• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kedudukan Pujangga Dalam Kesusastraan Jawa 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kedudukan Pujangga Dalam Kesusastraan Jawa 1"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Kedudukan Pujangga Dalam Kesusastraan Jawa1

oleh Muhammad Fachrizal Helmi, 13063645532

Pujangga keraton pada dasarnya adalah predikat yang diberikan pihak keraton kepada orang yang menggubah karya sastra: pada zaman Jawa-Budha dan Jawa-Hindu, pujangga keraton memperoleh julukan Empu (Linus Suryadi A.G, 1995). Empu adalah 1) gelar kehormatan yang berarti ‘tuan’, 2) seorang ahli, terutama ahli membuat keris (Poerwadarminta, 2007). Tapi maksud dari empu dalam pembahasan ini lebih mengacu kepada empu sebagai ‘tuan’. Sedangkan, Gericke mengungkapkan bahwa pujangga adalah geleerde, taalgeleerde en dichter - sarjana, ahli bahasa, dan penyair (Gericke-Roorda, jilid 2, 1901). Sedangkan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, pujangga memiliki arti 1) pengarang sajak yang tinggi nilainya, 2) ahli pikir, ahli sastra dan bahasa (Poerwadarminta, 2007).

Dilihat dari definisi di atas, secara umum dapatlah kita sebut bahwa pujangga adalah istilah yang gunakan sebagai sebutan untuk seorang penulis karya sastra pada masa atau zaman Jawa-Budha dan Jawa-Hindu, seperti mpu (atau empu) Tantular dan mpu Panuluh. Bahkan, pujangga tidak hanya dikenal pada masa Jawa-Hindu dan Jawa-Budha saja, tetapi juga sampai pada zaman Jawa-Islam yaitu, seperti R. Ng. Ranggawarsita yang merupakan salah satu pujangga atau penulis karya sastra Jawa yang dikenal pada zaman Jawa-Islam.

Adapun penulis karya sastra di sini adalah, bukanlah sembarang penulis seperti yang kita kenal pada masa sekarang. Pujangga adalah istilah yang digunakan untuk menyebut penulis karya sastra Jawa yang dilegitimasi oleh keraton, seperti yang dikemukakan oleh Linus A.G pada paragraf di atas. Terkait dengan istilah pujangga tersebut, ada beberapa tokoh yang memang menyebut pujangga hanya sebatas pujangga, atau ada juga yang menyebut pujangga dengan istilah lain yang pada dasarnya adalah sama yaitu, empu. Atau, ada juga yang menyebut pujangga dengan istilah lain yaitu, ‘kawi’.

Dalam Baoesastra Djawa (Poerwadarminta, 1939) disebutkan bahwa kata kawi memiliki arti, yang salah satunya adalah, pangarang (pengarang) atau pujangga.

1 Dibuat untuk melengkapi tugas akhir mata kuliah Dinamika Kesusastraan Jawa, program studi Sastra Daerah

untuk Sastra Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Dengan dosen pengampu Prapto Yuwono, M.Hum.

(2)

Lalu dalam Kamus Jawa Kuna-Indonesia (P. J. Zoetmulder, 1995) pun demikian, kata kawi diartikan sebagai pujangga, penyair, dan atau seorang yang mahir dalam menggubah puisi. Dengan demikian, baik pujangga, penyair, empu, atau pun kawi, semua istilah itu dapat digunakan sebagai istilah untuk menyebut seorang penulis karya sastra Jawa yang berasal dari keraton.

Banyak ditemukan dalam karya-karya sastra Jawa Kuna bahwa, para pujangga atau kawi tersebut, seringkali menulis dengan kandungan atau muatan-muatan yang bersifat religius, entah itu pada masa Jawa-Hindu-Budha ataupun pujangga yang juga hidup pada masa Jawa-Islam. Atau, dapat juga disebut sebagai zaman Jawa Kuna (Hindu-Budha) dan zaman Jawa Madya (Islam). Linus A.G (1995) mengungkapkan bahwa, pujangga Jawa Kuna dan Jawa Madya identik dengan pujangga keraton, yang secara jelas terinci dalam dua zaman yaitu, zaman Renaisan Jawa 1 antara abad 8 sampai 15 (zaman Budha dan Hindu). Kemudian zaman Renaisan Jawa II yaitu, antara abad 16 sampai dengan sekitar abad 19 (zaman Islam, pujangga Ranggawarsita).

Hampir banyak sekali karya sastra Jawa yang digubah oleh para pujangga keraton tersebut, selalu menyinggung sisi religius, yang sering juga dikaitkan dengan Tuan mereka (raja/pangeran). Seperti halnya dalam karya sastra kitab Sutasoma yang digubah oleh empu Tantular pada zaman pujangga Jawa Kuna, demikian juga dengan kebanyakan karya sastra yang ditulis pada zaman Jawa Madya, yang mana teksnya sering sekali sarat akan hal-hal yang bersifat religus, yang sarat dengan perenungan-perenungan.

Untuk selanjutnya, hal itulah yang akan menjadi fokus penulisan dalam pembahasan ini yaitu: mengapa para pujangga atau kawi pada zaman Jawa-Hindu-Budha-Islam (zaman Jawa Kuna dan Jawa Madya) selalu menulis karya sastra yang muatan di dalamnya selalu bersifat religus? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis telah melakukan studi pustaka terkait dengan sumber-sumber tertulis yang menyinggung perihal kepujanggaan yang ada dalam kesusastraan Jawa.

Pujangga Dalam Rekam Jejak Perkembangan Kesusastraan Jawa

Perlu diketahui terlebih dahulu, bahwa pujangga yang ada di dalam sebuah keraton, biasanya, bukanlah merupakan keluarga dari seorang raja. Seperti yang diungkapkan oleh Zoetmulder (1983), semua pengarang syair-syair itu sejauh kita ketahui bertempat tinggal di keraton, tetapi mereka sendiri bukanlah anggota keluarga

(3)

raja atau keluarga bangsawan. Mereka termasuk kalangan pejabat, petugas, dan hamba yang mengelilingi sang raja dan banyak di antara mereka rupanya juga memegang suatu jabatan religius.

Perlu diketahui bahwa, dalam kepujanggaan Jawa, ada beberapa raja yang juga sekaligus sebagai pujangga (baca: sastrawan/penulis), yang melahirkan beberapa karya sastra Jawa yang sampai saat ini masih dikenal oleh masyarakat Jawa, yang salah satunya seperti Sultan Agung yang menulis Serat Sastra Gendhing, yang dapat dianggap sebagai sosok yang mengawali pujangga Jawa Madya (Linus A.G, 1995). Tetapi, perihal dengan seorang raja yang juga merangkap sebagai pujangga tersebut, merupakan tradisi baru dalam kehidupan keraton-keraton di Jawa. Dari konteks sejarah kepujanggaan Jawa Kuna, tak pernah terkabar ada raja merangkap pujangga (Linus A.G, 1995). Barulah pada masa Mataram Sultan Agung, berlanjut sampai dengan dengan klan Surakarta dengan Pakubuwana III, IV, dan V, juga X, yang menganut tradisi raja yang juga sebagai pujangga.

Kembali kepada pembahasan semula yaitu, bahwa pujangga adalah seorang pejabat, petugas, dan hamba yang mengelilingi raja yang juga memegang suatu jabatan religius. Dalam Widyaparwa 22 Darusuprapta mengutip Berg (1983), pujangga adalah priester van de literaire magi, yang diterjemahkan oleh Darusuprapta ke dalam bahasa Jawa menjadi pandhitaning kasusastran magi. Jika dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia: seorang ahli dalam kesusastraan yang bersifat magi atau mengandung unsur magi.

Hal tersebut, menurut penulis, berkaitan dengan pernyataan Zoetmulder yang menyebutkan bahwa pujangga ‘memegang suatu jabatan religius’, dikarenakan, jika dikatikan dengan pernyataan Berg, pujangga adalah seorang yang mumpuni dalam ilmu magi (baca: ilmu yang berkaitan dengan kekuatan gaib atau kekuatan magis). Zoetmulder (1983) menyebutkan bahwa pada mulanya, para pujangga yang menjabat suatu jabatan religius tersebut diharuskan untuk mempelajari bahasa Sanskerta dan sastra dalam arti yang paling luas dikembangan. Penekanannya pertama-tama adalah teks-teks religius yang dipakai dalam melaksanakan upacara-upacara ibadat atau yang merupakan bahan untuk mempelajari dan mengajarkan agama.

Dari pernyataan Zoetmulder tersebut dapatlah kita katakan bahwa, ketika para pujangga mempelajari teks-teks religius tersebut di atas, maka dengan sendrinya hati dan pikiran mereka akan banyak dipengaruhi oleh bacaan-bacaan mereka

(4)

(pujangga) yang memuat teks-teks religius yang ditulis dalam bahasa Sanskerta, yang memuat tentang ajaran Hindu-Budha yang datang dari India ke Jawa.

Ketika itu, sumber-sumber teks yang berbahasa Sanskerta tersebut merupakan teks-teks yang berikatan erat dengan cara hidup serta kaidah kelakuan kaum brahmin seperti diwajibkan oleh tradisi suci (dharma), tidak hanya semata-mata dipelajari, tetapi juga diterjemahkan dan diulas ke dalam bahasa Jawa Kuno. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya beberapa ulasan teks terkait dari Jawa (Zoetmulder, 1983). J.J. Ras dalam buku Masyarakat dan Kesusastraan Jawa (2014) juga mengemukakan, kita melihat bahwa transformasi dari teks asli Sanskerta terjadi atas perintah raja karena ia tidak paham teks yang asli (teks Sanskerta). Pengalihan teks Sanskerta ke Prakerta (atau, dalam hal ini adalah bahasa Jawa Kuna) terjadi mula-mula pada masa pemerintahan Raja Dharmawangsa Teguh (991-1007), mertua Raja Airlangga.

Dengan demikian, bahwa memang mula-mula para pujangga di keraton tidak serta-merta lantas menulis suatu karya sastra langsung, tetapi, mereka melakukan penyalinan-penyalinan teks Sanskerta yang dialihbahasakan ke dalam bahasa Jawa Kuna terlebih dahulu. Hal tersebut ditujukan untuk pemahaman yang menyeluruh tentang suatu teks tertulis yang mengandung nilai-nilai Hindu-Budha India, yang saat itu mulai dikembangkan di Jawa. Di sisi lain, hal tersebut pun merupakan perintah raja yang ingin mengerti teks-teks Sanskerta. Dari hal demikian, maka dapatlah disebut bahwa seorang raja tidak mengerti teks Sanskerta karena ia bukanlah brahmana, yang mengerti teks Sanskerta hanyalah kaum brahmana (pemuka agama).

Selanjutnya, ada pernyataan yang saling terkait antara pernyataan Zoetmulder yang mengungkapkan bahwa pada mulanya para pujangga tersebut diharuskan untuk mempelajari bahasa Sanskerta dan sastra (oleh raja) dan J.J. Ras yang dalam bukunya mengungkapkan juga hal serupa: transformasi teks Sanskerta terjadi dalam hubungan guru-murid, di dalamnya raja berpartisipasi sebagai pihak yang menerima pengetahuan. Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa, pada masa itu yang memahami teks Sanskerta adalah para brahmana. Jadi, guru dari para pujangga seperti yang termaktub dalam Zoetmulder dan J.J. Ras tersebut adalah para brahmana.

Dari hal di atas, penulis mencoba menarik kesimpulan bahwa, pujangga atau kawi atau penulis karya sastra yang dikenal pada zaman Jawa Kuna (Jawa-Hindu-Budha) selalu menuliskan karya sastra yang di dalamnya selalu memuat aspek ajaran religus magi dikarenakan adanya pengaruh teks-teks Sanskerta yang

(5)

memuat ajaran-ajaran religius Hindu-Budha dari India. Yang dalam hal ini terpengaruh lewat pembelajaran-pembelajaran yang dilakukan oleh seorang guru (brahmana) dan murid (pujangga), dalam memahami bahasa Sanskerta dan sastra (Sanskerta).

Melalui proses pembelajaran tersebut, pastinya akan banyak sekali pengetahuan religius magis yang banyak terdapat dalam teks-teks Sanskerta pada masa itu, yang senantiasa abid dalam pikiran para pujangga yang mempelajari. Yang nantinya juga akan memengaruhi karya-karya sastra yang kelak ditulis oleh para pujangga tadi. Terlepas dari apakah karya-karya sastra yang ditulis oleh para pujangga yang telah belajar tadi dipengaruhi oleh pihak luar dirinya, dalam hal ini adalah raja, atau mungkin saja tidak.

Namun, ada juga pendapat Zoetmulder yang mengungkapkan bahwa hubungan antara raja dan pujangga adalah sebagai seorang raja dan hamba. Pujangga pada masa Jawa Kuna akan menulis karya sastra berdasarkan perintah yang dikeluarkan oleh raja. Restu seorang raja kepada seorang penyair sangatlah besar artinya (Zoetmulder, 1983). Oleh karena itu, ketika seorang saja memerintahkan untuk menulis apapun, yang dalam banyak hal selalu menyangkut tentang kekuasaan seorang raja dan juga pembentukan citra, seorang pujangga akan sangat-sangat merasa terhormat.

Dengan pengetahuan religius magi yang dipelajari para pujangga, ditambahkan dengan restu dan segala hal diperintahkan seorang raja kepada pujangga, maka akan terciptalah karya sastra yang bersifat religius magis, yang selalu saja bercerita tentang suatu kebesaran seorang raja dan tanah kekuasaannya. Hal tersebut guna melukiskan citra baik raja dan tanah yang dikuasainya. Seorang penyair yang telah melalui proses pembelajar bahasa Sanskerta dan sastra, pada masa Jawa Kuna, dianggap sebagai seorang yang memiliki daya magi yang dapat ‘menghipnotis’ setiap orang dengan tulisan-tulisannya, tak jarang dihasilkan melalui proses tapa atau semacamnya..

Oleh karena itulah, kedudukan seorang pujangga pada masa Jawa Kuna sangatlah penting kedudukannya di dalam keraton yaitu, sebagai seorang yang mumpuni dalam hal magi, juga sebagai penyanjung raja dan keraton, atau dapatlah dikatakan bahwa pujangga adalah ‘humas keraton’. Raja percanya bahwa setiap kisah tentang dirinya dan kekuasaannya dituliskan oleh para pujangga, nantinya akan tercipta suatu kisah yang magis, yang dapat ‘menghipnotis’ masyarakat dan pembacanya. Dalam banyak karya sastra Jawa Kuna, sering para pujangga

(6)

mengaitkan kisah raja-raja Jawa dengan sosok agung yang dipercayai oleh Hindu-Budha Jawa pada masa itu. Hal tersebut dikarenakan pengaruh pengetahuan atau background of knowledge yang ikut membentuk pola pikir penulis (pujangga) adalah berkaitan dengan teks-teks religius bahasa Sanskerta.

Selanjutnya, bagaimanakah dengan pujangga yang hidup di keraton pada masa Jawa Madya? Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam kepujanggan zaman Jawa Madya dikenal beberapa pujangga seperti Pakubuwana III, Pakubuwana IV, KGPAA Mangkunegara IV, Pangeran Karanggayam, Jasadipura, Ranggwarsita, Ronggosutrasna, Pakubuwana V, jasadipura II, Sastranegara, Sastrawiguna, dan Pakubuwana X (Linus A.G, 1995). Tidak banyak sumber pustaka yang penulis temukan, yang memuat perihal peran dan lain sebagainya, yang berkaitan dengan pujangga yang ada pada zaman Jawa Madya (zaman Islam).

Tetapi penulis akan mencoba untuk mengasumsikan bahwa para pujangga pada masa Jawa-Islam, banyak menuliskan karya-karya sastra Jawa yang (juga) bersifat religius magis, sama seperti pada masa Jawa-Hindu-Budha kurang lebih, tetapi tetap ada yang berbeda. Mengingat akar kebudayaan yang berkembang pada masa tersebut juga berbeda yaitu, akar kebudayaan Islam yang datang dari daerah Timur Tengah atau Arab atau juga India. Kebudayaan Jawa-Hindu-Budha perlahan tersisihkan, dan berkembanglah kebudayaan Islam di Jawa. Keraton-keraton tidak lagi dikuasai oleh kerajaan yang menganut Hindu-Budha, tetapi dikuasai oleh kerajaan yang menganut Islam-Jawa.

Permulaan kebudayaan Islam berkembang di Jawa pada masa runtuhnya Majapahit pada sekitar abad ke-15. Yaitu pada masa runtuhnya Majapahit, dan berdirinya kesultanan atau kerajaan berbasis Islam pertama di pulau Jawa yaitu, Kesultanan Demak. Dan pada saat itu berganti pula tradisi sastra yang berkembang di pulau Jawa. Dari tradisi sastra yang selalu berkaitan dengan Hindu-Budha menjadi tradisi sastra dengan muatan teks Islam. Penulis tidak menemukan pustaka informasi yang memuat perihal akar ide kepenulisan pujangga ketika masa hegemoni Kesultanan Demak di Jawa. Barangkali, penulis mencoba mengasumsikan, bahwa karya sastra pada masa ini kurang begitu berkembang. Mengingat masih dalam tahap-tahap awal peralihan dari Jawa-Hindu-Budha ke Jawa-Islam, jadi, ada kemungkinan pemerintahan kesultanan kurang begitu giat dalam bersastra.

(7)

Mataram yaitu, sultan ketiga yang menduduki tahta Kesultanan Mataram, yang berkisar pada tahun 1613-1645. Pada masa Sultan Agung inilah kesusastraan Jawa mulai hadir kembali yaitu, dimulai dengan hadirnya karya sastra yang ditulis oleh Sultan Agung sendiri yang pada saat itu sebagai raja juga pujangga yaitu, Serat Sastra Gendhing, yang di atas telah dikemukakan oleh Linus A.G bahwa kira-kira dapat dijadikan sebagai salah satu karya sastra dengan sosok pujangga (penulis) yang jelas diketahui.

Setelah masa itu, makan kesusastraan Jawa dengan unsur Islam yang baru terus berkembang sampai dengan masa akhir kepujanggaan pujangga besar di Jawa yaitu, R. Ng. Ranggwarsita. Pada masa ini pada dasarnya, kedudukan seorang pujangga di dalam keraton adalah sama dengan masa Hindu-Budha. Yaitu sebagai juru tulis keraton, yang menulis karya-karya sastar berdasarkan perintah raja atau penguasanya. Pujangga masih tetap sama yaitu, sebagai hamba daripada seorang raja. Dan malah yang menarik, seperti telah disebutkan di atas bahwa, pada masa ini bahkan seorang raja pun ada juga yang merangkap sebagai penulis (pujangga).

Pada masa ini para pujangga menulis karya-karya sastra yang memuat unsur-unsur religius yang ada pada Islam, yang seperti Serat Ambiya, Suluk Bonang, Suluk Wujil, dan Serat Centhini, dan lainnya. Semua karya sastra yang ditulis rata-rata, diilhami dari Al-Qur’an dan Hadits, tapi perenungan-perenungan yang berkaitan dengan konsep religius Islam yang dipahami oleh para pujangga pada Islam itu. Seperti halnya Ranggawarsita yang sebelum menjadi seorang pujangga, ia sempat belajar di pesantren (Dhanu, 2003). Tetapi itu bukan merupakan suatu keharusan untuk menjadi pujangga pada masa itu.

Jadi, menurut penulis, bahwa para penulis pada Islam seperti Ranggwarsita besar kemungkinan tulisan-tulisannya bersifat religius dikarenakan sebelum menjadi pujangga, penyair terkait pernah menempuh pembelajaran di pesantren seperti Ranggwarsita. Atau, dapat juga merupakan hasil dari pengaruh bacaan-bacaan seperti Al-Qur’an dan Hadits. Tetapi, dalam konteks ini penulis bicara tentang konteks pujangga yang bukan merupakan juga seorang raja, seperti yang telah dijelaskan di atas. Sama seperti sebelumnya, para pujangga tersebut, pada masa Islam, juga merupakan sebagai seorang juru tulis keraton atau hamba daripada raja. Jadi, besar kemungkinan juga bahwa tulisan-tulisan yang diciptakan oleh para pujangga pada masa Islam juga dipengaruhi oleh titah-titah dari seorang raja atau penguasa mereka.

(8)

Daftar Pustaka

Darusuprata. Jejer Kalenggahaning Pujangga ing Kasusastran Jawi. Dalam Widyaparwa 22. Yogyakarta: Penerbit Balai Penelitian Bahasa Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1982.

Prabowo, Dhanu Priyo. Budi Utomo, Imam. Pengaruh Islam Dalam Karya-Karya R. Ng. Ranggwarsita. Yogyakarta: Penerbit Narasi, 2003.

J.J. Ras. Masyarakat dan Kesusastraan di Jawa (terj). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2014.

Suryadi A.G, Linus. Dari Pujangga ke Penulis Jawa. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 1995.

P. J. Zoetmulder. Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang (terj). Judul Asli Kalangwan. A Survey of Old Javanese Literature (KITLV, 1974). Jakarta: Penerbit Djambatan, 1983.

---. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Cetakan Kelima. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, 2006.

W. J. S Poerwadarminta. Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Cetakan Keempat. Diolah Kembali oleh Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta: Balai Pustaka, 2007.

---. Baoesastra Djawa. Groningen, Batavia: J. B. Wolters, 1939.

Sumber Internet:

Haydr Suhardy.

http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/07/kesultanan-pertama-di-tanah-jawa.

Diakses pada tanggal 21 Desember 2015, pukul 13.17 WIB. Vizcardine Audinovic.

http://profil.merdeka.com/indonesia/s/sultan-agung-anyokrokusumo/. Diakses pada

Referensi

Dokumen terkait