1
561 / Ekonomi Pembangunan
LAPORAN AKHIR
PENELITIAN HIBAH BERSAING
FENOMENA KEMISKINAN PERKOTAAN (
URBAN POVERTY)
DI YOGYAKARTA :
SUATU KAJIAN STRUKTUR DAN RESPON KEBIJAKAN
TIM PENELITI :
Aula Ahmad Hafidh Saiful Fikri, M. Si. / NIDN.0028107506
Maimun Sholeh, M. Si. / NIDN. 00060666
Kiromim Baroroh, M.Pd. / NIDN. 0029067905
Dibiayai oleh :
Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi
Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi
Sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penugasan Penelitian No.29/HIBAH BERSAING/UN.34.21/2015
3
PRAKATA
Alhamdulillah, tim peneliti ucapkan atas terselesaikannya penelitian hibah bersaing yang berjudul Fenomena Kemiskinan Perkotaan (Urban Poverty) di Yogyakarta : Suatu Kajian Struktur dan Respons Kebijakan. Penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan evaluasi mengenai kebijakan penanggulangan kemiskinan apakah tepat sasaran dan mempunyai manfaat bagi masyarakat miskin perkotaan serta untuk mengetahui struktur kemiskinan dan karakteristiknya sehingga ditemukan keselarasan antara kebijakan dan strukturnya yang pada akhirnya pengentasan kemiskinan menjadi lebih tepat.
Dalam proses penyusunan instrumen, pengumpulan data (pencarian responden) dan input serta analisis data, tim peneliti mengucapkan terima kasih yang dalam atas kerjasama dan hubungan yang baik. Tim peneliti khusus memberikan apresiasi kepada mahasiswa yang ikut terlibat terutama dalam pengumpulan data, mencari dan mewawancarai penduduk miskin di lapangan membutuhkan usaha dan dedikasi yang luar biasa.
Akhirnya, dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa penulisan laporan penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, maka pada kesempatan ini penulis mengharapkan kritikan dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan dan perbaikan kemampuan meneliti di masa mendatang. Akhir kata
penulis do’a kan semoga semua amal dan kegiatan yang kita lakukan mendapat
imbalan dari Allah SWT, dan semoga penelitian ini bermanfaat bagi kita semua. Amin.
Hormat Kami,
4
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN 1
A LATAR BELAKANG MASALAH 1
B RUMUSAN MASALAH 4
C TUJUAN PENELITIAN 5
D MANFAAT PENELITIAN 6
E URGENSI PENELITIAN 6
BAB II KAJIAN PUSTAKA 9
A KONSEP KEMISKINAN 9
B URBANISASI SEBAGAI PROSES PERKEMBANGAN KOTA
11
C PEMAHAMAN TENTANG KEMISKINAN
PERKOTAAN
14
D KARAKTERISTIK KEMISKINAN PERKOTAAN 15
E KERANGKA BERFIKIR 17
BAB III METODE PENELITIAN 18
A DESAIN PENELITIAN 18
B POPULASI DAN SAMPEL 19
C VARIABEL PENELITIAN 20
D METODE PENGUMPULAN DATA 21
E METODE ANALISIS DATA 23
F PENGUJIAN KREDIBILITAS DATA 24
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 25
A GAMBARAN UMUM KOTA YOGYAKARTA 25
B DESKRIPSI KARAKTERISTIK KEMISKINAN KOTA YOGYAKARTA
26
1. Karakteristik Demografi 26
2. Karakteristik Ekonomi 30
5
b. Akses Kesehatan 42
c. Mobilitas 43
3. Karakteristik Sosial 44
C PELAYANAN PUBLIK UNTUK MASYARAKAT
MISKIN
47
D STRUKTUR KEMISKINAN KOTA YOGYAKARTA 50
E KONSEP PENANGGULANGAN KEMISKINAN 55
F RESPON KEBIJAKAN PEMERINTAH KOTA YOGYAKARTA
58
1. Program Penanggulangan Kemiskinan Terpadu Berbasis Rumah Tangga
59
a. Program Keluarga Harapan (PKH) 59
b. Program Kelompok Usaha Bersama (KUBE) 60 c. Beras Untuk Rumah Tangga Miskin (Raskin) 60 2. Program Jaminan Kesehatan Masyarakat 60 a. Bantuan Subsidi Pelayanan Kesehatan (Bayankes) 61 3. Program Beasiswa Miskin dan Bantuan Operasional
Sekolah (BOS)
61
4. Program Bantuan Pendidikan (BOP) atau Bantuan Operasional Sekolah Daerah (BOSDA)
62
a. Beasiswa Miskin 62
b. Beasiswa Bakat dan Prestasi 62
c. Beasiswa SMP Terbuka 62
5. Program Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Komunitas
62
a. PNPM Mandiri 62
b. Program Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Usaha Mikro dan Kecil
63
6. Optimalisasi Fungsi Koordinasi TKPK Kota Yogyakarta.
65
6 Pendapatan Keluarga.
b.Penyediaan Layanan Pendidikan 65
c. Penyediaan Layanan Kesehatan 66
d.Penyediaan Jaminan Ketersediaan Pangan 66 e. Penyediaan Keterpenuhan Pemukiman dan
Perumahan Layak Huni
67
f. Penyediaan Keterpenuhan Kebutuhan Air Bersih dan Sanitasi Yang Baik
68
g. Penguatan Kualitas Hidup Keluarga Miskin 68 G KESESUAIAN STRUKTUR KEMISKINAN DAN
RESPON KEBIJAKAN
69
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 70
A KESIMPULAN 70
7
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Jumlah Penduduk Perkotaan yang Hidup dibawah Garis
Kemiskinan 7
Tabel 2 Beberapa Kebijakan Miskin Perkotaan 16
Tabel 3 Jumlah Penduduk Kota Yogyakarta 19
Tabel 4 Variabel Penelitian 20
Tabel 4 Daftar Responden 26
Tabel 5 Data Pekerjaan Responden 30
Tabel 6 Respon Harapan Masyarakat Terhadap Pemerintah 52 Tabel 7 Perkembangan Jumlah Penduduk Miskin di Kota
Yogyakarta 54
Tabel 8 Matriks Respons Kebijakan Pemerintah Kota Yogyakarta
8
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Penyebab Kemiskinan 10
Gambar 2 Segitiga Ideal Pengentasan Kemiskinan 15
Gambar 3 Dampak Kumulatif Kemiskinan 15
Gambar 4 Desain Penelitian 18
Gambar 5 Persentase Jumlah Responden Menurut Kecamatan 28 Gambar 6 Persentase Penduduk Asli dan Pendatang 28
Gambar 7 Karakteristik Responden Menurut Usia 29
Gambar 8 Karakteristik Responden Menurut Lama Tinggal 29
Gambar 9 Rata-Rata Pendapatan Responden 30
Gambar 10 Salah Satu Profil Pekerjaan Responden sebagai Buruh
Bangunan 31
Gambar 11 Warung Sederhana sebagai Mata Pencaharian 32
Gambar 12 Status Tempat Tinggal 33
Gambar 13 Tingkat Pendidikan Responden 33
Gambar 14 Responden yang Mempunyai Ketrampilan Tertentu 34
Gambar 15 Lingkungan Tempat Tinggal 35
Gambar 16 Salah Satu Sudut Lingkungan Responden 35
Gambar 17 Ukuran Tempat Tinggal Responden 36
Gambar 18 Kondisi Tempat Tinggal Salah Satu Responden 36
Gambar 19 Status Pekerjaan Responden 37
Gambar 20 Status Pendapatan Responden 38
Gambar 21 Status Ketahanan Pangan 38
Gambar 22 Kepemilikan Sepeda Motor 39
Gambar 23 Kepemilikan Saluran Listrik 40
Gambar 24 Sumber Air Bersih 41
Gambar 25 Polusi di Sekitar Tempat Tinggal 41
Gambar 26 Kemudahan Memperoleh Fasilitas Kesehatan 42
9
Gambar 28 Mobilitas Responden 43
Gambar 29 Sarana Mobilitas Responden 44
Gambar 30 Persepsi Keamanan Lingkungan 45
Gambar 31 Persepsi Keributan Lingkungan 45
Gambar 32 Persepsi Tolong Menolong di Lingkungan 46 Gambar 33 Persepsi Rasa Saling Percaya di Lingkungan 46
Gambar 34 Persentase Jumlah Pemegang KMS 47
Gambar 35 Persentase Penerima Beasiswa Pendidikan 47
Gambar 36 Status Sekolah Anak Responden 48
Gambar 37 Persentase Responden Penrima Raskin 48
Gambar 38 Persentase Responden Penerima Bantuan Uang 49 Gambar 39 Persentase Persepsi Responden terhadap Perhatian
10
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Kemiskinan merupakan masalah kompleks yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain: tingkat pendapatan, pendidikan, akses tehadap barang dan jasa, lokasi geografis, gender dankondisi lingkungan. Kemiskinan tidak hanya dipahami sebagai ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan memenuhi hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam menjalani hidupnya secara bermartabat. Hak-hak dasar yang diakui secara umum meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam, dan lingkungan hidup,dan rasa aman dari perlakuan atau ancaman kekerasan.
Kemiskinan adalah suatu intergrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu: 1) kemiskinan (proper), 2) ketidakberdayaan (powerless),3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency),4) ketergantungan (dependence), dan 5) keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis (Suryawati, 2005). Menurut BPS (2007),seseorang masuk dalam kriteria miskin jika pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan. BPS mendefinisikan kemiskinan dengan dua cara, yaitu ukuran pendapatan dan ukuran non pendapatan (Bappenas, 2009). Proses pembangunan memerlukan pendapatan nasional yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang cepat. Di banyak negara syarat utama bagi terciptanya penurunan kemiskinan yang tetap adalah pertumbuhan ekonomi.Pertumbuhan ekonomi memang tidak cukup untuk mengentaskan kemiskinan. Biasanya pertumbuhan ekonomi merupakan sesuatu yang dibutuhkan walaupun pertumbuhan ekonomi yang bagus pun menjadi tidak akan berarti bagi penurunan masyarakat miskin jika tidak diiringi dengan pemerataan pendapatan (Wongdesmiwati, 2009).
11
pengurangan tingkat kemiskinan. Adapun syarat kecukupannya (sufficient condition) ialah bahwa pertumbuhan ekonomi tersebut efektif dalam
mengurangi tingkat kemiskinan. Artinya, pertumbuhan tersebut hendaklah menyebar di setiap golongan pendapatan, termasuk di golongan penduduk miskin. Secara langsung, hal ini berarti pertumbuhan itu perlu dipastikan terjadi di sektor-sektor dimana penduduk miskin bekerja, yaitu sektor pertanian atau sektor yang padat karja. Adapun secara tidak langsung,diperlukan pemerintah yang yang cukup efektif mendistribusikan manfaat pertumbuhan yang mungkin didapatkan dari sektor modern seperti jasa yang padat modal (Siregar dan Wahyuniarti, 2008).
Masalah akut dan rumit dalam pembangunan ekonomi suatu bangsa adalah pengangguran, kebodohan dan kemiskinan. Kemiskinan merupakan dampak akhir ketidakmampuan manusia dan negara dalam memecahkan persoalan hidupnya. Selama ini kemiskinan direduksi menjadi suatu rumusan teknis yang sempit. Pengukuran yang bertumpu semata pada indeks konsumsi beras sudah tentu mengurangi konteks dan kompleksitas persoalan sebenarnya. Di sisi lain, respon kebijakan juga demikian simplistis, dengan hanya memberikan solusi kebijakan yang bersifat umum. Sejumlah pengertian dan pengukuran kemiskinan telah dikemukakan untuk berbagai upaya kajian dan upaya kebijakan.
12
sosial penduduknya (Mc Gee, 1995). Heterogenitas tersebut selanjutnya lebih jelas terlihat dari adanya sektor formal dan informal perkotaan. Hal ini terjadi karena adanya pemisahan antara kelompok penduduk berdasarkan perbedaan ekonomi dan sosial penduduknya. Kegiatan ekonomi formal di perkotaan tidak mampu menyerap pekerja dengan pendidikan dan kemampuan rendah, sehingga pekerja dengan produktivitas rendah bekerja pada sektor informal (Lacabana dan Cariola, 2003). Selain itu, adanya permukiman kumuh dengan keterbatasan sarana dan prasarana pendukung menunjukkan adanya kantong-kantong kemiskinan (slum area) di perkotaan.
Persebaran kemiskinan pada ruang-ruang perkotaan memiliki perbedaan karakteristik kemiskinan. Vandell (1995) menjelaskan bahwa heterogenitas lingkungan dipengaruhi oleh berbagai dimensi antara lain karakteristik perumahan, fasilitas lingkungan, aksesibilitas, dan penduduk yang antara lain terlihat dari adanya perbedaan ras, pendapatan, kekayaan, pendidikan, pekerjaan (Wassmer, 2002).
13
(13,47%) penduduk miskin yang berada di daerah perkotaan, dan 24,81 juta orang (21,81%) penduduk miskin yang berada di daerah pedesaan. Pada tahun 2007 sebanyak 37,17 juta orang (16,58%) penduduk miskin di Indonesia, turun 2,13 juta orang (1,17%) dibandingkan pada tahun 2006 yang lalu. Pada tahun 2008, penduduk miskin di Indonesia berjumlah 34,96 juta orang (15,42%) (ekonomi & bisnis, 2009), jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan telah berkurang 0,79 juta orang (0,87%), sementara penduduk miskin di daerah pedesaan turun 1,42 juta orang (1,44%). Fenomena kemiskinan merupakan lingkaran setan (vicious circle) yang sulit untuk dipecahkan, diperlukan usaha yang tepat sasaran dan berkesinambungan.
B. RUMUSAN MASALAH
Perkembangan Kota Yogyakarta telah menyebabkan perubahan ekonomi, sosial, dan budaya penduduknya. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai dimensi antara lain karakteristik perumahan, fasilitas lingkungan, aksesibilitas dan penduduk. Perbedaan karakteristik wilayah tersebut selanjutnya dapat mempengaruhi perbedaan karakteristik kemiskinan yang terjadi pada masing-masing wilayah. Perbedaan karakteristik kemiskinan tersebut dipengaruhi oleh perbedaan lokasi dan persebaran ketersediaan sarana yang merupakan salah satu faktor yang menentukan kemiskinan. Berdasarkan pemahaman tentang kemiskinan, beberapa hal yang dapat digunakan untuk mengetahui karakteristik kemiskinan perkotaan antara lain berkaitan dengan penyebab kemiskinan perkotaan. Adapun pola spasial perkotaan tersebut mempengaruhi perbedaan karakteristik kemiskinan perkotaan di wilayah tersebut. Perbedaan tersebut selanjutnya perlu direspon oleh kebijakan pemerintah yang tepat.
14
kebijakan pemerintah dalam menangani kemiskinan yang terjadi. Berdasarkan pada masalah di atas, maka rumusan masalah penelitian ini adalah:
1. Bagaimana karakteristik kemiskinan berdasarkan kriteria demografi, ekonomi dan sosial di Kota Yogyakarta?
2. Bagaimana respons kebijakan penanganan kemiskinan di Kota Yogyakarta?
3. Bagaimana kesesuaian respons kebijakan tersebut terhadap karakteristik kemiskinan di Kota Yogyakarta?
C. TUJUAN PENELITIAN
Berbagai usaha telah dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mengurangi angka kemiskinan. Namun persoalan tersebut tidak pernah selesai bahkan angkanya cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Semakin tingginya beban biaya hidup, semakin sempitnya ruang untuk mengerahkan kegiatan ekonominya, perubahan struktur sosial kota yang dinamis menjadikan setiap kebijakan menjadi tumpul. Kebijakan seperti Program Pengentasan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP), Jaring Pengaman Sosial (JPS), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Asuransi Kesehatan untuk Miskin (Askeskin), Bantuan Langsung Tunai (BLT), Beras Miskin (Raskin) dan sebagainya adalah beberapa kebijakan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan.
15
D. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian mengenai kemiskinan telah banyak dilakukan dengan berbagai macam metode dan pendekatan. Semuanya bertujuan untuk memecahkan masalah mengurangi dan mengentaskan kemiskinan. Namun kemiskinan itu sendiri tidak pernah hilang bahkan sering cenderung bertambah. Manfaat yang dapat dihasilkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Memberikan identifikasi kemiskinan di kota Yogyakarta. Identifikasi menyangkut pemetaan, struktur dan area kemiskinan, sehingga diperoleh profil kemiskinan yang relatif lengkap yang dapat dijadikan patokan dalam perlakuan dan penerapan program pengentasan kemiskinan yang tepat. 2. Mengevaluasi program pemerintah dalam pengentasan kemiskinan. Dari
data responden akan diperoleh gambaran mengapa program pemerintah tidak berjalan dengan baik. Penelitian akan menghasilkan identfikasi masalah kekurangberhasilan program pemerintah.
3. Mengetahui respons kebijakan yang dilakukan oleh penduduk miskin perkotaan terhadap program-program pemerintah dalam pengentasan kemiskinan. Dengan mengetahui ekspresi kemiskinan menurut definisi (apa yang mereka rasakan) mereka, pemerintah dapat merumuskan kebijakan sesuai dengan kebutuhan.
E. URGENSI PENELITIAN
16
kehidupannya secara layak (manusiawi). Mengingat persoalan yang struktural dan multi dimensi tersebut, maka upaya-upaya penanggulangan kemiskinan seharusnya diletakkan dan dipercayakan kepada masyarakat itu sendiri, dengan dukungan fasilitasi dari pemerintah maupun pihak swasta dunia usaha dan organisasi masyarakat sipil lainnya. Sehingga penanggulangan kemiskinan akan menjadi suatu gerakan masyarakat yang lebih menjamin potensi kemandirian dan keberlanjutan upaya-upaya penanggulangan kemiskinan tersebut, dibandingkan bila dilakukan oleh pemerintah atau pihak di luar masyarakat.
Sampai tahun 1997 Indonesia dipandang sebagai perekonomian yang sukses dan menakjubkan. Dimulai pada tahun 1965 pasca rezim Sukarno yang ditandai dengan turunnya GDP sebesar 8 persen, pembangunan mulai tumbuh semenjak adanya booming harga minyak. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi, persentase penduduk perkotaan di Indonesia yang hidup dibawah garis kemiskinan turun drastis dari 38,8% pada tahun 1976 menjadi 9,7% pada tahun 1996. Jumlah penduduk perkotaan yang hidup dibawah garis kemiskinan turun dari 10 juta pada tahun 1976 menjadi 7,2 juta pada tahun 1996. Akan tetapi sejak ekonomi dan politik berubah dinamis di Indonesia pada pertengahan 1997 jumlah penduduk miskin perkotaan pada tahun 1998 naik tajam menjadi 22,6 juta atau 28,8% dari jumlah penduduk perkotaan secara keseluruhan.
Tabel 1
Jumlah Penduduk Perkotaan yang Hidup Dibawah Garis Kemiskinan
17 1998
2003
22,6 10,7
78,5 92,4
28,8 11,6
18
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.KONSEP KEMISKINAN
Kemiskinan menurut pendekatan ilmu sosial dapat diartikan sebagaisuatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendirisesuai dengan taraf hidup kelompoknya dan juga tidak mampu memanfaatkantenaga, mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut. Pengertian miskin menurut kamus yang disususn oleh WJSPorwadarminta, berarti “tidak berharta benda,
serba kurang”. Sementara TheConcise Oxford Dictionary memberikan definisi
“Poor” sebagai “Lackingadequate money or means to live comfortably”. Dari
kedua pengertiantersebut jelas sekali bahwa pengertian kemiskinan tidak semata-mataberhubungan dengan uang saja. Demikian juga halnya dengan “means to live comfortably”. Kemiskinan kemudian didefinisikan lebih luasdari sekedar miskin pendapatan. Menurut Gunawan Sumodiningrat (1998)kemiskinan adalah ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan seseorang,baik yang mencakup material maupun non-material.
Kemiskinan secara umum dapat digolongkan dalam 3 pengertian, yaitu: 1. Kemiskinan Natural (Alamiah). Keadaan miskin karena dari asalnya
memang miskin. Kelompok masyarakat miskin ini tidak memiliki sumber daya yang memadai, baik Sumber Daya Alam (SDA), Sumber Daya Manusia (SDM) maupun sumber daya pembangunan lainnya.
2. Kemiskinan Struktural. Kemiskinan yang disebabkan oleh hasil pembangunan yang belum seimbang.
19
Gambar 1
Penyebab Kemiskinan
Masalah kemiskinan di Indonesia mendapat perhatian yang besar dan secara nasional.Kemiskinan mulai dikenal dengan istilah kemiskinan struktural.Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat, karena struktur sosial masyarakat itu, tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka. Sebuah pernyataan yang kurang tepat, karena dalam kenyataannya banyak orang miskin yang ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan itu, tetapi tidak sepenuhnya menikmati hasil penggunaannya apalagi memilikinya. Sedangkan dalam pengertian kemiskinan yang lainnya ada 2, yaitu:
1. Kemiskinan relatif: dinyatakan dengan berapa persen dari pendapatan nasional yang diterima oleh kelompok penduduk dengan kelas pendapatan tertentu dibanding dengan proporsi pendapatan nasional yang diterima oleh kelompok penduduk dengan kelas pendapatan lainnya.
2. Kemiskinan absolut: suatu keadaan dimana tingkat pendapatan absolut dari satu orang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokok, seperti pangan, sandang, permukiman, kesehatan dan pendidikan.
Sekurang-kurangnya ada 6 macam kemiskinan yang perlu dipahami oleh pihak-pihak yang menaruh perhatian terhadap penanganan kemiskinan, yaitu: 1. Kemiskinan subsistensi, penghasilan rendah, perumahan buruk, fasilitas air
20
2. Kemiskinan perlindungan, lingkungan buruk (sanitasi, sarana pembuangan sampah, polusi), kondisi kerja buruk, tidak ada jaminan atas hak pemilikan tanah.
3. Kemiskinan pemahaman, kualitas pendidikan formal buruk, terbatasnya akses atas informasi yang menyebabkan terbatasnya kesadaran akan hak, kemampuan dan potensi untuk mengupayakan perubahan.
4. Kemiskinan partisipasi, tidak ada akses dan kontrol atas proses pengambilan keputusan yang menyangkut nasib diri dan komunitas.
5. Kemiskinan identitas, terbatasnya perbauran antara kelompok sosial, terfragmentasi.
6. Kemiskinan kebebasan, stress, rasa tidak berdaya, tidak aman baik ditingkat pribadi maupun komunitas.
B. URBANISASI SEBAGAI PROSES PERKEMBANGAN KOTA
21
Fenomena urbanisasi menyebabkan pertumbuhan wilayah perkotaan yang semakin luas, sehingga akan mempengaruhi struktur fisik kota dimana tidak hanya bagi kota besar tetapi juga bagi kota kecil. Urbanisasi menghasilkan perubahan, baik konstruktif maupun deskriptif yang bergantung pada berbagai faktor, diantaranya daya dukung kota, terutama daya dukung fisik dan ekonomi, kualitas para urbanit, terutama dalam segi pendidikan dan keterampilan berwiraswasta, serta kebijakan pemerintah setempat dan kebijakan nasional mengenai tata kota dan tatanan pedesaan (Bintarto, 1984). Pertumbuhan ekonomi yang cepat seiring perkembangan kota menghasilkan perubahan penting pada distribusi pendapatan daerah. Hal ini dapat dilihat dari adanya penurunan pertanian dan peningkatan industri serta kontribusi yang stabil dari sektor pelayanan. Perubahan situasi struktural yang cepat tersebut memiliki dampak pada organisasi sosial dan ruang dari masyarakat. Pertumbuhan ekonomi menciptakan dinamika perkotaan, perubahan penggunaan lahan, munculnya permukiman legal dan ilegal serta permasalahan lain seperti kerusakan lingkungan, limbah dan transportasi. Pada aspek sosial, wilayah perkotaan yang semakin tumbuh dan berkembang juga menyebabkan berkembangnya heterogenitas (Mc Gee, 1995).
22
Di negara berkembang, bentuk informal tersebut terlihat dari adanya kemiskinan dimana penduduk miskin perkotaan cenderung tinggal di ruang-ruang sisa yang ilegal dan tidak terakses prasarana dan sarana dasar. Perkembangan kota di dunia baik di negara berkembang maupun negara maju diiringi dengan permasalahan yang hampir sama, yaitu menurunnya tingkat pelayanan umum yang dibutuhkan oleh masyarakat kota. Adanya berbagai kelompok sosial yang berkembang di kota menunjukkan adanya segregasi ruang perkotaan. Hal ini terkait dengan adanya perbedaan pendapatan, klas sosial, ras dan etnik. Daerah perkotaan sendiri diklasifikasikan menjadi tiga wilayah yaitu Central Business District (CBD), wilayah transisi, wilayah pinggiran (suburban). Central Bussiness District (CBD) merupakan bagian dari daerah perkotaan yang memiliki tingkat aksesibilitas dan persaingan penggunaan lahan yang tinggi sehingga memiliki kepadatan bangunan yang tinggi. Selain itu, wilayah ini dilengkapi oleh infrastruktur perkotaan yang paling lengkap di antara wilayah lain untuk menunjang kegiatan yang berada di wilayah CBD. Sedangkan wilayah transisi merupakan wilayah perluasan dari pusat kota atau CBD yang memiliki karakteristik hampir sama dengan pusat kota namun kepadatan bangunan di wilayah ini masih lebih rendah daripada kepadatan bangunan di pusat kota.
23
C. PEMAHAMAN TENTANG KEMISKINAN PERKOTAAN
Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan perkotaan yang terjadi akibat urbanisasi dan semakin diperparah oleh fragmentasi perkotaan. Hal ini terkait dengan peningkatan kebutuhan-kebutuhan yang muncul sebagai konsekuensi dari proses urbanisasi yang terjadi, seperti kebutuhan penciptaan lapangan pekerjaan, kebutuhan pemenuhan fasilitas-fasilitas perkotaan baik yang berupa fasilitas perumahan, fasilitas ekonomi, maupun fasilitas-fasilitas penunjangnya (sarana dan prasarana penunjang).
Pembangunan dan perbaikan kota di Indonesia pada umumnya masih dipecahkan melalui cara berfikir dan bertindak tradisional dan konvensional atau boleh dikatakan simtematis : yaitu pembangunan atau perbaikan dilakukan apabila timbul masalah atau kerusakan saja. Maka dari itu di dalam pembangunanatau perbaikan kota di Indonesia perlu cara-cara berfikir baru yang memadu cara-cara bertindak yang kreatif, inovatif sarat dengan gagasan segar, agar kota-kota di Indonesia dapat betul-betul berkelanjutan. Lebih lanjut pembangunan berkelanjutan diartikan sebagai (Budihardjo, 1999). Pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengabaikan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan mereka kebutuhan mereka. Namun di dalam konsep ini masih perlu diungkapkan berbagai perkembangan gagasan pemikiran dan konsep baru tentang keberlanjutan.
Sementara itu pembangunan kota yang berkelanjutan harus menjamin agar tujuan pembangunan dapat dilaksanakan secara berkelanjutan dan mencapai hasil seperti yang diharapkan. Tujuan dari pembangunan kota yang berkelanjutan adalah:
1. Menjamin tingkat kehidupan dan penghidupan warga kota yang layak melalui penciptaan lapangan kerja, karena pertumbuhan ekonomi kota yang kuat dan mantap
24
3. Melindungi lingkungan hidup melalui pelestarian sumber daya dan meminimalisasi pencemaran dalam segala bidang.
Selanjutnya di dalam pembangunan kota berkelanjutan ini perlu adanya integrasi yang efektif dari pertumbuhan, pemberdayaan masyarakat yang menciptakan kemandirian (self-empowerment) serta pemerataan dan lingkungan yang tidak rusak. Sebagaimana digambarkan pada gambar berikut :
Gambar 2
Segitiga Ideal Pengentasan Kemiskinan
D.KARAKTERISTIK KEMISKINAN PERKOTAAN
Dimensi kemiskinan merupakan ukuran kemiskinan yang biasanya dilihat dari tingkat kesejahteraan penduduk. Satu dimensi kemiskinan sering menyebabkan atau berkontribusi pada dimensi lain (Baharoglu dan Kessides, 2001). Hal ini menunjukkan adanya dampak kumulatif dari kemiskinan perkotaan. Lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 3
25
Strategi anti-kemiskinan berkaitan dengan strategi penanggulangan kemiskinan yang berkembang. Hal ini merupakan respon pemerintah terhadap masalah kemiskinan perkotaan yang semakin parah. Beberapa kebijakan terkait pemberdayaan masyarakat miskin perkotaan dirangkum dalam tabel dibawah ini.
Tabel 1
Beberapa Kebijakan Miskin Perkotaan
Kebijakan Keterangan
Dukungan untuk usaha kecil dan perusahaan kecil
(microenterprises)
Bagi orang miskin perkotaan, usaha kecil dan
microenterprises menjadi penting sebagi sumber pendapatan dan lapangan pekerjaan (termasuk pekerjaan sendiri), di mana tidak ada alternatif lain yang tersedia. Meskipun ada keinginan untuk merangsang pertumbuhan usaha kecil tersebut, namun respon pemerintah justru menyulitkan masyarakat miskin karena mereka harus membayar uang sewa, biaya, dan pajak.
Meningkatkan akses ke pekerjaan dan pelatihan
Peningkatkan akses fisik ke pekerjaan dan pasar dapat difasilitasi melalui pelayanan transport yang lebih
terjangkau ke pemukiman berpenghasilan rendah.
Penggunaan lahan dan keputusan zonasi seharusnya memungkinkan rumah tangga miskin untuk memiliki mobilitas pemukiman. Peraturan seperti itu seharusnya rumah tangga miskin tidak jauh dari lapangan kerja. Cara khusus di mana pemerintah dapat meningkatkan lapangan kerja bagi masyarakat miskin perkotaan meliputi:
Merevisi peraturan yang memutarbalikkan pasar tenaga kerja dan membuat pekerjaan
Memfasilitasi aliran informasi tentang pekerjaan dan pasar untuk produk, misalnya, melalui publikasi dan melalui pembentukan LSM dan organisasi lainnya yang dapat menyediakan layanan.
Memberikan pelatihan kerja praktis
Memfasilitasi anak untuk memungkinkan perempuan untuk bekerja. Pemerintah dapat melakukannya dengan sederhana dan hemat biaya program dengan bantuan dari LSM dan organisasi berbasis masyarakat.
Mendukung kegiatan industri rumah tangga
Kegiatan industri rumah tangga merupakan kegiatan yang penting untuk pendapatan masyarakat miskin. Tidak hanya ruang rumah yang dapat digunakan untuk memperoleh sewa rumah tetapi juga dapat menampung kegiatan
perdagangan dan industri manufaktur. Namun,
perencanaan kebijakan dan peraturan penggunaan lahan
cenderung memisahkan perumahan dan kegiatan
produktif. Hal ini bertujuan untuk
26
tetap menjaga keamanan dan penyediaan infrastruktur. Hal yang dapat dilakukan diantaranya :
Memberikan pelayanan infrastruktur (listrik,
telekomunikasi, air dan sanitasi), yang akan meningkatkan efisiensi dan kegiatan industri rumah tangga.
Memberikan informasi dan layanan konsultasi dalam kaitannya dengan pasar untuk produk, dan akses terhadap kredit.
Memberikan informasi dan pelatihan praktis kejuruan Sumber : Baharoglu dan Kessides, 2001
E. KERANGKA BERFIKIR
Kemiskinan mengandung banyak pengertian, berubah dari satu tempat ke tempat yang lain pada setiap waktu, dan telah dideskripsikan dalam berbagai perspektif. Kemiskinan muncul karena ketidakmampuan sebagian masyarakat untuk mengakses sumber daya yang tersedia. Sumberdaya alam dan kualitas sumber daya manusia yang rendah menyebabkan produktivitas yang dihasilkan juga rendah. Produktivitas yang rendah menyebabkan penghasilan yang rendah, dan ini menghasilkan kemiskinan kembali.
27
BAB III
METODE PENELITIAN
A. DESAIN PENELITIAN
Penyusunan penelitian ini ditinjau dari tujuan penelitian merupakan penelitian deskriptif yang bersifat eksploratif yang menggali data sebanyak-banyaknya dari bentuk kemiskinan dan program penanggulangan kemiskinan.
Penelitian kemiskinan Kota Yogyakarta pada dasarnya berusaha untuk memaparkan fenomena kemiskinan perkotaan dari aspek karakteristik serta respon kebijakan pemerintah dalam menangani kemiskinan perkotaan yang terjadi di Kota Yogyakarta. Variabel penelitian ini berangkat dari teori urbanisasi dan teori kemiskinan yang terdiri dari karakteristik dan kebijakan penanganan kemiskinan. Variabel tersebut kemudian digunakan dalam proses pencarian data sebagai input dalam proses analisis yang masing-masing telah ditentukan teknik analisisnya. Berdasarkan kajian literatur, maka pendekatan dalam penelitian ini merupakan pendekatan penelitian kualitatif dengan dasar ingin menjelaskan variabel penelitian yang sudah tersintesis dari kajian literatur mengenai bagaimana karakteristik kemiskinan perkotaan dan bagaimana respon kebijakan penanganan kemiskinan. Adapun data yang digunakan terdiri dari data kuantitatif yang berasal dari penyebaran kuesioner dan wawancara yang kemudian dideskriptifkan dan data kualitatif yang berasal dari telaah dokumen.
Pendekatan Penelitian Metode Penelitian Alat Analisis Data
Gambar 4
Desain Penelitian Kualitatif Kualitatif
Deskriptif Kuantitatif
Deskriptif Kualitatif
Kualitatif
28
B. POPULASI DAN SAMPEL
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2002). Sugiyono (2009) mengemukakan, populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh keluarga miskin di Kota Yogyakarta.
Pada dasarnya semua anggota populasi mempunyai peluang yang sama untuk menjadi anggota sampel dalam sebuah penelitian (Sutrisno Hadi, 2000). Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode proporsional area random sampling, yaitu pengambilan sampel berdasarkan
wilayah dimana masing-masing bagian terambil sampelnya secara acak. Teknik tersebut dilakukan karena tidak semua penduduk miskin di Yogyakarta merupakan kategori penduduk miskin perkotaan, meskipun mereka merupakan penduduk Kota Yogyakarta.
Tabel 2
Jumlah Penduduk Kota Yogyakarta
No Kecamatan Jumlah RT Jumlah RW Jumlah Penduduk 1
Sumber: BPS Kota Yogyakarta, 2014
Dari tabel diatas, dipilih penduduk yang termasuk penduduk miskin perkotaan, model pengambilan sampel juga menggunakan teknik judgement random sampling berdasarkan kondisi fisik dilapangan dan kluster-kluster
29 C. VARIABEL PENELITIAN
Variabel penelitian merupakan gejala yang bervariasi yang diamati dalam suatu penelitian, atau dapat dikatakan bahwa variabel penelitian adalah objek penelitian (Arikunto,2002). Adapun variabel dalam penelitian ini ditunjukkan dalam tabel berikut:
Karakteristik kemiskinan perkotaan merupakan gambaran kemiskinan perkotaan yang terjadi pada suatu wilayah. Beberapa hal yang dapat menggambarkan karakteristik kemiskinan tersebut antara lain berkaitan dengan dimensi:
- Pendapatan - Kesehatan - Pendidikan - Keamanan - Kemampuan Pendapatan - Mata Pencaharian
- TingkatPendapatan - Tingkat Pendidikan
Kesehatan - Akses terhadap pelayanan perumahan dan sanitasi - Akses terhadap air bersih
Pendidikan Akses terhadap sarana pendidikan Keamanan Kepemilikan dan penguasaan tanah Respon
kebijakan
Respons kebijakan penanganan kemiskinan perkotaan merupakan program-program penanganan kemiskinan yang telah dilakukan oleh pemerintah untuk menangani permasalahan kemiskinan selama ini. Program-program yang dimaksud adalah program-program baik yang berasal dari pemerintah pusat maupun program pemerintah kota. Hal ini berkaitan dengan bantuan yang diberikan, pelayanan sosial yang disediakan, pemberdayaan masyarakat miskin, kegiatan peningkatan aset dasar masyarakat miskin, penciptaan dan pengembangan pasar bagi masyarakat miskin, serta penciptaan tata kelola pemerintahan.
Bantuan Jenis bantuan langsung yang diberikan Pelayanan
sosial
Pelayanan sosial yang disediakan
30 dilakukan
Aset dasar Aset dasar masyarakat miskin yang ditingkatkan Tata kelola - Penyediaan informasi bagi masyarakat miskin
- Pelibatan dan partisipasi masyarakat miskin Pasar - Kerjasama dengan Lembaga Keuangan dan LSM
dalam menciptakan kesempatan kerja - Kegiatan promosi usaha kecil
D.TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1. Pengumpulan Data Primer
Pengumpulan data primer dilakukan melalui survey research (penelitian survei) dan field research (penelitian lapangan). Hasil dari pengumpulan data primer ini digunakan untuk melengkapi data sekunder. - Pengamatan langsung
Teknik pengamatan langsung/observasi dipilih karena melalui pengamatan/observasi diperoleh gambaran perkembangan wilayah Kota Yogyakarta yang dapat dilihat dari keberadaan sarana prasarana dan kelengkapan fasilitas serta fenomena kemiskinan perkotaan yang terjadi, sehingga dapat diketahui karakteristik kemiskinan. Observasi lapangan dilakukan untuk melengkapi data yang tidak dapat diperoleh dari telaah dokumen, studi literatur, kuesioner. Observasi lapangan dalam penelitian ini dilakukan dengan pengambilan dokumentasi gambar di lapangan untuk memperkuat fakta yang ditemukan. Instrumen yang digunakan dalam observasi ini adalah kamera digital dan catatan pengamatan lapangan. - Kuisioner
31
Adapun pertanyaan yang dibuat disesuaikan dengan tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui karakteristik kemiskinan perkotaan di Kota Yogyakarta. Kuisioner yang disebarkan bersifat campuran berupa pertanyaan tertutup. Hal ini dimaksudkan untuk lebih memberikan kebebasan serta menspesifikkan jawaban responden, sehingga hasil kuisioner yang diperoleh tidak terlalu umum dan biasa. Adapun kuisioner diberikan kepada keluarga miskin di wilayah mikro yang menjadi fokus penelitian.
- Wawancara (Interview)
Wawancara atau interview adalah alat pengumpul informasi dengan cara mengajukan pertanyaan secara lisan dan personal untuk mengetahui substansi kemiskinan yang dihadapi responden dan harapan kebijakan pemerintah. Wawancara merupakan bagian dari teknik komunikasi dimana pencari data mengadakan tanya jawab dengan narasumber untuk menggali data yang diperlukan.
2. Pengumpulan Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan survei instansi untuk mendapatkan data-data dan telaah dokumen.
- Survei Instansi
Survei instansi dilakukan kepada BPS, Bappeda Kota Yogyakarta dan kecamatan/kelurahan yang merupakan fokus wilayah penelitian.
- Telaah Dokumen
32
baik dari internet maupun surat kabar mengenai penelitian-penelitian tentang kemiskinan yang pernah dilakukan sebelumnya.
E. METODE ANALISIS DATA
Dalam penelitian deskriptif yang bersifat eksploratif dengan tahap-tahap analisis sebagai berikut :
Mengklasifikasi data kualitatif dan data kuantitatif
Pemrosesan data kuantitatif
Tabulasi data kualitatif dan kuantitatif
Mendeskripsikan data menjadi mudah dimengerti
Merinci permasalahan-permasalahan
Penyajian data dan interprestasi data agar lebih dipahami
Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan pendekakatan kualitatif dankuantitatif. Pendekatan kualitatif adalah melakukan analisis deskriptif terhadap data danhasil pengamatan. Model analisis data dalam penelitian ini mengikuti konsep yangdiberikan Miles and Huberman. Miles and Hubermen mengungkapkan bahwaaktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif danberlangsung secara terus-menerus pada setiap tahapan penelitian sehinggasampai tuntas. Komponen dalam analisis data : 1. Reduksi data
Data yang diperoleh dari laporan jumlahnya cukup banyak, untukitu maka perlu dicatat secara teliti dan rinci. Mereduksi data berartimerangkum, memilih hal-hal pokok, memfokuskan pada hal-hal yangpenting, dicari tema dan polanya.
2. Penyajian Data
Penyajian data penelitian kualitatif bisa dilakukan dalam bentukuraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, dan sejenisnya.
3. Verifikasi atau penyimpulan Data
33
padatahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saatpeneliti kembali kelapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yangdikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.
F. PENGUJIAN KREDIBILITAS DATA
Dalam penelitian kualitatif, instrumen utamanya adalah manusia, karena itu yang diperiksa adalah keabsahan datanya. Untuk menguji kredibilitas data penelitian peneliti menggunakan teknik triangulasi. Teknik triangulasi adalah menjaring data dengan berbagai metode dancara dengan menyilangkan informasi yang diperoleh agar data yang didapatkan lebih lengkap dan sesuai dengan yang diharapkan. Setelah mendapatkan data yang jenuh yaitu keterangan yang didapatkan dari sumber-sumber data telah sama maka data yang didapatkan lebih kredibel. Sugiyono membedakan empat macam triangulasi diantaranya dengan memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori. Triangulasi dengan sumber artinya membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif. Adapun untuk mencapai kepercayaan itu,maka ditempuh langkah sebagai berikut :
1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara
2. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi.
3. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.
34
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A.GAMBARAN UMUM KOTA YOGYAKARTA
Kota Yogyakarta terletak antara 110o24’19"-110o28’53" Bujur Timur dan antara 07o49’26"- 07o15’24" Lintang Selatan, dengan luas sekitar 32,5 Km2 atau 1,02 persen dari luas wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jarak terjauh dari Utara ke Selatan kurang lebih 7,5 Km dan dari Barat ke Timur kurang lebih 5,6 km. Kota Yogyakarta yang terletak didaerah dataran lereng aliran gunung Merapi memiliki kemiringan lahan yang relatif datar (antara 0 - 2 persen) dan berada pada ketinggian rata-rata 114 meter dari permukaan air laut (dpl). Sebagian wilayah dengan luas 1.657 hektar terletak pada ketinggian kurang dari 100 meter dan sisanya (1.593 hektar) berada pada ketinggian antara 100 – 199 meter dpl. Sebagian besar jenis tanahnya adalah regosol.
Secara administratif Kota Yogyakarta terdiri dari 14 kecamatan dan 45 kelurahan dengan batas wilayah : sebelah utara : Kabupaten Sleman, sebelah timur : Kabupaten Bantul dan Sleman, sebelah selatan : Kabupaten Bantul dan sebelah barat : Kabupaten Bantul dan Sleman.
Berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2000, penduduk Kota Yogyakarta berjumlah 397.398 orang yang terdiri dari 194.530 orang (48,95 persen) laki-laki dan 202.868 orang (51,05 persen) perempuan. Jumlah penduduk berdasar-kan hasil Supas tahun 2005 sebanyak 435.236 orang. Dengan demikian rata-rata pertumbuhan penduduk periode tahun 2000-2005 sebesar 1,9 persen.
35
banyak diperuntukkan bagi perumahan, yaitu sebesar 2.106,338 hektar dan bagian terkecil berupa lahan kosong seluas 20,041 hektar
B. DESKRIPSI KARAKTERISTIK KEMISKINAN KOTA YOGYAKARTA
Studi karakteristik kemiskinan perkotaan ini dilakukan secara survey, dengan jumlah responden yang diperoleh dengan menggunakan cluster purposive sampling sebanyak 121 rumah tangga miskin di kota Yogyakarta yang tinggal di daerah kumuh, bantaran kali dan pemukiman padat. Pemilihan sampel berdasarkan purposive sampling dengan kriteria seperti kepadatan penduduk, luas wilayah dan jumlah penduduk serta kantung-kantung (kluster) kemiskinan. Jumlah penduduk berkaitan erat dengan jumlah penduduk miskin demikian juga luas wilayah akan memungkinkan kriteria kemiskinan perkotaan seperti perkampungan padat, bantaran kali dan perkampungan kumuh dapat terpenuhi.
1. Karakteristik Demografis
Karakteristik umum rumah tangga miskin perkotaan berdasarkan hasil studi ini ditemukan di semua daerah konsentrasi kemiskinan perkotaan, baik di pemukiman kumuh, bantaran kali, maupun pemukiman padat penduduk, sehingga untuk karakteristik ini dapat dikatakan tidak ada perbedaan di ketiga lokasi.
Tabel 4
Daftar Responden
Kecamatan Kelurahan Jumlah
Umbulharjo
36 Ngampilan
Ngampilan 8
Notoprajan 2
Gedongtengen Pringgokusuman 6
Kotagede Prenggan 8
Gondomanan Prawirodirjan 4
Gondokusuman Baciro 1
Jumlah 121
Dalam tabel 4 disebutkan jumlah responden paling banyak berada di Kecamatan Umbulharjo sebanyak 42 responden atau 35 persen yang terdiri dari 6 Kelurahan yaitu Pandeyan, Tahunan, Sorosutan, Giwangan, Muja Muju dan Warungboto. Banyaknya responden di Umbulharjo dikarenakan Umbulharjo merupakan kecamatan yang paling luas di Kota Yogyakarta. Berikutnya Kecamatan Danurejan dengan jumlah responden 20 orang yang terdiri dari 2 kelurahan yaitu Tegalpanggung dan Suryatmajan. Berikutnya Kecamatan Mergangsan, Ngampilan dan Jetis masing-masing 10 responden atau 8 persen. Kecamatan Kotagede dengan jumlah responden 8 orang atau 7 persen, Kecamatan Gedongtengen dan Gondomanan masing-masing 5 persen dan 3 persen. Wilayah dengan jumlah responden paling sedikit adalah Kecamatan Gondokusuman sejumlah 1 orang saja.
37
Persentase Jumlah Responden Menurut Kecamatan
Dari jumlah responden yang diperoleh, sebagian besar merupakan penduduk asli wilayah tersebut dengan jumlah 77 orang atau 66 persen. Mereka lahir dan besar di tempat tinggal sekarang. Sedangkan 44 orang atau 34 persen merupakan pendatang tetapi sudah menjadi penduduk atau warga di tempat tinggalnya. Beberapa yang tidak masuk kategori tersebut diklasifikasikan ke dalam penduduk yang tinggal dengan menyewa rumah atau kamar kos.
Gambar 6
Persentase Penduduk Asli dan Pendatang
Responden yang ditemui sebagian besar merupakan kepala rumah tangga atau ibu rumah tangga yang mengetahui kondisi keluarganya. Menurut kelompok usia, responden tertua berusia 83 tahun dan yang termuda 23 tahun. Rata-rata usia responden adalah 49 tahun, dimana sebagian besar adalah kepala rumah tangga yang bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan hidup anggota keluarganya. Responden tersebut merupakan anggota keluarga yang ikut mencari nafkah.
Penduduk Asli 66% Pendatan
38
Grafik 1
Karateristik RespondenMenurut Usia
Responden sudah menempati tempat tinggal di lingkungannya sejak lama, artinya kebanyakan dari mereka merupakan penduduk asli kota Yogyakarta yang berada di kluster atau kantung kemiskinan. Rata-rata sudah tinggal di daerahnya selama 29 tahun, sedangkan rata-rata usia responden adalah 49 tahun artinya terdapat hubungan yang jelas antara usia dan lama tinggal. Lama tinggal paling tinggi adalah 76 tahun dan paling pendek 1 tahun, lama tinggal pendek berasal dari warga yang menyewa rumah atau kamar untuk mencari pekerjaan di Kota Yogyakarta. Berikut ini grafik lama tinggal.
Grafik 2
Karateristik Responden Menurut Lama Tinggal 0
20 40 60 80 100
Tertua Termuda Rata-Rata
0 10 20 30 40 50 60 70 80
39
2. Karakteristik Ekonomi
Kemiskinan dapat dievaluasi dan dinilai dari data dan karateristik yang terdapat di lapangan. Dengan menghubungkan dengan teori kemiskinan dapat dijadikan pedoman dalam penilaiannya. Kategori kemiskinan yang paling mudah digunakan adalah pendapatan.
Grafik 3
Rata-Rata Pendapatan Responden
Sebagian besar responden bekerja di sektor informal sehingga pendapatannya setiap hari dan bulan tidak sama. Rata-rata pendapatan per bulan mencapai Rp.1.000.000 dimana pendapatan tertinggi adalah Rp.6.000.000. apabila rata-rata pendapatan bulanan dikonversikan kedalam pendapatan harian maka diperoleh jumlah pendapatan sebesar Rp.33.000. jumlah itu merupakan rata-rata pendapatan sebagai buruh, pedagang kecil, tukang becak dan pekerjaan sejenis lainnya.
Tabel 5
Data Pekerjaan Responden
No Jenis Pekerjaan Jumlah Persen
1 Buruh 29 24
2 Tukang Becak 1 0,8
3 Satpam 1 0,8
4 Pedagang 14 12
5 Sopir 1 0,8
0 1000000 2000000 3000000 4000000 5000000 6000000 7000000
40
6 OB 1 0,8
7 Baby Sitter 1 0,8
8 Karyawan 7 6
9 Wiraswasta 12 10
10 Tidak bekerja 54 45
Dilihat dari aspek pekerjaan atau mata pencaharian utama menunjukkan bahwa sebagian besar (54 orang atau 45 persen) responden bermata pencaharian tidak tetap atau serabutan, buruh (29 orang atau 24persen), pedagang (14 orang atau 12persen), wiraswasta (12 orang atau 10persen) dan karyawan (7 orang atau 6persen), Tukang becak, satpam sopir, office boy dan baby sitter masing-masing 0,8 persen. Ini menunjukkan bahwa karakteristik responden umumnya adalah bekerja di sektor yang memungkinkan memperoleh pendapatan rendah dan tidak tetap. Jenis pekerjaan tersebut dapat dilakukan secara tidak terjadwal dan dapat pula lekas berganti jenis pekerjaan lainnya. Jenis pekerjaan yang dilakukan tidak ditemukan yang berkaitan dengan Kota Yogyakarta sebagai tujuan wisata seperti pemandu wisata atau penerjemah.
Gambar 10
41
Selain itu dalam karakteristik pekerjaan yang dilakukan responden, ternyata ada sebanyak 67 orang atau 22,30 persen yang merupakan ibu rumah tangga. Besarnya jumlah ibu rumah tangga ini di satu sisi mereka tidak terlibat langsung dalam proses mencari nafkah untuk keluarga. Biasanya itu dilakukan oleh laki-laki sebagai kepala rumah tangga. Akan tetapi perempuan merupakan pekerja yang tidak dihitung secara ekonomi namun besar dalam hal menopang ekonomi keluarga.
Gambar 11
Warung Sederhana sebagai Mata Pencaharian
Dari responden yang bekerja, beberapa mempunyai jenis pekerjaan yang spesifik seperti office boy dan baby sitter. Adapun pekerjaan yang paling banyak adalah buruh. Pedagang merupakan pekerjaan selanjutnya yang paling banyak dilakukan. Pedagang disini adalah pedagang angkringan, pedagang burung, pedagang mainan, dimana pendapatan mereka tidak menentu.Pekerjaan lainnya adalah satpam dan tukang becak.
42
rumah atau kamar kos, atau responden tidak mempunyai hak milik tetapi tidak perlu membayar uang sewa seperti menempati rumah saudaranya.
Gambar 12
Status Tempat Tinggal
Sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan yang baik dimana 73 responden atau 56 persen merupakan lulusan SMA sedangkan yang SD di urutan kedua dengan jumlah sebanyak 28 orang atau 21 persen kebanyakan responden yang sudah berusia lanjut. Selanjutnya responden yang berpendidikan SMP berjumlah 22 orang atau 17 persen.
Gambar 13
Tingkat Pendidikan Responden Milik sendiiri
69% Bukan
milik sendiri
31%
SD 21%
SMP 17% SMA
56%
43
Dalam kehidupan kota yang keras, mencari nafkah dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satu modal untuk dapat berkerja adalah mempunyai ketrampilan tertentu. Dalam penelitian ini, ketrampilan tidak hanya dimiliki oleh kepala keluarga, namun semua anggota keluarga. Data penelitian menunjukkan, responden hampir semuanya tidak mempunyai ketrampilan lainnya diluar pekerjaan yang dijalaninya. 97 persen responden mengaku tidak mempunyai ketrampilan apapun dan hanya 3 persen yang mempunyai ketrampilan.
Gambar 14
Responden yang Mempunyai Ketrampilan Tertentu
Lingungan tempat tinggal di perkotaan pada umumnya berada di pemukiman kumuh, pemukiman padat serta bantaran sungai. Ketiga kondisi lingkungan tempat tinggal tersebut bias jadi merupakan kombinasi dari ketiganya tersebut. Penilaian terhadap kondisi lingkungan tersebut berdasarkan pendapat tim peneliti, kluster kemiskinan menurut pemerintah dan pendapat pribadi responden tersebut. Dari data penelitian yang diperoleh, responden yang berada di lingungan kumuh hanya 1 persen, pemukiman padat 36 persen merupakan angka paling tinggi kemudian bantaran sungai 33 persen.
Tidak punya ketrampilan
97% Punya
44
Gambar 15
Lingkungan Tempat Tinggal
Dari ketiga kategori yang disebutkan, beberapa responden menjawab lebih dari satu kriteria. Mereka merasakan tempat tinggalnya merupakan kombinasi dari ketiganya. Responden yang merasa tinggal di kawasan kumuh dan padat mencapai 17 persen dan yang merasa tinggal di kawasan kumuh, padat dan bantaran sungai ada 13 persen.
Gambar 16
Salah Satu Sudut Lingkungan Responden Pemukiman
kumuh 1%
Pemukiman padat
36%
Bantaran sungai
33% Kumuh+padat
17%
Kumuh+padat +bantaran
45
Tempat tinggal responden sebagian besar kecil dan sederhana mencapai 82 responden atau 68 persen, 22 responden tinggal di rumah berukuran sedang atau 18 persen. Responden yang tinggal di rumah yang cukup besar hanya 2 orang atau 2 persen saja. Dari total 121 responden yang dijadikan sampel sebanyak 15 orang atau 12 persen tinggal di kamar sewa atau kos.
Gambar 17
Ukuran Tempat Tinggal Responden
Gambar 18
Kondisi Tempat Tinggal Salah Satu Responden Kamar
sewa 12%
Kecil 68% Sedang
18% Besar
46
Sebagian besar responden sebanyak 84 orang atau 70 persen pekerjaannya serabutan, artinya dia bekerja tetapi berganti-ganti. Mereka bekerja jika ada permintaan. Selanjutnya yang menganggur tidak mempunyai pekerjaan 21 orang atau 17 persen. Responden yang mempunyai pekerjaan tetap hanya 16 orang atau 13 persen.
Gambar 19
Status Pekerjaan Responden
Penduduk miskin perkotaan pada umumnya bergerak pada bidang pekerjaan yang bersifat informal sehingga pendapatannya juga tidak dapat dipastikan dan tidak terstandar seperti pekerjaan buruh pabrik dan pekerjaan yang terkena peraturan upah minimum regional atau upah minimum provinsi. Dari data penelitian diketahui responden yang tidak mempunyai pendapatan alias tidak punya pekerjaan adalah sebanyak 11 orang atau 9 persen, responden yang mempunyai pendapatan tetapi tidak tetap jumlahnya sebanyak 72 orang atau 60 persen dan responden yang mempunyai pendapatan tetap berjumlah 38 orang atau 31 persen. Jumlah respoden yang mempunyai pendapatan tidak tetap sekitar dua kali lipatnya yang berpendapatan tetap. Hal tersebut berkaitan dengan kebanyakan jenis pekerjaan yang dimiliki responden seperti buruh, sopir, pedagang, dan pekerjaan serabutan lainnya.
Pekerjaa n tetap 13%
Serabuta n 70%
47
Gambar 20
Status Pendapatan Responden
Salah satu kriteria kemiskinan yang berlaku adalah ketahanan pangan. Ketahanan pangan tidak diartikan luas dalam penelitian ini. Ketahanan pangan dilihat dengan apakah responden pernah kesulitan atau kekurangan pangan. Hal tersebut kemungkina terjadi pada responden yang mempunyai pendapatan tidak tetap atau tidak punya pekerjaan sehingga ada kalanya tidak dapat makan pada hari itu. Dari penelitian dilapangan diketahui sebanyak 39 responden atau sekitar 34 persen pernah kekurangan makanan dan 75 orang atau 66 persen tidak pernah merasa kekurangan pangan. Sebagian kecil responden tidak mau mengakui perihal pertanyaan seperti ini.
Gambar 21
Status Ketahanan Pangan Tidak punya pendapata
n 9%
Tidak tetap 60% Tetap
31%
Pernah 34% Tidak
48
a. Kondisi Kepemilikan Aset dan Akses
Kepemilikan asset merupakan salah satu indikator kekayaan, asset merupakan simpanan atau akumulasi tabungan ang disisihkan baik untuk menunjang pekerjaan maupun menunjukkan status sosial. Dalam penelitian mengenai kemiskinan ini, terutama perkotaan yang sibuk dan sesak, kepemilikan asset diwakili oleh sepeda motor. Kepemilikan aset sebagimana dalam kajian kemiskinan perkotaan dengan wilayah tempat tinggal seperti kumuh, padat dan bantaran kali, aset yang paling mungkin bisa dimiliki dan diukur adalah sepeda motor, televisi, kulkas, furnitur dan lainnya yang dapat diamati oleh tim peneliti. Responden yang memiliki sepeda motor sejumlah 82 responden atau 69 persen. Sebanyak 37 responden atau 31 persen tidak mempunyai sepeda motor. Bagi sebagian kalangan sepeda motor merupakan alat transportasi yang paling murah dan praktis. Sepeda motor digunakan untuk menunjang kebutuhan transportasi maupun pekerjaan.
Gambar 22
Kepemilikan Sepeda motor
Listrik merupakan kebutuhan yang mendasar.Pada lingkungan tempat tinggal yang kumuh dan padat serta luas rumah yang sempit dan sesak, sangat dimungkinkan tidak setiap rumah memiliki saluran listrik sendiri artinya mempunyai meteran dan rekening listrik sendiri.Banyak sekali dijumpai masyarakat ang menggunakan listrik dengan menyambung dari
Punya sepeda motor
69% Tidak
punya sepeda
49
tetangganya dan membayar iuran dalam jumlah tertentu. Dalam penelitian ini juga ditemukan praktik demikian, sebanyak 39 responden atau 32 persen tidak mempunyai saluran listrik sendiri dan 82 responden atau 68 responden sudah mempunyai saluran listrik sendiri.
Gambar 23
Kepemilikan Saluran Listrik
Masyarakat miskin perkotaan biasanya mengandalkan fasilitas umum dalam kebutuhan airnya. Pemerintah kota biasanya mendirikan fasilitas umum air dan MCK di pemukiman yang padat penduduknya dan kumuh. Kondisi lingkungan tempat tinggal yang sempit dan berdesakan tidak memungkinkan setiap rumah mempunyai sumur sendiri. Demikian juga dalam penelitian ini, rumah tangga yang memiliki sumur sendiri hanya 54 responden atau 45 persen sebanyak 15 responden atau 13 persen menggunakan saluran PDAM dan responden yang tidak memiliki sumber air sendiri sehingga menggunakan fasilitas umum sebanyak 50 atau sebesar 42 persen.
Punya saluran
listrik 68% Tidak
punya saluran
50
Gambar 24
Sumber Air Bersih
Masalah lingkungan yang sering muncul dalam problematika perkotaan adalah adanya polusi. Polusi dapat bermacam-macam bentuknya seperti suara bising, bau tidak sedap dan asap kendaraan. Dalam penelitian ini, angket tidak mengidentifikasikan bentuk polusi tersebut.Polusi mungkin sudah dianggap sebagai hal yang biasa bagi sebagian penduduk perkotaan sehingga penelitian hanya menanyakan apakah lingkungannya terkena polusi atau tidak. Jawaban responden yang mengatakan terdapat polusi di lingkungannya sebanyak 77 responden atau 65 persen dan yang merasa tidak terkena polusi sebanyak 42 responden atau 35 persen.
Gambar 25
Polusi di Sekitar Tempat Tinggal PDAM
13%
Sumur sendiri 45% Fasilitas
umum 42%
Polusi 65% Tidak
ada polusi
51
b. Akses Kesehatan
Fasilitas kesehatan merupakan hal pokok yang harus disediakan oleh pemerintah, fasilitas tersebut juga harus mudah diakses oleh masyarakat.Responden mengatakan fasilitas kesehatan mudah diperoleh sebanyak 115 responden atau 96 persen.Mereka memanfaatkan puskesmas sebagai sarana mengatasi masalah kesehatan.Hanya 5 orang atau 4 persen yang mengataan sulit untu memperolehnya.Hal tersebut arena pengalaman dalam mengurus biaya kesehatan.
Gambar 26
Kemudahan memperoleh fasilitas Kesehatan
Fasilitas kesehatan sekarang ini ditentukan oleh kepesertaan penduduk di Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS). Penduduk akan lebih mudah memperoleh akses kesehatan apabila mempunyai kartu Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Iuran dan kelas JKN ditentukan oleh besarnya uang yang disetorkan setiap bulannya.Keanggotaan terdiri dari 2 macam yaitu penerima bantuan dan non penerima bantuan.Untuk masyarakat miskin iuran ditanggung oleh pemerintah. Dari responden yang ditentukan, yang sudah mempunyai kartu JKN hanya 24 orang atau 20 persen saja sedangkan 97 orang atau 80 persen belum mempunyai kartu JKN.
Mudah memperol
eh fasilitas kesehatan
96% Sulit
memperol eh fasilitas kesehatan
52
Gambar 27
Kepemilikan Kartu JKN
c. Mobilitas
Salah satu hambatan lain bagi masyarakat miskin adalah mobilitas. Mobilitas sangat dipengaruhi oleh kebutuhan dan sarana.Mobilitas dalam peneltian ini tidak dikaitkan dengan pekerjaan, mobilitas diartikan sebagai perjalanan untuk kepentingan pribadi yang sifatnya sekunder atau tersier.Sebagian responden menatakan jarang melaukan perjalanan atau bepergian sebanyak 86 orang atau 71 persen. Yang menyatakan sering bepergian adalah 16 persen dan yang tida pernah melakukan perjalanan adalah 19 orang atau 16 persen.Responden yang tidak pernah melaukan perjalanan adalah responden yang telah berusia lanjut.
Gambar 28
Mobilitas Responden
Punya kartu JKN 20% Tidak
punya kartu JKN 80%
Sering 13%
Jarang 71% Tidak
53
Mobilitas tersebut juga ditentukan oleh sarana yang digunakan untuk mendukungnya. Sepeda motor merupakan sarana yang paling banyak digunakan oleh sebagian besar responden sebanyak 73 orang atau sekitar 65 persen. Responden yang memanfaatkan angkutan umum sebanyak 25 responden atau 22 persen dan sarana lainnya 14 orang atau sebesar 13 persen.
Gambar 29
Sarana Mobilitas Responden
3. Karakteristik Sosial
Keamanan dan ketertiban merupakan hal yang pokok disamping masalah ekonomi. Kondisi lingkungan sosial juga akan mempengaruhi karakteristik kemiskinannya. Sebgian responden menyatakan kondsi lingkungannya aman, ini ditunjukkan dengan sebanyak 118 responden atau 98 persen.Dan 3 orang menyatakan kurang aman atau sekitar 2 persen serta tidak ada responden yang menyatakan lingkungannya tidak aman.
Sepeda motor
65% Angkutan
umum 22%
54
Gambar 30
Persepsi Keamanan Lingkungan
Masalah sosial lainnya yang sering terjadi di perkotaan adalah keributan yang terjadi baik ang dilakukan oleh warga atau orang lain. Keributan ini merupakan dampak dari gesekan gesekan ang terjadi di masyarakat karena kesenjangan sosial dan berkurangnya sifat kekeluargaan. Di kota Yogyakkarta, responden penelitian menyatakan jarang terjadi keriibutan atau pertkkaian sebanak 109 orang atau 90 persen, yang menatakan tdak ppernah 4 responden atau 3 persen dan yang mengau sering terjadi eributan 8 responden atau 7 persen
Gambar 31
Persepsi Keributan Lingkungan Aman
98% Kurang
aman 2%
Sering 7%
Jarang 90% Tidak pernah
55
Masyarakat perkotaan biasanya individualis dan tidak peduli dengan lingkungannya.Kkepedulian ini akkan tercermian dari sikkap tolong menolong. Di masarakat perkotaan Yogyakarta rasa tolong menolong mash tinggi di antara anggota masyarakat, 78 responden atau sekitar 65 persen menyatakan tinggi dan 40 orang responden menatakan sedang atau sekitar 33 persen. Hanya 2 responden saja atau 2 persen ang menatakan rasa saling tolong menolong penduduk Yogakkarta rendah
Gambar 32
Persepsi Tolong Menolong di Lingkungan
Sebanyak 75 responden atau 62 persen mengatakan rasa saling percaya diantara anggota masyarakat masih tinggi, sebanyak 40 responden atau 33 persen mengatakan sedang dan sebanyak 6 responden atau 5 persen mengatakan rasa saling percaya rendah diantara anggota masyarakat
Gambar 33
Persepsi Rasa Saling Percayadi Lingkungan Rendah
2%
Sedang 33%
Tinggi 65%
Rendah 5%
Sedang 33%
56
C.PELAYANAN PUBLIK UNTUK MASYARAKAT MISKIN
Identifikasi penduduk miskin di Kota Yogyakarta dilakukan dengan menggunaan kartu KMS (Kartu Menuju Sejahtera), pemegang kartu ini akan memperoleh beberapa bantuan dan fasilitas dari pemerintah. Dari penelitian yang dilakukan, responden yang memegang KMS hanya 68 keluarga atau seitar 57 persen dan sisanya 52 orang atau sektar 43 persen tidak memilikinya.
Gambar 34
Persentase Jumlah pemegang KMS
Beasiswa pendidikan sangat penting bagi masyarakat miskin. Pemerintah Kota Yogyakarta memberikan bantuan Beasiswa Siswa Miskin kepada pemegang kartu KMS. Sebanyak 80 orang responden menyatakan anaknya menerima bantuan BSM atau setara dengan 71 persen sedangkan 33 orang atau 29 persen menyatakan tidak menerimanya
Gambar 35
Persentase penerima Beasiswa pendidikan Punya
kartu KMS 57% Tidak
punya kartu KMS 43%
Mempero leh BSM 71% Tidak
mempero leh BSM
57
Gambar 36
Status Sekolah Anak Responden
Sebagian besar anak-anak responden bersekolah di sekolah negeri sebesar 53 persen, yang bersekolah di sekolah swasta 32 persen dan yang di negeri dan swasta sebesar 15 persen. Dengan data ini dapat diketahui bahwa pemerintah Kota Yogyakarta sudah memberikan bantuan pendidikan secara tidak langsung kepada masyarakat miskin untuk menjangkau fasilitas pendidikan.
Raskin adalah program pemerintah pusat untuk mengurangi kemiskinan terutama dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan. Distribusi raskin terkadang menjadi permasalahan tersendri. Sebanyak 66 orang responden atau 56 persen menerima raskin secara teratur sedangkan 52 orang atau 44 persen tidak pernah menerima.
Gambar 37
Persentase responden penerima raskin Negeri
53% Swasta
32% Negeri+S
wasta 15%
Ya 56% Tidak
58
Bagi sebagian besar responden, bantuan paling penting yang mereka harapan adalah bantuan tunai karena lebih tepat sasaran dan berguna serta dapat langsung digunakan. Sebanya 57 persen responden pernah menerima bantuan uang dalam berbagai bentuk bantuan atau subsidi, seedangkan 43 persen menyatakan belum pernah
Gambar 38
Persentase respoden penerima bantuan uang
Responden diberikan pertanyaan mengenai perasaan dan pendapat mereka mengenai peran pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan terutama yang berkaitan dengan mereka secara langsung. Ketika mereka ditanya apakah pemerintah memperhatikan kehidupan mereka, sebanyak 47 persen mengatakan ya dan 53 persen mengatakan tidak. Jumlah ini relatif berimbang dikarenakan beberapa masyarakat ada yang pernah menerima beberapa jenis bantuan sedangkan yang lainnya ada yang belum sama sekali menerima bantuan pemerintah.
Tidak Pernah
43% Pernah
59
Gambar 39
Persentase persepsi responden terhadap perhatian pemerintah
Harapan masyarakat miskin perkotaan terhadap pemerintah sangat beragam tergantung dari kondisi sosial dan ekonomi mereka dalam mengespresikan harapannya. Beberapa berpendapat mengenai bantuan secara langsung sedangkan lainnya secara tidak langsung terhadap kebijakan pemerintah kota Yogyakarta.
D.STRUKTUR KEMISKINAN KOTA YOGYAKARTA
Penduduk miskin perkotaan di Kota Yogyakarta mempunyai karakteristik yang berbeda dengan kemiskinan di kota besar seperti Jakarta dan Surabaya. Faktor urbanisasi sebagai faktor utama yang mempengaruhi tidak terlalu besar dikarenakan sebagian besar penduduk miskin merupakan warga asli dan pendatang yang telah lama menjadi penduduk di tempat tersebut. Kehidupan kota yang tidak terlalu hingar bingar juga berpengaruh pada sistem sosialnya. Sebagian mempunyai pekerjaan yang non formal, setiap hari memperoleh penghasilan. Kota Yogyakarta sebagai kota tujuan wisata turut andil dalam mempengaruhi struktur kemiskinan ini dikarenakan terdapat beberapa pekerjaan yang dapat dilakukan sebagai dampak dari adanya pariwisata dan kota pendidikan.
Menurut beberapa pakar kemiskinan, minimal ada tiga konsep
kemiskinan yang sering digunakan, yaitu kemiskinan absolut, kemiskinan
relatif dan kemiskinan subyektif. Konsep kemiskinan absolut dirumuskan
Ya 43% Tidak