• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pusat Data Statistik dan Informasi Kementrian Kelautan dan Perikanan 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Pusat Data Statistik dan Informasi Kementrian Kelautan dan Perikanan 2015"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Laut Natuna dalam Bingkai Kedaulatan Nasional Pendahuluan

Natuna merupakan kepulauan yang menjadi bagian dari Provinsi Kepulauan Riau yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 53 tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Siak, Kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi dan Kota Batam.

Secara astronomis, Kabupaten Natuna terletak pada titik koordinat 1016’-7019’ LU dan

1050000”-110000’ BT (Bujur Timur). Secara administratif, Kabupaten Natuna berbatasan dengan sebelah utara dengan Laut Cina Selatan, sebelah selatan dengan Kabupaten Bintan, sebelah barat dengan Semenanjung Malaysia, dan sebelah timur dengan Laut Cina Selatan.1

Di pengawal tahun 2020, terjadi kisruh di perairan Natuna Utara yang melibatkan Republik Rakyat Tiongkok dan Indonesia. Hal ini bermula karena aktifitas nelayan Tiongkok yang sedang mengambil ikan secara ilegal atau ilegal, unreported and unregulated fishing

(IUU) di perairan Natuna Utara pada tanggal 30 Desember 2019 yang kemudian mendapat tindakan tegas berupa pengusiran oleh armada Indonesia. Hal ini juga dibarengi oleh pengiriman protes dengan cara memanggil Duta Besar Tiongkok untuk Indonesia. Kendati telah mendapat tindakan tegas, namun pada Kamis 2 Januari 2020, Tiongkok mengirimkan

(3)

Coast Guard atau penjaga pantai untuk mengawal nelayan Tiongkok dalam mengambil ikan di wilayah Natuna.2 Berdasarkan laporan Tirto, pada 3 Januari 2020, masih tampak tiga kapal

coast guard Tiongkok.3

Tiongkok mengklaim bahwa mereka tidak melanggar sama sekali kedaulatan Indonesia karena berpegang teguh pada prinsip nine dash line. Pernyataan ini disampaikan oleh Geng Shuang selaku Juru Bicara Kemenlu Tiongkok, yang mana Shuang juga menyebutkan bahwa Tiongkok memiliki hak dan kepentingan atas perairan yang relevan atau relevant waters.4

Pemerintah Republik Indonesia merespon secara cepat dengan mengadakan rapat bersama yang dipimpin oleh Mahfud—Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan—terkait dengan banyaknya kapal-kapal asing yang masuk ke area Natuna pada 3 Januari 2020. Rapat tersebut dihadiri oleh Kementrian Perhubungan, Kementrian Hukum dan HAM, Kementrian Pertahanan, Kementrian Luar Negeri, Badan Keamanan Laut, Panglima TNI, dan Perwakilan Polri.5

Rapat tersebut menghasilkan 4 poin sikap Pemerintah Republik Indonesia atas klaim Tiongkok di Natuna6

1. Telah terjadi pelanggaran oleh kapal-kapal Tiongkok di wilayah ZEE Indonesia 2. Wilayah ZEE Indonesia telah ditetapkan oleh hukum internasional melalui UNCLOS

1982

3. Tiongkok merupakan salah satu anggota dari UNCLOS 1982, oleh karenanya sudah merupakan kewajiban untuk menghormati implementasi dari UNCLOS 1982

4. Indonesia tidak pernah akan mengakui nine dash line, klaim sepohak yang dilakukan oleh Tiongkok yang tidak memiliki alasan hukum yang diakui oleh hukum internasional terutama UNCLOS 1982

2 Rahajeng Kusumo. 2020. Ini Kronologis RI Protes Keras Klaim China Soal Natuna. Diakses di

https://www.cnbcindonesia.com/news/20200104193648-4-127681/ini-kronologis-ri-protes-keras-klaim-china-soal-natuna pada 1 Juni 2020

3 Herdanang Ahmad Fauzan. 2020. Bababk Baru Konflik Indonesia dan China di Atas Perairan Natuna. Diakses di https://tirto.id/babak-baru-konflik-indonesia-dan-Tiongkok-di-atas-perairan-natuna-eqov pada 1 Juni 2020 4Ibid.,

5 Rahajeng Kusumo., loc.cit

6 Kompas. 2020. Kumpulkan Menteri, Menko Polhukam Mahfud bahas konflik Natuna. Diakses di

https://nasional.kompas.com/read/2020/01/03/14035701/kumpulkan-menteri-menko-polhukam-mahfud-md-bahas-konflik-natuna pada 1 Juni 2020

(4)

Karena situasi yang terus memanas, Presiden Jokowi pada 8 Januari 2020 bertolak menuju Natuna untuk melakukan kunjungan kerja sekaligus memimpin rapat terbatas. Pasca kunjungan ini, Kapuspen TNI, Mayjen Sisriadi mengatakan bahwa kapal-kapal Tiongkok yang melakukan

illegal fishing di Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia sudah pergi.7 Hal ini dilanjutkan dengan adanya operasi rutin yang melibatkan delapan unit kapal perang dan pesawat udara yang berpatroli hingga dua kali terbang.8

Kendati telah mendapati teguran keras, bedasarkan pantauan udara yang dilakukan TNI menggunakan pesawat intai maritim Boeing 737 AI-7301, TNI masih mendapat adanya kapal ikan asing atau KIA di perairan Natuna yang berjumlah 30 kapal pada 12 Januari 2020.9

Isu ini menarik perhatian publik karena berkaitan dengan isu kedaulatan. Hal ini juga menjadi kompleks karena sengketa Laut Tiongkok Selatan bukanlah kali pertama dirasakan Indonesia. Selain itu, komitmen Pemerintah dalam menegakan hukum di wilayah perbatasan kembali menjadi sorotan oleh masyarakat.

Sengketa Laut China Selatan: Indonesia dan Tiongkok

“Nine Dash Line” atau dulunya disebut sebagai “Ten Dash Line” dan “Eleven Dash Line” adalah garis yang digunakan oleh Tiongkok untuk mengklaim mayoritas Laut China

Selatan dan dalam prosesnya mengklaim wilayah kedaulatan dan wilayah ekonomi eksklusif negara di sekitar laut Tiongkok Selatan. Tiongkok mengklaim bahwa mereka memang memiliki ikatan historis yang kuat dengan wilayah Laut China Selatan, hal ini didasari pada klaim bahwa mereka merupakan bangsa beradab pertama yang mengembangkan perdagangan dan mencatatkan wilayah Laut China Selatan dalam catatan peradaban mereka.10

Bukti sejarah mengenai keberadaan upeti dari suku-suku di wilayah Laut China Selatan dan kepulauan disekitarnya kepada kaisar Tiongkok dapat dilacak hingga abad ke-3 sebelum masehi dengan catatan dari buku puisi Shi Jing dengan penyebutan pertama berupak Nan Hai (Laut Selatan) dari periode antara era “warring state” dinasti Qing dan dinasti Han (475-221

7 CNBC Indonesia. 2020. Mantap! TNI: Tak Ada Lagi Kapal China Pasca Jokowi Ke Natuna. Diakses di

https://www.cnbcindonesia.com/news/20200109153546-4-128876/mantap-tni-tak-ada-lagi-kapal-china-pasca-jokowi-ke-natuna pada 1 Juni 2020

8Ibid.,

9 Kompas. 2020. Pasca Kunjungan Jokowi di Natuna, Kapal Ikan Masih Terdeteksi. Diakses di

https://regional.kompas.com/read/2020/01/12/11215621/pasca-kunjungan-jokowi-di-natuna-kapal-ikan-asing-di-natuna-masih-terdeteksi?page=all pada 1 Juni 2020

10 Gao, Z., & Jia, B. B. 2013. The Nine Dash Line in the South China Sea: History, Status, and Implications. American Journal of International Law, 107(1), 98-123

(5)

SM).11 Pada periode dinasti Han (221 SM - 220 M) peran laut selatan (Nin Shi) semakin signifikan terutama dengan dibukanya jalur sutra laut yang merupakan jalur perdagangan yang menghubungkan dinasti-dinasti Tiongkok ke Mediterania dan akhirnya kepada kekaisaran Romawi, kemudian jalur sutra laut mengalami perkembangan signifikan pada periode dinasti Tang hingga dinasti Song (618-1279 M) dan kembali terhenti pada periode dinasti Ming akhir dan awal dinasti Qing yang melarang perdagangan maritim (1474-1551).12 Jalur perdagangan ini kemudian kembali mengalami titik vokal pasca perang opium pada 1840 yang melibatkan dinasti Qing dengan negara-negara eropa terutama Inggris dan sebagai hasilnya memaksa Tiongkok membuka perbatasannya terhadap kapal-kapal eropa dan kembali menghidupkan perdagangan antara barat dan timur.

Signifikansi inilah yang mendorong Tiongkok untuk mengklaim wilayah Laut China Selatan sebagai bagian dari wilayah kedaulatan mereka bahkan sebelum berdirinya Republik Rakyat Tiongkok. Meskipun peta dimasa lalu kekurangan akurasi, namun peta-peta tersebut sudah mencatumkan wilayah Laut China Selatan sebagai bagian dari wilayah kekuasaaan Tiongkok. Sehingga, seiring masuknya abad ke-20 pemerintah Tiongkok semakin menyadari akan pentingnya pemetaan wilayah kedaulatan Tiongkok di laut selatan terutama mengingat signifikansi wilayah tersebut secara Geopolitik. Sebagai bentuk kesadaran tersebut pemerintah Tiongkok (Republik Tiongkok) mengutus kartografer pada 1914 untuk memetakan wilayah

“mereka” di Laut China Selatan, dan pada tahun 1935 rampunglah apa yang akan menjadi cikal bakal “Nine-Dash Line” berupa peta yang menampilkan 132 nama dalam bahasa Tiongkok untuk pulau-pulau di Laut China Selatan.13

Namun klaim Tiongkok terhadap kepulauan selatan harus terdisrupsi akibat perang dunia 2 dan pendudukan Jepang pada sebagian wilayah Tiongkok Laut China Selatan, sehingga pasca Perang Dunia 2 Tiongkok kembali mengklaim wilayah tersebut lewat perjanjian Cairo pada tahun 1946 dan pasca perjanjian tersebut Tiongkok langsung mengutus angkatan lautnya untuk meletakan patok di beberapa pulau di Laut China Selatan dan memperluas peta klaim wilayah tahun 1935 untuk mencakup bukan hanya 132 pulau tapi 172 pulau di laut China

11 Shen, J. 2002. China's Sovereignty over the South China Sea Islands: A Historical Perspective. Chinese J. Int'l

L., 1, 94.

12 Kauz R (ed). 2010. Aspects of the Maritime Silk Road: From the Persian Guld to the East China Sea. Wiesbaden: Harrassowitz Verlag., hlm. 96

(6)

Selatan dan secara efektif mengklaim 90% wilayah Laut China Selatan sebagai bagian teritori

Tiongkok dengan menggambar “Eleven-Dash Line” dan secara efektif pula menjadikan Tiongkok ada di jalur singgung dengan negara-negara seperti Vietnam, Filipina, Indonesia dan Malaysia.14

Klaim tersebut bertahan hingga tahun 1951, dimana pasca partai komunis menggulingkan Republik Tiongkok pada 1949 dibawah perdana mentri Zhou Enlai, Republik Rakyat Tiongkok sepakat untuk mengurangi dua garis dari klaim kemaritimannya di Laut China Selatan di Teluk Tonkin dan memberikannya kepada Vietnam sebagai bentuk dukungan pada revolusi komunis yang terjadi di wilayah tersebut. Sehingga pada 1951 bisa dimakarsai

sebagai tahun lahirnya “Nine-Dash Line” yang menjadi polemik hingga saat ini bagi negara-negara di Laut Tiongkok Selatan yang mengklaim kedaulatan di wilayah yang dikuasai oleh

Tiongkok. Bila disimpulkan dari tulisan diatas, “Nine-Dash Line” memang memiliki nilai historis dan kultural yang kuat bagi Republik Rakyat Tiongkok dan penduduknya, meskipun klaim atas dasar historis mereka melanggar peraturan Mahkamah Internasional dan UNCLOS, kuatnya nilai yang tertanam akan menjadikan sulit bagi Tiongkok untuk menarik mundur klaim kedaulatannya atas pulau-pulau di Laut China Selatan.

Laut China Selatan merupakan titik vokal dalam kemanan Geopolitik Tiongkok, lebih dari setengah partner dagang utama Tiongkok berada entah di Laut Tiongkok Selatan atau mengharuskan akses kepada Laut China Selatan. Keadaan ini membuat perdagangan Tiongkok rentan untuk di blokade apabila Tiongkok membiarkan kedaulatan Laut China Selatan jatuh ke tangan negara lain, oleh sebab itu Tiongkok memiliki kewajiban untuk memperkuat kehadiran mereka di Laut China Selatan sebagai dampak masalah keamanan dari segi perdagangan. Selain itu dengan pengendalian total dari Laut China Selatan, Tiongkok bisa mendapatkan keuntungan dalam negosiasi politik Internasional. Hal ini karena nilai perdagangan di Laut China Selatan sangat besar, melansir dari laman katadata, nilai perdagangan di Laut Tiongkok Selatan pada 2016 sudah mencapai $3,37 trilliun atau setara Rp. 47.180 trilliun,15 jauh lebih besar dibandingkan GDP Indonesia yang hanya mencapai sekitar $ 1,022 trilliun pada 2019.16

14Ibid.,

15 Yosepha Pusparisa. 2020. Tiongkok Kuasai Ekspor Jalur Laut Cina Selatan. Diakses di

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/01/06/tiongkok-kuasai-ekspor-jalur-laut-cina-selatan pada 1 Juni 2020

(7)

Hal ini menjadi salah satu faktor yang menyebabkan Tiongkok nampak sangat menjaga Laut China Selatan. Karenanya, bukan hal aneh apabila terjadi sengketa antara Tiongkok dengan negara-negara tetangga, salah satunya adalah Indonesia. pada intinya sengketa yang terjadi di area Laut Tiongkok Selatan selalu berkaitan dengan masalah tumpang tindih dengan garis batas imanjiner nine dash line yang ditetapkan oleh Tiongkok.

Hal ini selalu bermuara pada pemanfaatan sumber daya laut seperti ikan yang selalu memulai hubungan panas di antara Tiongkok dan Indonesia. Tiongkok yang mengakui nine dash line selalu mengatakan bahwa Laut China Selatan merupakan daerahnya dimana nelayan-nelayan tradisional yang berasal dari Tiongkok dapat memanfaatkan sumber daya laut. Namun, Indonesia yang berpegang teguh pada UNCLOS 1982 tidak mengakui hal tersebut karena merasa laut Natuna Utara yang masih satu area dengan Laut China Selatan merupakan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Dalam hal ini, sengketa yang didapati antara Tiongkok dan Indonesia bermula dari nelayan-nelayan Tiongkok yang masuk ke area ZEE Indonesia di laut Natuna Utara.

Masuknya nelayan-nelayan Tiongkok yang memanfaatkan sumber daya laut— khususnya penangkapan ikan—di Natuna dikategorikan sebagai illegal, unreported, and unregulated fishing (IUUF). Penggunaan istilah ini ditemukan dalam laporan pertemuan XVI komisi pada tahun 1997 dan dalam sebuah surat kepada Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO). Dalam penelitian tentang Perikanan Natuna dan Kesejahteraan Nelayan Pasca Penerapan Kebijakan IUU Fishing, IUU diartikan sebagai17

Illegal Fishing diartikan sebagai kegiatan penangkapan ikan secara ilegal yang dilakukan oleh kapal penangkap ikan nasional atau asing di perairan Zone Ekonomi Ekskulusif suatu negara, artinya kegiatan penangkapan tidak memiliki izin melakukan penangkapan ikan dari negara bersangkutan dan bertentangan dengan peraturan yang berlaku, dilakukan oleh kapal-kapal penangkapan ikan yang mengibarkan bendera suatu negara yang menjadi anggota organisasi pengelola perikanan regional tetapi beroperasi bertentangan dengan ketentuan konservasi dan pengelolaan yag diadopsi oleh organisasi atau ketentuan yang relevan dengan hukum internasional yang berlaku, atau dilakukan oleh kapal penangkap ikan yang melanggar

17 Khodijah Ismali, dll. 2018. Perikanan Natuna dan Kesejahteraan Nelayan Pasca Penerapan Kebijakan IUU

(8)

hukum naisonal atau kewajiban internasional, termasuk yang dilakukan oleh negara yang bekerjasama dengan organisasi pengelolaan perikanan regional yang relevan.18

Unregulated fishing diartikan sebagai tindakan untuk menangkap ikan yang tidak ada tindakan konservasi atau pengelolaan yang berlaku dan dimana kegiatan penangkapan ikan tersebut dilakukan dengan cara yang tidak konsisten dengan tanggung jawab negara untuk konservasi sumber daya laut sesuai hukum internasional.19

Unreported Fishing diartikan sebagai tidakan menangkap ikan yang tidak pernah dilaporkansecara tidak benar kepada instansi yang berwenang, tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan nasional. Atau penangkapan yang dilakukan di area yang menjadi kopetensi regional, namun tidak pernah dilaporkan atau dilaporkan secara tidak benar, tidak sesuai dengan prosedur pelaporan dari organisasi tersebut.20

Apa yang dilakukan oleh nelayan-nelayan Tiongkok dapat dikatakan sebagai poaching

atau pirate fishing yaitu penangkapan ikan yang dilakukan oleh negara lain tanpa izin dari negara yang bersangkutan. dalma hal ini digolongkan sebagai pencurian murni ilegal yaitu proses penangkapan ikan dimana kapal asing menggunakan benderanya sendiri untuk menangkap ikan di wilayah negara lain.21

Peranan Natuna untuk Perekonomian Indonesia

Laut Natuna Utara merupakan bagian dari Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPP NRI) 711. Perairan tersebut meliputi: perairan Selat Karimata, Laut Natuna Utara dan Laut Tiongkok Selatan. Lautan Natuna Utara merupakan perairan strategis dengan berbagai potensi termasuk potensi sumber daya ikan.22

Perairan WPP 711 termasuk Laut Natuna Utara kaya dengan berbagai potensi ikan yang didasarkan pada data dari Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanann No. 45/MEN/2011 dan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 47/KEPMEN-KP/2016.

Dalam data yang dirilis oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan, berikut merupakan potensi ikan pada WPP RI 711 termasuk Laut Natuna Utara23

18Ibid.,

19Ibid., 20Ibid., 21Ibid.,

22 Armen Zulham, dkk. 2017. Rekomendasi Pengembangan Perikanan Tangkap di Natuna dan Sekitarnya. Depok: Rajawali Pers., hal. 1

(9)

Pada tahun 2011, dari total potensi ikan 1.059 ribu ton, terdapat: ikan pelagis kecil 58,7%, ikan pelagis besar 6,2%, ikan demersal 31,6%, ikan karang 2%, udang 1,1%, lobster 0,04%, cumi-cumi 0,3%. Pada tahun 2016 total potensi ikan tersebut meningkat menjadi 1.143,3 ribu ton yang terdiri dari ikan pelagis kecil turun menjadi 34,59%, ikan pelagis besar 17,40%, ikan demersal meningkat menjadi 35,03%, ikan karang 2,13%, udang paneid 6,82%, lobster 0,09%, kepiting 0,04%, rajungan 0,83%, cumi-cumi meningkat menjadi 3,07%. Sementara pada tahun 2017 di WPP 711, berdasarkan Kepmen KP No. 50/Kepmen-KP/2017 adalah 767.155 ton, angka ini menunjukan potensi ikan pada WPP tersebut turun dibandingkan tahun 2011 dan 2016. Hal ini berarti laju pemanfaatan potensi ikan lebih tinggi dari laju pemulihan potensi ikan yang terdapat pada WPP 711.24

Selain potensi ikan, Laut Natuna Utara juga menyimpan kekayaan melimpah dalam gas alam. Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral pada tahun 2017 mencatat bahwa volume gas di tempat (Initial Gas in Place/IGIP) di blok East Natuna mencapai 222 trilliun kaku kubik (TFC). Dengan cadangan gas terbukti sebesar mencapai 46 TFC dimana satu lapangan gas tersebut berpotensi memberikan pendatan hingga $158 miliar atau Rp 2,200 trilliun bila berpatokan pada harga gas alam di Amerika Serikat,25 jauh lebih besar jika dibandingkan dengan cadangan gas Masela hanya 10,47 TFC. Sementara potensi minyak di Blok East Natuna sekitar 36 juta barel (MMBO).26 Atau setara dengan $ 2 milliar atau Rp 29 trilliun rupiah berpatokan pada harga minyak dunia 13 Januari 2019.27

24Ibid.,

25 Diakses dari https://www.eia.gov/dnav/ng/hist/n3035us3m.htm pada 1 Juni 2020 26 Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral 2017

(10)

Dari data yang diberikan pada poin diatas bisa disimpulkan bahwa Natuna memiliki potensi Sumber Daya Alam yang sangat melimpah, Natuna memiliki sumber daya baik dari gas alam, minyak hingga perikananan. Hal ini membuat Natuna memiliki nilai strategis bagi Indonesia dikarenakan kemampuannya dalam mendongkrak perekonomian nasional dan menjamin hajat hidup orang banyak.

Natuna dalam Perspektif United Nations Convention on The Law of The Sea 1982

Dalam mempertahankan kedaulatannya di perairan Natuna, Indonesia memiliki dasar hukum kuat yang dapat dipergunakan sebagai alat untuk melawan Tiongkok yakni menggunakan UNCLOS 1982. UNCLOS atau United Nations Convention on The Law of The Sea adalah hasil konferensi yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) dan berlangsung pada 1973 sampai dengan 1982.28 Sampai saat ini sudah ada 158 negara yang telah

bergabung termasuk Uni Eropa. Pada isu klaim Natuna Utara ini, Tiongkok mendasarkan klaim atas kepemilikan beberapa kepulauan di Cina Selatan dan pulau lain disekelilingnya termasuk Natuna dengan menggunakan klaim jajak historis dan dalam beberapa kasus lainnya menggunakan metode penemuan, penamaan serta faktor penguasaan yang sudah terjadi lebih dari dua ribu tahun silam. Tak ayal tindakan mereka sontak menjadi sorotan dunia Internasional

28 Panos Koutrakos, Achilles Skordas. 2014. The Law and Practice of Piracy at Sea: European and

(11)

dan menjadi polemik yang telah diprotes oleh berbagai negara di Asia Tenggara diantaranya Vietnam, Brunei, Filipina dan Malaysia.29

Menanggapi isu klaim Natuna Utara sebagai kepunyaan milik Tiongkok yang mereka deklarasikan baru-baru ini, Kementerian Luar Negeri Indonesia dengan tegas menampik tindakan tersebut dengan menyampaikan tiga hal penting. Pertama, tindakan Tiongkok yang mengklaim berdasarkan klaim historis merupakan tindakan yang bersifat unilateral dan tidak memiliki dasar hukum serta tidak pernah diakui oleh UNCLOS 1982 sebagaimana telah dibahas melalui SCS Tribunal 2016. Selain itu, Indonesia juga menolak relevant waters yang diklaim oleh Tiongkok karena tidak sesuai dan lagi-lagi tidak ada dalam UNCLOS 1982.

Kedua, Indonesia menantang pihak atau otoritas Tiongkok untuk dapat membuktikan kedaulatannya atas Natuna dengan mendasarkan argumentasinya berdasarkan UNCLOS 1982 bukan dengan Nine dashline dan Historic right-nya. Ketiga, Indonesia menyatakan tidak memiliki klaim tumpang tindih atau opperlaping jurisdiction dengan Tiongkok sehingga tidak memiliki kepentingan untuk mengadakan dialog terkait delimitasi batas maritim sebab Indonesia juga tidak mengakui Nine dash-line karena bertentangan dengan UNCLOS 1982, terlebih garis imajiner tersebut juga dibuat sendiri oleh pemerintah Tiongkok yang digunakannya untuk mengklaim wilayah di laut Cina Selatan yang terbentang dari kepulauan Paracel (wilayah Cina yang diklaim Vietnam dan Taiwan) sampai dengan Kepulauan Spratly yang disengketakan oleh 5 (lima) negara yakni Filipina, Brunei, Malaysia, Taiwan dan Vietnam.30

Aksi yang dilakukan Indonesia merupakan hal yang legal karena didasarkan dan sesuai dengan UNCLOS 1982. Tindakannya juga merefleksikan kepatuhan Indonesia karena sudah bersifat mengikat sebagaimana dikonkritkan melalui Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985. Pengakuan resmi ini merupakan perwujudan satu kesatuan wilayah sesuai dengan deklarasi Djuanda 1957.31

29 Prameshwari Ratna dkk. 2017. KLAIM TIONGKOK TENTANG TRADITIONAL FISHING GROUND DI

PERAIRAN NATUNA INDONESIA DALAM PERSPEKTIF UNCLOS 1982. Diponegoro Law Journal, Vol. 6, Nomor 2, Tahun 2017, hlm. 10.

30 Rahajeng Kusumo, Op.Cit

31 Damos Dumoli Agusman dkk. 2020. The archipelagic-state concept a quid pro quo, diakses dari

https://www.thejakartapost.com/academia/2019/12/14/the-archipelagic-state-concept-a-quid-pro-quo.html

(12)

(*Kemenko Kemaritiman)

Menurut pada Pasal 121 UNCLOS 1982 menyatakan bahwa negara yang memiliki kedaulatan atas pulau memiliki hak kedaulatan sebesar 12 mil laut wilayah dan 200 mil berdasarkan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di sekitar pulau tersebut. Melihat kepada Pasal 47 dan Pasal 49 UNCLOS 1982, menyatakan kedaulatan atas kepulauan yang dimiliki oleh suatu negara menyebabkan negara tersebut memiliki hak untuk menarik garis pangkal lurus diantara pulau terluar serta memiliki hak kedaulatan atas sumber daya alam yang terkandung di dalamanya yang berada di garis pangkal lurus tersebut.

Konvensi ini mengakui pula ZEEI yang berada di perairan Natuna Utara dan sekaligus secara eksplisit menegaskan bahwa kegiatan eksploitasi sepihak bahkan klaim atas hak eksploitasi di Natuna oleh Tiongkok dengan dasar Nine dash-line merupakan klaim yang tidak diakui oleh hukum internasional dan menjadi keputusan Tiongkok yang kontroversial sebagaimana dijelaskan oleh Pengamat hukum internasional Julian Ku, karena tak pernah dijelaskan secara terbuka dan tidak dipayungi hukum.32

32 Victor Maulana. 2020. Nine Dash Line China di LCS Tak Punya Dasar Hukum. diakses di

https://international.sindonews.com/read/1137570/40/nine-dash-line-china-di-lcs-tak-punya-dasar-hukum-1473259660 Pada 1 Juni 2020

(13)

(*Menurut kepada putusan PCA sebuah lembaga di bawah PBB menyatakan bahwa klaim Cina atas Natuna adalah tidak sah jika didasarkan pada Historic rights dan Nine dash-line sebagaimana sesuai dengan gugatan pada 2016 di Filipina.)

Penguatan wilayah laut yang dimiliki oleh Indonesia diperkuat pula oleh Undang-undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan dan menjadikan deklarasi Djuanda dan UNCLOS 1982 sebagai momentum yang dapat memperkukuh kedaulatan Indonesia atas wilayah lautnya. Menurut guru besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Sigit Riyanto, apabila suatu negara ingin mengklaim suatu wilayah maka menurut UNCLOS 1982, pengajuan klaim atas wilayah itu tidak bisa dilakukan secara sepihak melainkan harus melalui perundingan dengan negara terkait baik multilateral ataupun bilateral. Dengan demikian, klaim yang diajukan sepihak oleh Tiongkok merupakan bentuk pengajuan klaim yang tidak dapat diterima karena tidak sesuai dengan syarat yang termaktub dalam UNCLOS 1982. Perundingan ini pun nanti harus dituangkan secara tertulis dalam bentuk perjanjian.

Kemudian menurut guru besar Hukum Internasional Universitas Padjadjaran Atip Latipulhayat, secara tegas melalui ZEE atas dasar UNCLOS di Natuna Utara dapat melindungi hak Indonesia sebagai negara kepulauan. Menurutnya ketika Indonesia memiliki ZEE maka diatasnya terdapat hak berdaulat yakni kewenangan dalam melakukan eksplorasi, tujuan eksplorasi, mengeksploitasi di zona ekonomi tersebut seperti pembangkitan dengan tenaga angin, arus dan air. Upaya yang dapat dilakukan untuk memperjelas hak ini dapat diwujudkan dengan menegaskan kehadiran fisik Indonesia secara konsisten di perairan Natuna utara. Mengutip pendapat Ono Surono, anggota Komisi DPR IV mengatakan, apabila Indonesia tidak dapat memanfaatkan haknya dengan baik maka sesuai dengan Pasal 68 UNCLOS, negara lain dapat memanfaatkan sumber daya alam (SDA) milik Indonesia jika memang terbukti bahwa

(14)

Indonesia tidak mampu mengeksplorasi seluruh sumber daya alamnya terutama ikan sesuai dengan hitungan yang boleh ditangkap. Menurut Ono bentuk kehadiran fisik ini dapat diwujudkan dengan mengubah peraturan di Kementerian Kelautan dan Perikanan terlebih dahulu, diantaranya ;

Pertama, mengizinkan kembali perikanan besar yang dulu izinnya dicabut untuk kembali beroperasi dengan tetap berpegang pada prinsip milik dan modal murni Indonesia.

Kedua, mencabut larangan pembangunan kapal perikanan maksimal bernilai 150 grosston.

Ketiga, memperbanyak kapal pengangkut ikan serta mengizinkan transhipment di tengah laut dengan pengawasan yang ketat. Keempat, melakukan pembenahan di Natuna dengan memperbaiki Sentra Kelautan Perikanan Terpadu (SKPT) sehingga dapat beroperasi secara maksimal dalam menampung kapal dan operasi hasil penangkapan menjadi lebih optimal.

Lalu bagaimana konsekuensi hukum yang dapat diterima Tiongkok ketika melanggar ketentuan dalam UNCLOS? Menurut Atip, tindakan Tiongkok telah melanggar Pasal 111 UNCLOS 1982 yang menyatakan :33

“The hot pursuit of a foreign ship may be undertaken when the competent authorities of the coastal State have good reason to believe that the ship has violated the laws and regulations of that State. Such pursuit must be commenced when the foreign ship or one of its boats is within the internal waters, the archipelagic waters, the

territorial sea or the contiguous zone of the pursuing State, and may only be

continued outside the territorial sea or the contiguous zone if the pursuit has not been interrupted..”

Berdasarkan Pasal di atas maka terdapat kewenangan yang disebut dengan hak pengejaran (right of hot pursuit) yang dimiliki oleh Indonesia untuk mengusir kapal negara lain di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif, kewenangan ini didukung pula karena Indonesia memiliki posisi yang cukup kuat dalam menegakan komitmennya pada hukum Internasional sebab Indonesia merupakan bagian dari anggota tidak tetap PBB. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi Indonesia untuk memperlunak hukumnya dengan Tiongkok karena alasan apapun sebab haknya sudah dijamin tanpa celah dalam mempertahankan kedaulatan di Natuna Utara berdasarkan Konvensi Hukum laut 1982.

(15)

Penutup

Isu Laut Natuna menjadi salah satu isu yang menarik perhatian publik di pengawal tahun 2020. Di satu sisi, sumbangsih Laut Natuna terhadap perekonomian Indonesia sangat besar. Namun, terdapat catatan-catatan atas pemanfaatannya yang harus mengedepankan aspek lingkungan hidup yang berkelanjutan.

Mengenai pengakuan Tiongkok yang bersikukuh menggunakan nine dash line sebagai sarana untuk mengakui Laut Natuna sebagai bagian dari wilayah Tiongkok tentu menjadi ancaman sendiri. Selain itu, pengakuan berdasarkan nine dash line yang dipengaruhi oleh faktor historis tentu tidak beralasan. Apalagi sejak UNCLOS dijadikan rujukan dalam hal hukum laut internasional. Tentu keberlakuannya haruslah ditegakan oleh negara-negara di era modern.

Pemerintah harus mengambil langkah taktis dalam rangka menjaga kedaulatan di Laut Natuna. Hal ini dimaksudkan agar pemanfaatan Laut Natuna dapat dilakukan untuk kepentingan rakyat Indonesia melalui nelayan-nelayannya. Upaya menjaga kedaulatan ini juga dimaksudkan agar tidak ada lagi penangkapan ikan secara ilegal oleh nelayan-nelayan asing.

(16)

Referensi Buku

Armen Zulham, dkk. 2017. Rekomendasi Pengembangan Perikanan Tangkap di Natuna dan Sekitarnya. Depok: Rajawali Pers

IMF. 2019. World Economic Outlook Database, October 2019. International Monetary Fund Kauz R (ed). 2010. Aspects of the Maritime Silk Road: From the Persian Guld to the East China Sea. Wiesbaden: Harrassowitz Verlag

Panos Koutrakos, Achilles Skordas. 2014. The Law and Practice of Piracy at Sea: European and International Perspectives. United Kingdom : Hart Publishing Ltd

Karya Tulis

Gao, Z., & Jia, B. B. 2013. The Nine Dash Line in the South China Sea: History, Status, and Implications. American Journal of International Law, 107(1)

Khodijah Ismali, dll. 2018. Perikanan Natuna dan Kesejahteraan Nelayan Pasca Penerapan Kebijakan IUU Fishing. Laporan Penelitian Institut Penelitian Bogor

Prameshwari Ratna dkk. 2017. KLAIM TIONGKOK TENTANG TRADITIONAL FISHING GROUND DI

PERAIRAN NATUNA INDONESIA DALAM PERSPEKTIF UNCLOS 1982. Diponegoro Law Journal, Vol. 6, Nomor 2, Tahun 2017

Shen, J. 2002. China's Sovereignty over the South China Sea Islands: A Historical Perspective. Chinese J. Int'l L., 1, 94

Media Daring

CNBC Indonesia. 2020. Mantap! TNI: Tak Ada Lagi Kapal China Pasca Jokowi Ke Natuna.

Diakses di https://www.cnbcindonesia.com/news/20200109153546-4-128876/mantap-tni-tak-ada-lagi-kapal-china-pasca-jokowi-ke-natuna pada 1 Juni 2020

Damos Dumoli Agusman dkk. 2020. The archipelagic-state concept a quid pro quo, diakses dari https://www.thejakartapost.com/academia/2019/12/14/the-archipelagic-state-concept-a-quid-pro-quo.html pada 1 Juni 2020

(17)

Herdanang Ahmad Fauzan. 2020. Bababk Baru Konflik Indonesia dan China di Atas Perairan Natuna. Diakses di https://tirto.id/babak-baru-konflik-indonesia-dan-Tiongkok-di-atas-perairan-natuna-eqov pada 1 Juni 2020

Kompas. 2020. Kumpulkan Menteri, Menko Polhukam Mahfud bahas konflik Natuna.

Diakses di https://nasional.kompas.com/read/2020/01/03/14035701/kumpulkan-menteri-menko-polhukam-mahfud-md-bahas-konflik-natuna pada 1 Juni 2020

Kompas. 2020. Pasca Kunjungan Jokowi di Natuna, Kapal Ikan Masih Terdeteksi. Diakses di

https://regional.kompas.com/read/2020/01/12/11215621/pasca-kunjungan-jokowi-di-natuna-kapal-ikan-asing-di-natuna-masih-terdeteksi?page=all pada 1 Juni 2020

Rahajeng Kusumo. 2020. Ini Kronologis RI Protes Keras Klaim China Soal Natuna. Diakses di https://www.cnbcindonesia.com/news/20200104193648-4-127681/ini-kronologis-ri-protes-keras-klaim-china-soal-natuna pada 1 Juni 2020

Referensi

Dokumen terkait