• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari D 902008006 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Transformasi Ekonomi Komunitas Blimbingsari D 902008006 BAB IV"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

DARI MAYORITAS MENJADI

MINORITAS

Pengantar

Bab ini akan menjelaskan migrasi sekelompok orang Bali ke Alas Cekik. M igrasi ini terjadi sebagai akibat dari ketegangan yang dialami oleh orang-orang Bali-Kristen dengan orang-orang Bali lainnya. Ketegangan dan tekanan ini terjadi di seputar hak atas tanah kuburan dan masalah-masalah lain. Ketegangan itu terjadi sebagai akibat perpindahan (penulisan kata perpindahan selanjutnya akan disebut konversi) agama orang-orang itu dari Hindu menjadi Kristen. Konversi dan penolakan tersebut pada akhirnya membawa implikasi terbentuknya Desa Blimbingsari.

Sejarah M igrasi

Awal mula berdirinya Desa Blimbingsari dimulai dari kasus penduduk melakukan konversi agama dari Hindu ke agama Kristen. Hal ini karena Pulau Bali dijadikan ladang misi Kristen sejak tahun 16301, dimana terjadi pembaptisan beberapa orang Hindu yang

menggemparkan di Tukad Yeh Poh, Untal-Untal Dalung 11 Nopember 1931. Sejak saat itu, Kekristenan terus merambah Bali hingga konversi mencapai sekurangnya 27.500 jiwa. Angka ini baru yang berhasil dihimpun oleh misi Protestan, sementara Katolik diperkirakan mendapatkan pengikut yang setara. Konversi agama ini tidak terjadi secara kebetulan, melainkan dengan upaya yang terstruktur, sistematis dan dinaungi oleh badan misi dunia.

(2)

Sejumlah sumber mengungkapkan, konversi agama di Bali terbagi atas tiga periode. Periode pertama tahun 1597- 1928, periode kedua tahun 1929-1936 berdasarkan efektifitas usaha penginjilan yang dilakukan. Kemudian periode terakhir 1937-1949 sebagai masa persiapan kelahiran Gereja Kristen Protestan Bali (Surpi, 2009). Sejumlah ahli yang sesungguhnya merupakan misionaris ini mempelajari dan mengkaji berbagai lontar kuno di Bali. Ternyata di balik kokohnya sistem adat, sudah banyak masyarakat Bali yang tidak puas dengan sistem adat dan agama mereka. Hoeval (1993) menyatakan bahwa banyak orang Bali merasakan sistem kasta yang ada dalam agama Hindu Bali tidak adil dan banyaknya upacara dan kewajiban sehubungan dengan penyelenggaraan upacara dan persembahyangan menyebabkan mereka jadi miskin. Inilah yang dipandang oleh Hoeval sebagai celah masuk untuk menyebarkan Kekristenan di Bali.

Namun walau Zending terus bergulir di Bali dengan dikirimnya sejumlah penginjil, upaya pada tahap awal gagal. Tiga Pekabar Injil Belanda yang dikirim, yaitu van Eck, de Vroom, van der Jogt setelah 13 tahun usaha mereka, tahun 1873 hanya berhasil membaptis satu orang Bali yakni I Goesti W ajan Karangasem dari Bali Timur, Jagaraga Singaraja (Dokumen GKPB, Ripe dkk, 2012). W alau demikian badan misi tidak menyerah. Di tengah tertutupnya aktivitas penginjilan, penginjil pribumi Salam W atias yang berasal dari Kediri, bekerja untuk Gereja Kristen Jawi W etan (GKJW ) datang ke Bali menjual buku-buku Kristen. W atias menggunakan pendekatan kultural dan mendekati orang-orang Bali karena sesama “W ong M ajapahit.” Ia menjual buku-buku tersebut hingga ke pelosok-pelosok desa khususnya di Bali utara.

(3)

R.A. Jaffray, Ketua C.M.A. dengan mempekerjakan Penginjil Cina yang bernama Tsang Kam Fuk, yang kemudian menyebut dirinya Tsang To Hang.

Dari H indu Ke Kristen

Proses konversi agama dari Bali-Hindu ke Bali Kristen tidak terlepas dari kepemimpinan Tsang To Hang, Pdt. I M ade Rungu, I M ade Tjaduk yang lebih menekankan nilai spiritual dan etos kerja bagi penduduk yang baru memeluk agama Kristen.

Sejak Belanda mulai menginjakkan kakinya di Bali pada abad ke-19, orang-orang Belanda sudah tidak setuju Injil diberitakan di Bali2. Kemungkinan Pemerintah kolonian Belanda tidak ingin

pengijilan akan menghancurkan Agama Hindu, agama masyarakat lokal yang dianggap eksotik. Usaha Pemerintah Belanda akhirnya mendapat alasan yang cukup kuat melarang Injil masuk Bali dengan terbunuhnya pendeta utusan Injil Yacob de Vroom pada 8 Juni 1881 di Singaraja. Pembunuhan tersebut dilakukan orang Bali yang bernama I Klana yang kemudian menjadi Kristen. Peristiwa pembunuhan pendeta de Vroom itu dipakai menjadi alasan bahwa pulau Bali akan menjadi tidak aman bila Injil diberitakan di Bali. Dengan alasan keamanan tersebut dikeluarkanlah Undang-Undang nomer 177, Tahun 1881 yang melarang segala usaha pekabaran Injil masuk ke Bali3. Larangan ini

berlangsung selama 48 tahun. Baru tahun 1929 Pemerintah Belanda mengijinkan CM A dari Amerika bekerja di Bali dengan mengutus Pendeta Tsang To Hang dari Chinesse M ission. Pada awalnya penginjilan Pendeta Tsang To Hang hanya fokus pada masyarakat Tionghoa di Bali. Setelah satu setengah tahun upaya pendeta tersebut

2 Karena hal itu dianggap merusak agama dan kebudayaan Bali. Sebab pemerintah Belanda menghendaki agar Bali tetap menjadi cagar budaya atau museum hidup. Dengan cara ini Pemerintah Belanda akan dapat menarik keuntungan yang besar, baik politis maupun ekonomis. (Dokumen GKPB, dalam Ripe dkk, 2012).

(4)

di Denpasar hanya mampu membawa empat orang Tionghoa masuk Kristen. Tsang To Hang secara sadar melanggar surat ijin yang diberikan Pemerintah Kolonial belanda dan mulai menginjili orang-orang Bali.

Dalam perkembangan lebih lanjut, pekabaran Injil terus berjalan di Bali yang dilakukan sejumlah lembaga dan perorangan. Pertama, M as Salam W atias, seorang pemuda asal Kediri yang dibuang keluarganya karena berpindah agama dari M uslim menjadi Kristen pada tahun 1926. Pada tahun 1929, ia pergi ke Bali bersama temannya Petrus Tukiran menjual buku-buku (Alkitab)4. Kedua, I Nengah

M ukiarna alias Pak Yakub seorang bekas narapidana asal Gitgit yang mendapat hukuman penjara di Ambon karena dipersalahkan membunuh pacarnya. Di Ambon ia menjadi Kristen. Dan setelah bebas dari hukumannya pada M ei 1931 ia kembali ke Desa Gitgit dan memberitakan Injil5. Ketiga, Pendeta Tartib Efrayim, pada bulan

Januari 1932. Ia memulai pekerjaannya di Bubunan, Singaraja. Pada M ei 1933, beberapa orang Bali dibaptis, antara lain, Pan Sandi dan W ayan Sondra Trimurti,6.

Ada beberapa alasan mengapa orang Bali-Hindu berpindah agama menjadi Kristen. Pertama, terjadi penyembuhan ilahi atas penyakit yang diderita Pak Enteg7 selama bertahun-tahun.

Penyembuhan ini mengakibatkan warga Bali percaya dan menjadi Kristen. Kedua, beberapa pemilik ilmu hitam di Bali (salah satunya

4 Setelah menjadi Kristen, ia mendapat tugas sebagai kolportir (penjual buku) dari British and Foreign Bible Society yang berpusat di Singaraja. Mereka menjelajahi seluruh Pulau Bali dan banyak buku-buku yang terjual, termasuk diantaranya Pan Loting yang kemudian menjadi tokoh Kristen pertama di Badung. (lihat dokumen GKPB, surat-surat, wawancara dari beberapa tokoh pelaku sejarah, dalam Ripe dkk, 2012).

5 Di desanya ia mulai menyaksikan kepercayaannya yang baru, yang menyebabkan beberapa orang menerima I njil dan menjadi Kristen, diantaranya ialah I Gusti Kompyang Mataram. (Ripe dkk, 2012).

6 Dengan ini mulailah timbul Jemaat baru di Bubunan. (Dokumen GKPB, dalam Ripe dkk, 2012).

(5)

adalah Pan Loting, dari Desa Buduk) yang ingin menguji kesaktian yang dimiliki misionaris Tsang To Hang, mengetahui kehebatan pemberita Injil yang dilindungi oleh sebuah “kuasa”. M ereka kemudian berpindah agama menjadi Kristen. Kehebatan pemberita Injil digambarkan dengan adanya keberanian atau tidak takut kepada siapa pun. Ketiga, ada pemberitaan Injil yang dilakukan oleh misionaris dengan cara yang santun. M emberi contoh hidup yang baik, mengasihi, sabar dengan mengelola ekonomi, sehingga hidupnya lebih sejahtera membuat sejumlah warga Bali menjadi Kristen.

Di bawah ini adalah petikan wawancara seorang informan kunci, Bapak Gusti Rata,8 tentang bagaimana perpindahan agama

mengubah iman percayanya:

“Orang tua saya berasal dari Bongan, Kabupaten Tabanan. Nama bapak saya adalah Gusti Putu Griya. Awalnya dia mendapat berita Injil tentang Kristen dari desa Buduk. Orang yang menyampaikan berita tersebut namanya adalah bapak Gusti Putu Sanur. W alaupun orang tua saya masih beragama Hindu tetap saja bapak Gusti Putu Sanur datang berkunjung ke rumah orang tua saya dengan menceritakan “kabar baik” dan sabar sampai akhirnya orang tua saya berpindah agama menjadi pemeluk agama Kristen. Katanya bahwa jikalau bapak memeluk agama Kristen dan percaya serta menyembah Yesus yang adalah damai maka keselamatan, sukacita dan sejahtera akan anda miliki. Mulai dari sanalah berkembang lebih banyak lagi kekristenan dari kakak dan adik orang tua saya. Sampai saudara orang tua saya ada yang disekolahkan di sekolah penginjilan di Penyobekan. Saya tidak tahu mengapa dahulu perkembangan kekristenan sangat cepet, padahal mereka saat ini sudah akur (tidak ada penderitaan) dan malah justru saat kita berpindah agama dan banyak Orang Hindu yang mesepekang (menekan) kita malah perkembangan kekristenannya sangat cepat. Saat itu, di Bongan, Tabanan masyarakat saling bantu antar umat beragama, misalnya kalau di agama Kristen ada yang mengalami kedukaan atau meninggal dunia, maka warga yang beragama Hindu ikut membantu dan sebaliknya“.

(6)

M elalui seorang wanita Bali, istri seorang Tionghoa, ia berkenalan dengan beberapa orang Bali yang ingin keluar dari tradisi Hindu-Bali. Perpindahan agama yang agak besar terjadi dengan pembatisan yang menggemparkan pada tanggal 11 November 1931. Dr. Jaffray membabtis 12 orang Bali yang dipimpin oleh Pan Loting, di Sungai Yeh Poh9.

Pan Loting awalnya menentang ajaran Kristen, karena bagi masyarakat sekitarnya dia adalah dukun sakti dan tokoh leak dari Buduk, yang oleh Tsang To Hang disebut sebagai tukang sihir. Pan Loting yang bernama asli I M ade Gepek memiliki pengaruh yang luas karena ia dianggap orang sakti balian yang bisa membuat maupun menyembuhkan penyakit. (wawancara dengan Pdt. Ketut Suyaga Ayub, 25 November 2009)

Tsang To Hang diusir Belanda tahun 1933 namun saat itu ia telah berhasil membaptis sekitar 260 orang Bali. Setelah itu, Bali semakin terbuka dengan penginjilan dan puluhan badan misi terus bekerja di Bali menambah pengikut dan jumlah gereja.

Dengan kesadaran baru, keberanian, dan fanatisme,orang Bali yang baru menjadi Kristen mulai memberitakan Injil kepada tetangga dan kawan sekampungnya dan kepada sanak keluarganya yang dekat maupun yang jauh. Akibatnya tumbuhlah beberapa kelompok orang Kristen (Buduk, Padang Tawang, Plambingan, Tuka, Untal-Untal, Abianbase, Ulun Uma, dan Carangsari)10. Kelompok-kelompok orang

Kristen inilah yang nantinya melakukan perpindahan/migrasi ke Blimbingsari, yang akan dijelaskan dibagian berikut.

9 W awancara di Blimbingsari, dengan Pdt. Ketut Suyaga Ayub, tanggal 24 Oktober 2009, pukul 09.00).

(7)

Berawal Dari Kuburan

“Indik kuburan, sane keatur saking Budaya baline punika, inggih punuka uli konsep Tri Hita Karana, terutama sane pawangon, ngatur hidup manuse” (W awancara dengan sesepuh Blimbingsari, Ibu W ayan Kari, 2009) yang artinya dalam budaya Bali, kuburan diatur berdasarkan konsep Tri Hita Karana11, terutama items pawongan

(manusianya) yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia. Setiap desa memiliki tanah setra12, yang diletakkan

berlawanan arah dengan letak gunung. Nalar atau keyakinan orang Bali, bahwa gunung (kaja), adalah simbol kesucian, sedangkan laut (kelod) simbol kotor (leteh). M asyarakat Bali-Hindu tidak akan mau menerima Bali-Kristen, jika orang-orang Bali-Kristen tidak mau mengikuti tradisi kaja-kelod ini. Karena itu mereka tidak bisa sembarangan menggunakan tanah, sekalipun tanah milik sendiri dijadikan kuburan. Di sisi lain, apabila ada orang yang meninggal dan memerlukan penguburan pada pihak Bali-Kristen, satu-satunya jalan adalah mereka (Bali-Kristen) harus menggunakan tanah kuburan orang-orang Bali-Hindu untuk penguburan mayat orang Bali-Kristen. Disinilah timbul ketegangan antara orang Bali-Hindu dan orang-orang Bali-Kristen karenaorang-orang-orang-orang Bali-Kristen mengunakan tanah kuburan orang-orang Bali-Hindu. Orang-orang Bali-Kristen merasa berhak menguburkan mayat, namun dari pihak orang-orang Bali-Hindu tidak memperbolehkan mereka karena sudah dianggap keluar dari agama Hindu. Karena orang-orang Bali-Kristen dianggap sudah tidak melaksanakan kewajibannya merawat keberadaan setra dan segala keperluan upacara (piodalan), maka dengan sendirinya hak tradisi mereka dianggap hilang. Dengan semakin banyaknya orang Bali berpindah ke agama Kristen, semakin banyak pula orang yang meninggalkan pelaksanaan adat dan agama Hindu. Di sinilah ketegangan antara orang-orang Bali-Kristen dan Bali-Hindu tidak dapat dielakkan lagi.

11 Tri Hita Karana artinya hubungan manusia yang harmonis dengan Tuhan, Manusia dan Lingkungan.

(8)

Pertikaian orang Bali Hindu dan Bali Kristen bisa disimak dari hasil wawancara dengan Ibu W ayan Kari13. Petikan kalimat di bawah

ini mengandung makna yang dalam, mengekspresikan tekanan dan penderitaan orang-orang Bali-Kristen, karena masalah kuburan. Ketegangan karena masalah kesekaratan ini mengakibatkan orang Bali-Kristen harus bermigrasi ke Blimbingsari. “Anake Kristen mrasa ngelah hak nganggo tanah punuka anggontanah kuburan, nanging Anake Hindu punike ngorang Tusing dadi, ulian tusing buin megama Hindu yang artinya “Kehidupan biasanya dimulai dari kelahiran, namun Blimbingsari memulai kehidupan baru dari kesekaratan”

Adalah seorang pepimpin Tsang To Hang yang pertama kali “bekerja“ dan bersemangat masuk ke desa-desa di sekitar Badung mewartakan Injil. Tsang To Hang berhasil masuk ke Bali tahun 1931 setelah CM A berhasil mendapatkan surat ijin khusus untuk menginjil orang-orang Tionghoa di Bali. M ereka telah menunggu bertahun-tahun untuk mendapatkan surat ijin masuk ke Bali, tetapi karena ijin itu tidak kunjung didapatkan, mereka menyiasati dengan meminta ijin untuk penginjilan terbatas pada orang-orang Tionghoa dan Belanda akhirnya mengabulkan permohonan itu. Dia bekerja keras dan menolak semua budaya yang dianggap berbau kafir, penyembahan berhala dan pembakaran mayat14. Orang-orang Bali Kristen yang baru

percaya itu menghancurkan sanggah mereka (family temple). Akibatnya terjadi ketegangan dan kekacauan di pemukiman orang-orang Bali Kristen. Orang Kristen baru ini menjadi asing di desanya, tidak mau ikut dalam suka duka, memakai celana pendek atau celana panjang padahal orang Bali memakai kamben. Ketegangan bertambah dan orang-orang Bali Kristen diasingkan. Orang Bali-Hindu tidak boleh berbicara dengan orang Bali Kristen, tidak boleh berbelanja di warung orang Kristen. Sawah orang Bali Kristen tidak boleh mendapat air karena air sawah oleh orang Hindu dipercayai berasal dari Dewi Sri. Sawah mereka menjadi kering. Rumah orang Bali Kristen dilempari, gedung gereja dibakar, isi lumbung padi dijarah. Orang Bali Kristen

13

Wawancara tanggal 20 November 2009.

(9)

juga tidak diperbolehkan menguburkan mayat di kuburan desa, karena dianggap najis (leteh). Orang-orang Bali Kristen yang baru ini mengalami banyak kesulitan, tantangan, tekanan dan kesengsaraan15.

Ketegangan terjadi dimana-mana, seperti di Untal-untal, Buduk, Abianbase, Plambingan, Sading, Carang Sari, Bongan, Buleleng. Kekristenan tumbuh dari masyarakat bawah yang miskin, yang bekerja sebagai penggarap. Tidak ubahnya seperti “budak” yang tidak memiliki hak.

Pada tahun 1930-an orang-orang Bali-Kristen yang sudah menerima Injil16 merasa terlepas dari tradisi adat atau ikatan yang

selama ini mereka lakukan, seperti metajen (sabung ayam). M etajen adalah suatu kegiatan sabung ayam yang dilakukan orang-orang Bali-Hindu dimana kegiatan tersebut menjadi satu hal yang wajib dilakukan karena berkenaan dengan upacara tabuh rah (dalam agama Hindu diartikan menumpahkan darah ayam yang disabung)17. Sabung ayam

itu masih dilakukan di semua desa di Bali saat ini. Namun, sabung ayam kadang-kadang diselewengkan menjadi arena perjudian18.

Di samping itu juga orang-orang Bali-Kristen yang sudah menerima Injil merasa terbebas dari segala beban. Beban yang dimaksud berkenaan dengan upacara-upacara kegiatan keagamaan yang menggunakan banten19 dalam sembahyang umat Hindu.

Pembiayaan banten sangat tinggi, apalagi ada upacara-upacara besar seperti manusa yadnya, melis, galungan dan kuningan dan banyak lagi lainnya. Selain itu juga ada beban yang sangat besar ditanggung yaitu

15 W awancara dengan I Nyoman Sukartika, W awancara dilakukan di Legian, tanggal 10 November 2009.

16 Menerima Injil maksudnya (memiliki I man percaya kepada Tuhan Yesus).

17

W awancara dengan Pdt. I W ayan Sunarya, 20 November 2009

18 Biasanya warga tersebut main memakai uang yang dipertaruhkan, apabila ayam jagoannya menang maka mereka akan menerima uang, dan jika kalah maka akan kehilangan uang yang dipertaruhkannya. Sabung ayam ini menjadi sesuatu yang tidak baik dalam pandangan orang-orang Bali Kristen, wawancara dengan I Nyoman Sukartika, 10 November 2009.

(10)

dalam upacara ngaben20. Ngaben adalah pembakaran mayat yang

dilakukan masyarakat Bali-Hindu sesuai kasta keluarganya dengan membuat suatu lembu (terbuat dari kayu yang di dalamnya berisi mayat/jenazah yang akan dibakar) atau sejenisnya setelah itu dibakar dan abunya dibuang ke laut. Setelah menerima Injil dan melepas kepercayaan lama menjadikan orang-orang Bali Kristen merasa ada kebebasan dari tradisi-tradisi. M ereka memandang tidak perlu menanggung beban yang banyak lagi dalam hal sembahyang cara Hindu.

Namun kebebasan itu menjadi “malapetaka” karena apabila sudah keluar dari agama Hindu dan desa adat berarti mereka sudah tidak bisa menggunakan kuburan sebagai tempat menguburkan mayat (jenasah) keluarga mereka. Dalam keyakinan Bali-Hindu, hanya ada satu tanah kuburan dalam satu desa, tidak boleh ada dua.

Kekacauan dan ketegangan antara orang-orang Bali-Hindu dan orang-orang Bali Kristen masih saja terjadi. Tekanan terhadap orang Bali Kristen dialami oleh bapak Gusti Rata21 berikut petikan

wawancaranya:

“Kita orang-orang Bali Kristen yang percaya pada Yesus Kristus disepekang (dijauhkan). Ada peraturan yang menyebutkan pada waktu itu bahwa barang siapa yang berbicara dengan orang-orang Bali-Kristen akan dikenai denda oleh desa adat saat itu. Jumlah dendanya sangat banyak yang tidak mungkin bisa dibayar oleh warga. Sehingga nyame-nyame (saudara-saudara) saya yang masih beragama Hindu sangat takut berbicara dengan orang-orang Bali Kristen. Di samping itu juga, ada aturan bahwa orang Bali Kristen tidak boleh berbelanja di pedagang yang orangnya beragama Hindu yang ada di Desa Bongan. Akhirnya kebutuhan-kebutuhannya, didapatkan dengan berbelanja di pasar Bongan (di luar kampungnya). Berbelanja

20 Setelah penulis telusuri sejarah orang-orang Bali-Hindu menganggap 2 peristiwa besar dalam agamanya adalah peristiwa Ngaben dan Potong gigi. I tulah sebabnya Ngaben yang berkenaan dengan penguburan orang mati menjadi masalah yang besar yang dianggap “leteh” jika mayat Bali Kristen bersama-sama dikuburkan di setra tanah Bali-Hindu.

(11)

di pasar lebih memudahkan kita. M ereka tidak bisa melarang kita belanja, karena mereka tidak tahu dan tidak mungkin mengecek. Itulah strategi yang kami pakai, sehingga kebutuhan kami saat itu bisa terpenuhi. M ereka yang Bali-Hindu sangat marah betul kepada kita karena kita berpindah agama dan mereka hanya berani bersorak-sorak di antara mereka, mengejek tetapi hanya di luar rumah. Kalau masuk dan menyerbu ke rumah kami, mereka tidak berani. Tekanan-tekanan yang lain juga kami lalui seperti sawah kami tidak mendapatkan air untuk irigasi, sehingga bagaimana kita bisa mendapatkan hasil padi yang baik dan tumbuh dengan baik apabila tidak ada air, tekanan lainnya tidak mendapat tanah kuburan seperti tersebut di atas. Sebenarnya hubungan kami sangat baik dengan saudara-saudara saya yang beragama Hindu, namun karena adat yang mengatur begitu, makanya mereka menjadi takut semua. Suatu saat, malam-malam dengan diam-diam saudara-saudara saya datang ke rumah saya dan membawa beras untuk membantu dan lain-lainnya yang kami butuhkan, katanya: ”Ne kangwang bedik, apa je ade abe cang mai (ini seadanya, apa saja yang ada saya bawakan ke sini), sambil ngomong-ngomong, tetapi jika ada orang yang melihat hal itu pasti niatnya akan diurungkan (tidak jadi main ke rumah), karena saking takutnya dengan awig-awig/aturan adat yang mengatur tersebut”

Ketegangan antara orang-orang Bali-Kristen dan Bali-Hindu yang tidak dapat dihindari adalah seperti di bawah ini. Ada beberapa kasus ketegangan seperti, peristiwa yang terjadi di Pelambingan, Buduk, dimana tubuh manusia yang telah meninggal tidak boleh dikuburkan, walaupun di tanahnya sendiri22. Bahkan sampai tahun

1965 juga masih terjadi hal seperti itu, yaitu keluarga M ade Repeg sebagai saksi yang lahir tahun 1915 dengan istri Ni Ketut Rapig lahir tahun 1920, memiliki 12 anak23. (2). Ada juga satu kasus yang sama

22 Pada saat itu yang menjadi Gubernur Bali adalah Bapak Sukarmen dari Malang, dengan kasus tersebut, diantara mereka tidak ada jalan pemecahan, sehingga mayatnya dibawa ke kantor Gubernur. Dalam pemecahan masalah itu Gubernur Bali tahun 1965 mengatakan bahwa tanah ini milik kita bersama bukan hanya milik sekelompok orang. Dengan penjelasan tersebut pada akhirnya pemerintah memberikan tanah kuburan bagi orang-orang Bali Kristen.

(12)

tentang mayat yang sudah dikuburkan harus dibongkar kembali24,

terjadi di Legian tahun 1966 pada keluarga Bapak W ayan Enteg25.

Ketegangan itu muncul dalam berbagai bentuk dan salah satu yang paling menonjol terjadi dalam penguburan. Bagaimanapun orang-orang Bali Kristen memerlukan tanah kuburan. Orang-orang-orang Bali-Hindu tidak begitu saja dapat menerima keinginan itu, karena konsep penguburan mereka sangat jauh berbeda dengan yang dilakukan orang Bali-Kristen. Hal ini akhirnya menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya migrasi orang-orang Bali-Kristen ke Alas Cekik, Jembrana, Negara.

Pada jaman kolonial Pemerintah Belanda tidak senang dengan kekacauan seperti itu. Dilakukanlah upaya-upaya perdamaian antara orang-orang Bali-Hindu dan orang-orang Bali-Kristen agar tidak terjadi ketegangan. Namun upaya-upaya yang dilakukan Pemerintah Belanda tidak menyentuh akar persoalan.

M igrasi M enuju ke Blimbingsari

Desa Blimbingsari, berlokasi di Kecamatan M elaya, Kabupaten Jembrana, Bali. Sebelum tahun 1939 Jembrana terpilih sebagai tempat pemukiman orang-orang Bali-Kristen, dan ini tidak terlepas dari kebijakan Pemerintah Belanda tentang lokasi pembuangan para pelanggar adat. Sesuai dengan paswara tahun 1910 (kemudian diubah tahun 1927), seorang laki-laki sudra yang mengawini wanita dari kasta brahmana atau ksatria dianggap telah melakukan pelanggaran adat yang disebut asumundung. Pada zaman kerajaan, pelanggaran ini dikenai hukuman mati. Pemerintah Hindia-Belanda kemudian menggantinya dengan hukuman pembuangan (maselong) seumur hidup di Desa Parigi (Pulau Sulawesi), kemudian

24 Saat itu, Bapak Nyoman Sukartika yang berasal dari Legian melaporkan ke pemerintah, dan pada akhirnya pemerintah memberikan tanah kuburan bagi orang-orang Bali-Kristen di sebelah tanah kuburan orang-orang-orang-orang Bali-Hindu di Legian yang sekarang beralamat di jalan Majapahit.

(13)

diubah menjadi pembuangan selama sepuluh tahun di Lombok atau kepulauan lain diluar Bali. Sekitar tahun 1937 peraturan ini diubah, pembuangan bisa dilakukan di Bali, umumnya ke Jembrana. W aktu yang sepuluh tahun diubah menjadi tiga tahun, kemudian diubah lagi menjadi satu tahun.

Selain itu sejak tahun 1935 Jembrana dijadikan daerah transmigrasi, sebagai tindak lanjut dari kebijakan pengaturan pemukiman yang disebut kolonisasi. Para transmigran diberi izin membuka hutan di wilayah timur dan barat negara. Di wilayah timur, ada tiga daerah, yang terletak di Distrik M endoyo, yakni Badingkayu, Asah Duren (300 hektar), dan Nusa M ara. Di Badingkayu, para transmigran dari Desa Lebih, Karangasem mulai membuka hutan seluas 120 hektar pada awal bulan Januari, yang ternyata cocok ditanami padi. Sekitar bulan Juni 1936 mereka berhasil memanen padi pertama kali. Pada akhir tahun 1938 dan awal 1939 mereka mulai menanam kopi, kapuk dan jeruk. Sedangkan lahan di Nusa M ara diberikan kepada para transmigran dari Nusa Penida. M ereka kebanyakan terdiri dari para korban wabah penyakit desentri yang terjangkit tahun 1936.

(14)

kedatangan orang orang Nusa Penida lebih lambat sekitar satu hingga dua tahun daripada orang-orang Bali-Kristen Protestan di Blimbingsari.

Dari uraian di atas, tampak sekali kebijakan kolonisasi Pemerintah Hindia-Belanda mengutamakan asas pemerataan kesejah-teraan, artinya tidak hanya diberikan kepada orang-orang Bali-Hindu, tetapi juga Bali-Kristen (Protestan dan Katolik). Pemerataan kesejahteraan dapat juga dilihat dari pembagian tanah tegalan untuk masing-masing transmigran yang luasnya kurang lebih dua hektar. Selain itu, ada juga tunjangan yang diberikan pemerintah kolonial untuk pembangunan bedeng-bedeng penampungan dan subsidi pangan hingga musim panen, sebanyak 1.5 kaci beras untuk setiap hari, ditambah garam, terasi, kacang dan kedelai.

Selain menggunakan asas pemerataan, Pemerintah Belanda memperhitungkan juga faktor keamanan dan kenyamanan. Hal ini dapat dilihat dari lokasi areal para transmigran yang disesuaikan dengan kadar permasalahannya. Setiap kelompok transmigran mempunyai latar belakang masalah sosial yang berbeda satu dengan yang lainnya. Orang-orang Bali-Hindu yang dari Tabanan, Badung, Gianyar, Klungkung dan Karangasem kebanyakan terbelit masalah sosial ekonomi dan kesehatan. Tetapi masyarakat Bali-Kristen baik yang Katolik maupun Protestan tidak saja menghadapi masalah tersebut di atas, tetapi juga masalah sosial-budaya dan sosial politik, terutama konflik dengan orang-orang Bali-Hindu di tempat asal mereka masing-masing.

(15)

Sesuai dengan perundangan pemerintah, hukuman yang paling cocok bagi orang Bali yang berpindah agama adalah selong atau dibuang ke Jembrana. Apabila pemerintah berani menjatuhkan hukuman kepada orang orang ini, berarti rasa keadilan masyarakat sudah terpenuhi, sehingga kekerasan fisik yang bersumber dari konflik tersebut bisa dihilangkan. Berdasarkan pemikiran seperti itu, secara hukum adat dapat dikatakan orang-orang Bali-Kristen telah dikenai hukuman “maselong” ke Jembrana. Tetapi dalam pengertian formal, mereka termasuk para transmigran yang datang ke Jembrana sesuai dengan proyek kolonisasi pemerintah.

Pemerintah Belanda tentu sadar dengan pertimbangan hukum adat seperti itu, tetapi mereka tidak gegabah menentukan lokasi. Dipilihnya lokasi Alas Cekik, yang menurut hasil survey tim medis tahun 1938 ternyata berpotensi rawan penyakit malaria, tentu akan memberikan rasa puas bagi orang-orang Bali-Hindu yang anti dengan penyebaran agama Kristen. Tetapi di sisi lain, pilihan ini justru menyelamatkan mereka dari gangguan orang-orang Bali-Hindu. Bahaya kematian yang ditimbulkan oleh konflik sosial jauh lebih tinggi daripada bahaya penyakit malaria, karena saat itu sudah dikenal obat Kina, sebagai penolak penyakit itu.

Kebijakan pemerintah kolonial dilandasi ketakutan akan serbuan orang Bali-Hindu terhadap orang Bali-Kristen di tempat tinggal yang baru. Berpikir seperti itu, Pemerintah Belanda tidak memberikan orang Bali-kristen hutan yang kini menjadi wilayah Nusasari, yang terletak tidak begitu jauh dari jalan raya yang seharusnya lebih memungkinkan orang-orang tersebut mendapat lahan ini dibandingkan dengan orang-orang dari Nusa Penida, karena merekalah yang diberi kesempatan bertransmigrasi lebih awal. Akan tetapi demi keselamatan dan memenuhi keinginan orang-orang Bali-Hindu, maka orang-orang Bali-Kristen akhirnya ditempatkan di hutan yang letaknya jauh dari jalan raya, yang tidak saja relatif lebih sulit ditempuh, tetapi cukup menakutkan.

(16)

atau keadaan permukaannya, dipenuhi pepohonan besar berdaun lebat dan rimbun, disana-sini diselingi semak belukar. Di atas pepohonan bergelayut kera-kera liar dan di bawah banyak satwa, seperti menjangan, kijang dan babi. Di dekat gunung Kelatakan, masih ada harimau dan binatang buas lainnya. Orang-orang Bali-Hindu menyebutnya sebagai hutan paling angker, konon sudah beberapa kali Pemerintah Belanda membawa para pembuka hutan, tetapi tidak ada satupun yang kembali, semuanya mati. Ada yang mengatakan mereka mati karena sarap macan, diterkam harimau, dimakan buaya dan digigit nyamuk malaria. Mungkin orang-orang Kristen dibawa ke tempat ini, dengan maksud supaya mereka mati seperti nasib para pembuka hutan sebelumnya.

Harapan dan bayangan akan kematian ini, sepertinya tidak mengada-ada. Ini tercermin dari kondisi kejiwaan saat keberangkatan. Sebelum kedua bus Sapakira memberangkatkan ke 30 pendaftar transmigran, tampak ada suasana duka pada wajah sanak saudara yang ditinggalkan dan orang-orang yang bersimpati kepada mereka. M ereka ditangisi seperti orang yang berangkat ke tiang gantungan, yang sebentar lagi akan menghadapi kematian. M ereka dianggap tidak akan pernah lagi kembali ke kampung masing-masing. Anggapan-anggapan seperti itu adalah suatu hal yang wajar saat itu, karena hutan yang akan dirabas oleh orang-orang Bali-Kristen, termasuk daerah yang tidak tersentuh oleh manusia, paling-paling hanya dilalui oleh para juru boros, para pemburu binatang. Letaknya di daerah M elaya, ke arah utara, sekitar tujuh kilometer, melewati jalanan berlumpur dan penuh dengan kubangan sedalam leher kerbau (I Nyoman W ijaya, 2003).

(17)

orang Bali. Sebab itu mereka bisa menjalani kehidupan yang layak di desanya. Tetapi perpindahan ke Blimbingsari ada juga pertimbangan lain yaitu kepentingan ekonomi, seperti kebutuhan akan lahan yang bisa diolah dan digarap. Di Bali bagian tengah yang padat penduduknya, terdapat orang-orang yang tidak memiliki tanah garapan, di antara mereka terdapat juga orang-orang Kristen. M ereka hanya bisa hidup dari sistem bagi hasil, yaitu menggarap sawah orang lain, lalu membagi hasil garapannya.

Dari sudut pandang Pemerintah Belanda, kekacauan yang muncul di desa-desa akibat Kekristenan dapat membawa malapetaka yang lebih besar tahun 193926. Karena itulah Pemerintah Belanda

mempunyai keinginan untuk memindahkan orang Kristen. Keputusan ini seperti pedang bermata dua, di satu pihak, upaya memindahkan orang Kristen jauh dari masyarakat umum adalah memberhentikan perkembangan agama Kristen, dipihak lain, kalaupun mereka hidup, biarlah mereka hidup di tempat terasing.

Oleh karena pesatnya perkembangan ajaran Kristen maka diadakan pertemuan antara pemuka Hindu dan orang Bali-Kristen. Pertemuan tersebut dilangsungkan tahun 1939 di Bale Banjar Gede Abianbase yang dihadiri oleh Perbekel, Punggawa, Kontrolir dan Asisten Residen. Jika benar Kontrolir dan Asisten Residen ikut hadir dalam sebuah pertemuan di tingkat desa, berarti pokok persoalan yang sedang dibahas sudah termasuk sangat penting. M enurut I Gede Dikit,

kelian adat Banjar Gede berkata, “kalau orang-orang Kristen tidak dipindahkan, mungkin tidak lama lagi semua anggota banjar akan masuk agama Kristen”.

Kuatnya daya tahan masyarakat Bali-Kristen, terlihat dari dialog antara Punggawa dengan salah seorang Bali-Kristen, peserta rapat yang berkisar pada keseriusan berpindah agama. “Apakah kalian berani mati beragama Kristen?”. Orang-orang Bali Kristen dari desa Untal-Untal, Buduk, Pelambingan, Padangtawang dan sebagainya yang hadir dalam rapat tersebut serentak menjawab: “Berani”.

(18)

M endengar jawaban seperti itu, Asisten Residen Bali dan Lombok mengajukan pertanyaan. Sang punggawa ingin mendapat kepastian apakah ada unsur keterpaksaan atau hal itu datang dari diri sendiri: Punggawa: “Pak, apakah memang betul-betul bersedia pindah ke agama Kristen, bukankah sudah dari dulu kita beragama Hindu?” Salah seorang Bali-Kristen: “Betul, Pak, karena saya tidak cocok beragama Hindu,” jawabnya. Punggawa: “Kalau sudah sengsara begini, bagaimana?” Si Kristen: “Biarpun sengsara, asalkan sudah menyembah Hyang W idhi, Hyang Yesus, saya senang. Saya berani menanggung sengsara asalkan sudah menyembahNya.”

Rapat menghasilkan keputusan, orang-orang Kristen harus dipindahkan ke tengah hutan, yang paling angker di Bali, yaitu Alas Cekik. Setelah rapat usai, asisten residen menyambut baik keberanian dan tekad orang-orang Bali-Kristen, seraya berkata dirinya juga beragama Kristen, dan menyarankan tidak perlu takut, karena agama Kristen lebih kuat.

(19)

ternyata juga baik. Rombongan lalu istirahat di Ceburan toye (nama sebuah jembatan di sebelah timur desa sekarang). Nampaknya menurut ketiga utusan tadi sangat cocok untuk membuka daerah ini untuk perkampungan.

Hal ini jelas dari percakapan mereka ketika istirahat di

ceburan toye. Sedan Agung bertanya: “Kenken jani Bapak-bapak sube merekse tanahe ene ape setuju teken tanahe ene?” Terjemahannya: ”Bagaimana sekarang bapak-bapak sudah melihat tanah tersebut, apakah setuju atau tidak dengan tanah ini”? Pekak Luh W artini menjawab: “Titiang lebih setuju, duaning asapunika titiang dot pisan”. Terjemahannya: “ Saya setuju, karena saya ingin sekali”. Rombongan lalu kembali.

Ketiga utusan ini kemudian melaporkan hasil penelitian mereka kepada pemimpin-pemimpin Gereja di Denpasar. M elalui persidangan Pasikian Kristen Bali yang diadakan di Desa Sading diputuskan untuk membuka perkampungan di daerah Bali Barat. Tetapi segera setelah itu keluarlah pengumuman dari Pemerintah yang menyatakan bahwa hutan ini ditutup (tidak boleh dibuka untuk perkampungan). Pemerintah mengajukan untuk membuka perkampungan di Sekar Kecula di sebelah utara Yeh Embang). Pekak Luh W artini dan kawan-kawan meninjau tanah tersebut dan menolak, dan tetap berkeinginan membuka perkampungan di sebelah utara M elaya.

Pada permulaan tahun 1939, Pekak Luh wartini mencoba lagi mohon kepada Pemerintah agar hutan di sebelah utara M elaya boleh dibuka. Permohonan pun dikabulkan. Kemudian oleh pemimpin-pemimpin Gereja diutuslah beberapa orang untuk mencek tanah tersebut sambil membawa surat dari Pemerintah Belanda di Denpasar untuk Regent Negara. M ereka yang diutus para pemimpin itu adalah: M ade Rungu, Nyoman Soken (Pekak Gede Susadia), Pan Nade, Pan Riak.

(20)

ditinjau oleh team. Untuk persiapan kedatangan orang Kristen dari berbagai desa ke hutan ini, pemerintah telah menugaskan bogolan

untuk membangun sebuah barak di dekat tibuan buaya (nama sebuah dam) yang sekarang disebut Dam Eka Santosa. Setelah melalui banyak pembicaraan yang melelahkan mengenai tanah yang akan mereka dapatkan, maka pada 30 November 1939 berangkat angkatan pertama, belum bersama keluarga.

Sebelum berangkat ke pemukiman baru Alas Cekik, mereka didoakan agar selamat dalam perjalanan, rombongan pelopor ini berjumlah 30 orang. M ereka berkumpul di Abianbase, kemudian berangkat menggunakan dua bus bernama Sapakira, milik seorang pengusaha dari Jembrana. Kisah pembangunan desa Blimbingsari yang melalui proses dan tindakan tansformasi sosial ini dimulai dari perjuangan 30 orang dewasa untuk memulai kehidupan baru dengan menaklukan kawasan yang masih hijau dan belum pernah dijamah dan diolah manusia. Dari titik nol inilah, dalam pengertian belum ada infraktsruktur yang menunjang, baik jalan, irigasi, atau bangunan penunjang apa pun. M odal kelompok masyarakat ini adalah tekad yang kuat untuk maju dan membangun kawasan baru, dengan nilai dan semangat iman, mereka percaya bahwa Tuhan beserta mereka dan memberikan rahmat dan berkat bagi mereka. M ereka tidak gentar dan ragu, yang ada hanya jiwa untuk maju dan menaklukan alam, menguasai dan mengolahnya bagi anak cucunya.

Proses M igrasi

Sebuah team kepemimpinan yang terdiri dari M ade Sela, M ade Rungu, dan Nyoman Regig berangkat sebagai pemimpin rombongan pembuangan ini27. Pembuangan ke Alas Cekik yang sekarang bernama

Blimbingsari, bagi mereka orang Bali Kristen adalah sesuatu yang menakutkan, mengerikan karena tidak jelas dan tidak tahu mau

(21)

dibuang ke mana. Hutan yang penuh dengan nyamuk malaria, binatang buas seperti ular, harimau dan buaya28.

Blimbingsari, M elaya merupakan sebuah tanah yang diolah pertama bagi para keluarga yang jumlahnya 30 orang sebagai perintis. Ada pun nama 30 orang tersebut bisa dilihat dibawah. Nama-nama perintis yang masuk ke Blimbingsari antara lain sebagai berikut (lihat tabel 4.1):

Tabel 4.1 Daftar nama-nama perintis pertama yang masuk ke Blimbingsari29

No. Nama Alias Daerah Asal

1 I Made Tjadug Pan Luh Sudarmi Desa Abianbase, Badung 2 I W ayan Ribet Pan Yunus Desa Pelambingan, Kuta-Badung 3 I Nyoman Cangker Pan Noniah Desa Pelambingan, Kuta-Badung 4 I Nyoman Sutji Pan Simon Desa Pelambingan, Kuta-Badung 5 I W ayan Redes Pan Puspa Desa Pelambingan, Kuta-Badung 6 I W ayan Rebes Pan Made Yahya Desa Pelambingan, Kuta-Badung 7 I Made Sela Pan Sapreg Br. Untal-untal, Dalung-Kuta 8 I W ayan Regug Pan Sukraning Br. Untal-untal, Dalung-Kuta 9 I W ayan Garus Pan Muriani Br. Untal-untal, Dalung-Kuta 10 I Made Lembut Pekak Darsa Br. Untal-untal, Dalung-Kuta 11 I Nyoman Duduk Pan Luh Ratna Br. Untal-untal, Dalung-Kuta 12 I Nyoman Legit Pekak Sudibya Br. Untal-untal, Dalung-Kuta 13 I Nyoman Tiyeb Pan Degir Br. Untal-untal, Dalung-Kuta 14 I Nyoman Suda Pekak Buleleng Desa Bubunan, Singaraja 15 I W ayan Dedet Pan Renduh Desa Carangsari, Denpasar 16 I W ayan Gerenjit Pekak Natan Desa Carangsari, Denpasar 17 I Nyoman Gusat Pan Lison Desa Carangsari, Denpasar 18 I Nyoman Djata Pekak Panus Desa Carangsari, Denpasar 19 W ayan Rembon Pekak Kanah Desa Carangsari, Denpasar 20 I Ketut Kawit Pan De Arid Desa Carangsari, Denpasar 21 I W ayan Tegeg Pan Puja Desa Carangsari, Denpasar 22 I Made Rentan Pan Sari Desa Carangsari, Denpasar 23 Pan Made Ranti Pekak Luh Siki Desa Sading, Denpasar 24 I Made Djirna Pan Luh Marta Desa Sading, Denpasar

28

W awancara dengan Pdt. Sunarya, 25 Oktober 2009

(22)

No. Nama Alias Daerah Asal

25 I Gede Rangkep - Desa Sading, Denpasar 26 I W ayan Rika Pan Gendri Desa Sading, Denpasar 27 I W ayan Siket Pan Sandi Desa Sading, Denpasar

28 I Made Dug - Desa Sading, Denpasar

29 I W ayan Keran - Desa Buduk, Denpasar 30 I W ayan Congker - Desa Tumbakbayuh, Denpasar Sumber: data Sekunder (Pdt Ketut Suyaga Ayub, Blimbingsari, The Promise Land, 2012)

Sebuah perusahaan bus dengan nama Sapakira merupakan kendaraan antar daerah swapraja Badung – Jembrana yang populer pada 1930. Kendaraan ini juga yang mengangkut para perintis (orang-orang Bali Kristen) pada tahun 1939 sebanyak 30 (orang-orang, tepatnya tanggal 1 Juni 1939 yang berangkat dari bangsal Untal-Untal, Dalung Gaji menuju M elaya, wilayah Bali Barat.30

Dari M elaya, rombongan perintis berjalan melewati Pangkung Tanah untuk masuk Desa Blimbingsari. Dengan persetujuan Regent Jembrana dan Sedan Agung, orang orang Bali-Kristen berhasil membuka lahan baru. Untuk persiapan kedatangan orang-orang Bali-Kristen dari berbagai desa ke hutan ini, pemerintah telah menugaskan bogolan untuk membangun sebuah barak di dekat tibuan buaya atau sekarang disebut sebagai Dam Eka Santosa. Orang-orang Bali-Kristen masuk dan menempati barak yang telah disiapkan. Ukuran barak nya

kira-kira 19x20 meter, yang menampung 30 orang perintis mula-mula. Dari barak ini mereka memulai menerabas dan membakar pohon-pohon dan tumbuh-tumbuhan yang tidak dipakai dan mencabut akar-akar pohon. Perintis memulainya dari wilayah timur ke barat dan terbentuk jalan-jalan yang bisa menghubungkan tegalan/ladang yang satu dengan yang lainnya.

(23)

Proses perpindahan digambarkan Pdt. W ayan Sunarya (2009), sungguh sangat mengerikan. Saat perintis menerabas alas Cekik pertama kali, hutan ini penuh dengan pohon-pohon besar, ada kera yang bergelantungan di sana-sini, juga ada babi, rusa (kijang), harimau, ular dan buaya serta banyak lagi yang lainya31. Orang Bali-Kristen yang

pertama kali datang ke Blimbingsari tidak langsung menetap, melainkan mengadakan penjajakan, kemudian bermukim setelah sarana dan prasarana pembukaan hutan terpenuhi. M ereka membuka hutan menjadi tanah pemukiman di Blimbingsari.

Angkatan pertama yang membuka hutan tidur, memulai pekerjaan dengan berdoa di waktu pagi dan mengakhiri pekerjaan mereka di sore hari dengan ibadah, bersyukur dan bernyanyi lagu Bali. Judul lagu tersebut ”Suryane sampun surup”. Artinya bahwa masyarakat Blimbingsari harus beristirahat dan memuliakan Tuhan dalam pekerjaan satu hari yang telah diberikan tersebut. M ereka membangun desa sesuai dengan budaya Bali yaitu nyegara gunung berbentuk salib. Gunung di utara, laut di selatan. Jalan yang menghubungkan satu rumah dengan rumah yang lainya ternyata dibuat dengan formasi tiang salib. Desa di tengah hutan ini membuat kaget orang yang terbang melintasi daerah ini, karena mereka melihat jalan seperti salib besar di tengah hutan (lihat gambar 3.1). Dengan berjalannya waktu, mereka terus bekerja dan berusaha membuka lahan-lahan yang lainnya. Dengan semangat kerja keras yang tidak kenal lelah akhirnya hutan-hutan yang tadinya gelap dan mengerikan, menjadi lahan atau areal yang lapang dan menjadi tempat pemukiman keluarga-keluarga yang belum memiliki rumah.

Pdt. W ayan Sunarya (2009) menyatakan bahwa “mereka mengucap syukur karena sudah dapat merayakan hari Natal bersama keluarga pada tahun 1939”32 setelah mereka membuka lahan hutan

yang mengerikan tersebut. “len tusing je ade pak Pdt. M ade Rungu, ane dados pemimpin ane nganggo etos megae, nilai spiritual totone, pasti i

31 W awancara dengan Pdt. W ayan Sunarya, di Blimbingsari November 2009.

(24)

rage sukeh ngewangun desane to”, begitu ungkap Pdt. W ayan Sunarya, 2009. Artinya jikalau tidak ada bapak Pdt. M ade Rungu sebagai pemimpin yang menggalang etos kerja dan nilai spiritual tersebut, niscaya sulit membangun Desa Blimbingsari itu. M ereka bersukacita menggarap lahan yang telah diberi oleh Pemerintah Belanda saat itu dengan semangat kerja keras, dan saling bahu-membahu.

Kesimpulan

Pada bagian ini penulis menjelaskan bahwa peran kepemimpinan sangat penting dalam proses migrasi dari desanya mula-mula menuju Alas Cekik ini (Blimbingsari) dan mendorong dan mengarahkan warga desa Blimbingsari, untuk bekerja keras dengan menggalang nilai spiritualitas dan etos kerja untuk membangun desanya. Pemimpin yang dimaksud adalah pemimpin desa I M ade Sela, dan pemimpin Rohani Pdt. I M ade Rungu dan I M ade Tjaduk, sehingga desa ini menjadi desa yang makmur. Disamping itu juga penulis menjelaskan mengenai sejarah konversi agama sampai terbentuknya desa baru, Blimbingsari. Yang didalamnya berisi tentang peran kepemimpinan saat perpindahan dari Hindu ke Kristen, tekanan atau penderitaan orang-orang Bali Kristen, perpindahan Bali-Kristen menuju ke Blimbingsari, proses migrasi hingga tiba di Alas Cekik.

Penulis menjelaskan dinamika atau usaha-usaha penginjilan di Pulai Bali dari tahun 1633, Ketegangan antar Hindu dan Bali-Kristen yang ditunjukkan melalui tanah pekuburan, sampai terjadinya transmigrasi ke Alas Cekik oleh Pemerintah Belanda sebagai satu alasan agar Bali tetap menjadi M useum Hidup.

Di samping itu juga, dalam bab ini dibahas juga mengenai bagaimana proses migrasi dari desanya mula-mula menuju Alas Angker ini (Blimbingsari).

(25)

Gambar

tabel 4.1):

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

[r]

[r]

[r]

Studi terdahulu menunjukkan bahwa warna roti tawar tidak stabil terhadap cahaya dengan intensitas di atas 2850 lux, dan kinetika degradasi sesuai orde ke-0 (Andini dan

Sementara itu, lama ekstraksi tidak berpengaruh terhadap rendemen, kadar air, bilangan asam dan bilangan penyabunan minyak sehingga berdasarkan penelitian ini diperoleh

Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan pati resisten pada mi gandum utuh dan menentukan kadar gizi pada mi, meliputi kadar air, kadar abu, lemak, protein