• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPACARA ADAT BATAK TOBA MANULANGI DALAM PERSPEKTIF TEOLOGI. Oleh: Maramis Sitinjak, SE, M.Mis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UPACARA ADAT BATAK TOBA MANULANGI DALAM PERSPEKTIF TEOLOGI. Oleh: Maramis Sitinjak, SE, M.Mis"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

86

UPACARA ADAT BATAK TOBA MANULANGI DALAM PERSPEKTIF TEOLOGI

Oleh:

Maramis Sitinjak, SE, M.Mis Abstraksi

Adat budaya daerah, termasuk adat budaya Batak toba dapat digunakan sebagai sarana mempertahankan integritas dan identitas bangsa, terutama dikalangan suku-suku yang ada di daerah Batak Toba. Kelihatannya pelaksanaan adat semakin mengalami pendangkalan, di mana semakin berkurangnya perhatian masyarakat, terutama golongan generasi muda mengenal dan melaksanakannya.

Adanya suatu argumentasi teologis, suatu pemahaman Injil yang mengkompromikan Injil adat budaya Batak Toba, yaitu adanya suatu pandangan teologia yang sinkretis yaitu, pengajaran atau cara hidup yang berasal dari campuran dua atau lebih ajaran yang dapat diterima oleh pemikiran jemaat sekarang ini.

Dalam Yoh. 14:6; Yesuslah satu-satunya jalan kebenaran dan hidup, tetapi dalam kehidupan sehari-hari perlu dibangun pranata-pranata lingkungan tata kehidupan, ini dapat ditemui dalam masyarakat Batak Toba, salah satunya upacara adat “Manulangi” (memberi makan orang tua). Walaupun ada beberapa pandangan masyarakat seolah-olah melaksanakan upacara adat itu masih mengandung mistis hasipelebeguon (berbau animisme).

Kata kunci: budaya, batak toba, sulang-sulang. 1. Pendahuluan

Sinkritisme telah menjalar kepada kehidupan jemaat Kristen, terutama gereja-gereja tradisional atau gereja lokal Batak Toba. Rangkaian upacara adat (agama leluhur) tetap berjalan beriringan dengan upacara gereja. Berkat (pasu-pasu) dari Allah

(2)

87

dianggap belum cukup, dan perlu disempurnakan dengan berkat dari orang tua, tulang (paman), hula-hula dan lain-lainnya. uparaca manulangi juga tidak terpisahkan dari budaya Batak Toba dan keterlibatan unsur-unsur Dalihan Na Tolu yang masih sarat dengan animis.

Konsep Alkitab perlu membawa perobahan paradigma orang Batak terhadap pemahaman tentang acara adat pemberian sulang-sulang. Sebagian masyarakat mengartikan pemberian sulang-sulang seolah akhir dari hidupnya dan hanya menunggu kematian.

Melalui tulisan mencoba memasukkan dalam upacara adat manulangi, dalam konsep teologi untuk memberi pemahaman dan mentransformasikan Kristus diatas kultur. Seperti dalam Matius 28:18-20, menghendaki pesan misi untuk mengajar orang lain untuk mematuhi semua yang telah diperintahkan Kristus, sehingga seluruh kultur (budaya) saling membutuhkan.

Upacara adat sulang-sulang hariapan dalam tradisi masyarakat Batak Toba adalah suatu upacara penghormatan kepada orang tua yang telah dipandang sebagai orang yang sudah lanjut usia dan gabe (memilik keturunan laki-laki dan perempuan bahkan sudah memiliki cucu). biasanya orang yang dikelompokkan usia natua-tua ini adalah kelompok lanjut usia yang telah mapan dalam status sosial yang berbeda dengan orang lain.

Sebelum kita membicarakan upacara adat sulang-sulang hariapan arti dari pada sulang-sulang tersebut sebagai sinonim dari kata “manulangi” (menyuapi), yang artinya memberi makan kepada kedua orang tua laki atau perempuan dengan menyuapi ke mulut si orang tua dengan bergiliran dari anak tertua sampai kepada cucu-cucunya. Dalam tradisi upacara adat manulangi pada masyarakat Batak Toba sebagai penghormatan kepada orang tuanya. Dalam prakteknya upacara adat manulangi ini dilakukan masyarakat suku Batak Toba Holbung, dimana sulang-sulang ini terdiri dari:

- Sulang-sulang Nasomal (yang biasa)

Sulang-sulang ini diberikan keturunannya terhadap orang tua dari pihak anak dan boru memberi makanan yang enak sesuai dengan tradisi adat Batak Toba.

(3)

88

Memberi makanan yang enak kepada orang tua dan kesempatan ini dipergunakan untuk memberi nasehat dan petunjuk-petunjuk dari orang tua tersebut kepada keturunanya.

- Sulang-sulang Hapunjungan

Upacara adat sulang-sulang hapunjungan ini hanya dihadiri inter keluarga dengan tidak melibatkan seluruh unsur Dalihan Na Tolu.

- Sulang-sulang Hariapan

Upacara ini disebut juga Turun Mangolu, yaitu upacara adat memberi makan yang enak sebagai ujud menghormati orang tua yang sudah ujur dan memenuhi permintaanya. Dalam tulisan ini objek materi secara khusus mengetengahkan upacara adat “Sulang-sulang Hariapan”. Praktek sulang-sulang hariapan ini dipandang secara umum ada yang positif dan ada yang negatif. Pandangan positif adalah merupakan upacara penghormatan dari keturunannya, sesuai dengan Hukum Taurat ke lima “Hormatilah Bapa Ibumu supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan Allahmu kepadamu” (Kel. 20:12). Upacara ini menunjukkan sifat kerukunan dan gotongroyong atau keharmonisan dan kekompakan dari seluruh sanak sauadara dan keluarga.

Pandangan negatif, upacara ini dilaksanakan hanya pada saat si orangtua sudah mengalami kemunduran kesehatan bahkan sudah dalam keadaan sakit sekarat di suguhi makanan dari seluruh keturunannya. Dalam status sosial yang berbeda ini yang berkaitan dengan sisi financial dan pengakuan kemakmuran yang mereka miliki, yang menjadi salah satu motivasi mendorong keluarga untuk melaksanakan upacara sulang-sulang hariapan tersebut.

Status sosial yang tinggi ini selalu berkaitan dengan prestasi dan prestise yang di dalamnya terdapat harga diri yang tinggi dan gengsi. Maka menjadi orang berstatus dalam masyarakat Batak Toba adalah merupakan cita-cita untuk memperoleh status yang disebut hasangapon (kemuliaan), yaitu memiliki kedudukan terhormat terpandang dalam lingkungan keluarga dan masyarakat.

Hagabeon (berketurunan) yaitu memiliki kerunan anak dan perempuan, cucu sampai dengan cicit yang sehat dan cerdas. Hamoraon (kekayaan) memilik harta yang berkecukupan sehingga

(4)

89

dapat menyekolahkan putra putrinya sampai masing-masing memperoleh kemajuan.

Biasanya pelaksanaan uapacara sulang-sulang hariapan sudah dalam tahap sempurna, karena sudah melibatkan unsur-unsur Dalihan Na Tolu yaitu Hula-hula, Dongan Tubu dan Boru serta Sihal-sihal (para kerabat dekat

Mengadakan upacara adat sulang-sulang hariapan ini adalah pada saat usia lanjut sudah mengalami kemunduran kesehatan. Dan inilah menjadi alasan utama bagi keluarga beranggapan agar si orang tua ini hidup tenang untuk menghadapi hari tua sampai ajal menjemput. maka setelah melaksanakan upacara adat ini tidak lagi disertakan dilibatkan dalam semua kegiatan adat.

Pemahaman secara harfiah dengan telah si orang tua sudah menerima adat sulang-sulang haripan, maka secara hubungan sosial dan interaksi dengan sesama sudah hampir terbatas bahkan sudah terputus. Makah pandangan ini perlu diperbaiki, sebab hal ini menjadi suatu proses keputusan bersama untuk memberikan vonis penghakiman kepada si orang tua tersebut, seolah-oleh berkelompok untuk mengucilkan dari pergaulannya.

2. Sulang-Sulang Hariapan Dalam Konteks Adat Budaya Batak Toba

Pengertian secara umum pengertian budaya adalah mengatur pola hidup manusia dalam kelompok, jadi kebudayaan itu menjadi suatu nilai dalam kehidupan maka kebudayaan itu dihayati dan diamalkan dalam hubungan sesama anggota, kelompok atau komunitas. Suku Batak Toba khususnya memiliki adat budaya , memiliki suatu sistim yang berlaku secara turun temurun yang terhimpun dalam falsafah Dalihan Na Tolu.

Menurut Th. Kobong, “Kebudayaan adalah pola hidup manusia dalam kelompok, jadi kebudayaan itu dihayati dan diamalkan dalam hubungan dengan sesama anggota kelompok atau komunitas. Iman sebagai relasi yang lebih berdimensi vertikal, dihayati dan diamalkan dalam dimensi horizontal”.

Sulang-sulang hariapan ialah suatu upacara adat yang menghormati orang tua caranya sebagai berikut: semua keturunan si orang tua yang akan diberi penghormatan bersama-sama putera puteri yang telah berkeluarga secara bersama bermufakat membuat

(5)

90

upacara adat sulang-sulang hariapan dan sama-sama memikul biaya dan mempersembahkan makanan atau pemerian lain seseuai dengan keinginan si orang tua.

Keyakinan agama Batak Kuno akan adanya hubungan orang yang hidup dengan yang meninggal dunia, tercermin dalam setiap berbagai terhadap orang yang akan meninggal, orang yang meninggal dan orang yang sudah lama meninggal. Ritual adat ini dilakukan bagi orang yang akan meninggal (sekarat) dalam bentuk adat disebut “Manulangi” (Sulang-sulang Hariapan), orang yang meninggal dilaksanakan adat penuh sesuai (status) keadaan yang meninggal, sedangkan orang yang sudah lama meninggal juga melaksanakan adat disebut menggali tulang belulang.

Menurut mitos bahwa sulang-sulang hariapan ini pada mulanya disebut “Turun Mangolu”, yang artinya orang tua ini sakit-sakitan dan telah mempersiapkan perangkat kematian termasuk pengadaan peti mati, yang bermakna bahwa ia sudah siap apabila akhir hidupnya telah tiba dan tidak ada lagi ketakutan pada dirinya karena tidak ada lagi perbedaan menempati rumahnya barunya (peti mati) artinya tidak ada lagi tekanan jiwa dan beban hidup termasuk dalam mengikuti upcara-upacara adat. Jadi status dia sudah hampir tidak ada lagi peranan dalam berinteraksi dalam kewajiban sosial dan yang harus dilaksanakan, pendek kata sudah hampir dianggap sebagai orang yang menanti ajal.

Pemaknaan pemahaman inilah sehingga peristiwa ini selalu dilaksanakan pesta adat yang melibatkan seluruh unsur-unsur Dalihan Na Tolu. Turun mangolu itu menjadi besar menghormati orang tua dengan maksud menghibur orang tuanya, disayang dan menunjukkan dirinya akan kemampuan keturunannya untuk melaksanakan pesta tersebut, sehingga bermakna ganda di satu sisi sebagai upacara adat memberi hormat pada orang tua, disisi lain adalah untuk menunjukka atas kemampuan materi dan kehormatan karena keturunanya telah mampu dan berkecukupan.

Dalam kontek kepercayaan turun mangolu ini, bahwa si orang tua telah diperhadapkan pada satu masa penantian untuk kematian. Pandangan tentang kematian dalam budaya masyarakat toba pada masa animism sebelum masuknya agama Kristen adalah, “Molo mate jolma bakkena gabe tano, hosanna gabe alogo, tondinya gabe begu”, artinya apabila manusia mati tubuhnya akan

(6)

91

kembali ke tanah, nafasnya akan kembali menjadi anging, dan rohnya menjadi hantu”.

Roh orang mati inilah menjadi penghuni benua atas, orang tua yang sudah beranak cucu meninggal dunia dianggap bersih rohnya akan menjadi “Sumangot” kematian masih menjadi misteri dan selalu diperdebatkan banyak orang, namun pada umumnya manusia sudah menyadari bahwa dibalik kematian masih ada dunia lain. Bagi orang Batak Toba masih ada berpandangan kematian dianggap sesuatu yang sial dan menjadi beban berat (marsitaonon). Maka untuk menghadapi kematian maupun kematian sendiri, untuk membuang rasa sial itu diperlukan upacara-upacara khusus yang mengarah ritual yang dianggap dapat menolong keluarga maupun keturunannya yang ditinggal kelak.

Demi membahagiakan orang tua, menghadapi akhir hidupnya itu, maka keluarga akan memenuhi permintaan orang tua tersebut, lalu berkata: “Manumpak ma tondim, mamasu-masu ma ho di hami, uli ma roham dohot tondim, pasu-pasu mi ojak ma di simanjujung, ampe di abara name, pangidoan mi denggan do I bahenonan name”. (arti bebasnya berkenanlah roh mu, untuk memberkati kami, dengan tulus hati, berkatmu ini akan kami junjung tinggi, akan kami pikul, seluruh permintaan mu akan kami kabulkan)

Dalam pemaknaan pemahaman religi Batak Toba menjadi salah satu penghormatan tertinggi pada orang tua. Disamping menunjukkan kebanggaan, sekaligus untuk menerima berkat (pasu-pasu) dari orang tua kepada seluruh keturunnya. Keterlibatan unsur Dalihan Na Tolu yaitu pihak hula-hula, dongan tubu dan boru, menjadi salah satu unsur kesempurnaan atas pelaksanaan pesta dimana diharapkan bahwa unsur-unsur Dalihan Na Tolu, terutama pihak hula-hula dipersonifikasikan sebagai wakil Tuhan yang memberi pasu-pasu.

Pelaksanaan Upacara Adat Sulang-Sulang Hariapan

Bentuk makanan yang disediakan adalah lauk daging (biasanya babi atau kerbau/lembu) yang dilengkapi dengan jambar dan dengke ihan masa (ikan mas). Acara manulangi si anak tertualah yang pertama menyuapi si orang tua, selanjutnya secara bergiliran sesuai dengan urutan posisi posisi putra putrid, menatu sampai ke tingkat cucu dan seterusnya, tentunya menyuapi dengan

(7)

92

memberi hanya sediki-sedikit agar semua memperoleh giliran sambil mereka memperhatikan orang tua itu dengan bahagia. Sebab ada pandangan dan keyakinan dengan kita memberi makan, akan memperoleh berkat.

Kemudian selesai acara makan maka dilanjutkan pembicaraan formal yaitu taanya jawab (masisukkunan). Biasanya acara Tanya jawab ini adalah pihak keluarga dekat antara lain saudara kandung (adik/abang), dan inilah yang memulai pertanyaan (manungkun) selanjtnya anak tertualah yang memberi jawaban maksud dan tujuan acara tersebut. Adapun keterlibatan Unsur Dalihan Na Tolu adalah untuk memberikan nasehat-nasehat, khusus pihak hula-hula diharapkan memberi berkat (pasu-pasu). Sedangkan unsur kerabat jauh dan dekat juga menyampaikan kata-kata nasehat (marahata sigabe-gabe) kepada keturunan orang tua tersebut.

3. Sulang-Sulang Hariapan Dalam Perspektif Iman Kristen

Sistim kepercayaan Batak Toba sangatlah kompeks yang sampai saat ini masih ada yang bercampur sinkritisme, dimana keyakinan akan pihak hula-hula yang memberi berkat tertinggi dalam setiap uapaca adat Batak Toba. Dalam pemikiran religius yang bersumber dari masa animisme ini masih bercampur baur antara kepercayaan Batak Kuno dan kepercayaan Kristen. Adanya upacara pemujaan roh leluhur (begu ni namate) yang berbau mistis juga dalam upacara adat sulang-sulang hariapan kadang timbul terutama di daerah pedesaan (bona pasogit).

Pelaksaan sulang-sulang hariapan ini dari berbagai pandangan ada yang negatif dan ada yang positif. Pandangan negatif ditinjau dari aspek ekonomi kurang tepat, sebab kita beri makan orang tua, sementara kemampuan fisik tidak memungkinkan lagi karena sudah tua dan sakit-sakitan. Namun dari padangan sisi positifnya hal yang diperbuat para putra putri keturunannya dapat menjadi wujud implementasi hukum Taurat ke lima: “Hormatilah Bapa dan Ibumu supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Allah kepadamu”. (Kel. 20:21).

Ditinjau dari aspek Alkitab, menurut Lothar Schreiner adat dalam logis pandangan teologis hanya dapat diterangkan dengan memandang kepada upacara adat yang satu itu, sebagaimana lazimnya dilihat dari segi religi-etnilogis penafsiran teologi harus

(8)

93

dilakukan pada dua jurusan tersebut. Apa yang dikatakan tentang adat tidak lepas dari pada nenek moyang, sebab nenek moyang adalah penjaga-penjaga adat dan budaya.

Pemahaman orang tua akan sangat tergantung dari konteks sosial dan budaya, orang tua adalah yang memiliki kedudukan dan mewakili suatu kelompok. Orang tua dipahami sebagai pasangan suami isteri yang telah memilik anak yang bertanggungjawab penuh kepada seluruh anaknya. Disinilah dapat disimpulkan bahwa orang tua itulah yang bertanggaungjawab terhadap putra putri baik secara fisik, spiritual, sosial budaya, emosi dan ekonomis.

Untuk membalas dan mensyukuri Sebagai tanggungjawab orang tua itu, maka putra putri harus menghormati orang tua yang sudah banyak berkorban terhadap kehidupan putra putrinya. Penghormatan ini adalah hal yang wajar dalam budaya Batak Toba. Perhatian dan cinta kasih ini dapat dikonfrontasikan dalam Hukum Taurat ke lima yang berbunyi, “Hormatilah Bapa dan Ibumu supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Allah kepadamu”. (Kel. 20:21,Ul. 5:16). Kata hormati dalam bahasa Ibrani yaitu cabeb memiliki arti menilai dengan tinggi, anggaplah keluarga. Implikasinya mereka itu diperlakukan sebagai pribadi yang memiliki kewibawaan yang berasal dari Tuhan , kewibawaan ini di atas hak dan kewajiban putra putri.

Menurut Verkuyil, dalam Hukum Taurat ke lima bahwa kita wajib tunduk kepada orang tua, karena orang tua sudah ditempatkan oleh Allah di atas kita, dan orang tua bertindak sudah atas nama Allah. Maka dapat disimpulkan dari pendapat ahli tersebut bahwa penghormatan kepada orang tua adalah panggilan pada setiap anak agar dapat hidup dalam hubungan yang benar antara sesama manusia. Ayah dan ibu adalah sesama manusia melalui siapa Tuhan menjadikan kita melahirkan, merawat dan membesarkan serta memberitahukan apa dan bagaimana hidup yang baik.

Menjadi suatu pertanyaan, dapatkah umat Kristen dapat melaksanakan sulang-sulang hariapan ?, hal ini dapat dijawab, dengan merajuk ke Alkitab, Pdt A.H.Parhusip memberikan komentar tentang upacara adat manulangi natua-tua mengatakan: bila memberi makanan enak kepada orang tua, menurut Alkitab, diam-diam tersembunyi dilakukan mengacu nats Alkitab dalam Kejadian. 27. Kemunduran secara spiritual para orang tua ini

(9)

94

kebutuhan rohani harus dilayani secara bersifat personal, karena daya tahan untuk berkumpul bersama dengan orang banyak sudah minim. Hal ini terbukti pada waktu Ishak meminta anaknya memberikan makanan kegemaran yaitu binatang buruan agar Ishak memberkati putra putrinya.

Motif pemberian makan ini adalah agar Ishak memberkati anaknya. Bila kita teliti lebih jauh teks ini sebenarnya Ishak rindu untuk disapa lebih dekat oleh putra putrinya. Cara penyapaan ini adalah sebuah bentuk ekspresi hubungan secara sosial. Proses penyapaan ini melibatkan semua unsur kemanusiaa si orang tua terhadap anak. Dan inilah yang seringkali dilupakan oleh putra putri kepada orang tuanya. Para orang tuapun membutuhkan sapaan yang manusiawi

Dalam konteks adat Batak Toba pada umumnya adalah sebaliknya, hati putra putrilah yang terdorong untuk melakukannya. Putra putrilah yang berinisiatif dan berpartisipasi dalam mensukseskan upacara adat sulang-sulang hariapan itu. Maka putra putri yang memiliki beban yang besar materi yang besar untuk melaksanakan upacara adat tersebut.

Tetapi adat Batak, dalam memberi makan enak kepada orang tua haruslah mengundang unsur Dalihan Na Tolu, kerabat dekat dan jauh. Maka dengan begitu pastilah banyak memerlukan biaya, pada hal seberapalah yang di makan orang tua tersebut. Adapun keterlibatan unsur Dalihan Na Tolu, kerabat adalah untuk, sekaligus memperlihatkan bahwa putra putri keturunan orang tua tersebut telah berhasil dalam status dan material. Tentunya inilah yang menandakan bahwa si orang tua telah memperoleh status gabe (memiliki keturunan), hamoraon (kekayaan) dan sangap kemulian), sebab dengan memperoleh perdikat ini kehidupan si orang tua telah sempurna, inilah tujuan hidup.

Untuk ini perlu pemikiran atas pemahaman dan makna pemberian sulang-sulang ini, agar tidak menjadi suatu preseden negatip seolah-olah upacara adat ini hanya mempertontonkan status dan keadaan. Perbuatan untuk menghormati orang tua adalah sesuatu yang baik ayat Alkitab sebagai firman Tuhan untuk mengingatkan kita dikatakan: “Ganjaran kerendahan hati dan takut akan Tuhan adalah kekayaan, kehormatan, dan kehidupan” (24:4). Dengan menyimak teks ini, implementasi makna kerendahan hati,

(10)

95

maka perlu menyederhanakan upacara adat ini, mungkin lebih tepatnya hanya lingkungan keluarga.

Alasan lain pengalaman penulis sendiri bahwa moment ini jugalah kesempatan si orang tua memberi nasehat-nasehat dan mungkin pembagian warisan. Alangkah lebih baik selama masih hidup dan sehat orang tua kita memberi makan yang enak supaya dapat dinikmati dengan puas. Kemudian adanya suatu pemahaman mengatakan, bahwa orang tua yang telah menerima sulang-sulang hariapan telah dibebaskan dan tidak diikutkan dari kewajiban ikatan-ikatan adat, sehingga seolah-olah hanya menunggu kematian untuk menempati peti mati dan kuburan yang sudah disiapkan.

Perlakuan seperti ini menurut penulis tidaklah manusiawi, kondisi seperti itu seolah-olah kita mengucilkan otomatis akan mengurangi rasa hormat, sebab bagaimanapun jika umurnya masih panjang akan ada beban psikologis atas perlakuan tersebut. Rasul Paulus mengatakan mengatakan; “Karena itu, janganlah menghakimi sebelum waktunya, yaitu sebelum Tuhan datang. Ia akan menerangi, juga apa yang tersembunyi dalam kegelapan, dan Ia akan memperlihatkan apa yang direncanakan di dalam hati. Maka tiap-tiap orang akan menerima pujian dari Allah” (1 Kor.4:5)

Menurut pendapat Pdt. Rudolf H.Pasaribu, pemberian makanan, minuman dalam sulang-sulang na tabao biasanya hanya sebagai cara penghormatan orang tua yang sudah sekarat. Bila hal ini diperlakukan maka upacara adat manulangi sudah melenceng, karena orang tua yang sudah lanjut usia hanya membutuhkan kunjungan anak cucu yang penuh keakraban.

Refleksi Pandangan Alkitab.

Sebenarnya untuk menghilangkan sebahagian pandangan negatif terhadap upacara manulangi, sebagai orang Kristen nats Alkitab sebagai tuntunan untuk menghormati orang tua, hal ini dapat terlaksana bila sejak kecil para orang tua telah menanamkan nilai-nilai positif yang bersumber dari firman Tuhan. Alkitab menuntun kita untuk berbuat baik seperti tertulis: “Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hal ini haruslah engkau perhatikan, haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada putra putrimu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau dalam

(11)

96

perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun” (Ul. 6:6-7).

Selanjutnya bagi putra putri juga sudah dapat dikenal dari perbuatannya, seperti tertulis mengatakan: “Putra putri pu sudah dapat dikenal dari pada perbuatannya, apakah bersih dan jujur kelakuannya” (Amsal 20:11). Lingkungan anak terletak pada keluarganya sendiri, anak lebih sering melakukan pada yang dilakukan orang tuanya dari pada apa yang diwajibkan kepada mereka.

Kalau orang tua ingin putra putrinya hidup penuh dengan buah roh, maka orang tua haruslah mempraktekkan, seperti yang di tuliskan Paulus; “Kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemah lembutan dan penguasaan diri. Tidak ada hukum yang menentang itu” (Gal. 5:22-23)

Ketika seorang anak merasakan kasih sayang yang baik dari orang tuanya, maka anak akan mempunyai konsep dalam dirinya bahwa Tuhan juga adalah Allah yang penuh kasih sayang. Pandangan anak terhadap ayahnya seringkali merupakan pandangan anak terhadap Allah. Menurut John F.Walvoord & Boy B.Zuck mengatakan; mengasihi Tuhan dapat diajarkan kepada putra putri melalui doa, ibadah, tahu mengucap syukur lewat persembahan, melalui nyanyian dan pujian bahkan mengajarkan kepada putra putri untuk berbuat hal sebagai bukti kita mengasihi Tuhan.

Keterlibatan pihak gereja yang selalu mempunyai peranan dalam acara tersebut perlu lebih memberikan pemahaman diatas segalanya adalah firman Tuhan. Walupun sebenarnya tidak ada larangan tertulis Alkitab untuk melaksanakan sulang-sulang. Untuk itu perlu penegasan dari pihak gereja tentang pemberian berkat adalah dari Allah, walaupun sebenarnya orang tua dapat memberi berkat seperti yang dilakukan Ishak.

Perlu memberi pengertian jika si orang tua yang telah menghadapi kematian akibat sudah lanjut umur, untuk memahami kematian seorang Kristen adalah mempedomani Yesus Kristus adalah satu-satunya tokoh yang berhasil mengalahkan maut atau kematian. Ia telah mati di kayu salib untuk menebus dosa manusia, dikuburkan dan bangkit pada hari ketiga yaitu bangkit dari kematian, dan hidup selama-lamnya (1 Kor. 15:12-58).

(12)

97

Dalam karya penebusan-Nya telah menyelesaikan tugas yang diberikan Allah Bapa, bahwa Ia naik kembali ke surga, yang adalah rumahnya.Ia berjanji akan menjemput setiap orang percaya (Yoh. 3:13, 26:28). Dalam Yoh. 14:1-6, Ia juga menjanjikan suatu tempat di rumah Bapa. Janji kristus itu adalah suka cita besar bagi orang percaya, maka tidak alasan bahwa kematian itu harus ditakutkan, sebab kematian adalah suka cita dan kebahagiaan yang terbesar karena dapat bertemu dengan Allah dan Juruselamat yang mengasihi dan dikasihi-Nya.

Daftar Bacaan

Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2009

Bosch, David J, Transformasi Misi Kristen, Jakarta BPK Gunung Mulai, 2009

Daniel, J Adam, Teologi Lintas Budaya, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996

Gultom, DJ, Rajamarpodang, Dalihan Na Tolu Nilai Buadaya Suku Batak, Medan: CV. Armada, 1992

Gintings, E.P. Okultisme, Bandung, Bina Media Indonesaia, 2009 ……….., Agama Suku, Jurnal Info Media, 2009

Hesselgrave, David J, Communucating Christ Cross-Culturally, Semarang Literatur Saat, 2005

Kobong, TH, Iman dan Kebudyaan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009

Schreiner, Lothar, Adat dan Injil, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010

Sitompul, A.A, Manusia dan Budaya, Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1991

Sinaga Richard, Adat Budaya Batak Dan Kekritenan, Jakarta: Dian Utama, 2010

Verkuyl, J, Etika Kristen Dan Kebudayaan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1979

Referensi

Dokumen terkait