FAKTOR FAKTOR PENYEBAB PERCERAIAN
(STUDI TERHADAP PERCERAIAN DI DESA BATUR
KEC. GETASAN KAB. SEMARANG)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum Islam
Oleh
NURUL FADHLILAH
NIM 21109020
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
FAKTOR FAKTOR PENYEBAB PERCERAIAN
(STUDI TERHADAP PERCERAIAN DI DESA BATUR
KEC. GETASAN KAB. SEMARANG)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sarjana Hukum Islam
Oleh
NURUL FADHLILAH
NIM 21109020
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
MOTTO
“ DAN KAMI TINGGIKAN BAGIMU SEBUTANMU,
KARENA SESUNGGUHNYA SESUDAH KESULITAN ITU,
ADA KEMUDAHAN”(QS. ALAM NASYRAH, 94: 4-5)
PERSEMBAHAN
Ø Untuk ayah handa (Muzamil) dan ibunda tercinta (Juariyah) yang tak henti-hentinya mendoakan dan mendidik anak-anaknya dalam mencurahkan kasih sayang.
Ø Kakak-kakak tersayang (Nur Wakidah dan Muhammad Arba’in) yang selalu memberikan motivasi.
Ø Teman baikku Eva Yuni “Copenk” beserta keluarga yang selalu memberikan bantuan dalam penyelesaian skripsi ini.
Ø Almamater Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga.
Ø Teman-teman AHS angkatan 2009 yang tidak bisa penulis semua sebutkan satu-persatu.
Ø Teman-teman kost Zaena Bordir Kembangarum Salatiga (Mbak Evi, Mbak Diah, Mbak Novi, Catur, Titis, Cuby, Siti, Rowiyah, Nimas dan Novi)
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah, puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan nikmat kepada semua hamba-Nya sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat dan salam senantiasa tetap terlimpahkan kepangkuan beliau Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat-sahabatnya dan orang-orang mukmin yang senantiasa mengikutinya.
Dengan segala kerendahan hati, penulis sampaikan bahwa skripsi ini tidak mungkin terselesaikan tanpa adanya dukungan dan bantuan dari semua pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Skripsi yang berjudul “FAKTOR FAKTOR PENYEBAB PERCERAIAN (Studi Terahadap Perceraian Di Desa Batur Kec. Getasan Kab. Semarang)” ini disusun untuk melengkapi syarat-syarat mencapai gelar Sarjana (S1) Hukum Islam pada Jurusan Syari’ah di STAIN Salatiga, meskipun bentuknya masih sederhana serta banyakkekurangan.
Dengan selesainya skripsi ini, penulis mengucapkan banyak-banyak terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Yang terhormat, Dr. Imam Sutomo, M.Ag selaku Ketua STAIN Salatiga. 2. Yang terhormat Bapak Drs. Mubasirun, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Syariah 3. Yang terhormat Bapak Ilya Muhsin, S.HI., M.Si. selaku ketua program studi
Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah STAIN Salatiga.
4. Yang saya hormati Drs. Badwan M,Ag selaku pembimbing skripsi yang telah rela menyisihkan waktunya untuk membimbing dengan penuh kebijaksanaan dan memberi petunjuk-petunjuk dan dorongan-dorongan dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Yang terhormat, Bapak/Ibu dosen yang telah mencurahkan pengetahuan dan bimbingan selama penulis kuliah sampai menyelesaikan skripsi ini.
7. Yang terhormat, Kepala KUA Getasan beserta staf-stafnya, yang berkenan memberikan izin pada penulis untuk melakukan penelitian di Desa Batur. 8. Yang terhormat dan tercinta, Ayahanda Muzamil, Ibunda tercinta Juariyah,
kakak-kakak tercinta Nur Wakidah dan M. Arba’in yang telah mencurahkan kasih sayang, memberikan motivasi dan tidak pernah bosan mendoakan penulis dalam menempuh studi dan mewujudkan cita-cita.
9. Yang tercinta teman-teman serta semua pihak yang telah memberikan motivasi dan bantuan selama menempuh studi, khususnya dalam proses penyusunan proses skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Atas semua bantuan yang telah diberikan kepada penulis, mudah-mudahan mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT. Amien. Serta proses yang selama ini penulis alami semoga bermanfaat di kemudian hari sebagai bekal mengarungi kehidupan di alam nyata. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih perlu penyempurnaan baik dari isi maupun metodologi. Oleh karena itu, penulis mengharap kritik dan saran yang konstruktif dari semua pihak guna kesempurnaan skripsi ini.
Salatiga, 27 September 2013
ABSTRAK
Fadhlilah, Nurul. 2013. Faktor Faktor Penyebab Perceraian (Studi terhadap perceraian di Desa Batur Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang). Skripsi Jurusan Syari’ah. Program Studi Al-Ahwal Al-Syakhshiyah. Sekolah Tinggi Agama IslamNegeri Salatiga. Bapak Pembimbing: Drs. Badwan, M.Ag.
Kata Kunci: Perceraian
Pernikahan adalah tiang keluarga yang teguh dan kokoh. Namun suatu perkawinan yang seharusnya merupakan tempat kebahagiaan dan kedamaian pasangan hidup pada kenyataannya tidak dapat menjamin kelanggengan rumah tangga. Karena dalam keadaan tertentu terdapat faktor-faktor yang menghendaki putusnya perkawinan. Jika suami istri dalam rumah tangga tersebut tidak mampu untuk menyikapi atau mengendalikan diri masing-masing tidak menutup kemungkinan akan terjadi percecokan dan keretakan dalam rumah tangga yang apabila tidak mungkin didamaikan, maka jalan terakhir adalah perceraian. Adapun tujuan yang hendak dicapai setelah penelitian ini selesai adalah mengetahui faktor-faktor penyebab perceraian dan dari faktor-faktor tersebuat faktor dominan apa yang menyebabkan perceraian di Desa Batur Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang.
Penelitian ini merupakan studi kasus dengan metode deskriptif kualitatif, yaitu sebuah metode penelitian di mana peneliti menjelaskan kenyataan yang didapatka dari kasus-kasus di lapangan sekaligus berusaha untuk mengungkapakan hal-hal yang tidak nampak dari luar agar khayalak dapat mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
DAFTAR ISI
SAMPUL JUDUL ... . i
LEMBAR BERLOGO ... . ii
JUDUL ... . iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... . iv
PENGESAHAN KELULUSAN ... . v
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ... . vi
MOTTO ... . vii
PERSEMBAHAN ... . viii
KATA PENGANTAR ... . ix
ABSTRAK ... . x
DAFTAR ISI ... . xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 5
C. Penegasan Penelitian ... 6
D. Tujuan Penelitian ... 6
E. Kegunaan Istilah ... 6
F. Metode Penelitian ... 7
1. Jenis Penelitian ... 7
2. Sumber Data ... 7
3. Prosedur Pengumpulan Data ... 8
4. Analisis Data ... 9
G. Sistematika Penulisan ... . 9
BAB II Tinjauan Umum Tentang Perceraian ... 12
A. Pengertian Dan Dasar Hukum Perceraian ... 12
C. Sebab-sebab Dan Macam Perceraian ... 18
D. Akibat Hukum Atas Putusnya Perkawinan ... 26
BAB III Paparan Hasil Penelitian ……….. 33
A. Gambaran umum Desa Batur Kec. Getasan Kab. Semarang... 33
1. Letak geogfrafis Desa Batur ... 35
2. Keadaan penduduk Desa Batur ... 34
a. Keadaan penduduk berdasarkan mata pencaharian ... 34
b. Keadaan penduduk berdasarkan keagamaan ... 36
c. Keadaan penduduk berdasarkan tingkat pendidikan... 37
3. Keadaan kelembagaan Desa Batur... 38
B. Data penelitian... 40
1. Profil keluarga pelaku perceraian...41
C. Faktor-faktor Penyebab perceraian di Desa Batur ...50
BAB IV Analisis Faktor Dominan Penyebab Perceraian …...51
A. Faktor-faktor penyebab perceraian ...51
a. Faktor ekonomi ...53
b. Faktor perselisihan ...57
c. Faktor Pemabuk/pemandat dan penjudi ...59
d. Faktor kekejaman atau penganiayaan ... 60
e. Faktor gangguan pihak lain... 63
f. Faktor perjodohan ...64
B. Analisis faktor dominan penyebab perceraian ...66
A. Kesimpulan ... 70 B. Saran ...71
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I. Lembar konsultasi skripsi
Lampiran II Nota pembimbing
Lampiran II. Nilai SKK mahasiswa
Lampiran III. Panduan wawancara
Lampiran IV. Surat ijin penelitian
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai makhluk sosial yang diciptakan oleh Allah untuk
hidup berpasang-pasangan, saling mengisi dan bekerja sama antara satu
dan lainnya yang diwujudkan dalam pernikahan. Pernikahan merupakan
sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada
manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Perkawinan disyariatkan
supaya manusia mempunyai keturunan dan keluarga yang sah menuju
kehidupan bahagia di dunia dan di akhirat, di bawah naungan cinta kasih
dan ridha Ilahi (Sosroatmodjo & Aulawi, 1981:33). Sebagaimana Firman
Allah swt :
“Maha suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui” (Qs. Yasin : 36).
Pada prinsipnya suatu perkawinan itu ditujukan untuk hidup
selamanya dan kebahagiaan yang kekal (abadi) bagi pasangan suami istri.
Keluarga kekal yang bahagia itulah yang dituju. Banyak perintah Tuhan
dan Rosul yang bermaksud untuk ketentraman keluarga selama hidup
Dalam pernikahan tentunya ada suatu tujuan yang akan dicapai
salah satunya untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawadah dan warohmah. Selain itu dalam UU No. 1 Tahun 1974
dikatakan bahwa, “tujuan pernikahan adalah membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pernikahan adalah tiang keluarga yang teguh dan kokoh. Di
dalamnya terdapat hak-hak dan kewajiban yang sakral dan relegius.
Seseorang akan merasa adanya tali ikatan suci yang membuat tinggi sifat
kemanusiaannya, yaitu ikatan rohani dan jiwa yang membuat ketinggian
derajat manusia dan menjadi mulia dari pada tingkatan kebinatangan yang
hanya menjalin cinta syahwat antara jantan dan betina. Bahkan hubungan
pasangan suami istri sesungguhnya adalah ketenangan jiwa, kasih sayang
dan memandang. (Azzam & Hawas, 2009:40)
Seiring dengan perkembangan jaman yang diikuti oleh perubahan
gaya hidup dan pergeseran nilai moral dalam masyarakat saat ini,
bahwasanya suatu keluarga yang dibina oleh pasangan yang sudah berikrar
dihadapan penghulu, dan berjanji hidup bersama-sama selamanya dan
berkomitmen untuk mencapai tujuan perkawinan, yaitu kesempurnaan
hidup, pada kenyataannya tidak dapat mempertahankan mahligai rumah
tangganya dengan berbagai alasan. Dari kondisi yang demikian maka,
dapat dinilai bahwa suatu perkawinan yang seharusnya merupakan tempat
dapat menjamin kelanggengan rumah tangga itu sendiri dengan berbagai
alasan untuk mengakhiri mahligai rumah tangga.
Islam sebagai suatu ajaran yang menjunjung tinggi nilai moral dan
keadilan memberikan berbagai solusi dan alternatif atas segala
permasalahan dalam rumah tangga. Islam mengarahkan mereka agar tetap
bertahan dan sabar sampai dalam keadaan yang tidak ia sukai. Jika
permasalahan cinta dan tidak cinta sudah dipindahkan kepada
pembangkangan dan lari menjauh, langkah awal yang ditunjukkan Islam
bukan talak. Akan tetapi, harus ada langkah usaha yang dilakukan pihak
lain dan pertolongan yang dilakukan oleh orang baik-baik (Azzam &
Hawas, 2009:253). Sebagaimana firman Allah
÷b Î)ur
“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. An-Nisa’ : 128)
Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki
putusnya perkawinan yaitu dalam arti apabila hubungan perkawinan tetap
dilanjutkan maka kemudaratan akan terjadi. Dalam hal ini Islam
dilakukan semaksimal mungkin. Perceraian dengan begitu adalah jalan
yang terbaik. Perlu diketahui bahwa perceraian merupak sesuatu yang
halal namun dibenci oleh Allah.
Kehidupan keluarga terjadi lewat perkawinan yang sah baik
menurut agama atau ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Dari
sini akan tercipta kehidupan yang harmonis, tentram, dan sejahtera lahir
batin yang didambakan oleh setiap insan yang normal. Perceraian
merupakan salah satu bentuk perkembangan di masyarakat yang
dipandang tidak sejalan dengan tujuan perkawinan. Untuk menekan angka
perceraian di Indonesia diberlakukan Undang-Undang perkawinan yakni
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.
Perceraian sendiri bukanlah hal yang patut untuk direncanakan,
karena perceraian itu dapat terjadi pada siapapun dan dimanapun. Banyak
faktor penyebab perceraian, salah satunya di Desa Batur yang secara
geografis terletak di dataran tinggi tepatnya di lereng gunung Merbabu
dengan jumlah penduduk mencapai 8241 Jiwa. Masyarakat Desa Batur
memiliki beragam profesi petani, PNS, pejabat, buruh, pedagang dll. Dari
latar belakang yang berbeda maka akan timbul kemajemukan dalam
masyarakatnya yang punya sifat dan kepribadian yang berbeda, maka
disitulah muncul banyak masalah perceraian. Banyak faktor yang
tanggung jawab, kecemburuan, penganiayaan atau kekerasan, kawin di
bawah umur dan ekonomi tidak menentu.
Setiap kehidupan rumah tangga pasti terdapat masalah-masalah
yang akan timbul. Jika suami istri dalam rumah tangga tersebut tidak
mampu untuk menyikapi atau mengendalikan diri masing-masing, tidak
menutup kemungkinan akan terjadi percecokan dan keretakan dalam
rumah tangga. Apabila percecokan dan keretakan dalam rumah tangga
sudah tidak mungkin didamaikan, maka jalan terakhir yaitu perceraian.
Perceraian merupakan solusi terakhir yang dapat ditempuh oleh suami istri
dalam mengakhiri ikatan perkawinan setelah mengadakan perdamaian atau
mediasi secara maksimal tetapi tidak membuahkan hasil.
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk meneliti tentang
“Faktor Faktor Penyebab Perceraian (Studi Terhadap Perceraian di
Desa Batur Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang)”.
B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah dapat dirumuskan
permasalahan penelitian sebagai berikut :
1. Faktor-faktor apa penyebab perceraian di Desa Batur Kec. Getasan
Kab. Semarang ?
2. Faktor dominan apa penyebab perceraian di Desa Batur Kec. Getasan
C. Penegasan Istilah
Agar di dalam penelitian ini tidak terjadi penafsiran yang berbeda
dengan maksud penulis, maka penulis akan menjelaskan istilah-istilah
yang terkait dengan materi judul sebagai berikut:
1. Perceraian, menururt fiqh Islam talak (perceraian) menurut bahasa
adalah “melepaskan ikatan”. Maksudnya adalah melepaskan ikatan
pernikahan.
D. Tujuan penelitian
1. Untuk mengetahui faktor-faktor yang penyebab perceraian di Desa
Batur Kec. Getasan Kab. Semarang.
2. Untuk mengetahui faktor dominan penyebab perceraian di Desa Batur
Kec. Getasan Kab. Semarang.
E. Kegunaan Penelitian
Kegunaan atau manfaat dari penelitian ini diantarannya adalah
sebagai berikut: a. Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dan
masukan pemikiran terhadap masyarakat tentang hukum pernikahan
khususnya tentang perceraian, sehingga diharapkan masyarakat dapat
menghindari perceraian b. Bagi akademik
Diharapkan hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk
dan juga menambah bahan pustaka bagi Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri (STAIN).
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan studi kasus dengan metode deskriptif
kualitatif, yaitu sebuah metode penelitian di mana peneliti
menjelaskan kenyataan yang didapatka dari kasus-kasus di
lapangan sekaligus berusaha untuk mengungkapakan hal-hal yang
tidak nampak dari luar agar khayalak dapat mengetahui apa yang
sebenarnya terjadi. 2. Sumber Data
Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah
observasi, wawancara, dokumen (dokumen resmi atau pribadi, dan
foto).
Sumber data dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu :
a. Data primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya
melalui wawancara dengan informan pelaku perceraian yaitu
sebanyak 3 pasang perceraian. Pengumpulan data ini dimaksudkan
untuk mngetahui faktor-faktor penyebab perceraian di Desa Batur. b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen
resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil
penelitian dalam bentuk laporan, skripsi, tesis, disertasi, dan
3. Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah prosedur yang sistematik dan standar
untuk memperoleh data yang diperlukan (Nazir, 1988:211). Teknik
dalam penelitian ini adalah: a. Wawancara/Interview
Dalam metode ini penulis menggunakan teknik wawancara
atau interview yaitu suatu percakapan atau tanya jawab yang
diarahkan pada suatu permasalahan tertentu yang dilakukan oleh
dua pihak, yaitu pewawancara (orang yang mengajukan
pertanyaan) dan yang diwawancarai (yang memberi jawaban dari
pertanyaan pewawancara). Data dikumpulkan dengan
mewawancarai pelaku perceraian. Wawancara ini dimaksudkan
untuk mengetahui faktor-faktor penyebab perceraian di Desa Batur. b. Metode dokumentasi
Metode dokumntasi adalah metode pengumpulan data
dengan cara membaca dan mengutip dengan dokumen-dokumen
yang ada dan dipandang relevan. Data tersebut berupa data
kependudukan dan data perceraian di Desa Batur. Dalam
melaksanakan metode dokumentasi, peneliti menyelidiki
benda-benda tertulis seperti buku-buku, majalah, dokumen,
peraturan-peraturan dan sebagainya (Arikunto, 2010:201). Metode ini
Getasan Kabupaten Semarang dan data-data serata informasi lain
yang menunjang dalam penelitian ini. c. Metode Observasi atau Pengamatan
Metode observasi adalah teknik pengumpulan data dengan
pengamatan langsung kepada objek penelitian. Metode ini
digunakan untuk mengetahui situasi dan kondisi lingkungan di
Desa Batur, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang. Observasi
ini dilakukan dengan melakukan serangkaian pengamatan dengan
menggunakan alat indera pengliatan dan pendengaran secara
langsung terhadap objek yang diteliti. 4. Analisis Data
Analisis data adalah suatu proses menata, menytrukturkan, dan
memaknai data yang tidak beraturan (Daymon & Holloway,
2008:368). Data yang berhasil dihimpun akan dianalisis secara
kualitatif, yaitu menganalisa dengan cara menguraikan dan
mendeskripsikan kasus perceraian di Desa Batur sehingga didapat
suatu kesimpulan yang objektif, logis, konsisten, dan sistematis sesuai
dengan tujuan yang dilakukan penulis dalam penelitian ini.
G. Sistematika penulisan
Agar pembahasan penelitian ini tidak keluar dari pokok pikiran dan
kerangka yang telah ditentukan, maka penulis menggunakan sistematika
sebagai berikut:
A. Latar belakang masalah
B. Fokus penelitian
C. Penegasan Istilah
D. Tujuan penelitian
E. Kegunaan penelitian
F. Metode penelitian yang terdiri dari :
1. Jenis penelitian
2. Sumber data
3. Prosedur pengumpulan data
4. Analisis data
G. Sistematiaka penulisan.
2. BAB II: Tinjauan umum tentang perceraian
E. Pengertian dan dasar hukum perceraian
F. Rukun dan Syara-syarat perceraian
G. Sebab-sebab dan macam perceraian
H. Akibat Hukum Atas Putusnya Perkawinan
3. BAB III: Paparan Hasil Penelitian terdiri dari:
A. Gambaran umum Desa Batur Kecamatan Getasan Kabupaten
Semarang
4. Letak geogfrafis Desa Batur
5. Keadaan penduduk Desa Batur
d. Keadaan penduduk berdasarkan mata pencaharian
f. Keadaan penduduk berdasarkan tingkat pendidikan
6. Keadaan kelembagaan Desa Batur
B. Data penelitian
1. Profil keluarga yang
melakukan perceraian di Desa Batur Kecamatan Getasan
Kabupaten Semarang.
C. Faktor-faktor yang menyebabkan perceraian di Desa Batur
Kecamatan Getasan Kabupaten Semarang
4. BAB IV: Pembahasan pokok permasalahaan dari data hasil
temuan-temuan mengenai:
C. Analisis faktor-faktor penyebab perceraian
D. Analisis faktor dominan penyebab perceraian
5. BAB V: Bab ini merupakan bab penutup atau bab akhir dari
penyusunan skripsi yang penulis sususn. Dalam bab ini penulis
mengemukakan kesimpulan dari seluruh hasil penelitian, saran-saran
ataupun rekomendasi dalam rangka meningkatkan pengetahuan
tentang hukum-hukum islam khususnya perceraian di Desa Batur
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Perceraian
Allah menciptakan hubungan antara laki-laki dan perempuan
dengan pernikahan sebagai jaminan kelestarian populasi manusia di muka
bumi, sebagai motivasi dari tabiat dan syahwat manusia dan untuk
menjaga kekekalan keturunan mereka. Secara sederhana, pernikahan bisa
dimaknai seperangkat aturan yang bentuk konkretnya adalah kebersamaan
laki-laki dan wanita di bawah atap yang sama, agar dengan kebersamaan
ini keduanya mampu memenuhi sejumlah kebutuhan tertentu. Baik yang
bersifat biologis, individu, sosial, ekonomi, dan budaya. (Abud, 2004 : 89)
Tujuan pernikahan dalam Islam tidak hanya sekedar pada batasan
pemenuhan nafsu biologis atau pelampiasan nafsu seksual, tetapi memiliki
tujuan-tujuan penting yang berkaitan dengan sosial, psikologis, dan
agama. Di antaranya yang terpenting adalah sebagai berikut:
1. Memelihara gen manusia, pernikahan sebagai sarana untuk
memelihara keberlangsungan gen manusia, alat reproduksi, dan
regenerasai dari masa ke masa. Dengan pernikahan inilah manusia
akan dapat memakmurkan hidup dan melaksanakan tugas sebagai
khalifah dari Allah.
2. Pernikahan adalah tiang keluarga yang teguh dan kokoh. Di dalamnya
terdapat hak-hak dan kewajiban yang sakral dan relegius. Seseorang
kemanusiaannya, yaitu ikatan rohani dan jiwa yang membuat
ketinggian derajat manusia dan menjadi mulia dari pada tingkat
kebinatangan yang hanya menjalin cinta syahwat antara jantan dan
betina. Bahkan hubungan pasangan suami istri sesungguhnya adalah
ketenangan jiwa, kasih sayang, dan memandang.
3. Nikah sebagai perisai diri manusia. Nikah dapat menjaga diri
kemanusiaan dan menjauhkan dari pelanggaran-pelanggaran yang
diharamkan dalam agama.
4. Melawan hawa nafsu. Nikah menyalurkan nafsu manusia menjadi
terpelihara, melakukan maslahat orang lain dan melaksanakan hak-hak
istri dan anak-anak dan mendidik mereka. Nikah juga melatih
kesabaran terhadap akhlak istri dengan usaha yang optimal
memperbaiki petunjuk jalan agama. (Azzam & Hawwas, 2009:39-41)
Agama Islam adalah agama yang sangat toleran dalam menentukan
suatu permasalahan yaitu berupa permasalahan dalam perkawinan. Pada
dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk waktu selamanya sampai
matinya salah seorang suami dan istri, inilah yang sebenarnya dikehendaki
oleh agama Islam. Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang
menghendaki putus perkawinan dalam arti bila hubungan perkawinan tetap
dilanjutkan, maka kemudaratan akan terjadi. Dalam hal ini Islam
membenarkan putusnya perkawinan sebagai langkah terakhir dari usaha
melanjutkan rumah tangga. Putusnya perkawinan dengan begitu adalah
Kata perceraian berasal dari kata “cerai” mendapat awalan “per”
dan akhiran “an”, yang secara bahasa berarti melepas ikatan. Dalam ilmu
fiqh (Depag, 1985:226) kata “thalaq” dalam bahasa Arab berasal dari kata
“Thalaqa-Yathlaqu-Thalaqan” yang artinya melepas atau mengurai tali
pengikat, baik tali pengikat itu bersifat kongrit seperti tali pengikat kuda
maupun bersifat abstrak seperti tali pengikat perkawinan. Syayid Sabiq
(1980:7) mendefinisikan, talak dengan sebuah upaya untuk melepaskan
ikatan perkawinan dan selanjutnya mengakhiri hubungan perkawinan itu
sendiri.
Menurut hukum asalnya talak atau perceraian itu makruh, namun
melihat keadaan tertentu dalam situasi tertentu, maka hukum talak itu ada
empat :
1. Sunat yaitu dalam keadaan rumah tangga sudah tidak dapat dilanjutkan
dan seandainya dipertahankan kemudaratan yang lebih banyak akan
timbul.
2. Mubah atau boleh saja dilakukan bila memang perlu terjadi perceraian
dan tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dengan perceraian itu,
sedangkan manfaatnya juga ada.
3. Wajib yaitu perceraian yang mesti dilakukan oleh hakim terhadap
seorang yang telah bersumpah untuk tidak menggauli istrinya sampai
masa tertentu, sedangkan ia tidak mau membayar kaffarah sumpah
agar ia dapat bergaul dengan istrinya. Tindakannya itu memudaratkan
4. Haram talak itu dilakukan tanpa alasan sedangkan istri dalam keadaan
haid atau suci yang dalam masa itu ia telah digauli. (Syarifuddin,
2003:127)
Perceraian dalam hukum Islam adalah sesuatu perbuatan halal yang
mempunyai prinsip dilarang oleh Allah SWT. Berdasarkan hadis Nabi
Muhammad saw, sebagai berikut :
ُﺾَﻐْﺑ َأ
Sesuatu perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak atau perceraian. (Riwayat Ibnu Majah, Juz 1).
Berdasarkan hadis tersebut, menunjukkan bahwa perceraian
merupakan alternatif terakhir (pintu darurat) yang dapat dilalui oleh suami
istri bila ikatan perkawinan (rumah tangga) tidak dapat dipertahankan
keutuhan dan kelanjutannya. Sifat alternatif terakhir dimaksud, berarti
sudah ditempuh berbagai cara dan teknik untuk mencari kedamaian di
antara kedua belah pihak, baik melalui hakam (arbitrator) dari kedua belah
pihak maupun langkah-langkah dan teknik yang diajarkan oleh Al-qur’an
dan Al- hadis. (Ali, 2006:73)
Di dalam Al-qur’an banyak ayat yang berbicara tentang masalah
perceraian. Diantaranya ayat-ayat yang menjadi landasan hukum
b Î*sù
"kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui". (Qs. Al-Baqarah ayat 230)
B. Rukun dan Syarat Talak (Perceraian)
Rukun talak ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan
terwujudnya talak bergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur dimaksud.
Rukun talak ada empat, yaitu : 1. Suami.
Suami adalah yang memiliki hak talak dan yang berhak
menjatuhkannya, selain suami tidak berhak menjatuhkannya. Oleh
karena talak itu bersifat menghilangkan ikatan perkawinan, maka talak
tidak mungkin terwujud kecuali setelah nyata adanya akad perkawinan
yang sah. 2. Istri
Masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan talak
terhadap istrinya sendiri, tidak dipandang jatuh talak yang dijatuhkan
disyaratkan kedudukan istri yang ditalak itu harus berdasarkan atas
akad perkawinan yang sah dan istri itu masih tetap berada dalam
perlindungan kekuasaan suami. Istri yang menjalani masa iddah talak
raj’i dari suaminya oleh hukum islam dipandang masih berada dalam
perlindungan kekuasaan suami, karenanya bila dalam masa itu suami
menjatuhkan talak lagi, dipandang jatuh talaknya sehingga menambah
jumlah talak yang dijatuhkan dan mengurangi hak talak yang dimiliki
suami. 3. Shighat talak
Shighat talak ialah kata-kata yang diucapkan oleh suami
terhadap istrinya yang menunjukkan talak, baik yang sarih (jelas)
maupun yang kinayah (sindiran), baik berupa ucapan lisan, tulisan, dan
isyarat bagi suami tuna wicara. 4. Qashdu (kesengajaan)
Artinya bahwa dengan ucapan talak itu memang dimaksudkan
oleh yang mengucapkannya untuk talak, bukan untuk maksud lain
(Ghazaly, 2003:201-204).
Dalam ilmu fiqh (Depag, 1985:235) untuk sahnya talak, suami
yang menjatuhkan talak disyaratkan :
1. Berakal, suami yang gila tidak sah menjatuhkan talak. Dimaksudkan
dengan gila dalam hal ini ialah hilang akal atau rusak akal karena sakit. 2. Baligh, tidak dipandang jatuh talak yang dinyatakan oleh orang yang
3. Atas kemauannya sendiri, dimaksudkan dengan atas kemauannya
sendiri dalam hal ini ialah adanya kehendak pada diri suami untuk
menjatuhkan talak itu dan dilakukan atas pilihan sendiri, bukan karena
dipaksa orang lain.
C. Sebab-sebab dan Macam Perceraian
Perceraian dapat terjadi karena penyebab yang beragam, di
antaranya adalah sebagaimana yang dijelaskan dalam Kompilasi Hukum
Islam pasal 113 disebutkan ada tiga hal yang menjadi sebab putusnya
perkawinan, yaitu: 1. Kematian
2. Perceraian
3. Atas putusan pengadilan (Sudarsono, 2005:116)
Dalam hal ini, penulis akan berusaha menguraiakan sebab-sebab
putusnya perkawinan yaitu : 1. Kematian
Kematian sebagai salah satu alasan sebab putusnya perkawinan
adalah jika salah satu pihak baik suami atu istri meninggal dunia maka
dengan sendirinya perkawinan akan putus (Nuruddin & Tarigan,
2006:216). Apabila pihak suami atau istri yang masih hidup ingin
menikah lagi maka bisa saja, asalkan telah memenuhi segala
2. Perceraian
Sebagai mana ketentuan dari Undang-Undang Perkawinan
pasal 39 ayat 1 disebutkan bahwa “perceraian hanya dapat dilakukan
di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”
(Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Pasal 39 ayat 1). 3. Putusan pengadilan
Dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 Pasal 39 dinyatakan
bahwa :
a. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan
setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.
b. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara
suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. c. Tatacara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam
peraturan perundangan-undangan tersendiri. ( Ali, 2006:74)
Berkaitan dengan pasal di atas maka selanjutnya dijelaskan
mengenai penyebab terjadinya perceraian yakni pada Putusan Presiden
No 9 Tahun 1975 Pasal 19 dinyatakan perceraian dapat terjadi karena
alasan-alasan berikut :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemandat,
b. Salah satu pihak meninggalakan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain di luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun
atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga. (Muhammad, 1993:109-110)
Selanjutnya dijelaskan pula dalam Kompilasi Hukum Islam
mengenai sebab-sebab terjadinya perceraian yang termaktub dalam
pasal 116 yang berbunyi :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemandat,
penjudi dan lain sebagainya yang sukar disebuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalakan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau
karena hal lain di luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
g. Suami melanggar taklik talak
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak
rukunan dalam rumah tangga. (Nuruddin & Tarigan,
2006:221-222)
Macam Perceraian
Putusnya perkawinan dalam hal ini berarti berakhirnya
hubungan suami istri. Putusnya perkawinan itu ada dalam beberapa
bentuk tergantung dari segi siapa sebenarnya yang berkehendak untuk
putusnya perkawinan itu. Dalam hal ini ada empat kemungkinan : 1. Putusnya perkawinan atas kehendak Allah sendiri melalui matinya
salah seorang suami istri. Dengan kematian itu dengan sendirinya
berakhir pula hubungan perkawinan.
2. Putusnya perkawinan atas kehendak si suami oleh alasan tertentu
dan dinyatakan kehendaknya itu dengan ucapan tertentu.
3. Putusnya perkawinan atas kehendak si istri karena si istri melihat
sesuatu yang menghendaki putusnya perkawinan sedangkan si
suami tidak berkehendak untuk itu. Kehendak untuk putusnya
perkawinan yang disampaiakan si istri ini dengan membayar uang
ganti rugi diterima oleh suami dan dilanjutkan dengan ucapanya
untuk memutus perkawianan itu. Putusnya perkawinan dengan cara
ini disebut khulu’.
4. Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga
setelah melihat adanya sesuatu pada suami atau pada istri yang
mendadak tidak dapatnya hubungan perkawinan itu dilanjutkan.
Putusnya perkawinan dalam bentuk ini disebut fasakh.
(Syarifuddin, 2006:197)
Selain itu ada pula hal-hal yang menyebabkan hubungan suami
istri tidak dapat dilakukan, namun tidak memutuskan hubungan
perkawinan itu secara syara’. Terhentinya hubungan perkawianan
dalam hal ini ada dalam tiga bentuk :
1. Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia telah
menyamakan istrinya dengan ibunya. Ia dapat meneruskan
hubungan suami istri bila si suami telah membayar kafarah.
Terhentinya perkawinan dalam bentuk ini disebut zhihar.
2. Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia telah
bersumpah untuk tidak menggauli istrinya dalam masa-masa
namun perkawinan tetap utuh. Terhentinya hubungan perkawinan
dalam bentuk ini disebut ila’.
3. Suami tidak boleh menggauli istrinya karena ia telah
menyatakan sumpah atas kebenaran tuduhannya terhadap istrinya
yang berbuat zina, sampai selesai proses li’an dan perceraian di
muka hakim. Terhentinya perkawinan dalam bentuk ini disebut
li’an. (Syarifuddin, 2006:198)
Dalam hal ini, perkawinan tidaklah putus namun yang terhenti
hanyalah hubungan suami istri. Namun ada satu pengecualian yaitu
tentang masalah li’an setelah diputus oleh pengadilan maka perceraian
akan putus untuk selama-lamanya.
Ditinjau dari segi waktu dijatuhkan talak oleh suami, maka
talak dibagi menjadi dua macam, yaitu: 1. Talak Sunni
Talak sunni yaitu talak yang dalam pelaksanaannya sesuai
dengan ketentuan agama, yaitu seseorang mentalak istrinya yang
telah dicampurinya itu dengan sekali talak dimasa suci dan istrinya
itu belum ia sentuh lagi selama masa suci itu. (Depag, 1985:227) 2. Talak Bid’i
Talak bid’i yaitu talak yang dijatuhkan tidak sesuai atau
bertentangan dengan agama. Maksudnya talak yang dijatuhkan
pada waktu istri dalam keadaan suci, tetapi sudah dicampuri pada
3. Talak la sunni wala bid’i
Talak la sunni wala bid’i yaitu talak yang tidak termasuk
kategori talak sunni dan tidak pula termasuk kategori talak bid’i.
Maksudnya, talak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum
pernah dikumpuli dan talak yang dijatuhkan terhadap istri yang
belum pernah haid atau istri yang telah lepas haid serta talak yang
dijatuhkan ketika istri sedang hamil.
Ditinjau dari segi ucapan atau lafadz yang digunakan, talak
terbagi dua macam : 1. Talak sharih
Talak sharih yaitu talak dengan mempergunakan kata-kata
yang jelas dan tegas. Maksudnya kata-kata yang keluar dari mulut
suami itu tidak ragu-ragu lagi bahwa ucapanya itu untuk
memutuskan hubungan perkawinannya. Misalnya, kata-kata suami:
“engkau saya talak sekarang juga” atau “engkau saya lepas
sekarang juga”.
2. Talak kinayah
Talak kinayah yaitu talak dengan menggunakan kata-kata
sindiran atau samar-samar. Talak dengan kata-kata kinayah
bergantung pada niat suami, artinya jika suami dengan kata-kata
tersebut bermaksud menjatuhkan talak maka jatuhlah talak yang
dimaksud. Sebaliknya, jika suami dengan kata-kata kinayah
dinyatakan jatuh. Misalnya, kata-kata suami: “pulanglah engkau
ke rumah keluargamu” atau “pergilah dari sini”. (Rasjid,
1994:403)
Ditinjau dari segi boleh atau tidaknya suami kembali lagi
kepada mantan istrinya, talak terbagi menjadi dua macam : 1. Talak raj’i
Talak raj’i yaitu talak yang masih boleh dirujuk. Artinya
rujuk ialah kembali, artinya kembali mempunyai hubungan suami
istri dengan tidak melalui proses perkawinan lagi, tetapi melalui
proses yang lebih sederhana. Dengan kata lain, talak raj’i bisa juga
diartikan dengan talak yang dijatuhkan suami kepada istrinya yang
sudah digauli dan juga sebagai talak satu atau talak dua.
Konsekuensinya, bila istri berstatus iddah talak raj’i, suami
boleh rujuk kepada istrinya tanpa akad nikah yang baru, tanpa saksi
dan mahar pula. Akan tetapi apabila iddahnya telah habis, maka
suami tidak boleh merujuknya kembali kecuali dengan akad yang
baru dan dengan membayar mahar pula. 2. Talak ba’in
Talak ba’in yaitu talak yang tidak memberi hak merujuk
bagi bekas suami terhadap bekas istrinya, untuk mengembalikan
bekas istri kedalam ikatan perkawinan dengan bekas suami harus
melalui akad nikah baru, lengkap dengan rukun dan syaratnya.
a. Talak ba’in sughra
Yaitu talak ba’in yang menghilangkan pemilikan atas
bekas suami terhadap bekas istri tetapi tidak menghilangkan
kehalalan bekas suamim untuk menikah kembalidengan bekas
istri, artinya bekas suami boleh mengadakan akad nikah baru
dengan bekas istri baik dalam masa iddahnya maupun sesudah
berakhir masa iddahnya. b. Talak ba’in kubra
Yaitu talak ba’in yang menghilangkan pemilikan bekas
suami terhadap bekas istri serta menghilangkan kehalalan bekas
suami untuk kawin kembali dengan bekas istrinya kecuali
setelah bekas istrinya itu menikah dengan laki-laki lain
(muhalil). (Depag, 1985:232)
D. Akibat Hukum Atas Putusnya Perkawinan
Akibat hukum yang muncul ketika putus ikatan perkawinan antara
seorang suami dengan seorang istri dapat dilihat beberapa garis hukum,
baik yang tercantum dalam Undang-Undang Perkawinan maupun yang
tertulis dalam KHI.
Putusnya ikatan perkawinan dimaksud, dapat dikelompokkan
1. Akibat talak
Ikatan perkawinan yang putus karena suami mentalak istrinya
mempunyai beberapa akibat hukum berdasarkan pasal 149 Kompilasi
Hukum Islam, yakni sebagai berikut:
Pasal 149 KHI, bila perkawinan putus karena talak, maka bekas suami
wajib :
a. Memberikan mut’ah (sesuatu) yang layak kepada bekas istrinya,
baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla
al-dukhul;
b. Memberi nafkah, makan dan kiswah (tempat tinggal dan pakaian)
kepada bekas istri selama masa iddah, kecuali bekas istri telah
dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil; c. Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya dan separuh
apabila qabla al-dukhul;
d. Memberi biaya hadlanah (pemeliharaan anak) untuk anak yang
belum mencapai umur 21 tahun. 2. Akibat perceraian (cerai gugat)
Cerai gugat yaitu seoarang istri menggugat suaminya untuk
bercerai melalui pengadilan, yang kemudian pihak pengadilan
mengabulkan gugatan dimaksud sehingga putus hubungan penggugat
(istri) dengan tergugat (suami) perkawinan. (Ali, 2006:77).
Pasal 156 KHI mengatur putusnya perkawinan sebagai akibat
a. Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadanah dari
ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka
kedudukannya diganti oleh :
1. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibunya;
2. Ayah;
3. Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
4. Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
5. Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping dari
ibu;
6. Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping
dari ayah.
b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan
hadanah dari ayah atau ibunya;
c. Apabila pemegang hadanah ternyata tidak dapat menjamin
keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan
hadanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang
bersangkutan pengadilan dapat memindahkan hadanah kepada
kerabat lain yang mempunyai hak hadanah pula;
d. Semua biaya hadanah dan nafkah anak menjadi tanggungan ayah
menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak
e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadanah dan nafkah anak,
pengadilan agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a),
(b), (c), dan (d);
f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya
menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan
anak-anak yang tidak turut padanya. 3. Akibat khulu’
Perceraian yang terjadi akibat khulu’, yaitu suatu ikatan
perkawinan yang putus karena pihak istri telah memberikan hartanya
untuk membebaskan dirinya dari ikatan perkawinan. Selain itu khulu’
adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan
memberikan tebusan atau uang iwad kepada dan atas persetujuan
suaminya. Oleh karena itu, khulu’ adalah perceraian yang terjadi
dalam bentuk mengurangi jumlah talak dan tidak dapat dirujuk. Hal
ini berdasarkan pasal 161 KHI yang berbunyi “perceraian dengan
jalan khulu’ mengurangi jumlah talak dan tak dapat dirujuk”.
4. Akibat li’an
Perceraian yang terjadi sebagai akibat li’an, yaitu ikatan
perkawinan yang putus selama-lamanya. Dengan putusnya
perkawinan yang dimaksud, anak yang dikandung oleh istri
yang berbunyi “ bila mana li’an terjadi maka perkawinan ini putus
untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada
ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah”.
5. Akibat ditinggal mati suaminya
Apabila ikatan perkawinan putus sebagai akibat meninggalnya
suami, mak istri menjalani masa iddah dan bertanggung jawab
terhadap pemeliharaan anak-anaknya serta mendapat bagian harta
warisan dari suaminya. Hal tersebut dinyatakan dalam pasal 157 KHI
yang berbunyi “harta bersama dibagi menurut ketentuan
sebagaimana tersebut daka pasal 96 dan 97”.
Pasal 96 KHI
(1) Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi
hak pasangan yang hidup lebih lama.
(2) Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri
atau suaminya hilang, harus ditangguhkan sampai adanya
kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas
dasar putusan Pengadilan Agama.
Pasal 97 KHI
“Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta
bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan
”.
Pasal 96 KHI tersebut, menjelaskan ikatan perkawinan yang
pembagian harta bersama dilakukan oleh ahli waris berdasarkan
proporsi, termasuk bagian pasangan yang masih hidup. Pembagian
harta bersama dimaksud, dilakukan oleh ahli waris bila harta itu ada.
Namun bila harta bersama belum ada karena kelangsungan ikatan
perkawinan sangat singkat, maka pihak yang masih hidup tidak
mendapat bagian. Sebaliknya, bila perkawinan itu putus sebagai
akibat cerai hidup, maka pasal 97 KHI menjelaskan bahwa janda atau
duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama
sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. (Ali,
2006:79)
Pasal 41 UUP juga membicarakan akibat yang ditimbulkan
oleh perceraian. Adapun bunyi pasalnya sebagai berikut:
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah :
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata mata berdasarkan kepentingan anak, bila
mana ada perselisihan mengenai penguasaan anak, pengadilan
memberi keputusannya.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam
kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu
kewajiban bagi bekas istri.
Selain kewajiban nafkah oleh suami dan seoarang istri yang
telah dicerai dari suamipun mempunyai kewajiban menjalani masa
iddah sebagai akibat dari perceraian tersebut. Dimana hal tersebut telah
dijelaskan dalam firman Allah Qs. Al-Baqarah ayat 228 :
àM »s)¯=sÜßJ ø9$#ur šÆ óÁ
/uŽtItƒ£` ÎgÅ¡ àÿRr'Î/ spsW»n=rO
& äÿrã
è% 4....
Artinya :
“wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ (haid/suci)”
Adapun macam-macam iddah adalah : 1. Iddah istri yang berhaid, yaitu tiga kali haid.
2. Iddah istri yang mati (berhenti) haid, yaitu tiga bulan.
3. Iddah istri karena kematian suami, yaitu empat bulan sepuluh hari.
4. Iddah istri yang hamil, yaitu sampai melahirkan. (Sabiq, 1980:151)
BAB III
PAPARAN HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Desa Batur Kec. Getasan Kab. Semarang 1. Letak Geografis Desa Batur
Desa Batur mempunyai luas wilayah 1081,750 Ha. Terletak di
lereng gunung merbabu tepatnya di Kecamatan Getasan Kabupaten
Semarang. Adapun Desa Batur merupakan daerah perbukitan atau
pegunungan dengan tinggi dari permukaan laut 1200 m2. Desa Batur
ini termasuk desa yang beriklim dingin dengan suhu rata-rata 30°C.
Desa Batur jarak tempuh ke Kecamatan Getasan 3 km, ke
Kabupaten Semarang 30 km, ke Provinsi Jawa Tengah 35 km, ke Ibu
Kota Jakarta 200 km, dengan mempunyai batas wilayah sebagai
berikut :
a. Utara : Ds. Somo Gawe b. Timur : Ds. Tajuk c. Selatan : Gn. Merbabu d. Barat : Ds. Kopeng
Desa Batur terdiri dari 19 dusun 54 RT dan 19 RW, yaitu:
Thekelan, Seloduwur, Nglelo, Tawang, Batur Kidul, Batur Wetan,
Gondang, Dukuh, Selongisor, Kaliduren, Madu, Ngringin, Kalitengah,
Sanggar, Diwak, Senden, Rejosari, Wonosari, Krangkeng.
Jumlah penduduk Desa Batur 8241 jiwa dengan jumlah
laki-laki 4014 jiwa perempuan 4227 jiwa. untuk lebih jelasnya dan lebih
rinci diklarifikasikan jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin
dengan tabel berikut:
Tabel 1
Penduduk Desa Batur Berdasarkan Jenis Kelamin
NO Jenis Kelamin Jumlah
1 Laki laki 4014
2 Perempuan 4227
Total 8241
Sumber : Data monografi kependudukan Desa Batur Januari 2013
a. Keadaan Penduduk Desa Batur Berdasarkan Mata Pecaharian
Sesuai dengan letaknya Desa Batur yang jauh dari
perkotaan dan terletak di daerah pegunungan maka mata
pencaharian mereka sebagian besar mengandalakan perkebunan
dan persawahan yang mereka miliki. Lahan tersebutlah menjadi
sumber penghidupan di Desa Batur.
Adapun jumlah penduduk menurut mata pencaharian
Tabel 2
Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian
NO Jenis Mata Pencaharian Jumlah %
1 TNI 1 0,01
2 POLRI 2 0,02
3 PNS 18 0,23
4 Pengusaha 27 0,35
5 Petani 3228 41,6
6 Pensiun 18 0,23
7 Buruh tani 1761 22,7
8 Buruh industri 983 12,66
9 Swasta 149 1,92
10 Peternak 127 1,64
11 Lain-lain 1447 18,64
Total 7761 100
Sumber : Data monografi Desa Batur, Januari 2013
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa penduduk Desa
(0,02%), PNS (0,23%), pengusaha (0,35%), petani (41,6%),
pensiun (0,23%), buruh tani (22,7%), buruh industri (12,66%),
swasta (1,92%), peternak (1,64%), lain-lain (18,64%).
b. Keadaan Penduduk Desa Batur Berdasarkan Keagamaan
Berdasarka pengamatan awal, tampak masyarakat Desa
Batur termasuk masyarakat yang mayoritas beragama Islam. Hal
ini terlihat dari penduduk yang menganut agama islam memiliki
pemeluk agama terbanyak. Hal tersebut dapat di lihat dari tabel di
bawah ini:
Tabel 3
Keadaan penduduk Desa Batur Berdasarkan keagamaan
NO Kelompok
Agama
Laki-laki Perempuan Jumlah %
1 Isalam 3009 3141 6150 74,63
2 Kristen 785 878 1663 20,18
3 Katolik 2 2 4 0,05
4 Hindu - - - -
6 Konghucu - - - -
Jumlah 4014 4227 8241 100
Sumber : Data monografi Desa Batur, Januari 2013
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa mayoritas
penduduk di Desa Batur beragama Islam dengan prosentase
sebanyak 6150 jiwa (74,63%), kemudian agama kristen sebanyak
1663 jiwa (20,18%), agama katolik sebanyak 4 jiwa (0,05%),
agama budha sebanyak 424 jiwa (5,15%) sedangkan agama hindu
dan konghucu di Desa Batur tidak memiliki pemeluk.
c. Keadaan Penduduk Desa Batur Berdasarkan Tingkat
Pendidikan
Tingkat pendidikan masyarakat Desa Batur rata-rata
memiliki tingkat pendidikan rendah. Hal tersebut terlihat dari tabel
berikut:
Tabel 4
Tingkat Pendidikan
NO Jenis Pendidikan Jumlah %
1 Tamat Perguruan Tinggi 82 1
2 Tamat SLTA 463 5,6
4 Tamat SD 4698 56,9
5 Belum Tamat SD 489 6
6 Tidak / Belum Sekolah 1397 17
Jumlah 8241 100
Sumber : Data monografi Desa Batur, Januari 2013
Dari tabel di atas dapat diketahui prosentase tingkat
pendidikan penduduk di Desa Batur adalah pendidikan tingkat SD
sebanyak 4698 (56,9%) jiwa, tidak atau belum sekolah sebanyak
1397 (17%) jiwa, SLTP sebanyak 1112 (13,5%) jiwa, SLTA
sebanyak 463 (5,6%) jiwa, belum tamat SD sebanyak 489 (6%)
jiwa, dan tamat perguruan tinggi 82 (1%) jiwa.
Dari data tersebut diketahui tingkat pendidikan masyarakat
di Desa Batur mayoritas berpendidikan rendah, yaitu mayoritas
hanya berpendidika SD (Sekolah Dasar). Hal tersebut
kemungkinan disebabkan letak geografis yang terletak di lereng
gunung Merbabu yang jauh dari perkotaan sehingga informasi
yang mereka dapat sangatlah minim, disamping itu mayoritas
masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani.
Kurangnya sarana informasi dan penyuluhan menjadikan
mereka tidak begitu mementingkan pendidikan, karena mereka
berfikir akhirnya juga akan bekerja di ladang sebagai petani sayur.
untuk menuju ke sekolah karena di Desa Batur tidak ada angkutan
yang masuk sampai sana. 3. Kondisi Kelembagaan
Pembangunan di Desa Batur lebih ditekankan kedalam bidang
fisik seperti pembangunan balai desa, pembangunan sarana ibadah dan
jalan-jalan menuju pedesaan. Di Desa Batur dibentuk suatu sistem
kelembagaan yang terdiri dari BPD (Badan Perwakilan Desa) sebagai
badan pengawasan penyelanggaran pemerintah desa, kepala desa,
sekertaris desa, dan unsur-unsur yang berada di bawah naungannya.
Gambar 1
Struktur Perangkat Desa Batur Kecamatan Getasan
Sumber : Data dokumentasi Desa Batur
B. Data Penelitian
1. Profil keluarga pelaku perceraian di Desa Batur Kecamatan Getasan
Kabupaten Semarang.
Dalam sub bab ini peneliti hanya akan mendeskripsikan tiga
keluarga yang melakukan perceraian di Desa Batur Kecamatan
Getasan Kabupaten Semarang. Data ini diperoleh dari hasil wawancara
langsung dengan para pelaku perceraian. Dalam hal ini peneliti sengaja
menyamarkan nama asli untuk melindungi privasi keluarga tersebut.
a. Profil Andik dan Nana
(Nama samaran)
Andik dan Nana beragama Islam, mereka merupakan
penduduk asli Desa Batur keduanya sama-sama dibesarkan di
desa tersebut. Rumah merekapun tetanggaan dan satu RT pula.
Andik dan Nana menikah pada tahun 2002 yang di catatkan di
Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Getasan. Prosesi
perkawinan mereka diadakan di rumah kediaman orang tua Nana
dengan meriah, seperti selayaknya perkawinan yang diadakan di
desa merea. Mereka menikah ketika Andik berumur 20 tahun dan
Nana berumur 20 tahun.
Latar belakang pendidikan suami istri tersebut tidaklah
tinggi, mereka hanya lulusan sekolah dasar saja. Hal ini
bukanlah sesuatu yang perlu diprioritaskan, dan dalam hal
pendidikan keagamaan pun mereka sangat minim. Hal tersebut
dikarenakan lingkungan dan keluarga yang kurang
memperhatikan pendidikan agama.
Setelah menikah pasangan ini tinggal bersama di rumah
orang tua suami (Andik) selama 2 tahun yaitu sampai tahun 2004.
Walupun sudah menikah mereka belum dikaruniani seorang anak.
Hal tersebut dikarenakan saat bercerai istri (Nana) masih dalam
keadaan suci (qobla dukhul).
Andik dan Nana hanya bekerja sebagai petani sayur.
Setelah menikah mereka ikut menggarap (mengelola) tanah yang
diberikan oleh orang tua suami. Setiap harinya mereka berkebun,
tanaman sayur kulbis dan bobor menjadi tanaman mayoritasnya.
Pada awal perkawinan, kehidupan rumah tangga Andik
dan Nana memang tidaklah harmonis. Hal tersebut dikarenakan
perkawinan mereka tidak didasari saling cinta mencintai tapi
karena dijodohkan oleh kedua orang tua masing-masing. Semula
pasangan tersebut menolak untuk menikah, namun karena ingin
berbakti dan menyenangkan hati orang tua mereka bersedia untuk
dinikahkan. Sehingga akibatnya dalam menjalani kehidupan
rumah tangga sehari-hari suasananya terasa hambar. Rasa saling
mencintai dan menghormati tidaklah tercipta dalam suasana
untuk diajak berhubungan intim (sex) sebagaimana layaknya
suami isteri, menghadapi sikap istrinya suami (Andik) akhirnya
mengalah.
Dalam kehidupan sehari-hari mereka tetap menjalani
kehidupan rumah tangga walaupun tidak seperti layaknya
pasangan suami istri yang sedang berbahagia dan menikmati
indahnya berumah tangga. Diantar keduanya dalam kehidupan
sehari-hari tidak terjadi komunikasi bila tidak ada hal yang
penting untuk dibicarakan.
Puncak ketidak harmonisan terjadi pada pertengahan tahun
2004 Nana meninggalkan rumah kediaman bersama tanpa ijin
atau tanpa pamit suami pulang ke tempat kediaman orang tuanya
dan tidak pernah kembali ke tempat kediaman bersama, meskipun
Andik dan ayahnya telah menjemput dan mengajak pulang
kembali sampai 3 (tiga) kali, namun Nana tidak mau dan
menolaknya. Ketika Nana sudah tidak tinggal satu rumah dengan
Andik, ia pernah meliaht beberapa kali Istrinya bercengkrama
dengan seorang pria.
Nana tidak mau kembali pulang ke tempat kediaman
bersama di karenakan dia mungkin sudah mencintai laki-laki yang
sering terlihat bersamanya, karena memang dari awal Nana dan
mencintai. Maka hal tersebut yang menjadikan rumah tangga
mereka dari awal perkawinan tidaklah harmonis.
Bahwa atas dasar keadaan tersebut suami sudah mencoba
untuk bersikap sabar, namun lama kelamaan sikap dan perbuatan
istrinya tersebut membuat suami sudah tidak tahan dan merasa
tidak dihormati sebagai seorang suami yang sah. Oleh karena itu
sumai berpendapat bahwa istrinya tersebut sudah ingkar dan tidak
patuh kepadanya sehingga mengajukan gugatan pada tahun 2009
di Pengadilan Agama Salatiga. Pada saat wawancara ini dilakukan
Andik dan Nana masing-masing sudah berkeluarga dan
wawancara ini dilakukan atas persetujuan pasangannya
masing-masing, karena kebetuanl rumah mereka bersebelahan. Terjadinya
perceraian antara Andik dan Nana lebih dikarenakan faktor
perjodohan dan gangguan pihak ke tiga dari istri yang mempunyai
pria yang dicintainya.
b. Profil Enji dan Ayu
Enji dan Ayu merupakan pasangan suami istri yang
menikah pada tahuan 2001 di Kantor Urusan Agama (KUA)
Kecamatan Getasan. Mereka menikah ketika Enji berumur 20
tahun dan Ayu berumur 19 tahun. Setelah menikah mereka
dikaruniani satu orang anak perempuan sebut saja namanya Raya
berumur 9 tahun yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar
Enji dan Ayu merupakan seorang muslim keduanya
beragama Islam. Latar belakang pendidikan mereka sama-sama
hanya sampai Sekolah Dasar (SD). Enji dan Ayu merupakan
anak dari seorang petani yang menjadikan mereka hanya
bersekolah sampai tingkat SD. Hal tersebut dikarenakan bagi
orang tua mereka pendidikan tidaklah begitu menjadi prioritas
utama, apalagi bagi seorang anak perempuan. Mereka berfikir
bahwa suatu saat nanti anak-anaknya juga akan menjadi seorang
petani yang akan meneruskan tanah warisannnya, jadi menerut
mereka pendidikan tidaklah begitu penting karena pada akhirnya
juga akan menjadi petani, yang terpenting bagi mereka adalah
anaknya sudah bisa baca dan menulis saja.
Setelah menikah pasangan ini tinggal dirumah pemberian
dari orang tua Enji. Dalam menjalani kehidupan sehari-hari Enji
dan Ayu hanya berprofesi sebagai petani. Mereka bercocok
tanam di ladang yang merupakan tanah pemberian dari
masing-masing orang tua mereka.
Pada awal perkawinan, kehidupan rumah tangga Enji dan
Ayu dalam keadaan rukun dan tentram. Akan tetapi setelah usia
perkawinan mereka menginjak 2 tahun tepatnya pada tahun 2003,
kehidupan rumah tangga mereka mulai goyah dan diwarnai
pertengkara. Terkadang hanya masalah yang kecil sering
membuat hubungan mereka renggang dan keharmonisan rumah
tangga mereka menjadi kurang.
Menurut hasil wawancara yang peneliti lakukan dengan
Ayu, latar belakang terjadinya pertengkaran mereka adalah
permasalahan ekonomi. Ayu merasa kesal dengan perilaku
suaminya yang jarang memberikan uang belanja, meskipun Ayu
telah meminta kepadanya karena kalau mengandalkan panen
sayur saja tidaklah cukup. Hal tersebut yang selalu memicu
pertengkaran dan peselisihan, tidak jarang setiap mereka
bertengkar Enji selalu memukuli Ayu sampai dia merasa
kesakitan dan memar-memar di tubuhnya. Enji juga sering
bermain judi dan mabuk-mabukan. Enji sering pulang kerumah
dalam keadaan mabuk dan sering pula dia minum-minuman
keras di rumah dihadapan Ayu mauapun anaknya.
Sejak suaminya sering bermain judi dan mabuk-mabukan
mengakibatkan Enji tidak memberi nafkah kepada anak dan
istrinya, Enji juga menghabiskan harta yang ada untuk bermain
judi dan mabuk-mabukan. Perilaku Enji yang demikian itu terjadi
mulai saat mereka punya anak, awal perkawinan sikap Enji
baik-baik saja seperti selayaknya suami. Tetapi perilakunya mulai
berubah setelah sering keluar malam bersama teman-temannya.
Setiap kali Ayu bertanya dari mana Enji, dia selalu marah-marah
Perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus terjadi
dengan masalah yang sama mengakibatkan Ayu tidak tahan lagi
hidup berumah tangga bersama Suaminya yaitu pada puncaknya
pada tahun 2010 Ayu pulang kerumah orang tuanya dengan
membawa anaknya. Selama Ayu pulang ke rumah Enji tidak
sekalipun mencoba untuk menjemputnya pulang kembali
bersamanya. Berdasarkan keadaan tersebut Ayu merasa bahwa
rumah tangganya tidak dapat diperthanakan lagi dan sudah tidak
sanggup untuk menahan segala kekerasan yang dilakukan oleh
suaminya. Akhirnya pada tahun 2011 Ayu mengajukan gugatan
ceraia di Pengadilan Agama Salatiga.
c. Profil Rudi dan Soraya
Rudi adalah seorang pemuda asli Desa Batur Kidul, dia
hanya berasal dari sebuah keluarga yang orang tuanya berprofesi
sebagai petani sayur. Setelah dia lulus sekolah setiap harinya dia
selalu membantu orang tuanya di kebun. Kerena keluarga Rudi
adalah sebuah keluarga yang keadaan ekonominya sangat
sederhana, ia hanya mengenyam pendidikan samapi tingkat SD.
Rudi tidak pernah mengenyam pendidikan pesantren karena dari
keluarga dia memang minim pengetahuan agamanya.
Sedangkan istrinya (Soraya) merupakan pemudi yang
juga bearsal dari Desa Batur Kidul. Soraya juga hanya
keluarga yang sederhana. Orang tuanya hanya berprofesi sebagai
seorang petani.
Sebelum mereka memutuskan untuk menikah, keduanya
terlebih dahulu menjalin hubungan pacaran kurang lebih selama
1 tahun. Timbulnya benih-benih cinta diantara keduanya
disebabkan karena sering bertemunya mereka, karena keduanya
berasal dari satu Desa Batur, dan lama kelamaan di antara
keduanya timbul rasa saling mencintai. Awal mula benih-benih
cinta itu timbul ketika mereka sama-sama nonton dangdut yang
diadakan di Desa mereka dalam rangka acara saparan. Saparan
merupakan suatu adat yang selalu di jalankan setiap tahunnya
oleh penduduk Desa Batur, setiap bulan sapar yaitu setahun
sekali.
Rudi dan Soraya menikah pada tahun 2002 yang di
catatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Getasan.
Prosesi pernikahan mereka di adakan di rumah yaitu di tempat
tinggal orang tua Soraya (istri). Acara perkawinanpun diadakan
secara meriah.
Setelah menikah Rudi dan Soraya belum memiliki tempat
kediaman sendiri, jadi keduanya sering tinggal di dumah orang
tua Rudi maupun orang tua Soraya. Awal perkawinan rumah