• Tidak ada hasil yang ditemukan

t pu 100213 chapter1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "t pu 100213 chapter1"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Republik Indonesia dibangun atas keragaman agama dan etnis. Ideologi Pancasila didasarkan pembentukannya untuk mengakomodir keragaman itu. Sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan aliansi perubahan dari

redaksional ideologis “Ketuhanan, dengan kewajiban mengamalkan Syari’at Islam bagi Pemeluk-Pemeluknya”. Dilihat dari pemeluk agama terdapat beberapa agama (yang diakui pemerintah) dan dipeluk oleh penduduk Indonesia yang berjumlah 237.6 juta jiwa (Damanik, Kompas.com, 2010). Bangsa Indonesia mengakui beberapa agama yaitu, Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Budha, Hindu, dan Konghucu.

Dalam konteks internal agama, terdapat pula keragaman aliran, mazhab, dan sekte. Ajaran agama Islam mengenal berbagai aliran atau mazhab. Selain agama terdapat pula 245 aliran kepercayaan (Kementerian kebudayaan dan pariwisata, 2003). Ada mazhab di bidang aqidah, ada mazhab di bidang fiqh, dan ada mazhab di bidang politik (Adam, 2010: 17).

Keragaman suku, budaya, dan ideologi keagamaan sebagai entitas yang tidak terelakkan dalam kehidupan manusia, sebagaimana ditegaskan di dalam Al Qur’an (Q.S. Al Hujurat: 13) yang artinya: “Wahai sekalian manusia,

(2)

mengenal...” (QS. Al Hujurat: 13). Implikasi dari keragaman ini dapat

menyebabkan terjadinya perbedaan prespektif dalam berbagai aspek, termasuk penafsiran ajaran agama. Dalam Islam terdapat aspek tertentu yang multi-interpretatif terkait pemikiran keislaman, namun dalam aspek peneguhan aqidah bersifat mutlak ( Umar, 1999 : 7).

Realitas keragaman tersebut dapat dikembangkan berdasar pada penguatan toleransi internal dan eksternal penganut agama. Toleransi internal dilakukan karena di dalam satu agama terdapat bermacam-macam aliran/paham keagamaan, sedangkan toleransi eksternal bermakna saling menghormati antarpemeluk agama (Adam, 2010: 16).

Noer (2001 : 239) mengemukakan bahwa pluralisme sebagai sikap yang mengakui dan menghargai yang plural secara etnis, kebudayaan dan keagamaan tentu sangat diperlukan untuk menciptakan dan memelihara kerukunan beragama. Karena itu, sikap ini harus ditumbuhkan pada diri generasi muda bangsa kita.

(3)

Kemajemukan, disamping sebagai potensi kehidupan sosial untuk saling bantu membantu, juga memiliki potensi untuk terjadinya ketegangan sosial. Persaingan untuk merebut kepentingan dan harta benda, menyebabkan perpecahan dalam keragaman. Isu agama sering dimunculkan untuk dijadikan alat untuk merebut kepentingan dan harta benda.

Kymlicka (Arifin, 2010: 3) mengemukakan bahwa perbedaan identitas budaya bukan penyebab langsung, tetapi sikap masyarakat terhadap perbedaan identitas itu sebagai sumber pemicunya. Dikatakannya pulralitas etnik, ras, dan agama sebagai corak negara-negara postkolonial lebih berfungsi banyak sebagai faktor disintegratif daripada faktor integratif sebagai efek dari kekeliruan mereka dalam memahami dan mensikapi pluralitas yang ada.

Selanjutnya Al Muchtar (2004: 5) menjelaskan bahwa konflik etnisitas, termasuk konflik agama sebagai akibat ketidakcerdasan masyarakat terhadap realitas diversitas etnis. Sedangkan Karnavian (2009: 75) menyatakan bahwa konflik terjadi bukan karena multikulturalitas kebangsaan, tetapi secara mikro lebih disebabkan oleh ketidakpuasaan antar perilaku lintas suku, agama, keamanan, dan birokrasi.

(4)

kampung, penembakan misterius, pemboman tempat-tempat ibadah dan fasilitas umum. Kejadian seperti itu berimbas adanya sikap curiga dan tidak adanya sikap saling menghargai dan menyebabkan lunturnya nilai-nilai toleransi di antara warga.

Ketegangan dan kerusuhan yang bernuansa agama di beberapa daerah di Indonesia juga terus berlanjut yang mengakibatkan hancurnya tempat-tempat ibadah. Fenomena ini sebenarnya menunjukkan adanya kesenjangan (gap) antara idealitas agama (das sollen) sebagai ajaran dan pesan-pesan suci Tuhan, dengan realitas empirik yang terjadi dalam masyarakat (das sein) (Zainuddin, 2006: 190).

Setiap kelompok masyarakat selalu menganggap diri mereka sebagai golongan yang terbaik dibandingkan dengan kelompok lainnya. Kelompok itu terwujud dalam bentuk kelompok agama atau suku. Berbagai gejolak muncul dan meledak diakibatkan oleh etnosentrisme itu. Ibnu Khaldun (1986 : 57) menyebut ego kelompok sebagai ta’assub. Solidaritas kelompok disebut ashabiyah. Untuk membangun persaudaraan sesama umat manusia disebut al-‘usbah.

Gagasan Ibnu Khaldun tentang perbedaan-perbedaan pandangan golongan pada setiap kelompok masyarakat, menjadi basis sosiologi masyarakat modern untuk mengurai sejumlah kemelut yang melanda masyarakat. Seruan toleransi kepada orang-orang selain dari golongan kelompoknya, menjadi seruan global untuk mewujudkan perdamaian dunia.

(5)

1) pemahaman yang dangkal terhadap apa yg dipandang mempunyai nilai otoritatif dan kemutlakan dalam agama. 2) kerangka pandang teologis ekslusif simbolistik berimplikasi pada lahirnya warisan stigma sejarah masa lalu yang terus melekat sebagai memori dan membentuk kesadaran kolektif para pemeluk agama yang dapat menimbulkan prasangka-prasangka negatif terhadap eksistensi dan dinamika agama lain. 3) agama mudah dimanfaatkan untuk memblow-up isu-isu di luar dunia keagamaan yang sedang mengemuka. 4) dalam konteks pluralitas agama, kegiatan dakwah acapkali menimbulkan gesekan-gesekan dengan komunitas lain sebagai akibat dari dangkalnya orientasi.

Pancasila yang merupakan dasar ideologi bangsa, pandangan hidup bangsa, cita-cita bangsa dan sumber dari segala sumber hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia telah mengisyaratkan tentang karakter dan pola fikir seluruh rakyat Indonesia. Lima butir Pancasila itu menggambarkan bagaimana sebenarnya sifat asli bangsa Indonesia dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan saling menghargai berbagai perbedaan.

Namun realita yang saat ini terjadi sangat jauh dengan apa yang selama ini dicita-citakan. Rasa solidaritas antara pemerintah dengan rakyat atau rakyat dengan sesama rakyat Indonesia seakan-akan telah terkikis seiring dengan berbagai perkembangan zaman yang seolah belum mampu diikuti oleh bangsa Indonesia. Perbedaan yang seharusnya mengajari kita untuk saling menghargai dan menghormati kini seolah menjadi hal yang tabu. Kekuasaan yang dimiliki oleh pemerintah juga sering disalahartikan untuk menindas rakyatnya.

Masih segar diingatan kita tragedi kerusuhan Poso yang terjadi dari tahun

(6)

dengan adanya kerusuhan. Sikap tidak percaya dan saling mencurigai di masyarkat antara pemeluk agama (Kristen dan Islam) telah mencabik kedamaian di tanah Sintuvu Maroso.

Kota Ambon Manise telah menjadi saksi sejarah buram kedamaian dan persatuan di Indonesia. Hal ini karena kerusuhan Ambon yang terjadi selama Januari hingga maret 1999 telah menjadi kerusuhan berdarah yang mengerikan (AnneAhira.com). Kota yang ditinggali oleh masyarakat berbeda agama sebelum kerusuhan 1999 adalah kota yang aman walaupun, ada terjadi kekerasan kecil yang disebabkan oleh hal-hal kecil tetapi tidak sampai menyulut kerusuhan besar. Isu agama yang dilontarkan untuk memprovokasi massa sebagai satu-satunya penyebab kerusuhan tersebut.

(7)

MUI telah mengisyaratkan bahwa Syiah bukanlah aliran sesat dalam agama Islam dan diterima keberadaannya didunia sebagai bagian dari Islam (Adam, 2012 : 2).

Kerusuhan yang terjadi baru-baru ini dikala umat muslim merayakan lebaran idul fitri pada 26 Agustus 2012, yaitu perseteruan antara pengikut Syi’ah

dan pengikut Sunni di Sampang Madura (Kompas, Agustus 2012).

Citra kesantunan rakyat Indonesia yang selama ini menjadi contoh bagi negara lain dalam membina kerukunan umat beragama seakan luntur dengan kejadian yang sangat disayangkan oleh berbagai pihak tersebut. Tak kurang kasus ini mengundang reaksi dari berbagai ormas Islam yang mengatakan kedewasaan masyarakat semakin lama semakin merosot dalam menghadapi perbedaan terutama yang menyangkut keyakinan yang ada.

Menurut Mulyana (2000: 237) menyatakan bahwa salah satu usaha untuk menanggulangi konflik adalah dengan mendidik manusia untuk menjadi pribadi yang menghargai keanekaragaman budaya. Melalui pendidikan kita dapat menciptakan generasi yang tidak terkungkung oleh pandangan kesukuan dan ideologi agama tertentu.

(8)

biaya pendidikan, tenaga pengajar, kurikulum, dan komponen pendidikan lainnya (Saleh, 2005: 17).

Namun, Pendidikan Agama Islam yang di sekolah masih banyak kelemahan bahkan oleh sebagian pihak dianggap gagal, kegagalan ini dapat dirasakan dari dekadensi moral dan diabaikannya nilai-nilai ajaran agama. Pendidikan agama tidak mampu mencegah peserta didik berperilaku buruk seperti pergaulan bebas, tawuran, narkoba, konflik sara, kurangnya toleransi dan penghargaan kepada orang lain. Melihat hal itu banyak kalangan yang meragukan keefektifan Pendidikan Agama Islam bagi peningkatan kesadaran peserta didik baik secara agama maupun kultural.

Noer dalam Sumarthana (2001: 239-240) menyatakan setidaknya ada empat faktor penyebab kegagalan tersebut, yaitu: Pertama, penekanannya lebih pada proses trasnfer ilmu agama ketimbang pada proses transformasi nilai-nilai keagamaan dan moral kepada anak didik; Kedua, sikap bahwa pendidikan agama tidak lebih dari sekedar sebagai “hiasan kurikulum” belaka dan sebagai

“pelengkap” yang dipandang sebelah mata; Ketiga, kurangnya penekanan pada

nilai moral yang mendukung kerukunan antara agama, seperti cinta, kasih sayang, persahabatan, suka menolong, suka damai dan toleransi; Keempat, kurangnya perhatian untuk mempelajari agama-agama lain.

(9)

dampak instruksional (instructional effects) yang terbatas pada penguasaan materi (content mastery) atau dengan kata lain hanya menekankan pada dimensi kognitifnya saja. Pengembangan dimensi-dimensi lainnya (afektif dan psikomototik) dan pemerolehan dampak pengiring (nurturant effects) sebagai “hidden curriculum” belum mendapat perhatian sebagaimana mestinya. Kedua.

Pengelolaan kelas belum mampu menciptakan suasana kondusif dan produktif untuk memberikan pengalaman belajar kepada peserta didik melalui perlibatannya secara proaktif dan interaktif baik dalam proses pembelajaran di kelas maupun di luar kelas (intra dan ekstra kurikuler) sehingga berakibat pada miskinnya pengalaman belajar yang bermakna (meaningful learning) untuk mengembangkan kehidupan dan perilaku peserta didik. Ketiga, pelaksanaan kegiatan ekstra-kurikuler sebagai wahana sosio-pedagogis untuk mendapatkan “hands-on experience” juga belum memberikan kontribusi yang signifikan untuk

menyeimbangkan antara penguasaan teori dan praktek pembiasaan perilaku dan keterampilan dalam berkehidupan yang demokratis dan sadar hukum.

Pendidikan damai dalam masyarakat multikultural menjadi perhatian UNESCO dalam merespon berkecamuknya konflik dan perang di berbagai belahan dunia. Pendidikan di sekolah dan kelas di yakini bisa menjadi contoh terdepan menunjukkan sikap toleransi, saling menghormati, dan hidup damai dengan orang lain (Kompas, 7 Maret 2011).

(10)

lingkungan sekolah yang bilamana kebijakan lembaga pendidikan itu dapat menciptakan lingkungan yang kondusif, nyaman, dan harmonis.

Pendidikan agama akan dapat memenuhi fungsinya apabila ia mampu menggerakkan para anak didik untuk belajar mengamalkan ajaran-ajaran agama yang mereka terima dalam kehidupan sehari-hari. Jika pendidikan agama yang hanya menekankan hafalan, maka kurang relevansi dengan usaha-usaha mengelola perubahan sosial (Noer, 2001: 235).

Pendidikan agama yang hanya menampilkan keyakinan keagamaan semata-mata tanpa mengajarkan aspek sosial dari agama itu, selalu mengantarkan siswa untuk fanatik terhadap agama yang dianutnya. Fanatisme yang membabi buta selalu melahirkan bentrok sosial, karena tidak adanya kemampuan komunikatif antar agama dan kultural.

(11)

Mathar dalam Hamid (2009:11) mengemukakan bahwa tidak dapat dipungkiri, Indonesia terdiri dari berbagai ras yang berbeda (baik asli, dari luar, maupun campuran), suku bangsa yang berbeda (bangsa Jawa, bangsa Bugis, bangsa Melayu, bangsa Batak, sdan sebagainya), berbagai agama yang berbeda, berasal dari banyak negara pribumi (kerajaan Majapahit, kerajaan Sriwijaya, kerajaan Aceh, kerajaan Bugis, kerajaan Makassar, dan lain-lain), dan bercorak-ragam kebudayaan yang berbeda. Karena itu, semua keanekabercorak-ragaman yang saling berbeda itu harus diterima sebagai kenyataan bangsa Indonesia. Kesadaran sebagai bangsa yang multikultural seyogyanya ditumbuhkan terus.

Lembaga-lembaga pendidikan merupakan ajang penanaman nilai-nilai toleransi, kemudian seyogyanya dapat diintegrasikan dalam masyarakat luas. Jika integrasi itu gagal, maka pencapaian nilai-nilai toleransi tidak maksimal. Peserta didik diajarkan kebaikan dalam persekolahan, tapi tidak mendapatkan keteladan di luar sekolah, maka akan menimbulkan ketimpangan pencapaian hasil.

Oleh karena itu, integrasi nilai toleransi seyogyanya terjelma dalam semua lapisan masyarakat. Disinilah peran pemerintah untuk mengoptimalkan keikutsertaan masyarakat dalam membangun peradaban nilai. Pemerintah Kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah membuahkan kebijakan holistik dan integratif dengan menyerukan sistem kehidupan multikultural. Kota ini telah berhasil memperlihatkan wajah multikultural dengan tidak terprovokasi oleh insiden-insiden yang terjadi di Kabupaten Poso.

(12)

dengan perubahan orientasi kebijakan Pendidikan Nasional dari yang sentralistik ke desentralistik. Pemerintah Kabupaten / Kota senantiasa melakukan inovasi pendidikan berbasis lokal di daerahnya masing-masing. Misalnya, Pemerintah Kota Palu memprakarsai pendidikan berbasis multikultural, karena di daerah itu hadir berbagai penganut agama, aliran keagamaan, dan berbagai etnis lokal di Sulawesi Tengah menjadikan Kota Palu sebagai etalase kehidupan sosial.

Berdasarkan latar belakang masalah ini, penulis tertarik membuat rancangan penulisan tesis dengan judul, “PENERAPAN PENDIDIKAN AGAMA

ISLAM BERBASIS MULTIKULTURALISME DALAM PENGEMBANGAN NILAI TOLERANSI DI SEKOLAH (Studi Kasus SMA Negeri 3 Palu)”.

B. Identifikasi Masalah dan Pertanyaan Penelitian

Pada pergaulan siswa di sekolah, sering terjadi kelompok mayoritas meremehkan kelompok minoritas, tawuran antar pelajar yang disebabkan oleh perbedaan agama dan suku, sering guru dan kepala sekolah tidak memperdulikan kekerasan yang terjadi pada kelompok minoritas, kurangnya perhatian sekolah terhadap pentingnya nilai toleransi dalam menumbuhkan sikap saling menghargai dalam lingkungan sekolah.

Berlandaskan identifikasi masalah di atas dapat dijabarkan dalam pertanyaan penelitian berikut :

(13)

2. Bagaimana pelaksanaan Pendidikan Agama Islam berbasis multikulturalisme dalam pengembangan nilai toleransi di SMA Negeri 3 Palu?

3. Bagaimana hasil pembelajaran Pendidikan Agama Islam berbasis multikulturalisme dalam pengembangan nilai toleransi di SMA Negeri 3 Palu?

4. Bagaimanakah solusi dalam menghadapi hambatan pada pelaksanaan Pendidikan Agama Islam berbasis multikulturalisme dalam pengembangan nilai toleransi di SMA Negeri 3 Palu?

C. Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan Pendidikan Agama Islam berbasis Multikultural dalam pengembangan nilai toleransi di SMA Negeri 3 Palu.

Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui desain pembelajaran Pendidikan Agama Islam berbasis multikulturalisme dalam mengembangkan nilai toleransi di SMA Negeri 3 Palu.

2. Mengetahui pelaksanaan Pendidikan Agama Islam berbasis multikulturalisme dalam pengembangan nilai toleransi di SMA Negeri 3 Palu.

(14)

4. Mengetahui solusi dalam menghadapi hambatan pada pelaksanaan Pendidikan Agama Islam berbasis multikulturalisme dalam pengembangan nilai toleransi di SMA Negeri 3 Palu.

D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut : 1. Untuk pengembangan ilmu pendidikan khususnya pendidikan agama Islam

berbasis multikultural dari aspek nilai toleransi yang diimplementasikan dalam kehidupan multikultural.

2. Meningkatkan toleransi sesama warga negara dalam rangka mengharmonisasikan perbedaan-perbedaan kesukuan, agama, ras, dan antar kelompok.

3. Memberikan pemahaman yang mendalam kepada siswa untuk menanamkan nilai toleransi dalam kehidupan sehari-hari.

4. Sumbangan bagi Pemerintah kota Palu untuk meningkatkan pendidikan berbasis multikulturalisme pada sekolah-sekolah yang berbasis multikultural.

E. Asumsi Penelitian

(15)

2. Nilai-nilai toleransi akan terpancar dalam diri setiap siswa pada pergaulan sosial di lingkungan sekolah, keluarga dan masyarakat jika lembaga pendidikan dan struktur sosial mendukung serta menampilkan keteladanan yang dapat dicontoh oleh para siswa.

3. Kehidupan multikultural merupakan fitrah manusia yang harus diakomodasi oleh lembaga pendidikan dalam rangka membangun karakter bangsa yang yang damai dan sejahtera.

F. Sistematika Penulisan

Keseluruhan penulisan tesis ini yang terdiri dari lima bab, yang terdiri dari:

Bab I berisi pendahuluan. Dalam bab ini terbagi dalam bagian ke dalam beberapa sub bab yaitu: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi dan Rumusan Masalah, (3) Tujuan Penelitian, (4) Signifikansi dan Manfaat Penelitian, (5) Asumsi Penelitian dan, (6) Sistematika Penulisan.

Bab II berisi kajian pustaka. Pada bab ini diuraikan tentang kajian pustaka yang merupakan kerangka teori yang berhubungan dengan penelitian penulis yang berisi tentang: (1) Pendidikan Agama Islam dan Ruang lingkupnya, (2) Konsep multikulturalisme dan Ruang Lingkupnya, (3) Konsep Toleransi, dan (4) Peranan Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikulturalisme dalam Pengembangan Nilai Toleransi di sekolah.

(16)

dan menyimpulkan hasil penelitian yang terdiri dari: (1) Jenis Penelitian, (2) Definisi konseptual, (3) Lokasi dan Subyek penelitian, (4) Teknik Pengumpulan Data, (5) Sumber Data, (6) Teknik Analisis Data, (7) Validatas Data.

Bab IV berisi hasil penelitian dan pembahasan. Pada bab ini terdiri dari tiga sub judul yang menguraikan tentang: (1) Deskripsi Lokasi Penelitian, (2) Hasil temuan penelitian, dan (3) Pembahasan hasil temuan.

(17)

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Perancangan yang ditinjau adalah struktur gedung yang terdiri dari pelat lantai, balok, kolom, hubungan balok kolom (HBK) atau joint,serta tangga. Sistem struktur yang

• Doing : Peserta didik dapat Mengevaluasi dan merekomendasikan syarat bahan tanam yang baik dengan tingkat keberhasilan bibit jadi yang menjanjikan untuk digunakan sebagai

- penawaran tidak termasuk besi baja WF seperti pada

Teknik diagnosis TB yang lebih cepat dan lebih akurat saat ini sangat diperlukan untuk meningkatkan cakupan TB di Indonesia, maka perlu dilakukan kajian dan penelitian

Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui korelasi konsentrasi pelarut etanol terhadap karakteristik sirup gula stevia, kadar air, yield, total padatan terlarut,

Tujuan program Australia Awards di Indonesia adalah untuk meningkatkan pembangunan di Indonesia melalui kontribusi dari profesional yang berkualitas internasional serta hubungan

Pesan-pesan perennial dalam beragama juga sering dilupakan oleh antar umat beragama, sehingga seringkali menimbulkan tindak kekerasan, gejolak sosial, dan bahkan konflik yang

Mechanical Properties and Water Vapour Permeability of Film from Haruan ( Channa striatus ) and Fusidic Acid Spray for Wound Dressing and Wound Healing.. Honey Gel