JENIS, MAKNA, DAN FUNGSI MURAL DI KOTA YOGYAKARTA : TINJAUAN SEMIOTIKA VISUAL
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Ardhi Andana Pramudhita NIM : 084114013
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA Juli 2013
vi
Kata pengantar
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik.
Penulis menyadari tugas akhir ini tidak dapat terwujud tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu terselesainya tutgas akhir ini, yaitu,
1. Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum sebagai dosen pembimbing I yang dengan penuh kesabaran telah membantu penulis menyelesaikan tugas akhir ini.
2. Drs. Hery Antono. M.Hum sebagai dosen pembimbing II yang dengan penuh kesabaran membantu menyelesaikan tugas akhir ini.
3. Drs. B.Rahmanto, M.Hum, S.E. Peni Adji, S.S, M.Hum, Dra. Fr. Tjandrasih, M.Hum, Dr. Paulus Ari Subagyo, M.Hum, Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum, beserta dosen-dosen yang lain, atas ilmu dan perkuliahan yang sudah diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
4. Seluruh staf Sekretariat Fakultas Sastra dan Universitas Sanata Dharma yang membuat penulis merasa nyaman selama menempuh pendidikan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
5. Staf Perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan pelayanan dengan baik.
6. Ibu saya Yohana Ong Tjwan Kiem yang selalu memberikan kasih sayang, doa, semangat, motivasi dan nasehat – nasehat untuk kemajuan hidup penulis.
7. Oentoeng dan Theresia Sugiharti. Om dan tante saya, terima kasih atas bantuannya dalam pembiayaan kuliah penulis.
8. Keluarga besarku dan saudara-saudaraku. Terima kasih telah memberi dukungan, semangat, motivasi, dan doanya untuk menjadi orang sukses.
9. Bernadia Errisa Maharani yang selalu mengingatkan dan menyemangati penulis untuk menyelesaikan tugas akhir.
10.Airani Sasanti atas pinjaman buku-bukunya.
11.Andreas Damar Kuncoro Aji, Fransisca Aprilia Ayu Ningtyas, dan Bernadia Errisa Maharani, atas bantuannya mencetak tugas akhir.
12.Terima kasih kepada teman-teman sesama mahasiswa Universitas Sanata Dharma khususnya Program Studi Sastra Indonesia angkatan 2008.
vii
Abstrak
Pramudhita, Ardhi Andana. 2013, “Jenis, Makna dan Fungsi Mural di Kota Yogyakarta”. Tugas Akhir: Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Dalam skripsi ini dibicarakan mengenai makna dan fungsi yang terdapat dalam mural-mural di Kota Yogyakarta. Tujuannya adalah mengungkap makna-makna yang terkandung dalam mural dan menganalisis fungsi keberadaan mural bagi masyarakat.
Dalam melakukan penelitian ini langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut: Pertama, mengumpulkan data yang berupa foto-foto mural yang ada di kota Yogyakarta. Foto-foto tersebut dikumpulkan penulis sejak tahun 2011 hingga 2012.
Kedua, metode analisis yang digunakan dalam menganalisis data adalah metode deskriptif, yaitu pemecahan masalah dengan menggunakan pelukisan atau penggambaran keadaan suatu objek penelitian berdasarkan fakta-fakta yang ada.
Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini adalah mengkategorikan mural yang terdapat di Kota Yogyakarta dapat dibedakan menjadi enam jenis. Kategori tersebut ialah:
1. Mural dengan menggunakan tokoh ternama. 2. Mural dengan menggunakan gambar satwa. 3. Mural dengan menggunakan tokoh ciptaan baru. 4. Mural dengan memakai symbol.
5. Mural dengan bentuk tulisan. 6. Mural dengan unsur kebudayaan.
Kategorisasi dilakukan dengan mempertimbangkan unsur instrinsik yang terdapat pada mural tersebut. Hasil dari penelitian penulis membuktikan bahwa makna yang terdapat dalam satu buah mural bisa diinterpretasikan dengan berbagai macam oleh seorang penonton mural. Penginterpretasian penonton mural sebagian besar dipengaruhi oleh lokasi mural dan situasi kondisi yang sedang terjadi pada saat itu.
viii
ix
ABSTRACT
Pramudhita, Ardhi Andana. 2013. Type, The Meaning and Function of Mural in Yogyakarta.
Undergraduate Thesis. Yogyakarta: Indonesian Letters Department, Faculty of Letters, Sanata Dharma University.
This research studied the meaning and function of mural in Yogyakarta. The purposes of this study are to understand meaning of mural and to analyze function of mural for public. The method used in this study is descriptive method. The step which are done are collecting photos of mural in Yogyakarta, and then are analyzing photos with semiotics to determine the meaning of mural. The next step is analyzed function of mural. The results of this study are meaning interpretation of mural and function analysis of mural in Yogyakarta.
Analysis results in the form of interpretation of meaning contained in the six categories of mural. The six categories are mural that use famous people, mural which use picture of animal, mural with the new character creation, mural that uses symbols, mural in the writing form, and mural which featuring the element of culture. The murals are categorized based on the intrinsic element contained in the mural. The results of this study prove that the meaning of mural can be interpreted in various ways by audience of mural. Interpretation of mural is largely influenced by the location of mural and the situation at the time.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
DAFTAR ISI ... ix
Bab I Pendahuluan 1.1Latar Belakang Masalah ... 1
1.2Rumusan Masalah ... 3
xi
1.7.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 13
1.7.3 Metode dan Teknik Analisis Data ... 14
1.7.4 Metode Penyajian Hasil Analisis Data ... 17
1.8Sistematika Penyajian ... 17
BAB II MAKNA MURAL DI KOTA YOGYAKARTA 2.1Proses Pembuatan Mural... 18
2.2Jenis Mural di Kota Yogyakarta ... 17
2.2.1 Mural dengan Menggunakan Tokoh Ternama ... 21
2.2.2 Mural dengan Menggunakan Gambar Satwa ... 22
2.2.3 Mural dengan Menggunakan Tokoh Ciptaan Baru ... 24
2.2.4 Mural dengan Menggunakan Ikon ... 25
xii
2.2.6 Mural dengan Menggunakan Unsur Kebudayaan ... 29
2.3Makna Mural di Kota Yogyakarta ... 32
2.3.1 Makna Mural dengan Menggunakan Tokoh Ternama ... 33
2.3.1.1 Mural dengan Menggunakan Tokoh Soekarno ... 34
2.3.1.2 Mural dengan Menggunakan Tokoh Bung Tomo ... 36
2.3.1.3 Mural dengan Menggunakan Tokoh Romo Driyarkara ... 39
2.3.1.4 Mural dengan Menggunakan Tokoh Pramoedya ... 41
2.3.2 Makna mural dengan Menggunakan Gambar Satwa ... 44
2.3.2.1 Mural dengan Menggunakan Satwa Monyet ... 45
2.3.2.2 Mural dengan Menggunakan Satwa Orang Utan dan Anjing 51 2.3.3 Mural dengan Menggunakan Tokoh Ciptaan Baru ... 54
2.3.3.1 Mural “Mau sidang atau bayar dimuka?” ... 59
2.3.3.2 Mural “Tidak perlu ada senjata untuk mengamankan unjuk rasa” ... 63
2.3.4 Mural dengan Menggunakan Ikon ... 66
2.3.4.1 Mural “Ayo Podo Tulung Tinulung” ... 67
2.3.4.2 Mural “Miras Agawe Tuntas” ... 69
2.3.4.3 Mural “Anda Sopan Kami Segan” ... 72
2.3.4.4Mural “Mesin Pembunuh Asap” ... 78
xiii
2.3.5 Mural dengan Menggunakan Bentuk Tulisan ... 94
2.3.5.1 Mural “Ing Ngarso Sung Tulodho” ... 95
2.3.5.2 Mural “Pro Penetapan Jogja Istimewa” ... 99
2.3.5.3 Mural “Bikin Mug Satoe Saja” ... 100
2.3.5.4 Mural “Dendang Calon Guru” ... 102
2.3.6 Mural dengan Menggunakan Unsur Kebudayaan ... 104
2.3.6.1 Mural “Jatilan” ... 106
2.3.6.2 Mural “Punakawan” ... 110
2.3.6.3 Mural “Leak Bali” ... 112
2.4 Rangkuman Makna Mural di Kota Yogyakarta ... 114
BAB III FUNGSI MURAL DI KOTA YOGYAKARTA ... 116
3.1Penggunaan mural sebagai media komunikasi visual ... 116
3.2Pembahasan fungsi mural ... 119
3.2.1 Mural dengan Tokoh Soekarno ... 120
3.2.2 Mural dengan Tokoh Bung Tomo... 122
3.2.3 Mural dengan Tokoh Romo Driyarkakara ... 123
3.2.4 Mural dengan Satwa Urang Utan ... 126
3.2.5 Mural dengan Satwa Orang Utan dan Anjing ... 127
xiv
3.2.7 Mural “Tidak perlu ada senjata untuk mengamankan
unjuk rasa ... 131
3.2.8 Mural “Ayo Podo Tulung Tinulung” ... 132
3.2.9 Mural “Miras Agawe Tewas” ... 134
3.2.10 Mural “Ánda Sopan Kami Segan” ... 135
3.2.11 Mural “Mesin Pembunuh Asap” ... 137
3.2.12 Mural “Jogja Rumah Bersama” ... 139
3.2.13 Mural ”Ing Ngarso Sung Tulodho” ... 142
3.2.14 Mural “Pro Penetapan Jogja Istimewa” ... 144
3.2.15 Mural “Bikin Mug Cum Satoe Sadja” ... 146
3.2.16 Mural ”Dendang Calon Guru” ... 148
3.2.17 Mural dengan Menggunakan Unsur Kebudayaan ... 149
BAB IV PENUTUP ... 153
4.1 Kesimpulan ... … 153
4.2 Saran ... .... 155
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Mural adalah sarana berkomunikasi yang menggabungkan tulisan atau gambar
dengan media yang mudah ditemukan pada saat ini. Media yang kebanyakan
digunakan masyarakat sebagai tempat membuat mural adalah tembok. Di Kota
Yogyakarta, mural pada saat ini berkembang cukup pesat, hampir di setiap sudut kota
dapat ditemukan mural.
Mural merupakan salah satu bentuk seni jalanan street art. Street art
mempunyai tiga bentuk, yaitu mural, graffiti dan poster. Ketiga bentuk street art ini
diekspresikan pada sarana yang ada di jalanan, misalnya di tembok-tembok kota.
Graffiti biasanya berupa pembuatan huruf yang mengandalkan permainan bentuk
huruf dan pewarnaan yang menarik dengan memakai cat semprot. Poster dalam
konteks street art biasanya berisi kritik yang bernada menyindir situasi sosial,
misalnya kebijakan pemerintah yang tidak mendukung rakyat atau isu-isu sosial yang
ada. Mural adalah sarana untuk menyampaikan pesan kepada khalayak ramai yang
biasanya dilakukan dengan media dinding. Mural merupakan hasil penggabungan
tulisan dan gambar, tetapi tidak tertutup kemungkinan mural hanya terdiri dari
gambar.
Perkembangan mural di Kota Yogyakarta dimulai dari gerakan Apotik Komik
(JMF). Kini pelaku mural tidak hanya seniman, tetapi masyarakat umum juga terlibat
dalam pembuatan mural. Mahasiswa juga terlibat langsung dalam pembuatan mural
selama mengikuti kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Mural digunakan mahasiswa
sebagai sarana menyampaikan pesan kepada masyarakat sekitar. Lomba membuat
mural sudah banyak diadakan di kampung. Pembuatan mural di
kampung-kampung bertujuan untuk menghias lingkungan sekitar dan menyampaikan pesan.
Penulis memilih melakukan pengkajian tentang mural karena di dalam mural
terdapat pesan-pesan yang tersembunyi. Untuk memahami makna itu, tidak cukup
hanya sekali melihat mural tersebut. Seringkali, oleh masyarakat, mural hanya
dianggap sebagai hiasan begitu saja tanpa tertarik untuk mengerti makna yang ada di
dalam muralnya.
Mural pada titik-titik tertentu di Kota Yogyakarta dipilih oleh penulis karena
mural tersebut memiliki beraneka macam arti yang bisa diinterpretasikan. Penulis
melakukan pengkajian mengenai mural agar nantinya hasil kajian tersebut dapat
Contoh foto mural
1.2Rumusan Masalah
Berdasar uraian di atas, masalah-masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini
adalah:
1. Apa saja jenis mural yang ada di Kota Yogyakarta?
2. Apa saja makna mural di Kota Yogyakarta?
3. Apa saja fungsi mural di Kota Yogyakarta?
1.3Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan jenis mural yang ada d Kota Yogyakarta.
2. Mendeskripsikan makna mural yang ada di Kota Yogyakarta.
1.4Manfaat Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat secara teoretis dan
praktis. Secara teoretis dalam bidang semiotika, hasil penelitian ini dapat menjadi
salah satu referensi studi bahasa khususnya penggunaan bahasa sebagai sarana
komunikasi visual. Hasil penelitian ini juga menjadi salah satu pembuktian
penginterpretasian tanda dengan mengguanakan teori semiotika.
Secara praktis, hasil penelitian tentang makna dan fungsi mural di Kota
Yogyakarta ini berguna untuk meningkatkan wawasan dan apresiasi masyarakat
terhadap mural yang berada di Kota Yogyakarta.
1.5Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian ini peneliti menemukan buku-buku tentang mural yang
ditulis oleh anggota dari Jogja Mural Forum (JMF). Salah satu buku tersebut berjudul
Kampung Sebelah Art Project yang disusun oleh Eko Prawoto, Yoshi Fajar, Kresno,
Bambang Sugiharto, Yossy Suparyo, Dita’dei. Buku tersebut berisi tentang
seluk-beluk proses pembuatan mural yang dibuat di kampung-kampung. Proses pembuatan
mural tersebut bukan semata-mata dilakukan untuk sarana ekspresi para seniman
mural yang akan membuat mural di sana, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan warga
kampung, misalnya imbauan kecepatan dalam berkendara, kebersihan lingkungan,
penghijauan, atau jam belajar masyarakat. Pelaku pembuatan mural bukan dari
memfasilitasi masyarakat. Mural yang dijadikan proyek besar-besaran ini memiliki
fungsi untuk kampung itu sendiri, misalnya untuk meningkatkan kualitas ruang,
makna dan identitas kampung. Contoh lain adalah mural tentang narkoba yang dibuat
di Kampung Balapan, Kelurahan Klitren, Kecamatan Gondokusuman. Mural tersebut
dibuat dengan tujuan memperingatkan warga di sana agar tidak menggunakan
narkoba.
Salah satu contoh gambar mural tentang narkoba
Sumber: Kampung Sebelah Art Project, hal. 78
Buku kedua berjudul Kode Pos Art Project. Buku tersebut lebih berbicara
tentang bagaimana si pembuat mural memberi makna pada mural buatannya. Buku
yang disusun oleh Raihul Fajri, Samuel Indratma, Bambang Sugiharto tersebut
adalah mural yang dibuat di Bong Suwung, Kampung Badran, Kelurahan Bumijo,
Kecamatan Jetis. Lokasi tersebut adalah salah satu tempat prostitusi yang ada di Kota
Yogyakarta. Sebagian besar masyarakat dari luar lokasi tersebut sudah tidak lagi
menganggap tabu prostitusi. Fungsi mural di sini membantu memperingatkan penjaja
seks dan pengguna jasa di sana agar tidak lupa menggunakan alat kontrasepsi.
Salah satu contoh gambar mural “pisang berkondom”
Sumber: Kode Pos Art Project, hal. 17
Kedua buku tersebut ditulis oleh orang yang terjun langsung di bidang seni
mural. Dalam skripsi ini mural yang dipilih oleh penulis adalah mural yang dipakai
membahas fungsi mural secara lebih luas dan membahas pemaknaan mural dari sudut
pandang penulis yang tidak terlibat secara langsung dalam bidang seni mural.
Buku ketiga yang dipakai penulis adalah Semiotika Komunikasi Visual karya
Sumbo Tinarbuko. Signifikasi semiotika tidak saja sebagai ‘metode kajian’
(decoding), akan tetapi juga sebagai ‘metode penciptaan’ (encoding). Dijelaskan juga
bahwa semiotika memperlihatkan kekuatannya pada berbagai bidang, seperti
antropologi, sosiologi, politik, kajian keagamaan, media studies, dan cultural studies.
Sebagai metode penciptaan, semiotika mempunyai pengaruh pula pada bidang-bidang
seni rupa, seni tari, seni film, desain produk, termasuk desain komunikasi visual.
Buku tersebut menjelaskan semiotika memiliki ranah yang cukup luas.
Buku tersebut berisi pengertian tentang semiotika dan penerapannya pada
bidang komunikasi visual. Contoh penerapan pada buku tersebut adalah iklan. Iklan
adalah salah satu sarana penyampaian pesan kepada khalayak ramai, penyampaian
pesan tersebut bisa secara verbal dan visual. Dalam prakteknya, logika semiotika
adalah logika dimana interpretasi tidak diukur berdasarkan salah atau benarnya
melainkan derajad kelogisannya: interpretasi yang satu lebih masuk akal dari yang
1.6Landasan Teori
Semiotika dicetuskan oleh dua orang tokoh yaitu Ferdinand de Saussure dan
Charles Sanders Peirce. Ferdinand de Saussure adalah salah satu tokoh linguistik
yang berpandangan bahwa bahasa merupakan sistem tanda. Menurut Saussure
bahasa terdiri dari dua unsur, yaitu penanda atau ‘yang menandai’ dan petanda atau
‘yang ditandai’. Sifat kedua hal itu adalah arbitrer, yaitu penanda tidak memiliki
ikatan alamiah apa pun dengan petanda (Baryadi, 2007: 48).
Sifat arbitrer tanda merupakan inti bahasa manusia. Dengan ini dimaksudkannya bahwa disini tidak ada relasi pasti antara penanda dan petanda : relasinya ditentukan berdasar konvensi, aturan atau kesepakatan di antara para penggunanya. Dengan kata lain, tanda yang disebutnya arbitrer itu terkait secara pasti dengan apa yang disebut Peirce sebagai simbol. (Fiske 1990: 76)
Tidak ada relasi sama sekali antara pembuat mural dan penonton mural.
Relasi mereka dimulai ketika penonton mural melihat mural yang dibuat oleh
pembuatnya. Bisa jadi makna yang ingin disampaikan oleh pembuat mural
tidak dapat diterima oleh penonton mural. Kegagalan penyampaian pesan
tersebut dikarenakan konvensi, aturan atau kesepakatan yang berbeda yang
diterapkan oleh pembuat dan pembuat mural. Salah satu penyebab tidak
tersampainya pesan yang terdapat pada mural adalah acuan yang berbeda yang
dimiliki oleh pembuat dan penonton mural.
ketiga hal ini menentukan ketepatan proses semiosis. Dalam relasi triadik ini terdapat tiga konsep penting dalam pemikiran Peirce, yaitu ikon, indeks, dan simbol (Kurniawan, 2001: 21).
Berhubungan dengan tanda dan objeknya, Peirce membedakan tiga jenis
tanda, yaitu (i) ikon (icon), (ii) indeks (index), dan simbol (symbol). Ikon adalah
tanda yang penandanya memiliki hubungan kemiripan dengan sifat khas realis yang
diacunya. Indeks adalah tanda yang penandanya memiliki hubungan kemiripan
dengan sifat khas realitas yang diacunya. Simbol adalah tanda yang penandanya
memiliki hubungan konvesional dengan realitas yang diacunya. (Baryadi, 2007: 50).
Bahasa juga merupakan salah satu jenis tanda. Ini berarti bahwa bahasa juga
memiliki tiga jenis tanda tersebut. Seiler (1995: 141) mengemukakan bahwa bahasa
dalam perwujudannya tidak seluruhnya simbol, tidak seluruhnya ikon, dan tidak
seluruhnya indeks. Hal tersebut bisa diterapkan pada penandaan yang terdapat pada
mural. Tidak setiap mural memiliki teks dan ilustrasi. Ada jenis mural yang hanya
terdapat teks dan hanya terdapat ilustrasi gambar.
Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara
bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa
kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang
berbeda situasinya. Saussure merumuskan dua cara pengorganisasian tanda ke dalam
kode. Pertama melalui paradigma. Paradigma merupakan sekumpulan tanda yang dari
dalamnya dipilih satu untuk dipergunakan. Cara kedua adalah sintagmatik. Sintagma
menegaskan bahwa makna tanda terutama ditentukan oleh relasinya dengan
tanda-tanda yang lain (Fiske 1990: 82). Istilah “petanda-tanda” dari Saussure mirip dengan
“interpretant” dari Peirce, tetapi Saussure tidak pernah menggunakan istilah “efek”
untuk mengaitkan penanda dan petanda. (Fiske 1990: 75)
Semiotika Roland Barthes mengacu pada Saussure dengan menyelidiki apa
hubungan penanda dan petanda pada sebuah tanda. Hubungan penanda dan petanda
ini bukanlah kesamaan (equality), tetapi ekuivalen. Bukannya yang satu kemudian
membawa pada yang lain, tetapi korelasilah yang menyatukan keduanya (Hawkes,
1977: 130).
Barthes tak sebatas itu memahami proses penandaan, dia juga melihat aspek lain dari penandan, yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” ini tidak dipahami sebagaimana pengertian klasiknya, tetapi lebih diletakkan dalam proses penandaan itu sendiri. Mitos menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem tanda-penanda-petanda; tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Konstruksi penandaan pertama adalah bahasa, sedangkan konstruksi penandaan kedua merupakan mitos. Konstruksi penandaan tingkat kedua ini dipahami Barthes sebagai metabahasa (metalanguage). Perspektif
Barthes tentang mitos ini menjadi salah satu ciri khas semiotikanya yang membuka ranah baru semiotikanya, yakni penggalian lebih jauh dari penandaan untuk mencapai mitos yang bekerja dalam realitas keseharian masyarakat (Kurniawan, 2001: 22-23).
Barthes memberikan gambaran tentang peningkatan makna pada tanda.
Sebuah tanda yang sudah memiliki makna, apabila dikaitkan dengan tanda yang
lainnya nantinya dapat menghasilkan tanda baru. Tanda-tanda yang bisa digabungkan
tersebut sengaja digambarkan dalam mural oleh pembuatnya agar nantinya penonton
Penelitian ini berpusat pada bagaimana cara tanda menjalankan fungsinya
(sintaksis semiotik) dan interpretasi yang dihasilkan (semantik semiotika). Tanda
visual dapat didefinisikan secara sederhana sebagai tanda yang dikonstruksi dengan
sebuah penanda visual, yang artinya dengan penanda yang dapat dilihat (bukan
didengar, disentuh, dikecap, atau dicium). Seperti semua jenis tanda lainnya, tanda
visual dapat dibentuk secara ikonis (wajah-wajah yang digambar), indeksikal (anak
panah yang menunjukan arah), dan simbolis (logo iklan) (Danesi, 2010: 92).
Mural dibuat bukan karena tanpa alasan, tetapi mural dibuat karena ada pesan
yang ingin disampaikan. Makna bukanlah konsep yang mutlak dan statis yang bisa
ditemukan dalam kemasan pesan (Fiske 1990: 68). Dalam skripsi ini penulis
mengartikan pesan-pesan yang ada di dalam mural berdasarkan teori semiotika
Roland Barthes.
Foto mural tersebut diambil oleh penulis pada bulan Februari 2012. Mural
tersebut dibuat sebelum adanya UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang keistimewaan
Yogyakarta yang mengatur tentang tata cara penetapan gubernur dan wakil gubernur.
Mural tersebut sebagai respon atas peristiwa pada saat Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) berbicara menyinggung tentang keistimewaan Yogyakarta. SBY
mengatakan: “Sistem monarki di Yogyakarta akan bertabrakan dengan konstitusi dan
demokrasi”. Ucapan yang dilontarkan SBY terasa mengganggu sebagian besar
masyarakat Kota Yogyakarta dan masyarakat lain yang berada di luar Kota
Yogyakarta. Pernyataan yang meresahkan banyak pihak ini kemudian memancing
emosi para seniman mural. Mural ini dibuat beberapa hari setelah pernyataan SBY
dimuat di media. Dalam mural ini terlihat salah satu fungsi mural adalah sarana untuk
menyampaikan pesan ke masyarakat. Pembuat mural menunjukan penolakan mereka
terhadap pernyataan SBY melalui media mural. Masyarakat yang melihat mural ini
tentunya sudah mengerti makna dari mural ini, yaitu perlawanan terhadap SBY.
Masyarakat mengerti hal itu karena pada saat itu sedang gencar-gencarnya
pemberitaan di media-media mengenai keistimewaan Yogyakarta yang disinggung
SBY.
Dalam konteks mural, mural adalah tanda, penanda adalah pembuat mural,
dan petanda adalah masyarakat yang melihat mural yang dibuat oleh pembuat
mural.Petanda dan penanda tidak saling mengenal dan tidak memiliki ikatan apa pun.
Hubungan mereka hanya berdasarkan mural, hubungan mereka tidak lebih dari
1.7 Metode penelitian
Dalam metode penelitian dikemukakan jenis penelitian, data dan sumber data,
metode dan teknik pengumpulan data, metode dan teknik analisis data, dan metode
penyajian hasil analisis data.
1.7.1 Jenis Penelitian
Jenis ini penelitian termasuk penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang
mendeskripsikan wacana mural yang terdapat di Kota Yogyakarta untuk memperoleh
makna yang ingin disampaikan mural tersebut. Data yang diperoleh dianalisis dengan
menggunakan konsep semiotika dari Roland Barthes. Penelitian yang dilakukan
dengan menggunakan landasan semiotika Barthes memberikan gambaran dan
pemahaman tanda-tanda yang muncul dalam mural di Kota Yogyakarta.
1.7.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Objek penelitian ini adalah makna dan fungsi mural di Kota Yogyakarta. Data
dalam penelitian ini adalah mural. Mural yang dianalisis oleh penulis terletak di
simpang empat Hotel Melia Purosani, simpang empat Demangan, Jalan Urip
Sumohoarjo, gang di daerah Badran, gang-gang sekitar Taman Budaya Yogyakarta
Penulis menyediakan data dalam penelitian dengan cara mengambil foto gambar
mural. Jumlah foto mural yang diambil berjumlah 20 gambar.
1.7.3 Metode dan Teknik Analisis Data
Dalam upaya menjawab masalah diperlukan tiga tahap strategis yang
berurutan. Penyediaan data, penganalisaan data, dan penyajian hasil data (Sudaryanto,
1995: 5). Data yang dianalisis adalah makna dan fungsi mural. Metode yang
digunakan adalah metode deskriptif.
Metode deskriptif digunakan untuk melaporkan dan memaparkan secara keseluruhan hasil analisis yang telah dilakukan. Masalah diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan keadaan objek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat, dan lain-lain) pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta atau sebagaimana adanya (Ratna, 2004:53).
Judul : Mesin Pembunuh Asap
Kategori : Mural dengan menggunakan ikon
yMere
yMerekonstruksi tanda‐tanda yang ditemukan pada mural
Memenggal
‐
menggal
teks
dan
gambar
y Tulisan : Mesin Pembunuh Asap
y Gambar : Tukang Becak
yang sedang mengayuh
Mengamati
tanda
‐
tanda
secara
mendetail
yTukang becak yang menggunakan masker
yLambang Reduse, Recycle, & Reuse (3R)
Mengartikan
tanda
‐
tanda
yang
ditemukan
Mengumpulkan poin hasil interpretasi :
- Polusi udara
- Gerakan melakukan 3R
- Tukang becak sebagai simbol korban polusi udara - Tukang becak sebagai symbol perlawanan
1.7.4 Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Setelah tahap analisis data, tahap selanjutnya adalah tahap penyajian hasil
analisis data. Penulis mendeskripsikan dan mengkategorikan data yang diperoleh
kemudian menganalisisnya secara seksama dengan menggunakan tinjauan semiotika
milik Barthes. Hasil analisis tersebut kemudian dijelaskan secara mendetail dan juga
diberikan tambahan ilustrasi gambar lainnya sebagai pembuktian hasil analisis
tinjauan semiotika visual.
1.8 Sistematika Penyajian
Skripsi ini terdiri dari empat bab. Keempat bab tersebut adalah Bab satu
berupa pendahuluan yang terdiri atas latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian,
dan sistematika penyajian. Bab dua berisi pembahasan makna mural yang ada di Kota
Yogyakarta dengan konsep semiotika visual. Bab tiga berupa pembahasan tentang
fungsi mural di Kota Yogyakarta. Bab empat berupa kesimpulan hasil analisis data
dan dilanjutkan dengan saran penelitian lanjutan. Selanjutnya pada bagian akhir
BAB II
MAKNA MURAL DI KOTA YOGYAKARTA
2.1 Proses Pembuatan Mural
Proses pembuatan mural pertama kali adalah melakukan pengeblokan, yaitu
memberi warna dasar pada bagian tembok yang nantinya akan dimural. Fungsi
melakukan pengeblokan itu sendiri untuk membuat mural lebih terlihat jelas.
Pengeblokan tersebut bisa memakai warna sesuai selera si pembuat mural, dalam
proses pembuatan mural seringkali warna cat yang digunakan adalah warna putih.
Setelah tahap pengeblokan, tahap selanjutnya yang dilakukan adalah
pembuatan sketsa. Pembuatan sketsa itu bisa berupa garis-garis tipis yang nantinya
akan ditebalkan lagi untuk memberi bentuk yang jelas pada mural. Pembuatan mural
tanpa sketsa terlebih dahulu bisa juga dilakukan. Pembuat mural yang profesional
seringkali langsung membuat gambar pada dinding yang sudah diblok. Setelah sketsa
selesai dibuat, barulah si pembuat mural akan memberi warna pada sketsa yang sudah
Foto proses pengeblokan
Proses akhir pembuatan mural adalah pemberian warna. Selain itu inisial
pembuat mural juga dicantumkan. Sebagian besar pembuat mural mencantumkan
inisial namanya dengan lambang-lambang tertentu dan nama samaran. Identitas
pembuat mural dalam konteks street art seringkali sulit diketahui, karena mereka
tidak pernah menunjukkan dengan jelas identitas dirinya. Mereka hanya ingin
berkreasi dan menyampaikan apa yang ada di pikiran mereka tanpa ingin diketahui
jati dirinya oleh orang lain. Mereka membuat inisial tersebut untuk membuat identitas
baru dalam dunia mural.
2.2 Jenis Mural di Kota Yogyakarta
Berdasarkan penemuan penulis di lapangan, mural-mural yang ada di Kota
Yogyakarta dikategorikan oleh penulis menjadi enam jenis. Keenam jenis tersebut
yaitu:
1. Mural dengan menggunakan tokoh ternama.
2. Mural dengan menggunakan gambar satwa.
3. Mural dengan menggunakan tokoh ciptaan baru.
4. Mural dengan memakai simbol.
5. Mural dalam menggunakan bentuk tulisan.
6. Mural dengan menggunakan unsur kebudayaan.
2.2.1 Mural dengan Menggunakan Tokoh Ternama
Tokoh ternama yang sering dijadikan gambar dalam mural adalah tokoh
pahlawan nasional. Penulis mengkategorikan sebagai tokoh ternama karena tidak
semua mural mengunakan tokoh pahlawan nasional dalam ilustrasinya. Selain tokoh
pahlawan nasional, terdapat juga tokoh yang banyak dikenal orang sesuai bidangnya.
Misalnya adalah Romo Driyarkara, beliau merupakan tokoh pelopor proses belajar
mengajar dengan cara yang humanis di Universitas Sanata Dharma. Beliau bukanlah
tokoh pahlawan nasional, tetapi beliau cukup dikenal oleh masyarakat. Oleh karena
itu, penulis tidak mengkategorikan mural dengan menggunakan tokoh ternama
Keberhasilan penonton mural menangkap pesan yang ingin disampaikan
pembuatnya juga bergantung kepada pembuat mural itu sendiri. Penonton mural
mengerti makna yang ingin disampaikan karena adanya interpretasi yang diarahkan
pembuat mural yang disampaikan melalui gambarnya. Pembuatan mural dengan
memakai tokoh ternama tidak bisa sembarangan dalam penyampaian pesannya, pesan
yang ingin disampaikan pembuat mural harus sesuai dengan karakter dan perjalanan
hidup tokoh tersebut.
contoh mural dengan menggunakan tokoh ternama
2.2.2 Mural dengan Menggunakan Gambar Satwa
Gambar hewan dalam mural kategori mural dengan menggunakan gambar
tidak berdasarkan besar atau kecilnya gambar satwa yang terdapat di dalamnya, tetapi
lebih ke arah daya tarik penonton mural. Mural kategori ini sengaja memakai gambar
satwa agar membuat penonton mural merasa tertarik. Setelah mendapatkan perhatian
tentunya selanjutnya diharapkan adanya proses interpretasi dari penonton mural.
Karakter satwa mudah dipahami secara umum, sehingga pembuat mural memberikan
gambar satwa dalam muralnya agar makna di dalam mural ciptaannya dapat diterima
dengan jelas oleh penonton mural.
2.2.3 Mural dengan Menggunakan Tokoh Ciptaan Baru
Mural dengan kategori mural dengan menggunakan tokoh ciptaan baru cukup
mudah untuk ditemukan keberadaannya. Tokoh ciptaan baru tersebut memiliki ciri
khas yang unik secara bentuk di dalam mural. Jumlah tokoh-tokoh baru di dalam
mural hanya berjumlah sedikit, oleh karena itu untuk mengidentifikasi mural dengan
kategori menggunakan tokoh ciptaan baru lebih mudah.
Tokoh ciptaan baru dalam mural biasanya memiliki bentuk yang unik
sehingga mudah untuk diingat. Penulis menginterpretasikan pembuat mural jenis
tersebut memiliki pemikiran yang kokoh dan konsisten, hal itu terlihat dari wujud
karakter dalam mural buatannya yang konsisten. Mural jenis tersebut terlihat
seakan-akan hidup dan berada di mana saja, hal ini terlihat dari keberadaannya yang bisa
ditemui di ruang-ruang publik atau mungkin sekedar gang-gang kecil. Mural dengan
kategori tersebut adalah wujud eksistensi keberadaan pembuatnya, pembuat mural
jenis tersebut membuat tokoh ciptaannya seolah-olah hidup dan mengeluarkan
pendapat tentang apa yang dipikirkan dan dirasakannya. Makna-makna yang
terkandung dalam mural dengan tokoh ciptaan baru ini memiliki tujuan tertentu
dalam penciptaannya, misalnya memberikan kritik sosial terhadap keadaan yang
Contoh mural dengan menggunakan tokoh ciptaan baru
2.2.4 Mural dengan Menggunakan Ikon
Mural dengan kategori mural dengan menggunakan ikon lebih mudah
ditemukan di mana saja. Sebagian besar mural-mural yang ada di Kota Yogyakarta
adalah jenis kategori mural dengan memakai ikon.
Pengertian ikon sendiri adalah tanda yang mengandung kemiripan “rupa” (resemble) sebagaimana dapat dikenali oleh para pemakainya. Di
Banyak pembuat mural yang memberikan berbagai ikon di dalam mural
ciptaannya. Penggunaan ikon tersebut memiliki tujuan tersendiri. Untuk menarik
minat penonton mural bisa dijadikan salah satu alasan, setelah penonton mural
tertarik dengan salah satu ikon yang dilihatnya tentunya penonton akan lebih tertarik
lagi untuk melihat gambar mural tersebut secara keseluruhan. Penonton yang sudah
tertarik menonton mural yang dilihatnya secara otomatis akan
menginterpretasikannya walaupun itu sekadar menganggapnya sebagai hiasan
dinding yang indah. Rasa ketertarikan ini yang membuat pencipta mural memberikan
ikon-ikon dalam karyanya karena dengan memicu rasa ketertarikan penonton untuk
menonton karyanya.
Mural di Kota Yogyakarta dengan kategori tersebut secara keseluruhan tidak
bisa diinterpretasikan dengan mudah hanya dengan melihatnya sekali saja. Mural
jenis tersebut tidak dapat diinterpretasikan dengan mudah karena seringkali pembuat
mural sengaja memberikan simbol-simbol yang sulit untuk diinterpretasikan oleh
penonton mural. Dengan penginterpretasian lebih mendalam oleh penonton tentunya
contoh mural dengan menggunakan ikon
2.2.5 Mural dengan Menggunakan Bentuk Tulisan
Mural dengan kategori mural dengan menggunakan bentuk tulisan sangat sulit
ditemukan. Mural dengan jenis tersebut seringkali dianggap oleh masyarakat tidak
menarik karena hanya menonjolkan bentuk tulisan saja. Hanya dengan sekali melihat
penonton sudah bisa dengan mudah menginterpretasikannya. Makna mural yang
terkandung di dalamnya hampir bisa diinterpretasikan dengan jelas karena secara
umum tulisan tersebut langsung berisi makna mural tersebut. Pembuatan mural
dengan kategori ini dianggap mudah sehingga menjadikan pembuat mural tidak
Perbedaan mural dengan bentuk tulisan dan graffiti terletak pada proses dan
hasil jadi. Graffiti dibuat dengan media dinding dan cat semprot, hasil jadi graffiti
adalah gambar bentuk huruf yang berbentuk artistik disertai warna-warna menarik
yang mencolok perhatian. Proses pembuatan graffiti selalu menggunakan dinding dan
cat semprot, sedangkan proses pembuatan mural bisa dengan berbagai media,
misalnya cat tembok biasa, kapur, dan berbagai media lainnya. Perbedaan yang lain
adalah graffiti lebih mementingkan bentuk menarik yang dihasilkan dari gabungan
berbagai huruf, sedangkan mural lebih mementingkan makna yang terdapat di
dalamnya yang terdiri dari gabungan tanda-tanda di dalamnya.
Hiasan berupa gambar terkadang juga dimiliki pada mural jenis dengan
bentuk tulisan. Keberadaan gambar-gambar tersebut bukan menjadi fokus utama pada
mural, hiasan berupa gambar tersebut hanya sekedar membantu penonton mural
mengintepretasikan makna yang terdapat di dalamnya. Hiasan berupa gambar pada
mural jenis tersebut memiliki fungsi sebagai penghias, ada atau tidaknya
contoh mural dengan menggunakan tulisan
2.2.6 Mural dengan Menggunakan Unsur Kebudayaan
Mural dengan kategori tersebut memiliki unsur-unsur kebudayaan. Dalam
bentuknya seringkali yang ditonjolkan adalah gambar dan tidak terdapat adanya
tulisan atau penjelasan di dalam mural. Tidak adanya tulisan dalam mural jenis
tersebut tidak mengurangi interpretasi penonton mural, tetapi penonton mural dapat
semakin menginterpretasi mural tersebut dengan dihubungkan berbagai banyak hal,
misalnya memaknai filosofi yang terdapat dalam mural tersebut. Semiotika
memandang komunikasi sebagai pembangkitan makna dalam pesan – baik oleh
penyampai mau pun penerima (encoder dan decoder). Makna bukanlah konsep yang
mutlak dan statis yang bisa ditemukan dalam kemasan pesan. Pemaknaan merupakan
Makna mural dengan unsur kebudayaan sering terkait dengan penyampaian
pesan-pesan kedaerahan yang ditujukan kepada masyarakat. Seringkali hal-hal yang
bersifat kedaerahan terlupakan oleh masyarakat, misalnya kesenian, adat, dan tradisi.
Bahkan pada saat ini hal-hal tersebut memang sengaja dilupakan atas nama
modernisasi karena dianggap ketinggalan jaman dan tidak berguna.
Kesenian dan kebudayaan pada jaman dahulu adalah hal yang menarik untuk
masyarakat. Bukan sekedar menarik dan hanya menjadi hiburan, tetapi masyarakat
bisa memaknai filosofi-filosofi yang terdapat di dalamnya secara tidak langsung.
Nilai-nilai moral dalam kebudayaan apabila diterapkan dalam kehidupan sehari-hari
akan berdampak baik pada kehidupan bermasyarakat.
Yogyakarta adalah kota yang plural, sehingga terdapat juga mural dengan
unsur kebudayaan di luar dari kebudayaan Kota Yogyakarta. Masuknya kebudayaan
dari daerah lain di Kota Yogyakarta tidak dianggap akan memudarkan
kebudayaan-kebudayaan yang ada di Kota Yogyakarta, tetapi kebudayaan-kebudayaan dari daerah lain tersebut
semakin memperlihatkan suasana pluralisme yang ada di Kota Yogyakarta. Untuk
mural kategori tersebut yang terdapat di Kota Yogyakarta tidak semata-mata hanya
kebudayaan yang ada di Kota Yogyakarta tetapi juga ada mural tentang kebudayaan
Dalam skripsi ini penulis menggunakan 20 mural yang akan diteliti. Foto
mural-mural tersebut diambil oleh penulis sendiri di simpang empat Hotel Melia
Purosani, simpang empat Demangan, gang di daerah Badran, gang-gang sekitar
Taman Budaya Yogyakarta (TBY), Kampus I Universitas Sanata Dharma, dan
2.3 Makna Mural di Kota Yogyakarta
Dalam bab ini penulis menjabarkan berbagai makna yang ada di dalam mural.
Makna mural bisa diinterpretasika begitu banyak karena setiap pembuat mural
memiliki maksud tertentu yang bahkan dengan maksud yang belum tentu dipikirkan
oleh orang lain pada umumnya. Banyaknya mural yang ada di Kota Yogyakarta tidak
memungkinkan peneliti untuk mengartikannya satu persatu, sehingga peneliti
membatasi jumlah mural yang dianalisis. Dalam bab ini peneliti menganalisis gambar
mural berdasarkan teori semiotika milik Roland Barthes.
Menurut Barthes, suatu karya atau teks, merupakan sebentuk konstruksi
belaka. Bila hendak menemukan maknanya, maka yang dilakukan adalah
rekonstruksi dari teks itu sendiri. Sebagai sebuah proyek rekonstruksi, maka
pertama-tama teks tersebut dipenggal-penggal terlebih dahulu menjadi beberapa leksia atau
satuan bacaan tertentu. Leksia ini dapat berupa satu kata, satu kalimat, beberapa
kalimat, sebuah paragraf, atau beberapa paragraf. Dengan memenggal-menggal teks
itu maka pengarang tak lagi jadi perhatian. Maksud dari pengarang yang selama ini
dijadikan pusat perhatian dalam upaya menginterpretasikan suatu teks sudah
ditinggalkan. Teks itu bukan lagi milik pengarang, tetapi sudah menjadi milik
pembaca (Kurniawan, 2001: 93).
Dalam proses menginterpretasikan gambar mural, penulis
memenggal-menggal teks dan gambar yang ada di dalam mural. Setelah itu penulis mengartikan
menggabungkan makna-makna yang ditemukan dan akan menggabungkannya secara
keseluruhan, sehingga kemudian dapat dimengerti makna yang terdapat pada mural
yang diteliti. Dalam bab ini ada 20 mural yang dianalisis. Mural-mural tersebut
dipilih oleh peneliti karena memiliki makna yang menarik dan menggambarkan
kehidupan sehari-hari masyarakat. Selain itu penempatan pembuatan mural berada di
titik-titik tertentu yang dirasa penulis merupakan tempat yang menarik, antara lain di
simpang empat, jalan raya, dan di pemukiman warga.
2.3.1 Makna Mural dengan Menggunakan Tokoh Ternama
Dalam kategori mural dengan menggunakan tokoh ternama penulis
menggunakan tiga mural yang ada di Kota Yogyakarta, yaitu mural dengan tokoh
Soekarno, Bung Tomo, Romo Driyarkara, dan Pramoedya Ananta Toer. Berikut
2.3.1.1Mural dengan Menggunakan Tokoh Soekarno
Gambar tersebut diambil di sekitar jembatan Sayidan, Gondomanan.
Teks yang terdapat dalam mural tersebut adalah “MERDEKA BELUM
BUNG?“. Kata MERDEKA dan BUNG? diberi cat dengan warna putih. Apabila
dibaca begitu saja maka akan berbunyi “merdeka bung?. Pada mural tersebut juga
terdapat kata “belum” yang diberi warna merah. Warna yang berbeda tersebut
menurut peneliti memiliki maksud tertentu, yaitu untuk mencuri perhatian
penontonnya. Jika dibaca maka bacaan akan berbunyi: merdeka belum bung?
Menurut penulis di dalam teks itu terdapat penekanan tentang pertanyaan “sudah atau
terdapat gambar wajah Soekarno. Soekarno adalah salah satu orang hebat yang
dikenal dunia. Soekarno adalah presiden pertama Indonesia. Beliau adalah seorang
proklamator yang hebat, dapat memimpin dan disegani rakyat. Walaupun penulis
belum pernah merasakan kepemimpinan beliau tetapi penulis mengerti benar bahwa
Soekarno adalah tokoh besar yang disegani. Gambar wajah dan kata “BUNG”
merupakan perlambangan adanya sosok Soekarno di mural tersebut.
Soekarno yang bertanya: “MERDEKA BELUM BUNG?” adalah suatu
keanehan. Soekarno adalah sosok yang berperan penting dalam kemerdekaan
Indonesia. Beliau berperan sebelum Indonesia merdeka dan tetap berperan
sesudahnya, yaitu menjadi presiden untuk pertama kali. Menurut penulis mural
tersebut merupakan mural yang memiliki makna kritik sosial terhadap keadaan yang
ada. Keadaan kehidupan pada saat ini tidak lebih baik dari pada keadaan di masa
penjajahan. Pada masa penjajahan kelaparan dan penindasan dalah hal yang selalu
ada, jika dibandingkan dengan kehidupan sekarang hal ini masih memiliki kesamaan.
Pada masa sekarang ini masih banyak orang miskin yang kelaparan dan juga hidup
mereka tertindas. Banyak orang miskin yang sudah bekerja keras tetapi tetap saja
miskin, sedangkan orang-orang yang memiliki pangkat dan sudah kaya masih bisa
melakukan tindakan korupsi. Orang miskin selalu salah dan orang kaya selalu benar,
orang kaya bisa hidup seenaknya sendiri. Hal tersebut menurut penulis adalah suatu
2.3.1.2Mural dengan Menggunakan Tokoh Bung Tomo
Foto ini diambil di simpang empat Demangan
Pada dalam mural tersebut terdapat tulisan “KALAU MAU ANARKIS
JANGAN DI JOGJA DAB!”. Menurut penulis mural tersebut adalah wujud
peringatan sebelum melakukan tindakan pengusiran untuk orang-orang yang berbuat
anarki di Kota Yogyakarta. Terlepas akan atau sudah melakukan tindakan anarkis.
Menurut penulis tulisan dalam mural ini bukan ditujukan untuk masyarakat dari luar
Kota Yogyakarta. Panggilan “DAB” adalah sebuah panggilan yang akrab ditemui di
Kota Yogyakarta. Pada mural tersebut mengatakan bahwa pelaku tindakan anarki
yang dimaksud adalah warga Kota Yogyakarta itu sendiri.
Penulis juga memiliki hasil interpretasi lain, hal yang dimaksud dalam mural
tersebut adalah warga pendatang yang tinggal di Kota Yogyakarta. Para pendatang
tersebut sudah dianggap menjadi satu dalam bagian masyarakat Kota Yogyakarta
tanpa dibeda-bedakan. Selain itu pembuat mural juga ingin menunjukan bahwa
betapa baiknya masyarakat Kota Yogyakarta karena sudah menganggap mereka
bagian dari Kota Yogyakarta, bukan diluarnya atau digolong-golongkan dengan
kedudukan tertentu.
Tulisan ANARKIS kalau diperhatikan secara seksama maka akan terlihat
huruf $, lambang dari uang dollar. Penulis menginterpretasikan hal tersebut sebagai
kerusuhan yang bermotif uang. Terlepas dari sudah terjadi atau belum terjadi, mural
tersebut menjadi peringatan agar jangan berbuat anarki apalagi dengan berlandas
motif uang.
Pada sebelah tulisan tersebut juga terdapat gambar seseorang. Seseorang
tersebut menutupi wajahnya dan membawa semacam kertas bergambarkan lambang
perdamaian. Menurut interpretasi penulis tokoh itu menggambarkan seseorang yang
ingin menyampaikan pesan perdamaian. Wajah yang ditutupi adalah wujud bahwa
tokoh tersebut bukanlah seorang yang ingin dikenal orang lain. Interpretasi lain dari
penulis adalah tokoh tersebut memanglah bukan siapa-siapa. Tokoh dalam mural
tersebut tidak ditonjolkan siapa dia, tetapi pembuatnya lebih ingin menonjolkan pesan
Interpretasi lain dari penulis bahwa tokoh tersebut adalah simbol gambar
Bung Tomo. Bung Tomo adalah salah satu pejuang pemimpin pertempuran pada
tanggal 10 November 1945, pada saat ini hari bersejarah tersebut diperingati sebagai
Hari Pahlawan Nasional. Beliau berhasil menggerakkan dan membangkitkan
semangat rakyat Surabaya pada saat itu. Dengan adanya gambar karakter Bung Tomo
berarti mural tersebut memiliki makna agar mural itu dapat menggerakan dan
menyemangati masyarakat yang ada di Kota Yogyakarta agar tidak lagi bertindak
anarki apalagi jika disertai dengan alasan perekonomian.
Gambar di atas adalah foto Bung Tomo yang dikenal secara luas. Gambar atau foto dengan pose
semacam ini sangat mudah ditemukan. Dari mulai buku pelajaran Sekolah Dasar (SD) sampai dengan
2.3.1.3Mural dengan Menggunakan Tokoh Romo Driyarkara
Gambar di atas diambil di komplek PGSD lama Universitas Sanata Dharma
Romo Nicolaus Driyarkara adalah salah satu tokoh yang cukup ternama dalam
dunia pendidikan. Beliau adalah pendiri Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Beliau sangat memegang teguh prinsip humanis dalam pendidikan, visi humanisme
bertujuan untuk menyempurnakan kemanusiaan. Ada tiga hal yang dikenal dari
wujud implikasi pendidikan homonisasi dan humanisasi yang diperkenalkan beliau di
• Mendidik adalah suatu tindakan yang fundamental, yang bukan perbuatan
dangkal. Maka perbuatan itu didasari oleh kehendak yang melahirkan cinta
dari pendidik kepada “subjek yang sedang menjadi”.
• Pendidikan harus bersifat dialogis, suatu relasi antara subjek dengan subjek.
• Pendidikan mencakup nilai. Mendidik berarti memasukan anak ke dalam alam
nilai-nilai atau juga memasukkan dunia nilai-nilai ke dalam jiwa anak. Oleh
karena itu pendidikan tidak pernah netral, orientasi dalam pendidikan nilai itu
adalah nilai-nilai pancasila
(http://kongrespendidikan.web.id/humanisme-sebagai-prinsip-pendidikan-menurut-driyarkara.html).
Pada mural tersebut terbaca tulisan “Pendidikan Yang: Humanis, Dialogis,
Refletif“. Pada sebelah kanan pada tulisan tersebut juga terdapat gambar Romo N.
Driyarkara. Penulis menginterpretasikan gambar mural tersebut agar semua yang
melihat mural tersebut mengingat mendiang beliau dalam kiprahnya pada dunia
pendidikan. Seandainya ada yang belum tahu tentang siapa beliau, tentunya dengan
adanya mural tersebut akan membuat penasaran dan memancing penonton mural
tersebut akan mencari tahu siapa beliau.
Mural tersebut memiliki makna mengingatkan para pendidik yang ada pada
saat ini sedang mendidik dan ”yang sedang menjadi” agar dalam proses
ajar-mengajar masih memandang dan menggunakan nilai-nilai humanisme, sehingga
Makna yang lain adalah mengingatkan relasi antara pendidik dengan “yang
sedang menjadi”, wujud relasi tersebut diaktualisasikan dengan dialogis. Selain itu
juga terdapat makna agar dalam proses ajar-mengajar terdapat juga proses merefleksi
diri. Dengan adanya proses merefleksi diri nantinya akan diperoleh nilai-nilai
kehidupan.
2.3.1.4Mural dengan Menggunakan Tokoh Pramoedya Ananta Toer
Dalam mural tersebut terdapat tulisan :
“KALIAN SUDAH PANDAI BERBAHASA EROPA
KALIAN SUDAH PANDAI BERBUSANA EROPA
KALIAN SUDAH PANDAI BERVISUAL EROPA
TAPI KALIAN TETAP SAJA MONYET”
Kata-kata tersebut serupa dan memiliki arti yang sama dengan tulisan yang
ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer dalam novelnya yang berjudul Bumi Manusia.
Wajah Pramoedya juga tergambar pada sebelah kanan tulisan tersebut. Novel tersebut
menceritakan tentang seorang tokoh yang bernama Minke, seseorang berdarah Jawa
yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Dia bahkan lupa nama aslinya sendiri.
Minke adalah nama pemberian guru di sekolahnya. Ayahnya seorang bupati yang
menjunjung tinggi kebudayaan Jawa, tetapi Minke tidak suka akan hal itu dan
menganggapnya kolot. Kata-kata pada mural di atas dilontarkan Tuan Mellema
seorang berdarah Belanda kepada Minke pada saat berada di rumahnya.
“Kowe kira, kalau sudah pake pakean Eropa, bersama orang Eropa, bisa
sedikit bahasa Belanda lantas jadi Eropa? Tetap monyet!” (Toer, 2002 : 43), kata-kata
tersebut dilontarkan kepada Minke sebab Tuan Mellema tidak suka melihat orang
Pembuat mural menuliskan kalimat tersebut pada muralnya dengan tujuan
memperingatkan dan bahkan mungkin menghina orang-orang yang bersifat seperti
tokoh Minke dalam Novel Bumi Manusia tersebut. Eropa sudah menjadi tren sejak
dulu, Eropa yang dimaksud pada zaman dulu adalah Belanda. Zaman dulu
masyarakat menganggap Eropa adalah sesuatu yang hebat. Maka cara pandang orang
Eropa juga dianggap sebagai cara pandang yang lebih baik daripada cara pandang
orang Indonesia pada waktu itu. Kemudian orang-orang bersifat seperti “Minke” ini
mulai mempelajari bahasa Eropa, berbusana seperti orang Eropa, dan berpandangan
seperti orang Eropa, dan lupa kepada jati diri bangsa sendiri. Sedangkan Eropa yang
dijadikan tren pada saat ini adalah semua hal berkiblat pada kultur Eropa. Contohnya
penggunaan bahasa Inggris sebagai bahasa yang wajib diajarkan di sekolah-sekolah.
Pada sisi sebelah kanan mural terdapat juga gambar wajah Tokoh Pramoedya
Ananta Toer. Menurut interpretasi penulis, pembuat mural sengaja memberikan
gambar wajah tokoh Pramoedya dengan memiliki alasan-alasan tertentu.
Pramoedya adalah seorang tokoh yang memiliki pemikiran serius dan
idealisme yang kuat. Dengan adanya mural dengan gambar wajah Pramoedya bisa
jadi adalah salah satu upaya untuk membangkitkan cara berpikir yang kritis seperti
cara berpikir Pramoedya.
Tokoh tersebut adalah tokoh ternama pada zamannya. Pada saat ini nama
Pramoedya sudah jarang terdengar namanya. Interpretasi penulis yang lainnya adalah
pembuat mural berusaha mengenalkan kembali sosok Pramoedya karena memiliki
tulis-menulis sangat mudah didapatkan tetapi generasi muda pada saat ini tidak bisa
memanfaatkannya secara positif.
Generasi muda pada saat ini lebih memilih menuliskan sesuatu yang tidak
penting dan tidak berguna pada berbagai jejaring sosial yang dimilikinya. Adanya
fasilitas seperti gadget canggih dan internet seharusnya dapat memudahkan generasi
muda untuk lebih bisa menyalurkan pikiran-pikirannya bukan hanya menyalurkan
pola pikir yang labil dan manja. Keadaan hal tersebut sangat berbeda dengan zaman
yang dialami oleh Pramoedya. Pramoedya harus menuliskan pemikirannya dengan
menggunakan alat tulis manual. Mural dengan tokoh Pramoedya tidak hanya
memiliki kritik kepada generasi muda, tetapi juga sebagai sarana membangkitkan
semangat agar generasi muda memiliki karakter yang kuat seperti tokoh Pramoedya.
2.3.2 Makna Mural dengan Gambar Satwa
Penulis menemukan dua mural yang masuk dalam kategori mural dengan
gambar satwa di Kota Yogyakarta, yaitu mural bergambar monyet dan anjing. Berikut
2.3.2.1Mural dengan Satwa Monyet
Mural ini diambil di simpang empat Demangan
Dalam mural tersebut terdapat tulisan :
“KALIAN SUDAH PANDAI BERBAHASA EROPA
KALIAN SUDAH PANDAI BERBUSANA EROPA
KALIAN SUDAH PANDAI BERVISUAL EROPA
TAPI KALIAN TETAP SAJA MONYET”
Kata-kata tersebut serupa dan memiliki arti yang sama dengan tulisan yang
Wajah Pramoedya juga tergambar pada sebelah kanan tulisan tersebut. Novel tersebut
menceritakan tentang seorang tokoh yang bernama Minke, seseorang berdarah Jawa
yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Dia bahkan lupa nama aslinya sendiri.
Minke adalah nama pemberian guru di sekolahnya. Ayahnya seorang bupati yang
menjunjung tinggi kebudayaan Jawa, tetapi Minke tidak suka akan hal itu dan
menganggapnya kolot. Kata-kata pada mural di atas dilontarkan Tuan Mellema
seorang berdarah Belanda kepada Minke pada saat berada di rumahnya.
“Kowe kira, kalau sudah pake pakean Eropa, bersama orang Eropa, bisa
sedikit bahasa Belanda lantas jadi Eropa? Tetap monyet!” (Toer, 2002 : 43), kata-kata
tersebut dilontarkan kepada Minke sebab Tuan Mellema tidak suka melihat orang
pribumi berusaha meniru orang Eropa.
Pembuat mural menuliskan kalimat tersebut pada muralnya dengan tujuan
memperingatkan dan bahkan mungkin menghina orang-orang yang bersifat seperti
tokoh Minke dalam Novel Bumi Manusia tersebut. Eropa sudah menjadi tren sejak
dulu, Eropa yang dimaksud pada zaman dulu adalah Belanda. Zaman dulu
masyarakat menganggap Eropa adalah sesuatu yang hebat. Maka cara pandang orang
Eropa juga dianggap sebagai cara pandang yang lebih baik daripada cara pandang
orang Indonesia pada waktu itu. Kemudian orang-orang bersifat seperti “Minke” ini
mulai mempelajari bahasa Eropa, berbusana seperti orang Eropa, dan berpandangan
seperti orang Eropa, dan lupa kepada jati diri bangsa sendiri. Sedangkan Eropa yang
dijadikan tren pada saat ini adalah semua hal berkiblat pada kultur Eropa. Contohnya
Remaja-remaja zaman sekarang sudah berlomba-lomba menguasai bahasa
Inggris untuk kepentingan masa depan mereka, tetapi tidak sedikit juga yang
mempelajari bahasa Inggris hanya untuk gengsi. Kegiatan belajar bahasa inggris
dilakukan hanya untuk pamer dalam lingkup pergaulannya. Tidak ada salahnya
belajar bahasa negara lain, selama masih mau belajar bahasa sendiri. Yang menjadi
masalah adalah bukan keinginan untuk belajar, tetapi terlalu memandang baik secara
berlebihan bahasa negara lain. Taman kanak-kanak dan sekolah dasar pun sudah ada
yang menggunakan bahasa inggris dalam proses belajar mengajar, hal tersebut adalah
hal yang tidak masuk akal untuk penulis. Penulis menganggap hal seperti itu adalah
hal yang berlebihan dalam cara memandang bahasa negara lain.
Busana masyarakat zaman sekarang sebagian besar yang dijadikan tren adalah
Eropa, Kota Paris. Produksi yang berhubungan dengan busana pada saat ini sudah
banyak yang menjadikan Kota Paris sebagai acuan. Karena pemberitaan internasional
mengatakan Kota Paris adalah pusat mode, kemudian masyarakat percaya begitu saja
dan berpandangan bahwa model busana yang ada di Kota Paris adalah model busana
yang bagus. Dampak pola pandang tersebut menyebabkan masyarakat kalangan
menengah ke atas yang memiliki hobi belanja selalu memburu barang-barang terbaru
keluaran Eropa. Mereka kebanyakan mengaku bukan karena tren untuk membeli
produk Eropa tersebut, tetapi mereka membeli produk tersebut atas nama kualitas.
Salah satu contoh bahwa masyarakat diperdaya oleh Eropa adalah dengan produk
merk Hermes. Masyarakat menengah ke atas tidak akan asing mendengar merk
tersebut tidak hanya ratusan ribuan tetapi ada yang mencapai ratusan juta.
Ketertarikan masyarakat terhadap tas Hermes ini tidak disia-siakan begitu saja oleh
pengrajin yang ada di Indonesia. Tas merk Hermes palsu banyak ditemukan di
Indonesia, bahkan penjualannya sangat mudah ditemukan secara online.
Tas Hermes dibuat oleh keluarga Hermes yang berasal dari Jerman dan
menetap di Prancis. Pada tahun 1837 Thierry Hermes mempublikasikan merk Hermes
pertama kalinya, tas tersebut didedikasikan untuk purveying bangsawan Eropa. Pada
tahun 1855 memperoleh pujian dari pemerintah karena memenangkan exposition
universelle di Paris. Pada tahun 1867 merk Hermes kembali mendapat medali emas
pada kontes tersebut. Seandainya di Indonesia ada kontes semacam itu tentunya
pengrajin-pengrajin di Indonesia juga memiliki kesempatan lebih agar barang
produksinya dikenal oleh masyarakat luas.
Acuan busana Eropa adalah busana yang baik sudah dipahami oleh banyak
orang di Indonesia sehingga dijadikan tren, padahal di Indonesia sendiri terdapat
Contoh gambar tas Hermes Original
(http://cpopon.blogspot.com/2012/01/cara-membedakan-tas-hermes-asli-dengan.html)
Contoh tas buatan pengrajin di Manding, Bantul, Yoyakarta
Dalam hal keterampilan dan kreatif penciptaan pengrajin Indonesia tidak
kalah jika dibandingkan dengan pengrajin tas-tas bermerk di luar negeri. Pengrajin tas
di Indonesia hanya kalah dalam pola pikir masyarakat Indonesia sendiri yang terlalu
menganggap produk Eropa lebih baik dibandingkan produk Indonesia.
Dalam hal cara pandang, cara pandang orang Eropa dianggap lebih baik
daripada cara pandang orang Indonesia. Orang Eropa selalu dipandang lebih baik
karena keadaan di sana dirasa lebih baik daripada keadaan di Indonesia. Pandangan
tersebut menyebabkan banyak orang yang ingin menempuh pendidikan di Eropa.
Banyak orang yang tertarik untuk mempelajari budaya orang lain dan melupakan
budaya sendiri.
Interpretasi penulis secara keseluruhan tentang gambar tersebut adalah
sindiran keras terhadap masyarakat kebanyakan pada zaman sekarang ini yang terlalu
mengagung-agungkan Eropa, baik dari segi bahasa, busana, dan cara pandang.
Keadaan di Eropa dan di Indonesia tidak bisa dianggap sama karena keadaannya
memang benar-benar berbeda, sehingga sangat tidak masuk akal apabila cara pandang
mengenai bahasa, busana, dan pemikiran di Eropa dipaksakan di Indonesia.
Masyarakat yang memiliki cara pandang berlebihan terhadap Eropa secara tidak
2.3.2.2Mural dengan Menggunakan Satwa Orang Utan dan Anjing
Mural tersebut diambil pada simpang empat Demangan
Dalam mural tersebut terdapat tulisan “WORLD ANIMALS DAY. STOP
KEKERASAN TERHADAP SATWA! 4 OCTOBER 2012”. Makna yang ada dalam
mural tersebut untuk memperingati hari satwa sedunia yang diperingati secara
internasional setiap tanggal 4 Oktober. Selain itu dalam mural tersebut terdapat pesan
agar masyarakat menghentikan kekerasan kepada satwa, hal itu sampaikan jelas
dengan tulisan “STOP KEKERASAN TERHADAP SATWA”. Hal ini perlu ditulis
dalam mural agar masyarakat benar-benar sadar bahwa kekerasan terhadap satwa
harus dihentikan. Maraknya satwa yang sengaja dimusnahkan menjadi keprihatinan
satwa yang pernah dimuat media massa adalah pembantaian orang hutan di Pulau
Kalimantan.
Populasi orang utan sengaja dikurangi secara besar-besaran dengan cara
dianiaya dan dibunuh. Orang utan dianggap sebagai hama di kebun kelapa sawit.
Bahkan sebuah perusahaan dengan sengaja memberikan hadiah sebesar lima ratus
ribu sampai satu juta rupiah bagi orang yang bisa membunuh seekor orang utan. Hal
ini cukup memprihatinkan mengingat bahwa orang utan termasuk satwa yang
dilindungi secara hukum. Undang-Undang 5 tahun 1990 mengatur tentang konservasi
daya alam hayati di ekosistemnya, adanya undang-undang itu semakin
memperlihatkan sesuatu yang ironi ketika terbukti ada yang sengaja melanggarnya.
Foto orang hutan yang dianiaya
Penulisan “4 October 2012” adalah informasi pemberitahuan yang sengaja
dituliskan agar masyarakat mengerti bahwa pada setiap tanggal 4 Oktober adalah hari
satwa sedunia. Tanggal itu perlu ditulis karena banyak masyarakat yang kurang
peduli dengan keberadaan satwa yang ada di dunia, terutama masyarakat di Indonesia
sendiri.
Di sebelah kiri tulisan terdapat gambar orang utan, seperti yang
interpretasikan sebelumnya bahwa ada tema tertentu yang diangkat yaitu mengenai
orang utan. Masalah mengenai orang utan tersebut sudah menjadi perbincangan dunia
internasional, sehingga sungguh tidak masuk akal apabila masyarakat di Indonesia
tidak tahu dan tidak peduli mengenai hal tersebut.
Pada sebelah kanan tulisan terdapat gambar anjing. Anjing dalam mural
tersebut diinterpretasikan penulis sebagai anjing yang berjenis pitbull. Penulis
menginterpretasi sebagai anjing jenis pitbull karena jenis anjing tersebut memiliki
hubungan dengan kekerasan seperti yang tertulis dalam mural tersebut. Jenis anjing
tersebut seringkali dipelihara bukan sebagai penjaga rumah, tetapi anjing tersebut
dipergunakan sebagai anjing aduan. Perlombaan adu pitbull sudah sering dilakukan,
adu pitbull tersebut tidak selalu anjing pitbull melawan anjing pitbull tetapi juga
anjing pitbull melawan babi hutan.
2.3.3 Makna Mural dengan Menggunakan Tokoh Ciptaan Baru
Saat ini orang bisa dengan mudah menemukan tokoh baru dalam mural-mural
yang ada di Kota Yogyakarta. Tokoh tersebut sengaja dibuat untuk menunjukkan
identitas perseorangan atau kelompok yang sering melakukan pembuatan mural
Yogyakarta.
Tokoh mural yang dikaji oleh penulis adalah tokoh mural yang berinisial
“HeRe-HeRe”. “HeRe-HeRe” memiiki ciri khas tokoh dalam mural terebut adalah
kepala bundar dengan mulut tertawa. Mural dengan tokoh “HeRe-HeRe” tersebut
memiliki sebuah keunikan, tokoh tersebut dapat digambar dengan berbagai macam
karakter dan keadaan. Misalnya tokoh tersebut terlihat berpakaian seragam polisi lalu
lintas berarti dengan kostum tersebut tokoh “HeRe-HeRe” bisa diinterpretasikan
menarik untuk diteliti karena makna-makna yang terkandung di dalamnya sarat
dengan kritik sosial.
Tokoh ciptaan baru lainnya dalam mural yang ditemukan penulis tampak
dalam foto-foto berikut. Ada contoh lain dari tokoh ciptaan baru yaitu “ART PREK”
dan “Tuyuloveme”. Tokoh “ART PREK” selalu menampilkan tokoh yang
berubah-ubah, tokoh ciptaannya berbentuk abstrak dan tidak bisa dijelaskan itu adalah jenis
mahluk apa. “ART PREK” sendiri menurut penulis adalah sebuah komunitas.
Tokoh-tokoh yang diciptakan dalam mural bentuknya selalu berbeda-beda dan tidak pernah
sama. Ciri-ciri tokoh baru “ART PREK” adalah adanya bintik-bintik dan garis-garis
pendek dalam tokohnya.
Selain itu ada tokoh ciptaan baru dari pembuat mural yang menyebut diri
sebagai “Tuyuloveme” memiliki ciri tersendiri yaitu berwujud kepala manusia yang
berwarna hijau. Sebenarnya tokoh tersebut termasuk dalam kategori graffiti. Penulis
menyebutnya tokoh itu termasuk dalam kategori graffiti karena tokoh tersebut selalu
menjadi penghias pada gambar-gambar graffiti. Pola pewarnaan tokoh tersebut juga
terlihat rumit dan menarik seperti halnya pewarnaan dan bentuk pada graffiti. Tokoh
“Tuyuloveme” selalu menjadi penghias sebuah graffiti
Tokoh ciptaan baru dalam mural yang ditemukan penulis tampak dalam
Gambar 1 tokoh “ART PREK” (http://www.artprek.blogspot.com/)
Gambar 3 dari “ART PREK” (http://www.artprek.blogspot.com/)
Gambar 2 tokoh “Tuyuloveme” (http://www.tuyuloveme.com/)
Berikut ini adalah gambar-gambar yang sudah dianalisis oleh penulis. Penulis
memilih mural dengan tokoh ciptaan baru “HeRe-HeRe”. Mural dengan bentuk tokoh
tersebut memiliki bantuk yang unik dan khas. Tokoh tersebut dapat ditemui hampir di
2.3.3.1 HeRe-HeRe : MAU SIDANG ATAU BAYAR DI MUKA!
Foto polisi yang sedang melakukan razia sepeda motor
Mural tersebut bertuliskan “MAU SIDANG ATAU BAYAR DI MUKA!”.
Interpretasi penulis pertama kali pada saat membaca tulisan tersebut adalah mengenai
polisi dan tilang karena kalimat tersebut biasanya diucapkan saat seseorang diberi
tilang. Penulis pernah mengalami sendiri sewaktu berurusan dengan polisi. Polisi
selalu bertanya “mau sidang sendiri atau dititipkan saja?”.
Pertanyaan itu seakan-akan adalah tawaran bantuan yang diberikan polisi
kepada seseorang yang diberi tilang karena yang akan mengikuti sidang bukanlah
orang yang ditilang tetapi polisi yang akan mewakilinya. Orang yang ditilang tersebut
sewajarnya tentu akan merasa terbantu dengan tawaran itu. Adanya ketidakwajaran
tersebut yang menjadikan adanya gambar mural tersebut. Polisi dengan sengaja