1
PEMAKNAAN BUDAYA HUMANIS DALAM
PROGRAM DAAI INSPIRASI DI DAAI TV
JAKARTA (Analisa Semiotika Ferdinand de
Saussure)
Ellen
Marketing Communication, School of Economic and Communication, Binus University.
Jln. K.H. Syahdan No. 9, Palmerah, Jakarta Barat, 11480.
Telp. (62-21) 534 5830, [email protected]
Ellen, Rahmat Edi Irawan.
ABSTRACT
Many television stations which only pay attention to rating and share without having a good quality of the content program became the concern of DAAI TV. Therefore, DAAI Inspirasi was created, a program which was trying to spread humanist culture value. The purpose of this research is to see how humanist is defined in DAAI Inspirasi by using semiotic analyst. The research method used was qualitative with library study, observation, and documentation. Data analysis in this research used signifier and signified as in semiotic theory Ferdinand de Saussure. By adding humanis concept theory, the achieved result was defining humanist culture in DAAI Inspirasi that could be seen from voice over, bite interview, and scene in program. The conclusion of this reseacrh was defining strong humanist culture in DAAI Inspirasi created because of Buddha Tzu Chi Foundation volunteers as the ‘main role’ of this program doing humanist behaviors in every activity.
Keywords: Humanist Culture, DAAI TV, Ferdinand de Saussure’s semiotic.
ABSTRAK
Banyaknya stasiun televisi yang hanya mementingkan rating dan share tanpa melihat kualitas konten acara menjadi perhatian DAAI TV. Maka dibentuklah program DAAI Inspirasi, sebuah tayangan yang berusaha menyebarkan nilai – nilai budaya humanis. Tujuan penelitian adalah untuk melihat bagaimana pemaknaan humanisme di dalam program DAAI Inspirasi dengan menggunakan analisa semiotika. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan studi pustaka, observasi, dan dokumentasi. Analisis data pada penelitian ini menggunakan penanda dan petanda seperti dalam teori semiotika Ferdinand de Saussure. Dengan menambahkan teori konsep humanisme, hasil yang dicapai adalah pemaknaan budaya humanis dalam program DAAI Inspirasi dapat terlihat dari voice over, bite
wawancara, dan scene dalam tayangannya. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pemaknaan budaya humanis yang kuat dalam program DAAI Inspirasi tercipta karena memang relawan Yayasan Buddha Tzu Chi sebagai ‘tokoh utama’ program ini melakukan sikap – sikap humanis dalam setiap kegiatannya. (E)
2
PENDAHULUAN
Televisi sebagai sebuah media massa, menggunakan iklan sebagai sumber pendapatan dan keuntungan. Televisi juga menggunakan rating untuk menjual airtime kepada pengiklan untuk meningkatkan pendapatan tersebut. Pendapatan stasiun televisi bersumber dari pasar spot nasional dan local. (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2005) Pengiklan hanya akan mendatangi stasiun televisi jika stasiun televisi tersebut memiliki rating yang tinggi. Maka dengan tingginya jumlah khalayak atau rating yang dimiliki oleh satu stasiun televisi, akan semakin besar juga keuntungan stasiun televisi tersebut. Persaingan yang semakin ketat dalam dunia penyiaran, membuat banyak stasiun televisi berusaha manghadirkan banyak acara yang dapat menarik banyak khayalak.
Pola berpikirnya adalah jika suatu program acara di sebuah stasiun televisi mendapatkan rating yang tinggi dari lembaga riset, dan karenanya banyak perusahaan yang beriklan, maka stasiun televisi atau production house (PH) lain akan segera berlomba-lomba membuat program yang serupa dengan harapan mendapat bagian iklan. Dengan pertimbangan iklan inilah rating tiba-tiba menjadi sebuah sabda yang harus dituruti dalam sebuah perayaan ritual industry. (Panjaitan dan Iqbal, 2006)
Akibat bertumpu pada rating sebagai alat control dan standarisasi utama, industry televisi terjebak pada pola pikir “yang penting sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya”. (Panjaitan dan Iqbal, 2006) Hal ini tentunya menyebabkan banyak stasiun televisi yang berusaha untuk mencapai rating acara tanpa mementingkan kualitas dari program itu sendiri. Acara-acara yang ditampilkan oleh televisi menjadi tidak mendidik dan banyak mengandung unsur kekerasan yang kemudian ditiru oleh banyak khalayaknya. Sebab pada dasarnya, televisi sebagai media komunikasi memiliki dampak untuk mengubah sikap, perilaku, dan perbuatan seseorang (Suprapto, 2009).
Sebelum menggambarkan fenomena yang ada di Indonesia, kita perlu melihat bahwa Gerbner melalui West dan Turner (2008) menggarisbawahi keunikan dari televisi dalam analisis teori kultivasi. Gerbner mengatakan televisi merupakan “senjata budaya utama” dari budaya kita. Karena pada dasarnya, untuk menikmati tayangan yang ada pada televisi, kita tidak membutuhkan kemampuan membaca, sebagaimana dengan media cetak. Tidak seperti film, televisi pada dasarnya gratis (selain biaya yang dikeluarkan pertama kali untuk pesawat televisi dan biaya iklan yang ditambahkan pada produk-produk yang kita beli). Tidak seperti radio, televisi mengombinasikan gambar dan suara. Televisi adalah satu-satunya medium yang pernah diciptakan yang tidak memiliki batasan usia. Orang dapat menggunakan televisi dalam tahun-tahun awal dan akhir dari kehidupan mereka, dan juga tahun-tahun diantaranya.
Di Indonesia, tingginya permintaan untuk acara-acara seperti pencarian bakat dan humor, menyebabkan banyak stasiun televisi yang berusaha untuk memenuhi permintaan tersebut tanpa mementingkan kualitas dari program itu sendiri. Banyak stasiun televisi yang terbutakan oleh rating sehingga menampilkan budaya-budaya tidak mendidik yang tentunya dapat merusak moral masyarakat. Beberapa budaya yang tidak mendidik seperti kekerasan, baik verbal maupun non-verbal, ditunjukkan maupun diselipkan dalam konten acara, akan tertempel pada benak masyarakat. Kemungkinan bagi masyarakat untuk meniru hal-hal seperti itu pun menjadi semakin meningkat dengan ditayangkannya tayangan tersebut setiap hari disertai dengan jam tayang yang panjang.
Melihat mulai menurunnya kepedulian masyarakat mengenai pendidikan moral dan budaya humanis, Yayasan Buddha Tzu Chi berusaha untuk menanamkan budaya humanis kedalam setiap insan manusia. Istilah budaya dapat digunakan untuk menggambarkan keseluruhan cara hidup, berkegiatan, keyakinan, dan adat kebiasaan sejumlah orang, kelompok, atau masyarakat. (Williams dalam Sutrisno, 2005) Kata humanis sendiri merupakan hasil adaptasi dari humanisme. Humanisme berarti berkaitan dengan konsentrasi terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang biasanya dimaksudkan untuk mengangkat harkat dan martabat manusia. (Tjaya, 2004) Jadi pada intinya, budaya humanis merupakan tindakan membiasakan atau membudayakan sikap menghormati nilai-nilai kemanusiaan dalam rangka membangun masyarakat yang lebih manusiawi berdasakan nilai-nilai alami manusia. Budaya humanis yang selalu dibawa oleh seluruh insan Tzu Chi dapat dimulai dari bagaimana cara berjalan yang baik, cara duduk, cara berpakaian, cara meminum teh, cara menulis kaligrafi, dan cara merangkai bunga. Yayasan Buddha Tzu Chi sendiri membuka kelas-kelas khusus bagi masyarakat yang ingin mempelajari budaya humanis khusus seperti merangkai bunga dan menulis kaligrafi. Namun itu bukan berarti budaya humanis tidak dapat kita
3
terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Budaya humanis dalam kehidupan sehari-hari dapat diwujudkan dalam rasa cinta kasih dan sikap tolong-menolong (www.tzuchi.or.id).
Salah satu cara untuk menyebarkan dan menanamkan budaya humanis yang dilakukan oleh Yayasan Buddha Tzu Chi adalah dengan mendirikan stasiun televisi non komersial, DAAI TV. Selain itu, kurangnya perhatian televisi komersial pada mutu konten setiap tayangannya pun menjadi alasan Yayasan Buddha Tzu Chi untuk mendirikan DAAI TV di Indonesia. Berdirinya DAAI TV ini memang bukan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan komersial atau hiburan semata. Sesuai misinya, DAAI TV memfokuskan diri dalam bidang kemanusiaan yang menitikberatkan pada penyebaraan cinta kasih lintas agama, suku, bangsa, dan negara.
Slogan dan motto DAAI TV sebagai Televisi Cinta Kasih, berusaha diwujudkan melalui tayangan DAAI Inspirasi. DAAI Inspirasi merupakan salah satu program motivasi dan spiritual yang dimiliki DAAI TV. Program motivasi dan spiritual sendiri dimaksudkan sebagai program yang membawa manfaat positif bagi masyarakat Indonesia. Biasanya dengan mengangkat cerita nyata yang digali dari kisah perjuangan hidup dan jalinan kasih antara manusia untuk memberikan inspirasi serta mencerminkan keindahan dan kehangatan kehidupan (www.daaitv.co.id). Konten dari acara DAAI Inspirasi lebih fokus kepada semua kegiatan yang dilakukan oleh Yayasan Buddha Tzu Chi, seperti kegiatan amal dan bakti sosial. DAAI Inspirasi yang merupakan salah satu sarana bagi DAAI TV untuk menyebarkan budaya humanis, memiliki liputan – liputan khusus yang membahas mengenai budaya humanis yang dimiliki Yayasan Buddha Tzu Chi. Tayang dengan format tapping setiap hari Senin - Kamis pada pukul 18.30 – 18.45 WIB, Program DAAI Inspirasi berusaha menyajikan kisah keteladanan hidup agar para insan dapat meraih kebijaksanaan kedamaian hati, serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari melalui kepedulian terhadap sesama dan lingkugngan.
Tayang dengan durasi 12 menit setiap Senin hingga Kamis, DAAI Inspirasi terus berusaha untuk menyebarkan nilai – nilai kebaikan. Paket berita yang tayang setiap harinya berdurasi kurang lebih 3 – 5 menit yang terus memuat kegiatan – kegiatan relawan Yayasan Buddha Tzu Chi. Hal ini juga membuktikan bahwa DAAI Inspirasi merupakan salah satu wadah bagi Yayasan Buddha Tzu Chi untuk terus menmberitakan kegiatan – kegiatan sosialnya.
Melihat adanya keinginan DAAI TV untuk menyebarkan budaya humanis melalui program DAAI Inspirasi, maka peneliti ingin memfokuskan penelitian pada bagaimana pemaknaan budaya humanis yang sesungguhnya dalam tayangan DAAI Inspirasi. Melalui gambar (scene) dan audio (naskah), peneliti akan menganalisa tanda – tanda yang ada pada program DAAI Inspirasi menggunakan semiotika perspektif Ferdinand de Saussure. Bagi Saussure sendiri, dalam teori semiotik ada dua istilah yang dibagi menjadi dua bagian, yaitu: penanda dan petanda. Penanda dilihat sebagai bentuk/wujud fisik dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur, sedang petanda dapat dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi dan/atau nilai - nilai yang terkadung didalam karya arsitektur. Eksistensi semiotika Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikansi.
Objek bagi Saussure disebut “referent”. Saussure memaknai “objek” sebagai referent dan menyebutkannya sebagai unsur tambahan dalam proses penandaan. Maka tujuan dari penggunaan semiotika perspektif Saussure adalah untuk menunjukkan bagaimana tergambarnya tanda – tanda yang ada pada program DAAI Inspirasi sehingga pada akhirnya khalayak akan paham mengenai pesan yang disampaikan karena ada tanda dan referen atau objek yang menghasilkan makna.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini yang berusaha untuk menjabarkan penanda dan petanda dibalik gambar – gambar yang masuk ke dalam tayangan DAAI Inspirasi. Penjabaran mengenai tanda ini tidaklah melalui proses yang mudah, melainkan harus menggunakan teknik analisa yang tajam untuk menjabarkan kompleksitas yang ada di dalam setiap interaksi manusia.
Penelitian yang akan menganalisa paket berita DAAI Inspirasi menggunakan semiotika ini akan menggunakan metode kualitatif. Karena peneliti melihat dari sifat realitas metode kualitatif yang tidak hanya tampak (teramati), tetapi sampai dibalik yang tampak tersebut. Sugiyono (2012), memberikan contoh mengenai perbedaan mengenai penelitian kualitatif dan kuantitatif seperti ini; jika penelitian
4
kuantitatif melihat orang memancing, maka ia akan menganggap bahwa memancing merupakan kegiatan mencari ikan. Namun penelitian kualitatif akan melihat yang lebih dalam mengapa ia memancing.
Melihat kepentingan penelitian ini adalah untuk menjabarkan tanda – tanda yang ada dalam paket berita yang mengandung nilai budaya humanis, maka peneliti memilih metode kualitatif sebagai metode yang akan digunakan dalam penelitian ini. Karena pada penelitian ini, peneliti ingin menggali mengenai apa saja tanda – tanda yang menunjukkan bahwa DAAI Inspirasi adalah sebuah program televisi yang bermaksud untuk menyebarkan budaya humanis.
Untuk mencapai pemecahan masalah, atau penjelasan mengenai fenomena yang berusaha diangkat oleh peneliti, penelitian ini akan menggunakan pendekatan semiotika yang akhirnya akan membantu peneliti untuk menjelaskan tanda – tanda yang ada pada tayangan DAAI Inspirasi. Pendekatan semiotika yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan semiotika Ferdinand de Saussure, yang sudah dikenal sebagai pencetus dari teori semiotika itu sendiri.
Semiotika Ferdinand de Saussure menyoroti mengenai tanda sebagai sebuah kesatuan dari bentuk penanda dengan sebuah ide atau petanda. Penanda sendiri berupa apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang dituliskan atau dibaca. Sedangkan petanda sendiri adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Metode semiotika ini pada akhirnya akan digunakan untuk menganalisa bagaimana pemaknaan humanis yang ada dalam episode “Cinta Kasih untuk Korban Banjir Cirumpak”. Penelitian ini akan menilai melalui gambar (scene) dan audio (narasi) yang ada pada tayangan tersebut apakah dapat menggerakan hati penonton untuk menerapkan budaya humanis dalam kehidupannya.
Penelitian ini akan menggunakan metode observasi terstruktur, dimana peneliti sudah mengetahui dari awal mengenai apa yang akan di amati, yaitu salah satu episode dalam DAAI Inspirasi yang berjudul “Cinta Kasih untuk Korban Banjir Cirumpak”. Selain itu juga penelitian akan menggunakan teknik dokumentasi, dimana peneliti akan menganalisa scene dan naskah yang ada pada paket berita DAAI Inspirasi untuk melihat bagaimana sebenarnya pemaknaan humanisme yang terdapat dalam program tersebut.
Setelah kedua teknik tersebutnya, selanjutnya penelitian ini akan menggunakan teknik studi pustaka karena peneliti tidak turun ke lapangan seperti penelitian – penelitian lainnya. Namun seperti yang dikatakan oleh Prof.Dr. Nyoman Kutha Ratna di dalam bukunya, penggunaan metode pustaka bukan karena dalam metode tersebut peneliti tidak perlu terjun ke lapangan sehingga penelitian dapat diselesaikan secara relatif lebih cepat. Hal ini lebih disebabkan karena masalah hakikat objek.
Penelitian ini akan menggunakan semiotika perspektif Ferdinand de Saussure untuk menganalisa bagaimana pemaknaan budaya humanis yang terkandung pada tayangan DAAI Inspirasi khususnya episode “Cinta Kasih untuk Korban Banjir Cirumpak”.
Ferdinand de Sauusure sendiri terkenal sebagai salah satu pencetus utama teori semiotika. Pada teori semiotikanya, hal – hal pokok yang dapat ditangkap adalah prinsip Saussure yang mengatakan bahwa bahasa itu adalah suatu sistem tanda, dan setiap tanda tersebut tersusun dari dua bagian, yakni penanda dan petanda.
Melalui penanda dan petanda tersebut, penelitian ini akan berusaha menganalisa pemaknaan humanisme dalam sebuah program televisi yang menyatakan dirinya sebagai program yang berbudaya humanis.
Penelitian yang berusaha memaknai humanisme dalam sebuah acara televisi ini akan menggunakan triangulasi sumber. Dimana penelitian ini akan menggunakan penelitian – penelitian sebelumnya sebagai bahan untuk menganalisa dan juga video tayangan program serta naskah dari episode “Cinta Kasih untuk Korban Banjir Cirumpak”.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembahasan Tanda 1
Dengan mengatakan bahwa kapanpun dan dimanapun relawan Tzu Chi dengan sigap turun kelapangan untuk memberikan bantuan yang dibutuhkan, jelas bagaimana DAAI Inspirasi menggambarkan pemaknaan humanis dalam acaranya. Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Syariati (1996) mengenai konsep humanisme, bahwa salah satu contoh sikap dan perilaku yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dapat ditunjukkan dengan gemar melakukan kegiatan kemanusiaan contohnya memberikan bantuan kepada yang membutuhkan.
5
Dengan membuat naskah yang menyatakan bagaimana relawan Tzu Chi dengan sigap membantu orang yang membutuhkan bantuan, maka kita bisa tarik kesimpulan bahwa ada pemaknaan
humanisme yang sangat kuat dalam program DAAI Inspirasi episode “Cinta Kasih untuk Korban Banjir Cirumpak”.
Pembahasan Tanda 2
Dari naskah penutup yang digunakan dalam paket berita ini, kita bisa melihat semakin kuatnya pemaknaan budaya humanis yang ditunjukkan oleh DAAI Inspirasi. Pada naskah penutup, DAAI Inspirasi menyatakan bahwa relawan Tzu Chi terus memberikan bantuan tanpa melihat perbedaan status sosial. Semua itu juga memang benar dilakukan, bukan hanya rekayasa atau cerita belaka, dan juga dilakukan atas dasar rasa kasih sayang terhadap sesama.
Di dalam paket berita ini sendiri memang tergambar jelas bahwa mayoritas warga Desa Cirumpak beragam Islam. Juga bisa dilihat bagaimana kondisi sosial Desa Cirumpak yang masih cukup tertinggal. Namun dengan adanya perbedaan suku, agama, dan juga status sosial tidak menghalangi niat baik Yayasan Buddha Tzu Chi untuk terjun langsung memberikan bantuan langsung ke tangan warga Desa Cirumpak.
DAAI Inspirasi juga menggambarkan bahwa kegiatan sosial yang dilakukan Yayasan Buddha Tzu Chi selalu dilandasi dengan rasa cinta kasih kepada sesama. Hal ini juga sesuai dengan bagaimana konsep humanisme yang dikatakan oleh Syariati (1996) bahwa humanisme bukan saja sekedar gemar melakukan kemanusiaan namun juga mengenai bagaimana kita mengakui persamaan derajat dan terus mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
Pembahasan Tanda 3
Makna yang muncul dari hasil wawancara antara tim DAAI Inspirasi dengan Lu Lian Chu selaku ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Tangerang adalah bahwa Yayasan Buddha Tzu Chi terus membantu orang – orang yang membutuhkan. Pada saat pembagian kupon untuk bakti sosial untuk kepentingan pasca-banjir, relawan Yayasan Buddha Tzu Chi menemukan bahwa banyak warga Desa Cirumpak yang terkena penyakit hernia, terutama anak-anak kecil. Fasilitas kesehatan terdekat yang ada di desa tersebut juga tidak memadai dan tidak bisa menangani penyakit – penyakit tersebut. Melihat bahwa kondisi sosial warga Desa Cirumpak masih cukup tertinggal, maka relawan Tzu Chi mengundang warga datang ke kantor Yayasan Buddha Tzu Chi Tangerang untuk kemudian dibawa ke dokter – dokter yang bisa menangani dan menyembuhkan penyakit mereka.
Dikala menawarkan hal tersebut, kondisinya adalah relawan Yayasan Buddha Tzu Chi sedang membagikan kupon untuk bakti sosial ke rumah – rumah warga. Namun bantuan yang diberikan tidak berhenti sampai di kegiatan bakti sosial tersebut, Yayasan Buddha Tzu Chi sudah langsung menawarkan diri untuk memberikan bantuan berikutnya bagi warga Desa Cirumpak yaitu bantuan kesehatan. Tergambarkan dengan jelas bagaimana Yayasan Buddha Tzu Chi gemar melakukan kegiatan kemanusiaan sesuai dengan konsep humanisme yang dikatakan oleh Syariati (1996) pada
point keempat. Pembahasan Tanda 4
Sebelum kegiatan bakti sosial dimulai, Yayasan Buddha Tzu Chi melakukan simbolisasi kegiatan pembagian paket bantuan pasca banjir. Pada simbolisasi tersebut, para relawan melakukan penghormatan kepada para penerima bantua. Penghormatan tersebut dilakukan dengan membungkuk 90̊ sambil menyerahkan paket bantuan yang akan diberikan kepada warga Desa Cirumpak.
Penghormatan dilakukan oleh Yayasan Buddha Tzu Chi sebagai ‘pemberi’ kepada warga Desa Cirumpak sebagai ‘penerima’. Hal ini dilakukan karena dengan mereka mau menerima bantuan yang diberikan, maka Yayasan Buddha Tzu Chi berkesempatan untuk melakukan kebaikan dan mendapatkan pahala.
6
Di dalam agama Buddha sendiri, sikap membungkuk merupakan salah satu bagian dari praktik penting dalam agamanya. Dimana membungkuk itu sendiri umumnya ditujukan kepada tiga pelindung di dalam agama Buddha (Buddha, Dhamma, dan Sangha) sebagai tanda penghormatan dan kesetiaan kepada ajaran Buddha.
Maka disini direpresentasikan bahwa Yayasan Buddha Tzu Chi adalah sebuah yayasan yang menghormati sesamanya dan juga menyatakan diri akan terus setia membantu orang – orang yang membutuhkannya. Pada scene yang dijadikan tanda ini juga kita bisa melihat bahwa ada warga Desa Cirumpak yang menggunakan kerudung, yang merepresentasikan bahwa warga tersebut beragama Islam. Namun demikian, Yayasan Buddha Tzu Chi tetap menghormati mereka tanpa membeda-bedakan suku maupun agama. Jelas tergambar bagaimana pemaknaan budaya humanis pada program DAAI Inspirasi.
Pembahasan Tanda 5
Representasi budaya humanis pada objek diatas terlihat melalui bagaimana cara relawan Buddha Tzu Chi membagikan paket bantuan kepada Desa Cirumpak. Mereka membagikan paket langsung dari tangan mereka, diserahkan ke tangan penerima bantuan. Tidak membuat para penerima bantuan memperebutkan paket tersebut, juga tidak meminta orang lain melakukan hal tersebut.
Bisa digambarkan bagaimana pemaknaan budaya humanis melalui tanda berikut. Kita lihat mereka memperlakukan Desa Cirumpak sebagai manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya dimana paket bantuan harus diberikan langsung ke tangan penerimanya, selain untuk menghindari tidak sampainya paket bantuan kepada orang yang dimaksud, juga untuk menunjukkan bahwa Yayasan Buddha Tzu Chi akan memperlakukan semua orang sama rata, walaupun konteksnya disini Buddha Tzu Chi lah yang memberi sesuai dengan yang diungkapkan Syariati (1996) mengenai konsep humanisme.
Pembahasan Tanda 6
Tanda berikut menunjukkan bahwa seorang relawan Yayasan Buddha Tzu Chi yang merepresentasikan agama Buddha, berinteraksi dengan warga Desa Cirumpak yang menggunakan kerudung dan merepresentasikan agama Islam. Bukan hanya saling berinteraksi, namun tanda diatas juga menunjukkan bagaimana ekspresi kedua pihak yang gembira dan saling tersenyum satu sama lain.
Di belakang relawan Buddha Tzu Chi dan warga yang sedang berinteraksi ini kita bisa melihat juga warga lain yang juga menggunakan kerudung. Tergambarkan sekali bagaimana mayoritas warga Desa Cirumpak beragama Islam, namun Yayasan Buddha Tzu Chi tetap melakukan bakti sosial disini, tanpa memandang adanya perbedaan agama.
Maka pemaknaan humanisme dalam tanda ini terlihat sangat kental, dimana bukan hanya gemar melakukan kegiatan kemanusiaan seperti membantu orang yang membutuhkan, namun Yayasan Buddha Tzu Chi juga melakukan kegiatan kemanusiaan tersebut tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, maupun agama. Sama seperti apa yang dinyatakan dalam konsep kemanusiaan Syariati (1996).
Pembahasan Tanda 7
Sebelum melakukan penghormatan dengan membunguk 90̊, relawan Buddha Tzu Chi melakukan sikap anjali, yaitu sikap dimana kedua tangan mengatup tepat di depan dada. Di dalam agama Buddha sendiri, sikap anjali dimaksudkan untuk memberikan penghormatan tertinggi kepada tiga pelindung di dalam agama Buddha. Selain itu, mengatupkan kedua tangan di dada juga di maksudkan sebagai pemusatan dan penenangan pikiran. Sehingga ketika melakukan penghormatan, pikiran kita tenang dan terpusat kepada tiga pelindung.
7
Dengan melakukan sikap anjali sebelum menunjukkan rasa terima kasih dan rasa hormat kepada orang lain, kita bisa menggambarkan bagaimana cara Yayasan Buddha Tzu Chi bersungguh – sungguh, memusatkan dan menenangkan pikiran sebelum melakukan penghormatan kepada orang – orang lain.
Dari penjabaran diatas, kita bisa melihat Yayasan Buddha Tzu Chi mengakui persamaan derajat manusia tanpa membedakan suku, keturunan, agama, jenis kelamin, maupun kedudukan sosial warga Desa Cirumpak yang berada di bawah mereka. Ini merupakan salah satu contoh penggambaran makna humanisme di dalam program DAAI Inspirasi karena sesuai dengan point kedua pada konsep humanisme yang dinyatakan Syariati (1996), bahwa menunjukkan sikap dan perilaku positif yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dapat dilakukan dengan cara mengakui persamaan derajat, hak dan kewajiban asasi setiap manusia tanpa membeda – bedakan suku, keturunan, agama, jenis kelamin, kedudukan sosial, dan sebagainya.
Pembahasan Tanda 8
Berjalannya kegiatan bakti sosial di Desa Cirumpak bukan sepenuhnya atas nama Yayasan Buddha Tzu Chi semata namun juga dengan bantuan pihak – pihak lain. Maka dengan suksesnya kegiatan bakti sosial saat itu, relawan Yayasan Buddha Tzu Chi merasa perlu mengucapkan terima kasih mereka dengan sekali lagi melakukan penghormatan 90̊ yang kali ini ditujukan untuk para pihak yang sudah membantu berjalannya kegiatan bakti sosial.
Dari scene yang dijadikan tanda berikut, kita bisa melihat ada seorang pria dari pihak yang telah membantu Yayasan Buddha Tzu Chi, menggunakan peci berwarna hitam. Representasi agama Islam sebagai agama yang dianut oleh pria tersebut tampak jelas dalam tanda berikut.
Namun dengan adanya perbedaan agama tersebut, relawan Yayasan Buddha Tzu Chi, yang merepresentasikan agama Buddha, tidak ragu untuk memberikan penghormatan 90̊ (yang merupakan tanda penghormatan tertinggi dalam agamanya) kepada orang lain dengan agama yang berbeda. Dapat dilihat bagaimana pemaknaan humanisme yang kuat pada tayangan ini. Dimana relawan Yayasan Buddha Tzu Chi sendiri memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan (Syariati:1996), yaitu wajib untuk dihormati dan diakui.
Pembahasan Tanda 9
Dari tanda 9, kita bisa melihat seorang relawan Tzu Chi sedang membantu warga Desa Cirumpak membawa paket bantuan yang sudah diterimanya. Kita bisa melihat bahwa warga yang dibantu adalah seorang wanita yang sudah cukup berumur. Juga ditangan kiri wanita tersebut dia menggendong seorang anak kecil yang bisa jadi merupakan anak atau cucunya. Dengan umur yang sudah tidak muda, juga dengan anak kecil ditangan kirinya, tidaklah mudah bagi wanita tersebut untuk mengangkat paket bantuan yang dibagikan.
Yang menjadi perhatian pada tanda ini adalah bahwa yang membantu wanita tersebut adalah bukan hanya sekedar relawan Yayasan Buddha Tzu Chi namun juga merupakan ketua dari Yayasan Buddha Tzu Chi Tangerang. Namun melihat ada warga yang membutuhkan bantuannya, ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Tangerang langsung turun tangan membantu orang tersebut, terlepas dari jabatannya sebagai orang tertinggi dari Yayasan Buddha Tzu Chi Tangerang.
Lu Lian Chu sendiri selaku ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Tangerang merupakan salah satu dari beberapa relawan Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia yang langsung didatangkan dari Taiwan (pusat Yayasan Buddha Tzu Chi) untuk menangani Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. Perbedaan suku, agama, dan juga status tidak menghalangi ketua Tzu Chi Tangerang untuk memberikan tenaganya membantu orang yang membutuhkan.
Disini tergambar dengan jelas bagaimana Buddha Tzu Chi tidak pernah memandang jabatan maupun perbedaan suku, agama, maupun ras untuk memberikan bantuan. Juga tidak semena – mena Tzu Chi sudah memberikan bantuan berupa paket pasca banjir, maka pertolongannya berhenti sampai
8
disitu. Relawan Yayasan Buddha Tzu Chi tanpa ragu terus membantu mereka yang membutuhkan bantuan. Maka sekali lagi kita bisa melihat bagaimana humanisme yang tergambarkan dalam paket berita DAAI Inspirasi, bahwa salah satu contoh sikap humanis adalah gemar melakukan kegiatan kemanusiaan; menolong orang lain dan memberi bantuan kepada yang membutuhkan (Syariati: 1996). Scene ini juga menggambarkan bahwa menolong dan membantu orang lain hatus dilakukan tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, maupun kedudukan sosial.
Pembahasan Tanda 10
Pada kegiatan bakti sosial di Desa Cirumpak ini, Yayasan Buddha Tzu Chi mengibarkan bendera merah putih berdampingan dengan bendera milikinya. Seperti yang kita tahu selama ini, pengibaran bendera sebuah organisasi lain disamping bendera merah putih merupakan sebuah tanda dimana sedang ada kerja sama yang terjadi antara organisasi tersebut dengan Indonesia.
Yayasan Buddha Tzu Chi mengibarkan bendera tersebut tepat saat kegiatan bakti sosial berlangsung yang bisa kita lihat sebagai sebuah pernyataan bahwa sebagai sebuah yayasan yang berasal dari Taiwan, Buddha Tzu Chi tidak ragu untuk bekerja sama dengan Indonesia, membantu masyarakat Indonesia yang sedang membutuhkan bantuan, seperti contohnya adalah warga Desa Cirumpak yang membutuhkan bantuan berisi paket pasca banjir untuk membersihkan rumahnya yang baru saja dilanda banjir.
Sebenarnya makna humanisme tidak hanya tergambar dari kegiatan – kegiatan yang dilakukan oleh Yayasan Buddha Tzu Chi itu sendiri, namun tergambar juga dari seragam dan logo yang digunakan oleh mereka. Pertama kita lihat bahwa relawan Yayasan Buddha Tzu Chi menggunakan seragam berwarna biru. Dalam agama Buddha sendiri, warna biru melambangkan pengabdian. Hingga kita bisa tarik kesimpulan bahwa dengan warna biru sebagai warna seragam mereka, Yayasan Buddha Tzu Chi, sebagai sebuah yayasan sosial, menyatakan dirinya akan terus mengabdikan diri membantu masyarakat – masyarakat yang membutuhkan bantuan. Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Syariati (1996), bahwa memberikan bantuan kepada yang membutuhkan termasuk ke dalam konsep humanisme pada point gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
Selanjutnya kita melihat logo Yayasan Buddha Tzu Chi, bagi Buddha Tzu Chi sendiri, bentuk utama logo Buddha Tzu Chi yang berupa bunga teratai, bagi Tzu Chi sendiri bunga teratai melambangkan bahwa Buddha Tzu Chi dapat menjadikan dunia lebih baik dengan menanam benih kebajikan. Karena jika dilihat dari sudut pandang agama Buddha, bunga teratai dipercaya sebagai tempat dilahirkannya Sang Buddha, yang kemudian seiring berjalannya waktu Ia membawa dunia kita ke arah yang lebih baik. Di tengah bunga teratai pada logo Yayasan Buddha Tzu Chi, terdapat gambar perahu yang bagi Buddha Tzu Chi sendiri melambangkan bagaimana Tzu Chi mengemudikan sebuah perahu cinta kasih untuk menyelamatkan semua makhluk hidup dari penderitaan (www.tzuchi.or.id).
Delapan kelopak melambangkan Delapan Ruas Jalan Mulia bagi umat Buddha yang dijadikan panduan bagi anggota Buddha Tzu Chi dalam melangkah. Delapan Ruas Jalan Mulia tersebut meliputi pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, mata pencaharian benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar.
Dari keseluruhan seragam dan juga logo Yayasan Buddha Tzu Chi, tergambar dengan jelas bagaimana keinginan Yayasan Buddha Tzu Chi untuk mengabdikan dirinya kepada kegiatan – kegiatan sosial. Mulai dari logonya yang melambangkan keinginan untuk menyelematkan makhluk hidup dari penderitaan, hingga seragam warna birunya yang melambangkan pengabdian dalam agama Buddha.
Namun demikian, meskipun program DAAI Inspirasi ini menunjukkan unsur – unsur yang dapat dimaknai sebagai tanda – tanda humanisme, tidak ada maksud agenda setting dari DAAI Inspirasi. Karena memang sebenarnya, tanda – tanda humanis di dalam paket berita DAAI Inspirasi sendiri tergambarkan melalui relawan Yayasan Buddha Tzu Chi sebagai ‘pemeran utama’ dari seluruh tayangan paket berita DAAI Inspirasi. Sehingga peneliti menarik kesimpulan bahwa meskipun program DAAI Inspirasi menggambarkan sisi humanisme yang tinggi namun program ini tidak memiliki tujuan lain selain menjadi
9
media penyiaran kegiatan Yayasan Buddha Tzu Chi dan menjadi inspirasi bagi masyarakat luas mengenai masih banyaknya orang di dunia ini yang melakukan kebaikan.
SIMPULAN DAN SARAN
Dari penelitian yang telah dilakukan maka didapatkan kesimpulan sebagai berikut:
1. Dengan menganalisa tanda menjadi dua bagian yaitu penanda dan petanda sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Ferdinand de Saussure, maka kita dapat melihat bagaimana pemaknaan budaya humanis yang kuat dalam tayangan DAAI Inspirasi episode “Cinta Kasih untuk Korban Banjir Cirumpak”. Pemaknaan ini bisa terlihat jelas dalam voice over, bite wawancara, maupun gambar dalam program DAAI Inspirasi itu sendiri.
2. Walaupun banyak menampilkan sisi humanisme sebuah yayasan sosial, DAAI Inspirasi sendiri tidak memiliki maksud tersembunyi atau agenda setting dalam penayangan programnya. Karena sebenarnya ciri humanis itu sendiri keluar dari relawan Yayasan Buddha Tzu Chi sebagai karakter utama dalam program DAAI Inspirasi, bukan hasil rekayasa dan tidak ditayangkan secara berlebihan. Saran bagi obyek penelitian
1. DAAI Inspirasi harus terus mengembangkan teknik pengambilan gambar dan teknik wawancaranya, agar kualitas acara tetap meningkat. Karena acaranya yang sangat spesifik terhadap kegiatan relawan yang rata – rata sama dan terus berulang, maka kemungkinan penonton bosan dan tidak tertarik lebih tinggi. Jadi lebih baik tingkatkan kualitas pengambilan gambar dan teknik wawancara agar bisa menarik banyak penonton.
2. Konten acara DAAI Inspirasi yang sudah berisikan hal – hal positif sebaiknya dipertahankan. Karena mengingat banyaknya acara – acara di televisi Indonesia yang menayangkan hal – hal negatif seperti kekerasan verbal dan non-verbal, maka sepertinya acara seperti DAAI Inspirasi dipertahankan dan ditiru oleh stasiun televisi swasta lainnya.
Saran bagi penelitian selanjutnya
1. Melihat adanya usaha program feature (jurnalistik) seperti DAAI Inspirasi untuk menyebarkan budaya humanis, maka penelitian selanjutnya bisa berfokus pada analisa program – program lain diluar program berita yang ada di DAAT TV. Apakah program- program non jurnalistik juga memiliki unsur – unsur budaya humanis atau tidak.
2. Penelitian selanjutnya juga bisa mencoba menganalisa DAAI TV sebagai media yang tidak menayangkan iklan – iklan non komersial atau dalam arti kata tidak memiliki pengiklan. Jika sebuah stasiun televisi tidak memiliki pengiklan, maka darimana pendapatan perusahaan didapatkan untuk menggaji pekerja, menutupi biaya produksi, dan biaya – biaya perusahaan lainnya.
REFERENSI
Buku
Abidin, Zainal. (2000). Filsafat Manusia. Bandung: Remaja Rosda.
Ahmadi, Rulam. (2014). Metode Penelitian Kualitatif. Yogyakarta : Ar-buzz Media.
Ardianto, E., Lukiati Komala, Siti Karlinah. (2012). Komunikasi Massa: Suatu Pengantar (Edisi Revisi).
Bandung : Simbiosa Rekatama Media.
Ardianto, E., Bambang Q-Anees. (2010). Filsafat Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Hoed, B.H. (2011). Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Komunitas Bambu.
10
Danesi, Marcel. (2011). Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai Semiotika dan Teori Komunikasi. Yogyakarta: Jalasutra.
Effendy, O.U. (2006). Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Fachruddin, A. (2012). Dasar – dasar Produksi Televisi: Produksi Berita, Feature, Laporan Investigasi, Dokumenter, dan Teknik Editing. Jakarta : Prenada Media Group.
Morissan. (2009). Manajemen Media Penyiaran: Strategi Mengelola Rasio & Televisi. Jakarta : Prenada Media Group.
Panjaitan, E.L., TM. Dhani Iqbal. (2007). Matinya Rating Televisi: Ilusi Sebuah Netralitas. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
Ratna, N. K. (2010). Metodologi Penelitian : Kajian Budaya dan Ilmu-ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sarwono, Jonathan. (2006). Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu.
Sobur, Alex. (2009). Semiotika Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Soepardjo, Djodjok. (2008). Hegemoni BudayaMelalui Bahasa.
Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi (Mixed Methods). Bandung : Penerbit Alfabeta
Suprapto, Tommy. (2009). Pengantar Teori dan Manajemen Komunikasi. Yogyakarta : Media Pressindo. Sutrisno, M., Hendar Putranto. (2009). Teori – teori Kebudayaan. Jakarta : Penerbit Kanisius.
Syari’ati, Ali. (1996). Humanisme Antara Islam dan Mazhab Barat. Bandung: Pustaka Hidaya. Tjaya, T.H. (2008). Humanisme dan Skolastisisme, Sebuah Debat. Jakarta : Penerbit Kanisius.
West, R., Lynn H. Turner. (2008). Introducing Communication Theory: Analysis and Application.
Diterjemahkan oleh: Maria Natalia Damayanti Maer. Jakarta : Penerbit Salemba Humanika. Wibowo, F. (2009). Teknik Produksi Program Televisi. Yogyakarta : Pinus Book Publisher.
Wibowo, I.S.W. (2013). Semiotika Komunikasi (Aplikasi Praktis Bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi). Jakarta : Penerbit Mitra Wacana Media.
Wiryanto. (2006). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta : PT. Grasindo
Jurnal
Astuti, Santi Indra. (2005). Komodifikasi Khalayak (Audience) dalam Rating Televisi. Komunika: Warta Ilmiah Populer Komunikasi dalam Pembangunan. 8 (1). 26.
RIWAYAT PENULIS
Ellen lahir di kota Jakarta pada 25 Januari 1994. Penulis menamatkan pendidikan S1 di Universitas Bina Nusantara dalam bidang Ilmu Komunikasi Pemasaran peminatan Broadcasting pada tahun 2015.