• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Perbandingan Saka pada Bangunan Pendopo Jawa dari Zaman Keraton sampai dengan Vernakular (Comparation Analysis of Saka in Javanese Pendopo Building from Keraton to Vernacular Era).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisa Perbandingan Saka pada Bangunan Pendopo Jawa dari Zaman Keraton sampai dengan Vernakular (Comparation Analysis of Saka in Javanese Pendopo Building from Keraton to Vernacular Era)."

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Comparation Analysis of Saka in Javanese Pendopo Building

from Keraton to Vernacular Era

Agus Dody Purnomo*

This main aim of this research is to know further the role and the position of the saka in the pendopo building in Java and to learn the estetical aspect covering placement, material, posture and decorative role of saka. Saka is very important part in Javanese traditional architecture because it held the strength of the structure and represented symbolic proud as well. The roof of the pendopo building is supported by saka, and the saka itself show how to hold the head of human being symbolically.

Keywords: pendopo, vertical shape, saka guru, saka pengarak

I. Pendahuluan

Sepanjang sejarah, unsur vertikal dalam arsitektur (kolom, tugu, dan menara) telah

dipergunakan untuk menandai peristiwa-peristiwa penting dan menciptakan titik

tertentu di dalam ruang. Hal ini berkaitan dengan pandangan masyarakat saat itu

mengenai adanya ‘pusat dunia’ atau ‘poros’. Mereka mencari orientasi, pengkiblatan

diri. Selain itu unsur vertikal juga berfungsi sebagai perantara (axis mundi), simbol

penyatuan antara Dunia Atas dan dunia manusia.

Dalam bangunan tradisional, unsur vertikal diwujudkan oleh saka atau tihang (istilah

Sunda). Saka pada bangunan tradisional mempunyai dua makna penting, yakni

makna struktural dimana saka berfungsi sebagai penumpu atap bangunan, sedangkan

makna lainnya adalah makna simbolik, yaitu saka sebagai personifikasi penumpu

kepala manusia. Selain mempunyai makna struktural dan simbolik, saka juga dapat

dipakai untuk mengklasifikasi tipologi bangunan dan juga perbedaan strata sosial

(2)

Salah satu bentuk bangunan tradisional yang hingga saat ini masih sering ditemui

entah itu pada rumah tinggal maupun bangunan publik seperti sekolah, perkantoran

pemerintah, tempat ibadah bahkan hotel adalah pendopo. Bangunan pendopo

umumnya didukung dengan pengaturan saka-saka yang menumpu atap

bangunannya. Jadi pendopo tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan saka-saka

yang terletak di dalamnya.

Pendopo di Jawa

Istilah Pendopo berasal dari Mandapa yang merujuk pada satu bagian kuil Hindu di

India. Mandapa berarti suatu bangunan tambahan atau paviliun, tempat dimana

upacara-upacara dengan tari-tarian dan musik diselenggarakan. Dalam susunan ruang

pada bangunan kuil di India, mandapa (pendopo) terletak di depan ruang suci yang

bernama ‘gartha griha’, ruang tersebut sebagai inti. Jadi mandapa sebanding dengan

ruang, yang dalam kebudayaan Indonesia-Hindu dikenal dengan pendopo

(Mangunwijaya, 1992; Sumintardja, 1981).

Secara tipologi, denah bangunan pendopo adalah bujur sangkar atau persegi panjang.

Bentuk tersebut memperlihatkan pengaruh Hindu yakni simbol keempat penjuru

mata angin. Dalam budaya Jawa, bentuk tersebut dikenal dengan sistem klasifikasi

simbolik berkategori empat. Sistem simbolik ini seringkali dipadukan dengan sistem

simbolik berkategori lima dan dikenal dengan nama mancapat dan mancalima.

Sistem klasifikasi simbolik ini seakan-akan dikembangkan dari pandangan manusia

Jawa akan kosmos, dengan empat penjuru arah mata angin. Keempat penjuru mata

angin ini diyakini sebagai tempat bertahtanya dewa-dewa (Tanudjaja, 1995).

Fungsi pendopo adalah sebagai tempat berkumpul orang banyak dan menerima tamu.

Ruang ini bersifat terbuka dengan suasana yang akrab, cocok dengan fungsinya

sebagai bagian penerimaan. Pendopo milik bangsawan kebanyakan berfungsi pula

untuk pergelaran kesenian tradisional seperti tari-tarian. Karena letak pendopo di

bagian depan, boleh jadi ruangan ini mengemban tugas lain yang mengindikasikan

status sosial, kewibawaan bahkan perangai dari pemiliknya.

(3)

Tipe rumah Jawa lengkap berbentuk joglo dengan pembagian ruangan yang terdiri

dari pendopo, peringgitan, dalem, gandok, gadri, dapur dan pakiwan. Dalam

pengertian perumahan tradisional, berperan pola antropomorf sebagai ekspresi

berhubungan dengan seni bangunan yang dirangkai pada sumbu utara selatan (Frick,

1997). Menurut pola antropomorf, bagian pendopo dan peringgitan sepadan dengan

kepala, dalem ageng dan gandok sepadan dengan badan dalam pengertian gandok

sebagai lengan. Gadri, dapur dan pakiwan sepadan dengan kaki.

Gambar denah rumah Jawa menurut pola antropomorf . Sumber : Heinz Frick (1997)

Dari pembagian pola tersebut jelas sekali pendopo berperan sebagai kepala dimana

bagian kepala identik dengan letak mahkota serta ekspresi wajah. Sehingga

memungkinkan pendopo lebih banyak menampilkan keindahan secara visual bila

dibandingkan dengan ruangan lainnya.

Pada dasarnya prinsip pendopo adalah sebagian dari halaman rumah yang diberi

payung, tempat komunikasi antara pihak penghuni rumah dan masyarakat luar.

Pendopo memiliki bentuk terbuka, tidak tertutup oleh dinding. Atap hanya ditopang

oleh saka guru yang didukung oleh saka pengarak yang mengelilingi saka guru

tersebut, seperti halnya pada bentuk payung. Namun pada perkembangan berikutnya,

ada beberapa bangunan pendopo khususnya milik para bangsawan yang tertutup

dinding. Hal ini terjadi karena pengaruh budaya Barat sehingga esensi pendopo

sebagai keterbukaan terhadap dunia luar, sudah bergeser. Unsur vertikal pembentuk PENDOPO

DALEM

GADRI

DAPUR

PAKIWAN

GANDOK KEPALA

BADAN

(4)

ruang pada pendopo umumnya tidak berupa bidang masif (dinding) namun berupa

unsur-unsur linear vertikal yakni deretan saka (kolom).

Francis D.K. Ching dalam bukunya Arsitektur : Bentuk, Ruang, dan Tatanan,

menjelaskan bahwa dua buah garis sejajar memiliki kemampuan untuk

menggambarkan sebuah bidang. Sebuah membran ruang transparan dapat

dibentangkan di antara ke dua garis tersebut untuk memperjelas hubungan visualnya.

Semakin dekat jarak ke dua garis tersebut, semakin kuat kesan bidang yang

ditampilkannya (Ching, 2000). Jadi kehadiran saka pada pendopo selain membantu

membentuk batas-batas ruang, juga mendukung esensi ruang yaitu sebagai bagian

dari halaman rumah. Dan karena sifatnya untuk publik, maka tidak digunakan

dinding. Kesan dinding muncul karena adanya saka yang berjajar keliling pendopo.

Unsur pembentuk ruang lainnya adalah adanya lantai. Penggunaan lantai tanah

berkembang sejak abad ke 16 mulai di daerah pesisir Demak, Jepara, Kudus ke

Pajang, dan Kota Gede, dimulai pada jaman kerajaan Majapahit, dimana terjadi

proses transformasi struktur panggung ke lantai bumi. Penggunaan bahan batu bata

untuk lantai menggeser penggunaan konstruksi lantai panggung. Hal ini disebabkan

karena konstruksi panggung tidak praktis untuk menampung banyaknya tamu yang

bisa ditampung di balai penerimaan seperti pendopo (Wiryomartono, 1995).

Lantai pada pendopo semakin ke tengah semakin tinggi. Batas antara pelataran

dengan pendopo ditegaskan dengan adanya peninggian lantai tersebut. Dalam

arsitektur suatu dasar yang terletak lebih tinggi selalu dihubungkan dengan

penghayatan yang mulia, ningrat, suci. Khususnya pada arsitektur tradisional,

peninggian lantai menyimbolkan tempat suci atau sebagai citra gunung. Gunung

dalam sekian banyak kebudayaan selalu dihayati sebagai Tanah Tinggi, tempat yang

paling dekat dengan dunia Atas.

(5)

Sedangkan sebaliknya suatu dasar yang lebih rendah dihubungkan dengan

penghayatan yang sifatnya kurang baik, tempat kaum bawahan, dan sebagainya.

Unsur pembentuk ruangan yang ketiga adalah atap. Bidang atas berupa bidang atap

yang melindungi ruang-ruang bangunan dari cuaca, termasuk juga langit-langit yang

menjadi penutup atas suatu ruangan. Atap pada bangunan tradisional Jawa selain

memiliki fungsi praktis juga memiliki fungsi simbolis yang berhubungan dengan

jenjang sosial dalam masyarakat (hierarki). Dari hal tersebut muncul berbagai bentuk

dan nama atap seperti: Panggangpe, Kampung, Limasan, Joglo, dan Tajug

(Prijotomo, 1995). Bangunan pendopo seringkali memakai atap berbentuk joglo.

Bagian-bagian atap joglo masing-masing memiliki sebutan-sebutan tersendiri.

Bagian atap yang dalam tampak bangunan berada di bagian yang paling menjulang,

sedangkan dari denah atap berada pada bagian yang paling tengah, diberi sebutan

sektor gajah atau brunjung. Bagian brunjung ditetapkan pula sebagai patokan dalam

pengukuran. Oleh karena itu bagian ini disebut pula bagian guru dari bangunan Jawa.

Bagian yang terletak di bawah brunjung, dan dalam denah atap letaknya mengitari

brunjung dinamakan sektor pananggap. Di bawah bagian pananggap, lazim pula

disebut sektor panitih atau lebih lazim disebut emper. Pada umumnya bagian ini

merupakan bagian atap yang paling bawah (dari tinjauan tampak bangunan) atau

bagian terluar yang mengitari bagian pananggap. Sebutan masing-masing bagian

tersebut dipakai juga untuk unsur-unsur konstruksi dari bangunan Jawa seperti

misalnya saka guru dan saka penanggap, takir brunjung dan takir emper.

brunjung / gajah

pananggap panitih / emper

(6)

Gambar tampak dan denah bangunan Jawa. Sumber : Josef Prijotomo (1995)

Saka Bangunan Pendopo

Istilah ‘saka’ dalam bahasa Jawa memiliki pengertian yang lebih spesifik

dibandingkan dalam bahasa Indonesia. Saka adalah tiang yang dipergunakan sebagai

penyangga atau penggantung bagian-bagian atap bangunan. Sedangkan istilah saka

dalam bahasa Indonesia disebut tiang, yang berarti semua batang yang tertancap pada

suatu dasar dengan posisi tegak (Tanudjaja, 1995). Pengertian secara umum lebih

mengacu pada bentuk tiang atau kolom yang merupakan unsur vertikal dalam

arsitektur.

Dalam perkembangan sejarah manusia, unsur vertikal tersebut sangat berperan.

Contohnya keberadaan tugu, menara, kolom, pohon, dan sebagainya yang berperan

sebagai simbol adanya hubungan dunia atas dengan dunia bawah. Interpretasi

masyarakat saat itu adalah sebagai perkawinan antara langit dan bumi. Pola

perkawinan ’dunia atas’ dan ’dunia manusia’ dianggap akan melahirkan berbagai

ciptaan yang berguna bagi keperluan manusia, seperti kesempurnaan hidup,

keselamatan hidup, kesejahteraan hidup. Kesemuanya dapat dicapai kalau terjadi

harmoni atau perkawinan dua pasangan kontras. Selain dua unsur yang berbeda

tersebut, diperlukan juga unsur ketiga, yakni ’dunia tengah’, dunia perantara atau

medium dari dua pasangan yang bertentangan tadi. Dunia Tengah menghubungkan

’dunia manusia’ dan ’dunia atas’ (Sumardjo, 2003). Masyarakat primordial di

Indonesia memakai saka atau tiang sebagai perantara (axis mundi atau poros), simbol

penyatuan antara Dunia Atas dan dunia manusia.

As we just saw, this communication is sometimes expressed through the image of a universal pillar, axis mundi, which at once connects and supports heaven and earth

(7)

Berdasarkan keyakinan di atas, maka dalam proses pembangunan rumah masyarakat

Jawa, khususnya saat memasang saka biasanya melakukan suatu ritual tertentu. Saka

pada bangunan pendopo dapat dibedakan berdasarkan:

Tata Letak

Saka pada bangunan pendopo terdiri dari saka utama atau saka guru, dan saka

lainnya adalah saka pendukung yang disebut saka pengarak. Saka guru adalah empat

tiang utama pada rumah tradisional Jawa yang dipasang berhubungan dengan

upacara, bersama dengan blandar, pengerat, sunduk, dan kili sebagai kuda-kuda saka

guru. Saka tersebut lazimnya ditempatkan di bagian tengah bangunan. Saka guru

terletak di bawah atap utama karena sebagai penumpu utama, sehingga seakan-akan

saka tersebut sebagai bagian sentral bangunan. Sedangkan saka pengarak adalah

tiang pada emper yang mengelilingi inti rong-rongan, biasanya dibuat lebih

sederhana daripada saka guru, tetapi berarah kepadanya (Frick, 1997). Istilah

‘pengarak’ dapat disebut juga pengiring, dimana saka pengarak seakan-akan

mengiringi saka guru. Saka pengarak mempunyai fungsi sebagai kolom-kolom

penumpu atap-atap tambahan yang berada di sekeliling atap utama. Jenis saka

pengarak ada tiga macam yaitu: saka rawa, saka emper, saka gaca.

(8)

Saka pengarak terletak mengelilingi saka guru. Sumber : Christian. J Tanujaya (1995)

Berdasarkan dimensinya, saka yang menumpu atap utama biasanya mempunyai

ukuran dan berat yang paling besar, sehingga akan mempunyai dimensi yang besar

pula. Biasanya saka ini terletak di tengah bangunan. Sedangkan saka yang menumpu

atap tambahan akan mempunyai dimensi yang lebih kecil dibandingkan dengan saka

yang terletak di tengah tadi. Semakin keluar, jumlah saka semakin banyak dan

dimensinya semakin kecil. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari perbedaan

fungsi dan jumlah beban yang dipikul oleh keduanya. Saka guru harus menerima dan

memikul seluruh berat atap utama, yang lebih besar daripada beban yang harus

dipikul saka pengarak yang diakibatkan oleh seluruh berat atap tambahan.

Bentuk

Bentuk terdiri dari bentuk penampang dan bentuk memanjang. Bentuk saka jika

dilihat dari penampangnya secara umum berbentuk geometri. Bentuk yang sering

dipakai antaralain bujursangkar, lingkaran, segi delapan, segi enam dan kombinasi

antara bujursangkar dengan segi delapan. Bentuk-bentuk geometri tersebut

(9)

bentuk penampang lingga adalah lingkaran dan dibawahnya terkadang berbentuk

segi delapan. Sedangkan yoni ada yang berbentuk persegi empat dan ada juga yang

berbentuk lingkaran. Jadi secara umum penggunaan bentuk-bentuk geometri lebih

berkaitan dengan pandangan manusia Jawa tentang kosmos dan religinya.

Simbolisasi lingkaran identik dengan simbolisasi titik. Lingkaran merupakan bentuk

yang dipergunakan untuk menggambarkan kesempurnaan hidup. Bentuk tersebut

melambangkan kesempurnaan Tuhan (Dakung, 1981). Filosofi lingkaran banyak

ditemukan pada kepercayaan Hindu dan Budha, misalnya pada bentuk bagian dasar

stupa dan bentuk penampang lingga.

Bentuk segi empat atau bujursangkar dipergunakan untuk menggambarkan

ketidak-sempurnaan. Segi empat mempunyai sisi-sisi terpatah menjadi sudut-sudut yang

tajam, diasosiasikan sebagai lambang ketidaksempurnaan. Bujursangkar juga

mengingatkan kepada bentuk kiblat mata angin yang lebih abstrak. Bentuk tersebut

merupakan bentuk yang paling banyak ditemukan, karena bentuknya paling

sederhana dan mudah dalam teknik pengerjaannya. Sedangkan bentuk penampang

segi enam (hexagonal) dan segi delapan (octagonal) merupakan bentuk dasar

penampang kolom-kolom bangunan Hindu-Budha selain bentuk segi empat, segi

lima (pentagonal), dan lingkaran.

Bentuk saka sendiri pada arah memanjang dari atas ke bawah dapat dibagi menjadi

tiga bagian yakni kepala, badan, dan kaki.

A. Bagian Kepala

Bagian utama pada konstruksi sistem kerangka bangunan adalah saka guru. Untuk

mempertahankan diri supaya tetap tegak, saka-saka tersebut dihubungkan dengan

sistem konstruksi balok, yang menyatukan ujung atas saka dalam satu kesatuan

ikatan. Peran balok-balok tersebut sebagai pengikat ujung saka. Balok-balok tersebut

(10)

Selain dengan konstruksi balok, ada beberapa saka yang bagian kepalanya berbentuk

mahkota. Umumnya saka semacam itu adalah saka yang terpengaruh oleh bentuk

kolom bangunan Eropa. Ujung saka memiliki semacam mahkota dengan pelebaran

penampang. Bentuk ini lebih banyak ditemukan pada saka guru dan saka pengarak

bangunan pendopo milik priyayi. Sedang milik masyarakat biasa umumnya tanpa

pelebaran penampang (tanpa mahkota), polos seperti badan sakanya.

Konstruksi balok pada saka guru. Sumber : Heinz Frick (1997)

B. Bagian Badan

Umumnya bentuk badan saka sangat sederhana, hanya berwujud balok kayu polos,

tanpa ulir maupun tonjolan. Namun pada perkembangan berikutnya, adanya

pengaruh budaya luar menyebabkan bentuk saka menjadi beragam. Seperti pada

uraian di atas (pada bentuk penampang) tampak variasi bentuk, antara lain

bujursangkar, segi enam, segi delapan, dan lingkaran. Bentuk-bentuk tersebut

terdapat pada saka-saka bangunan pendopo milik kaum priyayi (golongan ningrat).

Karena adanya pengaruh budaya Hindu-Budha, muncul saka-saka yang mempunyai

lekukan-lekukan atau pelebaran/penyempitan penampang. Sedangkan karena adanya

pengaruh budaya Barat, bentuk badan saka mulai beralur dan berulir.

C. Bagian Kaki

Bagian kaki disebut umpak atau ompak, yaitu batu penyangga tiang, atau alas tiang

yang terbuat dari batu alam (keras), umpak dipasang dengan cara agak masuk ke

bagian dalam fondasi. Gagasan mendasar dalam umpak terkandung dalam prinsip

konstruksi bangunan Jawa tradisional yang dapat dibongkar pasang (knock-down).

balok blandar

kili

saka guru

sunduk balok pengerat

(11)

Oleh karena itu, umpak menjadi bagian bangunan yang dapat dipindahkan, yang

terletak di atas permukaan bumi dan tidak boleh ditanamkan di dalamnya.

Bentuk umpak bermacam-macam ada yang persegi empat, bulat, dan segi delapan.

Semakin ke atas bentuknya semakin kecil. Di bagian paling bawah dikeruk sedikit

agar dapat masuk ke dalam tanah. Tujuannya agar umpak tidak mudah tergeser ke

samping. Sedangkan di bagian atas umpak dibuat lubang persegi yang disebut purus.

Selain sistem umpak, ada satu teknik peletakan rangka atau saka dengan sistem

ditanam dalam tanah yang diberi nama ‘ceblokan’ (‘ceblok’ artinya tancap). Jenis

pondasi ini pada masa sekarang dicirikan sebagai pondasi yang mampu menahan

beban momen, karena ditancapkan berarti dijepitkan ke dalam lapisan tanah.

Teknologi ini lebih dekat meniru prinsip dan sifat-sifat struktur pohon, yang tertanam

ke dalam tanah, yang mampu menahan beban lateral (Ronald, 1997).

Bahan

Umumnya bahan yang dipakai dalam bangunan tradisional adalah kayu. Saka

sebagai struktur utama bangunan, mempunyai fungsi sebagai penyangga atap

sehingga dipilih bahan yang kuat dan kokoh. Untuk itu perlu kecermatan dan

ketelitian dalam pemilihan bahannya. Biasanya yang dipilih sebagai bahan bangunan

ialah kayu jati, glugu dan kayu-kayu lain yang dianggap bisa tahan lama yaitu pohon

sawo dan nangka. Jika tidak menggunakan kayu, biasanya digunakan batang bambu

yang kuat dan besar yaitu pring petung.

Sedangkan untuk bahan umpak digunakan material batu alam . Biasanya batu alam

berwarna hitam dan diberi hiasan dengan cara diukir. Umpak yang berhias semacam

ini biasanya milik para bangsawan. Bentuk umpak bermacam-macam, ada yang

persegi empat, bulat dan persegi delapan. Bentuk penampang semakin ke atas

semakin kecil.

(12)

bangsawan keraton mulai memakai bentuk dan material baru. Penggunaan

tiang-tiang gaya komposit, digunakan untuk menyangga atap pendopo. Kepala tiang-tiang

berbentuk perpaduan dua gaya yaitu Ionic dan Korinthia yang tampak lebih megah

dan mewah. Tiang-tiang tersebut terbuat dari besi cor yang diimpor dari Jerman,

hasil produk pabrik Krupp.

Pada perkembangan selanjutnya, struktur bangunan lebih mengandalkan konstruksi

beton sebagai kolom bangunan. Begitu pula yang terjadi pada bangunan-bangunan

pendopo modern, konstruksi beton menggantikan material kayu. Mulai dari bagian

atas (kepala tiang) hingga bagian bawah (umpak) sebagai bahan utama beton,

sedangkan kayu maupun batu alam hanya sebagai tempelan.

Ragam Hias

Hiasan pada bangunan rumah Jawa tradisional pada dasarnya ada dua macam, yaitu

hiasan yang konstruksional yakni hiasan yang jadi satu dengan bangunannya,

sedangkan hiasan yang tidak konstruksional yakni hiasan bangunan yang dapat

terlepas dari bangunannya dan tidak berpengaruh apa-apa terhadap konstruksi

bangunannya. Ragam hias dalam arsitektur tradisional selalu berhubungan erat

dengan hal-hal mistis. Ragam hias yang sering dipakai pada saka antara lain:

Saton, berbentuk bujur sangkar dengan hiasan daun-daunan atau bunga-bungaan.

Ragam hiasnya berbentuk pahatan dengan garis berkotak-kotak. Setiap kotak

berisikan hiasan daun atau bunga, baik ganda maupun tunggal. Hiasan tersebut

terdapat juga pada balok-balok blandar, sunduk, pengeret tumpang, ander,

sebagai pengisi bidang pada tebeng pintu dan lain-lainnya.

Wajikan, bentuknya seperti irisan wajik (belah ketupat sama sisi), istilah lainnya

adalah ‘sengkulunan’, yakni motif batik yang bentuknya juga belah ketupat.

Hiasan ini ada yang memakai garis tepi dan ada yang tidak, dan bagian

tengahnya diisi dengan ornamen daun-daunan yang tersusun memusat.

Mirong, istilah ‘mirong’ berasal dari bahasa Jawa kuno yang artinya kain yang

dipakai (dodot) untuk ditutupkan pada wajah (untuk menunjukkan perasaan sedih

atau malu) yang berlebihan. Bentuk pahatan yang menggambarkan ‘putri

(13)

hias mirong dibagi menjadi dua bagian:yaitu punggung atau gigir, dan bagian

samping. Ada pendapat lain yang menyatakan ragam hias mirong merupakan

bentuk dari rangkaian huruf Arab alif, lam, dan mim yang distilir, atau rangkaian

huruf Arab yang berbunyi Mohammad Rasul Allah. Pengerjaan ragam hias

tersebut dikerjakan dengan cara memahat (relief) sebelum tiang dipasang.

Penempatan hiasan mirong pada tiang-tiang bangunan seperti saka guru, saka

penanggap, saka penitih, maupun saka santen, baik yang berbentuk persegi

maupun yang berbentuk bulat.

Praba, berasal Dari bahasa Sansekerta atau Kawi, yang berarti sinar, cahaya..

Pada bangunan candi arti bentuk prada adalah nimbus atau aureool (cahaya

kesucian di kepala para dewa). Bentuk prada pada bangunan biasa berupa ukiran

relief dengan bentuk melengkung, tinggi dan tengahnya lancip. Relief tersebut

menggambarkan daun-daun pohon yang bulat seperti ekor burung merak yang

sedang ‘ngigel’ (membentangkan ekornya dan berarti tegak), dan selalu kelihatan

bersinar. Hiasan tersebut pada umumnya berwarna kuning emas dan dibuat dari

bahan prada (bubukan) emas. Teknik pembuatan dengan cara dipahatkan pada

tiang-tiang bangunan. Berbentuk relief menjulang tinggi dan kadang-kadang

berupa lukisan timbul. Ragam hias prada selain dipahatkan pada saka guru, juga

pada saka penanggap serta saka panitih. Letaknya pada dua tempat, yakni bagian

bawah menghadap ke atas dan sebaliknya bagian atas menghadap ke bawah pada

keempat sisi masing-masing tiang.

Lung-lungan, berasal dari kata dasar : lung yang berarti batang tumbuh-tumbuhan

melata yang masih muda, jadi yang berbentuk melengkung. Kata lung, diberikan

juga untuk nama daun atau ujung batang ketela rambat. Bentuk ragam hias

lung-lungan terdiri atas bentuk tangkai, daun, bunga dan buah yang distilasi.

Penerapan ragam hias tersebut pada setiap balok kerangka rumah (blandar,

tumpang, pengeret, dadapeksi, sunduk, dudur, ander, tiang, rusuk, takir, kerbil,

dan seterusnya). Hiasan ini terutama berfungsi untuk memberikan keindahan

pada suatu bangunan, sebab keindahan itu memberi ketentraman disamping sifat

wingit dan angker.

(14)

tiang. Motif tersebut melambangkan sifat pertumbuhan atau persemaian yang

makin hari makin tumbuh dan besar.

Keliangan, bentuknya menyerupai daun keliangan. Liang berarti daun kering

yang sisi-sisinya sudah tidak rata lagi (menyusut dan bergelombang), daun-daun

ini seolah-olah mengelopak karena kekeringan. Motif tersebut banyak dipakai

pada tiang-tiang umpak.

Padma, yang berarti bunga teratai yang berwarna merah. Ragam hias padma

adalah suatu perwujudan garis yang mengambil garis tepi bunga padma..

Bentuknya seperti kurva ’s’ yakni melengkung ke dalam, kemudian keluar.

Bentuk ini berasal dari bentuk profil singgasana sang Budha yang berbentuk

bunga padma. Bentuk bangunan stupa juga diambil dari bunga padma (Dakung,

1981). Umumnya ragam hias di Yogyakarta memiliki motif ragam hias padma

pada bagian umpak sebagai lambang kesucian yang identik dengan arti kokoh

dan kuat. Ada pula yang diukir dengan huruf Arab bertuliskan kata saluh atau

waloh, yang tidak berbeda jauh dengan bunyi kata Allah.

II. Komparasi Antara Bangunan Pendopo Keraton - Vernakuler

Tiga obyek bangunan pendopo yang dipakai dalam studi ini adalah Bangsal Kencono

keraton Yogyakarta (Y1), Pendopo Kantor Pemda Tingkat II Kabupaten Sleman

(Y2) dimana bangunan merupakan bangunan modern dan mengadopsi dari bangunan

keraton, dan yang ketiga adalah pendopo milik masyarakat di Kota Gede (Y3)

merupakan bangunan vernakuler. Berdasarkan data lapangan dapat dibuat tabel

sebagai berikut:

Tabel arah hadap bangunan pendopo

(15)

Keseluruhan bangunan pendopo memiliki denah bangunan persegi empat dengan

arah hadap bangunan yang berbeda-beda. Y1 dan Y3 berpatokan pada pandangan

kosmologi yang berlaku pada masyarakat di Jawa. Y1 menghadap ke arah timur,

berkaitan dengan pandangan bahwa raja berhak mendapatkan keagungan seperti juga

matahari. Matahari dipakai sebagai simbol kerajaan sejak jaman Majapahit.

Sedangkan pada Y3 menghadap ke arah selatan, sesuai sumbu kosmis Utara-Selatan.

Arah selatan diyakini sebagai simbol tempat Dewa Anantaboga (Nyai Roro Kidul),

arah tersebut mempunyai makna kesabaran dan kasihan. Sedangkan Y2 menghadap

ke arah barat, karena pertimbangan kondisi site dan efisiensi yang merupakan salah

satu ciri bangunan modern.

Terlepas dari mitos atau pandangan kosmologi di atas, secara klimatologis posisi

bangunan mengarah ke arah utara-selatan adalah posisi yang ideal, mengingat sinar

matahari terbit dari sebelah timur dan terbenam di sebelah barat. Dengan posisi

tersebut tidak diperlukan tritisan yang lebar sebagai unsur penaung dari panas sinar

matahari secara langsung. Tabel jenis dan peletakan saka pada pendopo

Keterangan* : pada bangunan pendopo (Y-3) karena luas bangunan kecil istilah saka rawa / saka

emper tidak ada, yang ada hanya saka pengarak. Dan saka yang berada di sudut bangunan disebut

saka gaca.

(16)

Dilihat dari jumlah saka, Y1 memiliki jumlah saka 104 buah (termasuk saka yang

terletak pada bangunan tambahan yakni Tratag Bangsal Kencono dan Tratag

Prabayeksa). Y2 memiliki jumlah saka 30 buah, termasuk saka pada atap kuncung.

Sedangkan pada Y3 hanya memiliki jumlah 16 saka yang terdiri dari 4 saka guru dan

12 saka pengarak.

Penataan saka merupakan konsekuensi logis dari posisi denah pendopo, sehingga

tatanan saka seakan-akan searah dengan sumbu mata angin. Jumlah saka penumpu

atap bangunan juga disesuaikan dengan lebar dan luas bangunan. Semakin luas

bangunannya, semakin banyak saka yang digunakan.

BAGIAN-BAGIAN Yogyakarta

Tabel bentuk saka pada pendopo

Bentuk penampang saka umumnya memakai bentuk bujursangkar. Hal ini

disebabkan karena proses pembuatannya paling mudah dikerjakan. Jaman dulu

teknologi pertukangan masih sederhana sehingga dengan keterbatasan tersebut

bentuk yang lebih banyak diterapkan pada saka adalah bentuk segi empat. Dan

selanjutnya bentuk tersebut kemungkinan menjadi aturan secara turun-temurun

(pakem).

Bila dilihat memanjang dari atas ke bawah, semua saka terbagi menjadi tiga bagian

yaitu kepala, badan, dan kaki. Pada saka Y1 dan Y2 seluruhnya memakai mahkota,

terlebih karena Y2 memang mengadopsi bentuk saka Y1. Sedangkan Y3 tidak

(17)

yang hampir sama yakni stilasi dari bentuk padma, akibat pengaruh ajaran Budha.

Umumnya saka pada pendopo masyarakat biasa tampil lebih sederhana.

BAGIAN YOGYAKARTA

SAKA Y1 Y2 Y3

Kepala kayu - besi Beton kayu Badan kayu - besi Beton kayu Kaki batu - besi Beton batu

Tabel bahan yang dipakai untuk saka

Bahan utama saka adalah kayu jati karena bahan tersebut terkenal kuat dan awet.

Bahan tersebut dipakai pada Y1 dan Y3. Sedangkan pada Y2 lebih banyak

menggunakan beton karena merupakan bangunan modern. Bahan kayu hanya

digunakan sebagai pelapis. Umumnya pada saka bangunan pendopo tradisional

memakai bahan kayu karena sifat dan karakter kayu mudah dibentuk, sesuai untuk

konstruksi bongkar pasang, dan juga sesuai dengan kondisi alam (gempa).

Pertimbangan lainnya berhubungan dengan kepercayaan yang sifatnya mistis

terhadap kayu. Sedangkan bahan beton dipakai karena alasan efisiensi biaya dan

waktu, sehingga menyebabkan nilai filosofisnya bergeser bahkan tidak ada sama

sekali.

Ragam hias pada saka tidak sekedar menjadi tempelan atau pelengkap saja, namun

mempunyai aturan dan arti tersendiri. Contohnya ornamen dengan motif mirong

yang terdapat pada saka Y1 (Bangsal Kencono), tidak dijumpai di sembarang

bangunan pendopo. Ragam hias tersebut hanya berlaku untuk bangunan milik raja

(Sultan), karena sifatnya sakral dan mempunyai makna simbolik khusus. Ini

menunjukkan bahwa hierarki masih berlaku pada masyarakat Jawa khususnya di

Yogyakarta. Secara umum bangunan milik kalangan priyayi lebih banyak

menggunakan ragam hias, sedangkan milik masyarakat biasa lebih sederhana.

III. Penutup

Dari studi tersebut dapat disimpulkan bahwa di dalam masyarakat Jawa terdapat

(18)

penting baik secara fungsi maupun simbolik. Bentuk denah mempengaruhi tata letak

dan jumlah saka. Selain itu jumlah saka juga menunjukkan status sosial penghuninya

dalam masyarakat, sedangkan dari segi pemakaian bahan saka harus

dipertimbangkan aspek fungsi maupun filosofinya. Faktor perubahan budaya dari

masyarakat tradisional menjadi modern mempengaruhi tampilan saka pada

bangunan. Perubahan budaya ini ditandai dengan perubahan pandangan dari yang

lebih mengutamakan kosmologi menjadi pandangan modern yang lebih

mengutamakan teknologi dan ekonomi.

Daftar Pustaka

Arya Ronald. 1997. Ciri-ciri Karya Budaya Dibalik Tabir Keagungan Rumah Jawa.

Yogyakarta: Universitas Atma Jaya.

Ching, Francis D.K. 2000. Arsitektur : Bentuk, Ruang dan Tatanan, Erlangga,

Jakarta

Christian J Tanujaya. 1995. Suatu Telaah Tentang Saka [Tesis]. Bandung: Program

Magister Arsitektur ITB.

Djauhari Sumintardja. 1981. Kompendium Sejarah Arsitektur. Bandung: Yayasan

Lembaga Penyelidikan Masalah Bangunan.

Eko Budihardjo. 1997. Arsitektur Sebagai Warisan Budaya. Jakarta: Penerbit

Djambatan.

Eliade, Mircea. 1959. The Sacred and The Profane (The Nature of Religion). New

York: Harcourt, Brace & World, Inc.

Eliade, Mircea. 1969. Image and Symbols (Studies in Religions Symbolism): A

Search Book. New York: Sheed and Ward.

Frick, Heinz. 1997. Pola Struktural dan Teknik Bangunan di Indonesia. Yogyakarta:

Kanisius.

Ismunandar, R. 1986. Joglo Arsitektur Rumah Tradisional Jawa. Semarang: Dahara

Prize.

Jakob Sumardjo. 2002. Arkeologi Budaya Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Qalam.

Josef Prijotomo.1992. Ideas and Form of Javanese Architecture. Yogyakarta:

Gajah Mada University Press.

(19)

Sugiyarto, Dakung. 1981. Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta,

Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Gambar

Gambar denah rumah Jawa menurut pola antropomorf . Sumber : Heinz Frick (1997)
Tabel jenis dan peletakan ada saka
Tabel bahan yang dipakai untuk saka

Referensi

Dokumen terkait

Setelah mengikuti serangkaian kegiatan pembelajaran peserta didik dapat: 1. Menjelaskan manfaat melaksanakan sila-sila dalam Pancasila Buddhis 2. Menjelaskan akibat dari melanggar

81 A Tahun 2013, menggunakan model tematik, penyampaian materi pelajaran dengan pendekatan saintifik menggunakan teknik 5 M sesuai karakteristik materi pelajaran

[r]

Sesuai dengan rumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat pengetahuan permainan tonnis siswa kelas atas

Permasalahan seperti di atas yang mendorong peneliti untuk mengadakan penelitian dengan judul “ Peningkatan Kemampuan Penalaran, dan Kemampuan Pemecahan Masalah

[r]

Tabliq telah di terapkan dalam laporan realisasi dana desa karena telah di atur dalam Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang desa berupa pengambilan keputusan mengenai

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa secara parsial jumlah anggota tidak berpengaruh terhadap SHU maka diimplikasikan kepada Koperasi Relepan Unit Simpan