KEANEKARAGAMAN DAN STRUKTUR VEGETASI MANGROVE DI PANTAI BAMA – DERMAGA LAMA TAMAN NASIONAL BALURAN
JAWA TIMUR
SKRIPSI
Diajukan Kepada Jurusan Pendidikan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Negeri Yogyakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Oleh: Putrisari NIM. 12308141041
PROGRAM STUDI BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
MOTTO
Menuju Sampai Menggenggam Selesai
Sungguh tulangku telah lemah dan rambutku telah dipenuhi uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepadaMu.
(Maryam; 4)
Hidup untuk guna bukan nilai (Putrisari)
Apa gunanya ilmu kalau tidak memperluas jiwa seseorang sehingga ia berlaku seperti samudra yang menampung sampah-sampah? Apa gunanya kepandaian kalau tidak memperbesar kepribadian manusia sehingga ia makin sanggup memahami orang lain?
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan untuk:
Allah STW, berjuta syukur atas segala nikmat yang telah diberikan. Dekaplah hamba
dalam Iman dan Islam. Matursuwun Gusti.
Bapak, Mamak, Mas Oka, Sesa, Mba Wati, Simbah dan keluargaku, terimaksih untuk
doa yang seujung kuku pun tak sanggup untuk ku balas. Semoga Allah selalu
memeluk ditiap langkah. I love you!
Ibuku Suhartini dan Ratnawati yang telah sabar dalam mendidik, membimbing,
mengajari, memberi masukan dan mengingatkan saya untuk menyelesaikan skripsi
ini.
Masku Sulistyono yang telah mengingatkan dengan tamparan kata yang justru
membangkitkan semangat. Terimaksih.
Mas Kompleh, Mas Cuin, Nita, Rekan-rekan Bama dan Bekol yang telah mengubah
lelah menjadi tawa dalam proses pengambilan data.
Rekanku Winna Wijayanti yang selalu mengembangkan senyum di setiap kalut.
Mba Dita, Tanti, Sekar, Dwi Cawet, Cece dan semua teman-teman UNSTRAT 2010
sampai 2016 yang telah mengiringi proses skripsi
Teman- teman Biologi Subsidi 2012 atas perhatian, bantuan dan motivasi yang selalu
diberikan selama empat tahun setengah ini.
KEANEKARAGAMAN DAN STRUKTUR VEGETASI MANGROVE DI PANTAI BAMA – DERMAGA LAMA TAMAN NASIONAL BALURAN
JAWA TIMUR
Oleh: Putrisari Nim 12308141041
ABSTRAK
Penelitian mengenai keanekaragaman dan struktur vegetasi mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran, Jawa Timur ini dilakukan selama tiga minggu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman jenis, pola sebaran jenis dan zonasi tumbuhan mangrove.
Penelitian ini bersifat eksploratif, dengan objek penelitian tumbuhan mangrove, menggunakan metode purpose sampling dengan jalur berpetak. Lokasi penelitian dibagi menjadi 2 stasiun, masing-masing seluas empat ha dan sembilan ha.
Hasil dari penelitian ini, stasiun 1 terdapat dua mangrove mayor (Rhizophora
stylosa dan R. apiculata), tiga mangrove minor (Xylocarpus granatum, Heritiera littoralis dan Excoecaria agallocha) dan delapan mangrove asosiasi(Corypha utan, Syzygium polyanthum, Terminalia catappa, Ardisia sp, Desmodium umbellatum, Caesalpinia sp, Clerodendrum sp dan Buchanannia arborescens). Stasiun 2 terdapat
enam mangrove mayor (R. apiculata, B. gymnorrhiza, C. tagal, S. caseolaris dan S.
alba), empat mangrove minor (H. littoralis, E. agallocha, Acrostichum aureum dan A. speciosum), dan 10 mangrove asosiasi (C. utan, S. polyanthum, T. catappa, B. arborescens, Calophyllum inophyllum, Pongamia pinnata, D. umbellatum, Clerodendrum sp, Scaevola taccada dan Ardisia sp). Keanekaragaman di kedua
stasiun, kategori pohon, tiang dan semai adalah sedang (1 < H < 3), untuk kategori
pancang, stasiun 1 masuk dalam kategori rendah (H’ < 1), dan stasiun 2 masuk dalam kategori sedang. Indeks kemerataan kategori pohon di kedua stasiun sedang (0,3 < E < 0,6). Kategori tiang, pancang dan semai memiliki indeks kemerataan tinggi (E > 0,6). Indeks kekayaan jenis pada kategori pohon, tiang, pancang maupun semai di kedua stasiun rendah (R < 3,5). Tumbuhan mangrove dikedua stasiun, kategori pohon, tiang, pancang dan semai berpola mengelompok kecuali tegakan R. apiculata kategori tiang (stasiun 1 dan 2) dan kategori pohon (stasiun 2) berpola seragam. Stasiun 1 memiliki tiga zonasi yaitu zona seaward, zona tengah dan zona landward. Stasiun 2 memiliki 4 zonasi yaitu, zona seaward, zona tengah, zona landward, dan transek 1, 2, 4 dan 5, memiliki zona S. caseolaris yang bercampur dengan R.
apiculata (overlap).
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji dan syukur hanya untuk Allah SWT, Tuhan semesta alam
yang telah melimpahkan rahmat serta karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul
“Keanekaragaman dan Struktur Vegetasi Mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga
Lama Taman Nasional Baluran Jawa Timur” dapat diselesaikan.
Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik juga berkat bantuan dari berbagai
pihak, terutama pembimbing. Oleh karena itu, pada kesempatan ini disampaikan rasa
terimakasih yang setulus-tulusnya kepada:
1. Bapak Dr. Hartono, M. Si selaku Dekan FMIPA beserta seluruh staf atas
fasilitas dan bantuannya sehingga administrasi tugas akhir berjalan lancar.
2. Bapak Dr. Slamet Suyanto, selaku Wakil Dekan I yang telah membantu dalam
penetapan SK Pembimbing dan Penguji Tugas Akhir Skripsi.
3. Bapak Dr. Paidi, M.Si selaku Ketua Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA yang
telah memberikan izin penelitian ini.
4. Ibu Dr. Ir Suhartini M.S dan Ibu Ratnawati, Dra., M.Sc, selaku Dosen
Pembimbing yang telah sabar dalam membimbing, menasehati dan
memberikan saran dan semangat sehingga skripsi ini dapat selesai.
5. Mas Sulistyono selaku kakak yang telah bersedia meluangkan waktu dan
sabar memberikan saran, masukan, nasihat, dan pengalaman sehingga skripsi
6. Mas Cuin, Mas Kompleh dan Nita selaku teman yang telah bersedia
meluangkan waktunya untuk bersusah payah mengambil data skripsi.
7. Bapak Tri, selaku petugas Taman Nasional Baluran yang telah membantu
dalam proses perijinan pengambilan data di Taman Nasional Baluran.
8. Pak Hendro, Mang Agus, Mas Heru, Mas Ferdi, Mas Teguh, Mas Didi, Mas
Azam, selaku pengelola Pantai Bama yang telah memberikan semangat, ilmu,
pengalaman serta keceriaan selama proses pengambilan data.
9. Pak Suwono, Mas Ryan, Mas Udin, Mas Agus, Mas Linggar, Mas Rudi, Pak
Anis, Mas Ledi dan Mba Fiko selaku warga Bekol yang telah memberikan
semangat, pengalaman dan kaceriaan selama proses pengambilan data.
10.Mas ojan, Arbi, Eni Sagita, Bondan dan Meta selaku teman yang telah
memberi semangat dan motivasi dalam proses pengerjaan skripsi.
11.Semua pihak yang telah membantu dan mendoakan proses pengerjaan skripsi
ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.
Sangat disadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, tetapi
penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat.
Yogyakarta, 12 Januari 2016
Penulis,
DAFTAR ISI
A. Latar Belakang Masalah ... 1
BAB II Kajian Pustaka ... 9
6. Mangrove Taman Nasional Baluran ... 28
B. Kerangka Berfikir ... 31
BAB III Metode ... 32
A. Jenis Penelitian ... 32
B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 32
C. Populasi dan Sampel ... 32
D. Alat dan Bahan ... 32
E. Langkah Pelelitian ... 33
F. Penyusunan Data ... 36
G. Analisi Data ... 36
BAB IV Hasil dan Pembahasan ... 42
A. Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 42
B. Struktur Vegetasi Mangrove ... 44
B.1 Pohon... 50
B.2 Tiang ... 55
B.4 Semai ... 59
C. Indeks Keanekaragaman (H’), Kemerataan (E) dan Kekayaan (R) ... 63
D. Pola Sebaran ... 65
E. Zonasi ... 68
1. Zonasi Stasiun 1 ... 69
2. Zonasi Stasiun 2 ... 77
BAB V... 87
A. Kesimpulan ... 87
B. Saran ... 87
DAFTAR PUSTAKA ... 89
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Bentuk-bentuk akar pada pohon mangrove………..10
Gambar 2. Buah Rhizophora apiculata dengan bagian-bagiannya. ... 11
Gambar 3. Zonasi Mangrove di Cilacap, Jawa Tengah ... 17
Gambar 4. Skematik potongan melintang hutan mangrove di Pulau Kimbe, Papua Nugini. ... 17
Gambar 5. Distribusi hutan mangrove di Indonesia ... 27
Gambar 6. Skema metode jalur berpetak. ... 33
Gambar 7. Batas pengukuran diameter pohon mangrove. ... 35
Gambar 8. Gambaran lokasi penelitan beserta titik koordinat pada setiap plot. ... 44
Gambar 9. Susunan zonasi mangrove transek 1,stasiun 1 dengan MHWL 0,37 m dan MLWL -0,39 m pada transek 1 stasiun 1. ... 69
Gambar 10. Susunan zonasi mangrove dengan MHWL 0,37 m dan MLWL -0,39 m pada transek 2 stasiun 1. ... 71
Gambar 11. Susunan zonasi mangrove dengan MHWL 0,37 m dan MLWL -0,39 m pada transek 3 stasiun 1. ... 74
Gambar 12. Susunan zonasi mangrove dengan MHWL 0,408 m dan MLWL -0,407 m di transek 1, stasiun 2. ... 77
Gambar 13. Susunan zonasi mangrove dengan MHWL 0,408 m dan MLWL -0,407 m di transek 2, stasiun 2. ... 78
Gambar 14. Susunan zonasi mangrove dengan MHWL 0,408 m dan MLWL -0,407 m di transek 3, stasiun 2. ... 80
Gambar 15. Susunan zonasi mangrove dengan MHWL 0,408 m dan MLWL -0,407 m di transek 4, stasiun 2. ... 82
DAFTAR TABEL
Halaman
Table 1. Daftar jenis pohon bakau yang dilaporkan di Indonesia (Mackinnon
dkk, 2000: 98) ... 26
Tabel 2. Susunan mangrove di stasiun 1 dan 2 ... 46
Table 3. Hasil perhitungan Keraptan (KR), Frekuensi (FR), Dominansi (DR)
dan Indeks Nilai Penting (INP) Kategori Pohon Stasiun 1. ... 51
Table 4. Hasil perhitungan Keraptan (KR), Frekuensi (FR), Dominansi (DR) dan Indeks Nilai Penting (INP) Kategori Pohon Stasiun 2…………...52
Table 5. Hasil perhitungan Keraptan (KR), Frekuensi (FR), Dominansi (DR)
dan Indeks Nilai Penting (INP) Kategori Tiang di Stasiun 1 ... 56
Table 6. Hasil perhitungan Keraptan (KR), Frekuensi (FR), Dominansi (DR)
dan Indeks Nilai Penting (INP) Kategori Tiang di Stasiun 2 ... 56
Table 7. Hasil perhitungan Keraptan (KR), Frekuensi (FR), Dominansi (DR)
dan Indeks Nilai Penting (INP) Kategori Pancang di stasiun 1. ... 57
Table 8. Hasil perhitungan Keraptan (KR), Frekuensi (FR), Dominansi (DR)
dan Indeks Nilai Penting Kategori Pancang di stasiun 2. ... 58
Table 9. Hasil perhitungan Keraptan (KR) dan Frekuensi (FR) Kategori Semai Stasiun 1. ... 59
Table 10. Hasil perhitungan Keraptan (KR) dan Frekuensi (FR) Kategori
Semai Stasiun 2. ... 60
Table 11. Hasil perhitungan Indeks keanekaragaman (H’), Kemerataan (E) dan Kekayaan (R) di stasiun 1 dan 2. ... 64
Table 12. Hasil perhitungan Indeks Sebaran Morisita dan pola sebaran
Mangrove Kategori Pohon, Tiang, Pancang dan Semai di stasiun 1 dan 2... 66
Table 14. Tabel data edafik, kode spesies dan nama spesies, transek 2, stasiun 1 .... 73
Table 15. Tabel data edafik, kode spesies dan nama spesies, transek 3, stasiun 1 .... 75
Table 16. Tabel data edafik, kode spesies dan nama spesies, transek 1, stasiun 2 .... 77
Table 17. Tabel data edafik, kode spesies dan nama spesies, transek 2, stasiun 2 .... 79
Table 18. Tabel data edafik kode spesies dan nama spesies, transek 3, stasiun 2 ... 81
Table 19. Tabel data edafik, kode spesies dan nama spesies, transek 4, stasiun 2 .... 83
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Gambar Jenis Mangrove ... 92
Lampiran 2. Sampel Substrat ... 114
Lampiran 3: Dokumentasi Pengambilan Data ... 116
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Kata “mangrove” dipakai sebagai pengganti istilah kata bakau untuk
menghindari salah pengertian dengan hutan yang melulu terdiri atas
Rhizophora spp., (Soeroyo.1992: 1). Seager, dkk (1983 dalam Noor, dkk.
2016: 1.) menyebutkan bahwa jenis pohon atau belukar yang tumbuh di antara
batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove.
Hutan mangrove ditemukan di sepanjang pantai berlumpur yang
terlindung dari hempasan angin dan arus laut. Mangrove dapat tumbuh di
lumpur, pantai berbatu atau pantai berkarang (Kotimura, dkk. 1997: 97),
terdiri atas jenis-jenis pohon Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera,
Ceriops, Lumnitzera, Excoecaria, Xylocarpus, Aegiceras, Scyphyphora dan
Nypa (Noor, dkk. 1999: 1).
Hutan mangrove terbesar di Asia Tenggara ditemukan di Indonesia
(60% dari total luas hutan mangrove di Asia Tenggara), Malaysia (11,7%),
Myanmar (8,8%), Papua Nugini (8,7%), dan Thailand (5,0%) (Giesen dkk.
2006: 2). Di tahun 1996, hutan mangrove mengalami penurunan, tersisa
3.533.600 ha, dengan 15 famili, 18 genus, dan 41 spesies dari mangrove
sejati dan 116 mangrove asosiasi (Kotimura, dkk. 1997: 98).
RRL (1999) mengatakan luas hutan mangrove Indonesia tinggal 9,2
Lebih dari setengah hutan mangrove yang ada (57,6%) ternyata dalam
kondisi rusak parah dan di antaranya 1,6 juta ha dalam kawasan hutan dan
3,7 juta ha di luar kawasan hutan. Kecepatan kerusakan mangrove mencapai
530.000 ha/th (Chairil Anwar dan Hendra Guanawan. 2007: 24).
Hutan mangrove di Pulau Jawa, pada tahun 1985 seluas 170.500 ha,
namun pada tahun 1997 tinggal 19.077 ha (11,19%). Penyusutan terbesar
terjadi di Jawa Timur, dari luasan 57.500 ha tinggal 500 ha (8%), di Jawa
Barat dari 66.500 ha tinggal kurang dari 5.000 ha (7,5%), dan di Jawa Tengah
dari 46.500 ha tinggal 13.577 ha (29%). Sementara luas tambak di Pulau Jawa
adalah 128.740 ha yang tersebar di Jawa Barat (50.330 ha), Jawa Tengah
(30.497 ha), dan Jawa Timur (47.913 ha). Apabila pengadaan lahan
tambak dengan mengubah hutan mangrove terus dilakukan, maka
kemungkinan besar akan sangat sulit menemukan hutan mangrove di Jawa
(Giesen, 1993; Republika, 23/7/2002).
Taman Nasional Baluran merupakan salah satu kawasan konservasi di
Pulau Jawa yang secara administrasi pemerintahan masuk dalam wilayah
Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo. Taman Nasional Baluran
secara geografis terletak pada 7°29′10” -55” LS dan 114°39′10” BT
dengan luas ± 25.000 Ha. Di dalam kawasan konservasi ini terdapat 444
jenis flora yang tergolong dalam 87 familia. Jenis - jenis tersebut terdiri dari
merupakan tumbuhan yang hidup pada ekosistem mangrove (Arif Pratiwi.
2005: 69). Hutan mangrove sebagai salah satu pembentuk ekosistem di
kawasan Taman Nasional Baluran mempunyai beberapa manfaat di
antaranya, yaitu sebagai sistem penyangga kehidupan, pengawetan
keanekaragaman jenis flora dan fauna, wahana pengembangan ilmu
pengetahuan dan pendidikan, serta berpotensi dikembangkan sebagai objek
wisata selain itu sistem perakaran mangrove yang rapat mampu menahan dan
mengikat sedimen (lumpur) sehingga tidak memcemari ekosistem terumbu
karang.
Berdasarkan penelitian Sudarmadji (2009: 16-17), luas keseluruhan
hutan mangrove di Taman Nasional Baluran adalah 416,093 ha. Hutan
mangrove tersebut mengalami ancaman di antaranya adalah pencurian kayu
jenis R. apiculata oleh masyarakat, pencurian kayu ini berada di blok Pantai
Popongan, sementara di blok Perengan terjadi pencurian akar Sonneratia
moluccensis. Pencurian belum merambah ke blok lainnya namun
dimungkinkan pencurian akan menyebar di seluruh blok Taman Nasional
Baluran. Ancaman lain adalah pengambilan nener, walaupun sebenarnya tidak
merusak vegetasi mangrove secara langsung, akan tetapi pembongkaran batu
yang berserakan di tepi pantai dan kemudian disusun sebagai batas petak
pengambilan nener telah menghilangkan kesempatan terjadinya endapan
lumpur atau pasir yang dapat ditahan oleh batu-batu tersebut, sehingga
Selain permasalahan di atas, sampah juga menjadi ancaman yang
serius. Sampah yang hanyut dan tidak dapat terurai akan menghambat
perkembangan vegetasi mangrove. Sampah yang berada di permukaan tanah
membuat semaian yang jatuh tidak dapat menancap. Semaian yang sudah
hidup juga berkemungkinan tertimbun sampah, yang mengakibatkan
kematian (Arif Pratiwi. 2005: 4). Sampah tersebut ditemukan pada beberapa
lokasi di hutan Mangrove Pantai Bama hingga Dermaga Lama.
Pantai Bama merupakan salah satu tujuan utama wisatawan yang
berkunjung ke Taman Nasional Baluran. Pantai ini adalah pantai landai dan
berpasir putih serta mempunyai formasi terumbu karang. Dasar Pantai Bama
memiliki empat jenis substrat, yaitu pasir, lumpur, lamun dan terumbu karang.
Perairan Pantai Bama merupakan daerah pantai yang tidak terdapat muara
sungai (Prima Tegar. 2014: 5). Berdasarkan penelitian yang dilakukan
Sudarmadji dan Sulistyawati (1994: 137), Pantai Bama memiliki jenis
tumbuhan mangrove seperti R. stylosa, R. apiculata, B. gymnorrhiza dan S.
alba.
Keanekaragaman spesies dapat digunakan untuk mengukur stabilitas
komunitas. Keanekaragaman spesies yang tinggi menunjukkan bahwa
komunitas tersebut memiliki kompleksitas tinggi karena interaksi spesies yang
terjadi dalam komunitas itu sangat tinggi. Suatu komunitas dikatakan
oleh banyak spesies dengan jumlah individu yang relatif sama atau merata,
begitupun sebaliknya (Indrianto. 2016: 146).
Penelitian mengenai keanekaragaman dan struktur vegetasi telah
banyak dilakukan namun selalu terjadi perubahan keanekaragaman jenis dan
struktur vegetasinya, ini dapat terjadi karena aktivitas manusia. Seperti halnya
di Taman Nasional Baluran khususnya blok Bama, yang merupakan tujuan
utama wisatawan saat berkunjung, oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian
keanekaragaman jenis dan struktur vegetasi mangrove karena hasil penelitian
tersebut dapat digunakan untuk memprediksi kemungkinan perubahan
lingkungan pada masa yang akan datang serta sebagai pertimbangan
pengelolaan jangka panjang.
B. Identifikasi Masalah
Berikut beberapa permasalahan yang ada di Taman Nasional Baluran:
1. Belum ada inventarisasi ulang mengenai keanekaragaman jenis tumbuhan
mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional
Baluran, Jawa Timur.
2. Belum diketahui pola sebaran jenis tumbuhan mangrove di Pantai Bama
hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran Jawa Timur.
3. Belum diketahui zonasi tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga
4. Belum diketahui dampak aktivitas manusia terhadap keanekaragaman
mangrove, di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional
Baluran Jawa Timur.
5. Belum dibuat atlas mangrove di Taman Nasional Baluran Jawa Timur.
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah maka penelitian ini dibatasi pada
identifikasi, keanekaragaman dan pola sebaran jenis tumbuhan mangrove,
serta zonasi tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama,
Taman Nasional Baluran, Jawa Timur.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah di atas, maka masalah
penelitian yang dapat dirumuskan yaitu:
1. Bagaimana keanekaragaman jenis tumbuhan mangrove di Pantai Bama
hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran Jawa Timur?
2. Bagaimana pola sebaran jenis tumbuhan mangrove di Pantai Bama
hingga Dermaga Lama, Taman Nasional Baluran Jawa Timur?
3. Bagaimana zonasi tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga
Lama, Taman Nasional Baluran Jawa Timur?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Keanekaragaman jenis tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga
2. Pola sebaran jenis tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga
Lama, Taman Nasional Baluran Jawa Timur.
3. Zonasi tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama,
Taman Nasional Baluran Jawa Timur.
F. Manfaat Penelitian
Adanya penelitian ini dapat memberikan informasi keanekaragaman
jenis tumbuhan mangrove, pola sebaran jenis tumbuhan mangrove dan zonasi
tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman Nasional
Baluran, Jawa Timur. Bagi Pengelola Taman Nasional Baluran data tersebut
dapat dijadikan sebagai bahan masukan, pertimbangan dan pengambilan
kebijakan dalam pengelolaan kawasan wisata mangrove.
G. Batasan Operasional
1. Mangrove
Mangrove merupakan jenis pohon atau belukar yang terdapat di
sepanjang garis pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang
surut air laut (Hanley, dkk. 2014: 7)
2. Keanekaragaman
Keanekaragaman merupakan parameter ekologi yang digunakan
3. Zonasi
Zonasi merupakan pembagian atau pemecahan suatu areal menjadi
beberapa bagian, sesuai dengan kemampuan adaptasi tumbuhan tersebut.
(Soeroyo. 1992: 5).
4. Pola Sebaran
Pola sebaran adalah gambaran penyebaran tumbuhan di ruang
horizontal, yang menuruti tiga pola yaitu acak, seragam, bergerombol atau
mengelompok (Odum. 1993: 255).
5. Taman Nasional Baluran
Taman Nasional Baluran merupakan salah satu kawasan konservasi
di Pulau Jawa. Secara geografis terletak pada 7°29′10” -55” LS dan
114°39′10” BT dengan luas ± 25.000 Ha. Di dalam kawasan konservasi
tersebut terdapat 444 jenis flora yang tergolong dalam 87 familia. Jenis -
jenis tersebut terdiri dari 24 jenis tumbuhan eksotik, 265 jenis tumbuhan
penghasil obat dan 37 jenis merupakan tumbuhan yang hidup pada
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori
1. Mangrove
Kitamura, dkk (1997: 97) menyatakan bahwa mangrove adalah
tumbuhan di daerah tropik berada di zona pasang surut. Jenis pohon atau
belukar yang tumbuh di antara batas atas pasang surut air disebut
tumbuhan mangrove (Hanley, dkk 2014: 7)
Hutan mangrove merupakan hutan yang ditemukan di sepanjang
garis pantai atau muara sungai yang dipengaruhi pasang surut. Hutan atau
ekosistem mangrove tumbuh di pantai terlindung atau pantai datar.
Biasanya jika tidak ada muara sungai hutan mangrove akan cenderung
lebih tipis. Tempat tumbuh yang ideal bagi mangrove adalah area dengan
muara sungai yang besar, delta dan aliran air yang kaya akan lumpur dan
pasir (Ministry of Forestry Republic of Indonesia: 2). Terdapat total 268
spesies mangrove yang tercatat di hutan mangrove Asia Tenggara,
termasuk di dalamnya 129 jenis pohon, 50 jenis herba (termasuk 27 jenis
rumput-rumputan), 28 jenis tumbuhan pemanjat, 28 jenis tumbuhan epifit,
24 jenis paku-pakuan, tujuh jenis palem, satu pandan dan satu jenis cycad
(Giesen,dkk. 2006: 5).
Daerah yang menjadi tempat tumbuh mangrove adalah daerah
mengembangkan sistem perakaran khusus yang dikenal sebagai akar
udara (Kitamura, dkk. 1997: 99). Gill dan Tomlinson (dalam 1975
Kitamura, dkk. 1997: 4) menyatakan bahwa akar udara adalah akar yang
terkena udara secara langsung, selama beberapa waktu dalam sehari atau
bahkan sepanjang hari.
Struktur perakaran mangrove dibagi menjadi enam kategori,
meliputi akar tunjang, akar nafas, akar lutut, akar papan, banir dan tanpa
akar udara. Banir sebenarnya tidak termasuk dalam akar udara namun
biasanya ditemukan bersamaan dengan akar udara lainnya dan merupakan
karakteristik yang penting untuk jenis- jenis mangrove. Beberapa jenis
mangrove dapat memiliki beberapa akar udara secara bersamaan
(Kitamura, dkk. 1997: 4).
Gambar 1. Bentuk-bentuk akar pada pohon mangrove (Noor, dkk. 2006: 213)
Semua spesies mangrove menghasilkan buah yang penyebarannya
diperantarai air. Buah yang dihasilkan oleh tumbuhan mangrove memiliki
bentuk bola, silindris, kacang dan sebagainya. Rhizophoraceace
(serupa tongkat) yang dikenal dengan tipe vivipari (Kitamura, dkk. 1997:
99). Vivipar merupakan biji yang berkecambah dalam buah (Noor, dkk.
2006: 217) dan hipokotilnya telah mencuat ke luar pada saat buah masih
menempel di pohon induknya (Kitamura, dkk. 1997: 99).
Avicennia (buah berbentuk seperti kacang), Aegiceras (bentuk
buah silindris) dan Nypa merupakan buah dengan tipe kriptovivipari, di
mana biji telah berkecambah tetapi biji terlindung oleh kulit buah atau
perikarp sebelum lepas dari pohon induk. Sonneratia dan Xylocarpus
memiliki buah dengan bentuk bola (Kitamura, dkk. 1997: 99).
Gambar 2. Buah Rhizophora apiculata dengan bagian-bagiannya, (Noor, dkk. 2006: 218).
Beberapa spesies mangrove dapat menyesuaikan diri terhadap
kadar garam tinggi, di antaranya dengan membentuk kelenjar garam yang
berfungsi untuk membuang kelebihan garam. Tomlinson (1986),
Avicennia, Aegiceras, Acanthus dan Aegilitis mengatur keseimbangan
garam sering ditemukan pada permukaan daun sehingga terkadang pada
permukaan daun terlihat kristal-kristal garam. Spesies lain seperti
Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Sonneratia dan Lumnitzera mengatur
keseimbangan garam dengan cara menggugurkan daun tua yang berisi
akumulasi garam (Kitamura, dkk. 1997: 99).
2. Habitat Mangrove
Mangrove tumbuh subur pada tempat dengan endapan lumpur
yang melimpah serta aliran air tawar yang cukup. Air payau bukan
merupakan hal yang wajib untuk pertumbuhan mangrove namun
mangrove sangat baik tumbuh di lingkungan tersebut. Mangrove juga
dapat tumbuh di pantai berpasir, pantai berbatu atau pantai berkarang dan
pulau-pulau kecil (Kitimura, dkk. 1997: 97). Pantai mangrove
berkembang dengan baik apabila aliran sungai membawa lumpur dan pasir
ke dasar laut yang kemudian bercampur kembali dan terangkut oleh
ombak, pasang dan aliran. Pantai mangrove yang ideal terjadi di mana
banyak saluran-saluran sungai yang berliku-liku membentuk suatu
jaringan kerja, jalannya air tenang membatasi daerah pasang surut
(Soeroyo. 1992: 2).
a. Salinitas
Kondisi salinitas sangat mempengaruhi komposisi mangrove.
berbeda-beda (Noor. 1999: 5). Beberapa di antaranya tidak tumbuh
pada perairan yang terlalu asin dan beberapa ditemukan hanya pada
zona payau (Giesen, dkk. 2007: 13). Beberapa di antaranya pula,
secara selektif mampu menghindari penyerapan garam dari media
tumbuhnya, sementara beberapa jenis yang lain mampu
mengeluarkan garam dari kelenjar khusus pada daun (Noor. 1999: 5).
Beberapa spesies mempunyai rentang toleransi yang sangat
tinggi, misalnya Sonneratia yang ditemukan pada air laut murni atau
di sepanjang sungai dengan salinitas yang hampir tawar (yaitu<0,1%
air laut). Spesies lain bahkan tumbuh subur di kolam air tawar di
Kebun Raya Bogor di Jawa (Giesen, dkk. 2007: 14). Pada lokasi
yang garis pantainya tidak terkikis dapat ditemukan Sonneratia alba
dan Avicennia alba, di sepanjang perairan dengan salinitas rendah
(misalnya di muara sungai) dapat ditemukan pula Nypa fruticans,
Cerbera odollam dan Sonneratia .
Avicennia mampu tumbuh dengan baik pada salinitas yang
mendekati tawar sampai dengan 90% (MacNae. 1966; 1968), pada
salinitas ekstrim pohon akan tumbuh kerdil dan kemampuan
menghasilkan buah hilang. Jenis-jenis Sonneratia ditemui hidup pada
daerah dengan salinitas mendekati salinitas air laut, kecuali S.
caseolaris yang tumbuh pada salinitas kurang dari 10%. Beberapa juga
(20-40%), R. mucronata dan R. stylosa (55%), Ceriops tagal (60%)
dan bahkan Lumnitzera racemosa dapat tumbuh pada salinitas 90%
(Camp. 1976a; Yuslia Noor. 1999: 5). Jenis-jenis Bruguiera dapat
tumbuh pada salinitas di bawah 25%, Mac Nae (1966; 1968 dalam
Noor. 1999: 5) menyebutkan bahwa kadar salinitas optimum untuk B.
parviflora adalah 20% sementara B. gymnorrhiza adalah 10-25%
(Giesen, dkk. 2007: 14).
b. Substrat
Sebagian besar spesies mangrove tumbuh baik di tanah
berlumpur, yaitu pada daerah di mana lumpur terakumulasi, baik untuk
perkembangan Rhizophora mucronata dan Avicennia marina. Hutan
yang didominasi oleh Bruguiera sering bersubstrat tanah lumpur
dalam. Spesies tertentu seperti R. stylosa tumbuh baik pada substrat
pasir dan bahkan dapat tumbuh di pulau-pulau karang dengan substrat
pecahan karang dan kerang. Kint (1934) melaporkan di Indonesia R.
stylosa dan S. alba biasa tumbuh pada substrat berpasir dan bahkan
pantai berbatu (Giesen, dkk. 2007: 15).
Kint (1934 dalam Noor. 1999: 5), menyatakan bahwa di
Indonesia substrat berlumpur sangat baik untuk tegakan R. mucronata
daerah pantai bergambut misalnya di Florida, Amerika Serikat (Noor.
1999: 5).
c. Pasang Surut
Zona vegetasi mangrove jelas berhubungan dengan pasang
surut dan berhubungan pula dengan frekuensi genangan (Giesen, dkk.
2007: 16). Durasi pasang surut berakibat pada perubahan salinitas di
suatu area. Salinitas akan tinggi jika air pasang begitupun sebaliknya.
Perubahan salinitas karena pasang surut ini juga menjadi faktor yang
membatasi penyebaran mangrove, kususnya di runag horizontal.
Pasang surut juga menyebabkan perubahan antara air dan payau dan
berdampak pada distribusi vertikal tumbuhan mangrove (Aksornkoae.
1993: 36).
Di Indonesia, area yang selalu digenangi walaupun pada saat
pasang rendah umumnya didominasi oleh A. alba dan S. alba. Area
yang digenangi oleh pasang sedang didominasi oleh jenis-jenis
Rhizophora. Adapun areal yang digenangi hanya pada saat pasang
tinggi, yang mana area tersebut lebih ke daratan, umumnya didominasi
oleh jenis-jenis Bruguiera dan X. granatum, sedangkan area yang
digenangi hanya pada pasang tertinggi (hanya beberapa hari dalam
sebulan) umumnya didominasi oleh Bruguiera sexangula dan
3. Zonasi Mangrove
Hutan mangrove biasanya membentuk zonasi, dan jika dilihat dari
udara atau menara pengamat kumpulan tanaman yang berbeda jenis akan
mudah dibedakan. Penyebab adanya zonasi ini berkaitan dengan salinitas,
ketinggian dan keterbukaan terhadap gelombang (genangan). Umumnya
adanya pola zonasi tersebut ditentukan oleh kombinasi ketiga faktor
tersebut tetapi faktor yang dominan adalah genangan pasang surut
(Giesen, dkk. 2006: 16).
Vegetasi mangrove secara khas memperlihatkan adanya pola
zonasi. Beberapa ahli menyatakan bahwa hal tersebut berkaitan dengan
tipe tanah (lumpur, pasir atau gambut), keterbukaan (terhadap hempasan
gelombang), salinitas serta pengaruh pasang surut. Sebagian besar
jenis-jenis mangrove tumbuh dengan baik pada tanah berlumpur terutama di
daerah dengan akumulasi endapan lumpur (Chapman 1977; Noor. 1999:
Gambar 3. Zonasi Mangrove di Cilacap, Jawa Tengah (Adaptasi White et al. 1989; Giessen, dkk. 2006: 12)
Gambar 4. Skematik potongan melintang hutan mangrove di Pulau Kimbe, Papua Nugini.
Ae. -Aegiceras corniculatum A.c. Acanthus ilicifolius
A.S.- Acrostichum speciosum B.g.- Bruguiera gymnorrhiza
B.p.- Bruguiera parviflora B.s.- Bruguiera sexangula
F.s.- Ficus sp (bukan spesies mangrove) H.i Heritiera littoralis
M.h.- Myristica hollrungii P.s.- Pandanuscf. Furcatus
P.p.- Pongamia pinnata R.a- Rapiculata
R.m.- Rhizophora mucronata X.g.- Xylocarpus granatum
MHWL- Mean High Water Level; MLWL- Mean Low Water Level (Giessen, dkk. 2006: 12-13).
Champman (1975), menyimpulkan bahwa terdapat beberapa
substrat, salinitas, drainase, pasang surut, kelembapan substrat serta
frekuensi penggenangan (Aksornkoae. 1993: 55). Sukardjo (1993) ada
lima faktor utama yang mempengaruhi zonasi mangrove di kawasan
pantai tertentu, yaitu: (1) gelombang, yang menentukan frekuensi
genangan; (2) salinitas, yang berkaitan dengan hubungan osmosis
mangrove; (3) substrat; (4) pengaruh darat, seperti aliran air masuk dan
rembasan air tawar; (5) keterbukaan terhadap gelombang, yang
menentukan jumlah substrat yang dapat dimanfaatkan (Ghufran H Kordi.
2012: 14).
Frekuensi genangan merupakan alasan utama dalam pembagian
zonasi mangrove. Berdasarkan penggenangan pasang surut, Watson
(1928) mengklasifikasikan distribusi mangrove dalam kelas:
Zona 1:
Area ini digenangi pada pasang tertinggi atau selalu tergenang,
biasanya tidak ditumbuhi tumbuhan kecuali R. mucronata.
Zona 2:
Area ini di genangi pada pasang sedang, A. alba, A. marina, S.
alba, ditemukan pada daerah ini sedangkan R. mucronata ada di
sepanjang tepi muara.
Komposisi dari berbagai tumbuhan ini bergantung pada substrat,
seperti S. alba yang cenderung mendominasi pada pasir atau karang,
Barat, Indonesia), sedangkan menurut Steenis (1958) A. marina dan R.
mucronata cenderung mendominasi di pantai berlumpur.
Menurut Menteri Negara Lingkungan Hidup (1993), Sonneratia
akan berasosiasi dengan Avicennia jika substrat berlumpur dan kaya
akan bahan organik. Di pantai berlumpur di pantai utara Jawa Barat,
zona ini terutama terdiri dari A. marina dan A. Alba (Giessen, dkk.
2006: 17).
Zona 3:
Area ini digenangi pada pasang normal. Mangrove tumbuh dengan
sumbur pada zona ini, khususnya Rhizophora, C. tagal, X.granatum,
dan B. parviflora.
Zona 4:
Zona ini digenangi pada saat-saat tertentu. Lokasi ini terlalu kering
untuk Rhizhophora, tetapi baik untuk Brguiera, Xylocarpus dan
Exoecaria.
Zona 5:
Area ini akan digenangi pada pasang luar biasa, atau dengan kata
lain daerah ini jarang sekali terkena pasang. Kebanyakan tumbuhan
pada area yaitu B. gymnorrhiza, Instia bijuca, Heritiera littoralis,
Excoecaria agallocha, dan Nypa fruticants.
Meskipun kelihatannya terdapat zonasi dalam vegetasi mangrove,
serta zona vegetasi yang tumpang tindih dan bercampur serta seringkali
struktur dan korelasi yang nampak di suatu daerah tidak selalu dapat
diaplikasikan di daerah yang lain (Noor, dkk. 2006: 9).
Zona sering diinterpretasikan sebagai tingkat perbedaan dalam
suksesi (perubahan secara progresif dalam komposisi jenis selama
perkembangan vegetasi). Hal ini diterangkan sebagai suatu kemajuan
yang lambat, karena pionir mangrove didesak oleh sabuk yang luas atau
zona dari jenis yang kurang toleran terhadap garam sehingga mangrove
secara keseluruhan meluas ke arah laut. Suksesi dan perkembangan ke
arah laut merupakan keadaan yang lengkap walaupun telah lama diteliti
bahwa dalam pantai yang stabil dalam pengalaman tidak ada erosi
maupun akresi dari sedimen (Soeroyo 1992: 6).
Zonasi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor (Lear dan Turner.
1997 dalam Soeroyo. 1992: 7), di antaranya adalah:
a. Fisiografi atau bentuk permukaan, hal ini dapat berupa kemiringan
permukaan, yang menentukan lama dan perluasan dari genangan
pasang surut. Faktor fisiografi ini bisa mempengaruhi zonasi karena
dapat berpengaruh dalam hal salinitas, aliran air dan aerasi tanah.
b. Kisaran pasang surut.
c. Iklim, ini mempengaruhi presipitasi, evaporasi dan temperatur yang
Sebagai contoh zonasi di daerah timur laut Australia yang
mempunyai iklim lebih cocok untuk pertumbuhan mangrove. Di sini
mempunyai zonasi yang lebih banyak dan komplek. Berikut adalah zonasi
yang didasarkan pada dominasi spesies:
a. Landward zone (Zona ke arah darat)
Zona ini sering didapatkan sebagai zona yang sempit sebab
bercampur dengan hutan hujan yang lebih rendah atau berdekatan
dengan hutan hujan sehingga tanahnya ditumbuhi rerumputan.
Kebanyakan jenis mangrove yang ditemukan pada zona ini adalah
Excoecaria agallocha, Lumnitzera Iittorea, L. racemosa, C. tagal,
C. decandra, Aegialitis annulata, Aegiceras corniculatum,
Heritiera littoralis dan juga Avicennia marilla.
b. Zona Ceriops
Zona ini hampir seragam, dengan ketinggian sampai 5 m yang
didominasi oleh Ceriops. Jenis ini merupakan zona yang paling lebar
di daerah yang bercurah hujan sedang.
c. Zona Bruguiera
Zona ini merupakan puncak kesuburan, terlihat pada daerah
Australia Timur laut sebagai hutan yang tertutup yang tingginya lebih
berasosiasi dengan Xylocarpus australasius, X. granatum dan
Heritiera littoralis. Salinitas lebih tinggi dan tanahnya lebih stabil.
d. Zona Rhizophora
Zona ini sering terdiri dari Rhizophora stylosa, terletak di
belakang seaward. Memiliki substrat yang agak lunak.
e. Zona Seaward
Zona ini merupakan pionir, umumnya didominasi oleh A.
marina. Selain jenis tersebut, Sonneratia juga merupakan pionir
dalam zona seaward ini, di mana salinitas tertinggi sangat
mempengaruhi pertumbuhannya (Lear dan Turner. 1997. 13-15).
4. Peran Mangrove
a. Peran Ekologis Mangrove
Davis and Claridge (1993) dan Othman (1994) mengemukakan
bahwa mangrove berkemampuan untuk mengembangkan wilayah ke
arah laut, hal tersebut merupakan salah satu peran penting mangrove
dalam pembentukan lahan baru. Akar mangrove mampu mengikat dan
menstabilkan substrat lumpur, pohonnya mengurangi energi
gelombang dan memperlambat arus, sementara vegetasi secara
keseluruhan dapat memerangkap sedimen (Noor. 2006: 21). Selain itu,
vegetasi mangrove juga berperan dalam mempertahankan lahan yang
pulau-pulau di daerah delta yang berlumpur halus ditumbuhi mangrove,
peranan mangrove sangat besar untuk mempertahankan pulau tersebut.
Sebaliknya, pada pulau yang hilang mangrovenya, pulau tersebut
mudah disapu oleh ombak dan arus musiman (Chambers. 1980 dalam
Noor. 2006: 21). Data lain menunjukkan adanya kecenderungan terjadi
pengendapan tanah setebal 6 sampai 15 mm/ha/th atas kehadiran
mangrove (Chairil Anwar dan Hendra Gunawan. 2007: 26).
Pada ekosistem mangrove komponen dasar rantai makanan
adalah seresah (daun, ranting, buah, batang dan sebagainya) yang jatuh
dan didekomposisi oleh mikroorganisme (bakteri dan jamur) menjadi
zat hara/ nutrien terlarut yang dapat dimanfaatkan langsung oleh
fitoplankton, alga maupun tumbuhan mangrove itu sendiri dalam
proses fotosintesis. Sebagain lagi dimanfaatkan oleh udang, kepiting
sebagai makanan (Ghufran H Kordi. 2012: 63).
Melalui sistem ekologi yang terjadi, maka ekosistem hutan
mangrove berperan penting sebagai penyedia sumber energi dan
daerah nursery bagi perikanan. Manfaat mangrove terhadap perikanan
adalah manfaat tidak langsung, yaitu suplai makanan bagi komunitas
laut melalui rantai makanan detritifus (detritifus food chain) yang
dimulai dari luruhan seresah daun mangrove. Ekspor detritifus dari
hutan mangrove merupakan sumber nutrien dan energi bagi ekosistem
sebagai habitat bagi berbagai organisme laut yang mempunyai nilai
ekonomis (missal: udang, kepiting dan ikan) (Harahab. 2010: 60).
Mangrove juga mampu menekan laju intrusi air laut ke arah
daratan. Hasil penelitian Sukresno dan Anwar (1999) terhadap air
sumur pada berbagai jarak dari pantai menggambarkan bahwa kondisi
air pada jarak 1 km untuk wilayah Pemalang dan Jepara dengan
kondisi mangrove yang relatif baik, masih tergolong baik, sementara
pada wilayah Semarang dan Pekalongan, Jawa Tengah sudah terintrusi
pada jarak 1 km (Chairil Anwar dan Hendra Gunawan. 2007: 27).
Rusminarto et al. (1984) dalam pengamatannya di areal hutan
mangrove di Tanjung Karawang menjumpai sembilan jenis nyamuk
yang berada di areal tersebut. Di laporkan bahwa nyamuk Anopheles
sp, nyamuk jenis vektor penyakit malaria, ternyata makin meningkat
populasinya seiring dengan makin terbukanya pertambakan dalam
areal mangrove, hal Ini mengindikasikan kemungkinan meningkatnya
penularan malaria dengan makin terbukanya areal- areal pertambakan
(Chairil Anwar dan Hendra Gunawan. 2007: 27).
b. Peran Sosial Ekonomis Mangrove
Peran sosial ekonomi hutan mangrove di antaranya:
1. Penghasil keperluan rumah tangga (kayu bakar, arang,
2. Penghasil keperluan industri (bahan baku kertas, tekstil,
kosmetik, penyamak kulit, pewarna),
3. Penghasil bibit ikan, nener udang, kepiting, kerang, madu, dan
telur burung,
4. Pariwisata, penelitian, dan pendidikan (Erna Rochana: 2012. 5)
Selain itu, hutan mangrove yang telah dikembangkan menjadi
objek wisata alam antara lain di Sinjai (Sulawesi Selatan), Muara
Angke (DKI), Suwung, Denpasar (Bali), Blanakan dan Cikeong (Jawa
Barat) serta Cilacap (Jawa Tengah).
Hutan mangrove memberikan objek wisata yang berbeda dengan
objek wisata alam lainnya. Karakteristik hutannya yang berada
diperalihan antara darat dan laut memiliki keunikan dalam beberapa
hal. Para wisatawan juga memperolah pelajaran langsung dari alam.
Kegiatan wisata ini disamping memberikan pendapatan langsung bagi
pengelola melalui penjualan tiket masuk dan parkir juga mampu
menumbuhkan perekonomian masyarakat di sekitarnya dengan
menyediakan lapangan kerja, kesempatan berusaha, seperti membuka
warung makan, menyewakan perahu dan menjadi pemandu wisata.
5. Mangrove Indonesia
Berdasarkan data tahun 1984, Indonesia memiliki mangrove
interpretasi citra landsat (1992) luasnya tersisa 3,812 juta ha (Ditjen
INTAG dalam Martodiwirjo, 1994 ;Chairil Anwar dan Hendra
Guanawan. 2007: 24). RRL (1999), laus hutan mangrove Indonesia
tinggal 9,2 juta ha (3,7 juta ha dalam kawasan hutan dan 5,5 juta ha di
luar kawasan), namun demikian lebih dari setengah hutan mangrove
yang ada (57,6%) ternyata dalam kondisi rusak parah dan di antaranya
1,6 juta ha dalam kawasan hutan dan 3,7 juta ha di luar kawasan hutan.
Kecepatan kerusakan mangrove mencapai 530.000 ha/th (Chairil Anwar
dan Hendra Guanawan. 2007: 24).
B. parviflora x x x x x
Keterangan: 1. Sarawak, 2. Kalimantan, 3. Sumatera, 4. Sulawesi, 5. Maluku, Nusa Tenggara, 6. Pulau Irian
Gambar 5. Distribusi hutan mangrove di Indonesia
Sumber: FAO 1985; Ahmad Dwi Setyawan dkk. 2003: 135.
Hutan mangrove di pulau Jawa, pada tahun 1985 seluas 170.500
terbesar terjadi di Jawa Timur, dari luasan 57.500 ha tinggal 500 ha
(8%), di Jawa Barat dari 66.500 ha tinggal kurang dari 5.000 ha (7,5%),
dan di Jawa Tengah dari 46.500 ha tinggal 13.577 ha (29%). Sementara
luas tambak di pulau Jawa adalah 128.740 ha yang tersebar di Jawa Barat
(50.330 ha), Jawa Tengah (30.497 ha), dan Jawa Timur (47.913 ha).
Apabila ekstensifikasi tambak dengan mengubah hutan mangrove terus
dilakukan, maka kemungkinan besar akan sangat sulit menemukan hutan
mangrove di Jawa (Giesen, 1993; Republika, 23/7/2002).
6. Mangrove Taman Nasional Baluran
Taman Nasional Baluran merupakan salah satu kawasan
konservasi di Pulau Jawa yang secara administrasi pemerintahan masuk
dalam wilayah Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo. Secara
geografis Taman Nasional Baluran terletak pada 7°29′10” - 7°55′55”
LS dan 114°39′10” BT dengan luas ± 25.000 Ha (Arif Pratiwi. 2005: 2)
Di dalam kawasan konservasi Taman Nasional Baluran terdapat
444 jenis flora yang tergolong dalam 87 famili, terdiri dari 24 jenis
tumbuhan eksotik, 265 jenis tumbuhan penghasil obat dan 37 jenis
merupakan tumbuhan yang hidup pada ekosistem mangrove. Hutan
mangrove sebagai salah satu pembentuk ekosistem di kawasan Taman
Nasional Baluran mempunyai beberapa manfaat di antaranya, yaitu
flora dan fauna, wahana pengembangan ilmu pengetahuan dan
pendidikan, serta berpotensi dikembangkan sebagai objek wisata selain
itu sistem perakaran mangrove yang rapat mampu menahan dan mengikat
sedimen (lumpur) sehingga tidak memcemari ekosistem terumbu karang
(Arif Pratiwi. 2005: 2)
Hutan mangrove di kawasan Tama Nasional Baluran mengalami
ancaman di antaranya adalah pencurian kayu jenis R. apiculata oleh
masyarakat yang digunakan untuk pembuatan gubuk pada musim ikan.
Pencurian kayu ini berada di blok Pantai Popongan sementara, di blok
Perengan terjadi pencurian akar S. moluccensis yang digunakan sebagai
tutup termos. Walaupun pencurian belum merambah ke blok lainnya
namun dimungkinkan pencurian akan menyebar di seluruh blok TN
Baluran. Ancaman lain adalah pengambilan nener, walaupun sebenarnya
tidak merusak vegetasi mangrove secara langsung, akan tetapi
pembongkaran batu yang berserakan di tepi pantai dan kemudian disusun
sebagai batas petak pengambilan nener telah menghilangkan kesempatan
terjadinya endapan lumpur atau pasir yang dapat ditahan oleh batu-batu
tersebut sehingga menghilangkan kesempatan perluasan hutan mangrove.
Selain itu sampah juga menjadi ancaman yang terpenting. Sampah
yang hanyut dan tidak dapat terurai akan menghambat perkembangan
jatuh akan tertahan oleh tumpukan sampah sehingga biji tidak dapat
tumbuh. Serta adanya sampah yang terhanyut juga menimbun seedling
yang baru tumbuh sehingga mengakibatkan kematian (Arif Pratiwi. 2005:
B. Kerangka Berfikir
Poda Sebaran,
Zonasi
Masukan, prtimbangan Pengelolaan, Pengawasan dan kebijakan Mangrove TN Baluran
Mangrove Pantai Bama –
Dermaga lama
Kerapatan, Frekuensi, Dominansi, Indeks
Nilai Penting,
Analisis dan Inventaris
Sampah Kiriman Sampah aktivitas wisata
Keanekaragaman, Kemerataan,
Kekayaan,
1. Propagul Mangrove tertimbun, tidak dapat
menancap dan menambat pada substrat.
BAB III
METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksploratif, dengan objek
penelitian tumbuhan mangrove di Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman
Nasional Baluran, Jawa Timur.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
Pengambilan data dilakukan di Pantai Bama hingga Dermaga Lama,
Taman Nasional Baluran, Jawa Timur dan dilakasanakan pada 28 September
– 22 Oktober 2016.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah jenis tumbuhan mangrove di
Pantai Bama hingga Dermaga Lama Taman Nasional Baluran Jawa
Timur.
2. Sampel
Sampel dalam penelitian berupa tumbuhan mangrove dan substrat
dari setiap plot pengamatan.
D. Alat dan Bahan
1. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah, binokuler, kompas,
panjang, tali rafia, gunting, pisau, klinometer, soiltester, refractometer,
kamera, tabung reaksi, penggaris, pensil, pena, tabel pengambilan data,
papan jalan, plastik klip, kertas label dan buku Panduan Pengenalan
Mangrove di Indonesia serta Mangrove Guidebook for Southeast Asia.
2. Bahan
Bahan dalam penelitian ini adalah sampel jenis tumbuhan mangrove.
E. Langkah Pelelitian
Penelitian yang dilakukan di ekosistem hutan mangrove ini menggunakan
metode purpose sampling dengan jalur berpetak. Lokasi penelitian dibagi
menjadi 2 stasiun, stasiun 1 memiliki luas empat ha, dan stasiun 2 seluas
sembilan ha.
1. Membuat Transek dan Plot
a. Menentukan panjang sabuk mangrove dan menentukan titik
pembuatan transek per 100 m.
b. Membuat garis transek tegak lurus garis pantai hingga hutan
mangrove berakhir.
c. Membuat plot pada garis transek secara berselang-seling dengan
ukuran 20 x 20 m untuk pohon, 10 x 10 m untuk tiang dan 5 x 5 m
untuk pancang dan 1 x 1 untuk semai. (modifikasi Darmadi. dkk.
2012. 348).
Berikut adalah kriteria penentuan pohon, tiang pancang dan
semai:
1. Semai : Permudaan tingkat kecambah sampai setinggi <1,5m
2. Pancang : Permudaan dengan tinggi > 1,5 m sampai anakan
berdiameter < 10 cm.
3. Tiang : Pohon muda berdiameter 10 cm samapi 20 cm.
4. Pohon : Pohon berdiameter > 20 cm.
2. Menentukan Zonasi
Berikut adalah cara menentukan zonasi dalam penelitian ini:
a. Membuat jalur tegak lurus dengan garis pantai hingga zona hutan
mangrove berakhir, dengan jarak antar jalur sepanjang 100 m.
b. Mengamati setiap tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pada
setiap meter dan mencatatnya.
3. Mengambil Data
a. Data Tumbuhan Mangrove
1) Melakukan pengukuran diameter pohon mangrove pada setiap
plotnya dengan cara mengukur keliling pohon menggunakan
Gambar 2. Batas pengukuran diameter pohon mangrove.
Sumber : Keputusan Menteri Lingkungan Hidup RI No. 20 tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Kerusakan Mangrove.
2) Mengukur tinggi pohon menggunkan klinometer.
3) Menghitung jumlah pohon disetiap plot.
4) Mengidentifikasi jenis tanaman mangrove berdasarkan acuan
buku Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia serta
Mangrove Guidebook for Southeast Asia.
5) Mendokumentasikan sampel daun, bunga, buah, akar, batang dan
propagul untuk kepentingan identifikasi.
b. Data Edafik
Mengambil data edafik meliputi tekstur substrat, pH dan,
salinitas. Pengukuran edafik dilakukan di setiap plot pengamatan
F. Penyusunan Data
Berikut adalah tabel pengumpulan data lapangan:
No Transek : …
Lokasi Transek Plot Karakteristik Substrat
Prosentase
Pasir pH Salt (‰)
Stasiun
G. Analisi Data
Data yang telah diperoleh akan dianalis dengan menggunakan analisis
kualitatif dan analisis kuantitatif. Berikut adalah rancangan analisis kualitatif
yang akan digunakan:
1. Stratifikasi
Stratifikasi adalah distribusi tumbuhan dalam ruang vertikal.
Di penelitian ini penarikan stratifikasi vertikal akan ditarik dari garis
pantai hingga daratan (batas hutan mangrove) (Indriyanto. 2006: 139).
2. Pola Sebaran
Pola sebaran adalah gambaran penyebaran tumbuhan di ruang
seragam dan berkelompok. Pola sebaran dihitung dengan indeks
morisita (Odum, 1993; Suwardi dkk. 2013: 4):
= n� � −∑ � − �
Id : Indeks distribusi morisita
n : Jumlah plot
x : Jumlah total individu dalam plot
Σn2 : kuadrat jumlah individu dalam plot
dengan kriteria peniliaan:
Id=1 : Pola penyebaran secara acak
Id>1 : Pola penyebaran mengelompok
Id<1 : Pola penyebaran seragam.
Data yang diperoleh juga dianalisis berdasarkan teknis analisis kuantitatif
sebagai berikut:
1. Densitas atau Kerapatan
Densitas atau kerapatan adalah jumlah individu per satuan luas
atau per unit volume, dengan kata lain densitas merupakan jumlah
individu organisme per satuan ruang (Indriyanto. 2006: 142).
� =luas petak pengamatanJumlah Individu
� � ���� =
Ke apa an eKe apa an pe e e− pe e2. Frekuensi
Frekuensi merupakan besarnya intensitas diketemukannya
suatu spesies organisme pada pengamatan keberadaan organisme pada
komunitas atau ekosistem (Indriyanto. 2006: 14).
= Jumlah petak contoh ditemukannya suatu sesies ke − iJumlah seluruh petak contoh
� =Jumlah petak contoh ditemukannya suatu sesies ke − iJumlah seluruh petak pohon
� ���� − � =frekuensi suatu sesies ke − ifrekuensi seluruh spesies x %
3. Dominansi atau Luas Penutupan
Luas penutupan atau coverage adalah proporsi antara luas
tempat yang ditutupi oleh spesies tumbuhan dengan luas total habitat.
Luas penutupan dapat dinyatakan dengan menggunakan luas
penutupan tajuk ataupun luas bidang dasar (luas basal area). Beberapa
penulis menggunakan istilah dominansi untuk menyatakan luas
penutupan. Parameter ini juga menunjukkan spesies yang dominan
dalam suatu komunitas (Indriyanto. 2006: 143).
= Luas bidang dasar suatu jenisLuas petak contoh
4. Indeks Nilai Penting (INP)
Indeks nilai penting adalah parameter kuantitatif yang dipakai
untuk menyatakan tingkat dominansi (tingkat penguasaan)
spesies-spesies dalam suatu komunitas tumbuhan (Soegianto; Indriyanto.
2006: 144). Spesies-spesies yang dominan atau berkuasa dalam suatu
komunitas tumbuhan akan memiliki indeks nilai penting yang tinggi,
sehingga spesies yang paling dominan tentu saja memiliki indeks nilai
penting yang paling besar (Indriyanto. 2006: 144).
�� = KR + FR + CR
5. Indeks Keanekaragaman
Indeks keanekaragaman yang digunakan adalah indeks
Shannon-Wiener, karena indeks ini digunakan untuk mengetahui
keanekaragaman jenis di setiap pertumbuhan (Odum. 1993; Suwardi
dkk. 3), dengan rumus sebagai berikut:
′ = − Σ �� ln ��
�� =N = Jumlah total semua individu dalam sampelni = Jumlah individu dari satu spesies
H’ : Ideks keanekaragaman Shannon-Wiener
Ni : Jumlah individu spesies ke-i
N : Total jumlah individu
Kriteria indeks keanekaragaman dibagi dalam tiga kategori:
1<H<3 : Keanekaragaman jenis sedang
H’>3 : Keanekaragaman jenis tinggi
6. Indeks Kemerataan
Indeks kemerataan ini digunakana untuk mengetahui
keseimbangan komunitas, yaitu ukuran kesamaan jumlah individu
antar spesies dalam suatu komunitas. Semakin mirip jumlah individu
antar spesies (semakin merata penyebarannya) maka semakin merata
derajat keseimbangannya. Dihitung menggunakan Evenes indeks
(Magurran.1988; Suwardi dkk. 2013: 3).
=Ln SH′
E : Indeks kemerataan jenis
H’ : Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener
S : Jumlah jenis
Nilai kisaran:
E<0,3 : Kemerataan populasi kecil
0,3<E<0,6 : Kemerataan populasi sedang
E>0,6 : Kemerataan populasi tinggi
7. Indeks Kekayaan Jenis (R1)
� = Ln NS −
S : Jumlah jenis
N : Total jumlah individu
Nilai kisaran:
R1 < 3,5 : Kekayaan jenis rendah
3,5 < R1 < 5,0 : kekayaan jenis sedang
BAB IV
Hasil dan Pembahasan A. Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian berada Pantai Bama hingga Dermaga Lama, Taman
Nasional Baluran, Kecamatan Banyu Putih, Kabupaten Situbondo, Jawa
Timur. Terdapat jeda pada sabuk mangrove antara Pantai Bama dan Dermaga
Lama, sehingga lokasi penelitian dibagi menjadi dua stasiun (Gambar 10).
Tumbuhan mangrove di lokasi ini adalah mangrove alami.
Stasiun 1 memiliki luas empat ha, dibagi menjadi tiga transek, dengan
masing-masing transek tiga plot. Sedangkan stasiun 2, memiliki luas sembilan
ha, dibagi menjadi lima transek, dengan masing-masing transek tiga atau
empat plot, tergantung dengan panjang hutan mangrove ke arah darat. Jarak
antar transek pada kedua stasiun adalah 100 m. Panjang hutan mangrove ke
arah darat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya pasang surut serta kondisi
topografi wilayah. Seperti halnya dikatakan oleh Noor, dkk (2006: 6) bahwa
panjang hamparan hutan mangrove bergantung pada intrusi air laut yang
sangat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya pasang surut, pemasukan dan
pengeluaran material ke dalam dan dari sungai, serta kecuramannya.
Stasiun 1 didominasi oleh tegakan R. apiculata yang memiliki tinggi
berkisar antara 15 – 20 m. Di temukan dua mangrove mayor pada lokasi ini,
yaitu R. apiculata dan R. stylosa. Tegakan R. stylosa berada pada baris
stylosa tumbuh sangat rapat, sehingga jika teman anda berjarak 15 m maka
tidak akan terlihat. Jaringan akar pada R.stylosa juga sangat rapat sehingga
cukup menyulitkan untuk berjalan.
Tumbuhan yang mendominasi di stasiun 2 adalah R. apiculata dengan
tinggi berkisar antara 15 – 20 m. R. apiculata tumbuh langsung berhadapan
dengan laut, tetapi terlihat dibeberapa lokasi R. apiculata berasosiasi dengan
Sonneratia alba. Di temukan enam mangrove mayor pada lokasi ini, yaitu R.
apiculata, R. stylosa, Bruguiera gymnorrizha, Ceriops tagal, S. caseolaris dan
S. alba. Di lokasi ini, panjang hutan mangrove ke arah darat dapat mencapai
125 m.
Di kedua stasiun, pada beberapa lokasi terdapat tumpukan sampah, di
stasiun 1 sampah terdapat di antara transek 2 dan 3, sedangkan di stasiun 2
sampah bercecer di dekat transek 8. Berdasarkan pengakuan dari petugas
pantai Bama, sampah tersebut merupakan sampah kiriman dari lokasi lain
yang terbawa oleh gelombang pasang. Jika dibiarkan sampah tersebut akan
bertambah banyak sehingga dapat mengganggu stabilitas hutan mangrove,
terutama pertumbuhan semaiannya. Hal ini juga diungkapkan oleh Arif
Pratiwi (2005: 3-4), bahwa adanya sampah di permukaan tanah membuat
buah yang jatuh akan tertahan oleh tumpukan sampah sehingga biji tidak
dapat tumbuh. Serta adanya sampah yang terhanyut juga menimbun seedling
Gambar 1. Gambaran lokasi penelitan beserta titik koordinat pada setiap plot.
B. Struktur Vegetasi Mangrove
1. Susunan Jenis Mangrove
Komposisi mangrove di kedua stasiun berbeda, di stasiun 1
ditemukan 13 jenis tumbuhan mangrove, terdiri dari dua mangrove
mayor, tiga mangrove minor dan delapan mangrove asosiasi. Sementara
di stasiun 2 ditemukan 20 jenis tumbuhan yang terdiri dari enam
mangrove mayor, empat mangrove minor dan sepuluh mangrove asosiasi.
Pengelompokan tersebut didasarkan pada Kitamura (1997: 97), bahwa
mangrove sejati atau komponen mayor ialah tumbuhan yang secara
morfologi membentuk seperti akar udara dan mekanisme fisiologis seperti Stasiun 1
organ pengeluaran garam agar dapat beradaptasi di lingkungan mangrove.
Kelompok ini hanya terdapat di hutan mangrove dan membentuk tegakan
murni. tidak Kelompok tambahan atau minor merupakan bagian yang
penting dari mangrove biasanya terdapat pada daerah tepi dan jarang
sekali membentuk tegakan murni. Asosiasi adalah kelompok tumbuhan
yang tidak pernah tumbuh di dalam komunitas mangrove sejati dan
biasanya tumbuh dengan tumbuhan darat.
Terdapat 50 jenis mangrove sejati dan setidaknya tercatat 40 jenis
terdapat di Indoesia (Noor, dkk. 2006: 9) dan enam di antaranya berada di
lokasi penelitian. Di Indonesia terdapat 14 jenis mangrove langka (Noor,
dkk. 2006: 9). Noor, dkk (2006; 9) juga mengatakan bahwa lima jenis
umum setempat namun langka secara global, sehingga berstatus rentan
dan memerlukan perhatian khusus untuk pengelolaannya. Jenis-jenis
tersebut adalah Ceriops decandra, Scyphiphora hydrophyllacea, Quassia
indica, Sonneratia ovata atau S. alba, dan Rhododendron brookeanum,
dari kelima spesies tersebut terdapat satu jenis di lokasi penelitian yaitu
Sonneratia ovata atau S. alba.
Terdapat perbedaan susunan jenis pada kedua stasiun (Tabel 2), di
stasiun 1 tidak ditemukan S. alba, S. caseolaris, Bruguiera gymnorrhiza,
C. tagal, Acrostichum aureum, A. speciosum, Pongamia pinnata serta
Scaevola taccada sementara pada stasiun 2 tidak ditemukan Xylocarpus
kedua stasiun sama yaitu Rhizophora apiculata. Perbedaan komposisi
susunan mangrove ini dikarenakan faktor lingkungan yang berbeda
seperti salinitas, substrat dan pasang surut. Hal ini sesuai dengan
Aksornkoae (1993: 33) bahwa komposisi dan distribusi jenis serta pola
pertumbuhan mangrove dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti
salinitas, pasang surut, gelombang, arus, substrat dan nutrisi.
Tabel 1. Susunan mangrove di stasiun 1 dan 2
Dominasi R. apiculata, tersebut sesuai dengan Aksornkoae (1993:
47), bahwa spesies yang dominan dan penting merupakan famili dari
Rhizophoraceae, genus Rhizophora, Ceriops, dan Bruguiera, famili
Sonneratiaceae dengan spesies Sonneratia dan famili Avicenniaceae
dengan spesies Avicennia. Jenis R. apiculata tumbuh langsung
berhadapan dengan laut, tetapi di stasiun 1, pada ketiga transek, R. stylosa
berada di baris terdepan, walaupun dari transek 1 hingga transek 3 zona
R. stylosa semakin pendek. Di baris terdepan pada stasiun 2, R. apiculata
berasosiasi dengan Sonneratia alba. Hal ini menunjukkan bahwa R.
apiculata, R stylosa dan S. alba mampu tumbuh di zona dengan tingkat
penggenangan dan salinitas tinggi. Pernyataan tersebut didukung oleh
Aksornkoae (1993: 47) bahwa R. mucronata dan R. apiculata lebih suka
berada pada daerah dengan pasang tinggi (selalu tergenang). Samingan
(1980 dalam Noor, dkk. 2006: 8) menemukan bahwa di Karang Agung,
Sumatra Selatan, pada zona terdepan di dominasi oleh S. alba yang
tumbuh di areal yang benar-benar dipengaruhi oleh air laut. Van Steenis
(1958 dalam Noordkk. 2006: 8) menambahkan pula bahwa S. alba dan
Avicennia alba adalah jenis ko-dominan pada areal pantai yang selalu
tergenang. Noor, dkk (2006: 5), mengungkapkan bahwa S. alba sering
ditemui dalam kondisi salinitas mendekati salinitas air laut.
Hasil penelitian ini tidak ditemukan Avicennia yang disebabkan
lantai hutan serta kondisi biji Avicennia yang berbentuk seperti kacang
sehingga sulit tertambat pada substrat yang memiliki frekuensi
penggenangan tinggi, terlebih pada stasiun 2, walaupun Avicennia
memiliki toleransi yang besar terhadap salinitas. Alasan di atas diperkuat
oleh Nybakken (2003: 368) bahwa Avicennia tumbuh di bagian pinggir,
biji Avicennia tidak dapat tumbuh dalam keadaan teduh atau berlumpur
tebal yang biasanya terdapat di dalam hutan. Sementara kondisi wilayah
penelitiaan ini cenderung teduh dengan tegakan Rhizophora yang rapat.
Tegakan S. caseolaris di beberapa lokasi terletak di zona
belakang, pada stasiun 2 di transek 1, 2 dan 4, pohon tersebut tergenang
pasang hanya pada pasang luar biasa, sehingga kadar salinitas rendah.
Sebenarnya di stasiun 1 terdapat S. caseolaris namun tidak masuk dalam
plot, S. caseolaris terletak di ujung zona pasang surut yang
mengakibatkan kadar salinitas di lokasi ini juga minim. Kenyataan
tersebut sama dengan yang dikatakan Noor, dkk (2006: 9) bahwa S.
caseolaris dapat tumbuh pada salinitas kurang dari 10‰ (rendah).
Tegakan Bruguiera gymnorrhiza dan Ceriops tagal tidak
ditemukan di stasiun 1, disebabkan oleh substrat di stasiun ini lebih
lembek, dibanding substrat di stasiun 2 yang lebih keras dan padat.
Seperti yang dikatakan oleh Aksornkoae (1993: 99) bahwa daerah yang
menuju ke darat, pada tanah liat yang keras tumbuh pohon B.