48
STRATEGI PENINGKATAN KESELAMATAN
TRANSPORTASI KERETA API
Mohamad Ivan Aji Saputro
1)1)
Pusat Teknologi Industri dan Sistem Transportasi - BPPT
Gedung Teknologi 2 BPPT Lantai 3, Kawasan PUSPIPTEK, Tangerang Selatan 15314 Telp: 021-75875938; Fax. 021-75875946
Email: mohamad.ivan@bppt.go.id
Abstrak
Keselamatan transportasi merupakan aspek terpenting dalam transportasi kereta api. Dalam rentang tahun 2004-2010, terjadi lebih dari 700 Peristiwa Luar Biasa Hebat (PLH), di mana 75% merupakan peristiwa anjlok/terguling, 5% tabrakan antar KA, dan 20% tabrakan antara KA dengan kendaraan bermotor di persimpangan sebidang. Dengan menggunakan metode human factor analysys and classification system (HFACS) penelitian ini menunjukkan bahwa masinis tidak semata-mata sebagai penyebab terjadinya kecelakaan, namun ada beberapa faktor seperti organisasi, kondisi lingkungan, teknologi yang digunakan, maupun kondisi dari masinis yang terganggu akibat sistem kerja yang buruk. Dengan teridentivikasinya permasalahan yang ada, diharapkan ada solusi untuk peningkatan keselamatan kereta api.
Kata kunci: keselamatan, transportasi, kereta api, HFACS
PENDAHULUAN
Sistem transportasi dirancang guna memfasilitasi pergerakan manusia dan barang. Pelayanan transportasi sangat terkait erat dengan aspek keselamatan
(safety) baik orang maupun barangnya.
Seseorang yang melakukan perjalanan wajib mendapatkan jaminan keselamatan dan kenyamanan, sedangkan barang yang diangkut harus tetap dalam keadaan utuh dan tidak berkurang kualitasnya ketika sampai ditujuan. Jaminan layanan transportasi yang dilengkapi dengan jaminan keselamatan akan memberikan rasa aman, nyaman dan ketenangan bagi pelaku perjalanan, sehingga kegiatan sosial ekonomi masyarakat dapat terlindungi ketika melakukan perjalanan. Jika aspek keselamatan transportasi terjamin, dan hak masyarakat pengguna terlindungi, niscaya tidak akan muncul
biaya-biaya tidak terduga yang merugikan masyarakat pengguna.
Keselamatan transportasi merupakan syarat utama yang mutlak harus dipenuhi dalam penyediaan layanan jasa transportasi baik darat, laut maupun udara. [3]
LATAR BELAKANG
49
Berdasarkan data statistik yang dihimpun Direktorat Jenderal Perkeretaapian, sejak tahun 2011 penumpang kereta api berjumlah di atas 150 juta dan sebagian besar berada di Pulau Jawa. Pada tahun 2011 sendiri sebagai contoh, 140.940.000 penumpang berada di Pulau Jawa, sedangkan 4.732.000 lainnya berada di Pulau Sumatera. Proporsi yang serupa juga terjadi pada periode tahun 2006-2011, di mana jumlah penumpang sebagian besar berada di Pulau Jawa. Dalam sistem transportasi modern, kereta api merupakan salah satu moda unggulan karena mempunyai keunggulan dan karakteristik tersendiri dibandingkan moda transportasi lainnya yaitu daya angkut yang lebih besar, ketepatan waktu yang relatif lebih baik, ramah lingkungan dan sebaigainya. Menurut Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2007, kereta api memiliki keunggulan khusus, salah satunya yaitu mempuanyai faktor keamanan yang tinggi. Namun, keunggulan ini tidak selamanya sesuai dengan kenyataan yang ada, melihat masih banyaknya kecelakaan yang terjadi. [1]
Untuk itu diperlukan suatu kajian dan solusi untuk mengurangi atau bahkan mungkin untuk mengatasi kecelakaan kereta api. Beberapa contoh kecelakaan kereta api yang disebabkan faktor eksternal dapat dilihat pada dua peristiwa berikut ini:
Sumber: Direktorat Keselamatan Ditjen KA
Gambar 1 Kereta Terguling
Pada gambar 1 merupakan peristiwa tergulingnya kereta api Malabar yang disebabkan oleh longsornya tanah di KM
244, Kampung Terung, Desa Mekarsari, Kabubaten Tasikmalaya Jawa Barat pada tahun 2014
Sumber: Direktorat Keselamatan Ditjen KA
Gambar 2 Kereta Tabrakan
Pada gambar 2 merupakan kecelakaan kereta api listrik (KRL) commuter line yang menabrak truk tangki di perlintasan api pondik Betung, Bintaro pada 9 Desenber 2013. [1], [2], [3]
Maksud dan Tujuan
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi kecelakaan yang mungkin terjadi yaitu dengan melakukan upaya investigasi. Investigasi kecelakaan merupakan upaya kualitatif yang penting dilakukan guna memahami dan mengelola keselamatan transportasi. Diharapkan dengan diketahuinya akar permasalahan yang terjadi, dapat meminimalkan potensi terjadinya kecelakaan kereta api.
BAHAN DAN METODE
50
diperoleh dari PT. KAI maupun dari Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan sehingga diperoleh informasi yang lebih akurat. Selain itu juga dikumpulkan data-data pendukung lain seperti statistik kecelakaan, deskripsi kecelakaan selama 10 (sepuluh tahun) terakhir, dan data pendukung lainnya, baik dari sumber resmi (PT. KAI, KNKT, dan Direktorat Jenderal Perkereta Apian Kementerian Perhubungan) ataupun dari media massa. [1]
Faktor yang teridentifikasi kemudian diklasifikasikan kedalam taksonomi
human factor analysis and classification
system (HFACS) yang telah
dikembangkan Reinach & Viale, dimana kerangka ini terbagi menjadi 5 (lima) level yaitu outside factors, organizational factors, supervisory factors, precondition
for operator acts, dan operatoracts. [1],
[2], [3]
HASIL DAN PEMBAHASAN
Untuk mengkordinasikan investigasi biasanya dibentuk suatu komite atau dewan yang dikenal dengan NRSC
(National Road Safety Council). Dewan
ini berperan mengkoordinasi peran berbagai unsur yang kompeten dalam menangani faktor-faktor yang terkait dalam keselamatan transportasi. Adapun
kalau di Indonesia terdapat Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT).
Menggunakan 35 laporan investigasi kecelakaan dari Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT),
teridentifikasi 183 faktor penyebab
terjadinya kecelakaan. Setelah dikelompokkan diketahui bahwa faktor yang paling besar berkontribusi sebagai penyebab terjadinya kecelakaan masuk ke dalam kategori preconditions for
operator acts (44%), disusul dengan
organizational factors (27%), supervisory
factors (18%), operator acts (10%), dan
outside factors (1%).
Sumber: Direktorat Keselamatan Ditjen KA Kemenhub RI
Gambar 1 Jenis Kecelakaan Kereta Api
Tabel 1 Hasil Klasifikasi Penyebab Terjadinya Kecelakaan KA
Operator acts
Precondition for operator
acts
Supervisory factors
Organizational factors
Outside
factors Total
KA vs KA 16 36 20 18 0 90
Anjlog 3 36 11 23 1 74
KA vs
Ranmor 0 2 0 2 0 4
Lain-lain 0 7 2 6 0 15
Jumlah 19 81 33 49 1 183
Persentase 10% 44% 18% 27% 1% 100%
51
Berbagai upaya telah dilakukan, namun belum dapat menjawab permasalahan yang sebenarnya terjadi. Ini disebabkan salah satunya karena faktor-faktor yang terkait dengan kecelakaan belum dapat tergali atau dipahami dengan baik. Sebagai contoh, penerapan jalur ganda tidak akan
berpengaruh signifikan mengurangi angka
terjadinya peristiwa luar biasa hebat (PLH) apabila permasalahan utamanya terletak pada kelelahan dan kantuk yang dialami masinis. Dari contoh tersebut terlihat bahwa solusi yang bersifat parsial dan tidak
memandang permasalahan secara
sistematik belum tentu dapat secara
signifikan mengurangi jumlah PLH. Untuk
seluruh kejadian kecelakaan yang masuk dalam kategori PLH, sebagian besar faktor penyebab terkait kecelakaan masuk dalam level preconditions for operator acts. Dari level ini, faktor teknologi mendominasi karena seringnya terjadi kerusakan pada sarana maupun prasarana, meliputi sistem komunikasi, sistem persinyalan, kerusakan pada petunjuk kecepatan lokomotif, tidak berfungsinya sistem pengereman dengan maksimal, kondisi rel yang tidak baik (kondisi ballast, bantalan, dan alat penambat yang tidak baik), terjadinya genjotan track, keadaan wesel rel yang tidak baik, maupun keusan pada kop rel. Kerusakan pada sarana maupun prasarana ini mengakibatkan masinis tidak dapat memperkirakan berapa kecepatan kereta saat melewati sinyal maupun melewati rel dalam kondisi tidak baik, tidak dapat berkoordinasi dengan PK maupun PPKA untuk mengetahui persilangan yang terjadi, dan dapat memberikan kesalahpahaman antar personil yang terlibat operasi.
Faktor lain yang juga turut mempengaruhi terjadinya kecelakaan terutama tumburan antar KA yaitu kelelahan yang dialami oleh masinis, baik itu kelelahan mental maupun
fisik, di mana dari 11 laporan kecelakaan
setidaknya terdapat 4 laporan yang membahas hal ini. Pekerjaan sebagai masinis sendiri dinilai tidak terlalu berat apabila dibandingkan dengan pekerjaan mengemudi lainnya, seperti mengemudi
bus. Masinis bekerja tinggal mengikuti jalur yang telah ditentukan. [2], [4], [5]
KESIMPULAN
Hasil klasifikasi keseluruhan terhadap 35 laporan investigasi kecelakaan menyatakan bahwa perlu adanya perhatian khusus pada aspek lingkungan kerja masinis (baik itu lingkungan teknologi maupun fisik), kondisi operator akibat beban kerja mental maupun
fisik yang terlalu berat, serta faktor crew
resource management. Perbaikan dari faktor
organisasi juga perlu dilakukan guna memperoleh sistem kerja yang lebih baik dan lebih nyaman bagi seluruh operator kereta api.
Perlu dilakukan peningkatan kualitas perawatan sarana dan prasarana serta penerapan manajemen kelelahan bagi seluruh operator kereta api. Perbaikan organisasi dan kelembagaan juga perlu dilakukan, agar tidak menjadi aspek yang dapat menyebabkan masinis maupun asisten masinis melakukan kesalahan yang dapat menimbulkan kerugian yang besar. Perlu juga dilakukan peningkatan penyelerasan hubungan antara PT.KAI sebagai operator perkeretaapian dengan Direktorat Jenderal Perkeretaapian sebagai regulator agar kinerja dan keselamatan perkeretaapian dapat meningkat dan dapat melayani masyarakat sepenuhnya.
Untuk meningkatkan keselamatan
52 DAFTAR PUSTAKA
[1] Dirjend KA, Kemenhub RI
[2] H. Iridiastadi, E. Izazaya, Kajian Taksonomi Kecelakaan Kereta Api di Indonesia Menggunakan Human Factor Analysis dan Classification System, ITB, 2012.
[3] MTI, Menempatkan Kembali
Keselamatan Menuju Transportasi yang Bermartabat, MTI dan Pustral UGM, Jakarta, 2012
[4] Reinach, S. & Viale, A. (2006), Application of A Human Error Framework to Conduct Train Accident/Incident Investigation, Journal of Accident Analysis and Prevention, Vol 38, pp 396-406. [5] Wiegmann, D.A. & Shappel, S.A.