• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. HAN AWAL UJIAN TERTUTUP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "1. HAN AWAL UJIAN TERTUTUP"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

REKONSTRUKSI SISTEM HUKUM PIDANA BERKEADILAN DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA RINGAN BERBASIS KEARIFAN

LOKAL HUKUM ADAT LAMPUNG

Ujian Tertutup Disertasi

Diajukan untuk memenuhi Syarat memperoleh gelar doktor dalam Ilmu Hukum

Efa Rodiah Nur NIM : 1010111500005

UNIVERSITAS DIPONEGORO PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM

(2)

REKONSTRUKSI SISTEM HUKUM PIDANA

BERKEADILAN DALAM PENYELESAIAN TINDAK

PIDANA RINGAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL

HUKUM ADAT LAMPUNG

EFA RODIAH NUR NIM : 1010111500005

Semarang,... Mei 2016 Telah Disetujui Untuk Dilaksanakan oleh :

Menyetujui :

Promotor Co. Promotor

Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, SH Dr. Eddy Rifai, SH., MH NIP. 19430123 197010 1 001 NIP 19610912 198603 1 003

Mengetahui :

Ketua Program Doktor Ilmu Hukum

(3)

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Efa Rodiah Nur NIM : 1010111500005

Alamat : Jalan. Way Besai No. 16 sumurbatu TBU Bandar Lampung Asal Instansi : IAIN Raden Intan Lampung

Dengan ini menyatakan bahwa :

1. Karya Tulis saya, disertasi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik (doktor), baik di Universitas Diponegoro maupun diperguruan tinggi lain.

2. Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri, tanpa bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Promotor.

3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan judul buku aslinya dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila di kemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku diperguruan tinggi ini.

Semarang, ... Mei 2016 Yang Membuat Pernyataan,

Efa Rodiah Nur NIP: 1010111500005

(4)

Sistem hukum Indonesia yang dibangun dari nilai-nilai adat dan kearifan lokal perlu diberikan ruang kembali dalam pembangunan sistem hukum nasional. Dalam penanganan tindak pidana ringan di Lampung menggunakan hukum adat dirasakan memberikan rasa keadilan bagi para pihak. Diperlukannya upaya untuk melegitimasi dan memberikan ruang untuk penyelenggaraan media penyelesaian perkara melalui kearifan lokal berbasis hukum adat Lampung.

Permasalahan yang relevan untuk dikaji dalam disertasi ini adalah : (1) Mengapa penyelesaian tindak pidana ringan dengan menggunakan hukum positif mengusik rasa keadilan terhadap masyarakat, (2) Bagaimana penyelesaian tindak pidana ringan berbasis kearifan lokal hukum adat Lampung, (3) Bagaimana merekonstruksi sistem hukum pidana berkeadilan dalam penyelesaian tindak pidana ringan dengan berbasis kearifan lokal hukum adat Lampung.

Penelitian disertasi ini menggunakan paradigma constructivist dengan Metode Pendekatan Non Doktrinal atau socio-legal research dengan metode Kualitatif, spesifikasi penelitian menggunakan deskriptif analitis, jenis data utama dalam penelitian ini adalah data lapangan dan didukung oleh data kepustakaan, metode analisis data menggunakan Yuridis-kualitatif. Untuk validasi data lapangan menggunakan teknik wawancara dan observasi.

Hasil penelitian dan pembahasan dalam penelitian disertasi ini sesuai dengan permasalahan yang dijadikan fokus dalam penelitian didapati hal-hal sebagai berikut: Pertama, bahwa Penegakan hukum pidana menggunakan hukum positif yang tertulis tehadap tindak pidana ringan tidak memberikan keadilan yg bersifat substansial. Kedua, Penyelesaian tindak pidana ringan berbasis kearifan lokal hukum adat Lampung dengan menggunakan media Rembuk Pekon. Ketiga, pendekatan deregulasi kebijakan dan harmonisasi antara hukum positif dan kearifan lokal berbasis hukum adat Lampung, dengan melakukan dekonstruksi terlebih dahulu dan kemudian merekonstruksi sistem hukum berkeadilan.

Bahwa proses penegakan hukum pidana atas tindak pidana ringan dengan melalui sistem peradilan pidana masih dirasa mengusik keadilan masyarakat dan dengan adanya gugatan terhadap sistem peradilan pidana dengan media Rembuk Pekon berbasis Kearifan Lokal Hukum Adat Lampung maka perlu diintegrasikan. Adat istiadat Lampung memberikan ruang dalam harmonisasi hukum nasional dengan kearifan lokal yang berbasis hukum adat Lampung yang bertujuan untuk memberikan keadilan.

(5)

ABSTRACT

Indonesian legal system which constructed by tradition values and local wisdom needed to give the space within the development of national legal system. In handling the less serious crime cases, Lampung using customary laws which provide a sense of justice for the parties. The effort to legitimize and to give the space for the provision of settling disputes through local wisdom based on traditional law is needed.

Relevant issues in this dissertation are: (1) Why is the completion of a less serious crime by using positive law disturb the sense of justice to the people, (2) How is the settlement of less serious crime based on local wisdom of indigenous Lampung society, (3) How to reconstruct the criminal justice system in the completion of a less serious crime with customary law based on Lampung local wisdom.

This dissertation research using constructivist paradigm with Non-Doctrinal Approach method or socio-legal research with qualitative methods, using descriptive analytical research specifications, the type of key data in this study is supported by field data and literature data, methods of data analysis using qualitative juridical. To validate field data using interview and observation techniques.

Results of research and discussion in this dissertation in accordance with the issues being focused in the research found the following things: First, that the enforcement of criminal law is using positive law for minor criminal offenses do not provide substantial justice. Second, Completion of minor criminal offenses based on local wisdom of indigenous Lampung using a Rembuk Pekon. Thirdly, the approach of deregulation policies and harmonization between positive law and customary law, by deconstructing and then reconstruct the legal system of justice.

That the process of criminal law enforcement on less serious crime with through the criminal justice system is still considered disturbing the sense of justice and the lawsuit in the criminal justice system can use Lampung Customary Law so that it is needed to be integrated. Lampung customary law gives the space for the harmonization of national legislation with its the local wisdom that aims to provide justice.

(6)

RINGKASAN

Penelitian disertasi ini dilatarbelakangi oleh pandangan penulis terhadap hukum itu sendiri, paradigma saat ini terkait dengan menafsirkan hukum hanya menafsirkan Undang-Undang semata. Sedangkan di dalam perkembangan hukum pidana Indonesia yang tidak terlalu sistematis banyak dirasakan, diperlukannya penataan kembali dan penyesuaian antara lain penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana ringan sebagaimana dalam hukum acara pidana diatur dalam ketentuan Pasal 205 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

(7)

Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 16 Tahun 1960, dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012.

Kebanyakan aparat penegak hukum mereduksi pemahaman bahwa menegakkan hukum diartikan sama dengan menegakkan undang-undang. Pemahaman ini membawa implikasi bahwa hukum (undang-undang) menjadi pusat perhatian. Padahal, masalah penegakan hukum tidak dapat hanya dilihat dari kaca mata undang-undang saja, tetapi harus dilihat secara utuh dengan melibatkan semua unsur yang ada, seperti hukum yang hidup atau hukum yang tidak tertulis, moral, perilaku, dan budaya. Oleh karena itu, perlu orientasi dan cara pandang baru dalam penegakan hukum.

Penegakan hukum melalui sistem peradilan pidana saat ini masih didominasi oleh cara berpikir legisme, cara penegakan hukum pidana yang hanya bersandarkan kepada peraturan perundang-undangan semata. Cara seperti ini lebih melihat persoalan hukum sebagai persoalan hitam putih, padahal hukum itu bukanlah semata-mata ruang hampa yang steril dari konsep-konsep non hukum. Hukum harus pula dilihat dari perspektif sosial, perilaku yang senyatanya yang dapat diterima oleh dan bagi semua insan yang ada didalamnya. Cara pandang legisme inilah yang menjadi salah satu penyebab krisis penegakan hukum di Indonesia. Oleh karena itu, perlu alternatif lain di dalam menegakkan hukum sehingga ia sesuai dengan konteks sosialnya.

(8)

dalam suatu proses pencarian kebenaran sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Sepertihalnya penggunaan hukum pidana adat Lampung dalam penyelesaian perkara ringan yang berdasarkan kearifan lokal, dengan memenuhinya rasa keadilan masyarakat setempat terhadap tindak pidana ringan yang diselesaikan melalui hukum adat seyogyanya tidak perlu diteruskan kembali melalui proses sistem peradilan pidana. Penegakan hukum pidana yang demikian akan mebunuh nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat serta kearifan-kearifan lokal yang ada di masyarakat adat Lampung.

Pada realitasnya, terdapat kasus-kasus yang dapat dijadikan bahan untuk pondasi konstruksi realitas penegakan hukum tindak pidana ringan yang ada khususnya di Lampung, seperti halnya kasus kawin lari pada masyarakat adat Lampung Pepadun, serta kasus “Cekcok Rumah Tangga”, kasus “Kesalah Pahaman”, kasus “Pencurian”, kasus “Penganiayaan”, ¸kasus “Laka Lantas”, kasus “Keributan”, kasus “Penyerobotan Tanah”, kasus” Perbuatan Tidak Menyenangkan”, kasus “Penggelapan”, kasus “Penganiayaan ringan”, kasus “Perbuatan Cabul”, kasus “Penipuan”, kasus-kasus tersebut telah diselesaikan dalam koridor hukum adat dengan media kearifan lokal, meskipun banyak juga yang penyelesaiannya tidak melalui jalur hukum adat tetapi melalui peradilan formal.

(9)

pengadilan mencapai 3 (tiga) juta kasus. Tanpa ada akselerasi proses kerja pengadilan angka itu makin menggelembung. Pada level Mahkamah Agung tercatat sekitar 13 (tiga belas) ribu perkara kasasi yang belum ditangani hingga akhir tahun 2011. Dalam hal ini penegakan hukum pidana berdasarkan pada ketentuan dalam Hukum positif (KUHP dan Undang-Undang diluar KUHP).

Berbagai suku bangsa di Indonesia mempunyai budaya penyelesaian konflik secara damai, misalnya masyarakat Jawa, Lampung, Bali, Sumatra Selatan, Lombok, Papua, Sulawesi Barat, dan masyarakat Sulawesi Selatan. Penyelesaian konflik secara musyawarah untuk secepat mungkin diadakan perdamaian berkembang sebagai hukum adat. Perkembangan selanjutnya dari hukum adat pada suku bangsa di Indonesia khususnya terhadap penyelesaian konflik melalui musyawarah memiliki berbagai kesamaan yaitu konflik diarahkan pada harmonisasi atau kerukunan dalam masyarakat serta tidak memperuncing keadaan, dengan sedapat mungkin menjaga suasana perdamaian.

(10)

Eksistensi penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui hukum adat merupakan dimensi baru, dikaji dari aspek teoretis dan praktik. Dikaji dari dimensi praktik maka hukum adat akan berkorelasi dengan proses peradilan. Semakin meningkatnya jumlah volume perkara, menjadi beban bagi pengadilan dalam memeriksa dan memutus perkara sesuai asas “peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan” tanpa harus mengorbankan pencapaian tujuan peradilan yaitu kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Dalam praktek sosial pada masyarakat Indonesia, penyelesaian secara kekeluargaan sudah lama dikenal dan telah menjadi tradisi antara lain pada Masyarakat Papua, Aceh, Bali, Sumatera Barat dan masyarakat Lampung.

Di antara beragam hukum adat yang tersebar di Indonesia, hukum adat Lampung adalah salah satu hukum adat yang berlaku di Indonesia dan mengatur masyarakat adat Lampung selama ratusan tahun dari generasi ke generasi, bahkan hingga kini masih berlaku mengikat bagi masyarakat adat Lampung.

(11)

penegakan hukum pidana, masih terbuka ruang untuk memberikan keadilan kepada masyarakat. Dengan pendekatan rekonstruksi sistem hukum pidana berkeadilan dalam penyelesaian tindak pidana ringan berbasis kearifan lokal hukum adat Lampung dapat memberikan keadilan khususnya masyarakat di ruang yuridiksi hukum adat Lampung. Maka penulis merasa dipandang perlu untuk melakukan suatu kajian mengenai “Rekonstruksi Sistem Hukum Pidana Berkeadilan Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Ringan Berbasis Kearifan Lokal Hukum Adat Lampung”

Berdasarkan latar belakang tersebut permasalahan yang relevan yang dapat dijadikan Fokus studi dalam penelitian ini adalah membangun konstruksi sistem hukum pidana berkeadilan dalam penyelesaian tindak pidana ringan. Kearifan lokal sebagai bagian dari aspek sosial budaya, tertuang dalam bentuk perilaku dan simbol-simbol sosial masyarakat.

Bentuk-bentuk kearifan lokal masyarakat adat Lampung yang ada tersebut perlu dikonstruksi seideal mungkin sehingga sistem peradilan pidana dapat lebih efektif dalam menyelesaikan kasus tindak pidana ringan yang berbasis kearifan lokal hukum adat Lampung.

(12)

yakni penyelesaian tindak pidana ringan dengan menggunakan sistem peradilan pidana masih mengusik rasa keadilan masyarakat.

Adapun rumusan masalah di dalam disertasi ini yang pertama, mengapa penyelesaian tindak pidana ringan dengan menggunakan hukum positif mengusik rasa keadilan masyarakat ? Kedua, bagaimana penyelesaian tindak pidana ringan berbasis kearifan lokal hukum adat Lampung ? Dan yang ketiga bagaimana merekonstruksi sistem hukum pidana berkeadilan dalam penyelesaian tindak pidana ringan berbasis kearifan lokal hukum adat Lampung.

Penelitian disertasi ini menggunakan paradigma constructivist dengan

Metode Pendekatan Non Doktrinal atau socio-legal research dengan metode

Kualitatif, spesifikasi penelitian menggunakan deskriptif analitis, jenis data

utama dalam penelitian ini adalah data lapangan dan didukung oleh data

kepustakaan, metode analisis data menggunakan Yuridis-kualitatif. Untuk

validasi data lapangan menggunakan teknik wawancara dan observasi.

(13)

itu tidak melakukan pengecekan/kontrol atas isi BAP setelah persidangan. Dalam praktik beberapa BAP ditandatangani oleh ketua majelis hakim apabila perkara tersebut sudah pada tahap pembacaan tuntutan.

Keberadaan lembaga peradilan sebagai salah satu pendistribusi keadilan tidak dapat dilepaskan dari penerimaan dan penggunaan hukum modern di Indonesia. Hukum modern di Indonesia diterima dan dijalankan sebagai suatu institusi baru yang didatangkan atau dipaksakan (imposed) dari luar. Padahal secara jujur, dilihat dari optik sosio kultural, hukum modern yang kita pakai tetap merupakan semacam “benda asing dalam tubuh kita.” Oleh sebab itu, untuk menanggulangi kesulitan yang dialami bangsa Indonesia disebabkan menggunakan hukum modern, adalah menjadikan hukum modern sebagai kaidah positif menjadi kaidah kultural.

(14)

penolakan terhadap cara berpikir hukum yang tertutup. Hal itu disebabkan para pencari keadilan masih sangat merasakan, betapa pun tidak sekuat seperti pada abad ke-sembilan belas, filsafat liberal dalam hukum dewasa ini masih sangat besar memberi saham terhadap kesulitan menegakkan keadilan substansial (substantial justice). Sebagaimana telah diutarakan di muka bahwa hukum modern di Indonesia diterima dan dijalankan sebagai suatu institusi baru yang didatangkan atau dipaksakan (imposed) dari luar, yakni melalui kebijakan kolonial di Hindia Belanda. Padahal suatu peralihan dari status sebagai bangsa terjajah menjadi bangsa merdeka sungguh merupakan suatu momentum yang cukup krusial. Dalam kehidupan hukum di masa Hindia-Belanda, bangsa Indonesia tidak mengambil tanggungjawab sepenuhnya dalam masalah penegakan, pembangunan, dan pemeliharaan hukumnya, melainkan hanya sekadar menjadi penonton dan objek kontrol oleh hukum. Sedangkan sejak hari kemerdekaannya, bangsa Indonesia terlibat secara penuh ke dalam sekalian aspek penyelenggaraan hukum, mulai dari pembuatan sampai kepada pelaksanaannya di lapangan.

(15)

menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila; (3) Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah Peradilan negara yang diatur dengan Undang-Undang; (4) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan. Bertolak dari asas-asas tersebut maka nilai-nilai hukum yang harus diwujudkan pada penyelenggaraan peradilan dalam rangka menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila adalah mewujudkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa yang dilakukan secara sederhana, cepat dan biaya ringan. Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dalam tulisan ini diartikan sebagai keadilan hakiki/materiel/substansial yaitu keadilan yang sesungguhnya tanpa ada rekayasa.

(16)

Negeri Bandar Lampung maupun Kejaksaan Tinggi Lampung menyerahkan surat dakwaan (pelimpahan perkara) ke Bagian Pidana PN Kelas IA Tanjungkarang untuk dilakukan registrasi, maka selanjutnya perkara tersebut diserahkan kepada Ketua Pengadilan Negeri (KPN) melalui panitera untuk dilakukan pemeriksaan administrasi apakah perkara tersebut menjadi wewenang PN Kelas IA Tanjungkarang. Jadwal sidang perkara pidana di PN. Tanjungkarang dilaksanakan mulai pukul 09.00 Wib mulai hari senin sampai kamis setiap minggunya, namun dalam praktik dilaksanakan di atas pukul 13.00 Wib. Praktik pembuktian dilakukan dengan cara memeriksa beberapa orang saksi sekaligus pada waktu yang bersamaan, begitu juga bagi para terdakwa yang perkaranya saling berkaitan. Selain itu ditemukan adanya pemeriksaan saksi yang berstatus terdakwa dalam kasus yang sama (saksi mahkota).

Berita acara pemeriksaan (BAP) saksi, pemeriksaan ahli, dan terdakwa yang dibuat oleh panitera pengganti pada umumnya bukan merujuk pada keterangan saksi atau terdakwa di persidangan, melainkan menyalin (copy paste) dari BAP penyidikan, sedangkan terdakwa/penasehat hukum tidak mempunyai akses untuk meneliti isi BAP tersebut.

(17)

salah seorang anggota majelis hakim biasanya anggota yang paling yunior (anggota ke-2) atau walaupun yang menyusun salah seorang hakim anggota tapi isinya atas arahan ketua majelis (three in one), bahkan ada konsep surat putusan yang dibuat oleh Panitera Pengganti (PP) dengan cara mencontoh pada surat putusan perkara sejenis. Pembacaan putusan oleh majelis hakim dilakukan secara bersamaan terhadap beberapa terdakwa dalam perkara yang berbeda tetapi peristiwa hukumnya/kasusnya sama (berkas perkara dipisah) sedangkan surat putusannya belum diketik.

Dari kasus diatas yang telah dipaparkan secara sosiologis dalam praktik penyelesaian perkara ringan yang penyelesaiannya cepat dan damai, pernah terjadi untuk kasus sebagian besar sengketa yang muncul di tingkat desa biasanya ringan, perkelahian antar tetangga atau anak-anak muda, pencurian kecil dan hujatan atau fitnah. Dimana resikonya kecil, mekanisme peradilan non negara biasanya berjalan efektif. Karena kasus-kasus semacam ini adalah yang paling umum terjadi, kepuasan yang tinggi sangat diharapkan.

Pada pembahasan masalah kedua Berkaitan dengan penyelesaian tindak pidana ringan berbasis kearifan lokal hukum adat Lampung, Koesnoe mengemukakan pendekatan hukum adat dalam penyelesaian konflik adat berdasarkan tiga asas, yakni, asas rukun, asas patut, dan asas laras.

(18)

secara mutlak/absolut atau imperatif karena adanya pengecualian sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3), (4) RUU KUHP. Pengakuan terhadap eksistensi ketentuan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP ditegaskan pada Penjelasan Pasal 1 ayat (3) RUU KUHP bahwa, “adalah suatu kenyataan bahwa dalam beberapa daerah tertentu di Indonesia masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat dan berlaku sebagai hukum di daerah tersebut. Hal yang demikian terdapat juga dalam lapangan hukum pidana yaitu yang biasanya disebut dengan tindak pidana adat. Untuk memberikan dasar hukum yang mantap mengenai berlakunya hukum pidana adat, maka hal tersebut mendapat pengaturan secara tegas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini. Ketentuan pada ayat ini merupakan pengecualian dari asas bahwa ketentuan pidana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Diakuinya tindak pidana adat tersebut untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat tertentu”.

(19)

berupa gangguan keseimbangan alam sehingga masyarakat juga merasa akan terkena pengaruhnya (kerugian) atas gangguan ini. Gangguan keseimbangan menurut Van Vollenhoven merupakan suatu keadaan keseimbangan magis yang terputus yang juga mengakibatkan gangguan ketertiban hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu bila terjadi perbuatan pidana di dalam masyarakat, maka keseimbangan yang terganggu ini harus dikembalikan atau dipulihkan melalui pengenaan reaksi adat.

Menurut Harkristuti Harkrisnowo, sebenarnya sistem pidana dan pemidanaan di wilayah Indonesia sejak zaman dahulu telah mengenal falsafah pemidanaan. Hal ini terlihat dari berbagai kitab hukum kuno dan hukum adat dari berbagai daerah telah menyiratkan tujuan dari respon masyarakat terhadap terjadinya pelanggaran ketertiban hidup. Sejumlah kitab kuno ini antara lain :

1) Kitab Ciwasasana atau Purwadhigama pada masa Raja Dharmawangsa (abad ke-10);

2) Kitab Gadjahmada (abad ke-14);

3) Kitab Simbur Cahaya, di Palembang (abad ke-16); 4) Kitab Kuntara Raja Niti, di Lampung (abad ke-16);

5) Kitab Lontara’ ade’, di Sulawesi Selatan (abad ke-19), dan lain-lain

(20)

seketi enam laksa …..” Asas proporsionalitas terlihat dalam Pasal 93 “….. kesalahan besar dendanya besar, kesalahan kecil dendanya kecil …..”

Kearifan lokal adalah kekayaan leluhur yang bersifat turun temurun berupa tata nilai yang tumbuh dan berkembang di masyarakat serta berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari masyarakat baik dalam bentuk pola fikir maupun perilaku. Secara terminologi kearifan lokal terdiri dari dua kata yaitu kearifan berarti bijak atau kebijaksanaan dan lokal secara terminologi berarti “setempat” tetapi secara hakiki maksudnya adalah tumbuh atau muncul dari tempat/komunitas itu sendiri dan diyakini kebenarannya oleh masyarakat atau komunitas itu sendiri.

(21)

selanjutnya dan menyebar dengan cara membuka pembagian wilayah garapan perladangan-perkebunan dan permukiman (huma, umbul).

Secara garis besar masyarakat Lampung di bagi menjadi dua rumpun besar, yaitu masyarakat Lampung Saibatin dan Pepadun. Masing-masing masyarakat Lampung Saibatin dan Pepadun ini terdiri dari beberapa asal-usul ke-buayaan sehingga sistem pemerintahan diantara keduanya berbeda pula. Meminjam terminologi Nisbet dalam membagi tipologi masyarakat, mungkin dapat dikatakan bahwa masyarakat Saebatin, dalam menentukan status seseorang lebih cenderung mencerminkan komunitas yang didasarkan atas “Ascribed Status and Tradition” (status yang diwariskan dalam koridor tradisi”), sementara dalam masyarakat adat Pepadun memiliki ciri “achieved status and contract” di mana status seseorang diukur dari prestasi dan ditentukan oleh kontrak sosial dalam sidang kerapatan Perwatin. Dua tipologi masyarakat adat Lampung yang disebutkan di atas akan lebih tepat bila merujuk pada pendapat Raja Saebatin dari Paksi Buay Pernong yaitu Komisaris Besar Edward Syah Pernong yang bergelar Sultan Pangeran Raja Selalau Pemuka Agung Dengan Paksi Sekala Beghak Yang Dipertuan Agung ke-23 yang mengatakan bahwa sistem pemerintahan dalam masyarakat adat Saebatin bersifat aristiokratis, sedangkan masyarakat adat Pepadun lebih kental demokratis.

(22)

Lampung Saebatin terdiri dari sub rumpun besar yaitu Meninting, Teluk, Semangka, Belalalu/Krui, Ranau, Komering/Kayu Agung dan Cikoneng/Banten. Sedangkan Pepadun yang terdiri dari kebuayan-kebuayan yang tergabung dalam Abung Siwo Mego, kebuayan-kebuayan yang mengelompok dalam sub-rumpun Mego Pak Tulangbawang, Pubian Telu Suku, Way Kanan Buay Lima, dan Bunga Mayang Sungkai. Baik Saebatin maupun dalam masyarakat Pepadun karena memiliki asal-usul kebuayan yang sangat beragam, sehingga pengaturan pemerintahan lokalnya diatur dalam mekanisme permusyawaratan para punyimbang yang diwakili oleh punyimbang ditingkatannya masing-masing dalam lembaga representatif yang disebut sebagai Perwatin (Proatin). Perwatin adalah lembaga demokrasi para pemimpin-pemimpin-punyimbang dalam memutuskan persoalan-persoalan dalam penyelenggaraan sistem dan tatanan kehidupan masyarakatnya.

(23)

memberi legitimasi dua kekuatan besar tersebut dengan cara memberi sejumlah upeti dan Seba (Sowan).

Lembaga kepunyimbangan berwenang menciptakan norma sosial dan norma hukum sebagai pedoman bagi warga masyarakat adat. Norma ini mengandung suatu keharusan/kewajiban dan larangan (Cepalo). Norma dan hukum ini diputuskan dan ditetapkan melalui sidang kerapatan perwatin secara musayawarah yang dihadiri oleh para punyimbang adat.

Hasil tim penelitian Fakultas Hukum UNILA yang diketuai M.Faqih melaporkan bahwa Prowatin (Perwatin) masih eksis dan berfungsi sebagai lembaga musyawarah dalam menyelesaikan sengketa hukum di kalangan masyarakat adat.

Penyimbang menurut pengertian aslinya berasal dari kata simbang yang artinya giliran atau gantian, dengan arti giliran memimpin. Simbang berarti pula menirukan dan melanjutkan dari sebelumnya. Simbang juga dimaknai sebagai keseimbangan antara kewibawaan pemimpin dan keaikhlasan yang dipimpin. Adanya kearifan antara sang pemimpin dan yang dipimpin. Jadi dalam adat penyimbang seseorang dapat memimpin sesuai dengan adat yang berlaku, namun kedudukannya sebagai pemimpin kelak akan diganti dengan yang lain sesuai dengan musyawarah dan mufakat. Kepenyimbangan adalah konsep dalam strata sosial yang didapat dari hubungan darah (clan). Bagi masyarakat Lampung, kepeyimbangan seseorang dalam suatu marga, tidak berlaku bagi marga lain.

(24)

orang yang berasal dari satu keluarga besar. Struktur masyarakat Saibatin, adok atau juluk atau sebutan untuk anak laki-laki dilihat berdasarkan urutan tertua dan termuda adalah; Pangeran, Raja, Dalom dan Kemas. Selanjutnya untuk menjadi penyimbang hanya anak lelaki tertua dari garis laki-laki yakni mereka yang memperoleh panggilan Pangeran yang dapat diangkat menjadi penyimbang adat. Ketika pangeran menjadi penyimbang adat, ia memperoleh gelar Suttan, Suntan atau Sultan. Susunan penyimbang terdiri dari (terendah-teratas) penyimbang suku, penyimbang pekon/kampung, dan penyimbang marga.

Dalam adat Lampung yang patrilinear, marga dilihat dari garis ayah. Karena itu, dari satu marga dalam adat Lampung, selalu ada yang disebut penyimbang. Penyimbang bisa diartikan sebagai orang yang dituakan dalam marga itu. Orang tersebut sesuai garis keturunan ayah (patrilinear), berada dalam posisi sebagai anak tertua. Dialah yang kemudian disebut sebagai penyimbang. Dari pengertian penyimbang ini, posisi seorang penyimbang cuma berlaku dalam marga dia sendiri. Penyimbang dari marga A, tidak serta-merta menjadi penyimbang untuk marga lain.

(25)

(yang ketika berbicara di forum disebut merwatin) mempunyai hak suara dan mempunyai hak untuk mengemukakan pendapat. Jadi kedudukan para penyimbang dalam perwatin setara satu sama lain dan keputusan yang diambil dalam forum tersebut mengikat semua anggota perwatin atau para penyimbang yang ada. Seluruh kelompok marga yang ada di Lampung dikumpulkan lewat representasi seluruh penyimbang marga. Kepada para penyimbang diperkenalkan konsep prowatin sebagai upaya menata satu sistem pemerintahan negara yang dimulai pada tingkat suku (dusun/umbul).

Berkenaan dengan penyelesaian perkara yang merugikan pihak-pihak atau salah satu pihak di dalam kearifan lokal hukum adat Lampung dikenal pula rembuk pekon, yang mana dalam metode penyelesaiannya serupa dengan mediasi, yang pada intinya mengutamakan musyawarah mufakat. Maka tidak tertutup kemungkinan bilamana dapat di lakukannya penyelesaian tindak pidana ringan meggunakan pendekatan kearifan lokal hukum adat Lampung. Dalam prakteknya dapat di gambarkan melalui kasus perkelahian antara Andreansyah bin Suhut Gianto dengan Yudi Wastono bin Misdi dimana dalam hal tersebut penyelesaiannya melalui media rembuk pekon. Dan tidak dibawa keranah hukum formal. Dengan media kearifan lokal ini proses tindak pidana ringan dapat terselesaikan dengan keadilan yang dirasakan oleh para pihak.

(26)

penyelesaian tindak pidana ringan yang tujuannya sebagai alat untuk mencapai keadilan untuk para pihak.

Selanjutnya pembahasan tentang rekonstruksi sistem hukum pidana berkeadilan dalam penyelesaian tindak pidana ringan dalam usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu sering pula dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan. Jadi, kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”. Digunakannya hukum pidana di Indonesia sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan tampaknya tidak menjadi persoalan. Hal ini terlihat dari praktik perundang-undangan selama ini yang menunjukkan bahwa penggunaan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan kebijakan atau politik hukum yang dianut di Indonesia.

(27)

eksistensi hukum modern, bahkan sama halnya dengan penerapan hukum adat dalam sistem hukum nasional penuh dengan halangan prosedural.

Salah satu bentuk nyata mengembalikannya sebagai ideologi negara dalam makna yang sesungguhnya, Pancasila harusnya mampu menjadi dan ditempatkan sebagai kaidah penuntun dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Dalam kaitan ini, Notonagoro menyatakan bahwa Pancasila merupakan cita hukum (rechtsidee) karena kedudukannya sebagai pokok kaidah fundamental negara (staatsfundamentalnorm) yang mempunyai kekuatan sebagai grundnorm. Sebagai cita hukum, Pancasila menjadi bintang pemandu seluruh produk hukum nasional. Karenanya, semua produk hukum ditujukan untuk mencapai ide-ide yang dikandung Pancasila.

Pilihan hukum akan menjadi bagian penting dalam merekonseptualisasi

model sistem hukum nasional, dengan metode setidaknya akan dihasilkan sistem

hukum pidana yang terbuka yang kemudian dapat terlihat dengan jelas

masalah-masalah dalam penegakan hukum pidana saat ini. Melalui berbagai model yang

telah banyak di kembangkan para ahli hukum Indonesia tentang pembaharuan

hukum pidana Indonesia, dalam hal ini penulis mencoba membuat model yang

terintegral dalam sistem hukum pidana nasional yang khususnya mengenai

penyelesian tindak pidana ringan berbasis kearifan lokal hukum adat Lampung

sebagai media dalam memberikan keadilan.

Pembangunan sistem hukum nasional secara sederhana, dengan perbedaan

(28)

Indonesia dikenal sebagai negara yang bercorak multikultural, multietnik, agama, ras, dan multi golongan. Sesanti Bhinneka Tunggal Ika secara de facto mencerminkan kemajemukan budaya bangsa dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Wilayah negara yang membentang luas dari Sabang sampai Merauke. Indonesia memiliki sumber daya alam (natural resources) yang kaya dan melimpah bak untaian zamrud mutu manikam di bentang garis Khatulistiwa, dan berwujud sebagai sumber daya budaya (cultural resources) yang beragam coraknya. Dengan diakomodirnya untuk proses penyelesaian tindak pidana maka bukan tidak mungkin peraturan tersebut akan berdaya guna, karena dengan sangat dimengerti dan mudah dipahami terhadap nilai aturan tersebut yang diadopsi dari sumber nilai diluar hukum.

Studi tentang hukum sebagai sistem pengendalian sosial (social control) dalam kehidupan masyarakat telah banyak dilakukan oleh para ahli antropologi. Karena itu, dikatakan bahwa para antropolog memberi kontribusi yang sangat bermakna dalam pengembangan konsep hukum yang dioperasikan dalam masyarakat. Hukum dipelajari sebagai bagian integral dari kebudayaan secara keseluruhan, dan hukum dipelajari sebagai produk dari interaksi sosial yang dipengaruhi oleh aspek kebudayaan yang lain, seperti politik, ekonomi, religi, dan lain-lain. Dengan dasar argumentasi tersebut, akan dihasilkan Sistem Hukum Pidana Nasional Berbasiskan Pancasila.

(29)

di terima dan dianggap ada oleh masyarakat setempat, dan tak jarang hasil dari penggunaannya menghasilkan keadilan yang melebihi nilai dari hukum positif Indonesia. Penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana ringan dengan menggunakan sistem hukum pidana nasional, maka sudah pasti akan melalui tahapan-tahapan yang telah di perintahkan untuk diikuti berdasarkan perintah Peraturan Perundang-undangan. Berbeda halnya dengan pendekatan nilai kearifan lokal hukum adat Lampung. Norma-norma hukum yang berlaku di masyarakat secara metodologis dapat dipahami dari keputusan-keputusan seseorang atau sekelompok orang yang secara sosial diberi otoritas untuk menjatuhkan sanksi kepada para pelanggar hukum. Proses penegakkan hukumnya tidak formal dan selalu dirasakan keadilannya oleh pihak-pihak yang menggunakan sistem hukum pidana yang berbasis kearifan lokal hukum adat Lampung.

(30)

khas adat Lampung, unsur-unsur dalam penegakan hukum melalui Kearifan Lokal Hukum Adat Lampung senyatanya memberikan rasa keadilan terhadap penegakan hukum atas tindak pidana ringan.

Sisi-sisi penegakan hukum pidana saat ini terpaku hanya melalui pendekatan hukum positif yang tertulis dan diundangkan oleh pemerintah, melalui penegakan penegakan hukum yang statis dengan hanya merujuk padan sistem dan metode hukum positif ini menjadi titik tolak dalam membangun kembali dari hasil rekonstruksi dalam penegakan hukum atas tindak pidana ringan di Lampung, dengan fokus antara lain ;

Pertama melalui pendekatan substansi hukum bahwa merekonstruksi bangunan hukum yang sudah ada dengan berbasiskan nilai pada kearifan lokal di Lampung, penegakan hukum atas tindak pidana ringan di Lampung yang senyatanya untuk aparatur tetap mempergunakan hukum yang sifatnya tertulis semata. Dengan pendekatan rekonstruksi melalui pendekatan substansi hukum secara konstitusional keberlakuan dalam masyarakat memiliki legitimasi konstutisonal, dengan dasar tersebut pembangunan paradigma segmentasi dalam penerapan hukum untuk penggunaan Kearifan Lokal hukum adat Lampung pada kualifikasi tindak pidana ringan, melalui model tersebut akan memberikan media alternatif untuk mencari keadilan dalam penegakan hukum atas penyelesaian tindak pidana ringan di Lampung.

(31)

Dengan bangunan kelembagaan berdasarkan Undang-Undang sektor kelembagaan didalam Sistem Peradilan Pidana saat ini menjadikan keadilan pun memiliki tempat dalam hukum tertulis yang dipositifkan. Atas argumentasi hukum tersebut dalam pendekatan subsistem struktur memerlukan kebijakan penataan kembali sebagai legitimasi kewenangan terhadap subsistem struktur agar selaras dengan bangunan substansi hukum pidana nasional, melalui pemberian jaminan hukum atas penyelenggara Sistem Peradilan Pidana untuk memberikan alternatif terhadap penegakan hukum dengan Kearifan Lokal Hukum Adat Lampung. Dengan fokus rekonstruksi subsistem substansi dan subsistem struktur dengan model pembaharuan hukum untuk mendekatkan keadilan dapat memberikan model-model dalam penegakan hukum sepertihalnya, doubel track system (model-model dua jalur) dan pengalihan (diversi) hukum (kebijakan mengesampingkan hukum tertulis), dapat digunakan dalam penyelesaian tindak pidana ringan di Lampung dengan tetap memperhatikan Kearifan lokal Hukum Adat Lampung. Dengan demikian akan menjadi model pembaharuan hukum pidana nasional dalam penegakan hukum dengan harmonisasi antara Kearifan Lokal berbasiskan hukum adat dengan hukum tertulis yang dipositifkan oleh pemerintah.

Rekomendasi yang pertama perlu dikembangkan model dalam

penyelesaian tindakpidana ringan khususnya menggunakan media kearifan lokal

dengan media hukum adat. Yang kedua perlu dikembangkan dan diformulasikan

kebijakan hukum pidana untuk mencoba mengkontruksikan kembali sistem

penyelesaian dengan berbasis hukum adat yang berkeadilan dengan pendekatan

(32)

kebijakan hukum pidana yang diarahkan kepembaharuan hukum pidana guna

mencapai keadilan yang substansial tanpa mengesampingkan aspek keadilan

(33)

SUMMARY

This dissertation research was based on legal subject perpective about law itself, recent paradigm related to legal interpretation just interpret Act merely. Whereas, within Indonesia criminal law development which wasn't too systematic was felt needed rearrange and adjustment, for example, criminal law maintenance about light crime such as within law judicial procedure regulated within definition of Article 205 of Criminal Procedure Act (KUHAP).

(34)

Most law enforcement agencies reduce the understanding that enforcing the law is defined the same as enforcing the acts. This understanding implies that the acts (legislation) become the center of attention. In fact, law enforcement can not only be seen from the eye of the act, but should be viewed as a whole by involving all elements, such as the living law or unwritten law, morals, behavior, and culture. Therefore, it is necessary orientation and a new approach to law enforcement.

Law enforcement through the criminal justice system is still dominated by ‘legisme’ way of thinking, a way of criminal law enforcement relied only to legislation alone. This way is better viewed as a matter of law issues in black and white, but the law was not merely the absence of non-legal concepts. Laws should also be viewed from a social perspective, the actual behavior that is acceptable and for all human beings in it. Legisme perspective is actually one of the causes of the crisis of law enforcement in Indonesia. Therefore, other alternatives need to enforce the law so that it corresponds to the social context.

(35)

light based on local wisdom, to fulfill a sense of justice the local communities for minor criminal offenses were resolved through customary law should not have to be passed back through the criminal justice system. Criminal law enforcement will vanish the values that live in the community and local wisdom in indigenous Lampung.

In reality, there are cases that can be used as material for the foundation of the construction of law enforcement misdemeanors that exist especially in Lampung, as was the case eloped indigenous Lampung Pepadun, as well as cases of "Domestic issues", the case of "misunderstanding" , "theft", "persecution", the case "traffic accident", "commotion", "land invasions", the case of "unpleasant act", "embezzlement", "simple assault" "molestation ", and " fraud ", the cases have been resolved within the customary way, yet also some of it through the formal justice.

Misdemeanor that go to trial have also been the burden for the court, both in terms of budget and in terms of public perception. As stated by the professor of the University of Indonesia Asshiddiqie that the buildup of a court reaches three (3) million cases. Without the acceleration of the process of court that figure increasingly bloated. At the Supreme Court level recorded about 13 (thirteen) thousand cassation cases were not addressed until the end of 2011. In this case the enforcement of criminal law is based on the provisions in positive law (Penal Code and the Acts outside the penal Code).

(36)

Sumatra, Lombok, Papua, West Sulawesi and South Sulawesi. Settlement of the conflict as soon as possible consensus for peace held evolved as customary law. The subsequent development of customary law on ethnic groups in Indonesia, especially on the settlement of the conflict through compromise have many similarities which are directed at the harmonization of conflict or harmony in society and do not exacerbate the situation, to the extent possible to maintain an atmosphere of peace.

Culture deliberation, as a value system that is internalized by the people of Indonesia, is a passion for each of the parties to negotiate in these deliberations to resolve the conflict, for example, will seek to reduce its establishment in order to achieve common ground that benefits all parties, which resulted in consensus. A deliberation requires a respected figure to lead the deliberation to reach consensus. What was decided in the meeting to resolve the conflict slowly evolved into customary law.

The existence of the settlement out of court through customary law is a new dimension, studied from theoretical and practical aspects. Examined from the dimensions of the practice of customary law will be correlated with the judicial process.

(37)

recognized and has become a tradition among others, the people of West Papua, Aceh, Bali, West Sumatra and Lampung people.

Among the various customary laws spread across Indonesia, Lampung customary law is one of the customary laws in Indonesia and Lampung organize indigenous peoples for hundreds of years from generation to generation even today they are binding for indigenous peoples Lampung.

(38)

Based on this background relevant issues that can be used as a focus of study in this research is to develop the legal system construction in the settlement of criminal justice misdemeanor. Local wisdom as part of the socio-cultural aspects, embodied in the form of behavioral and social symbols.

The forms of local wisdom of indigenous Lampung that there needs to be constructed as ideal as possible so that the criminal justice system can be more effective in resolving minor criminal cases based on local wisdom of indigenous Lampung.

Based on the focus of the study, namely how the criminal justice system in the resolution of minor criminal offenses based on local wisdom can be resolved more effectively, it is necessary the study was conducted in order to obtain a more thorough understanding and deep both theoretically and practically. Substantively there are some problems that assessed the completion of a misdemeanor by using the criminal justice system is still disturbing sense of justice.

The formulation of the problem in this dissertation first, why the settlement of misdemeanor using positive law can disturb public sense of justice? Second, how the settlement of minor criminal offenses based on local wisdom of indigenous Lampung? And the third is how to reconstruct the justice system of criminal law in the resolution of minor criminal offenses with customary law based on local wisdom Lampung.

(39)

key data in this study is supported by field data and literature data, methods of data analysis using qualitative juridical. To validate field data using interview and observation techniques.

The results of research and discussion, the first problem that the use of modern justice system as a means of justice distributor proven across many obstacles. As for the causative factor is that modern justice burdened with formalities, procedures, bureaucracy and strict methodology. Therefore, justice is distributed through the judiciary given through bureaucratic decisions for the common good thus tend to be rational justice. So do not wonder if justice is obtained modern society is nothing but bureaucratic justice. Chairman of the judges in charge of the case it does not check / control over the contents of the dossier after the trial. In practice some the report signed by the presiding judge if the case is already at the stage of case hearing

. The existence of the judiciary system as one of the justice distribution agent cannot be separated from the acceptance and the use of modern law in Indonesia. Modern law in Indonesia is accepted and implemented as a new institution to be imported or imposed on the outside. Viewed from the optical socio-cultural, modern law that we use remains a kind of "strange object in our bodies." Therefore, to overcome the difficulties experienced by the Indonesia due to use of modern law, is to make modern law as a rule be positive cultural norms.

(40)

is not designed to provide substantive justice, the one with the excess material will obtain "justice" more than those without. If we continue to cling to the liberal doctrine, then we will still swirling in the maelstrom of trouble to bring in or create justice in society. In order to break away from the liberal doctrine that, the idea of people or parties to seek and find justice through alternative forums outside the institution modern court is actually a way of thinking the rejection of laws that are closed. That is because the justice seekers still feel, however not as strong as in the nineteenth century, the liberal philosophy in the law today is still very large stock gives justice to the difficulties substantially (substantial justice). As has been stated in advance that the modern law in Indonesia is accepted and implemented as a new institution to be imported or imposed from the outside, through colonial policy in the Dutch East Indies. Whereas a transition from status as a colonized people became independent nation is indeed a quite crucial momentum. In a legal life in the Dutch East Indies, the Indonesian people do not take full responsibility in matters of enforcement, construction, and maintenance of the law, but merely a spectator and object control by law. Meanwhile, since the day of independence, Indonesian people fully involved in all aspects in the administration of justice, from the scratch until its implementation in practice.

(41)

justice as stipulated in Article 24 paragraph (1) The Constitution of The Republic of Indonesia 1945. In order to realize the mandate of the Constitution, Law number 48 Year 2009 concerning judicial power establishes the principles of the organization of judicial power under Article 2 that: (1) Justice is done, "As Justice by God the almighty"; (2) The Court states implement and enforce law and justice based on Pancasila; (3) All courts in the entire territory of the Republic of Indonesia is a country that is governed by the Courts Act; (4) Justice is done with a simple, fast, and low cost. Starting from these principles, the values of law that must be realized in the administration of justice in order to implement and enforce the law and justice based on Pancasila is justice based on God which is done in a simple, fast and inexpensive. Justice is based on God in this paper is defined as the intrinsic justice / materiel / substantial that real justice without any engineering.

(42)

Tandjungkarang mostly using interrogation usual processes and procedures for handling that is, after the Public Prosecutor , both from the State Attorney Bandar Lampung and the High Court of Lampung submit indictments (the transfer case) to Section criminal of the court Class IA Tandjungkarang to submit a registration, then the next case was handed over to the Chairman of the Court (KPN) through the clerk to do administrative examination whether the case is under the authority of the PN Class IA tanjungkarang. Schedules hearing criminal cases in District Court. Tandjungkarang held starting at 09.00 pm began Monday through Thursday each week, but in practice carried over at 13:00 am. the practice of evidence done by examining several witnesses at once at the same time, as well as for the defendants that their case related to each other. also found a hearing witnesses the status of the accused in the same case (crown witness).

Dossier (BAP) witness, expert examination, and the defendant made by the clerk replacement is generally not referring to the testimony of witnesses or the accused in the trial, but a copy (copy and paste) of the report investigation while the accused / counsel did not have access to research the contents of the dossier.

(43)

ruling only compiled by a member of the panel of judges are usually members of the most junior (member of the 2nd) or though constituting one of the judges but the content on the landing head of the panel (three in one), there is even a draft of the decision made by the Registrar in a manner modeled on a similar case letter ruling. Verdict by the judges carried out simultaneously against several defendants in the case were different but the events of legal / same case (split) while the decision has not been typed letter.

From the above cases has been described sociologically in the practice of settling disputes light rapid and peaceful settlement, once the case for most of the cases of disputes arising at the village level are usually mild fights between neighbors or younger children, petty theft and blasphemy or defamation. Where the risk is small, non-state justice mechanisms are usually effective. Because such cases are the most common, high satisfaction is expected.

In connection with the discussion of the second issue of the settlement of minor criminal offenses based on local wisdom of indigenous Lampung, Koesnoe proposed approach customary law in indigenous conflict resolution based on three principles, namely, the principle of harmonious, the principle is worth, and barrel.

(44)

as absolute / absolute or imperative for their exclusion as stipulated in Article 1 (3), (4) Penal Code draft. Recognition of the existence of the provisions of Article 1 (3) Penal Code draft was confirmed on the elucidation of Article 1 paragraph (3) Penal Code draft that, "it is a fact that in some specific regions in Indonesia there are legal provisions that are not written in the society and serve as law in the area. Such things are also in the field of criminal law that is usually referred to by the customary criminal offense. To provide a robust legal basis regarding the entry into force of customary criminal law, then it gets the settings explicitly in the Code of Penal this. The provisions in this paragraph is an exception to the principle that criminal provisions stipulated in the legislation. He admitted criminal acts such indigenous to better satisfy the justice that live in a particular community ".

(45)

disconnects the magical balance that also lead to disturbances in the society. Therefore, if there is a crime in the community, then the balance is disturbed, this must be returned or restored through the imposition of customs reaction.

Harkristuti Harkrisnowo, actual penal system and punishment in the Indonesian territory since ancient times has been familiar with the philosophy of punishment. This is evident from the various books of the ancient law and customary law of various areas has implied the purpose of the public response to the violation of order of life. A number of ancient books include:

1) Book Ciwasasana or Purwadhigama at the time of King Dharmawangsa (contract, 10);

2) The Book Gadjahmada (14th century);

3) The book Simbur Light, Palembang (16th century); 4) Book of Kuntara Raja Niti, in Lampung (16th century);

5) The Book Lontara 'ade', in South Sulawesi (the 19th century), and others

Of the many books that have been familiar with the principle of legality and the principle of proportionality of the pillars of modern criminal law. For example, Article 65 Majapahit Book of Regulations on the imposition of fines, reads: "Remember, do not let all-time king of the ruling charged the fines greater than sixty thousand ... .." The principle of proportionality stipulated in Article 93 "... .. big mistake big penalties, minor penalties for small mistakes ... .. "

(46)

consists of two words that mean sage wisdom or wisdom and local terminology means "local" but essentially the intention is to grow or emerge from the place / the community itself and believed by the community or the community itself.

In Lampung people recognized the Institute perwatin and kepunyimbangan which is sliced and important layers in the social structure diagram. This institution is the mechanisms and forms of local government related to the leadership process in the administration of the social system. Kepunyimbangan is geneologis patriarchal leadership process (from the lineage of the oldest male) from the nuclear family-core as an institution of leadership at lower levels. Kepunyimbangan the bottom is increased again to the top tier in a row that kepunyimbangan tribe, kepunyimbangan Tiyuh-Anek-pekon (kampong, village), and kepunyimbangan ke-Buay-an. Kepunyimbangan ke-Buay-an all a leadership recruitment mechanisms based on genealogical origins of kinship oldest offspring (first generation) who occupy a particular territorial area (tiyuh). This first generation that gave birth to future generations and spread by opening zoning-plantations and arable farming settlements (huma, pennant).

Broadly speaking Lampung people divided into two large clumps, namely Lampung people Saibatin and Pepadun. Each community Lampung Pepadun Saibatin and is composed of several origins ke-Buay-an so that the system of government of the two differently.

(47)

status of a person is more likely to reflect the community that is based on "Ascribed Status and Tradition" (status is inherited in the corridor tradition "), while the indigenous peoples Pepadun characterized" achieved status and contract "in which a person's status of achievement is measured and determined by the social contract in court Perwatin density. Two typologies of indigenous Lampung mentioned above would be more appropriate to refer to the opinion of King Saebatin of Paksi Buay Pernong namely Commissioner Edward Syah Pernong the title of Sultan Prince Raja selalau Leaders Agung With Paksi Sekala Beghak Yang Pertuan Agong to 23 which says that the system governance within indigenous communities are aristocrats Saebatin, while the indigenous peoples democratic Pepadun more viscous.

(48)

own level in a representative institution known as Perwatin. Perwatin is a democratic institution of the leaders-punyimbang in deciding the issues in the administration of the system and the livelihood of its people.

Kepunyimbangan institutions and perwatin as typical local wisdom has long existed long before Lampung people familiar with the paradigm of the nation-state and the Republic of Indonesia, even long before the Dutch conquered Lampung at the end of the 19th century. Stabbing roots firmly in the lifeblood of the community together Lampung be the cornerstone of democracy-building foundation and local politics, which is controlled by the regime since Lampung kingdom of Srivijaya and Majapahit. Characteristics of kinship system of government-kebuayan not disappear from the influence and hegemomi two great powers of the State "superpower" is. Kepunyimbangan institutions and Perwatin into a pattern of local stand-alone although the leaders Lampung legitimacy of the two great powers by giving a number of tributes and Seba (Sowan).

Kepunyimbangan institutions authorized to create social norms and legal norms as guidelines for indigenous peoples. This norm contains a requirement / obligation and prohibition (Cepalo). Norma and this law is decided and determined by trial perwatin density in meeting attended by indigenous punyimbang.

Results of the research team of the Faculty of Law UNILA, chaired by M.Faqih reported that Prowatin still exist and function as institutions of deliberation in resolving legal disputes among indigenous peoples.

(49)

means imitating and continuing . Simbang also be interpreted as a balance between the authority of the leader and the led keaikhlasan. Their wisdom between the leader and the led. So in penyimbang indigenous person can lead accordance with prevailing custom, but his position as a leader will soon be replaced with another according to the deliberation and consensus. Kepenyimbangan is the concept of the social strata obtained from blood relations (clan). For the people of Lampung, kepeyimbangan someone in a clan, does not apply to other genera.

Penyimbang clan in Lampung is the elder leaders in a clan, another name of the family. Socially, clan refers to a group of people who came from a large family. Saibatin community structures, ADOK or named or designation for boys seen in order of oldest and youngest are; Prince, King, Dalom and Pack. Furthermore, to be penyimbang only the eldest son of the male line: those who obtain the Prince calls that can be made into custom penyimbang. When the prince became customary penyimbang, he earned Suttan, Suntan or Sultan. Penyimbang arrangement consists of (low-top) penyimbang tribe, penyimbang pekon / village, and penyimbang clan.

(50)

Penyimbang from clan A, does not necessarily become penyimbang to other generation.

The perwatin or prowatin is a consultative institution at penyimbang in rates, tiuh / pekon, and clan. Members perwatin is the penyimbang in every levels. This means that in institutions perwatin clan level, the membership consists of penyimbang-penyimbang at clan level. Meanwhile, when the institution perwatin level tiuh members are penyimbang in the tiuh level. In perwatin institutions, decisions are taken democratically in which each member institution penyimbang being perwatin (who when speaking at the forum called merwatin) with voting rights and the right to express opinions. So the position of the penyimbang in perwatin similar to each other and the decisions taken in the forum binding on all members of the penyimbang perwatin or existing. The whole clan groups in Lampung penyimbang collected through the representation of the entire clan. Penyimbang introduced to the concept prowatin an effort to organize a system of government that began in rate (village / pennant).

(51)

conference pekon. And not taken formal legal areas. This local wisdom with process media misdemeanor can be resolved with justice felt by the parties.

In the practice of criminal law enforcement, the primary duty of the Police accordance with Act No. 2 Year 2002 on the Indonesian National Police. In this case the Police has conducted a media conference Pekon as a solution in solving problems in the completion of a misdemeanor that purpose as a tool to achieve justice for the parties.

Further discussion about the reconstruction of the criminal justice system of law in the resolution of minor criminal offenses in crime prevention efforts with the criminal law in essence is also part of law enforcement efforts (especially criminal law enforcement). Therefore it is often said that the political or criminal law policy is also part of the policy of law enforcement (law enforcement policy). Efforts and policies to create good rules of criminal law in essence cannot be removed from the crime prevention goals. Thus, policies or politics of criminal law is also part of a political criminal, the criminal law policy is identical to the definition of "crime prevention policies with the criminal law". The use of criminal law in Indonesia as a means to tackle crime does not seem to be a problem. This is evident from the practice of law as long as these show that the use of criminal law is part of a political policy or law adopted in Indonesia.

(52)

can not necessarily put Pancasila, because at this time stunted by the existence of modern law, even as well as the application of customary law in the national legal system is filled with procedural hitch.

One form of the state ideology in the true sense, Pancasila should be capable of being placed as a rule and guide in the process of establishing legislation. In this regard, Notonagoro states that Pancasila is the ideal law (rechtsidee) because of his position as principal fundamental principle states (staatsfundamentalnorm) has the power as Grundnorm. As the ideals of law, Pancasila became a guiding star throughout the national law. Therefore, all laws aimed to achieve the ideas contained in Pancasila.

Choice of law will be an important part in re- model the national legal system, the method will produce at least open the criminal justice system that can then be seen clearly problems in the enforcement of criminal law at this time. Through a variety of models that have been widely developed jurists Indonesia about the renewal of the Indonesian criminal law, in this case the author tries to create a model that is integral in the system of national criminal law, especially regarding the remedy misdemeanor based on local wisdom of indigenous Lampung as the media in providing justice ,

(53)

the criminal offense is not impossible that such regulations will be useful, because with a very understandable and easy to understand the value of these rules, which were adopted from the source values outside the law.

The study of law as a social control system in people's lives have been done by anthropologists. Therefore, it is said that anthropologists contribute very significantly in the development of the concept of the law operated in the community. Studied law as an integral part of the culture as a whole, and studied law as a product of social interaction are influenced by aspects of other cultures, such as politics, economics, religion, and others. On the basis of this argument will produce National Criminal Justice System Based on Pancasila.

(54)

always felt justice by parties who use the criminal justice system based on local wisdom of indigenous Lampung.

Dispute settlement through Indigenous Customary Law based in fact in accordance with the Constitution and the National Law system is essentially restore balance on deviant behavior in society, within the rule of law through the Indigenous Customary Law have the same benefit that restores the balance in the order in society. On the construction of criminal justice systems nationwide need to absorb Local Wisdom on the basis of customary law (with elements of the principle of criminal law, the general provisions) such as in Lampung through consultation Pekon (places for deliberation), anjaw silau (togetherness), angkonan muarghi (brotherhood), peace and awarding the title, this is the hallmark of indigenous Lampung, the elements in law enforcement through indigenous customary law Lampung in fact provide a sense of justice to enforce a misdemeanor.

The sides of criminal law enforcement currently fixated only through an approach of positive law is written and legislated by the government, through the enforcement of law enforcement are static with only a reference to a unified system and method of positive law becomes the starting point in rebuilding of reconstruction results in enforcement on misdemeanor in Lampung, focusing among other things;

(55)

constitutionally enforceability in society constitutional legitimacy, on the basis of the development paradigm of segmentation in the application of law to the use of Indigenous customary law Lampung in qualifying misdemeanor, through the model will provide an alternative media to seek justice in the enforcement law on completion of misdemeanor in Lampung.

(56)

The first recommendation that the model needs to be developed in the resolution of minor criminal offenses, especially using local wisdom media with customary law media. The latter needs to be developed and formulated policy of criminal law to try build the re-settlement system with customary law based justice approach local wisdom. And the third needs to be developed in the form and set the criminal law policy which is directed to the reform of criminal law in order to achieve substantial justice without neglecting the formal aspect of justice.

KATA PENGANTAR

(57)

Sistem Hukum Pidana dalam penyelesaian Tindak Pidana Ringan Berbasis Kearifan Lokal Hukum Adat Lampung”.

Ada pengalaman yang lucu jika diingat, pada saat mendaftar ke KPK UNDIP UNILA, pada waktu itu saya bersama teman-teman (Liky Faizal dan Eko Hidayat), kami bertiga berkomitmen jika salah satu diantara kami tidak lulus, maka kami bertiga memutuskan tidak kuliah semuanya, Alhamdulillah hasil seleksi pada waktu itu kami bertiga lulus semuanya. Namun dalam perjalanan studi hingga tahap kualifikasi tidak semua berjalan lancar, akhirnya tinggallah saya seorang diri melanjutkan ketahap berikutnya hingga bisa menyelesaikan penelitian disertasi sebagai tugas akhir untuk memperoleh gelar akademik tertinggi Doktor dalam bidang ilmu hukum.

Penelitian disertasi ini dilatarbelakangi oleh pandangan penulis terhadap hukum itu sendiri, paradigma saat ini terkait dengan menafsirkan hukum hanya menafsirkan Undang-Undang semata. Sedangkan di dalam perkembangan hukum pidana Indonesia yang tidak terlalu sistematis banyak dirasakan diperlukannya penataan kembali dan penyesuaian antara lain Penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana ringan sebagaimana dalam hukum acara pidana diatur dalam ketentuan Pasal 205 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

(58)

Bentuk-bentuk kearifan lokal masyarakat adat Lampung yang ada tersebut perlu dikonstruksi seideal mungkin sehingga sistem peradilan pidana dapat lebih efektif dalam menyelesaikan kasus tindak pidana ringan yang berbasis kearifan lokal hukum adat Lampung.

Karya ini tentunya akan banyak mengundang polemik dikalangan akademisi dan juga praktisi hukum, mengingat basis teori yang dijadikan dasar dalam studi ini masih dalam tahap pencarian jatidiri. Akan tetapi justru budaya akademik seperti inilah yang perlu dikembangkan, mengingat dunia keilmuan itu tidak sepi dari wacana-wacana baru yang kebenarannya tentunya harus dibuktikan dengan hasil-hasil penelitian.

Penulis mengakui secara jujur bahwa karya ini pada hakikatnya bukanlah semata-mata buah karya penulis sendiri, akan tetapi telah melibatkan banyak pihak yang ikut memberikan kontribusi baik berupa motivasi, pikiran, tenaga, dan financial yang tak terhitung. Oleh karena itu perkenankan penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. H. Yos Johan Utama, SH.,M.Hum, sebagai Rektor Universitas Diponegoro Semarang.

2. Prof. Dr. R. Benny Riyanto, SH.,MH.,CN., sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang.

3. Prof. Dr. FX. Adji Samekto, SH.,M.Hum, sebagai Direktur Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang.

4. Prof. Dr. Rahayu, S.H,M.H., sebagai sekretaris pada Program Doktoral Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang.

(59)

memperlakukan penulis sebagai keluarga sendiri, sehingga penulis lebih nyaman dalam bimbingan dan dalam memperoleh pembelajaran dalam banyak hal yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan di bidang hukum maupun non hukum, disamping kearifan dan keteladanan serta nasehat-nasehat agama dari beliau.

6. Dr. Eddy Rifai, S.H., M.H., sebagai co-promotor yang telah banyak membantu memberikan bimbingan dan arahan penulisan disertasi ini dengan penuh kesabaran dan dedikasi yang tinggi, tegas dan serta berjiwa besar khususnya dalam memberikan masukan dan bimbingannya.

7. Prof. Dr. Supanto, S.H.,M.Hum., sebagai penguji eksternal, yang telah memberikan masukan atas kekurangan dan penyempurnaan dalam penulisan disertasi ini.

8. Prof. Dr. Nyoman Serikat Putra Jaya, S.H., M.H., sebagai penguji yang telah memberikan bimbingan, arahan yang sangat berharga serta masukan atas kekurangan dan penyempurnaan dalam penulisan disertasi ini.

9. Dr. RB. Sularto, S.H, M.Hum., sebagai penguji yang telah memberikan bimbingan dan masukan yang sangat berharga atas kekurangan dan penyempurnaan dalam penulisan disertasi ini.

10. Dr. Pujiono, S.H, M.Hum., sebagai penguji yang telah memberikan bimbingan dan masukan yang sangat berharga atas kekurangan dan penyempurnaan dalam penulisan disertasi ini.

11. Dr. Sukirno, S.H.,M.Si., sebagai penguji yang telah memberikan masukan yang berharga dan penyempurnaan dalam penulisan disertasi ini.

Referensi

Dokumen terkait

Yang menjadi faktor yang mempengaruhi adalah hukum adat/kearifan lokal, infrastruktur, letak geogerafis dan kualitas sumberdaya aparatur.Kesimpulan dari penelitian ini adalah,

Penulis menyarankan agar dalam hal perkara tindak pidana anak, setiap orang harus lebih memahami tentang pentingnya penyelesaian dengan model keadilan restoratif, baik

Dalam Pasal 1 butir (6) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan, Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak

Proses penyelesaian melalui mediasi dapat dilakukan oleh penyidik dalam penegakan hukum tindak pidana ringan dengan catatan perkara tersebut memiliki tingkat kerugian

Keadilan restoratif restorative justice adalah roh atau asas hukum dibalik penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, aparatur penegak

Berdasarkan syarat dalam penyelesaian perkara penganiayaan dengan konsep keadilan restoratif tersebut, maka dapat dikatakan bahwa karakteristik tindak pidana yang dapat diselesaikan