STUDI DESKRIPTIF PENGALAMAN AYAH YANG IKUT SERTA DALAM MERAWAT ANAK PERTAMA
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh:
Laurensia Wulan Kusuma Anggraini NIM : 069114105
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
i
STUDI DESKRIPTIF PENGALAMAN AYAH YANG IKUT SERTA DALAM MERAWAT ANAK PERTAMA
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh:
Laurensia Wulan Kusuma Anggraini NIM : 069114105
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya, mahasiswa Universitas Sanata Dharma dengan identitas di bawah ini:
Nama : Laurensia Wulan Kusuma Anggraini
NIM : 069114105
Fakultas/Jurusan/Prodi : Psikologi
menyatakan bahwa skripsi ini merupakan karya sendiri dan belum pernah
diajukan guna mencapai derajat kesarjanaan di perguruan tinggi manapun. Karya
tulis ini tidak memuat karya atau bagian dari karya orang lain, kecuali yang telah
disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Jika terdapat bukti adanya plagiasi, saya bersedia derajat kesarjanaan saya
dicabut.
Yogyakarta, 24 Juni 2013
Yang menyatakan,
v
STUDI DESKRIPTIF PENGALAMAN AYAH YANG IKUT SERTA DALAM MERAWAT ANAK PERTAMA
Laurensia Wulan Kusuma Anggraini
ABSTRAK
.Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pengalaman seorang ayah yang ikut merawat anak pertama. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yaitu, penelitian ini menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskripttif. Penelitian deskriptif yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif yang difokuskan pada suatu fenomena tertentu (penelitian fenomenologis), yaitu mendeskripsikan pemahaman pengalaman hidup beberapa orang tentang konsep/fenomena. Pengambilan data dalam penelitian yaitu menggunakan teknik wawancara. Teknik wawancara adalah percakapan dengan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Hasil penelitian adalah sebagai berikut: Pola pertama, yaitu merawat anak pertama menyita tenaga, waktu dan emosi ayah. Seseorang yang baru memerankan satu peran tertentu akan sangat kesulitan. Demikian juga di dalam pengalaman ayah yang ikut merawat anak pertama akan merasakan pengalaman baru. Perasaan yang dirasakan oleh ayah yang ikut mengurus anak pertama yaitu capek, waktu habus sampai timbul emosi yang cenderung berakibat pada mudah marah-marah. Mengurus anak cukup sulit. Pola kedua, ayah yang ikut merawat anak pertama merupakan pengalaman baru dan menjadi keharusan karena tuntutan ekonomi. Pada umumnya menjadi urusan para ibu di dalam keluarga Jawa. Namun karena pergeseran kebudayaan serta faktor-faktor lainnya yang mulai merasuki kebudayaan Jawa, maka terjadi perubahan pola hidup di masyarakat, salah satunya dalam hal pengasuhan anak.
vi
A DESCRIPTIVE STUDY OF THE EXPERIENCE OF FATHER WHO PARTICIPATES CARING A CHILD
Laurensia Wulan Kusuma Anggraini
ABSTRACT
This study was aimed to describe the experience of a father who participates caring a child. This research was a descriptive study, which produced and processed data descriptively. The descriptive research used in this research was a descriptive qualitative research focused on a particular phenomenon (phenomenological research), which describes some of the life experiences to understand the concept / phenomena. Data collection technique was using interview. The interview technique was a conversation with questions and answers which were directed to achieve certain goals. The results showed that: The first pattern, which was caring for the first child seized power, time and emotion of a father. Someone who has played a particular role would be very difficult. Similarly, in the experience of fathers who took care for the first child would become a new experience. The feeling of a father who took care of the first child was tired, spent the time which resulting emotions that tend to arise the anger. The child care was quite difficult. The second pattern, the father who took care for the first child was becomes a new experience and a must for economic reasons. Generally, caring child was a matter for the mothers in the Java family. However, due to a shift in culture as well as other factors that began to permeate the culture of Java, then a change in the pattern of life in the community, one of them in child care.
vii
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya Mahasiswa Universitas Sanata
Dharma:
NAMA : LAURENSIA WULAN KUSUMA ANGGRAINI
NIM : 069114105
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada
Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
STUDI DESKRIPTIF PENGALAMAN AYAH YANG IKUT SERTA DALAM MERAWAT ANAK PERTAMA
supaya dipergunakan sebagaimana mestinya untuk kepentingan akademis.
Dengan demikian, pihak Perpustakaan Universitas Sanata Dharma berhak
untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di
internet atau media lain demi kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari
saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama
saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Terima kasih.
Dibuat di Yogyakarta,
Pada tanggal: 24 Juni 2013
Yang menyatakan,
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur atas rahmat yang diberikan Tuhan Yesus Kristus kepada saya,
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi. Halangan dan gangguan
terkadang menghampiri, namun adanya dukungan dari orang-orang yang selalu
menyayangi dan mencintai saya membuat saya bertahan dan dapat menyelesaikan
halangan dan kendala. Sebagai orang yang belum terampil dalam melakukan
penelitian, saya menerima banyak dukungan serta bimbingan baik secara moril
maupun materil yang sangat berharga. Maka dengan hormat secara khusus saya
ucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Dr. Christina Siwi Handayani, selaku Dekan fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma. Dan sekaligus selaku dosen pembimbing skripsi
yang telah memberikan waktu, kesempatan, saran, dan kesabaran dalam
membimbing skripsi saya selama hampir 3 tahun.
2. Segenap Dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang dengan
kebijaksanaannya mendidik dan mengajar saya selama menempuh bangku
perkuliahan.
3. Ibu A. Tanti Arini selaku Dosen Pembimbing Akademik yang selalu setia
dengan sabar mendengarkan keluhan-keluhan para mahasiswa tingkat akhir
ini
4. Staf Fakultas : Mas Gandung, Bu Nanik, Mas Muji, Mas Doni dan Pak Gie,
ix
5. Mama yang tidak bosan-bosannya selalu mengingatkan dan mendoakan agar
anaknya bisa cepat selesa skripsinya, dan akhirnya doa mama terkabul juga.
6. Adik-adikku tersayang Lintang dan Bagas yang juga senantiasa sebagai
penyemangat dalam mengerjakan skripsi ini.
7. Keluarga besar rumah Jogja; Eyang putri, Bude Emi, Mba Cici, Oscar yang
tidak bosan-bosan nya selalu memberikan dukungan dan doa, agar aku bisa
cepat menyelesaikan skripsi yang sekian lama aku tunda.
8. Pacarku, kekasihku Raden Emmanuel Natalino Kusumo Anggoro,
terimakasih atas perhatian dan kasih sayangmu yang luar biasa hingga saat
ini, mau mendampingiku dengan banyak cobaan dan rintangan dalam
pengerjaan skripsi ini.
9. Semua pihak-pihak yang memberikan data dalam penelitian ini :
Bapak-bapak para subjek ku yang mau direpotkan berkali-kali untuk bisa ditemui
dan diwawancarai, terimakasih atas waktu nerharga yang sudah mau
diberikan kepada saya.
10. Semua teman-temanku di Psikologi angkatan 2006 dan 2007 yang sudah
dibatas akhir dalam menyelesaikan studi, ayoek semangat temaann..waktu
kita hampir habis!!
11. Sahabat-sahabat dan teman-teman sosialitaku Devi, Dita, Lili, Wandan, Sasa,
Dhea yang tak henti-hentinya memberikan dukungan dan semangat agar aku
x
12. Keluarga besar P2TKP Pak Tony, Mba Tia, Mba Diana, yang juga sudah
memberikan kesempatan untuk aku bisa belajar dan mengaplikasikan ilmu
Psikologi yang kudapat.
13. Semua teman-temanku di Psikologi di semua angkatan yang sudah
memberikan kesempatan untuk bisa berdinamika, dan mengenal bersama,
bermain, berkumpul, dan bercanda bersama Paimun, Abe, Endi, Arya, Timo,
Anggit, Manto, Eva, Noy, Sella, Tia, Uline, Ayu, Eek, Guntur dan semua
teman-teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu-satu kalian semua luar
biasa!!
14. Semua pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan skripsi yang
tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
Akhirnya, penulis menyadari bahwa pikiran selalu bergerak lebih cepat
dari tulisan yang menjadi jejaknya. Sehingga dapat dirasakan bahwa tulisan ini
selalu tidak sempurna jika dipikirkan lebih dalam lagi. Oleh karena itu kritik dan
saran yang membangun tentunya akan sangat membantu untuk kepatutan karya
tulis ini. Terima Kasih.
Yogyakarta, 24 Juni 2013
xi DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING... ii
HALAMAN PENGESAHAN………... iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... iv
ABSTRAK... v
ABSTRACT... vi
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... vii
KATA PENGANTAR... viii
DAFTAR ISI... xi
DAFTAR TABEL... xiv
DAFTAR LAMPIRAN... xv
BAB I. PENDAHULUAN………..………….. 1
A.Latar Belakang Masalah... 1
B.Rumusan Masalah………. 7
C.Tujuan Penelitian...……….…. 8
D.Manfaat Penelitian... 8
1.Manfaat Praktis... 8
2.Manfaat Praktis... 8
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA... 9
A.Pengertian Gender... 9
xii
C.Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan Anak... 18
D.Peran Pengasuhan Anak Pertama dalam Budaya Jawa... 22
E.Pertanyaan Penelitian... 24
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN... 25
A. Jenis Penelitian... 25
B.Batasan Istilah... 25
C.Subjek Penelitian... 28
D. Teknik Pengambilan Data... 29
E.Analisis Data... 30
1.Organisasi Data... 30
2.Koding dan Analisis... 31
3.Melakukan Kategorisasi, Interpretasi, dan Pembahasan Hasil Penelitian... 31
F.Keabsahan Data... 31
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 35
A.Pandangan Subjektif Peneliti Mengenai Peran Ayah dalam Merawat Anak Pertama... 35
B.Pelaksanaan Penelitian... 36
C.Hasil Peneltian…………... 38
1.Deskripsi Informan Penelitian... 38
2.Hasil Analisis Data Penelitian... 40
xiii
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN... 58
A.Kesimpulan... 58
B.Saran... 60
1.Bagi Ayah Baru atau Calon Ayah Baru... 60
2.Bagi Peneliti Selanjutnya... 60
DAFTAR PUSTAKA... 61
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Panduan Wawancara... 26
Tabel 2. Pengalaman Ayah yang Ikut Merawat Anak Pertama... 40
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Horizonalization dan Tabel Ringkasan Subjek 1……….. 63
Lampiran 2. Horizonalization dan Tabel Ringkasan Subjek 2... 75
Lampiran 3. Horizonalization dan Tabel Ringkasan Subjek 3... 94
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bagi laki-laki, menjadi ayah merupakan salah satu pengalaman besar
dalam hidupnya. Menyandang status sebagai ayah berarti memiliki
tanggungjawab lebih besar dibandingkan dengan masa sebelum-sebelumnya.
Dalam kehidupan masyarakat tradisional, figur ayah memiliki tanggungjawab
untuk mencari nafkah bagi keluarganya dan menjadi pemimpin bagi keluarga
tersebut. Sedangkan ibu memegang kendali dalam menyelesaikan
urusan-urusan domestik, salah satunya dalam pengasuhan dan atau perawatan anak.
Dalam keluarga, kehadiran anak di satu sisi dapat menjadi berkah,
namun di sisi lain akan mendatangkan kesulitan bagi orang tua karena harus
menyesuaikan segala hal, terutama soal bagaimana merawatnya kelak.
Dengan lahirnya anak berarti orangtua akan memiliki tanggungjawab yang
harus dipikul untuk merawat, membesarkan dan mendidik anak itu sampai ia
dewasa nanti.
Bagi sebagian orangtua, terutama pasangan yang baru saja menikah,
tanggungjawab untuk merawat dan membesarkan anak bukanlah sesuatu
yang mudah. Pekerjaan ini memiliki tantangan yang besar dan bisa membuat
stress, apalagi pada masa-masa awal setelah melahirkan. Mereka harus
menghadapi suatu rutinitas yang baru dan jika tidak ditangani dengan benar,
ibu. Seperti diketahui bahwa tugas utama seorang ibu adalah mengasuh dan
membesarkan anak, terlepas perannya sebagai wanita karir atau ibu rumah
tangga. Dua-duanya tetap memiliki tanggung jawab yang sama, yaitu
mengasuh anak. Tetapi, tanggungjawab yang harus dihadapi oleh wanita karir
lebih banyak dibandingkan dengan ibu rumah tangga karena mereka masih
harus membagi waktu untuk anak-anak dengan pekerjaan mereka.
Suhapti (1995) mengatakan di dalam kehidupan keluarga orang
Indonesia telah lama terjadi ketidakadilan terhadap perempuan. Perempuan
tidak memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki. Sebagian besar
masyarakat Indonesia menganggap bahwa perempuan lebih pantas mengurus
urusan keluarga (peran domestik). Lebih lanjut dijelaskan Retno Suhapti
bahwa jika perempuan dan laki-laki seimbang, maka Indonesia akan lebih
indah. Temuan Retno tersebut menunjukkan bahwa perempuan menanggung
beban pekerjaan merawat dan membesarkan anak. Selaras dengan Retno,
Henny (2012) dalam hasil penelitiannya menulis bahwa ibu terikat dengan
nilai-nilai kebudayaan dalam merawat anak. Oleh karena itu, ibu akan sekuat
tenaga untuk dapat berperan sebagai seorang ibu yang baik. Dalam
kebudayaan Jawa, profil ibu yang baik ditunjukkan dengan kemahirannya
menyelesaikan urusan keluarga, termasuk merawat anak.
Namun seiring dengan kemajuan di bidang sosial, ekonomi serta
budaya, maka persepsi peran serta figur ayah tidak hanya menjadi
juga pada ibu yang bekerja di luar rumah. Bahkan di tempat-tempat kerja
tidak ada lagi pandangan minor tentang perempuan yang bekerja.
Dalam mengakses ekonomi di sektor publik, antara laki-laki dan
perempuan bersaing ketat untuk mendapatkan sumber daya ekonomi.
Demikian juga seiring dengan perubahan regulasi yang memberikan
perlindungan lebih di masyarakat berdampak langsung pada tatanan
kehidupan di dalam keluarga, namun di sisi lain masyarakat masih belum siap
sepenuhnya.
Dampak perubahan relasional terutama di ruang-ruang publik
tersebut, maka laki-laki dan perempuan hanya dibedakan dalam segi
produktifitas kerjanya. Karena itu, figur ibu dan ayah yang sering dibedakan
dalam kehidupan keluarga semakin berkurang. Urusan keluarga - termasuk
dalam hal mengurus anak, tidak lagi hanya menjadi urusan ibu semata, akan
tetapi juga menjadi tugas bersama antara ibu dengan ayah.
Mengutip pendapat Schumacher & Meleis dalam penelitiannya,
Kerstin Nystrom dan Kerstin Ohrling (2004) mengatakan bahwa dalam
kehidupan keluarga selalu dihadapkan dengan berbagai bentuk transisi
sepanjang hidup keluarga itu. Salah satunya adalah transisi menjadi orang
tua. Dalam kesimpulannya, Kerstin Nystrom dan Kerstin Ohrling (2004)
menjelaskan perlunya transisi dimulai selama kehamilan, periode pasca
kehamilan, hingga usia anak 18 bulan.
Oleh karena itu, seiring dengan perubahan peran di dalam mencari
keluarga. Figur ayah dapat berperan dalam berbagai hal terkait dengan urusan
rumah tangga seperti pengasuhan, partisipasi dalam aktivitas dan masalah
pendidikan anak. Kebijakan yang dulu lebih berfokus pada ibu, mulai
memberikan kesempatan serta ruang bagi figur ayah untuk mengekspresikan
diri dalam proses parenting (pengasuhan).
Dalam keadaan dimana sumber penghasilan ayah tidak dapat
mencukupi kebutuhan keluarga, maka menjadi tuntutan bagi ayah untuk
membantu mengurus urusan rumah tangga, yaitu mengurus anak. Sedangkan
tugas mencari nafkah dapat dilakukan oleh Ibu. Namun demikian, Reynolds,
et al (2003) mengatakan bahwa pengaruh dari ibu bekerja selain menambah
penghasilan, mendapat penghargaan dari keluarga, juga berdampak pada
stress, kelelahan, dan konflik keluarga.
Berdasarkan uraian di atas, perubahan peran di dalam keluarga
dipengaruhi oleh berbagai faktor, di antaranya adalah faktor ekonomi.
Seorang ayah yang berpenghasilan rendah akan menyulitkan kehidupan
keluarga apabila hanya bergantung pada penghasilan dari ayah. Oleh karena
itu, bantuan dari ibu untuk menambah pemasukan bagi keluarga sangatlah
penting, namun hal tersebut akan mengurangi kebersamaan ibu di dalam
keluarga. Akibatnya, peran di dalam mengasuh anak yang semula dipegang
oleh ibu, secara otomatis harus diambil oleh ayah.
Menurut Palkovits (dalam Hidayati, dkk, 2011) keterlibatan ayah
dalam pengasuhan anak antara lain dalam hal berpikir, merencanakan,
serta berdoa bagi anaknya. Dalam hal pengasuhan, salah seorang informan
penelitian, Mj mengatakan perannya yang dijalankan di dalam mengasuh
anak yaitu mengganti popok, membuatkan susu, memandikan anak, dan lain
sebagainya. Akan tetapi ada pembagian tugas dengan isteri untuk merawat
anak, agar terlihat lebih ringan beban isteri.
Menilik dari perspektif anak, keterlibatan ayah diasosiasikan dengan
ketersediaan kesempatan bagi anak untuk melakukan sesuatu, kepedulian,
dukungan dan rasa aman. Menurut Palkovits (dalam Hidayati, 2011), anak
yang ayahnya terlibat dalam pengasuhan dirinya akan memiliki kemampuan
sosial dan kognitif yang baik, serta kepercayaan diri yang tinggi.
Keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak sangat penting dalam
pertumbuhan seorang anak. Ikatan emosional antara ayah dan anak,
ditentukan salah satunya oleh interaksi antara ayah dan anak itu sendiri.
Interaksi yang baik antara anak dan ayah ini, dikatakan sangat mempengaruhi
kecerdasan emosional seorang anak yang membuatnya tumbuh menjadi
sosok dewasa yang berhasil.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Asa Premberg, Anna-Lena
Hellstrom and Marie Berg pada tahun 2007 di Swedia tentang peran ayah
dalam mengasuh anak pertama selama setahun. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa peran ayah dalam mengasuh anak akan membantu
dalam mendekatkan hubungan antara anak dengan ayahnya, namun
menambah beban bagi ayah. Ayah yang berperan mencari nafkah dengan
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
keterlibatan ayah di dalam pengasuhan anak turut memberikan kontribusi
penting bagi perkembangan anak, pengalaman yang dialami bersama dengan
ayah, akan mempengaruhi seorang anak hingga dewasa nantinya. Peran serta
perilaku pengasuhan ayah mempengaruhi perkembangan serta kesejahteraan
anak dan masa transisi menuju remaja. Perkembangan kognitif, kompetensi
sosial dari anak-anak sejak dini dipengaruhi oleh kelekatan, hubungan
emosional serta ketersediaan sumber daya yang diberikan oleh ayah
Keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak memiliki dampak yang
positif dalam konteks membangun ikatan emosional antara ayah dan anak.
Oleh karena itu, seiring dengan kehadiran anak di dalam keluarga, maka akan
mempengaruhi siklus kehidupan di dalam keluarga. Anggota keluarga harus
melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan hubungan yang berkembang di
dalam keluarga. Kehadiran anak berarti menambah pekerjaan para orang tua,
termasuk ayah. Oleh karena itu, seiring dengan kehadiran anak pertama maka
dibutuhkan transisi. Ayah yang ikut merawat anak pertama, sedikit demi
sedikit harus menyesuaikan dengan kondisi yang baru.
Selain karena penting bagi diri anak, keterlibatan ayah di dalam
mengasuh anak telah menjadi tuntutan bagi keluarga baru untuk meringankan
beban ibu, terutama ibu yang bekerja. Apalagi jika penghasilan ayah tidak
dapat mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga. Demikian juga, penambahan
pengasuh anak merupakan suatu keharusan. Peran ayah di dalam mencari
nafkah dapat digantikan oleh Ibu.
Di dalam kultur Jawa peran ganda yang dijalankan ayah tentu menjadi
masalah tersendiri, mengingat bahwa seoranag ayah tidak terbiasa untuk
terlibat di dalam pengasuhan anak. Seorang ayah di dalam kultur Jawa,
umumnya mencari nafkah. Seiring dengan adanya tuntutan ekonomi seperti
dialami oleh ketiga keluarga informan, maka ayah dituntut untuk
menjalankan peran ganda yaitu mencari nafkah dan mengasuh anak seperti
yang dialami oleh ketiga informan. Hal tersebut memberikan pengalaman
baru yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Aktifitas mengasuh anak
cukup menyita banyak waktu, tenaga dan emosi tersendiri bagi seorang ayah.
Karena itu, ayah yang terlibat di dalam mengasuh anak akan merasakan
pengalaman baru.
Penulis tertarik meneliti pengalaman seorang ayah yang terlibat di
dalam mengasuh anak pertama. Pengalaman seorang ayah yang terlibat
mengasuh anak pertama memberikan gambaran dan pelajaran bagaimana
seorang ayah mengatur antara pekerjaan dan pengasuhan anak. Berdasarkan
uraian tersebut, maka judul penelitian ini adalah sebagai berikut:
“Pengalaman Seorang Ayah yang Merawat Anak Pertama”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini
C. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan pengalaman ayah yang ikut merawat anak pertama.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Praktis
a. Bagi calon ayah baru
Memberikan informasi mengenai gambaran pengalaman
subyektif seorang ayah yang ikut berperan serta dalam merawat anak
pertama.
b. Bagi masyarakat umum
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi masyarakat
untuk menambah wacana mengenai gambaran pengalaman seorang
ayah yang ikut serta dalam merawat anak pertamanya.
2. Manfaat Teoritis
Manfaat penelitian ini adalah menambah keragaman penelitian
psikologi terutama mengenai pengalaman subjektif seorang ayah yang
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Gender
Peran gender menurut Myers (1996) merupakan suatu set perilaku-
perilaku yang diharapkan (norma-norma) untuk laki-laki dan perempuan.
Bervariasinya peran gender di antara berbagai budaya serta jangka waktu
menunjukkan bahwa budaya memang membentuk peran gender. Dalam
pengertian ini, gender berbeda dengan maskulin.
Maskulin adalah sifat-sifat yang dipercaya dan dibentuk oleh budaya
sebagai ciri-ciri yang ideal bagi pria. Sedangkan Feminin nerupakan ciri-ciri
atau sifat-sifat yang dipercaya dan dibentuk oleh budaya sebagai ideal bagi
wanita. Maskulinitas dan femininitas ini berkaitan dengan stereotip peran
gender. Stereotip peran gender ini dihasilkan dari pengkategorisasian antara
perempuan dan laki-laki, yang merupakan suatu representasi sosial yang ada
dalam struktur kognisi manusia.
O'Neal, Good dan Holmes (1995) menyatakan bahwa konflik
peran-peran gender merupakan suatu keadaan psikologis, dimana sosialisasi peran-peran
gender memiliki konsekuensi negatif terhadap orang tersebut atau orang lain.
Konflik peran gender tampil bila peran-peran gender yang kaku, seksis, atau
terbatas, menimbulkan pribadi yang terbatas, merendahkan atau mengganggu
dari potensi kemanusiaan pada seseorang yang mengalami konflik atau
keterbatasan dari potensi orang lain.
Konflik peran gender merupakan konsep yang multidimensional dan
kompleks. Bagaimana peran gender dipelajari, diinternalisasikan dan dialami,
mulai dari anak-anak sampai dewasa akhir, sangat kompleks, khas dan
bersifat individual. Terdapat perbedaan-perbedaan generasi, ras, orientasi
jenis kelamin, usia dan etnik dalam pengalaman konflik peran gender. Secara
keseluruhan, konflik peran gender merupakan implikasi dari
permasalahan-permasalahan kognitif, emosional, ketidaksadaran, atau perilaku yang
disebabkan oleh sosialisasi peran-peran gender yang dipelajari pada
masyarakat yang siksis dan patriarchal.
Konflik peran gender beroperasi pada empat tingkatan yang saling
tumpang tindih dan kompleks, yakni kognisi, pengalaman-pengalaman
afektif, perilaku-perilaku dan pengalaman-pengalaman ketidaksadaran.
Konflik peran gender yang dialami pada tingkatan kognitif berasal dari
cara-cara seseorang yang berfikir terbatas (restrictive) tentang peran-peran
maskulin dan feminin. Sikap-sikap yang stereotip dan pandangan dunia
tentang laki-laki dan perempuan hasil dari keterbatasan kognitif. Konflik
peran gender yang dialami pada tingkatan afektif berasal dari gangguan
emosional yang mendalam tentang peran-peran maskulin dan feminin.
Perasaan senang atau tidak senang yang selalu mnyertai
perbuatan-perbuatan kita sehari-hari disebut warna afektif. Warna afektif ini
afetif tersebut kuat, maka perasaan-perasaan menjadi lebih mnedalam, lebih
luas dan lebih terarah. Perasaan-perasaan tersebut disebut emosi (Sarlito,
1982:59). Di samping perasaan seneng atau tidak seneng, beberapa contoh
macam emosi yang lain adalah gembira, cintah, marah, takut, cemas dan
benci.
Emosi dan perasaan adalah dua hal yang berbeda. Emosi dan perasaan
merupakan suatu gejala emosional yang secar kualitatif berkelanjutan, akan
tetapi tidak jelas batasnya. Pada suatu saat warna afektif dapat dikatakan
sebagai perasaan, tetapi juga dapat dikatakan sebagai emosi; contohnya
marah yang ditunjukan dalam bentuk diam. Jadi sukar sekali kita
mendefinisikan emosi.
Adapun kondisi emosional seseorang terdiri atas hal-hal berikut:
1. Cinta/Kasih Sayang
Faktor penting dalam diri seseorang adalah kapasitasnya untuk
mencintai orang lain dan kebutuhannya untuk mendapatkan cinta dari
orang lain. Kemampuan untuk memberi dan menerima cinta menjadi
sangat penting. Seorang ayah yang baru memiliki anak pertama akan
merasakan bagaimana perasaan cinta dan sayangnya kepada anak.
2. Gembira
Pada umumnya individu dapat mengingat kembali
pengalaman-pengalaman yang menyenangkan yang dialami. Kehadiran anak pertama
keluarga yang sudah lama menunggu-nununggu kehadiaran anak
pertamanya.
3. Keamarahan dan Permusuhan
Di dalam menjalani hari-hari di awal-awal minggu, bulan, perasaan
seorang ayah terkadang bercampur baur antara senang dan marah. Karena
harus membagi waktu bekerja yang terkadang menyita waktu dengan ikut
terlibat di dalam merawat anak pertama. Ayah terutama sekali dituntut
untuk menghasilkan pemasukan ekonomi bagi keluarga, juga merasa ingin
terlibat dalam pegnmasuhan anak pertama.
4. Ketakutan Dan Kecemasan
Seiring dengan perjalanan waktu di dalam merawat anak biasanya
ayah yang kurang istirahat dihantui rasa kecemasan di dalam dirinya. Rasa
cemas tersebut wajar timbul karena kurangnya waktu istirahat bagi ayah
yang terlibat di dalam mengasuh anak.
Konflik peran gender yang dialami pada tingkatan afektif berasal dari
gangguan emosional yang mendalam tentang peran-peran maskulin dan
feminism.
Konflik peran gender yang dialami pada tingkatan perilaku berasal
dari pengalaman konflik yang nyata dengan maskulinitas dan femininitas
sebagai mana kita berperilaku, bereaksi dan berinteraksi dengan diri kita
sendiri dan orang lain.
Konflik peran gender sebagai fenomena ketidaksadaran
alam bawah kesadaran mengenai maskulinitas dan femininitas. Mengevaluasi
dan memahami tingkatan-tingkatan yang berbeda dari konflik peran gender
sebagaimana beroperasi secara simultan pada kehidupan manusia merupakan
hal yang kompleks.
Seorang laki-laki mengalami konflik peran gender langsung maupun
tidak langsung melalui enam hal, yakni bila mereka : (1) berbeda dari atau
melanggar norma-norma peran gender (Pleck, 1981) (2) mencoba
menemukan atau gagal menemukan norma-norma peran maskulin (3)
mengalami adanya jarak antara konsep dirinya yang nyata dan yang ideal,
yang didasarkan atas stereotip peran gender (Garnets & Pleck, 1979) (4)
secara personal merendahkan, membatasi dan merusak diri sendiri (O'Neil,
1990; O'Neil, Fishman & Kinsella-Shaw, 1987) (5) mengalami perendahan
nilai, keterbatasan atau gangguan dari orang-orang lain (6) secara pribadi
merendahkan, membatasi atau mengganggu orang lain karena stereotip peran
gender.
Keenam konteks dan keempat tingkatan dari konflik peran gender
yang diutarakan di atas, merupakan pondasi konseptual terhadap pengalaman
individu pada konflik. Berdasarkan hal tersebut O'Neil dan kawan-kawan
membentuk skema diagnostik yang mengandung tiga pengalaman personal
dari konflik peran gender pada konteks tiga situasi. Konteks yang tumpang
tindih termasuk konflik peran gender di dalam diri sendiri, konflik peran
gender yang disebabkan oleh orang lain dan konflik peran gender yang
gender yang dialami secara internal pada diri seseorang, dipengaruhi oleh
konflik orang-orang atau diekspresikan terhadap orang lain.
Pengalaman personal dari konflik peran gender didefinisikan sebagai
konsekuensi negatif dari peran gender dalam peristilahan perendahan,
keterbatasan dan gangguan-gangguan peran gender. Bila individu-individu
terendahkan, terbatasi, dan terganggu yang disebabkan oleh seksisme dan
konflik peran gender dapat beresiko pada kesehatan fisik maupun psikis.
Contohnya bila seorang laki-laki yang konform dengan norma-norma
maskulin dalam hal secara emosional tidak ekpresif bisa jadi beresiko pada
permasalahan kesehatan dan masalah psikologis seperti depresi dan
kecemasan. Pada sisi lain seorang laki-laki yang bebas mengekspresikan
emosinya direndahkan oleh orang-orang lain karena mengekspresikan emosi
adalah stereotip feminin.
Proses kognisi, emosi, perilaku dan ketidaksadaran dapat berinteraksi
menyebabkan seseorang merasa jelek tentang dirinya atau menghasilkan
hubungan yang negatif dengan orang lain. Hasil personal dari konflik peran
gender termasuk kecemasan, depresi, self esteem yang rendah dan stres. Hasil
dalam kaitannya dengan hubungan interpersonal bisa berupa keterbatasan
intimasi, ketidakbahagiaan dalam berhubungan, konflik pekerjaan, kekuasaan
dan kontrol dalam hubungan serta bisa sampai pada serangan fisik dan
seksual. Aspek-aspek negatif dari stereotip maskulin merupakan sistem
mistik dan nilai, yang diartikan sebagai suatu set kompleks dari nilai-nilai dan
Menurut O'Neil dan kawan-kawan Mistik Maskulin dan sistem nilai
merupakan aspek-aspek negatif dari stereotip maskulin. Mistik Maskulin dan
sistem nilai didefenisikan sebagai set dari nilai-nilai dan kepercayaan yang
kompleks dalam mengartikan maskulinitas. Nilai-nilai ini, dipelajari sejak
tahap awal sosialisasi, yang didasarkan pada stereotip dan
kepercayaan-kepercayaan yang kaku tentang laki-laki, maskulin dan feminin. Mistik
Maskulin dan sistem nilai ini menghasilkan ketakutan akan femininitas pada
kehidupan pria.
Sosialisasi peran gender, sistem mistik dan nilai maskulin serta
ketakutan akan femininitas berhubungan dengan pola-pola konflik peran
gender yaitu konflik antara pekerjaan dan hubungan keluarga. Mengalami
kesulitan dalam mengimbangi pekerjaan-pekerjaan dan hubungan-hubungan
keluarga, yang dapat menghasilkan masalah kesehatan, kelebihan kerja, stres
dan suatu ketidakmampuan untuk bersenang-senang dan relaks.
Ayah yang terlibat dalam pengasuhan anak sebenarnya mengalami
konflik sebagaimana disebutkan dalam pola keempat di atas. Norma yang
melekat kepada ayah sebagai pencari nafkah bagi keluarga tetap menjadi
beban spikologis, namun di sisi lain seiring dengan bergesernya budaya serta
struktur sosial ayah mulai ikut terlibat dalam urusan-urusan domestik rumah
tangga.
Konflik yang dirasakan oleh ayah dalam kaitannya dengan perannya
merawat anak serta mencari nafkah untuk keluarga secara langsung akan
seperti dialami oleh para ibu bukanlah pekerjaan yang mudah dan
menyenangkan. Namun demikian, karena keinginan dan atau karena
menumpuknya beban Ibu, sehingga ayah perlu terlibat dalam urusan domestik
salah satunya dengan mengurus anak.
B. Peranan Budaya pada Sosialisasi Peran Gender
Menurut Frieze (1978), peran budaya pada perkembangan peran
gender, dimulai dengan peran yang mendikte pengkategorisasian dan
penggeneralisasian dalam proses kognitif seorang anak. Selanjutnya melalui
berbagai alternatif, model budaya juga menyediakan suatu daya dorong
dalam perubahan skemata kognitif seseorang.
Peran budaya ini dimulai dari keluarga, dimana anak mengamati
adanya perbedaan perilaku pada keluarga ke dalam sistem kategorinya. Pada
skala yang lebih besar, struktur dan organisasi sosial, misalnya struktur
keluarga dalam suatu masyarakat merupakan sumber data dimana seorang
anak mempergunakannya untuk membentuk stereotip peran gender. Jadi
aspek-aspek budaya dari suatu masyarakat mendikte perilaku melalui model
peran anak yang pertama. Selain itu budaya juga mendikte perilaku dari
model-model peran yang diproyeksikan dalam setiap kenyataan pada jaringan
media. Karakter TV, memerankan stereotip budaya.
Media massa menunjukkan konsekwensi dari pelanggaran
norma-norma gender, menggambarkan hadiah bagi yang conform (menyesuaikan
penyimpangan. Teman-teman sebaya anak juga menyingkapkan informasi
budaya yang sama, budaya mempengaruhi perilaku dari model teman-teman
sebaya. Budaya juga mempengaruhi respons-respons orang lain terhadap
anak. Dimana kemudian respons masyarakat secara luas juga memberikan
masukan sebagai dasar dari stereotip anak.
Kesimpulannya menurut Frieze (1978, dalam Nauly, 1993) bila anak
berhadapan dengan pola-pola stimulus sosial, ia akan membentuk suatu
stereotip gender yang konform dengan stereotip yang ada pada masyarakat
tersebut. Namun bila terdapat model yang tidak sesuai dengan pola stereotip
yang ada pada masyarakat tersebut, anak akan memiliki alasan untuk
bertanya tentang kebenaran stereotip dan menyesuaikan skemata peran- peran
gender yang dimilikinya.
Jadi dalam hal ini budaya berinteraksi dengan perkembangan kognitif
dalam perolehan peran gender. Melalui perilaku model-model dan melalui
respons-respons terhadap anak, budaya memberikan masukan sensoris yang
menyajikan dasar dari stereotip gender pada anak.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, kebudayaan merupakan sesuatu
yang dinamis dan dapat dipengaruhi oleh faktor sosialisasi yang terjadi secara
intens mempengaruhi suatu masyarakat. Demikian juga dengan cara pandang
tentang perempuan dan laki-laki dan kompleksitas peran-peran yang
dimainkan olehnya mulai berubah seiring dengan sosialisasi intens melalui
C. Keterlibatan Ayah dalam Pengasuhan Anak
Definisi ayah mengalami variasi diantara budaya-budaya, hal ini
disebabkan antar kelompok budaya membentuk definisi mengenai fungsi
pengasuhan yang berbeda baik itu bagi ayah maupun ibu (Lamb, dalam
Frogman, dkk, 2000). Fathering merupakan peran yang dimainkan seseorang
yang berkaitan dengan anak, bagian dari sistem keluarga, komunitas, dan
budaya (Lynn, dalam Frogman, dkk, 2002). Good fathering merefleksikan
keterlibatan positif ayah dalam pengasuhan melalui aspek afektif, kognitif,
dan perilaku.
Ayah bertanggung jawab secara primer terhadap kebutuhan finansial
keluarga. Ibu bertanggung jawab terhadap pengasuhan dasar. Bermain dengan
anak, dukungan emosional, monitoring, dan hal yang berkaitan dengan
disiplin dan aturan cenderung dibagi bersama oleh ayah dan ibu. Lamb, dkk
(dalam Palkovits, 2002) membagi keterlibatan ayah dalam 3 komponen yaitu;
1. Paternal engagement: pengasuhan yang melibatkan interaksi langsung
antara ayah dan anaknya, misalnya lewat bermain, mengajari sesuatu, atau
aktivitas santai lainnya.
2. Aksesibiltas atau ketersediaan berinteraksi dengan anak pada saat
dibutuhkan saja. Hal ini lebih bersifat temporal.
3. Tanggung jawab dan peran dalam hal menyusun rencana pengasuhan bagi
anak. Pada komponen ini ayah tidak terlibat dalam pengasuhan (interaksi)
Palkovits (2002) menyimpulkan keterlibatan ayah dalam pengasuhan
anak memiliki beberapa definisi, diantaranya:
1. Terlibat dengan seluruh aktivitas yang dilakukan oleh anak (McBride &
Mills,1993).
2. Melakukan kontak dengan anak
3. Dukungan finansial
4. Banyaknya aktivitas bermain yang dilakukan bersama-sama.
Keterlibatan dalam pengasuhan juga diartikan sebagai seberapa besar
usaha yang dilakukan oleh seorang ayah dalam berpikir, merencanakan,
merasakan, memperhatikan, memantau, mengevaluasi, mengkhawatirkan
serta berdoa bagi anaknya (Palkovits, 2002). Menilik dari perspektif anak,
keterlibatan ayah diasosiasikan dengan ketersediaan kesempatan bagi anak
untuk melakukan sesuatu, kepedulian, dukungan dan rasa aman. Anak yang
ayahnya terlibat dalam pengasuhan dirinya akan memiliki kemampuan sosial
dan kognitif yang baik, serta kepercayaan diri yang tinggi (Palkovits, 2002).
Hal ini terjadi bila ayah mengembangkan model pengasuhan yang
positif. Keterlibatan akan menimbulkan efek yang negatif apabila dalam
praktek pengasuhannya, ayah menunjukkan perilaku negatif, dan melibatkan
hukuman fisik. Dari hal di atas dapat disimpulkan keterlibatan ayah dalam
pengasuhan akan membawa manfaat besar bagi perkembangan anak, hanya
apabila keterlibatan tersebut cocok, hangat, bersifat positif, membangun dan
Adapun manfaat keterlibatan pengasuhan ayah bagi anak adalah
sebagai berikut:
1. Perkembangan kognitif.
Bayi yang telah menerima perlakuan serta pengasuhan dari figur
ayah akan menunjukkan peningkatan kemampuan kognitif pada usia 6
bulan. Pada saat menginjak usia 1 tahun, mereka akan menunjukkan
peningkatan fungsi kognitif, baik dalam hal pemecahan masalah, pada usia
3 tahun memiliki tingkat intelegensi lebih tinggi dari seusianya. Ketika
diperbandingkan dengan ibu, pola pembicaraan ayah dengan balita lebih
diarahkan ke hal yang sifatnya pertanyaan misalnya apa, kemana; hal ini
mengakibatkan anak akan lebih komunikatif dalam berinteraksi,
menggunakan kosakata dan kalimat yang lebih bervariasi.
Mereka yang mendapat pengasuhan dari ayah, akan menunjukkan
prestasi akademik. Dukungan akademik yang diberikan oleh ayah,
berkorelasi positif dengan motivasi akademik remaja. Mereka akan
termotivasi untuk melakukan performansi akademik terbaik, dan
mengutamakan nilai akademik dalam hidup. Secara jangka panjang, anak
yang dibesarkan dengan keterlibatan ayah dalam pengasuhan akan
memiliki prestasi akademik serta ekonomi yang baik, kesuksesan dalam
karir, pencapaian pendidikan terbaik, dan kesejahteraan psikologis.
2. Perkembangan emosi dan kesejahteraan psikologis
Menurut Hidayati, Kaloeti, dan Karyono (2011), keterlibatan ayah
kebahagiaan dan rendahnya pengalaman depresi. Penerimaan ayah secara
signifikan mempengaruhi penyesuaian diri remaja, salah satu faktor yang
memainkan peranan penting bagi pembentukan konsep diri dan harga diri.
Secara keseluruhan kehangatan yang ditunjukkan oleh ayah akan
berpengaruh besar bagi kesehatan dan kesejahteraan psikologis anak, dan
meminimalkan masalah perilaku yang terjadi pada anak (Rohner &
Veneziano, 2001).
3. Perkembangan sosial
Keterlibatan ayah dalam pengasuhan secara positif berkorelasi
dengan kompetensi, inisiatif, kematangan sosial dan relatedness (Hidayati,
Kaloeti, dan Karyono, 2011). Partisipasi langsung ayah dalam pengasuhan
anak membawa pengaruh bagi perkembangan perilaku prososial bagi anak
usia tiga tahun. Kehangatan, bimbingan serta pengasuhan yang diberikan
oleh ayah memprediksi kematangan moral, yang diasosiasikan dengan
perilaku prososial dan perilaku positif yang dilakukan baik oleh anak
perempuan maupun anak laki-laki.
Kesehatan fisik Ayah secara tidak langsung berperan terhadap
kesehatan fisik dan kesejahteraan psikologis anak, ketika memberikan
dukungan optimal terhadap pasangannya (istri). Suami yang memberikan
dukungan emosional kepada istri yang hamil, mengakibatkan terjadinya
kondisi kehamilan prima dan proses persalinan normal serta anak yang
sehat. Horn dan Sylvester (2002) menyatakan anak-anak yang tidak
Selain bermanfaat bagi anak, keterlibatan ayah dalam pengasuhan
juga bermanfaat bagi ayah yaitu:
1. Lebih matang secara sosial
2. Merasa lebih puas dengan kehidupan mereka
3. Mampu memahami diri dan berempati dengan orang lain, serta mengelola
emosi dengan baik
Pengalaman keterlibatan seorang ayah dalam mengasuh anak pertama
juga menjadi beban tersendiri bagi seorang ayah. Ayah yang dalam
kepercayaan tradisional masyarakat diharapkan menjadi tulang punggung
keluarga dan bergeser terlibat dalam urusan pengasuhan anak secara langsung
akan memberikan pengalaman yang baru. Ikut terlibat dalam perawatan anak
akan melibatkan emosi, kognisi, fisik, dan perilaku bagi seorang ayah.
Sebagai pengalaman baru, merawat anak dapat mempengaruhi emosi
ayah. Merawat anak yang baru lahir membutuhkan perhatian serta menyita
banyak waktu. Urusan anak dimulai dari menyediakan dan memberi makan,
memandikan, dan memakaikan pakaian. Ayah yang terlibat dalam merawat
anak juga sekaligus tetap memikirkan nafkah bagi keluarga. Karena itu, ayah
yang terlibat dalam mengurus anak bebannya dua kali dibandingkan denan
ayah yang tidak ikut merawat anak.
D. Peran dalam Pengasuhan Anak Pertama dalam Budaya Jawa
Franz Magnis Suseno mendeskripsikan pola pengasuhan dalam kultur
laki-laki dipersiapkan untuk bertanggungjawab terhadap istri dan
anak-anaknya. Anak laki-laki dididik untuk dapat mencari nafkah dan diberi
kesempatan untuk mempunyai cita-cita tinggi sehingga orientasinya lebih
keluar rumah dan untuk itu dia dibebaskan dari tugas-tugas rumah tangga.
Akibatnya, anak laki-laki tidak dibekali dengan keterampilan-keterampilan
praktis mengelola rumah. Anak wanita sejak kecil dipersiapkan untuk menjadi
ibu dan istri yang berbakti pada suami. Untuk itu ia banyak dibekali
keterampilan-keterampilan praktis mengelola rumah tangga (Franz Magnis
Suseno, 2003).
Pola pengasuhan ini telah membiasakan laki-laki untuk lebih banyak
terlibat dalam tugas-tugas yang bersifat abstrak, sedangkan wanita justru
langsung terlibat dalam tugas-tugas konkret. Akibatnya, laki-laki menjadi
gagap ketika harus terjun ke masyarakat, sementara wanita lebih terampil dan
luwes karena sudah terbiasa mengelola rumah tangga. Pembiasaan ini juga
membuat laki-laki dan wanita jawa ketika dewasa dan membangun rumah
tangga memiliki perbedaan dalam cara menyelesaikan masalah; laki-laki
cenderung berorientasi abstrak, sedangkan wanita justru bisa lebih taktis dan
praktis (Franz Magnis Suseno, 2003).
Dalam budaya Jawa, ibu (wanita) menduduki posisi sentral. Meski
perannya selalu di belakang layar dan tidak tampak, pengaruhnya sedemikian
besar sebagaimana tampak dalam cerita-cerita sehari-hari. Peran yang besar
dari wanita ini didukung oleh konsepsi-konsepsi praktis yang berkembang
wanita dibandingkan anak laki-laki, lebih mementingkan keselarasan dan
menghindari konflik. Meskipun aturan normatif Jawa menunjukan bahwa
posisi wanita di bawah laki-laki (cenderung paternalistik), di dalam pertalian
kekerabatan justru yang lebih sering dipakai adalah sistem bilateral dengan
tetap memperhitungkan baik garis bapak maupun ibu (Franz Magnis Suseno,
2003).
Akibat dari penentuan peran-peran yang diharapkan baik ayah maupun
ibu dalam kebudayaan Jawa, maka hal ini dibentuk dari sejak kecil. Sehingga
ketika dewasa dan menjadi seorang ayah, maka hal tersebut terus terbawa.
Ayah lebih banyak berperan di dalam sektor-sektor publik, sementara ibu
lebih banyak bersinggungan dengan tugas-tugas di dalam keluarga.
Dari peran-peran yang diharapkan bagi seorang ayah maupun seorang
ibu maka timbullah permasalahan di dalam keluarga ketika ayah harus terlibat
di dalam pengasuhan anak. Ayah dalam kebudayaan Jawa yang tidak
dibiasakan untuk membantu urusan keluarga akan kesulitan dalam
menyesuaikan diri di dalam keterlibatannya dalam pengasuhan anak.
E. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan penjelasan teori di atas, maka pertanyaan penelitian ini
adalah: Bagaimana makna pengalaman ayah yang ikut merawat anak
25
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yaitu, penelitian ini
menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif, seperti transkip
wawancara, catatan lapangan, gambar, foto, rekaman video, dan lain
sebagainya. Suryabrata (1990) menjelaskan bahwa penelitian deskriptif
adalah penelitian yang bertujuan untuk membuat pencandraan secara
sistematis, factual, dan akurat mengenai fakta-fakta atau kejadian-kejadian.
Penelitian deskriptif yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian deskriptif kualitatif yang difokuskan pada suatu fenomena tertentu
(penelitian fenomenologis), yaitu mendeskripsikan pemahaman pengalaman
hidup beberapa orang tentang konsep/fenomena (Creswell, 1998). Fenomena
yang diteliti adalah gambaran pengalaman seorang ayah muda yang ikut serta
dalam merawat anak pertamanya. Pengalaman ini berkaitan dengan kesiapan
menghadapi kelahiran anak pertama, peran yang diambil dalam merawat
anak, dan masalah serta resiko dalam merawat anak.
B. Batasan Istilah
Pengalaman seorang ayah yang ikut serta dalam merawat anak
dalam menjalankan perannya sebagai ayat terkait dengan pergeseran peran
ayah, serta pengalaman emosional ayah dalam ikut merawat anak pertama.
Tabel 1.
Panduan Wawancara
anduan Pertanyan Pergeseran Peran a. Pengambilan Peran
1. Bagaimana peran serta bapak dalam merawat anak pertama?
Mengapa anda berkeinginan seperti itu?
2. Bagaimana pengalaman bapak saat merawat bayi? seperti mengganti
popok, memberi makan atau memandikan bayi?
3. Bagaimana pengalaman bapak mengasuh anak anda ketika bapak
harus berbagi waktu dengan isteri anda, sedangkan anda sendiri harus
bekerja?
4. Saat bayi anda menangis bagaimana cara bapak menenangkan bayi
anda tersebut?
b. Resiko dan Masalah
1. Bagaimana perubahan yang anda rasakan ketika anda harus ikut serta
dalam merawat anak anda?Jelaskan!
2. Ketika anda harus meluangkan waktu untuk merawat anak
anda?Bagaimana cara anda bisa membagi waktu antara bekerja dan di
rumah?
harus bersama-sama merawat anak anda?
c. Pengatasan Masalah
1. Saat isteri Bapak sakit, dan anda harus merawat bayi anda, padahal
seharusnya anda harus bekerja, Bagaimana cara anda untuk
mengatasi ini?
2. Bagaimana cara anda membagi waktu, ketika harus merawat anak
anda dengan kegiatan anda lainnya, seperti bekerja atau kesibukan
anda yang lainnya?
3. Dalam merawat anak, bagaimana anda dan isteri berkomunkasi dan
bekerja sama agar bisa merawat anak anda bersama-sama?
engalaman Ayah
a. Pengalaman Emosional
1. Bagaimana perasaan bapak ketika mengetahui istri anda mengandung
anak anda yang pertama?
2. Bagaimana perasaan bapak ketika istri anda melahirkan?
3. Bagaimana proses melahirkan yang dialami oleh isteri bapak?
4. Saat isteri bapak dalam proses melahirkan, situasi seperti apa yang
bapak alami saat itu?
5. Bagaimana perasaan bapak ketika anak pertama bapak lahir dan
bapak melihat bayi kecil yang baru lahir tersebut?
b. Kognitif
kelahiran anak pertama tersebut?Jelaskan!
2. Ketika berada di rumah, bagaimana bapak mengatasi situasi saat
harus menghadapi anak yang rewel?
c. Fisiologis
1. Bagaimana pengalaman bapak ketika harus merawat bayi yang baru
saja lahir?dalam hal ini, bapak mengalami kesulitan dalam merawat
tidak?
2. Bagaimana situasi yang bapak alami dan rasakan ketika merawat
anak?
d. Perilaku
2. Lalu apabila bapak mengalami hal tersebut, tindakan apa yang bapak
lakukan untuk mengurangi gejala-gejala yang kurang
menyenangkan?
3. Bagaiamana anda membagi waktu jam tidur ketika anda harus ikut
serta dalam merawat anak anda?
C. Subjek Penelitian
Pemilihan subjek dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
teknik purposive sampling. Purposif sampling yaitu teknik memilih informan
yang disesuaikan dengan kebutuhan peneliti. Peneliti terlegih dahulu
menentukan karakteristik informan, kemudian dicari informan yang sesuai
Adapun karakteristik pemilihan informan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Seorang ayah yang baru memiliki satu anak
2. Memiliki rentang usia antara 20-30 tahun
3. Memiliki pengalaman dalam merawat anak pertama dan sekaligus
sebagai kepala keluarga yang ikut serta dalam menafkahi keluarganya.
Penelitian ini dilakukan di Yogyakarta dengan melibatkan tiga orang
informan. Ketiga informan semuanya berdomisili di Yogyakarta. Alasan
memilih inorman tersebut adalah karena waktu dan jarak yang cukup dekat
dengan lokasi.
D. Teknik Pengambilan Data
Pengambilan data dalam penelitian yaitu menggunakan teknik
wawancara. Teknik wawancara adalah percakapan dengan Tanya jawab yang
diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Pengumpulan data penelitian ini
dengan menggunakan metode wawancara. Teknik yang digunakan adalah
dengan wawancara dengan pedoman umum, Patton (1990, dalam buku
Poerwandari 2005)
Dalam proses wawancara ini, peneliti dilengkapi pedoman wawancara
yang sangat umum, yang dicantumkan isu-isu yang harus diliput tanpa
menentukan urutan pertanyaan, bahkan mungkin tanpa bentuk pertanyaan
eksplisit. Pedoman wawancara hanya digunakan untuk mengingatkan peneliti
apakah aspek-aspek relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan.
Wawancara ini juga dapat berbentuk wawancara mendalam dimana peneliti
mengajukan pertanyaan mengenai berbagai segi kehidupan subjek secara utuh
dan mendalam.
E. Analisis Data
Karena data penelitian ini banyak berbentuk narasi dan deskripsi
tertulis yang berasal dari transkrip wawancara dengan pedoman umum,
catatan laporan hasil observasi dan wawancara informal, maka analisis data
yang dilakukan adalah analisis konten/ analisis isi Poerwandari (2005).
Langkah-langkah anallisis data dalam penelitian ini adalah:
1. Organisasi Data
Data-data yang telah didapatkan disusun dengan rapi, sistenmatis,
dan selengkap mungkin. Tentang hal ini, Highlen dan Finley (1996)
mengatakan bahwa organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti
untuk memperoleh kualitas data yang baik, mendokumentasikan analisis
yang dilakukan serta menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam
penyelesaian penelitian. Hal yang penting untuk mengorganisasikan data
antara lain:
a. Data mentah seperti catatan lapangan dan kaset hasil rekaman,
b. Data yang sudah diproses sebagiannya seperti transkip wawancara
c. Data yang sudah ditandai kode spesifik, dapat terdiri dari beberapa
tahapan pengolahan,
d. Penjabaran kode-kode dan kategori-kategori
2. Koding dan Analisis
Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisir dan
mensistematisasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat
memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari. Langkah-langkah
koding sendiri diawali dengan menyusun transkrip wawancara, kemudian
mengurutkan dan melakukan penomoran pada baris-baris transkip, dan
terakhir melabeli masing-masing berkas dengan kode tertentu.
3. Melakukan Kategorisasi, Interpretasi, dan Pembahasan Hasil Penelitian
F. Keabsahan Data
Dengan kriteria ini data dan informasi yang dikumpulkan harus
mengandung nilai kebenaran, yang berarti bahwa hasil penelitian kualitatif harus
dapat dipercaya oleh para pembaca yang kritis dan dapat diterima oleh
orang-orang informan yang memberikan informasi yang dikumpulkan selama informasi
berlangsung. Dan teknik pemeriksaan dalam kredibilitas ini, antara lain (Moleong,
2006):
1. Perpanjangan keikutsertaan
Peneliti dalam penelitian kualitatif adalah instrumen itu sendiri.
Keikutsertaan tersebut tidak hanya dilakukan dalam waktu singkat tetapi
memerlukan perpanjangan keikutsertaan pada latar penelitian. Perpanjangan
keikutsertaan dalam penelitian ini bermaksud memungkinkan peneliti terbuka
terhadap pengaruh ganda, yaitu faktorfaktor konstektual dan pengaruh
bersama pada peneliti dan subjek yang akhirnya mempengaruhi fenomena
yang diteliti.
2. Ketekunan pengamatan
Ketekunan pengamatan berarti mencari secara konsisten interpretasi
dengan berbagai cara dalam kaitan dengan proses analisis yang konstan atau
tentatif. Mencari suatu usaha membatasi berbagai pengaruh. Mencari apa yang
dapat diperhitungkan dan apa yang tidak dapat. Ketekunan pengamatan
bermaksud menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat
relevan dengan persoalan atau isu yang sedang dicari dan kemudian
memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci.
3. Triangulasi
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain. Di luar data itu untuk keperluan pengecekan
atau sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik triangulasi yang paling
banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lainnya. Melakukan
triangulasi, baik triangulasi metode (menggunakan lintas metode
pengumpulan data), triangulasi sumber data (memilih berbagai sumber data
yang sesuai), dan triangulasi pengumpulan data (beberapa peneliti yang
dapat me-recheck temuannya dengan jalan membandingkannya dengan
berbagai sumber, metode, atau teori dan juga memungkinkan diperoleh
variasi informasi seluas-luasnya atau selengkap-lengkapnya.
4. Pemeriksaan sejawat melalui diskusi
Teknik ini dilakukan dengan cara mengekspos hasil sementara atau
hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi dengan rekanrekan sejawat.
Teknik ini mengadung beberapa maksud sebagai salah satu teknik
pemeriksaan keabsahan data, yaitu: pertama, untuk membuat agar peneliti
tetap mempertahankan sikap terbuka dan kejujuran. Kedua, untuk memberikan
suatu kesempatan awal yang baik untuk menjajaki dan menguji hipotesis kerja
yang muncul dari pemikiran peneliti. Dengan pemeriksaan sejawat berarti
pemeriksaan yang dilakukan dengan jalan mengumpulkan rekan-rekan yang
sebaya, yang memiliki pengetahuan umum yang sama tentang apa yang
diteliti, sehingga bersama mereka paneliti dapat mereview persepsi,
pandangan dan analisis yang sedang dilakukan.
5. Analisis kasus negatif
Teknik analisis kasus negatif dilakukan dengan jalan mengumpulkan
contoh dan kasus yang tidak sesuai dengan pola dan kecenderungan informasi
yang telah dikumpulkan dan digunakan sebagai bahan pembanding.
6. Pengecekan anggota
Pengecekan dengan anggota yang telibat dalam proses
Yang dicek dengan anggota yang terlibat meliputi data, kategori analitis,
35
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pandangan Subjektif Peneliti Mengenai Peran Ayah dalam Merawat Anak Pertama
Derasnya arus perubahan di tengah-tengah masyarakat berdampak
langsung terhadap kehidupan dalam keluarga, salah satunya soal peran
merawat anak. Terbukanya akses pekerjaan bagi perempuan menyebabkan
semakin banyaknya perempuan-perempuan yang bekerja di luar, apalagi bagi
perempuan single dan atau yang belum memiliki anak. Bagi perempuan
single, hal tersebut tidak menjadi masalah, namun bagi para ibu yang memiliki
anak akan menjadi permasalahan tersendiri, terutama menyangkut perawatan
anak di rumah. Hal tersebut disebabkan karena pada umumnya di masyarakat,
perawatan anak biasanya menjadi tanggungjawab ibu.
Seiring dengan perkembangan di masyarakat terutama soal perempuan
profesional, maka bagi keluarga yang memiliki anak sangat membutuhkan
peran ayah. Saat ini telah banyak ayah yang terlibat dalam perawatan anak.
Figur ayah tidak lagi hanya bertanggungjawab dan atau memerankan sebagai
pencari nafkah bagi keluarga. Apalagi banyak para ibu yang sudah mampu
untuk mencari nafkah keluarga. Hal tersebut tidak menjadi masalah, bahkan
figur ayah yang rasional akan lebih baik dalam mendampingi anak selama
B. Pelaksanaan Penelitian
Sebuah penelitian ilmiah umumnya dilaksanakan dengan prosedur
ilmiah. Demikian juga dengan penelitian yang dilakukan penulis ini. Dalam
melakukan penelitian ini terdapat beberapa langkah yang dilakukan oleh
peneliti kepada informan. Pertama peneliti melakukan pendekatan terhadap
informan. Pendekatan ini penting sebagai proses awal perkenalan lebih jauh
serta memahami karakter dari informan. Pendekatan yang dilakukan peneliti
memungkinkan untuk cairnya suasana, sehingga peneliti lebih mudah
mengorek informasi dari informan. Pendekatan yang dilakukan misalnya
dengan menanyakan secara pelan-pelan pribadi informan. Dengan mengetahui
pribadi informan maka peneliti dapat masuk ke dalam kehidupan pribadi tanpa
disadari oleh informan. Hal tersebut berhasil membuat informan nyaman
dimintai keterangan oleh peneliti
Kedua, setelah proses pertama dirasakan sudah selesai dan informan
telah terkondisikan, kemudian melakukan wawancara dengan metode semi
terstruktur. Sebelum melakukan wawancara, peneliti terlebih dahulu
menyiapkan panduan. Hal ini dilakukan agar peneliti mendapatkan informasi
yang dibutuhkan serta tidak melebar. Wawancara dilakukan secara langsung
atau tatap muka. Kelebihan wawancara langsung, yaitu peneliti memahami
reaksi informan terhadap setiap pertanyaan peneliti.
Demi kepentingan dokumentasi, peneliti mempersiapkan alat
perekam/digital recorder. Penggunaan alat perekam memungkinkan tidak ada
dengan tulisan, dokumentasi melalui alat perekam dalam wawancara memiliki
beberapa kelebihan antara lain: 1) informasi lebih lengkap; dan 2) wawancara
lebih mengalir.
Ketiga, Pembuatan verbatim masing-masing informan. Setelah
mendengarkan dan atau melakukan transkripsi terhadap hasil wawancara
digital hasil rekaman, maka penulis menyalin ke dalam bentuk verbatim untuk
masing-masing informan. Tabel verbatim ini berguna untuk mengklasifikasi
data-data yang diperoleh selama proses pencarian data terutama hasil
wawancara di lapangan.
Keempat, Membuat tabel ringkasan wawancara untuk masing-masing
informan. Tabel wawancara digunakan untuk menentukan tema dari hasil
wawancara setiap pertanyaan yang diajukan (pembuatan koding). Tabel
ringkasan wawancara memudahkan peneliti dalam memilah dan memilih
informasi yang dibutuhkan untuk pembahasan dalam laporan skripsi.
Kelima, Mengumpulkan keseluruhan hasil verbatim pada tabel
ringkasan, untuk menentukan tema secara keseluruhan dari hasil verbatim
keseluruhan informan. Keenam, Membuat horizonaliting (menghilangkan
pernyataan yang tumpang tindih/ tidak sesuai dengan topik). Ketujuh,
Membuat tabel pengalaman (apa yang dialami dan bagaimana fenomena itu
dialami). Penjelasan naratif dari hasil tabel pengalaman yang dibuat.
Kedelapan Membuat pembahasan dari setiap pengalaman informan
informan. Langkah ini merupakan akhir dari proses kegiatan penelitian.
Langkah ini juga paling menentukan daripada langkah-langkah sebelumnya.
C. Hasil Penelitian
1. Deskripsi Informan Penelitian a. Informan 1 (Ad)
Usia : 29
Pendidikan Terakhir : SMA
Aktifitas saat ini : Mahasiswa
Usia pernikahan : 1 tahun
Usia anak : 12,5 bulan
Agama : Katholik
Suku : Jawa
b. Informan 2 (Mj)
Usia : 27
Pendidikan Terakhir : S1
Aktifitas saat ini : Karyawan Bank
Usia pernikahan : 7 tahun
Usia anak : 9 Bulan
Agama : Islam
c. Informan 3 (St)
Usia : 30
Pendidikan Terakhir : D3
Aktifitas saat ini : Wiraswasta
Usia pernikahan : 2 tahun
Usia anak : 5 Bulan
Agama : Islam
Suku : Jawa
Berdasarkan data demografi di atas, informan terdiri atas 3 orang
pria yang statsusnya sudah menikah dan memiliki anak pertama semua.
Rentang usia yang dimiliki adalah antara 21-30 tahun. Subjek satu berusia
29 tahun, subjek dua 27 tahun dan subjek tiga berusia 30 tahun.
Pendidikan terakhir yang dimilikipun beragam, ada yang jenjang
pendidikannya masih SMA, sarjana dan ada yang berpendidikan terakhir
D3.
Selain ikut serta langsung dalam merawat anak, informan juga
memiliki pekerjaan yang merupakan tanggung jawabnya sebagai kepala
keluarga. Ada yang bekerja sebagai karyawan bank, wiraswasta/wirausaha
dan adapula yang masih berstatuskan mahasiswa. Dua dari informan
menganut agama Islam dan salah satu menganut agama Katholik.
Keseluruhan informan termasuk dalam suku Jawa.
Kemudian untuk usia pernikahan dan usia anak masing-masing
dengan usia anak 12,5 bulan, informan kedua 9 tahun dengan usia anak 5,6
bulan dan informan ketiga sudah menjalani usia pernikahan selama 5 tahun
dengan usia anak sekarang 22 bulan.
2. Hasil Analisis Data Penelitian
a. Apa yang dialami oleh seorang ayah yang ikut merawat anak pertama dan bagaimana hal tersebut dialami?
Dari hasil wawancara dengan ketiga informan, diperoleh data
mengenai fenomena keikutsertaan ayah yang merawat anak pertama.
Uraian detail tentang pengalaman ayah yang ikut merawat anak
bertama dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2.
Pengalaman Ayah yang Ikut Merawat Anak Pertama
Apa yang dialami Bagaimana Dialami
1. Keharusan untuk ikut merawat anak karena adanya tuntutan ekonomi di dalam keluarga.
2. Keinginan untuk berperan mengasuh anak demi perkembangan anak dan meringankan beban isteri.
1. Perasaan ayah
a. Lebih dekat dengan anak b. Sangat susah
c. Capek
d. Lebih emosional dan suka marah-marah
2. Peran Ganda Ayah
a. Peran yang diambil hampir sama besar dengan isteri, dengan cara pembagian tugas masing-masing;
b. Mengambil peran yang masih bisa dilakukan, seperti mengganti popok, membuatkan susu, memandikan anak;