pahat

Temperatur permukaan bidang aktif pahat menentukan keausan yang

disebabkan oleh mekanisme difusi dan deformasi. Analisis dimensional dapat

ditunjukkan bahwa temperatur dipengaruhi oleh beberapa besaran fisik. Dalam

rumus, temperatur dianggap merupakan harga tertinggi setelah keadaan

keseimbangan tercapai.

Tabel 2.3 Besaran fisik

Besaran Fisik Simbol Dimensi Dasar

Waktu Pemotongan tc T

Temperatur Bidang Aktif Pahat θs θ

Penampang Geram A L2

Kecepatan Potong v LT-1

Gaya Potong Spesifik ks ML-1T-2

Besaran Panas Terpadu H = λwCvw M2T-5θ-2

Sumber: Rochim, 1993

dengan; λw = Konduktivitas panas benda kerja : J/(s.ºK.cm)

(24)

commit to user

II-15 = ρwcw

ρw = Berat spesifik benda kerja : g/ cm3

cw = Panas spesifik benda kerja : J/(g.ºK)

Analisis dimensional digunakan untuk mencari korelasi yang

dimaksudkan dengan cara menentukan besaran fisik yang dianggap penting yaitu

pada tabel 2.2. Dua besaran tidak berdimensi dapat dibentuk, sebagai berikut :

π3 = tca vb ksc Hd θs

= /

/ ………..………..(2.3)

π4 = tce vf ksg Hh A

= ………..….………...………..(2.4)

Hasil percobaan dapat ditunjukkan bahwa korelasi antara kedua besaran tidak

berdimensi, adalah :

π3= C π4m………..….………...………...…………..(2.5)

sehingga:

θs = "

( ) ( )

/ ………..….………...…………..(2.6)

Disimpulkan dari rumus, yaitu:

a. m = 0.25 : temperatur pahat tidak dipengaruhi waktu pemotongan.

b. m > 0.25 : temperatur pahat akan menurun dengan bertambahnya waktu

pemotongan.

c. m < 0.25 : temperatur pahat akan naik dengan bertambahnya waktu

pemotongan.

Temperatur bidang aktif pahat yang dihasilkan setaraf dengan besarnya dimensi

keausan yang dianggap sebagai batas/tanda saat berakhirnya umur pahat.

(Rochim, 1993).

2.5 MATERIAL BENDA KERJA (ALUMINIUM PADUAN)

Aluminium adalah logam yang paling banyak terdapat di kerak bumi, dan

unsur ketiga terbanyak setelah oksigen dan silikon. Aluminium terdapat di kerak

bumi sebanyak kira-kira 8,07% hingga 8,23% dari seluruh massa padat dari kerak

bumi, dengan produksi tahunan dunia sekitar 30 juta ton pertahun dalam bentuk

(25)

commit to user

II-16

(USGS). Sulit menemukan aluminium murni di alam karena aluminium

merupakan logam yang cukup reaktif.

Aluminium tahan terhadap korosi karena fenomena pasivasi. Pasivasi

adalah pembentukan lapisan pelindung akibat reaksi logam terhadap komponen

udara sehingga lapisan tersebut melindungi lapisan dalam logam dari korosi.

Selama 50 tahun terakhir, aluminium telah menjadi logam yang luas

penggunaannya setelah baja. Perkembangan ini didasarkan pada sifat-sifatnya

yang ringan, tahan korosi, kekuatan dan ductility yang cukup baik (aluminium

paduan), mudah diproduksi dan cukup ekonomis (aluminium daur ulang). Yang

paling terkenal adalah penggunaan aluminium sebagai bahan pembuat pesawat

terbang, yang memanfaatkan sifat ringan dan kuatnya.

2.5.1 Klasifikasi dan Penggolongan Aluminum

Aluminium digolongkan menjadi dua, yaitu:

1. Aluminium Murni.

Aluminium 99% tanpa tambahan logam paduan apapun dan dicetak dalam

keadaan biasa, hanya memiliki kekuatan tensil sebesar 90 MPa, terlalu lunak

untuk penggunaan yang luas sehingga seringkali aluminium dipadukan dengan

logam lain.

2. Aluminium Paduan.

Elemen paduan yang digunakan pada aluminium adalah silikon,

magnesium, tembaga, seng, mangan, dan juga lithium sebelum tahun 1970.

Secara umum, penambahan logam paduan hingga konsentrasi tertentu akan

meningkatkan kekuatan tensil dan kekerasan, serta menurunkan titik lebur. Jika

melebihi konsentrasi tersebut, umumnya titik lebur akan naik disertai

meningkatnya kerapuhan akibat terbentuknya senyawa, kristal, atau granula

dalam logam.

Namun, kekuatan bahan paduan aluminium tidak hanya bergantung pada

konsentrasi logam paduannya saja, tetapi juga bagaimana proses perlakuannya

hingga aluminium siap digunakan, apakah dengan penempaan, perlakuan

(26)

commit to user

II-17 a. Aluminium paduan rendah.

Material ini merupakan aluminium murni namun terdapat campuran

unsur pengotor yang ikut tercampur dalam proses pembuatannya. Prosentase

unsur pengotor tidak teridentikasi sehingga disebut aluminium paduan

rendah. Kadar persentase unsur pengotor lebih rendah dibandingkan dengan

kandungan unsus aluminium. Aluminium jenis inilah yang lebih sering

ditemui dipasaran untuk pengerjaan di workshop.

b. Paduan Aluminium-Silikon.

Paduan aluminium dengan silikon hingga 15% akan memberikan

kekerasan dan kekuatan tensil yang cukup besar, hingga mencapai 525 MPa

pada aluminium paduan yang dihasilkan pada perlakuan panas. Jika

konsentrasi silikon lebih tinggi dari 15%, tingkat kerapuhan logam akan

meningkat secara drastis akibat terbentuknya kristal granula silika.

c. Paduan Aluminium-Magnesium.

Keberadaan magnesium hingga 15,35% dapat menurunkan titik lebur

logam paduan yang cukup drastis, dari 660 oC hingga 450 oC. Namun, hal

ini tidak menjadikan aluminium paduan dapat ditempa menggunakan panas

dengan mudah karena korosi akan terjadi pada suhu di atas 60 oC.

Keberadaan magnesium juga menjadikan logam paduan dapat bekerja

dengan baik pada temperatur yang sangat rendah, di mana kebanyakan

logam akan mengalami failure pada temperatur tersebut.

d. Paduan Aluminium-Tembaga.

Paduan aluminium-tembaga juga menghasilkan sifat yang keras dan kuat,

namun rapuh. Umumnya, untuk kepentingan penempaan, paduan tidak

boleh memiliki konsentrasi tembaga di atas 5,6% karena membentuk

senyawa CuAl2 dalam logam yang menjadikan logam rapuh.

e. Paduan Aluminium-Mangan.

Penambahan mangan memiliki akan berefek pada sifat dapat dilakukan

pengerasan tegangan dengan mudah (work-hardening) sehingga didapatkan

logam paduan dengan kekuatan tensil yang tinggi namun tidak terlalu rapuh.

Selain itu, penambahan mangan meningkatkan titik lebur paduan

(27)

commit to user

II-18 f. Paduan Aluminium-Seng.

Paduan aluminium dengan seng merupakan paduan yang paling terkenal

karena merupakan bahan pembuat badan dan sayap pesawat terbang. Paduan

ini memiliki kekuatan tertinggi dibandingkan paduan lainnya, aluminium

dengan 5,5% seng dapat memiliki kekuatan tensil sebesar 580 MPa dengan

elongasi sebesar 11% dalam setiap 50 mm bahan. Bandingkan dengan

aluminium dengan 1% magnesium yang memiliki kekuatan tensil sebesar

410 MPa namun memiliki elongasi sebesar 6% setiap 50 mm bahan.

g. Paduan Aluminium-Lithium.

Lithium menjadikan paduan aluminium mengalami pengurangan massa

jenis dan peningkatan modulus elastisitas; hingga konsentrasi sebesar 4%

lithium, setiap penambahan 1% lithium akan mengurangi massa jenis

paduan sebanyak 3% dan peningkatan modulus elastisitas sebesar 5%.

Namun aluminium-lithium tidak lagi diproduksi akibat tingkat reaktivitas

lithium yang tinggi yang dapat meningkatkan biaya keselamatan kerja.

h. Paduan Aluminium-Skandium.

Penambahan skandium ke aluminium membatasi pemuaian yang terjadi

pada paduan, baik ketika pengelasan maupun ketika paduan berada di

lingkungan yang panas. Paduan ini semakin jarang diproduksi, karena

terdapat paduan lain yang lebih murah dan lebih mudah diproduksi dengan

karakteristik yang sama, yaitu paduan titanium. Paduan Al-Sc pernah

digunakan sebagai bahan pembuat pesawat tempur Rusia, MIG, dengan

konsentrasi Sc antara 0,1-0,5% (Zaki, 2003 dan Schwarz, 2004).

i. Paduan Aluminium-Besi.

Besi (Fe) juga kerap kali muncul dalam aluminium paduan sebagai suatu

"kecelakaan". Kehadiran besi umumnya terjadi ketika pengecoran dengan

menggunakan cetakan besi yang tidak dilapisi batuan kapur atau keramik.

Efek kehadiran Fe dalam paduan adalah berkurangnya kekuatan tensil

secara signifikan, namun diikuti dengan penambahan kekerasan dalam

jumlah yang sangat kecil. Dalam paduan 10% silikon, keberadaan Fe

sebesar 2,08% mengurangi kekuatan tensil dari 217 hingga 78 MPa, dan

(28)

commit to user

II-19

2.5.2 Sifat-Sifat Teknis Bahan

Aluminium mempunyai sifat fisik dan mekanik.

1. Sifat Fisik Aluminium.

Tabel 2.4 Sifat Fisik Aluminium

Nama, Simbol, dan Nomor Aluminium, Al, 13

Sifat Fisik

Wujud Padat

Massa jenis 2,70 gram/cm3

Massa jenis pada wujud cair 2,375 gram/cm3

Titik lebur 933,47 K, 660,32 oC, 1220,58 oF

Titik didih 2792 K, 2519 oC, 4566 oF

Kalor jenis (25 oC) 24,2 J/mol K

Resistansi listrik (20 oC) 28.2 nΩ m

Konduktivitas termal (300 K) 237 W/m K

Pemuaian termal (25 oC) 23.1 µm/m K

Modulus Young 70 Gpa

Modulus geser 26 Gpa

Poisson ratio 0,35

Kekerasan skala Mohs 2,75

Kekerasan skala Vickers 167 Mpa

Kekerasan skala Brinnel 245 Mpa

Sumber: Hafizh, 2010

2. Sifat Mekanik Aluminium.

Sifat teknik bahan aluminium murni dan aluminium paduan dipengaruhi

oleh konsentrasi bahan dan perlakuan yang diberikan terhadap bahan tersebut.

Aluminium terkenal sebagai bahan yang tahan terhadap korosi. Hal ini

disebabkan oleh fenomena pasivasi, yaitu proses pembentukan lapisan

aluminium oksida di permukaan logam aluminium segera setelah logam

terpapar oleh udara bebas. Lapisan aluminium oksida ini mencegah terjadinya

oksidasi lebih jauh. Namun, pasivasi dapat terjadi lebih lambat jika dipadukan

dengan logam yang bersifat lebih katodik, karena dapat mencegah oksidasi

(29)

commit to user

II-20 3. Kekuatan tensil.

Kekuatan tensil adalah besar tegangan yang didapatkan ketika dilakukan

pengujian tensil. Kekuatan tensil ditunjukkan oleh nilai tertinggi dari tegangan

pada kurva tegangan-regangan hasil pengujian, dan biasanya terjadi ketika

terjadinya necking. Kekuatan tensil bukanlah ukuran kekuatan yang

sebenarnya dapat terjadi di lapangan, namun dapat dijadikan sebagai suatu

acuan terhadap kekuatan bahan.

Kekuatan tensil pada aluminium murni pada berbagai perlakuan

umumnya sangat rendah, yaitu sekitar 90 MPa, sehingga untuk penggunaan

yang memerlukan kekuatan tensil yang tinggi, aluminium perlu dipadukan.

Dengan dipadukan dengan logam lain, ditambah dengan berbagai perlakuan

termal, aluminium paduan akan memiliki kekuatan tensil hingga 580 MPa

(paduan 7075).

4. Kekerasan.

Kekerasan gabungan dari berbagai sifat yang terdapat dalam suatu bahan

yang mencegah terjadinya suatu deformasi terhadap bahan tersebut ketika

diaplikasikan suatu gaya. Kekerasan suatu bahan dipengaruhi oleh elastisitas,

plastisitas, viskoelastisitas, kekuatan tensil, ductility, dan sebagainya.

Kekerasan dapat diuji dan diukur dengan berbagai metode. Yang paling umum

adalah metode Brinnel, Vickers, Mohs, dan Rockwell.

Kekerasan bahan aluminium murni sangatlah kecil, yaitu sekitar 65 skala

Brinnel, sehingga dengan sedikit gaya saja dapat mengubah bentuk logam.

Untuk kebutuhan aplikasi yang membutuhkan kekerasan, aluminium perlu

dipadukan dengan logam lain dan/atau diberi perlakuan termal atau fisik.

Aluminium dengan 4,4% Cu dan diperlakukan quenching, lalu disimpan pada

temperatur tinggi dapat memiliki tingkat kekerasan Brinnel sebesar 135.

5. Ductility.

Ductility didefinisikan sebagai sifat mekanis dari suatu bahan untuk

menerangkan seberapa jauh bahan dapat diubah bentuknya secara plastis tanpa

terjadinya retakan. Dalam suatu pengujian tensil, ductility ditunjukkan dengan

bentuk neckingnya; material dengan ductility yang tinggi akan mengalami

(30)

commit to user

II-21

hampir tidak mengalami necking. Sedangkan dalam hasil pengujian tensil,

ductility diukur dengan skala yang disebut elongasi. Elongasi adalah seberapa

besar pertambahan panjang suatu bahan ketika dilakukan uji kekuatan tensil.

Elongasi ditulis dalam persentase pertambahan panjang per panjang awal

bahan yang diujikan.

Aluminium murni memiliki ductility yang tinggi. Aluminium paduan

memiliki ductility yang bervariasi, tergantung konsentrasi paduannya, namun

pada umumnya memiliki ductility yang lebih rendah dari pada aluminium

murni, karena ductility berbanding terbalik dengan kekuatan tensil, serta

hampir semua aluminum paduan memiliki kekuatan tensil yang lebih tinggi

dari pada aluminium murni.

2.6 DESAIN EKSPERIMEN

Eksperimen merupakan suatu test atau deretan test untuk melihat pengaruh

perubahan variabel input dari suatu proses atau sistem terhadap variabel respon

atau variabel output yang diamati. Dalam konsep desain eksperimen, eksperimen

biasanya dilakukan pada sistem nyata itu sendiri bukan pada model dari sistem.

Dengan kata lain, eksperimen untuk mencari nilai variabel respon yang diamati

tidak dapat dilakukan dengan menggunakan model matematik seperti dalam

simulasi atau optimasi (operation research).

Desain Eksperimen merupakan langkah lengkap yang perlu diambil jauh

sebelum eksperimen dilakukan agar data yang diperoleh membawa kepada

analisis obyektif dan kesimpulan yang berlaku untuk persoalan yang sedang

dibahas (Sudjana, 1985).

Experiment is a study in which certain inpendent variables are manipulated,

their effect on one or more dependent variables is determined, and the levels of

these independent variables are assigned at random to the units in the study

(Hicks, 1993).

Beberapa istilah atau pengertian yang harus dipahami sebelum mempelajari

metode desain eksperimen (Sudjana, 1995; Montgomery, 1984), sebagai berikut :

1. Unit Eksperimen, objek eksperimen (kelinci percobaan) nilai-nilai variabel

respon diukur.

(31)

commit to user

II-22 3. Pengacakan (randomisasi).

Merupakan sebuah upaya untuk memenuhi beberapa asumsi yang diambil

dalam suatu percobaan. Pengacakan berupaya untuk memenuhi syarat adanya

independensi yang sebenarnya hanya memperkecil adanya korelasi antar

pengamatan, menghilangkan “bias”, dan memenuhi sifat probabilitas dalam

pengukuran.

4. Kekeliruan eksperimen.

Merupakan kegagalan dari dua unit eksperimen identik yang dikenai

perlakuan untuk memberi hasil yang sama.

5. Variabel respon (effect).

Nama lainnya adalah dependent variable, variable output, atau ukuran

performansi, yaitu output yang ingin diukur dalam eksperimen. Variabel

respon dapat bersifat kualitatif atau kuantitatif.

6. Faktor (causes).

Sering disebut sebagai independent variable, variabel input, atau faktor

penyebab, yaitu input yang nilainya akan diubah-ubah dalam eksperimen.

Faktor bisa bersifat kualitatif atau kuantitatif, dan fixed atau random. Faktor

bersifat fixed karena level-levelnya ditetapkan oleh eksperimenter. Faktor

bersifat random jika level-level yang diuji dalam eksperimen dipilih secara

random oleh eksperimenter.

7. Taraf (levels)

Merupakan nilai-nilai atau klasifikasi-klasifikasi dari sebuah faktor. Taraf

(levels) faktor dinyatakan dengan bilangan 1, 2, 3 dan seterusnya. Misalkan

dalam sebuah penelitian terdapat faktor-faktor, yaitu :

a : jenis kelamin

b : cara mengajar

Selanjutnya taraf untuk faktor a adalah 1 menyatakan laki-laki, 2 menyatakan

perempuan (a1, a2). Bila cara mengajar ada tiga, maka dituliskan dengan b1,

(32)

commit to user

II-23 8. Perlakuan (treatment).

Sekumpulan kondisi eksperimen yang akan digunakan terhadap unit

eksperimen dalam ruang lingkup desain yang dipilih. Perlakuan merupakan

kombinasi level-level dari seluruh faktor yang ingin diuji dalam eksperimen.

9. Replikasi.

Pengulangan eksperimen dasar yang bertujuan untuk menghasilkan taksiran

yang lebih akurat terhadap efek rata-rata suatu faktor ataupun terhadap

kekeliruan eksperimen.

10. Faktor pembatas atau blok (restrictions).

Sering disebut juga sebagai variabel kontrol (dalam Statistik Multivariat).

Yaitu faktor-faktor yang mungkin ikut mempengaruhi variabel respon tetapi

tidak ingin diuji pengaruhnya oleh eksperimenter karena tidak termasuk ke

dalam tujuan studi.

11. Randomisasi.

Cara mengacak unit-unit eksperimen untuk dialokasikan pada eksperimen.

Metode randomisasi yang dipakai dan cara mengkombinasikan level-level

dari faktor yan berbeda menentukan jenis disain eksperimen yang akan

terbentuk.

2.6.1 Langkah-langkah Eksperimen

Langkah-langkah dalam setiap proyek eksperimen secara garis besar

terdiri atas tiga tahapan, yaitu planning phase, design phase dan analysis phase.

(Hicks, 1993).

1. Planning Phase.

Tahapan dalam planning phase, adalah:

a. Membuat problem statement sejelas-jelasnya.

b. Menentukan variabel bebas (dependent variables), yaitu efek yang ingin

diukur, sering disebut sebagai kriteria atau ukuran performansi.

c. Menentukan independent variables.

d. Menentukan level-level yang akan diuji, tentukan sifatnya, yaitu :

-kualitatif atau kuantitatif

(33)

commit to user

II-24

e. Menentukan cara bagaimana level-level dari beberapa faktor akan

dikombinasikan (khusus untuk eksperimen dua faktor atau lebih).

2. Design Phase.

Tahapan dalam design phase, adalah :

a. Menentukan jumlah observasi yang diambil.

b. Menentukan urutan eksperimen (urutan pengambilan data).

c. Menentukan metode randomisasi.

d. Menentukan model matematik yang menjelaskan variabel respon.

e. Menentukan hipotesis yang akan diuji.

3. Analysis Phase.

Tahapan dalam analysis phase, adalah :

a. Pengumpulan dan pemrosesan data.

b. Menghitung nilai statistik-statistik uji yang dipakai.

c. Menginterpretasikan hasil eksperimen

2.6.2 Eksperimen Faktorial (Factorial Experiment)

Eksperimen faktorial digunakan jumlah faktor yang diuji lebih dari satu.

Eksperimen faktorial adalah eksperimen dimana semua (hampir semua) taraf

(levels) sebuah faktor tertentu dikombinasikan dengan semua (hampir semua)

taraf (levels) faktor lainnya yang terdapat dalam eksperimen (Sudjana, 1985).

Di dalam eksperimen faktorial, terjadi hasilnya dipengaruhi oleh lebih dari

satu faktor, atau dikatakan terjadi interaksi antar faktor. Secara umum interaksi

didefinisikan sebagai ‘perubahan dalam sebuah faktor mengakibatkan perubahan

nilai respon, yang berbeda pada tiap taraf untuk faktor lainnya, maka antara kedua

(34)

commit to user

[image:34.595.136.489.109.619.2]

II-25

Tabel 2.5 Skema umum data sampel eksperimen factorial menggunakan 2 faktor dan 1 blok dengan n observasi tiap sel

Blok C Faktor B

Faktor A

Jumlah

1 2 … a

1 1

Y1111 Y2111 …

Ya111

Y1112 Y2112 …

Ya112

… … …

Y111n Y211n …

Ya11n

… … … …

… … … … …

b

Y1b11 Y2b11 Y3b11

Y4b11

Y1b12 Y2b12 Y3b12

Y4b12

… … …

Y1b1n Y2b1n Y3b1n

Y4b1n

… …

… …

… … … … … … … …

(35)

commit to user

II-26 c

1

Y1111 Y2111 …

Ya111

Y1112 Y2112 …

Ya112

… … …

Y111n Y211n …

Ya11n

… …

… … … … … … … …

… …

b

Y1bc1 Y2bc1 …

Yabc1

Y1bc2 Y2bc2 …

Yabc2

… … …

Y1bcn Y2bcn …

Yabcn

Total T…1 T...2 T...3 T…a

Sumber: Sudjana, 1985

Adapun model matematik yang digunakan untuk pengujian data eksperimen yang

menggunakan dua faktor dan satu blok, adalah:

Yijkm = m + Ai + Bj + Ck + ABij + em(ijk)…… …………..………..(2.7)

dengan; i = 1, 2, …, a

j = 1, 2, …, b

k = 1, 2, …, c

m = 1, 2, …, n (replikasi)

Yijkm = variabel respon karena pengaruh bersama taraf ke-i faktor A

dan taraf ke-j faktor B yang terdapat pada observasi ke-m

[image:35.595.135.491.73.504.2]
(36)

commit to user

II-27

Bj = efek sebenarnya dari taraf ke-j faktor B

Ck = efek sebenarnya dari taraf ke-k faktor C

ABij = efek sebenarnya dari interaksi taraf ke-i faktor A dengan taraf

ke-j faktor B

em(ijk) = efek sebenarnya dari unit eksperimen ke-k dalam kombinasi

perlakuan (ijk)

Berdasarkan model persamaan (2.7), maka untuk keperluan anova

dihitung harga-harga (Hicks, 1993), sebagai berikut:

Jumlah kuadrat total (SStotal).

nabc T Y

SS ....

a i b j c k n l ijkl total 2 2

-=

åååå

………..……….(2.8)

Jumlah kuadrat nilai pengamatan yang terdapat dalam taraf ke-i faktor A (SSA).

å

= -= a i . . . . . . . i A nabc T nbc T SS 1 2 2 ………..……….(2.9)

Jumlah kuadrat nilai pengamatan yang terdapat dalam taraf ke-j faktor B(SSB).

å

= -= b j . . . . . . j . B nabc T nac T SS 1 2 2 ….………..……….…….(2.10)

Jumlah kuadrat nilai pengamatan yang terdapat dalam interaksi taraf ke-ij antara

faktor A dan faktor B (SSAxB).

nabc T nac T nbc T n T SS 2 . . . . b j 2 . . j . a 1 i b 1 j n 1 m a i 2 . . . i 2 ij.m

AxB =

ååå

-

å

-

å

+

= = =

………...…………...…(2.11)

Jumlah kuadrat nilai pengamatan yang terdapat dalam taraf ke-k blok C (SSC).

na b c T na b

T ....

k c . .k . C 2 1 2

SS =

å

-=

………...…………...…(2.12)

Jumlah kuadrat error (SSE).

C B A B

A SS SS SS

SS SS

[image:36.595.115.514.233.526.2]

SSE = to ta l - - - x - ………...………….…………...…(2.13)

Tabel 2.5 anova untuk eksperimen faktorial yang menggunakan dua faktor

(a dan b) dan satu blok (c). Pada kolom terakhir tabel 2.5, untuk menghitung

harga F yang digunakan sebagai alat pengujian statistik, maka perlu diketahui

model mana yang diambil. Model yang dimaksud ditentukan oleh sifat tiap faktor,

(37)

commit to user

II-28

hanya m buah perlakuan, sedangkan model acak menunjukkan bahwa dilakukan

[image:37.595.108.529.143.493.2]

pengambilan m buah perlakuan secara acak dari populasi yang ada.

Tabel 2.6 Anova eksperimen 2 faktor dengan satu blok desain acak sempurna

Sumber Variansi Derajat

Bebas (df)

Jumlah

Kuadrat (SS)

Kuadrat

Tengah (MS) F

Faktor A

Faktor B

Interaksi A x B

Blok C

Error

a - 1

b – 1

(a – 1)(b – 1)

(c – 1)

(ab-1)(c - 1)

SSA

SSB

SSAxB

SSC

SSE

SSA/dfA

SSB/dfB

SSAxB/dfAxB

SSC/dfC

SSE/dfE

MSA/MSE

MSB/MSE

MSAxB/MSE

MSC/MSE

Total abc-1 SSTotal

Sumber: Sudjana, 1985

2.6.3 Pengujian Asumsi-Asumsi Anova

Apabila menggunakan analisis variansi sebagai alat analisa data

eksperimen, maka seharusnya sebelum dilakukan pengolahan data, terlebih dahulu

dilakukan uji asumsi-asumsi anava berupa uji normalitas, homogenitas variansi,

dan independensi terhadap data hasil eksperimen (Sudjana, 1985), yaitu:

1. Uji Normalitas.

Pemeriksaan pada populasi berdistribusi normal atau tidak, dapat ditempuh uji

normalitas dengan menggunakan metode lilliefors (Kolmogorov-Smirnov yang

dimodifikasi), atau dengan normal probability-plot. Pemilihan uji Lilliefors

sebagai alat uji normalitas didasarkan, yaitu:

a. Uji lilliefors adalah uji Kolmogorov-Smirnov yang telah dimodifikasi dan

secara khusus berguna untuk melakukan uji normalitas bilamana mean dan

variansi tidak diketahui, tetapi merupakan estimasi dari data (sampel). Uji

Kolmogorov-Smirnov masih bersifat umum karena berguna untuk

membandingkan fungsi distribusi kumulatif data observasi dari sebuah

variabel dengan sebuah distribusi teoritis, yang mungkin bersifat normal,

seragam, poisson, atau eksponensial (Help SPSS 10.01).

b. Uji Lilliefors sangat tepat digunakan untuk data kontinu, jumlahnya kurang

(38)

commit to user

II-29

frekuensi). Apabila data tidak bersifat seperti di atas, maka uji yang tepat

untuk digunakan adalah Chi-Kuadrat (JC Miller, 1991).

Langkah-langkah perhitungan uji lilliefors (Sudjana, 2002), sebagai berikut:

1) Urutkan data dari yang terkecil sampai terbesar.

2) Hitung rata-rata (x ) dan standar deviasi (s) data tersebut.

n x x

n

i i

å

=

= 1

………...……..………(2.14)

(

)

1 2

2

-=

å

n n

x x

s ……….……….…………..(2.15)

3) Transformasikan data tersebut menjadi nilai baku (z).

(

x x

)

s

zi = i- / ………..(2.16)

4) Dari nilai baku (z), tentukan nilai probabilitasnya P(z) berdasarkan sebaran

normal baku, sebagai probabilitas pengamatan. Gunakan tabel standar

luas wilayah di bawah kurva normal, atau dengan bantuan Ms. Excel

dengan function NORMSDIST.

5) Tentukan nilai probabilitas harapan kumulatif P(x)

P(xi) = i / n……….………..(2.17)

6) Tentukan nilai maksimum dari selisih absolut P(z) dan P(x) sebagai nilai

Lhitung

maks P(z)-P(x)……….……..(2.18)

7) Tentukan nilai maksimum dari selisih absolut P(xi-1) dan P(z) yaitu

maks

(

)

P( )

1

Pxi- - z ……….…………..(2.19)

Tahap berikutnya adalah menganalisis apakah data observasi dalam beberapa

kali replikasi berdistribusi normal. Hipotesis yang diajukan, adalah:

H0 : data observasi berasal dari populasi yang berdistribusi normal

H1 : data observasi berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal

Taraf nyata yang dipilih a = 0.01, dengan wilayah kritik Lhitung > La (k-1).

Apabila nilai Lhitung < Ltabel , maka terima H0 dan simpulkan bahwa data

(39)

commit to user

II-30 2. Uji Homogenitas.

Uji homogenitas bertujuan menguji apakah variansi error dari tiap level atau

perlakuan bernilai sama. Alat uji yang sering dipakai adalah uji Bartlett. Uji

Bartlett dilakukan setelah uji normalitas terlampaui. Untuk menghindari

adanya kesulitan dalam urutan proses pengolahan, maka alat uji yang dipilih

adalah uji Levene. Uji Levene dilakukan dengan menggunakan analisis ragam

terhadap selisih absolut dari setiap nilai pengamatan dalam, sampel dengan

rata-rata sampel yang bersangkutan.Prosedur uji homogenitas Levene (Wijaya,

2000), sebagai berikut:

a. Kelompokkan data berdasarkan faktor yang akan diuji.

b. Hitung selisih absolut nilai pengamatan terhadap rata-ratanya pada tiap

level.

c. Hitung nilai-nilai berikut ini :

1) Faktor koreksi

(

xi

)

n 2

(FK)=

å

………....…………..(2.20)

dengan; xi = dat hasil pengamatan

i = 1, 2, …, n, (n banyaknya data)

2) JK-Fa kto r=

(

(

å

xi2

)

k

)

-FK……….…..(2.21)

dengan; k = banyaknya data pada tiap level

3) JK-To ta l(JKT)=

(

å

yi2

)

-FK……….…..(2.22)

dengan; yi = selisih absolut data hasil pengamatan dengan rata-ratanya

untuk tiap level

4) JK-Error (JKE) = JKT – JK (Faktor) ……….….…..(2.23

Gambar

Tabel 2.5 Skema umum data sampel eksperimen factorial menggunakan
Tabel 2.5 Skema umum data sampel eksperimen factorial menggunakan
Tabel 2.5 anova untuk eksperimen faktorial yang menggunakan dua faktor
Tabel 2.6 Anova eksperimen 2 faktor dengan satu blok
+7

Referensi

Dokumen terkait