• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jenis, makna, dan fungsi mural di kota Yogyakarta : tinjauan semiotika visual - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Jenis, makna, dan fungsi mural di kota Yogyakarta : tinjauan semiotika visual - USD Repository"

Copied!
172
0
0

Teks penuh

(1)

JENIS, MAKNA, DAN FUNGSI MURAL DI KOTA YOGYAKARTA : TINJAUAN SEMIOTIKA VISUAL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh

Ardhi Andana Pramudhita NIM : 084114013

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA Juli 2013

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

vi 

 

Kata pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik.

Penulis menyadari tugas akhir ini tidak dapat terwujud tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu terselesainya tutgas akhir ini, yaitu,

1. Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum sebagai dosen pembimbing I yang dengan penuh kesabaran telah membantu penulis menyelesaikan tugas akhir ini.

2. Drs. Hery Antono. M.Hum sebagai dosen pembimbing II yang dengan penuh kesabaran membantu menyelesaikan tugas akhir ini.

3. Drs. B.Rahmanto, M.Hum, S.E. Peni Adji, S.S, M.Hum, Dra. Fr. Tjandrasih, M.Hum, Dr. Paulus Ari Subagyo, M.Hum, Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum, beserta dosen-dosen yang lain, atas ilmu dan perkuliahan yang sudah diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

4. Seluruh staf Sekretariat Fakultas Sastra dan Universitas Sanata Dharma yang membuat penulis merasa nyaman selama menempuh pendidikan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

5. Staf Perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan pelayanan dengan baik.

6. Ibu saya Yohana Ong Tjwan Kiem yang selalu memberikan kasih sayang, doa, semangat, motivasi dan nasehat – nasehat untuk kemajuan hidup penulis.

7. Oentoeng dan Theresia Sugiharti. Om dan tante saya, terima kasih atas bantuannya dalam pembiayaan kuliah penulis.

8. Keluarga besarku dan saudara-saudaraku. Terima kasih telah memberi dukungan, semangat, motivasi, dan doanya untuk menjadi orang sukses.

9. Bernadia Errisa Maharani yang selalu mengingatkan dan menyemangati penulis untuk menyelesaikan tugas akhir.

10.Airani Sasanti atas pinjaman buku-bukunya.

11.Andreas Damar Kuncoro Aji, Fransisca Aprilia Ayu Ningtyas, dan Bernadia Errisa Maharani, atas bantuannya mencetak tugas akhir.

12.Terima kasih kepada teman-teman sesama mahasiswa Universitas Sanata Dharma khususnya Program Studi Sastra Indonesia angkatan 2008.

(7)

vii 

 

Abstrak

Pramudhita, Ardhi Andana. 2013, “Jenis, Makna dan Fungsi Mural di Kota Yogyakarta”. Tugas Akhir: Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Dalam skripsi ini dibicarakan mengenai makna dan fungsi yang terdapat dalam mural-mural di Kota Yogyakarta. Tujuannya adalah mengungkap makna-makna yang terkandung dalam mural dan menganalisis fungsi keberadaan mural bagi masyarakat.

Dalam melakukan penelitian ini langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut: Pertama, mengumpulkan data yang berupa foto-foto mural yang ada di kota Yogyakarta. Foto-foto tersebut dikumpulkan penulis sejak tahun 2011 hingga 2012.

Kedua, metode analisis yang digunakan dalam menganalisis data adalah metode deskriptif, yaitu pemecahan masalah dengan menggunakan pelukisan atau penggambaran keadaan suatu objek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang ada.

Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah mengkategorikan mural yang terdapat di Kota Yogyakarta dapat dibedakan menjadi enam jenis. Kategori tersebut ialah:

1. Mural dengan menggunakan tokoh ternama. 2. Mural dengan menggunakan gambar satwa. 3. Mural dengan menggunakan tokoh ciptaan baru. 4. Mural dengan memakai symbol.

5. Mural dengan bentuk tulisan. 6. Mural dengan unsur kebudayaan.

Kategorisasi dilakukan dengan mempertimbangkan unsur instrinsik yang terdapat pada mural tersebut. Hasil dari penelitian penulis membuktikan bahwa makna yang terdapat dalam satu buah mural bisa diinterpretasikan dengan berbagai macam oleh seorang penonton mural. Penginterpretasian penonton mural sebagian besar dipengaruhi oleh lokasi mural dan situasi kondisi yang sedang terjadi pada saat itu.

(8)

viii 

 

(9)

ix 

 

ABSTRACT

Pramudhita, Ardhi Andana. 2013. Type, The Meaning and Function of Mural in Yogyakarta.

Undergraduate Thesis. Yogyakarta: Indonesian Letters Department, Faculty of Letters, Sanata Dharma University.

This research studied the meaning and function of mural in Yogyakarta. The purposes of this study are to understand meaning of mural and to analyze function of mural for public. The method used in this study is descriptive method. The step which are done are collecting photos of mural in Yogyakarta, and then are analyzing photos with semiotics to determine the meaning of mural. The next step is analyzed function of mural. The results of this study are meaning interpretation of mural and function analysis of mural in Yogyakarta.

Analysis results in the form of interpretation of meaning contained in the six categories of mural. The six categories are mural that use famous people, mural which use picture of animal, mural with the new character creation, mural that uses symbols, mural in the writing form, and mural which featuring the element of culture. The murals are categorized based on the intrinsic element contained in the mural. The results of this study prove that the meaning of mural can be interpreted in various ways by audience of mural. Interpretation of mural is largely influenced by the location of mural and the situation at the time.

(10)

 

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

DAFTAR ISI ... ix

Bab I Pendahuluan 1.1Latar Belakang Masalah ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 3

(11)

xi 

1.7.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 13

1.7.3 Metode dan Teknik Analisis Data ... 14

1.7.4 Metode Penyajian Hasil Analisis Data ... 17

1.8Sistematika Penyajian ... 17

BAB II MAKNA MURAL DI KOTA YOGYAKARTA 2.1Proses Pembuatan Mural... 18

2.2Jenis Mural di Kota Yogyakarta ... 17

2.2.1 Mural dengan Menggunakan Tokoh Ternama ... 21

2.2.2 Mural dengan Menggunakan Gambar Satwa ... 22

2.2.3 Mural dengan Menggunakan Tokoh Ciptaan Baru ... 24

2.2.4 Mural dengan Menggunakan Ikon ... 25

(12)

xii 

 

2.2.6 Mural dengan Menggunakan Unsur Kebudayaan ... 29

2.3Makna Mural di Kota Yogyakarta ... 32

2.3.1 Makna Mural dengan Menggunakan Tokoh Ternama ... 33

2.3.1.1 Mural dengan Menggunakan Tokoh Soekarno ... 34

2.3.1.2 Mural dengan Menggunakan Tokoh Bung Tomo ... 36

2.3.1.3 Mural dengan Menggunakan Tokoh Romo Driyarkara ... 39

2.3.1.4 Mural dengan Menggunakan Tokoh Pramoedya ... 41

2.3.2 Makna mural dengan Menggunakan Gambar Satwa ... 44

2.3.2.1 Mural dengan Menggunakan Satwa Monyet ... 45

2.3.2.2 Mural dengan Menggunakan Satwa Orang Utan dan Anjing 51 2.3.3 Mural dengan Menggunakan Tokoh Ciptaan Baru ... 54

2.3.3.1 Mural “Mau sidang atau bayar dimuka?” ... 59

2.3.3.2 Mural “Tidak perlu ada senjata untuk mengamankan unjuk rasa” ... 63

2.3.4 Mural dengan Menggunakan Ikon ... 66

2.3.4.1 Mural “Ayo Podo Tulung Tinulung” ... 67

2.3.4.2 Mural “Miras Agawe Tuntas” ... 69

2.3.4.3 Mural “Anda Sopan Kami Segan” ... 72

2.3.4.4Mural “Mesin Pembunuh Asap” ... 78

(13)

xiii 

 

2.3.5 Mural dengan Menggunakan Bentuk Tulisan ... 94

2.3.5.1 Mural “Ing Ngarso Sung Tulodho” ... 95

2.3.5.2 Mural “Pro Penetapan Jogja Istimewa” ... 99

2.3.5.3 Mural “Bikin Mug Satoe Saja” ... 100

2.3.5.4 Mural “Dendang Calon Guru” ... 102

2.3.6 Mural dengan Menggunakan Unsur Kebudayaan ... 104

2.3.6.1 Mural “Jatilan” ... 106

2.3.6.2 Mural “Punakawan” ... 110

2.3.6.3 Mural “Leak Bali” ... 112

2.4 Rangkuman Makna Mural di Kota Yogyakarta ... 114

BAB III FUNGSI MURAL DI KOTA YOGYAKARTA ... 116

3.1Penggunaan mural sebagai media komunikasi visual ... 116

3.2Pembahasan fungsi mural ... 119

3.2.1 Mural dengan Tokoh Soekarno ... 120

3.2.2 Mural dengan Tokoh Bung Tomo... 122

3.2.3 Mural dengan Tokoh Romo Driyarkakara ... 123

3.2.4 Mural dengan Satwa Urang Utan ... 126

3.2.5 Mural dengan Satwa Orang Utan dan Anjing ... 127

(14)

xiv 

 

3.2.7 Mural “Tidak perlu ada senjata untuk mengamankan

unjuk rasa ... 131

3.2.8 Mural “Ayo Podo Tulung Tinulung” ... 132

3.2.9 Mural “Miras Agawe Tewas” ... 134

3.2.10 Mural “Ánda Sopan Kami Segan” ... 135

3.2.11 Mural “Mesin Pembunuh Asap” ... 137

3.2.12 Mural “Jogja Rumah Bersama” ... 139

3.2.13 Mural ”Ing Ngarso Sung Tulodho” ... 142

3.2.14 Mural “Pro Penetapan Jogja Istimewa” ... 144

3.2.15 Mural “Bikin Mug Cum Satoe Sadja” ... 146

3.2.16 Mural ”Dendang Calon Guru” ... 148

3.2.17 Mural dengan Menggunakan Unsur Kebudayaan ... 149

BAB IV PENUTUP ... 153

4.1 Kesimpulan ... … 153

4.2 Saran ... .... 155

(15)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Mural adalah sarana berkomunikasi yang menggabungkan tulisan atau gambar

dengan media yang mudah ditemukan pada saat ini. Media yang kebanyakan

digunakan masyarakat sebagai tempat membuat mural adalah tembok. Di Kota

Yogyakarta, mural pada saat ini berkembang cukup pesat, hampir di setiap sudut kota

dapat ditemukan mural.

Mural merupakan salah satu bentuk seni jalanan street art. Street art

mempunyai tiga bentuk, yaitu mural, graffiti dan poster. Ketiga bentuk street art ini

diekspresikan pada sarana yang ada di jalanan, misalnya di tembok-tembok kota.

Graffiti biasanya berupa pembuatan huruf yang mengandalkan permainan bentuk

huruf dan pewarnaan yang menarik dengan memakai cat semprot. Poster dalam

konteks street art biasanya berisi kritik yang bernada menyindir situasi sosial,

misalnya kebijakan pemerintah yang tidak mendukung rakyat atau isu-isu sosial yang

ada. Mural adalah sarana untuk menyampaikan pesan kepada khalayak ramai yang

biasanya dilakukan dengan media dinding. Mural merupakan hasil penggabungan

tulisan dan gambar, tetapi tidak tertutup kemungkinan mural hanya terdiri dari

gambar.

Perkembangan mural di Kota Yogyakarta dimulai dari gerakan Apotik Komik

(16)

(JMF). Kini pelaku mural tidak hanya seniman, tetapi masyarakat umum juga terlibat

dalam pembuatan mural. Mahasiswa juga terlibat langsung dalam pembuatan mural

selama mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Mural digunakan mahasiswa

sebagai sarana menyampaikan pesan kepada masyarakat sekitar. Lomba membuat

mural sudah banyak diadakan di kampung. Pembuatan mural di

kampung-kampung bertujuan untuk menghias lingkungan sekitar dan menyampaikan pesan.

Penulis memilih melakukan pengkajian tentang mural karena di dalam mural

terdapat pesan-pesan yang tersembunyi. Untuk memahami makna itu, tidak cukup

hanya sekali melihat mural tersebut. Seringkali, oleh masyarakat, mural hanya

dianggap sebagai hiasan begitu saja tanpa tertarik untuk mengerti makna yang ada di

dalam muralnya.

Mural pada titik-titik tertentu di Kota Yogyakarta dipilih oleh penulis karena

mural tersebut memiliki beraneka macam arti yang bisa diinterpretasikan. Penulis

melakukan pengkajian mengenai mural agar nantinya hasil kajian tersebut dapat

(17)

Contoh foto mural

1.2Rumusan Masalah

Berdasar uraian di atas, masalah-masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini

adalah:

1. Apa saja jenis mural yang ada di Kota Yogyakarta?

2. Apa saja makna mural di Kota Yogyakarta?

3. Apa saja fungsi mural di Kota Yogyakarta?

1.3Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan jenis mural yang ada d Kota Yogyakarta.

2. Mendeskripsikan makna mural yang ada di Kota Yogyakarta.

(18)

1.4Manfaat Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat secara teoretis dan

praktis. Secara teoretis dalam bidang semiotika, hasil penelitian ini dapat menjadi

salah satu referensi studi bahasa khususnya penggunaan bahasa sebagai sarana

komunikasi visual. Hasil penelitian ini juga menjadi salah satu pembuktian

penginterpretasian tanda dengan mengguanakan teori semiotika.

Secara praktis, hasil penelitian tentang makna dan fungsi mural di Kota

Yogyakarta ini berguna untuk meningkatkan wawasan dan apresiasi masyarakat

terhadap mural yang berada di Kota Yogyakarta.

1.5Tinjauan Pustaka

Dalam penelitian ini peneliti menemukan buku-buku tentang mural yang

ditulis oleh anggota dari Jogja Mural Forum (JMF). Salah satu buku tersebut berjudul

Kampung Sebelah Art Project yang disusun oleh Eko Prawoto, Yoshi Fajar, Kresno,

Bambang Sugiharto, Yossy Suparyo, Dita’dei. Buku tersebut berisi tentang

seluk-beluk proses pembuatan mural yang dibuat di kampung-kampung. Proses pembuatan

mural tersebut bukan semata-mata dilakukan untuk sarana ekspresi para seniman

mural yang akan membuat mural di sana, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan warga

kampung, misalnya imbauan kecepatan dalam berkendara, kebersihan lingkungan,

penghijauan, atau jam belajar masyarakat. Pelaku pembuatan mural bukan dari

(19)

memfasilitasi masyarakat. Mural yang dijadikan proyek besar-besaran ini memiliki

fungsi untuk kampung itu sendiri, misalnya untuk meningkatkan kualitas ruang,

makna dan identitas kampung. Contoh lain adalah mural tentang narkoba yang dibuat

di Kampung Balapan, Kelurahan Klitren, Kecamatan Gondokusuman. Mural tersebut

dibuat dengan tujuan memperingatkan warga di sana agar tidak menggunakan

narkoba.

Salah satu contoh gambar mural tentang narkoba

Sumber: Kampung Sebelah Art Project, hal. 78

Buku kedua berjudul Kode Pos Art Project. Buku tersebut lebih berbicara

tentang bagaimana si pembuat mural memberi makna pada mural buatannya. Buku

yang disusun oleh Raihul Fajri, Samuel Indratma, Bambang Sugiharto tersebut

(20)

adalah mural yang dibuat di Bong Suwung, Kampung Badran, Kelurahan Bumijo,

Kecamatan Jetis. Lokasi tersebut adalah salah satu tempat prostitusi yang ada di Kota

Yogyakarta. Sebagian besar masyarakat dari luar lokasi tersebut sudah tidak lagi

menganggap tabu prostitusi. Fungsi mural di sini membantu memperingatkan penjaja

seks dan pengguna jasa di sana agar tidak lupa menggunakan alat kontrasepsi.

Salah satu contoh gambar mural “pisang berkondom”

Sumber: Kode Pos Art Project, hal. 17

Kedua buku tersebut ditulis oleh orang yang terjun langsung di bidang seni

mural. Dalam skripsi ini mural yang dipilih oleh penulis adalah mural yang dipakai

(21)

membahas fungsi mural secara lebih luas dan membahas pemaknaan mural dari sudut

pandang penulis yang tidak terlibat secara langsung dalam bidang seni mural.

Buku ketiga yang dipakai penulis adalah Semiotika Komunikasi Visual karya

Sumbo Tinarbuko. Signifikasi semiotika tidak saja sebagai ‘metode kajian’

(decoding), akan tetapi juga sebagai ‘metode penciptaan’ (encoding). Dijelaskan juga

bahwa semiotika memperlihatkan kekuatannya pada berbagai bidang, seperti

antropologi, sosiologi, politik, kajian keagamaan, media studies, dan cultural studies.

Sebagai metode penciptaan, semiotika mempunyai pengaruh pula pada bidang-bidang

seni rupa, seni tari, seni film, desain produk, termasuk desain komunikasi visual.

Buku tersebut menjelaskan semiotika memiliki ranah yang cukup luas.

Buku tersebut berisi pengertian tentang semiotika dan penerapannya pada

bidang komunikasi visual. Contoh penerapan pada buku tersebut adalah iklan. Iklan

adalah salah satu sarana penyampaian pesan kepada khalayak ramai, penyampaian

pesan tersebut bisa secara verbal dan visual. Dalam prakteknya, logika semiotika

adalah logika dimana interpretasi tidak diukur berdasarkan salah atau benarnya

melainkan derajad kelogisannya: interpretasi yang satu lebih masuk akal dari yang

(22)

1.6Landasan Teori

Semiotika dicetuskan oleh dua orang tokoh yaitu Ferdinand de Saussure dan

Charles Sanders Peirce. Ferdinand de Saussure adalah salah satu tokoh linguistik

yang berpandangan bahwa bahasa merupakan sistem tanda. Menurut Saussure

bahasa terdiri dari dua unsur, yaitu penanda atau ‘yang menandai’ dan petanda atau

‘yang ditandai’. Sifat kedua hal itu adalah arbitrer, yaitu penanda tidak memiliki

ikatan alamiah apa pun dengan petanda (Baryadi, 2007: 48).

Sifat arbitrer tanda merupakan inti bahasa manusia. Dengan ini dimaksudkannya bahwa disini tidak ada relasi pasti antara penanda dan petanda : relasinya ditentukan berdasar konvensi, aturan atau kesepakatan di antara para penggunanya. Dengan kata lain, tanda yang disebutnya arbitrer itu terkait secara pasti dengan apa yang disebut Peirce sebagai simbol. (Fiske 1990: 76)

Tidak ada relasi sama sekali antara pembuat mural dan penonton mural.

Relasi mereka dimulai ketika penonton mural melihat mural yang dibuat oleh

pembuatnya. Bisa jadi makna yang ingin disampaikan oleh pembuat mural

tidak dapat diterima oleh penonton mural. Kegagalan penyampaian pesan

tersebut dikarenakan konvensi, aturan atau kesepakatan yang berbeda yang

diterapkan oleh pembuat dan pembuat mural. Salah satu penyebab tidak

tersampainya pesan yang terdapat pada mural adalah acuan yang berbeda yang

dimiliki oleh pembuat dan penonton mural.

 

(23)

ketiga hal ini menentukan ketepatan proses semiosis. Dalam relasi triadik ini terdapat tiga konsep penting dalam pemikiran Peirce, yaitu ikon, indeks, dan simbol (Kurniawan, 2001: 21).

Berhubungan dengan tanda dan objeknya, Peirce membedakan tiga jenis

tanda, yaitu (i) ikon (icon), (ii) indeks (index), dan simbol (symbol). Ikon adalah

tanda yang penandanya memiliki hubungan kemiripan dengan sifat khas realis yang

diacunya. Indeks adalah tanda yang penandanya memiliki hubungan kemiripan

dengan sifat khas realitas yang diacunya. Simbol adalah tanda yang penandanya

memiliki hubungan konvesional dengan realitas yang diacunya. (Baryadi, 2007: 50).

Bahasa juga merupakan salah satu jenis tanda. Ini berarti bahwa bahasa juga

memiliki tiga jenis tanda tersebut. Seiler (1995: 141) mengemukakan bahwa bahasa

dalam perwujudannya tidak seluruhnya simbol, tidak seluruhnya ikon, dan tidak

seluruhnya indeks. Hal tersebut bisa diterapkan pada penandaan yang terdapat pada

mural. Tidak setiap mural memiliki teks dan ilustrasi. Ada jenis mural yang hanya

terdapat teks dan hanya terdapat ilustrasi gambar.

Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara

bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa

kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang

berbeda situasinya. Saussure merumuskan dua cara pengorganisasian tanda ke dalam

kode. Pertama melalui paradigma. Paradigma merupakan sekumpulan tanda yang dari

dalamnya dipilih satu untuk dipergunakan. Cara kedua adalah sintagmatik. Sintagma

(24)

menegaskan bahwa makna tanda terutama ditentukan oleh relasinya dengan

tanda-tanda yang lain (Fiske 1990: 82). Istilah “petanda-tanda” dari Saussure mirip dengan

“interpretant” dari Peirce, tetapi Saussure tidak pernah menggunakan istilah “efek”

untuk mengaitkan penanda dan petanda. (Fiske 1990: 75)

Semiotika Roland Barthes mengacu pada Saussure dengan menyelidiki apa

hubungan penanda dan petanda pada sebuah tanda. Hubungan penanda dan petanda

ini bukanlah kesamaan (equality), tetapi ekuivalen. Bukannya yang satu kemudian

membawa pada yang lain, tetapi korelasilah yang menyatukan keduanya (Hawkes,

1977: 130).

Barthes tak sebatas itu memahami proses penandaan, dia juga melihat aspek lain dari penandan, yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” ini tidak dipahami sebagaimana pengertian klasiknya, tetapi lebih diletakkan dalam proses penandaan itu sendiri. Mitos menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem tanda-penanda-petanda; tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Konstruksi penandaan pertama adalah bahasa, sedangkan konstruksi penandaan kedua merupakan mitos. Konstruksi penandaan tingkat kedua ini dipahami Barthes sebagai metabahasa (metalanguage). Perspektif

Barthes tentang mitos ini menjadi salah satu ciri khas semiotikanya yang membuka ranah baru semiotikanya, yakni penggalian lebih jauh dari penandaan untuk mencapai mitos yang bekerja dalam realitas keseharian masyarakat (Kurniawan, 2001: 22-23).

Barthes memberikan gambaran tentang peningkatan makna pada tanda.

Sebuah tanda yang sudah memiliki makna, apabila dikaitkan dengan tanda yang

lainnya nantinya dapat menghasilkan tanda baru. Tanda-tanda yang bisa digabungkan

tersebut sengaja digambarkan dalam mural oleh pembuatnya agar nantinya penonton

(25)

Penelitian ini berpusat pada bagaimana cara tanda menjalankan fungsinya

(sintaksis semiotik) dan interpretasi yang dihasilkan (semantik semiotika). Tanda

visual dapat didefinisikan secara sederhana sebagai tanda yang dikonstruksi dengan

sebuah penanda visual, yang artinya dengan penanda yang dapat dilihat (bukan

didengar, disentuh, dikecap, atau dicium). Seperti semua jenis tanda lainnya, tanda

visual dapat dibentuk secara ikonis (wajah-wajah yang digambar), indeksikal (anak

panah yang menunjukan arah), dan simbolis (logo iklan) (Danesi, 2010: 92).

Mural dibuat bukan karena tanpa alasan, tetapi mural dibuat karena ada pesan

yang ingin disampaikan. Makna bukanlah konsep yang mutlak dan statis yang bisa

ditemukan dalam kemasan pesan (Fiske 1990: 68). Dalam skripsi ini penulis

mengartikan pesan-pesan yang ada di dalam mural berdasarkan teori semiotika

Roland Barthes.

(26)

Foto mural tersebut diambil oleh penulis pada bulan Februari 2012. Mural

tersebut dibuat sebelum adanya UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang keistimewaan

Yogyakarta yang mengatur tentang tata cara penetapan gubernur dan wakil gubernur.

Mural tersebut sebagai respon atas peristiwa pada saat Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono (SBY) berbicara menyinggung tentang keistimewaan Yogyakarta. SBY

mengatakan: “Sistem monarki di Yogyakarta akan bertabrakan dengan konstitusi dan

demokrasi”. Ucapan yang dilontarkan SBY terasa mengganggu sebagian besar

masyarakat Kota Yogyakarta dan masyarakat lain yang berada di luar Kota

Yogyakarta. Pernyataan yang meresahkan banyak pihak ini kemudian memancing

emosi para seniman mural. Mural ini dibuat beberapa hari setelah pernyataan SBY

dimuat di media. Dalam mural ini terlihat salah satu fungsi mural adalah sarana untuk

menyampaikan pesan ke masyarakat. Pembuat mural menunjukan penolakan mereka

terhadap pernyataan SBY melalui media mural. Masyarakat yang melihat mural ini

tentunya sudah mengerti makna dari mural ini, yaitu perlawanan terhadap SBY.

Masyarakat mengerti hal itu karena pada saat itu sedang gencar-gencarnya

pemberitaan di media-media mengenai keistimewaan Yogyakarta yang disinggung

SBY.

Dalam konteks mural, mural adalah tanda, penanda adalah pembuat mural,

dan petanda adalah masyarakat yang melihat mural yang dibuat oleh pembuat

mural.Petanda dan penanda tidak saling mengenal dan tidak memiliki ikatan apa pun.

Hubungan mereka hanya berdasarkan mural, hubungan mereka tidak lebih dari

(27)

1.7 Metode penelitian

Dalam metode penelitian dikemukakan jenis penelitian, data dan sumber data,

metode dan teknik pengumpulan data, metode dan teknik analisis data, dan metode

penyajian hasil analisis data.

1.7.1 Jenis Penelitian

Jenis ini penelitian termasuk penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang

mendeskripsikan wacana mural yang terdapat di Kota Yogyakarta untuk memperoleh

makna yang ingin disampaikan mural tersebut. Data yang diperoleh dianalisis dengan

menggunakan konsep semiotika dari Roland Barthes. Penelitian yang dilakukan

dengan menggunakan landasan semiotika Barthes memberikan gambaran dan

pemahaman tanda-tanda yang muncul dalam mural di Kota Yogyakarta.

1.7.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Objek penelitian ini adalah makna dan fungsi mural di Kota Yogyakarta. Data

dalam penelitian ini adalah mural. Mural yang dianalisis oleh penulis terletak di

simpang empat Hotel Melia Purosani, simpang empat Demangan, Jalan Urip

Sumohoarjo, gang di daerah Badran, gang-gang sekitar Taman Budaya Yogyakarta

(28)

Penulis menyediakan data dalam penelitian dengan cara mengambil foto gambar

mural. Jumlah foto mural yang diambil berjumlah 20 gambar.

1.7.3 Metode dan Teknik Analisis Data

Dalam upaya menjawab masalah diperlukan tiga tahap strategis yang

berurutan. Penyediaan data, penganalisaan data, dan penyajian hasil data (Sudaryanto,

1995: 5). Data yang dianalisis adalah makna dan fungsi mural. Metode yang

digunakan adalah metode deskriptif.

Metode deskriptif digunakan untuk melaporkan dan memaparkan secara keseluruhan hasil analisis yang telah dilakukan. Masalah diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta atau sebagaimana adanya (Ratna, 2004:53).

(29)

Judul : Mesin Pembunuh Asap

Kategori : Mural dengan menggunakan ikon

yMere

yMerekonstruksi tanda‐tanda yang ditemukan pada mural

Memenggal

menggal

 

teks

 

dan

 

gambar

 

y Tulisan : Mesin Pembunuh Asap

y Gambar : Tukang Becak

yang sedang mengayuh

(30)

Mengamati

 

tanda

tanda

 

secara

 

mendetail

yTukang becak yang  menggunakan masker

yLambang Reduse,  Recycle, & Reuse (3R) 

Mengartikan

 

tanda

tanda

 

yang

 

ditemukan

Mengumpulkan poin hasil interpretasi :

- Polusi udara

- Gerakan melakukan 3R

- Tukang becak sebagai simbol korban polusi udara - Tukang becak sebagai symbol perlawanan

(31)

1.7.4 Metode Penyajian Hasil Analisis Data

Setelah tahap analisis data, tahap selanjutnya adalah tahap penyajian hasil

analisis data. Penulis mendeskripsikan dan mengkategorikan data yang diperoleh

kemudian menganalisisnya secara seksama dengan menggunakan tinjauan semiotika

milik Barthes. Hasil analisis tersebut kemudian dijelaskan secara mendetail dan juga

diberikan tambahan ilustrasi gambar lainnya sebagai pembuktian hasil analisis

tinjauan semiotika visual.

1.8 Sistematika Penyajian

Skripsi ini terdiri dari empat bab. Keempat bab tersebut adalah Bab satu

berupa pendahuluan yang terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian,

dan sistematika penyajian. Bab dua berisi pembahasan makna mural yang ada di Kota

Yogyakarta dengan konsep semiotika visual. Bab tiga berupa pembahasan tentang

fungsi mural di Kota Yogyakarta. Bab empat berupa kesimpulan hasil analisis data

dan dilanjutkan dengan saran penelitian lanjutan. Selanjutnya pada bagian akhir

(32)

BAB II

MAKNA MURAL DI KOTA YOGYAKARTA

2.1 Proses Pembuatan Mural

Proses pembuatan mural pertama kali adalah melakukan pengeblokan, yaitu

memberi warna dasar pada bagian tembok yang nantinya akan dimural. Fungsi

melakukan pengeblokan itu sendiri untuk membuat mural lebih terlihat jelas.

Pengeblokan tersebut bisa memakai warna sesuai selera si pembuat mural, dalam

proses pembuatan mural seringkali warna cat yang digunakan adalah warna putih.

Setelah tahap pengeblokan, tahap selanjutnya yang dilakukan adalah

pembuatan sketsa. Pembuatan sketsa itu bisa berupa garis-garis tipis yang nantinya

akan ditebalkan lagi untuk memberi bentuk yang jelas pada mural. Pembuatan mural

tanpa sketsa terlebih dahulu bisa juga dilakukan. Pembuat mural yang profesional

seringkali langsung membuat gambar pada dinding yang sudah diblok. Setelah sketsa

selesai dibuat, barulah si pembuat mural akan memberi warna pada sketsa yang sudah

(33)

Foto proses pengeblokan

(34)

Proses akhir pembuatan mural adalah pemberian warna. Selain itu inisial

pembuat mural juga dicantumkan. Sebagian besar pembuat mural mencantumkan

inisial namanya dengan lambang-lambang tertentu dan nama samaran. Identitas

pembuat mural dalam konteks street art seringkali sulit diketahui, karena mereka

tidak pernah menunjukkan dengan jelas identitas dirinya. Mereka hanya ingin

berkreasi dan menyampaikan apa yang ada di pikiran mereka tanpa ingin diketahui

jati dirinya oleh orang lain. Mereka membuat inisial tersebut untuk membuat identitas

baru dalam dunia mural.

(35)

2.2 Jenis Mural di Kota Yogyakarta

Berdasarkan penemuan penulis di lapangan, mural-mural yang ada di Kota

Yogyakarta dikategorikan oleh penulis menjadi enam jenis. Keenam jenis tersebut

yaitu:

1. Mural dengan menggunakan tokoh ternama.

2. Mural dengan menggunakan gambar satwa.

3. Mural dengan menggunakan tokoh ciptaan baru.

4. Mural dengan memakai simbol.

5. Mural dalam menggunakan bentuk tulisan.

6. Mural dengan menggunakan unsur kebudayaan.

2.2.1 Mural dengan Menggunakan Tokoh Ternama

Tokoh ternama yang sering dijadikan gambar dalam mural adalah tokoh

pahlawan nasional. Penulis mengkategorikan sebagai tokoh ternama karena tidak

semua mural mengunakan tokoh pahlawan nasional dalam ilustrasinya. Selain tokoh

pahlawan nasional, terdapat juga tokoh yang banyak dikenal orang sesuai bidangnya.

Misalnya adalah Romo Driyarkara, beliau merupakan tokoh pelopor proses belajar

mengajar dengan cara yang humanis di Universitas Sanata Dharma. Beliau bukanlah

tokoh pahlawan nasional, tetapi beliau cukup dikenal oleh masyarakat. Oleh karena

itu, penulis tidak mengkategorikan mural dengan menggunakan tokoh ternama

(36)

Keberhasilan penonton mural menangkap pesan yang ingin disampaikan

pembuatnya juga bergantung kepada pembuat mural itu sendiri. Penonton mural

mengerti makna yang ingin disampaikan karena adanya interpretasi yang diarahkan

pembuat mural yang disampaikan melalui gambarnya. Pembuatan mural dengan

memakai tokoh ternama tidak bisa sembarangan dalam penyampaian pesannya, pesan

yang ingin disampaikan pembuat mural harus sesuai dengan karakter dan perjalanan

hidup tokoh tersebut.

contoh mural dengan menggunakan tokoh ternama

2.2.2 Mural dengan Menggunakan Gambar Satwa

Gambar hewan dalam mural kategori mural dengan menggunakan gambar

(37)

tidak berdasarkan besar atau kecilnya gambar satwa yang terdapat di dalamnya, tetapi

lebih ke arah daya tarik penonton mural. Mural kategori ini sengaja memakai gambar

satwa agar membuat penonton mural merasa tertarik. Setelah mendapatkan perhatian

tentunya selanjutnya diharapkan adanya proses interpretasi dari penonton mural.

Karakter satwa mudah dipahami secara umum, sehingga pembuat mural memberikan

gambar satwa dalam muralnya agar makna di dalam mural ciptaannya dapat diterima

dengan jelas oleh penonton mural.

(38)

2.2.3 Mural dengan Menggunakan Tokoh Ciptaan Baru

Mural dengan kategori mural dengan menggunakan tokoh ciptaan baru cukup

mudah untuk ditemukan keberadaannya. Tokoh ciptaan baru tersebut memiliki ciri

khas yang unik secara bentuk di dalam mural. Jumlah tokoh-tokoh baru di dalam

mural hanya berjumlah sedikit, oleh karena itu untuk mengidentifikasi mural dengan

kategori menggunakan tokoh ciptaan baru lebih mudah.

Tokoh ciptaan baru dalam mural biasanya memiliki bentuk yang unik

sehingga mudah untuk diingat. Penulis menginterpretasikan pembuat mural jenis

tersebut memiliki pemikiran yang kokoh dan konsisten, hal itu terlihat dari wujud

karakter dalam mural buatannya yang konsisten. Mural jenis tersebut terlihat

seakan-akan hidup dan berada di mana saja, hal ini terlihat dari keberadaannya yang bisa

ditemui di ruang-ruang publik atau mungkin sekedar gang-gang kecil. Mural dengan

kategori tersebut adalah wujud eksistensi keberadaan pembuatnya, pembuat mural

jenis tersebut membuat tokoh ciptaannya seolah-olah hidup dan mengeluarkan

pendapat tentang apa yang dipikirkan dan dirasakannya. Makna-makna yang

terkandung dalam mural dengan tokoh ciptaan baru ini memiliki tujuan tertentu

dalam penciptaannya, misalnya memberikan kritik sosial terhadap keadaan yang

(39)

Contoh mural dengan menggunakan tokoh ciptaan baru

2.2.4 Mural dengan Menggunakan Ikon

Mural dengan kategori mural dengan menggunakan ikon lebih mudah

ditemukan di mana saja. Sebagian besar mural-mural yang ada di Kota Yogyakarta

adalah jenis kategori mural dengan memakai ikon.

Pengertian ikon sendiri adalah tanda yang mengandung kemiripan “rupa” (resemble) sebagaimana dapat dikenali oleh para pemakainya. Di

(40)

Banyak pembuat mural yang memberikan berbagai ikon di dalam mural

ciptaannya. Penggunaan ikon tersebut memiliki tujuan tersendiri. Untuk menarik

minat penonton mural bisa dijadikan salah satu alasan, setelah penonton mural

tertarik dengan salah satu ikon yang dilihatnya tentunya penonton akan lebih tertarik

lagi untuk melihat gambar mural tersebut secara keseluruhan. Penonton yang sudah

tertarik menonton mural yang dilihatnya secara otomatis akan

menginterpretasikannya walaupun itu sekadar menganggapnya sebagai hiasan

dinding yang indah. Rasa ketertarikan ini yang membuat pencipta mural memberikan

ikon-ikon dalam karyanya karena dengan memicu rasa ketertarikan penonton untuk

menonton karyanya.

Mural di Kota Yogyakarta dengan kategori tersebut secara keseluruhan tidak

bisa diinterpretasikan dengan mudah hanya dengan melihatnya sekali saja. Mural

jenis tersebut tidak dapat diinterpretasikan dengan mudah karena seringkali pembuat

mural sengaja memberikan simbol-simbol yang sulit untuk diinterpretasikan oleh

penonton mural. Dengan penginterpretasian lebih mendalam oleh penonton tentunya

(41)

contoh mural dengan menggunakan ikon

2.2.5 Mural dengan Menggunakan Bentuk Tulisan

Mural dengan kategori mural dengan menggunakan bentuk tulisan sangat sulit

ditemukan. Mural dengan jenis tersebut seringkali dianggap oleh masyarakat tidak

menarik karena hanya menonjolkan bentuk tulisan saja. Hanya dengan sekali melihat

penonton sudah bisa dengan mudah menginterpretasikannya. Makna mural yang

terkandung di dalamnya hampir bisa diinterpretasikan dengan jelas karena secara

umum tulisan tersebut langsung berisi makna mural tersebut. Pembuatan mural

dengan kategori ini dianggap mudah sehingga menjadikan pembuat mural tidak

(42)

Perbedaan mural dengan bentuk tulisan dan graffiti terletak pada proses dan

hasil jadi. Graffiti dibuat dengan media dinding dan cat semprot, hasil jadi graffiti

adalah gambar bentuk huruf yang berbentuk artistik disertai warna-warna menarik

yang mencolok perhatian. Proses pembuatan graffiti selalu menggunakan dinding dan

cat semprot, sedangkan proses pembuatan mural bisa dengan berbagai media,

misalnya cat tembok biasa, kapur, dan berbagai media lainnya. Perbedaan yang lain

adalah graffiti lebih mementingkan bentuk menarik yang dihasilkan dari gabungan

berbagai huruf, sedangkan mural lebih mementingkan makna yang terdapat di

dalamnya yang terdiri dari gabungan tanda-tanda di dalamnya.

Hiasan berupa gambar terkadang juga dimiliki pada mural jenis dengan

bentuk tulisan. Keberadaan gambar-gambar tersebut bukan menjadi fokus utama pada

mural, hiasan berupa gambar tersebut hanya sekedar membantu penonton mural

mengintepretasikan makna yang terdapat di dalamnya. Hiasan berupa gambar pada

mural jenis tersebut memiliki fungsi sebagai penghias, ada atau tidaknya

(43)

contoh mural dengan menggunakan tulisan

2.2.6 Mural dengan Menggunakan Unsur Kebudayaan

Mural dengan kategori tersebut memiliki unsur-unsur kebudayaan. Dalam

bentuknya seringkali yang ditonjolkan adalah gambar dan tidak terdapat adanya

tulisan atau penjelasan di dalam mural. Tidak adanya tulisan dalam mural jenis

tersebut tidak mengurangi interpretasi penonton mural, tetapi penonton mural dapat

semakin menginterpretasi mural tersebut dengan dihubungkan berbagai banyak hal,

misalnya memaknai filosofi yang terdapat dalam mural tersebut. Semiotika

memandang komunikasi sebagai pembangkitan makna dalam pesan – baik oleh

penyampai mau pun penerima (encoder dan decoder). Makna bukanlah konsep yang

mutlak dan statis yang bisa ditemukan dalam kemasan pesan. Pemaknaan merupakan

(44)

Makna mural dengan unsur kebudayaan sering terkait dengan penyampaian

pesan-pesan kedaerahan yang ditujukan kepada masyarakat. Seringkali hal-hal yang

bersifat kedaerahan terlupakan oleh masyarakat, misalnya kesenian, adat, dan tradisi.

Bahkan pada saat ini hal-hal tersebut memang sengaja dilupakan atas nama

modernisasi karena dianggap ketinggalan jaman dan tidak berguna.

Kesenian dan kebudayaan pada jaman dahulu adalah hal yang menarik untuk

masyarakat. Bukan sekedar menarik dan hanya menjadi hiburan, tetapi masyarakat

bisa memaknai filosofi-filosofi yang terdapat di dalamnya secara tidak langsung.

Nilai-nilai moral dalam kebudayaan apabila diterapkan dalam kehidupan sehari-hari

akan berdampak baik pada kehidupan bermasyarakat.

Yogyakarta adalah kota yang plural, sehingga terdapat juga mural dengan

unsur kebudayaan di luar dari kebudayaan Kota Yogyakarta. Masuknya kebudayaan

dari daerah lain di Kota Yogyakarta tidak dianggap akan memudarkan

kebudayaan-kebudayaan yang ada di Kota Yogyakarta, tetapi kebudayaan-kebudayaan dari daerah lain tersebut

semakin memperlihatkan suasana pluralisme yang ada di Kota Yogyakarta. Untuk

mural kategori tersebut yang terdapat di Kota Yogyakarta tidak semata-mata hanya

kebudayaan yang ada di Kota Yogyakarta tetapi juga ada mural tentang kebudayaan

(45)

Dalam skripsi ini penulis menggunakan 20 mural yang akan diteliti. Foto

mural-mural tersebut diambil oleh penulis sendiri di simpang empat Hotel Melia

Purosani, simpang empat Demangan, gang di daerah Badran, gang-gang sekitar

Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Kampus I Universitas Sanata Dharma, dan

(46)

2.3 Makna Mural di Kota Yogyakarta

Dalam bab ini penulis menjabarkan berbagai makna yang ada di dalam mural.

Makna mural bisa diinterpretasika begitu banyak karena setiap pembuat mural

memiliki maksud tertentu yang bahkan dengan maksud yang belum tentu dipikirkan

oleh orang lain pada umumnya. Banyaknya mural yang ada di Kota Yogyakarta tidak

memungkinkan peneliti untuk mengartikannya satu persatu, sehingga peneliti

membatasi jumlah mural yang dianalisis. Dalam bab ini peneliti menganalisis gambar

mural berdasarkan teori semiotika milik Roland Barthes.

Menurut Barthes, suatu karya atau teks, merupakan sebentuk konstruksi

belaka. Bila hendak menemukan maknanya, maka yang dilakukan adalah

rekonstruksi dari teks itu sendiri. Sebagai sebuah proyek rekonstruksi, maka

pertama-tama teks tersebut dipenggal-penggal terlebih dahulu menjadi beberapa leksia atau

satuan bacaan tertentu. Leksia ini dapat berupa satu kata, satu kalimat, beberapa

kalimat, sebuah paragraf, atau beberapa paragraf. Dengan memenggal-menggal teks

itu maka pengarang tak lagi jadi perhatian. Maksud dari pengarang yang selama ini

dijadikan pusat perhatian dalam upaya menginterpretasikan suatu teks sudah

ditinggalkan. Teks itu bukan lagi milik pengarang, tetapi sudah menjadi milik

pembaca (Kurniawan, 2001: 93).

Dalam proses menginterpretasikan gambar mural, penulis

memenggal-menggal teks dan gambar yang ada di dalam mural. Setelah itu penulis mengartikan

(47)

menggabungkan makna-makna yang ditemukan dan akan menggabungkannya secara

keseluruhan, sehingga kemudian dapat dimengerti makna yang terdapat pada mural

yang diteliti. Dalam bab ini ada 20 mural yang dianalisis. Mural-mural tersebut

dipilih oleh peneliti karena memiliki makna yang menarik dan menggambarkan

kehidupan sehari-hari masyarakat. Selain itu penempatan pembuatan mural berada di

titik-titik tertentu yang dirasa penulis merupakan tempat yang menarik, antara lain di

simpang empat, jalan raya, dan di pemukiman warga.

2.3.1 Makna Mural dengan Menggunakan Tokoh Ternama

Dalam kategori mural dengan menggunakan tokoh ternama penulis

menggunakan tiga mural yang ada di Kota Yogyakarta, yaitu mural dengan tokoh

Soekarno, Bung Tomo, Romo Driyarkara, dan Pramoedya Ananta Toer. Berikut

(48)

2.3.1.1Mural dengan Menggunakan Tokoh Soekarno

Gambar tersebut diambil di sekitar jembatan Sayidan, Gondomanan.

Teks yang terdapat dalam mural tersebut adalah “MERDEKA BELUM

BUNG?“. Kata MERDEKA dan BUNG? diberi cat dengan warna putih. Apabila

dibaca begitu saja maka akan berbunyi “merdeka bung?. Pada mural tersebut juga

terdapat kata “belum” yang diberi warna merah. Warna yang berbeda tersebut

menurut peneliti memiliki maksud tertentu, yaitu untuk mencuri perhatian

penontonnya. Jika dibaca maka bacaan akan berbunyi: merdeka belum bung?

Menurut penulis di dalam teks itu terdapat penekanan tentang pertanyaan “sudah atau

(49)

terdapat gambar wajah Soekarno. Soekarno adalah salah satu orang hebat yang

dikenal dunia. Soekarno adalah presiden pertama Indonesia. Beliau adalah seorang

proklamator yang hebat, dapat memimpin dan disegani rakyat. Walaupun penulis

belum pernah merasakan kepemimpinan beliau tetapi penulis mengerti benar bahwa

Soekarno adalah tokoh besar yang disegani. Gambar wajah dan kata “BUNG”

merupakan perlambangan adanya sosok Soekarno di mural tersebut.

Soekarno yang bertanya: “MERDEKA BELUM BUNG?” adalah suatu

keanehan. Soekarno adalah sosok yang berperan penting dalam kemerdekaan

Indonesia. Beliau berperan sebelum Indonesia merdeka dan tetap berperan

sesudahnya, yaitu menjadi presiden untuk pertama kali. Menurut penulis mural

tersebut merupakan mural yang memiliki makna kritik sosial terhadap keadaan yang

ada. Keadaan kehidupan pada saat ini tidak lebih baik dari pada keadaan di masa

penjajahan. Pada masa penjajahan kelaparan dan penindasan dalah hal yang selalu

ada, jika dibandingkan dengan kehidupan sekarang hal ini masih memiliki kesamaan.

Pada masa sekarang ini masih banyak orang miskin yang kelaparan dan juga hidup

mereka tertindas. Banyak orang miskin yang sudah bekerja keras tetapi tetap saja

miskin, sedangkan orang-orang yang memiliki pangkat dan sudah kaya masih bisa

melakukan tindakan korupsi. Orang miskin selalu salah dan orang kaya selalu benar,

orang kaya bisa hidup seenaknya sendiri. Hal tersebut menurut penulis adalah suatu

(50)

2.3.1.2Mural dengan Menggunakan Tokoh Bung Tomo

Foto ini diambil di simpang empat Demangan

Pada dalam mural tersebut terdapat tulisan “KALAU MAU ANARKIS

JANGAN DI JOGJA DAB!”. Menurut penulis mural tersebut adalah wujud

peringatan sebelum melakukan tindakan pengusiran untuk orang-orang yang berbuat

anarki di Kota Yogyakarta. Terlepas akan atau sudah melakukan tindakan anarkis.

Menurut penulis tulisan dalam mural ini bukan ditujukan untuk masyarakat dari luar

Kota Yogyakarta. Panggilan “DAB” adalah sebuah panggilan yang akrab ditemui di

(51)

Kota Yogyakarta. Pada mural tersebut mengatakan bahwa pelaku tindakan anarki

yang dimaksud adalah warga Kota Yogyakarta itu sendiri.

Penulis juga memiliki hasil interpretasi lain, hal yang dimaksud dalam mural

tersebut adalah warga pendatang yang tinggal di Kota Yogyakarta. Para pendatang

tersebut sudah dianggap menjadi satu dalam bagian masyarakat Kota Yogyakarta

tanpa dibeda-bedakan. Selain itu pembuat mural juga ingin menunjukan bahwa

betapa baiknya masyarakat Kota Yogyakarta karena sudah menganggap mereka

bagian dari Kota Yogyakarta, bukan diluarnya atau digolong-golongkan dengan

kedudukan tertentu.

Tulisan ANARKIS kalau diperhatikan secara seksama maka akan terlihat

huruf $, lambang dari uang dollar. Penulis menginterpretasikan hal tersebut sebagai

kerusuhan yang bermotif uang. Terlepas dari sudah terjadi atau belum terjadi, mural

tersebut menjadi peringatan agar jangan berbuat anarki apalagi dengan berlandas

motif uang.

Pada sebelah tulisan tersebut juga terdapat gambar seseorang. Seseorang

tersebut menutupi wajahnya dan membawa semacam kertas bergambarkan lambang

perdamaian. Menurut interpretasi penulis tokoh itu menggambarkan seseorang yang

ingin menyampaikan pesan perdamaian. Wajah yang ditutupi adalah wujud bahwa

tokoh tersebut bukanlah seorang yang ingin dikenal orang lain. Interpretasi lain dari

penulis adalah tokoh tersebut memanglah bukan siapa-siapa. Tokoh dalam mural

tersebut tidak ditonjolkan siapa dia, tetapi pembuatnya lebih ingin menonjolkan pesan

(52)

Interpretasi lain dari penulis bahwa tokoh tersebut adalah simbol gambar

Bung Tomo. Bung Tomo adalah salah satu pejuang pemimpin pertempuran pada

tanggal 10 November 1945, pada saat ini hari bersejarah tersebut diperingati sebagai

Hari Pahlawan Nasional. Beliau berhasil menggerakkan dan membangkitkan

semangat rakyat Surabaya pada saat itu. Dengan adanya gambar karakter Bung Tomo

berarti mural tersebut memiliki makna agar mural itu dapat menggerakan dan

menyemangati masyarakat yang ada di Kota Yogyakarta agar tidak lagi bertindak

anarki apalagi jika disertai dengan alasan perekonomian.

Gambar di atas adalah foto Bung Tomo yang dikenal secara luas. Gambar atau foto dengan pose

semacam ini sangat mudah ditemukan. Dari mulai buku pelajaran Sekolah Dasar (SD) sampai dengan

(53)

2.3.1.3Mural dengan Menggunakan Tokoh Romo Driyarkara

Gambar di atas diambil di komplek PGSD lama Universitas Sanata Dharma

Romo Nicolaus Driyarkara adalah salah satu tokoh yang cukup ternama dalam

dunia pendidikan. Beliau adalah pendiri Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Beliau sangat memegang teguh prinsip humanis dalam pendidikan, visi humanisme

bertujuan untuk menyempurnakan kemanusiaan. Ada tiga hal yang dikenal dari

wujud implikasi pendidikan homonisasi dan humanisasi yang diperkenalkan beliau di

(54)

• Mendidik adalah suatu tindakan yang fundamental, yang bukan perbuatan

dangkal. Maka perbuatan itu didasari oleh kehendak yang melahirkan cinta

dari pendidik kepada “subjek yang sedang menjadi”.

• Pendidikan harus bersifat dialogis, suatu relasi antara subjek dengan subjek.

• Pendidikan mencakup nilai. Mendidik berarti memasukan anak ke dalam alam

nilai-nilai atau juga memasukkan dunia nilai-nilai ke dalam jiwa anak. Oleh

karena itu pendidikan tidak pernah netral, orientasi dalam pendidikan nilai itu

adalah nilai-nilai pancasila

(http://kongrespendidikan.web.id/humanisme-sebagai-prinsip-pendidikan-menurut-driyarkara.html).

Pada mural tersebut terbaca tulisan “Pendidikan Yang: Humanis, Dialogis,

Refletif“. Pada sebelah kanan pada tulisan tersebut juga terdapat gambar Romo N.

Driyarkara. Penulis menginterpretasikan gambar mural tersebut agar semua yang

melihat mural tersebut mengingat mendiang beliau dalam kiprahnya pada dunia

pendidikan. Seandainya ada yang belum tahu tentang siapa beliau, tentunya dengan

adanya mural tersebut akan membuat penasaran dan memancing penonton mural

tersebut akan mencari tahu siapa beliau.

Mural tersebut memiliki makna mengingatkan para pendidik yang ada pada

saat ini sedang mendidik dan ”yang sedang menjadi” agar dalam proses

ajar-mengajar masih memandang dan menggunakan nilai-nilai humanisme, sehingga

(55)

Makna yang lain adalah mengingatkan relasi antara pendidik dengan “yang

sedang menjadi”, wujud relasi tersebut diaktualisasikan dengan dialogis. Selain itu

juga terdapat makna agar dalam proses ajar-mengajar terdapat juga proses merefleksi

diri. Dengan adanya proses merefleksi diri nantinya akan diperoleh nilai-nilai

kehidupan.

2.3.1.4Mural dengan Menggunakan Tokoh Pramoedya Ananta Toer

(56)

Dalam mural tersebut terdapat tulisan :

“KALIAN SUDAH PANDAI BERBAHASA EROPA

KALIAN SUDAH PANDAI BERBUSANA EROPA

KALIAN SUDAH PANDAI BERVISUAL EROPA

TAPI KALIAN TETAP SAJA MONYET”

Kata-kata tersebut serupa dan memiliki arti yang sama dengan tulisan yang

ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya yang berjudul Bumi Manusia.

Wajah Pramoedya juga tergambar pada sebelah kanan tulisan tersebut. Novel tersebut

menceritakan tentang seorang tokoh yang bernama Minke, seseorang berdarah Jawa

yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Dia bahkan lupa nama aslinya sendiri.

Minke adalah nama pemberian guru di sekolahnya. Ayahnya seorang bupati yang

menjunjung tinggi kebudayaan Jawa, tetapi Minke tidak suka akan hal itu dan

menganggapnya kolot. Kata-kata pada mural di atas dilontarkan Tuan Mellema

seorang berdarah Belanda kepada Minke pada saat berada di rumahnya.

“Kowe kira, kalau sudah pake pakean Eropa, bersama orang Eropa, bisa

sedikit bahasa Belanda lantas jadi Eropa? Tetap monyet!” (Toer, 2002 : 43), kata-kata

tersebut dilontarkan kepada Minke sebab Tuan Mellema tidak suka melihat orang

(57)

Pembuat mural menuliskan kalimat tersebut pada muralnya dengan tujuan

memperingatkan dan bahkan mungkin menghina orang-orang yang bersifat seperti

tokoh Minke dalam Novel Bumi Manusia tersebut. Eropa sudah menjadi tren sejak

dulu, Eropa yang dimaksud pada zaman dulu adalah Belanda. Zaman dulu

masyarakat menganggap Eropa adalah sesuatu yang hebat. Maka cara pandang orang

Eropa juga dianggap sebagai cara pandang yang lebih baik daripada cara pandang

orang Indonesia pada waktu itu. Kemudian orang-orang bersifat seperti “Minke” ini

mulai mempelajari bahasa Eropa, berbusana seperti orang Eropa, dan berpandangan

seperti orang Eropa, dan lupa kepada jati diri bangsa sendiri. Sedangkan Eropa yang

dijadikan tren pada saat ini adalah semua hal berkiblat pada kultur Eropa. Contohnya

penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa yang wajib diajarkan di sekolah-sekolah.

Pada sisi sebelah kanan mural terdapat juga gambar wajah Tokoh Pramoedya

Ananta Toer. Menurut interpretasi penulis, pembuat mural sengaja memberikan

gambar wajah tokoh Pramoedya dengan memiliki alasan-alasan tertentu.

Pramoedya adalah seorang tokoh yang memiliki pemikiran serius dan

idealisme yang kuat. Dengan adanya mural dengan gambar wajah Pramoedya bisa

jadi adalah salah satu upaya untuk membangkitkan cara berpikir yang kritis seperti

cara berpikir Pramoedya.

Tokoh tersebut adalah tokoh ternama pada zamannya. Pada saat ini nama

Pramoedya sudah jarang terdengar namanya. Interpretasi penulis yang lainnya adalah

pembuat mural berusaha mengenalkan kembali sosok Pramoedya karena memiliki

(58)

tulis-menulis sangat mudah didapatkan tetapi generasi muda pada saat ini tidak bisa

memanfaatkannya secara positif.

Generasi muda pada saat ini lebih memilih menuliskan sesuatu yang tidak

penting dan tidak berguna pada berbagai jejaring sosial yang dimilikinya. Adanya

fasilitas seperti gadget canggih dan internet seharusnya dapat memudahkan generasi

muda untuk lebih bisa menyalurkan pikiran-pikirannya bukan hanya menyalurkan

pola pikir yang labil dan manja. Keadaan hal tersebut sangat berbeda dengan zaman

yang dialami oleh Pramoedya. Pramoedya harus menuliskan pemikirannya dengan

menggunakan alat tulis manual. Mural dengan tokoh Pramoedya tidak hanya

memiliki kritik kepada generasi muda, tetapi juga sebagai sarana membangkitkan

semangat agar generasi muda memiliki karakter yang kuat seperti tokoh Pramoedya.

2.3.2 Makna Mural dengan Gambar Satwa

Penulis menemukan dua mural yang masuk dalam kategori mural dengan

gambar satwa di Kota Yogyakarta, yaitu mural bergambar monyet dan anjing. Berikut

(59)

2.3.2.1Mural dengan Satwa Monyet

Mural ini diambil di simpang empat Demangan

Dalam mural tersebut terdapat tulisan :

“KALIAN SUDAH PANDAI BERBAHASA EROPA

KALIAN SUDAH PANDAI BERBUSANA EROPA

KALIAN SUDAH PANDAI BERVISUAL EROPA

TAPI KALIAN TETAP SAJA MONYET”

Kata-kata tersebut serupa dan memiliki arti yang sama dengan tulisan yang

(60)

Wajah Pramoedya juga tergambar pada sebelah kanan tulisan tersebut. Novel tersebut

menceritakan tentang seorang tokoh yang bernama Minke, seseorang berdarah Jawa

yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Dia bahkan lupa nama aslinya sendiri.

Minke adalah nama pemberian guru di sekolahnya. Ayahnya seorang bupati yang

menjunjung tinggi kebudayaan Jawa, tetapi Minke tidak suka akan hal itu dan

menganggapnya kolot. Kata-kata pada mural di atas dilontarkan Tuan Mellema

seorang berdarah Belanda kepada Minke pada saat berada di rumahnya.

“Kowe kira, kalau sudah pake pakean Eropa, bersama orang Eropa, bisa

sedikit bahasa Belanda lantas jadi Eropa? Tetap monyet!” (Toer, 2002 : 43), kata-kata

tersebut dilontarkan kepada Minke sebab Tuan Mellema tidak suka melihat orang

pribumi berusaha meniru orang Eropa.

Pembuat mural menuliskan kalimat tersebut pada muralnya dengan tujuan

memperingatkan dan bahkan mungkin menghina orang-orang yang bersifat seperti

tokoh Minke dalam Novel Bumi Manusia tersebut. Eropa sudah menjadi tren sejak

dulu, Eropa yang dimaksud pada zaman dulu adalah Belanda. Zaman dulu

masyarakat menganggap Eropa adalah sesuatu yang hebat. Maka cara pandang orang

Eropa juga dianggap sebagai cara pandang yang lebih baik daripada cara pandang

orang Indonesia pada waktu itu. Kemudian orang-orang bersifat seperti “Minke” ini

mulai mempelajari bahasa Eropa, berbusana seperti orang Eropa, dan berpandangan

seperti orang Eropa, dan lupa kepada jati diri bangsa sendiri. Sedangkan Eropa yang

dijadikan tren pada saat ini adalah semua hal berkiblat pada kultur Eropa. Contohnya

(61)

Remaja-remaja zaman sekarang sudah berlomba-lomba menguasai bahasa

Inggris untuk kepentingan masa depan mereka, tetapi tidak sedikit juga yang

mempelajari bahasa Inggris hanya untuk gengsi. Kegiatan belajar bahasa inggris

dilakukan hanya untuk pamer dalam lingkup pergaulannya. Tidak ada salahnya

belajar bahasa negara lain, selama masih mau belajar bahasa sendiri. Yang menjadi

masalah adalah bukan keinginan untuk belajar, tetapi terlalu memandang baik secara

berlebihan bahasa negara lain. Taman kanak-kanak dan sekolah dasar pun sudah ada

yang menggunakan bahasa inggris dalam proses belajar mengajar, hal tersebut adalah

hal yang tidak masuk akal untuk penulis. Penulis menganggap hal seperti itu adalah

hal yang berlebihan dalam cara memandang bahasa negara lain.

Busana masyarakat zaman sekarang sebagian besar yang dijadikan tren adalah

Eropa, Kota Paris. Produksi yang berhubungan dengan busana pada saat ini sudah

banyak yang menjadikan Kota Paris sebagai acuan. Karena pemberitaan internasional

mengatakan Kota Paris adalah pusat mode, kemudian masyarakat percaya begitu saja

dan berpandangan bahwa model busana yang ada di Kota Paris adalah model busana

yang bagus. Dampak pola pandang tersebut menyebabkan masyarakat kalangan

menengah ke atas yang memiliki hobi belanja selalu memburu barang-barang terbaru

keluaran Eropa. Mereka kebanyakan mengaku bukan karena tren untuk membeli

produk Eropa tersebut, tetapi mereka membeli produk tersebut atas nama kualitas.

Salah satu contoh bahwa masyarakat diperdaya oleh Eropa adalah dengan produk

merk Hermes. Masyarakat menengah ke atas tidak akan asing mendengar merk

(62)

tersebut tidak hanya ratusan ribuan tetapi ada yang mencapai ratusan juta.

Ketertarikan masyarakat terhadap tas Hermes ini tidak disia-siakan begitu saja oleh

pengrajin yang ada di Indonesia. Tas merk Hermes palsu banyak ditemukan di

Indonesia, bahkan penjualannya sangat mudah ditemukan secara online.

Tas Hermes dibuat oleh keluarga Hermes yang berasal dari Jerman dan

menetap di Prancis. Pada tahun 1837 Thierry Hermes mempublikasikan merk Hermes

pertama kalinya, tas tersebut didedikasikan untuk purveying bangsawan Eropa. Pada

tahun 1855 memperoleh pujian dari pemerintah karena memenangkan exposition

universelle di Paris. Pada tahun 1867 merk Hermes kembali mendapat medali emas

pada kontes tersebut. Seandainya di Indonesia ada kontes semacam itu tentunya

pengrajin-pengrajin di Indonesia juga memiliki kesempatan lebih agar barang

produksinya dikenal oleh masyarakat luas.

Acuan busana Eropa adalah busana yang baik sudah dipahami oleh banyak

orang di Indonesia sehingga dijadikan tren, padahal di Indonesia sendiri terdapat

(63)

Contoh gambar tas Hermes Original

(http://cpopon.blogspot.com/2012/01/cara-membedakan-tas-hermes-asli-dengan.html)

Contoh tas buatan pengrajin di Manding, Bantul, Yoyakarta

(64)

Dalam hal keterampilan dan kreatif penciptaan pengrajin Indonesia tidak

kalah jika dibandingkan dengan pengrajin tas-tas bermerk di luar negeri. Pengrajin tas

di Indonesia hanya kalah dalam pola pikir masyarakat Indonesia sendiri yang terlalu

menganggap produk Eropa lebih baik dibandingkan produk Indonesia.

Dalam hal cara pandang, cara pandang orang Eropa dianggap lebih baik

daripada cara pandang orang Indonesia. Orang Eropa selalu dipandang lebih baik

karena keadaan di sana dirasa lebih baik daripada keadaan di Indonesia. Pandangan

tersebut menyebabkan banyak orang yang ingin menempuh pendidikan di Eropa.

Banyak orang yang tertarik untuk mempelajari budaya orang lain dan melupakan

budaya sendiri.

Interpretasi penulis secara keseluruhan tentang gambar tersebut adalah

sindiran keras terhadap masyarakat kebanyakan pada zaman sekarang ini yang terlalu

mengagung-agungkan Eropa, baik dari segi bahasa, busana, dan cara pandang.

Keadaan di Eropa dan di Indonesia tidak bisa dianggap sama karena keadaannya

memang benar-benar berbeda, sehingga sangat tidak masuk akal apabila cara pandang

mengenai bahasa, busana, dan pemikiran di Eropa dipaksakan di Indonesia.

Masyarakat yang memiliki cara pandang berlebihan terhadap Eropa secara tidak

(65)

2.3.2.2Mural dengan Menggunakan Satwa Orang Utan dan Anjing

Mural tersebut diambil pada simpang empat Demangan

Dalam mural tersebut terdapat tulisan “WORLD ANIMALS DAY. STOP

KEKERASAN TERHADAP SATWA! 4 OCTOBER 2012”. Makna yang ada dalam

mural tersebut untuk memperingati hari satwa sedunia yang diperingati secara

internasional setiap tanggal 4 Oktober. Selain itu dalam mural tersebut terdapat pesan

agar masyarakat menghentikan kekerasan kepada satwa, hal itu sampaikan jelas

dengan tulisan “STOP KEKERASAN TERHADAP SATWA”. Hal ini perlu ditulis

dalam mural agar masyarakat benar-benar sadar bahwa kekerasan terhadap satwa

harus dihentikan. Maraknya satwa yang sengaja dimusnahkan menjadi keprihatinan

(66)

satwa yang pernah dimuat media massa adalah pembantaian orang hutan di Pulau

Kalimantan.

Populasi orang utan sengaja dikurangi secara besar-besaran dengan cara

dianiaya dan dibunuh. Orang utan dianggap sebagai hama di kebun kelapa sawit.

Bahkan sebuah perusahaan dengan sengaja memberikan hadiah sebesar lima ratus

ribu sampai satu juta rupiah bagi orang yang bisa membunuh seekor orang utan. Hal

ini cukup memprihatinkan mengingat bahwa orang utan termasuk satwa yang

dilindungi secara hukum. Undang-Undang 5 tahun 1990 mengatur tentang konservasi

daya alam hayati di ekosistemnya, adanya undang-undang itu semakin

memperlihatkan sesuatu yang ironi ketika terbukti ada yang sengaja melanggarnya.

Foto orang hutan yang dianiaya

(67)

Penulisan “4 October 2012” adalah informasi pemberitahuan yang sengaja

dituliskan agar masyarakat mengerti bahwa pada setiap tanggal 4 Oktober adalah hari

satwa sedunia. Tanggal itu perlu ditulis karena banyak masyarakat yang kurang

peduli dengan keberadaan satwa yang ada di dunia, terutama masyarakat di Indonesia

sendiri.

Di sebelah kiri tulisan terdapat gambar orang utan, seperti yang

interpretasikan sebelumnya bahwa ada tema tertentu yang diangkat yaitu mengenai

orang utan. Masalah mengenai orang utan tersebut sudah menjadi perbincangan dunia

internasional, sehingga sungguh tidak masuk akal apabila masyarakat di Indonesia

tidak tahu dan tidak peduli mengenai hal tersebut.

(68)

Pada sebelah kanan tulisan terdapat gambar anjing. Anjing dalam mural

tersebut diinterpretasikan penulis sebagai anjing yang berjenis pitbull. Penulis

menginterpretasi sebagai anjing jenis pitbull karena jenis anjing tersebut memiliki

hubungan dengan kekerasan seperti yang tertulis dalam mural tersebut. Jenis anjing

tersebut seringkali dipelihara bukan sebagai penjaga rumah, tetapi anjing tersebut

dipergunakan sebagai anjing aduan. Perlombaan adu pitbull sudah sering dilakukan,

adu pitbull tersebut tidak selalu anjing pitbull melawan anjing pitbull tetapi juga

anjing pitbull melawan babi hutan.

2.3.3 Makna Mural dengan Menggunakan Tokoh Ciptaan Baru

Saat ini orang bisa dengan mudah menemukan tokoh baru dalam mural-mural

yang ada di Kota Yogyakarta. Tokoh tersebut sengaja dibuat untuk menunjukkan

identitas perseorangan atau kelompok yang sering melakukan pembuatan mural

Yogyakarta.

Tokoh mural yang dikaji oleh penulis adalah tokoh mural yang berinisial

“HeRe-HeRe”. “HeRe-HeRe” memiiki ciri khas tokoh dalam mural terebut adalah

kepala bundar dengan mulut tertawa. Mural dengan tokoh “HeRe-HeRe” tersebut

memiliki sebuah keunikan, tokoh tersebut dapat digambar dengan berbagai macam

karakter dan keadaan. Misalnya tokoh tersebut terlihat berpakaian seragam polisi lalu

lintas berarti dengan kostum tersebut tokoh “HeRe-HeRe” bisa diinterpretasikan

(69)

menarik untuk diteliti karena makna-makna yang terkandung di dalamnya sarat

dengan kritik sosial.

Tokoh ciptaan baru lainnya dalam mural yang ditemukan penulis tampak

dalam foto-foto berikut. Ada contoh lain dari tokoh ciptaan baru yaitu “ART PREK”

dan “Tuyuloveme”. Tokoh “ART PREK” selalu menampilkan tokoh yang

berubah-ubah, tokoh ciptaannya berbentuk abstrak dan tidak bisa dijelaskan itu adalah jenis

mahluk apa. “ART PREK” sendiri menurut penulis adalah sebuah komunitas.

Tokoh-tokoh yang diciptakan dalam mural bentuknya selalu berbeda-beda dan tidak pernah

sama. Ciri-ciri tokoh baru “ART PREK” adalah adanya bintik-bintik dan garis-garis

pendek dalam tokohnya.

Selain itu ada tokoh ciptaan baru dari pembuat mural yang menyebut diri

sebagai “Tuyuloveme” memiliki ciri tersendiri yaitu berwujud kepala manusia yang

berwarna hijau. Sebenarnya tokoh tersebut termasuk dalam kategori graffiti. Penulis

menyebutnya tokoh itu termasuk dalam kategori graffiti karena tokoh tersebut selalu

menjadi penghias pada gambar-gambar graffiti. Pola pewarnaan tokoh tersebut juga

terlihat rumit dan menarik seperti halnya pewarnaan dan bentuk pada graffiti. Tokoh

“Tuyuloveme” selalu menjadi penghias sebuah graffiti

Tokoh ciptaan baru dalam mural yang ditemukan penulis tampak dalam

(70)

Gambar 1 tokoh “ART PREK” (http://www.artprek.blogspot.com/)

(71)

Gambar 3 dari “ART PREK” (http://www.artprek.blogspot.com/)

(72)

Gambar 2 tokoh “Tuyuloveme” (http://www.tuyuloveme.com/)

Berikut ini adalah gambar-gambar yang sudah dianalisis oleh penulis. Penulis

memilih mural dengan tokoh ciptaan baru “HeRe-HeRe”. Mural dengan bentuk tokoh

tersebut memiliki bantuk yang unik dan khas. Tokoh tersebut dapat ditemui hampir di

(73)

2.3.3.1 HeRe-HeRe : MAU SIDANG ATAU BAYAR DI MUKA!

(74)

Foto polisi yang sedang melakukan razia sepeda motor

Mural tersebut bertuliskan “MAU SIDANG ATAU BAYAR DI MUKA!”.

Interpretasi penulis pertama kali pada saat membaca tulisan tersebut adalah mengenai

polisi dan tilang karena kalimat tersebut biasanya diucapkan saat seseorang diberi

tilang. Penulis pernah mengalami sendiri sewaktu berurusan dengan polisi. Polisi

selalu bertanya “mau sidang sendiri atau dititipkan saja?”.

Pertanyaan itu seakan-akan adalah tawaran bantuan yang diberikan polisi

kepada seseorang yang diberi tilang karena yang akan mengikuti sidang bukanlah

orang yang ditilang tetapi polisi yang akan mewakilinya. Orang yang ditilang tersebut

sewajarnya tentu akan merasa terbantu dengan tawaran itu. Adanya ketidakwajaran

tersebut yang menjadikan adanya gambar mural tersebut. Polisi dengan sengaja

Gambar

gambar.
Gambar hewan dalam mural kategori mural dengan menggunakan gambar
gambar satwa dalam muralnya agar makna di dalam mural ciptaannya dapat diterima
gambar tersebut tidak mempengaruhi makna yang terdapat pada mural.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh Latihan Passing Menggunakan Alat Bantu Tali Terhadap Hasil Short Passing Dalam Cabang Olahraga Sepakbola.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

sehingga tidak digunakan dalam menghitung jumlah faktor yang terbentuk.. Dengan demikian dapat dilihat bahwa faktor paling dominan dalam penelitian ini adalah faktor

Latihan fleksibilitas dengan menggunakan metode PNF merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam olahraga pencak silat untuk meningkatkan fleksibilitas

Dengan dibuatnya sebuah sistem dengan menggunakan SCM dan dibantu dengan metode Lot Sizing khususnya Economic Order Quantity (EOQ) dan didukung Reorder Point (ROP)

OPINI LAPORAN KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH KOTA BANDUNG. No Tahun LKPD Opini BPK RI Nomor Laporan

This research is conducted to investigate what type of TIST that teacher mostly uses in the classroom and to find out the frequency of teacher instructional scaffolding

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan sebelumnya, masalah yang dapat dirumuskan adalah bagaimana sumber dan penggunaan modal kerja pada Perusahaan Daerah