• Tidak ada hasil yang ditemukan

Green Accounting dan Efektifitas Peraturan Pemerintah No 47 tahun 2012 pada Perusahaan di Indonesia - Politeknik Negeri Padang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Green Accounting dan Efektifitas Peraturan Pemerintah No 47 tahun 2012 pada Perusahaan di Indonesia - Politeknik Negeri Padang"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Green Accounting dan Efektifitas Peraturan Pemerintah No 47 tahun 2012

pada Perusahaan di Indonesia

Nurul Fauzi, Novrina Chandra

Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Padang Kampus Unand Limau Manis Padang

email : nurfa2006@yahoo.co.id

Abstrak

Dalam beberapa tahun terakhir Pemerintah Republik Indonesia sebenarnya telah mengeluarkan beberapa kebijakan yang diharapkan mampu menjadi pendorong diterapkannya akuntansi lingkungan di Indonesia. Dimulai dengan UU No 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, UU No 25 tahun 2007 tentang penanaman modal serta UU No 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas. Akan tetapi dalam perjalanannya kebijakan tersebut ternyata belum efektif dalam mendorong perusahaan untuk menerapkan akuntansi lingkungan. Terakhir pemerintah mengeluarkan PP No 47 tahun 2012 yang menjadi dasar bagi perusahaan di Indonesia yang bisnisnya terkait dengan sumberdaya alam untuk melakukan pengungkapan wajib (mandatory disclousure) atas kinerja sosial dan lingkungannya. Penelitian ini bertujuan untuk menggali secara mendalam efektifitas dari penerapan PP tersebut beserta kendala yang dihadapi dalam penerapannya dilapangan baik dilihat dari sisi pemerintah selaku pembuat kebijakan maupun dari sisi pelaku bisnis yang diwajibkan oleh PP tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan paradigma interpretif. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam, observasi dan dokumentasi. Penelitian ini menemukan meskipun PP ini sudah secara tegas mengatur tentang pengungkapan wajib ternyata hal ini tidak mampu menekan perusahaan untuk melakukan pengungkapan wajib atas kinerja sosial dan lingkungannya. Hal ini dikarenakan selama ini peraturan yang ada seringkali tidak diikuti dengan kontrol dan pengawasan yang ketat oleh kementerian/institusi terkait dalam hal pelaksanaan maupun pemberian sanksi bagi pelanggar PP tersebut, bahkan yang lebih memprihatinkan kementerian terkait terkesan tidak memiliki mekanisme pemberian sanksi untuk pelanggaran dari PP yang mereka keluarkan sendiri. Penelitian ini diharapkan menjadi bahan masukan bagi para pembuat kebijakan di Indonesia terutama dalam mendorong efektifitas penerapan sebuah kebijakan dimasa yang akan datang. Bagi akademisi penelitian ini juga menjadi bukti empiris tambahan tentang efektifitas PP dalam mendorong pengungkapan wajib kinerja sosial dan lingkungan perusahaan.

Keyword : Akuntansi lingkungan, pengungkapan wajib, kinerja sosial dan lingkungan

1. Pendahuluan

Keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) RI No 47 tahun 2012 yang mengatur tentang Tanggung Jawab Sosial serta Lingkungan (TJSL) pada Perseroan Terbatas (PT) tentu diharapkan menjadi tonggak dimulainya pelaksanaan akuntansi lingkungan (Green Accounting) yang lebih luas bagi perusahaan yang bisnisnya di bidang atau terkait dengan sumber daya alam di Indonesia. Berbeda dengan PP sejenis yang pernah dikeluarkan sebelumnya, PP ini mengatur secara tegas tentang kewajiban perusahaan untuk melakukan penyusunan rencana kerja tahunan yang memuat rencana kegiatan dan anggaran terkait dengan TJSL (pasal 4) serta melakukan pengungkapan pelaksanaan TJSL perusahaan dalam laporan tahunan perusahaan di depan Rapat Umum Pemegang Saham setiap tahunnya (pasal 6). Ada keinginan yang besar dari pemerintah untuk memaksa perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia khususnya yang bisnisnya terkait dengan sumber daya alam untuk lebih peduli pada lingkungannya sebagaimana yang terlihat dari semangat yang dimunculkan pada beberapa pasal dalam PP ini. PP ini diharapkan efektif dibanding beberapa peraturan dan Undang-Undang lain yang sudah dikeluarkan sebelumnya seperti UU No 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, UU No 25 tahun 2007 tentang penanaman modal serta UU No 40 tahun 2007 tentang perseroan terbatas yang ternyata tidak mampu secara efektif mendorong peningkatan TJSL perusahaan-perusahaan di Indonesia (www.hukumonline.com).

(2)

adalah bagian dari kewajiban perusahaan, sementara sebahagian lain menganggap itu adalah bagian dari strategi perusahaan agar lebih diterima di masyarakat. Jika mengacu kepada level kepedulian sosial dan lingkungan yang dikemukakan oleh Teoh dan Tong (1984) maka bentuk TJSL perusahaan yang ada di indonesia saat ini baru pada tahapan kepedulian (awareness) atau jikapun lebih jauh baru pada tahapan keterlibatan (involvement). Belum banyak perusahaan di Indonesia yang bisa sampai pada tahapan pelaporan/pengungkapan (reporting) kinerja sosial dan lingkungannya secara rutin dan transparan atau lebih jauh lagi mungkin belum ada perusahaan di Indonesia yang sampai pada tahapan kesediaan untuk diaudit (Auditing) atas kinerja sosial dan lingkungannya. Kondisi ini jamak terjadi pada negara-negara berkembang, sebagaimana studi Jahamani (2003) yang menemukan bentuk TJSL perusahaan di negara Jordania dan Uni Emirate Arab baru sampai pada tahapan kepedulian (awareness) dan keterlibatan (involvement) belum sampai pada level pelaporan/pengungkapan (reporting) dan kesediaan untuk diaudit (auditing). Di Indonesia jikapun ada perusahaan yang telah melakukan pengungkapan (reporting) TJSL-nya dalam laporan tahunannya itupun umumnya masih dalam bentuk yang sangat beragam mulai dari yang tipis hanya satu atau dua lembar kertas saja sampai yang agak lumayan 10-20 halaman kertas (Utami, 2008).

Beberapa perusahaan yang telah melakukan pengungkapan TJSL nya selama ini didasari pada keyakinan bahwa hal ini akan membawa dampak positif bagi perusahaan secara keseluruhan. Beberapa studi yang pernah dilakukan mendukung pendapat ini misalnya studi oleh Tuwaijri et al (2004) yang menemukan bahwa perusahaan yang melakukan pengungkapan TJSL-nya secara baik dan transparan akan membawa dampak positif pada peningkatan kinerja ekonomi dari perusahaan tersebut. Kemudian studi oleh Bennet et al (2003) juga menyatakan bahwa semakin tinggi usaha sebuah perusahaan dalam menerapkan dan mengimplementasikan akuntansi manajemen lingkungan di perusahaannya dapat membawa perubahan positif serta signifikan terhadap peningkatan kinerja keuangan perusahaan tersebut. Selanjutnya studi yang dilakukan Russo dan Fouts (1997) serta Setiawan dan Darmawan (2011) juga mendapatkan temuan yang sama bahwa terdapat hubungan positif antara kinerja lingkungan dan pengungkapan kinerja lingkungan perusahaan dengan nilai perusahaan. Penelitian lain yang menguji hubungan antara pengungkapan kinerja lingkungan dengan reaksi pasar juga telah dilakukan oleh Guidri dan Pattern (2010) serta Belkaoui dan Karpik (1989) dan temuan studi mereka juga menunjukan hubungan yang positif diantara kedua variabel tersebut.

Banyaknya penelitian yang menunjukkan bukti positif dari peningkatan kinerja lingkungan serta pengungkapan kinerja lingkungan perusahaan terhadap nilai perusahaan, kinerja ekonomi, kinerja keuangan maupun reaksi pasar seharusnya mampu mendorong perusahaan untuk lebih bersedia meningkatkan TJSL-nya serta memperluas pengungkapan kinerja lingkungan dan sosialnya dalam laporan tahunan perusahaan. Sangat disayangkan sebenarnya jika sampai saat ini masih banyak perusahaan di Indonesia yang tidak terlalu peduli dengan TJSL-nya dan juga tidak bersedia memperluas pengungkapan kinerja lingkungan dan sosialnya dalam laporan tahunan perusahaan tersebut. Keluarnya PP N0 47 tahun 2012 ini diyakini sebagai bentuk upaya pemerintah untuk memaksa perusahaan-perusahaan di Indonesia khususnya yang bisnisnya terkait dengan sumber daya alam untuk melakukan pengungkapan wajib atas kinerja lingkungan dan sosial perusahaannya dimasa-masa yang akan datang.

Mengacu pada pembahasan diatas maka penelitian ini ditujukan untuk mengali secara mendalam efektifitas dari penerapan PP tersebut dilapaangan beserta kendala yang dihadapi dalam penerapannya, baik dilihat dari sisi pemerintah selaku pembuat kebijakan maupun dari sisi perusahaan sebagai pelaku bisnis yang diwajibkan oleh PP tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan paradigma interpretif yang bertujuan hanya untuk menangkap (to capture) dan mendeskripsikan (to describe) fakta atau realitas yang terjadi dilapangan secara utuh terkait dengan penerapan PP ini dari sudut pandang ilmu Akuntansi yang lebih banyak berfokus pada pelaporan TJSL perusahaan dan kaitannya dengan kinerja keuangan perusahaan nantinya.

Penelitian ini diharapkan memberi kontribusi berupa masukan yang berasal dari fakta lapangan bagi para pembuat kebijakan di Indonesia terutama dalam hal evaluasi akan efektifitas penerapan sebuah kebijakan dimasa yang akan datang beserta langkah-langkah lanjutan yang bisa diambil sebagai bagian dari perbaikan kebijakan tersebut. Bagi akademisi penelitian ini juga diharapkan menjadi bukti empiris tambahan tentang efektifitas PP dalam mendorong pengungkapan wajib kinerja sosial dan lingkungan perusahaan dan hubungannya dengan realitas dilapangan.

2. Tinjauan Pustaka

(3)

yang sangat lama. Teori legitimasi menekankan pada pentingnya suatu perusahaan harus memiliki keberpihakan pada society, perusahaan harus berusaha beroperasi sesuai dengan harapan masyarakat sehingga tidak timbul konflik yang bisa menganggu perusahaan. Dalam kaitan dengan akuntansi lingkungan atau green accounting ini upaya perusahaan untuk melaporkan kinerja lingkungan dan sosial masyarakatnya secara transparan dan akuntabel diharapkan akan mendorong adanya kesesuaian keinginan antara perusahaan dengan masyarakat sehingga perusahaan bisa mendapatkan legitimasi dari masyarakat untuk menjaga keberlangsungan perusahaan dalam jangka panjang.

Teori Kontrak Sosial (social contract agency) menurut Deegan, (2004) berkaitan dengan adanya kebebasan individu, kelompok dan msayarakat. Agar kebebasan masing-masing individu, kelompok dan masyarakat ini tidak saling mengganggu satu sama lain maka dibutuhkan kesepakatan atau kontrak sosial diantara mereka. Keberadaan sebuah perusahaan dalam suatu lingkungan masyarakat disekitarnya diyakini akan saling mempengaruhi satu sama lain. Untuk itu perlu adanya suatu equilibrium atau titik keseimbangan yang disepakati bersama melalui sebuah kontrak sosial baik yang tertulis maupun tersirat. Tujuan utama akuntansi lingkungan atau green accounting hadir salah satunya adalah dalam rangka memenuhi kontrak sosial antara perusahaan dengan masyarakat. Disatu sisi perusahaan tentu menginginkan mendapatkan profit sebesar-besarnya, akan tetapi disisi lain masyarakat punya nilai-nilai kearifan lokal yang mungkin bisa jadi bertolak belakang dengan upaya perusahaan untuk memaksimalkan keuntungannya, untuk itu perlu kesepakatan bersama melalui mekanisme kontrak sosial agar upaya perusahaan untuk memperoleh laba maksimal tersebut tidak menganggu atau bahkan mengancam nilai-nilai kearifan lokal yang ada dalam sebuah masyarakat tersebut sehingga dengan kondisi tersebut akan mendorong perusahaan untuk mendapatkan legitimasi dari masyarakat sekitarnya. Lebih jauh teori kontrak sosial berpegangan pada 1) hasil akhir atau output dari sebuah kontrak sosial itu harus memberikan manfaat bagi masyarakat banyak, 2) distribusi manfaat ekonomis dan sosial yang bisa didapat dari kehadiran sebuah perusahaan itu didasarkan pada kekuatan yang dimilikinya.

Secara pengertian Bell dan Lehman (1999) mendefinisikan green accounting sebagai suatu konsep temporer dalam ilmu akuntansi yang mendukung gerakan hijau di perusahaan atau organisasi dengan cara mengakui (recognizing), mengkuantifikasi (quantifying), mengukur (measuring) dan mengungkapkan (disclosing) kontribusi dari lingkungan terhadap proses bisnis sebuah perusahaan. Lebih jauh lagi aktifitas green accounting menurut Cohen dan Robbin, 2011 adalah berbagai upaya untuk mengumpulkan, menganalisa, menilai, dan menyiapkan laporan baik laporan yang terkait dengan lingkungan maupun laporan yang terkait dengan data keuangan dengan tujuan kedepannya untuk mengurangi efek dan beban yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan. Bentuk kegiatan akuntansi ini berpusat pada banyak aspek termasuk didalamnya kebijakan pemerintah.

Menurut Polimeni et al, (2010) ada beberapa alasan yang menjadi pertimbangan sebuah perusahaan memutuskan untuk menerapkan akuntansi lingkungan atau akuntansi hijau ini, diantaranya adalah :

1. Untuk mengurangi atau bahkan jika memungkinkan untuk menghilangkan adanya biaya yang mungkin ditimbulkan oleh adanya kerusakan lingkungan

2. Memperbaiki lingkungan dimana perusahaan tersebut berada yang bisa jadi akan berpengaruh pada kesehatan karyawan atau masyarakat disekitar perusahaan yang pada akhirnya bisa berdampak pada kelangsungan bisnis sebuah perusahaan

3. Memenuhi ekspekstasi dari konsumen akan produk atau bahan baku produk yang lebih ramah lingkungan Dalam prakteknya semua informasi tentang akuntansi lingkungan atau green accounting biasanya diungkapkan melalui sebuah laporan yang sering dikenal sebagai suistanability reporting (laporan berkelanjutan). Menurut Dilling (2009) Global Reporting Initiative (GRI) sebuah lembaga yang berfokus pada upaya peningkatan kualitas pelaporan akuntansi lingkungan mendefinisikan Suistanability accounting sebagai upaya perusahaan untuk mengukur dan mengungkapkan semua aktifitas perusahaan terkait dengan lingkungan dan sosialnya sebagai langkah kongkrit untuk menciptakan tanggung jawab terhadap lingkungan dan sosialnya. Pengungkapan ini ditujukan kepada stakeholder internal dan eksternal perusahaan melalui laporan keuangan tahunan perusahaan atau melalui laporan tersendiri yang dibuat terpisah.

Di Indonesia, publikasi sustainability reporting selama ini sebelum dikeluarkannya PP No 47 tahun 2012 masih bersifat voluntary, artinya perusahaan dengan suka rela melakukan pengungkapan atas inisiatif perusahaan itu sendiri dan tidak ada aturan baku yang mewajibkannya seperti halnya pada penerbitan financial reporting. Meskipun demikian, minat perusahaan untuk mengungkapkan sustainability reporting tidak berkurang.

(4)

perusahaan-perusahaan yang ada di Indonesia. Akan tetapi Sarumpaet menemukan bukti bahwa ukuran perusahaan-perusahaan berhubungan positif dengan kinerja lingkungan dari perusahaan-perusahaan yang listing di Bursa Efek Indonesia dimana semakin besar ukuran perusahaan maka semakin baik kinerja lingkungannya.

Selain itu studi oleh Soelistyoningrum dan Pratiwi (2011) menemukan bahwa pengungkapan suistanability reporting berdampak positif terhadap kinerja perusahaan, pengungkapan suistanability reporting ini dipandang sebagai sarana untuk mengkomunikasikan kinerja lingkungan perusahaan kepada para stakeholder sehingga para stakeholder mendapatkan informasi yang lengkap tentang kinerja lingkungan yang sudah dilakukan oleh perusahaan dalam satu tahun terakhir ini

3. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan Paradigma Interpretif, penelitian yang dilakukan dalam paradigma interpretif bertujuan untuk menafsirkan (to interpret) dan memahami (to understand) fenomena akuntansi. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara mendalam (indept interview), observasi dan dokumentasi. Informan yang akan diwawancara dipilih dengan metode snowball sampling. Untuk key informan ditentukan diawal dengan kriteria-kriteria tertentu. Beberapa informan kunci yang dipilih diawal adalah pejabat pada biro terkait di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta beberapa manajer akuntansi pada perusahaan yang sudah listing di Bursa Efek Indonesia. Analisis dan interpretasi data dilakukan dengan menggunakan model Glasses dan Straus. Instrumen penelitian adalah peneliti sendiri yang dilengkapi dengan beberapa tools seperti voice recorder, camera dan lain-lain.

4. Pembahasan dan Hasil

Data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ternyata terdapat beberapa hal yang diluar perkiraan peneliti sebelumnya terkait dengan keluarnya PP No 47 tahun 2012 ini, diantaranya adalah ternyata PP ini dikeluarkan tidak atas inisiatif Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan maupun Kementerian ESDM tetapi justru dikeluarkan atas inisiatif Kementerian Dalam Negeri sebagai tindak lanjut dari keluarnya UU No 25 tahun 2007 tentang penanaman modal dan UU No 7 tahun 2007 tentang perseroan terbatas. Hal ini terlhat ketika pada awal diskusi beberapa pejabat yang ada di KLHK mempertanyakan inisiatif PP ini berasal dari kementerian apa?. Selain itu beberapa pernyataan yang dikeluarkan oleh pejabat terkait menyiratkan bahwa mereka hanya terkait dengan izin sektoral tetapi tidak bertanggungjawab atas pelaksanaan maupun evaluasi dari efektifitas pelaksanaan dari PP tersebut, hal itu bisa dipahami dari pernyataan berikut ini

“…..seperti yang saya sampaikan tadi, inisiatif PP ini berasal dari kementrian dalam negeri kan pak? Tentunya juga kementrian dalam negeri harus mengevaluasi CSR itu pak? Kami mengevaluasi ya artinya kementrian yang sebatas sesuai dengan aturan di bidangnya kementrian, seperti itu. Kaitannya umpama dengan tambang, ya areal bebas nya reklamasi, kan seperti itu pak”

Pernyataan ini mengindikasikan tidak jelasnya koordinasi antar instansi yang ada. Ada kesan seolah-olah ketika PP tersebut dikeluarkan maka tanggungjawab sepenuhnya ada pada kementerian yang bersangkutan, sementara dalam kenyataannya ketika PP tersebut diimplementasikan kementerian yang bersangkutan memiliki bidang kerja yang cukup jauh dengan PP tersebut. Seperti misalnya PP No 47 tahun 2012 ini, secara inisiatif PP ini dikeluarkan oleh kementerian dalam negeri, tetapi dalam pelaksanaannya kementerian dalam negeri berharap implementasi PP ini diawasi oleh kementerian LHK atau ESDM. Di satu sisi kedua kementerian yang disebut terakhir merasa hanya bertanggungjawab akan izin sektoral yang mereka keluarkan, tidak ada sangkut pautnya dengan PP No 47 tahun 2012 tentang pengungkapan TJSL perusahaan.

Persoalan lain yang muncul adalah ternyata dalam implementasi PP ini, seringkali juga dihadapkan dengan adanya beberapa aturan lain yang mengatur tentang hal yang sama yang dikeluarkan oleh kementerian berbeda, sebagai contoh misalnya terkait dengan reklamasi yang merupakan salah satu kewajiban yang harus ditunaikan oleh perusahaan tambang atau perkebunan. Kemendagri punya peraturan sendiri, kementerian ESDM juga memiliki peraturan sendiri sementara KLHK juga memiliki aturan tersendiri yang mengatur tentang reklamasi, hal ini bisa tercermin dari pernyataan dibawah ini

(5)

sepertinya memang satu kesatuan kementrian dalam negeri, ESDM sama kehutanan, seperti itu. Kalau teknis pelaksanaan reklamasi dan lain sebagainya tentunya di ESDM. Penganggaran juga, pendanaan juga ada disana. Tapi biasanya memang koordinasi pak, seperti itu.”

Banyaknya peraturan yang mengatur tentang persoalan yang sama tentu menimbulkan kesulitan bagi kementerian-kementerian yang ada untuk melakukan koordinasi dan eksekusi dilapangan, belum lagi dalam hal pengawasan, seringkali kementerian yang ada tentu akan saling lempar tanggung jawab ketika ada persoalan yang timbul sebagai akibat lemahnya pengawasan ini.

Persoalan yang terkait dengan banyaknya peraturan yang harus dipenuhi dari kemeterian yang berbeda-beda tentu menimbulkan persoalan yang lebih berat ketika sampai pada tataran perusahaan yang dikenakan kewajiban oleh perusahaan, hal ini bisa dilihat dari pernyataan pihak manajer akuntansi salah satu perusahaan yang menjadi informan dalam penelitian ini

“Pada dasarnya tentu kami mau mengikuti aturan-aturan yang ada terkait dengan tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan kami tetapi seringkali kami dihadapkan pada aturan yang tidak jelas dan tumpang tindih

diantara kementerian yang ada”

Ketidakpercayaan terhadap aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah selama ini yang diyakini menjadi salah satu penyebab perusahaan juga cenderung tidak peduli dengan keluarnya PP No 47 tahun 2012 ini meskipun PP ini memiliki penegasan yang lebih dibanding peraturan-peraturan sebelumnya.

Ketidakadaan mekanisme pelaporan dan sanksi yang jelas dan tegas selama ini juga menjadi persoalan yang sangat disorot dalam pelaksanaan PP ini sebagai wujud awal untuk mengimplementasikan akuntansi lingkungan dilapangan

“Memang makan ada evaluasi. Tapi itu tidak termasuk yang dilimpahkan. Tapi kalau izin pinjam pakai memang dilimpahkan. Ini nanti pemerintahan daerah yang mengevaluasi. Tapi pelaksanaan evaluasi sendiri, memonitor evaluasi sendiri, ini sepertinya belum berjalan secara ideal. Artinya evaluasi itu hanya sebatas pada saat dia

akan mengajukan permohonan perpanjangan.”

Atau sebagaimana ditambahkan informan dalam kutipan wawancara berikut ini

“Sepertinya belum efektif, pak. Seharusnya memang ideal nya itu, kan evaluasi diberikan lima tahun pak.

Tarok lah itu tambang. Dia kan harus dilihat juga. Cuma yang jadi masalahnya juga kan gini pak. Pada saat kewajiban untuk reklamasi, juga memang tidak harus setahun sekali dia jalan. Karena memang.. kan gini

pak…..Susah juga. Karena tambang itu kan sudah terbagi dengan rencana kerja mereka „kan? Taroklah umpama

tahun 0, tahun 1, tahun 2 ini kan berurutan pak? Ya sepertinya halnya kayak RKT kan gitu, pak”

Dari pihak perusahaan juga menyampaikan hal sama bahwa selama ini mereka tidak pernah dievaluasi dalam hal tanggungjawab sosial dan lingkungannya. Pelaporan TJSL yang mereka lakukan lebih kepada bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat sekitar agar perusahaan tidak mendapat penolakan dari masyarakat sekitar, bukan karena faktor kepatuhan terhadap PP yang dikeluarkan.

5. Kesimpulan

Bagi pihak perusahaan ada atau tidaknya PP yang mengatur tentang TJSL perusahaan ini tidak akan mempengaruhi mereka, karena selama ini pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah relatif sangat lemah jika tidak bisa dikatakan tidak ada sama sekali. Bagi pihak kementerian juga menghadapi persoalan tersendiri terutaa terkait dengan evaluasi dan pengawasan terkait dengan pelaksanaan TJSL perusahaan dilapangan. Adanya banyak peraturan yang dikeluarkan oleh kementerian yang berbeda-beda yang mengatur tentang hal yang sama juga membuat mereka kesulitan dalam melakukan koordinasi. Dimasa depan sudah seharusnya masalah perizinan, masalah pelaksanaan kebijakan, kontrol maupun evaluasi terkait dengan TJSL perusahaan sudah seharusnya memiliki mekanisme yang jelas dan terpadu diantara kementerian yang ada sehingga PP yang dikeluarkan bisa efektif dalam mencapai sasaran yang diinginkan

Daftar Pustaka

Belkoui dan Karpik, P.G. 1989. Determinant of The Corporate Decision To Disclose Social Information.Accounting, Auditing & Accountability Journal. Vol.2 No. 1, hal, 36-51

Bell, F dan Lehman, G. 1999. “Recent Trends in Environment Accounting: How Green Are Your Account” Accounting Forum

(6)

Cohen, N., dan P. Robbins. 2011. “Green Business: An A-to-Z Guide”. Thousand Oaks. California: SAGE Publications Inc.

Deegan, Craig. 2004. Financial Accounting Theory. Australia: McGraw-Hill

Dilling. 2009. “Sustainability Reporting In A Global Context: What Are The Characteristic Of Corporation That Provide High Quality Sustainability Reports- An Empirical Analysis” Dalam International Business &Economics Research Journal.Vol.9, No.1.New York Institute of Technology. Canada.

Global Reporting Initiative. 2002. Sustainability reporting Guidelines. Global Reporting Initiatives. www.globalreporting.org/guidelines/062002guidelines.asp.

Global Reporting Initiatives (GRI). 2006. Sustainability reporting Guidelines www.globalreporting.org/guidelines/062006guidelines.asp

Guidry, R. P. dan Patten, D. M. 2010. “Market Reaction to the First-time Issuance of Corporate

Sustainability reports: Evidence that Quality Matters”. Sustainability Accounting, Management and Policy Journal. Vol. 1 Iss: 1, pp.33 – 50.

Jahamani. Y. (2003). “Green Accounting in Developing Countries: The Case of U.A.E. and Jordan”. Manajerial Finance. Vol 29, Number 8.

Peraturan Pemerintah No 47 tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial Lingkungan

Polimeni, Ralph S., Jacqueline A.Burke, and Diana Benyaminy (2010), The CPA Journal 80.11 November 2010, 66-71

Russo MV, Fouts PA. 1997. “A Resources based Perspective on Corporate environment Performance and

Profitability”; Academy of management Journal 40;534-559

Sarumpaet Susi . 2005 . “The Relationship Between Environmental Performance and Financial Performance of Indonesian Companies.”, Jurnal Akuntansi & Keuangan, vol. 7, no.2, Nopember hal.89-98, Jurusan Ekonomi Akuntansi, Fakultas Ekonomi –Universitas Kristen Petra.

Setiawan, M dan Darmawan. 2011. The Relationship between Corporate Social Responsibility and Firm Financial Performance: Evidence from the Firms Listed in LQ 45 of the Indonesian Stock Exchange Market. European Journal of Social Sciences 23 (2): 288-293

Soelistyoningrum dan Prastiwi, Jenia Nur. 2011. “Pengaruh Pengungkapan Sustainability report Terhadap Kinerja Keuangan Perusahaan: Studi Empiris Pada Perusahaan Yang Terdaftar Dalam Bursa Efek Indonesia”. Jurnal Akuntansi Universitas Diponegoro Semarang.

Teoh, H.Y. & Thong, G. (1984). “Another look at corporate social responsibility and reporting: an empirical study in a developing country”. Accounting, Organizations and Society 9 (2), 189 -206.

Tuwaijri, Sulaeman A., Theodore E. Christensen, K.E. Hughes II. 2004. “The Relations among Environmental Disclosure, Environmental performance, and economic Performance: A Simultaneous Equation Approach”. Accounting, Organizations and Society, 29:447-471.

Undang-Undang No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-Undang No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

Undang-Undang No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal

Referensi

Dokumen terkait