• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. cara tidak menghakimi. Compassion juga melibatkan keinginan untuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. cara tidak menghakimi. Compassion juga melibatkan keinginan untuk"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

A. Self-Compassion

1. Konsep Self-Compassion

Compassion terdiri dari unsur kasih yang melibatkan perasaan untuk

menerima penderitaan yang dialami oleh diri sendiri dan orang lain dengan cara tidak menghakimi. Compassion juga melibatkan keinginan untuk meringankan penderitaan. Self-compassion merupakan sebuah konsep yang bergerak dari filosofi Budha yang didasarkan pada pengamatan dasar tentang kehidupan dan diterangi oleh empat kebenaran mulia (four noble truths) mengenai cara mengasihi diri sendiri layaknya rasa kasihan ketika melihat orang lain mengalami kesulitan (Neff dalam Hidayati, 2015: 157). Berdasarkan pengamatan tersebut Kristin Neff melakukan sebuah penelitian mengenai konsep compassion. Penjelasan tulisan-tulisan dari guru Budha tersebut (Bennett-Goleman, 2001; Brach, 2003; Goldstein & Kornfield, 1987; Salzberg, 1997) memberikan insight bagi Kristin Neff untuk menetapkan bahwa self-compassionmerupakan kasih sayang yang diarahkan pada diri sendiri, berkaitan dengan diri individu tersebut sebagai objek perhatian dan kepedulian ketika dihadapkan dengan penderitaan atau peristiwa negatif yang dialami (Neff, 2003a).

(2)

2. Definisi Self-Compassion

Self-compassion berasal dari kata compassion yang diturunkan dari bahasa

Latin patiri dan bahasa Yunani patein yang berarti menderita, menjalani, atau mengalami (Farida dalam Halim, 2015).Self-compassionmerupakan kasih sayang yang diarahkan ke dalam, berkaitan dengan diri individu itu sendiri sebagai objek perhatian dan kepedulian ketika dihadapkan dengan penderitaan atau peristiwa negatif yang dialami (Neff, 2003a). Seseorang yang memiliki

self-compassion lebih dapat menerima diri dengan apa adanya.

Hahn (dalam Missiliana, 2014) menyatakan bahwa untuk memberikan kasih sayang kepada diri sendiri dapat dilihat dengan bagaimana kita melihat jika orang lain merasakan keadaan yang lebih sulit dari yang sedang kita rasakan. Pernyataan tersebut diperkuat oleh definisi self-compassion Amstrong (dalam Frieda, 2015) yang menjelaskan bahwaself-compassion merupakan karakteristik kepribadian dimana individu menempatkan diri pada posisi individu lain. Cara tersebut membuat individu berfikir bahwa sebagai manusia, setiap individu dapat mengalami keadaan yang tidak menyenangkan dan dapat melakukan suatu kesalahan. Dalam posisi tersebut, individu akan merasa empati sehingga muncul keinginan untuk meringankannya.

Kemampuan merasakan perasaan individu lain berkembang dari penerimaan terhadap diri sendiri, secara emosional dan kognitif terhadap pengalaman dan kesadaran untuk tidak menghindar atas pengalaman yang tidak menyenangkan (Germer dalam Ulfah, 2015).Berdasarkan pernyataan tersebut peneliti mengambil kesimpulan bahwa self-compassion merupakan

(3)

bagaimana individu mampu bersikap baik kepada diri sendiri saat individu mengalami keadaan yang tidak menyenangkan dalam hidup, memahami hal tersebut sebagai sesuatu yang positif serta berusaha menemukan cara untuk meringankan beban tersebut.

3. Komponen Self-Compassion

Self-compassion terdiri dari tiga komponen yang memiliki kutub positif

dan negatif. Komponen-komponen tersebut yaitu Self-kindness, Common

humanity, danMindfulness. Neff (dalam Ulfah, 2015) menyatakan bahwa

secara konseptual ketiga komponen tersebut berbeda, namun saling berhubungan, serta bermanfaat dengan cara yang berbeda yaitu bagaimana individu menanggapi penderitaan dan kegagalan secara emosional (dengan kebaikan atau menghakimi), bagaimana individu memahami keadaan mereka secara kognitif (sebagai bagian dari pengalaman manusia atau sebagai sesuatu yang mengisolasi), dan bagaimana individu memperhatikan penderitaan atau kegagalan (secara sadar/seimbang atau berlebihan).

a. Self-kindness

Self-kindness merupakan suatu sikap lembut yang diberikan kepada diri

sendiri ketika dalam menghadapi peristiwa negatif (Neff, 2011). Neff mengakui bahwa ketidaksempurnaan dan pengalaman yang sulit dalam hidup tidak bisa dihindari. Hal tersebut akan membuat individu berusaha untuk menenangkan dan menjaga diri ketika menghadapi rasa sakit. Namun jika hal tersebut tidak mampu atau tidak ingin dilakukan oleh

(4)

individu maka dapat menimbulkan self-judgement, yaitu individu akan menghakimi diri sendiri dan mengkritik diri sendiri terhadap kekurangan atau peristiwa sulit yang terjadi. Tetapi jika kenyataan tersebut dapat diterima dengan bijaksana, maka individu akan menghasilkan emosi positif dan dapat menjaga diri untuk membantu mengatasi keadaan tersebut.

b. Common Humanity

Ketika pengalaman individu diinterpretasikan dari perspektifnya, individu cenderung sulit untuk melihat bahwa ternyata orang lain juga pernah merasakan apa yang dirasakannya. Mereka cenderung melakukan penilaian yang buruk terhadap diri sendiri, mengganggap bahwa mereka adalah satu-satunya yang menderita, dan merasa terisolasi. Individu yang memiliki common humanityakan melihat bahwa tantangan hidup dan kegagalan merupakan bagian dari manusia dan semua orang pasti mengalaminya. Dengan cara ini, maka individu akan merasa tidak sendiri ketika berada dalam rasa sakit.

c. Mindfulness

Mindfulness adalah tidak menghakimi, melihat secara jelas dan menerima

apa yang terjadi sekarang dengan menjaga pengalaman individu dalam kesadaran yang seimbang (Neff, 2011). Setiap individu tidak bisa mengabaikan rasa sakit dalam hidupnya. Individu dengan

(5)

mindfulnesstidak akan melakukan over-identification dengan pikiran dan

perasaan mereka, serta akan merasa lebih baik saat pikiran atau perasaan negatif dialihkan sehingga mereka tidak terjebak dalam kebencian pada diri sendiri.

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Self-compassion

Neff (2003) mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi

self-compassion, yaitu :

a. Lingkungan

Lingkungan yang paling dekat dengan anak adalah lingkungan keluarga. Keluarga merupakan tempat seorang anak bergantung dari awal kehidupannya. Seorang anak akan mempercayakan orangtuanya untuk memenuhi kebutuhannya seperti menyediakan makanan yang cukup, kehangatan, kenyamanan, dan perlindungan. Orangtua diharapkan dapat menjelaskan hal-hal, membantu menghadapi hal-hal yang menakutkan serta menjaga anak untuk tetap aman dari hal-hal yang merusak.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa individu yang tumbuh dengan orang tua yang selalu mengkritik ketika masa kecilnya akan menjadi lebih mengkritik dirinya sendiri ketika dewasa. Model dari orang tua juga dapat mempengaruhi self-compassion yang dimiliki individu. Perilaku orang tua yang sering mengkritik diri sendiri saat menghadapi kegagalan atau kesulitan. Orang tua yang mengkritik diri akan menjadi contoh bagi individu untuk melakukan hal tersebut saat mengalami kegagalan yang

(6)

menunjukkan derajat self-compassion yang rendah. Individu yang memiliki derajat self-compassion yang rendah kemungkinan besar memiliki ibu yang kritis, berasal dari keluarga disfungsional, dan menampilkan kegelisahan dari pada individu yang memiliki derajat self

compassion yang tinggi (Neff & McGeehee, 2010: 228).

Jumlah anak dalam keluarga juga dapat memengaruhi self-compassion. Nathania (2014) mengatakan bahwa dua buah hati akan meningkatkan kebahagiaan orangtua sedangkan anak ketiga biasanya sudah tidak membuat ayah dan ibu merasa lebih bahagia. Orang tua yang bahagia dengan memiliki jumlah anak ideal diharapakan mampu melakukan pemenuhan terhadapa kebutuhan anak, sehingga dapat meningkatkan

self-compassion pada anak.

b. Usia

Neff mencari latar belakang hubungan tersebut berdasarkan teori perkembangan Erikson. Individu yang telah mencapai tahapan integrity akan lebih menerima kondisi yang terjadi padanya sehingga dapat memiliki level self-compassion yang lebih tinggi (Neff, 2011).

Self-compassion terendah dalam periode kehidupan terjadi pada masa remaja.

Hal tersebut terjadi karena seorang remaja sedang mengalami peralihan yang sulit dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Masa remaja juga merupakan tahap pembentukan identitas. Meskipun kemampuan kognitif remaja sudah berkembang, namun masih terdapat ketidakmatangan

(7)

kognitif yang menyelimuti mereka. Seperti imaginary audience dan

personal fable (Elkind 1967 dalam Neff, 2003). Imaginary audience yaitu

remaja membayangkan bahwa penampilan dan perilaku mereka adalah fokus dari perhatian orang lain, sedangkan personal fable yaitu remaja percaya bahwa pengalaman mereka bersifat unik dan orang lain tidak mungkin memahami apa yang mereka alami. Menurut Elkind (dalam Papalia, 2007) bentuk-bentuk ketidakmatangan dari remaja ini mendasari banyaknya perilaku beresiko dan self-destructive yang dilakukan remaja, dan tidak diragukan lagi memberikan kontribusi peningkatan

self-criticism, perasaan terisolasi, dan overidentification dengan emosi yang

dirasakan. Hal ini berarti bahwa self-compassion cenderung menjadi sangat diperlukan terlebih karena kurangnya kemampuan ini selama periode kehidupan remaja.

c. Jenis kelamin

Jenis kelamin juga merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi self-compassion. Penelitian menunjukkan bahwa wanita jauh lebih penuh pemikiran dibandingkan laki-laki sehingga perempuan menderita depresi dan kecemasan dua kali lipat dibandingkan pria (Neff, 2011). Wanita akan cenderung menilai diri terus-menerus dalam keyakinan bahwa wanita harus berbuat lebih banyak. Akibatnya banyak wanita memiliki perasaan yang mendalam bahwa wanita tidak berhak menjadi penerima perawatan diri.

(8)

Hal lain yang menjelaskan perbedaan gender tersebut yaitu perempuan juga lebih sering melakukan perenungan yang berulang, mengganggu, dan cara berpikir yang tak terkendali atau yang disebut rumination.

Rumination mengenai hal-hal yang terjadi di masa lalu dapat

mengarahkan munculnya depresi, sedangkan rumination mengenai potensi peristiwa negatif di masa depan akan menimbulkan kecemasan (Neff, 2003:94). Penelitian lain yang dilakukan oleh Neff (2013) pada partisipan yang berasal dari berbagai kalangan juga menunjukkan bahwa perempuan memiliki self-compassion yang lebih rendah daripada laki-laki.

d. Budaya

Penelitian yang dilakukan pada negara Thailand, Taiwan, dan Amerika Serikat menunjukkan hasil bahwa terdapat perbedaan latar budaya mengakibatkan adanya perbedaan derajat self-compassion. Markus dan Kitayama (dalam Missiliana, 2014) mengatakan bahwa orang-orang di Timur yang memiliki budaya collectivistic dikatakan memiliki

self-conceptinteredependent yang menekankan pada hubungan dengan orang

lain, peduli kepada orang lain, dan keselarasan dengan orang lain (social

conformity) dalam bertingkah laku, sedangkan individu dengan budaya

Barat yang individualistic memiliki self-concept independent yang menekankan pada kemandirian, kebutuhan pribadi, dan keunikan individu dalam bertingkah laku. Self-compassion yang menekankan pada

(9)

kesadaran akan common humanity dan keterkaitan dengan orang lain, dapat diasumsikan bahwa self-compassion lebih sesuai pada budaya

interdependent daripada independent. Namun ternyata masyarakat Timur

lebih mengkritik diri sendiri dibandingkan masyarakat dengan budaya barat sehingga derajat self-compassion tidak lebih tinggi dari budaya barat (Kitayama&Markus, 2000; Kitayama, Markus, Matsumotoo, & Norasakkunkit, 1997; dalam Ulfah 2015).

B. Anak Jalanan

1. Definisi Anak Jalanan

Anak jalanan merupakan fenomena yang biasa dimasyarakat. Berbagai macam pandangan positif dan negatif yang telah mereka terima dengan mengesampingkan hak asasi anak. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia sebagaimana yang tercantum dalam UUD 1945, UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 tahun 1990 tentang pengesahan Convention on the right of the child (Konvensi tentang Hak-hak Anak). Direktorat Kesejahteran Anak, Keluarga dan Lanjut Usia, Departemen Sosial (2001: 30) memaparkan bahwa anak jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya dihabiskan untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya, usia mereka berkisar dari 6 tahun sampai 18 tahun. Adapun waktu yang dihabiskan di jalan lebih dari 4 jam dalam satu hari. Berdasarkan definisi

(10)

diatas dapat disimpulkan bahwa anak jalanan berada pada usia dibawah 18 tahun yangmenghabiskan waktu lebih dari 4 jam dijalanan guna mencari nafkah, ataupun melakukan aktivitas lainnya.

2. Karakteristik Anak Jalanan a. Berdasarkan Usia

Direktorat Kesejahteran Anak, Keluarga dan Lanjut Usia, Departemen Sosial (2001: 30) mengatakan bahwa anak jalanan adalah anak yang sebagian besar waktunya dihabiskan untuk mencari nafkah atau berkeliaran di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya, usia mereka berkisar dari 6-18 tahun. Departemen Sosial RI (2001: 23–24) juga menjelaskan salah satu indikator anak jalanan menurut usianya adalah anak yang berusia berkisar antara 6-18 tahun. Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang dapat dikategorikan sebagai anak jalanan adalah yang memiliki usia berkisar antara 6 sampai 18 tahun.

b. Berdasarkan Pengelompokan

Menurut Surbakti dkk (Puspareni: 2012), berdasarkan hasil kajian di lapangan, secara garis besar anak jalanan dibedakan dalam 3 kategori kelompok yaitu:

(11)

a) Children on the street (anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan yang masih memiliki hubungan dengan keluarga)

Kategori kelompok pertama ini merupakan anak-anak yang mempunyai kegiatan ekonomi di jalanan yang masih memiliki hubungan dengan keluarga. Ada dua kelompok anak jalanan dalam kategori ini, yaitu anak-anak yang tinggal bersama orangtuanya dan senantiasa pulang ke rumah setiap hari dan anak-anak yang melakukan kegiatan ekonomi dan tinggal di jalanan tetapi masih mempertahankan hubungan dengan keluarga dengan cara pulang baik berkala ataupun dengan jadwal yang tidak rutin.

b) Children of the street (anak jalanan merupakan anak-anak yang berpartisipasi penuh di jalanan, baik secara sosial maupun ekonomi)

Pada kategori kelompok yang kedua ini anak jalanan merupakan anak-anak yang berpartisipasi penuh di jalanan, baik secara sosial maupun ekonomi. Beberapa diantara mereka masih mempunyai hubungan dengan orang tuanya, tetapi frekuensi pertemuan mereka tidak menentu. Banyak diantara mereka adalah anak-anak yang memiliki alasan untuk lari atau pergi dari rumah. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak-anak pada kategori ini sangat rawan terhadap perlakuan salah, baik secara sosial, emosional, fisik maupun seksual.

(12)

c) Children from families of the street (anak yang menghabiskan seluruh waktunya di jalanan yang berasal dari keluarga yang hidup atau tinggalnya juga di jalanan)

Anak jalanan dalam kategori kelompok yang ketiga ini merupakan anak-anak yang menghabiskan seluruh waktunya di jalanan yang berasal dari keluarga yang hidup atau tinggalnya juga di jalanan. Meskipun anak-anak ini mempunyai hubungan kekeluargaan yang cukup kuat, tetapi hidup mereka terombang-ambing dari satu tempat ke tempat lain dengan segala risikonya. Dalam kategori kelompok yang ketiga ini jika kita telusuri ada sebuah fakta yang memprihatinkan yaitu pemampangan kehidupan jalanan sejak anak masih bayi, bahkan sejak anak masih dalam kandungan. Di Indonesia kategori ini dengan mudah dapat ditemui di berbagai kolong jembatan, rumah-rumah liar sepanjang rel kereta api dan pinggiran sungai, walau secara kuantitatif jumlahnya belum diketahui secara pasti.

c. Berdasarkan Ciri-ciri Fisik dan Psikis

Menurut Departemen Sosial RI (2001: 23–24) Anak jalanan memiliki ciri-ciri khusus baik secara fisik dan psikis. Ciri fisik yang umum dimiliki oleh anak jalanan antara lain warna kulit kusam, rambut kemerah-merahan, kebanyakan berbadan kurus, pakaian tidak terurus. Ciri psikis yang sering ditemukan pada anak jalanan meliputi mobilitas tinggi, acuh tak acuh, penuh curiga, sangat sensitif, berwatak keras, serta kreatif.

(13)

d. Berdasarkan Intensitas Hubungan dengan Keluarga

Berada dijalanan merupakan aktivitas utama anak jalanan, baik untuk memenuhi kebutuhan hidup maupun melakukan aktivitas lainnya. Hal tersbeut dapat berdampak pada intensitas hubungan anak jalanan dengan keluarga mereka menjadi kurang intensif. Menurut Departemen Sosial RI (2001: 23), indikator anak jalanan menurut intensitas hubungan dengan keluarga, yaitu masih berhubungan secara teratur minimal bertemu sekali setiap hari, frekuensi dengan keluarga sangat kurang, ataupun sama sekali tidak ada komunikasi dengan keluarga

e. Berdasarkan Tempat Tinggal

Anak jalanan memiliki berbagai macam tempat tinggal. Menurut Departemen Sosial RI(2001: 24), indikator anak jalanan menurut tempat tinggalnya antara lain tinggal bersama orang tua, tinggal berkelompok bersama teman-temannya, dan idak mempunyai tempat tinggal.

f. Berdasarkan aktivitas

Menurut Departemen Sosial RI (2001: 24), indikator anak jalanan menurut aktivitas yang dilakukan oleh anak jalanan adalah antara lain memiliki aktivitas seperti menyemir sepatu, mengasong, menjadi calo, menjajakan koran ataumajalah, mengelap mobil, menjadi pemulung, pengamen, menjadi kuli angkut, ataupun menyewakan payung.

(14)

C. Remaja

1. Pengertian Remaja

Kata “remaja” berasal dari bahasa latin yaitu adolescene yang berarti

to grow atau to grow maturity. Papalia, Olds, Feldman (2007)

mendefinisikan masa remaja sebagai masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan dewasa yang pada umunya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun. Departemen Kesehatan Republik Indonesia (dalam Fithrianida, 2010) membedakan masa remaja kedalam tiga tahapan, yaitu masa remaja awal dari usia 10-13 tahun, masa remaja tengah dari usia 14-16 tahun dan masa remaja akhir dari usia 17-19 tahun.

Masa remaja adalah masa peralihan dimana terjadinya perubahan fisik dan psikologis dari masa kanak-kanak ke masa dewasa (Hurlock, 2003). Perubahan psikologis yang terjadi pada remaja meliputi intelektual, kehidupan emosi, dan kehidupan sosial. Perubahan fisik mencakup organ seksual yaitu alat-alat reproduksi sudah mencapai kematangan dan mulai berfungsi dengan baik (Sarwono, 2006). Adapun Hurlock membagi masa remaja menjadi masa remaja awal (13 hingga 16/17 tahun) dan masa remaja akhir (16 atau 17 tahun hingga 18 tahun). Masa remaja awal dan akhir dibedakan oleh Hurlock karena pada masa remaja akhir individu telah mencapai transisi perkembangan yang lebih mendekati masa dewasa.

(15)

2. Ciri-ciri Masa Remaja

Remaja memiliki ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelumnya dan sesudahnya. Ciri-ciri remaja menurut Hulock (2007), adalah sebagai berikut:

1. Masa remaja merupakan periode penting

Masa remaja merupakanperiode terjadinya perkembangan fisik dan mental yang pesat dan penting sehingga memerlukan penyesuaian mental, penentuan sikap, nilai, dan minat baru. Perubahan-perubahan yang dialami pada masa remaja akan memberikan dampak langsung pada individu yang bersangkutan dan akan mempengaruhi perkembangan selanjutnya.

2. Masa remaja sebagai periode peralihan

Peralihan merupakan perpindahan dari tahap satu ke tahap selanjutnya. Perkembangan pada masak-masak belum selesai, tetapi belum dianggap sebagai individu yang dewasa.

3. Masa remaja sebagai periode perubahan

Pada periode ini terdapat lima perubahan yang dialami oleh remaja, yaitu perubahan tubuh, perubahan minat dan perat, perubahan emosi yang meningkat, perubahan nilai, dan sikap yang mucul karena perubahan.

4. Masa remaja sebagai masa pencarian identitas diri

Pada masa ini, penyesuaian diri terhadap kelompok lebih penting daripada bersikap individualitas. Pada masa ini mereka juga

(16)

mengeluarkan usaha untuk menjelaskan siapa dirinya dan apa peranannya dalam masyarakat.

5. Masa remaja merupakan masa yang bermasalah

Masalah terjadi pada anak laki-laki maupun perempuan. Kesulitan yang terjadi disebabkan karena mereka merasa sudah mandiri, sehingga menolak bantuan orang-orang yang ada disekitar mereka seperti orang tua dan guru dalam menyelesaikan permasalahan yang ada. Penyebab lainnya adalah, sepanjang masa kanak-kanak, masalah mereka sebagian diselesaikan oleh orang-orang yang ada disekitar mereka sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalamana dalam mengatasi masalah yang ada.

6. Masa remaja sebagai masa yang menimbulkan ketakutan

Hal ini disebabkan karena pada masa ini para remaja cenderung memunculkan perilaku yang kurang baik sehingga banyak orang tua menjadi takut.

3. Tahapan Perkembangan Masa Remaja

Menurut tahap perkembangan, masa remaja dibagi menjadi tiga tahap perkembangan (Sarwono, 2006), yaitu :

a. Remaja awal (early adolescence)

Tahap usia perkembangan masa remaja awal berkisar antara usia 12-15 tahun. Ciri khas pada masa ini adakah para remaja masih heran akan perubahan yang terjadi pada dirinya dan dorongan-dorongan baru yang

(17)

muncul. Para remaja ingin lebih dekat dengan teman sebaya, ingin bebaas, serta memiliki ketertarikan terhadap lawan jenis.

b. Remaja Madya (middle adolescence)

Periode berkisar pada usia 15-18 tahun. Pada tahap ini remaja mulai mencari identitas diri, serta timbulnya keinginan untuk kencan. Remaja juga memiliki kesulitan untuk menentukan hal yang terbaik bagi dirinya.

c. Remaja Akhir (late adolescence)

Pada periode ini usia berkisar antara 18-21 tahun. Ciri yang melekar antara lain, remaja sudah mulai dapat mengungkapkan identitas diri, minat-minat terhadap fungsi intelektual, munculnya batasan antara diri sendiri dan masyarakat, serta munculnya keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dan orang lain.

4. Keadaan Emosi pada Masa Remaja

Masa remaja dianggap sebagai periode “badai dan tekanan”, suatu periode dimana ketegangan emosi meningkat akibat perubahan fisik dan kelenjar (Hurlock, 2007). Tingkat emosi yang dimiliki para remaja berbeda-beda sesuai dengan kondisi sosial yang ada disekitar para remaja. Ketidakstabilan yang terjadi bagi anak laki-laki maupun perempuan disebabkan usaha penyesuaian diri pada pola perilaku baru dan harapan sosial baru. Meskipun emosi remaja sangat kuat, tidak terkendali dan tampak irasional, tetapi terjadi perbaikan emosi dari tahun ke tahun. Gesell

(18)

(dalam Hurlock, 2007) mengatakan bahwa remaja yang berusia empat belas tahun memberikan bentuk emosi yang meledak, mudah marah, mdah terangsang, dan tidak berusaha untuk mengendalikan emosinya. Sementara pada remaja yang berusia enam belas tahun, bentuk emosi menjadi lebih stabil. Jadi periode badai dan tekanan pada masa remaja dapat berkurang seiiring waktu.

a. Pola emosi pada masa remaja

Menurut Hurlock (2007), pola emosi pada masa remaja sama dengan pola emosi yang terjadi pada masa kanak-kanak, perbedaannya hanya pada rangsangan yang membangkitkan emosi, tingkat emosi, serta pengendalian terhadap rangsangan yang memunculkan emosi. Emosi umum yang terjadi antara lain; mudah marah, iri hati, takut, gembira, sedih, cemburu, ingin tahu serta kasih sayang lebih.

Pada masa ini, para remaja sangat marah jika dibanding-bandingkan dan mendapatkan sikap yang tidak adil. Sikap amarah yang mereka tunjukkan umumnya dengan menggerutu, tidak mau bicara atau dengan suara keras mengkritik orang yang menyebabkan amarahnya. Remaja juga memiliki sikap iri terhadap apa yang dimiliki orang yang lebih tua, tetapi muncul keinginan dari mereka untuk mendapatkan, tetapi dengan usaha mereka sendiri.

(19)

b. Kematangan emosi

Baik laki-laki maupun perempuan dapat dikatakan telah mencapai kematangan emosi apabila mereka sudah dapat mengendalikannya dengan tidak meledak-ledak dan mencari waktu yang tepat untuk mengungkapkannya. Ciri lain yang menunjukkan kematangan emosi adalah para remaja menilai situasi secara kritis dahulu sebelum bereaksi secara emosional. Untuk mencapai kematangan emosi, remaja harus belajar memperoleh gambaran mengenai situasi yang dapat menimbulkan reaksi emosional, misalkan dengan berbagi masalah dengan orang lain yang diharapkan dapat memberikan stabilan emosi bagi remaja. Hurlock (2007) juga menyebutkan bahwa emosi dapat distabilkan dengan belajar katarsis emosi. Cara yang dapat dilakukan berbeda-beda setiap invidu, misalkan dengan bermain atau bekerja, tertawa ataupun menangis.

D. Self-Compassion pada Anak Jalanan

Dalam hidup, setiap orang memiliki peran dimana peran yang dipegang tersebut memiliki tugasnya masing-masing yang menuntut untuk diselesaikan. Berat beban yang ditanggung umumnya tergantung pada peran yang dijalani oleh seorang individu. Seorang anak yang menjalani kehidupan normal dalam masyarakat seperti menuntut ilmu, mengembangkan minat dan bakat, dan

(20)

bermain bersama teman akan berbeda perannya dengan anak jalanan yang kegiatan utamanya mencari rezeki untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Surbakti (dalam Puspareni, 2012) membedakan anak jalanan dalam 3 kategori kelompok yaitu; children on the street, children of the street, dan

children from families of the street. Usia anak jalanan di kota Medan masih

muda yaitu berada pada usia masa kanak-kanak awal, kanak-kanak akhir, dan remaja. Anak jalanan kota Medan yang berada di usia remaja, memiliki beban tugas yang lebih, karena sedang berada pada tahap pencarian identitas diri dan tugas-tugas perkembangan lainnya. Dampak yang dapat terjadi dari beban tugas yang lebih tersebut adalah menimbulkan sikap pesimis, krisis percaya diri, merasa terasingkan dari masyarakat, penyalahgunaan obat-obatan, serta menghambat pengembangan diri yang ada pada anak jalanan. Hal tersebut juga berdampak pada tingginya tingkat kriminalitas dikalangan anak jalanan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.

Dari berbagai dampak tersebut juga tidak sedikit anak jalanan dikota medan yang masih bangkit dan berusaha. Mereka memikirkan masa depan dan mencoba merubahnya, baik dengan menjalani pendidikan formal maupun non formal. Sarwoto (2002) menyatakan bahwa kehidupan anak jalanan bagi sebagian anak jalanan juga memiliki dampak yang positif misalnya anak menjadi tahan kerja keras karena sudah terbiasa kena panas dan hujan, anak jalanan bisa belajar bekerja sendiri, bertanggung jawab dan membantu ekonomi orang tuanya.

(21)

Saat menjadi anak jalanan sebagian dari mereka juga dapat merasakan kebahagiaan atas apa yang mereka jalani. Penelitian yang dilakukan Mardayeti (2013) menjelaskan bahwa anak jalanan merasa bahwa ia dapat merasakan kebahagiaan ketika bersama temannya, karena menurutnya temannya mampu memberikan perhatian kepadanya dan bersama teman-temannya ia bisa membagi semua permasalahan yang dialaminya. Hal tersebut, dapat terwujud karena adanya konsep self-compassion pada diri anak. Penelitian Neff (2013) juga menjelaskan bahwa individu yang memilliki

self-compassionakan menunjukkan perilaku hubungan yang lebih positif

daripada mereka yang tidak memiliki self-compassion.

Self-compassionadalah kasih sayang yang diarahkan ke dalam, berkaitan

dengan diri individu itu sendiri sebagai objek perhatian dan kepedulian ketika dihadapkan dengan penderitaan atau peristiwa negatif yang dialami (Neff, 2003a). Self-compassion akan mengarahkan individu pada kompetensi emosi yang baik, seperti yang dijelaskan dalam penelitian Ramdhani (2014) yang menyatakan ada pengaruh besar yang diberikan oleh self-compassion terhadap kompetensi emosi tampak dari kesesuaiannya dengan pengertian moral, yaitu ketika seseorang berperilaku sesuai dengan sifat moral, kode moral, dan aturan moral maka seseorang dapat berperilaku adaptif dan berkompeten secara emosional, hal ini searah dengan self-compassion yang memiliki hubungan positif dengan fungsi adaptasi psikologis seseorang (Neff, Rude, & Kirkpatrick, 2007).

(22)

Penelitian yang dilakukan oleh Diantina dan Hendrarizkianny (2014) menyatakan bahwa individu yang memiliki self-compassion akan mampu menghadapi tugas maupun keadaan sulit dalam hidupnya meskipun hal tersebut merupakan suffering (penderitaan).Leary et al., (dalam Missiliana, 2014) juga menyatakan bahwaindividu dengan self-compassion akan menerima kenyataan bahwa mereka memiliki kekurangan dan tidak sempurna, dan mereka bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan mereka. Hal tersebut diperkuat oleh penelitian Mutia Ulfa Yulianti dan Hedi Wahyudi (2014) yang menyatakan seseorang yang memiliki self-compassion maka ia akan mampu memahami kondisi mereka tanpa terbebani dan menerima kekurangan yang dimiliki serta mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan.

(23)

Keterangan: - - - : Tidak diteliti ______ : Berhubungan dengan penelitian E. Kerangka Berfikir Berpendidikan Formal/Informal

Anak Jalanan

Tantangan dan tuntutan hidup

1. Masalah ekonomi

(membantu orangtua , untuk pendidikan, dan memenuhi kebutuhan sehari-hari, dsb) 2. Masalah keluarga (orangtua

bercerai, ditinggal orangtua, dsb) - Self-kindness - Common humanity - Mindfulness Faktor yang mempengaruhi - Lingkungan - Usia - Jenis kelamin - Budaya

Self-compassion

Dampak positif - Bertanggungjawab - Melihat kesempatan

untuk meraih masa depan Mandiri - Mendapatkan

perhatian lebih dari teman Dampak negatif - Pesimis - Krisis percaya diri - Penyalahgunaan obat-obatan - Tindakan kriminal

Referensi

Dokumen terkait

Menentukan eigen vektor dari matriks berpasangan dapat dilihat pada persamaan (1), Menghitung matriks normalisasi semua kriteria pada persamaan (2), Memeriksa nilai

Implikasi yang kedua yaitu, berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh bahwa variabel Norma subjektif secara signifikan berpengaruh positif terhadap Niat beli

Luas CA Situ Patengan yang hanya 21,18 ha dan letaknya yang berbatasan dengan kawasan perkebunan dan kawasan hutan produksi Perum Perhutani, dapat menjadi ancaman bagi

(1) Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, seluruh pejabat di lingkungan Poltekkes Kemenkes berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 38 Tahun 2018 tentang Organisasi

Islam dalam keluarga dengan kecerdasan emosional peserta didik.

P1 B Memperlancar saluran irigasi mengantisipasi banjir 50 Pagu Indikatif Kecamatan Pembangun an bok cor/flat deukur RT 17 RW 18 Dsn Wringinsari Desa Wriginpitu 1 paket

Bu çalışmada, karaçalı ( Paliurus spina-christi Mill.) ve hünnap ( Zizyphus jujuba Mill.) türlerinde bazı tohum özellikleri ile GA 3 , çıtlatma ve uygun ekim

Telah dilaksanakannya kegiatan evaluasi penawaran atas kegiatan Pekerjaan Pengurukan Dan Pematangan Tanah Pengadilan Agama Tanjung Selor. Oleh karena hal tersebut, maka