• Tidak ada hasil yang ditemukan

KATA PENGANTAR. Jakarta, Desember 2009 Penanggungjawab Kegiatan, Dr. Agus Heri Purnomo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KATA PENGANTAR. Jakarta, Desember 2009 Penanggungjawab Kegiatan, Dr. Agus Heri Purnomo"

Copied!
152
0
0

Teks penuh

(1)

i

RINGKASAN EKSEKUTIF

Ikan sebagai salah satu sumber protein, memegang peran penting dalam program ketahanan pangan terutama ketahanan gizi masyarakat. Pembangunan ketahanan pangan diarahkan guna mewujudkan kemandirian pangan untuk menjamin ketersediaan pangan di tingkat nasional, daerah hingga rumah tangga, serta menjamin konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi. Ikan dihasilkan baik melalui usaha penangkapan juga melalui usaha budidaya. Peningkatan produksi dari usaha budidaya menjadi tujuan utama dari misi Departemen Kelautan dan Perikanan untuk 5 tahun ke depan. Pengembangan usaha perikanan yang baik diharapkan mampu mensuplai kebutuhan masyarakat terhadap ikan sesuai dengan kebutuhan ideal yang ingin dicapai.

Penelitian ini bertujuan (1) mengidentifikasi kondisi sistem usaha perikanan budidaya ikan yang ada di lokasi ; (2) mengidentifikasi berbagai faktor penting dalam sistem usaha perikanan (SUP) budidaya yang mendukung ketahanan pangan; (3) menganalisis hubungan antar faktor dalam SUP budidaya yang mendukung ketahanan pangan (4) merumuskan model pengembangan SUP budidaya yang mendukung ketahanan pangan.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode survey terhadap pelaku usaha budidaya atau masyarakat yang bukan pelaku usaha yang ada di lokasi survey. Pemilihan lokasi desa ditentukan berdasarkan kriteria desa rawan pangan yang dikeluarkan oleh Badan Ketahanan Pangan di tingkat Kabupaten di setiap propinsi yang terpilih. Metode analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah metode deskriptif dan statistik sederhana. Analisis pendekatan deskriptif dalam hal ini dilakukan untuk menjawab tujuan satu, dua yaitu (1) teridentifikasi kondisi sistem usaha perikanan budidaya ikan, (2) teridentifikasinya berbagai faktor penting dalam sistem usaha perikanan (SUP) yang mendukung ketahanan pangan. Penggunaan model dinamis yaitu Powersim untuk memberikan informasi terkait dengan peluang yang dapat di capai untuk mendapatkan produksi ikan yang dibutuhkan oleh seluruh penduduk di lokasi rawan pangan yang menjadi lokasi penelitian. Sedangkan pendekatan pembuatan Saragih (2001), dimana sistem usaha perikanan diusahakan dengan memperhatikan keterkaitan antara subsistem. Subsistem yang dimaksud

(2)

Meliputi subsistem produksi (usaha budidaya), subsistem input produksi, subsistem pengolahan, subsistem pemasaran. Selanjutnya dikatakan bahwa hal penting yang akan diperhatikan dalam konsep agribisnis perikanan adalah perbaikan pada spek teknologi, kelembagaan, organisasi bisnis, pasar, SDM dan infrastruktur.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini yaitu terdapat dua lokasi desa yang termasuk dalam kategori rentan pangan ikani yaitu Desa Merakan dan Desa Cinanggela. Hal yang menyebabkan kondisi tersebut yaitu faktor stabilitas pasokan disebabkan oleh supply ikan ke wilayah tersebut sangat tergantung kepada pasokan dari luar sehingga waktunya tidak dapat ditentukan. Untuk desa Cinanggela bahkan selama ini supply ikan yang banyak tersedia di warung hanya jenis ikan asin yang kandungan gizinya juga tidak lebih baik. Untuk dua lokasi desa lainnya yaitu Desa Watuurip dan Desa Salamrejo kondisi ketahanan pangan ikani berada pada kondisi cukup tahan. Hal ini disebabkan oleh masing-masing faktor penentu dalam indikator ketahanan pangan cukup terpenuhi. Stabilitas pasokan juga cukup terjaga karena mereka mempunyai usaha budidaya ikan di rumahnya, sehingga konsumsi ikan keluarga diperoleh dari hasil budidayanya.

Dari simulasi model dinamis yang dibuat, diperoleh bahwa untuk mencukupi supply ikan di desa tersebut terutama dilokasi yang rawan pangan dan tidak terdapat usaha budidaya seperti di Desa Merakan akan diperoleh melalui kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi usaha budidaya. Upaya ini dilakukan dengan cara intervensi secara struktural, yaitu dengan menambahkan subsistem pada model yang sudah dibangun. Berdasarkan simulasi, dengan adanya intervensi ini maka gap atau selisih antara kebutuhan ikan ideal dengan konsumsi ikan di lokasi survei dapat diperkecil. Sedangkan di lokasi yang rawan pangan tetapi terdapat usaha budidaya seperti Desa Watuurip, intervensi yang dilakukan adalah intervensi fungsional, yaitu dengan mengubah nilai dalam variabel. Dalam hal ini adalah luas lahan. Karena di Desa Watuurip, lahan budidaya belum dimanfaatkan secara optimal.

Dari model sistem usaha perikanan yang dibuat dan disesuaikan dengan hasil simulasi model dinamis maka untuk pengembangan sistem usaha perikanan ke depan dengan tujuan pemenuhan kebutuhan ikan ideal bagi masyarakat dilokasi survey.

(3)

iii Model pengembangan usaha perikanan terdiri dari dua tipe yaitu tipe 1 untuk desa yang tidak mampu membangun sepenuhnya seluruh subsistem usaha budidaya di lokasi masih ada keterkaitan dengan sistem usaha perikanan yang dikembangkan di desa terdekat yang paling potensial. Untuk tipe ini subsistem yang paling memungkinkan dibangun yaitu subsistem usaha pembesaran. Tipe 2 yaitu pengembangan seluruh subsitem mulai dari subsistem pembenihan, pendederan, pembesaran, jasa input, kelembagaan permodalan, kelembagaan pasar di desa tersebut sehingga dapat memproduksi ikan konsumsi untuk kebutuhan masyarakat di desanya.

Implikasi kebijakan pengembangan usaha budidaya tersebut harus dilihat kondisi potensi wilayah tersebut dalam pengembangannnya. Harus dibedakan perlakuan program pengembangan usaha budidaya tersebut bagi setiap lokasi yang berbeda. Pengembangan usaha budidaya dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi. Untuk usaha intensifikasi diperlukan peranan diseminasi teknologi ke wilayah rawan pangan, karena potensi peningkatan produksi untuk program ini akan dipenuhi melalui pemberian teknologi yang lebih maju. Untuk program ekstensifikasi dapat dilakukan dengan pemanfaatan lahan yang belum digunakan untuk usaha budidaya ikan, atau lahan sawah dengan budidaya tumpangsari antara padi dan ikan.

(4)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala kami panjatkan, karena atas berkat Rahmat dan Hidayah-Nya kegiatan yang didanai dari APBN Tahun 2009 dan di bawah pengelolaan Balai Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan dengan judul “

RISET MODEL PENGEMBANGAN SISTIM USAHA PERIKANAN YANG MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA RAWAN PANGAN” telah selesai kami laksanakan.

Di samping itu, kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan kesediaan, dedikasi dan konsistensinya dalam memberikan masukan, arahan dan bimbingan sejak awal penyusunan rencana penelitian hingga kepada penyelesaian laporan teknis ini.

Kami menyadari bahwa laporan ini masih memiliki berbagai kelemahan, baik pada tataran konsep, pelaksanaan lapangan, kualitas data dan informasi yang dihasilkan serta interpretasi hasilnya. Oleh karena itu, pada kesempatan ini tim peneliti kegiatan riset ini mengharapkan kritik dan saran membangun dari berbagai pihak demi perbaikan ke depan.

Harapan kami semoga laporan teknis ini dapat menjadi rujukan atau referensi bagi stakholders yang terkait baik sebagai penentu kebijakan maupun pelaku usaha serta pihak-pihak lain terkait dengan kebijakan dan program penanggulangan masalah kerawanan pangan di Indonesia, khususnya dari dengan penyediaan ikan murah dan mudah terjangkau melalui pengembangan usaha perikanan..

Jakarta, Desember 2009

Penanggungjawab Kegiatan,

(5)

v

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ...,... Xi DAFTAR LAMPIRAN ... xii

RINGKASAN xiii I. PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan Penelitian ... 3 1.3 Keluaran ... 3 II METODE PENELITIAN... 4

2.1

Lokasi dan Waktu Penelitian...

4

2.2

Kerangka Pemikiran...

5

2.3

Metode Penelitian...

6

2.3.1 Jenis dan Sumber Data...

6

2.3.2 Metode Pengumpulan Data...

6

2.3.3 Metode Analisis Data...

6

III. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

3.1 Ketahanan Pangan ………...…………... 9

3.1.1 Konsep dan Definisi Ketahanan Pangan... 9

3.1.2 Indikator dan Pengukuran Ketahanan Pangan... 11

3.1.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan 14 3.2 Ketahanan Pangan Rumah Tangga ... 15

3.2.1 Indikator Ketahanan Pangan Rumah Tangga... 17

3.2.2 Pengukuran Ketahanan Pangan Rumah Tangga... 18

3.2.3 Ketersediaan dan Konsumsi Ikan 21 3.3 Rumah Tangga Rawan Pangan... 21

(6)

IV GAMBARAN UMUM WILAYAH SURVEY... 23

4.1 Kabupaten Bandung Propinsi Jawa Barat... 23

4.1.1 Keadaan Umum Wilayah... 23

4.1.2 Kondisi Sistim Usaha Perikanan ... 24

4.1.3 Program Ketahanan Pangan ... 26

4.2 Kabupaten Banjarnegara Propinsi Jawa Tengah... 28

4.2.1 Kondisi Umum Wilayah... 28

4.2.2 Kondisi Sistim Usaha Perikanan... 29

4.2.3 Program Ketahanan Pangan... 33

4.3 Kabupaten Kulon Progo Propinsi Daerah Istimewa Jogjakarta 33 4.3.1 Keadaan Umum Wilayah... 33

4.3.2 Kondisi Sistim Usaha Perikanan... 35

4.3.3 Program Ketahanan Pangan... 37

4.4. Kabupaten Lumajang Propinsi Jawa Timur... 44

4.4.1 Keadaan Umum Wilayah... 44

4.4.2 Kondisi Sistim Usaha Perikanan... 45

4.4.3 Program Ketahanan Pangan... 52

V. HASIL DAN PEMBAHASAN... 56

5.1. KARAKTERISTIK RESPONDEN DI WILAYAH SURVEY 56 5.1.1 Karakteristik Responden di Desa Merakan, Kecamatan Padang, Kabupaten Lumajang, Propinsi Jawa Timur... 56 5.1.1.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Timgkat Pendidikan 56 5.1.1.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Umur ... 56 5.1.1.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Matapencaharian 56 5.1.1.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendapatan 57

5.1.1.5 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pengeluaran Rumah Tangga...

58 5.1.1.6 Karakteristik Responden Berdasarkan Pengeluaran

untuk Pembelian Ikan

58 5.1.1.7 Karakteristik Responden Berdasarkan Aset yang dimiliki 59 5.1.2 Karakteristik Responden Desa Salamrejo, Kecamatan Sentolo,

Kabupaten Kulon Progo DIY...

59

5.1.2.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Timgkat Pendidikan

(7)

vii 5.1.2.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Umur ... 60 5.1.2.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Matapencaharian 61 5.1.2.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendapatan... 61 5.1.2.5 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat

Pengeluaran Rumah Tangga...

62 5.1.2.6 Karakteristik Responden Berdasarkan Pengeluaran untuk

Pembelian Ikan ... 62 5.1.2.7 Karakteristik Responden Berdasarkan Aset yang dimiliki 63 5.1.3 Karakteristik Responden Di Desa Watuurip, Kecamatan

Bawang, Kabupaten Banjarnegara

64 5.1.3.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Timgkat

Pendidikan

64 5.1.3.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Umur ... 65 5.1.3.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Matapencaharian 65 5.1.3.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendapatan ... 66 5.1.3.5 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat

Pengeluaran Rumah Tangga ...

66 5.1.3.6 Karakteristik Responden Berdasarkan Pengeluaran untuk

Pembelian Ikan ...

67 5.1.3.7 Karakteristik Responden Berdasarkan Aset yang dimiliki 67 5.1.4 Karakteristik Responden di Desa Cinanggela, Kecamatan

Pacet Kabupaten Bandung

68 5.1.4.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Timgkat

Pendidikan ... 68 5.1.4.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Umur ... 69 5.1.4.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Matapencaharian 69 5.1.4.4. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendapatan.... 70 5.1.4.5 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat

Pengeluaran Rumah Tangga ... 71 5.1.4.6 Karakteristik Responden Berdasarkan Pengeluaran untuk

Pembelian Ikan ... 71 5.1.4.7 Karakteristik Responden Berdasarkan Aset yang dimiliki 72 5.2 IDENTIFIKASI FAKTOR DALAM SISTEM USAHA PERIKANAN

(SUP) BUDIDAYA YANG MENDUKUNG KETAHANAN

PANGAN

73

5.2.1 Desa Merakan, Kecamatan Padang, Kabupaten Lumajang, Propinsi Jawa Timur ...

(8)

5.2.2 Desa Salamrejo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulonprogo, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ,...

73 5.2.3 Desa Watuurip, Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara,

Jawa Timur ...

75 5.2.4 Desa Cinanggela, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung, Jawa

Barat ...

79 5.3 KETAHANAN PANGAN IKANI RUMAH TANGGA DI DESA

RAWAN PANGAN

79 5.3.1 Desa Merakan, Kecamatan Padang, Kabupaten Lumajang, Propinsi Jawa Timur

79

5.3.1.1 Ketersediaan Pangan Ikani ……….. 80

5.3.1.2. Stabilitas Pangan Ikani ... 81

5.3.1.3. Keterjangkauan Pangan Ikani ... 83

5.3.1.4. Keamanan Pangan Ikani ... 84

5.3.2 Desa Salamrejo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulonprogo, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 85 5.3.2.1. Ketersediaan Pangan Ikani ……….. 86

5.3.2.2. Stabilitas Pangan Ikani ……….. 87

5.3.2.3. Keterjangkauan Pangan Ikani ... 89

5.3.2.4. Keamanan Pangan Ikani ... 90

5.3.3 Desa Watuurip, Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Timur ... 90 5.3.3.1 Ketersediaan Pangan Ikani ………... 91

5.3.3.2 Stabilitas Pangan Ikani ... 92

5.3.3.3 Keterjangkauan Pangan Ikani ... 94

5.3.3.4 Keamanan Pangan Ikani ... 96

5.3.4 Desa Cinanggela, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung, Jawa Barat ... 96 5.3.4.1. Ketersediaan Pangan Ikani ………. 97

5.3.4.2. Stabilitas Pangan Ikani ……….. 98

5.3.4.3. Keterjangkauan Pangan Ikani ……… 99

5.3.4.4. Keamanan Pangan Ikani

………..

99

VI. PERUMUSAN MODEL SISTIM USAHA PERIKANAN YANG

MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN

101 6.1 Desa Merakan Kecamatan Padang Kabupaten Lumajang Jawa Timur… 101 6.2 Desa Watuurip Kecamatan Bawang Kabupaten Banjarnegara Jawa 106

(9)

ix Tengah………

VII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN ... 110

5.1. Kesimpulan ... 110

5.2. Implikasi Kebijakan ... 111

DAFTAR PUSTAKA ... 112

(10)

DAFTAR TABEL

No Teks Halaman

1. Daerah Rawan Pangan Berdasarkan Propinsi di Jawa... 4 2. Indikator Rawan Pangan di Jawa Timur... 5 3. Skor Konsumsi Pangan (SKP) untuk Mengidentifikasi Ketahanan Pangan

Rumahtangga...

13 4. Perkembangan Jumlah Penduduk Kabupaten Bandung 2005-2006... 23 5. Jumlah RTP dan luas lahan budidaya ikan di Kabupaten Bandung tahun

2007...

25 6. Data Produksi Perikanan Kabupaten Banjarnegara, Tahun 2008... 29 7. Data Luas Lahan Perikanan Tahun 2006-2009, Kabupaten Banjarnegara 30 8. Jumlah Produksi Perikanan Tahun 2006-2009... 30 9. Tingkat Konsumsi Ikan (TKI) Kabupaten Banjarnegara... 31 10. Produksi ikan Budidaya dan Luas kolam Per Kecamatan di Kabupaten

Kulonprogo Tahun 2008...

35 11. Produksi Per Jenis Ikan Budidaya Kolam di Kabupaten Kulonprogo Tahun

2008...

36 12. . Total Produksi dan Konsumsi Ikan di Kabupaten Kulonprogo Tahun 2008 36 13. Produksi Budidaya Ikan di Air Tawar dan Air Payau Menurut Jenis Ikan di

Kabupaten Kulonprogo Tahun 2008 (Kg)...

37 14. Perdagangan Ikan Menurut Mutasinya di Kabupaten Kulonprogo Tahun

2007 (dalam Kg)...

39 15. Perdagangan Ikan Menurut Jenisnya di Kabupaten Kulonprogo Tahun

2007 ...

40 16. Perkembangan Produksi Budidaya Ikan Air Tawar dan Payau dari Tahun

2004-2008 di Kabupaten Kulonprogo(dalam Kg)...

41 17. Skala Usaha Pengolahan Hasil Perikanan Kabupaten Kulonprogo Tahun

2008 ...

42 18. Daftar Pengusaha Skala Mikro yang Bergerak di Bidang Perikanan di

Kabupaten Kulonprogo Tahun 2008 ...

44 19. Tangkapan Berbagai Jenis Ikan pertahun di Kabupaten Lumajang 49 20. Jumlah dan Trip melaut untuk Setiap jenis Alat Tangkap yang Ada di

Kabupaten Lumajang, Jawa Timur...

49

21 Luas Lahan serta produksi untuk masing-masing tipe budidaya yang ada di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur...

(11)

xi 22. Perkembangan Jumlah nelayan yang ada di kabupaten Lumajang, Jawa

Timur...

50 23. Perkembangan Jumlah Alat Tangkap di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur 50 24. Perkembangan Jumlah Armada di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur 51 25. Perkembangan produksi penangkapan di laut di Kabupaten Lumajang,

Jawa Timur...

51 26. Perkembangan produksi penangkapan di perairan umum, Kabupaten

Lumajang, Jawa Timur...

51 27. Perkembangan Produksi Budidaya Air Payau di Kabupaten Lumajang (ton) 52 28. Karakteristik Responden Berdasarkan Timgkat Pendidikan di Desa

Merakan, Kecamatan Padang, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur tahun 2009...

56

29. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur di Desa Merakan, Kecamatan Padang, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur tahun 2009...

56 30. Karakteristik Responden Berdasarkan Matapencaharian di Desa Merakan,

Kecamatan Padang, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur tahun 2009...

57

31. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendapatan di Desa Merakan, Kecamatan Padang, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur tahun 2009

57 32. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pengeluaran Rumah Tangga

di Desa Merakan, Kecamatan Padang, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur tahun 2009...

58

33 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pengeluaran Untuk Pembelian Ikan di Desa Merakan, Kecamatan Padang, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur tahun 2009...

58

34 Aset Rumah Tangga Yang Dimiliki Responden di Desa Merakan, Kecamatan Padang, Kabupaten Lumajang di Desa Merakan, Kecamatan Padang, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur tahun 2009...

59

35 Karakteristik Responden Berdasarkan Timgkat Pendidikan Desa Salamrejo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo DIY...

60 36 Karakteristik Responden Berdasarkan Umur Desa Salamrejo, Kecamatan

Sentolo, Kabupaten Kulon Progo DIY... 60 37 Karakteristik Responden Berdasarkan Matapencaharian Desa Salamrejo,

Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo DIY

61 38 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendapatan Desa Salamrejo,

Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo DIY...

61 39 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pengeluaran Desa

Salamrejo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo DIY...

62 40 Total Pengeluaran Responden Untuk Membeli Ikan Desa Salamrejo,

Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo DIY...

(12)

41 Jenis Aset yang Dimiliki Responden di Lokasi Desa Salamrejo, Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo DIY...

64 42 .Jenis Aset yang Dimiliki Responden di Lokasi Desa Salamrejo,

Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulon Progo DIY...

64 43 Karakteristik Responden Berdasarkan Umur Di Desa Watuurip,

Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara...

65 44 Karakteristik Responden Berdasarkan Mata Pencaharian Di Desa

Watuurip, Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara... 65 45 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendapatan Di Desa Watuurip,

Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara... 66 46 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pengeluaran Di Desa

Watuurip, Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara...

67 47 Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pengeluaran untuk

Konsumsi Ikan Di Desa Watuurip, Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara...

67

48 Jenis Aset yang Dimiliki Responden di Lokasi Di Desa Watuurip, Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara...

68

49 karakteristik Responden berdasarkan Tingkat Pendapatan... 70

50 Distribusi Pendapatan Responden Desa Cinanggela... 71

51 Karakteristik Responden Berdasatkan Tingkat Pengeluaran... 71

52 Pengeluaran Konsumsi Ikan Responden Desa Cinanggela... 71

53 Jenis lahan, potensi dan dan Luas Lahan Yang Sudah dimanfaatkan Untuk Budidaya Ikan... 74 54 Jumlah dan Persentase Responden terhadap Aktivitas Budidaya………. 76

55 Sumber Modal Usaha Responden Untuk Budidaya Ikan... 76

56 Sumber Modal Usaha Responden Untuk Budidaya Ika... 77

57 Ketersediaan Lahan Desa Watuurip Tahun 2008... 80

58 Ketahanan Pangan Rumah Tangga Rawan Pangan Di Desa Merakan,Kecamatan Padang, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur... 80 69 Distribusi Rumah Tangga Rawan Pangan Menurut Cara yang Ditempuh untuk Memperoleh Ikan... 81 60 Distibusi Rumah Tangga Menurut Jenis Ikan yang Paling Sering Dikonsumsi,... 82 61 Frekuensi Makan Ikan dalam Seminggu Terakhir... 82

62 Preferensi Sumber protein hewani yang dikonsumsi Oleh Rumah Tangga Rawan Pangan... 83 63 Respon Responden Apabila Tidak Tersedian ikan di Desa Merakan, Kecamatan Padang, Kabupaten Banjarnegara... 84 64 Cara yang Dilakukan Responden untuk Memperoleh Ikan ... 84

(13)

xiii 66 Ketahanan Pangan Rumah Tangga Rawan Pangan di Desa Salamrejo,

Kecamatan Sentolo, Kabupaten Gunungkidul DIY... 86 67 Distribusi Rumah Tangga Rawan Pangan Menurut Cara yang Ditempuh

untuk Memperoleh Ikan... 87 68 Distibusi Rumah Tangga Menurut Jenis Ikan yang Paling Sering

Dikonsumsi, di Kulon Progo, DIY...

88

69 Frekuensi Makan Ikan Responden dalam Seminggu Terakhir... 88

70 Preferensi Sumber Protein Hewani yang dikonsumsi Oleh Rumah Tangga Rawan Pangan... 88 71 Respon Responden Apabila Tidak Ada Ikan... 89

72 Cara yang Dilakukan Responden untuk Memperoleh Ikan ... 90

73 Pengetahuan responden tentang kualitas ikan yang baik... 91

74 Ketahanan Pangan Rumah Tangga Rawan Pangan di Desa Watuurip, Kabupaten Banjarnegara... 91 75 Distribusi Rumah Tangga Menurut Cara yang Ditempuh untuk Memperoleh Ikan di Desa Watuurip-Kabupaten Banjarnegara... 91 76 Distibusi Rumah Tangga Menurut Jenis Ikan yang Paling Sering Dikonsumsi, Di Desa Watuurip, Kabupaten Banjarnegara... 92 77 Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Desa Cinanggela, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung, Jawa Barat... 97 78 Distribusi Rumah tangga Menurut cara yang ditempuh untuk memperoleh ikan di Desa Cinanggela, Kecamatan Pacet, Kabupaten Bandung, Jawa Barat... 97 79 Frekuensi Makan Ikan dalam Seminggu Terakhir ... 98

80 Cara Yang Ditemopuh untuk Mendapatkan Ikan... 99

81 Lokasi Responden Memperoleh Ikan………. 99

82 Pengetahuan Responden Akan Ciri Ikan Segar... 100 83 Jumlah Penduduk di Desa Merakan Tahun 2005 sampai dengan 2009 103

84 Tingkat Konsumsi Ikan setelah Intervensi 105

85 Jumlah Penduduk di Desa Watuurip 107

(14)

DAFTAR GAMBAR

No Teks Halaman

1. Kerangka Pemikiran... 5

2. Tahapan Pemodelan……… 8

3. Pengembangan Kerangka Pemikiran Ketahanan Pangan Berdasarkan Chung (1997)... 18 4. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan... 69

5. Karakteristik Responden berdasarkan Umur... 69

6. Karakteristik Responden Berdasarkan Matapencahariaan……… 69

7. Karakteristik Responden berdasarkan Aset yang Dimiliki... 72

8. Pengetahuan rumah tangga rawan pangan tentang kualitas ikan... 85 9. Preferensi Sumber Protein Hewani oleh Responden di Desa Watuurip,

Kabupaten Banjarnegara... 93 10. Respon Responden Jika Ikan tidak Tersedia pada Responden di Desa

Watuurip, Kabupaten Banjarnegara………..

93 11. Cara yang Dilakukan Responden untuk Memperoleh Ikan di Desa

Watuurip, Kabupaten Banjarnegara...

94 12. Tempat Responden Membeli Ikan di Desa Watuurip, Kabupaten

Banjarnegara………

95 13. Pengetahuan Responden Tentang Kualitas Ikan di Desa Watuurip

Kabupaten Banjarnegara………..

96

14 Causal Loop Diagram Model Ketahanan Pangan 102

15 Selisih antara kebutuhan ikan ideal dengan tingkat konsumsi ikan 103

16 Intervensi Model 104

17 Hasil Simulasi Setelah Intervensi Untuk Konsumsi Ikan di Desa Merakan 105 18 Selisih antara kebutuhan ikan ideal dengan tingkat konsumsi ikan 108 19 Hasil Intervensi Model Untuk penyediaan Konsumsi ikan di Desa

Watuurip

109

(15)

xv

No Teks Halaman

1. Stok Flow Diagram 114

2. Equation Model Ketahanan Pangan 115

3. Analisa Usaha Pembesaran Ikan Lele di Kolam Terpal selama 3 bulan dengan luasan kolam 15 m2 di Desa Salamrejo Kecamatan Sentolo Kabupaten Kulonprogo

119

4. Analisa usaha pembenihan ikan gurame selama 45 hari di Desa Watuurip Kecamatan Bawang Kabupaten Banjarnegara

120

(16)

RINGKASAN

Ikan sebagai salah satu sumber protein, memegang peran penting dalam program ketahanan pangan terutama ketahanan gizi masyarakat. Ikan dihasilkan selain dari penangkapan, juga dihasilkan dari budidaya. Kondisi sumberdaya ikan dari penangkapan tidak dapat diharapkan akan dapat menyuplai kebutuhan untuk konsumsi karena kondisi sumberdaya yang sebagian wilayahnya mengalami overfishing. Salah satu sektor andalan yang masih dapat diupayakan yaitu mengembangkan usaha budidaya ikan sehingga dapat meningkatkan produksinya sehingga dapat menggantikan kekurangan sumber ikan yang tidak dapat disediakan oleh usaha penangkapan.

Peningkatan produksi ikan hasil budidaya harus dilakukan melalui pendekatan sistem usaha budidaya yang baik, sehingga pemenuhan protein untuk menjaga ketahanan pangan rumah tangga dapat dipenuhi. Penelitian ini bertujuan (a) Mengidentifikasi kondisi sistem usaha perikanan budidaya ikan yang ada di lokasi ;(b)Mengidentifikasi berbagai faktor penting dalam sistem usaha perikanan (SUP) budidaya yang mendukung ketahanan pangan ;(c)Menganalisis hubungan antar faktor dalam SUP budidaya yang mendukung ketahanan pangan;(d) Merumuskan model pengembangan SUP budidaya yang mendukung ketahanan pangan. Keluaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah(a)Teridentifikasinya kondisi sistem usaha perikanan budidaya ikan ;(b) Teridentifikasinya berbagai faktor penting dalam sistem usaha perikanan (SUP) yang mendukung ketahanan pangan;(c)Teranalisisnya hubungan antar faktor dalam Sistin Usaha Perikanan yang mendukung ketahanan pangan;(d) model pengembangan Sistim Usaha Perikanan yang mendukung ketahanan pangan.

Lokasi penelitian yang menjadi daerah sampel dipilih secara sengaja (purposive) yaitu setiap lokasi di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pemilihan Kabupaten berdasarkan kriteria yang ditetapkan sebagai daerah rawan dalam dalam statistik Rawan Pangan dan Gizi tahun 2007 dan 2008 yang dikeluarkan oleh Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian dan selama 2 tahun berturut-turut dinyatakan rawan pangan, atau lokasi yang berubah dari tidak rawan menjadi rawan pangan selama 2 tahun (Kulonprogo) . Kemudian, setelah ditentukan Kabupaten yang terpilih yaitu Bandung,

(17)

xiv Kulonprogo, Banjarnegara dan Lumajang . Kriteria lainnya, kabupaten tersebut merupakan pusat-pusat pengembangan usaha budidaya.

Metode penelitian yang dilakukan menggunakan metode survey, pengambilan responden dilakukan secara purposive samplig terhadap pelaku usaha budidaya atau masyarakat di desa tersebut. Jenis data terdiri dari data primer dan sekunder. Data primer meliputi data terkait dengan karakteristik responden serta terkait dengan indikator ketahanan pangan di desa rawan pangan. Data sekunder diperoleh dari laporan penelitian terkait atau laporan instansi dari pemerintah daerah maupun pusat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kondisi usaha perikanan di lokasi survey di Desa Merakan walaupun belum ada usaha budidaya, namun punya potensi pengembangan untuk usaha budidaya ikan yang tahan supply air, untuk lokasi Kulonprogo usaha budidaya lele mulai dikembangkan satu tahun yang lalu dan punya potensi untuk pengembangan lebih lanjut. Desa Watuurip sudah lama berkembang usaha perikanan namun hanya pada usaha pembenihan dan pendederan, sedangkan desa Cinanggela usaha perikanan akan sulit dikembangkan mengingat kondisi wilayahnya. Kondisi ketahanan pangan di masing-masing lokasi desa rawan pangan menunjukkan bahwa untuk Desa Merakan dan Desa Cinanggela termasuk dalam kategori rentan pangan ikani. Hal yang paling mempengaruhi kondisi tersebut yaitu faktor stabilitas pasokan disebabkan oleh supply ikan ke wilayah tersebut sangat tergantung kepada pasokan dari luar sehingga waktunya tidak dapat ditentukan. Untuk desa Cinanggela bahkan selama ini supply ikan yang banyak tersedia di warung hanya jenis ikan asin yang kandungan gizinya juga tidak lebih baik. Untuk dua lokasi dsa lainnya yaitu Desa Watuurip dan Desa Salamrejo kondisi ketahanan pangan ikani berada pada kondisi cukup tahan. Hal ini disebabkan oleh masing-masing faktor penentu dalam indikator ketahanan pangan cukup terpenuhi. Stabilitas pasokan juga cukup terjaga karena mereka mempunyai usaha budidaya ikan di rumahnya, sehingga konsumsi ikan keluarga diperoleh dari hasil budidayanya. Dari simulasi model yang dibuat untuk 2 kondisi desa yang berbeda diperoleh bahwa untuk mencukupi supply ikan di desa tersebut terutama dilokasi yang rawan pangan dan tidak terdapat usaha budidaya seperti di Desa Merakan akan diperoleh melalui kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi usaha budidaya. Upaya ini dilakukan dengan cara intervensi secara struktural, yaitu dengan menambahkan subsistem pada

(18)

model yang sudah dibangun. Dalam hal ini dibangun subsistem SUP. Berdasarkan simulasi, dengan adanya intervensi ini maka gap atau selisih antara kebutuhan ikan ideal dengan konsumsi ikan di lokasi survei dapat diperkecil. Sedangkan di lokasi yang rawan pangan tetapi terdapat usaha budidaya seperti Desa Watuurip, intervensi yang dilakukan adalah intervensi fungsional, yaitu dengan mengubah nilai dalam variabel. Dalam hal ini adalah luas lahan. Karena di Desa Watuurip, lahan budidaya belum dimanfaatkan secara optimal.

Pengembangan sistin usaha perikanan, khususnya usaha budidaya ikan yang dikembangkan dilokasi-lokasi rawan pangan sangat efekltif untuk mengatasi kondisi rawan pangan terutama untuk pangan hewani yaitu ikan. Pemenuhan kebutuhan protein ikan yang murah dan mudah diperoleh karena dengan penyediaan ikan tersebut di lokasi rumahnya. Tentunya pengembangan usaha budidaya tersebut harus dilihat kondisi potensi wilayah tersebut dalam pengembangannnya. Haruis dibedakan perlakuan program pengembangan usaha budidaya tersebut bagi setiap lokasi yang berbeda. Tapi pada prinsipnya usaha budidaya tersebut harus didukung sepenuhnya oleh pemerintah terutama terkait dengan permodalan dan program terkait dengan pengentasan kemiskinan di wilayah rawan pangan. Disamping itu harus diberikan bimbingan dan pelatihan karena sebagian besar penduduk di rawan pangan tersebut masih minim informasi usaha budidaya.

Pengembangan usaha budidaya dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi. Untuk usaha intensifikasi diperlukan peranan diseminasi teknologi ke wilayah rawan pangan, karena potensi peningkatan produksi untuk program ini akan dipenuhi melalui pemberian teknologi yang lebih maju. Untuk program ekstensifikasi dapat dilakukan dengan pemanfaatan lahan yang belum digunakan untuk usaha budidaya ikan, atau lahan sawah dengan budidaya tumpangsari antara padi dan ikan.

(19)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Ketahanan pangan mempunyai peran strategis dalam pembangunan nasional, minimal dalam tiga hal. Pertama, akses terhadap pangan dan gizi yang cukup merupakan hak yang paling asasi bagi manusia. Kedua adalah pangan memiliki peranan penting dalam pembentukan sumberdaya manusia yang berkualitas. Ketiga, ketahanan pangan merupakan salah satu pilar utama dalam menopang ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan. Untuk memenuhi hal tersebut diperlukan ketersediaan pangan yang cukup setiap waktu, aman, bermutu, bergizi, dan beragam dengan harga yang dapat dijangkau oleh daya beli masyarakat (UU No.7/1996 tentang Pangan), yang diutamakan berasal dari kemampuan sektor pertanian domestik dalam menyediakan bahan makanan yang dibutuhkan oleh masyarakat (PP No.68/2002 tentang Ketahanan Pangan).

Ketahanan pangan dihasilkan oleh suatu sistem pangan yang terdiri atas tiga subsistem, yaitu: (a) ketersediaan pangan dalam jumlah dan jenis yang cukup untuk seluruh penduduk, (b) distribusi pangan yang lancar dan merata, dan (c) konsumsi pangan setiap individu yang memenuhi kecukupan gizi dan kaidah kesehatan.

Menyikapi permasalahan tersebut, pembangunan ketahanan pangan harus diarahkan pada kekuatan ekonomi domestik, yang mampu menyediakan pangan yang cukup bagi seluruh penduduk, terutama dari produksi dalam negeri, dalam jumlah dan keragaman yang cukup, aman, dan terjangkau dari waktu ke waktu. Sejalan dengan perubahan lingkungan strategik domestik dan global, sasaran pembangunan ketahanan pangan diarahkan pada kemandirian pangan yang diartikan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh penduduknya memperoleh pangan yang cukup, mutu yang layak, aman, yang didasarkan pada optimalisasi pemanfatan dan berbasis pada keragaman sumberdaya.

Memperhatikan permasalahan dan potensi sebagaimana didiskusikan di muka, maka pembangunan ketahanan pangan diarahkan guna mewujudkan kemandirian pangan untuk menjamin ketersediaan pangan di tingkat nasional, daerah hingga rumah tangga, serta menjamin konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi

(20)

seimbang di tingkat rumah tangga sepanjang waktu, melalui pemanfaatan sumberdaya dan budaya lokal, teknologi inovatif dan peluang pasar, peningkatan ekonomi kerakyatan dan pengentasan kemiskinan.

Ketahanan pangan terwujud apabila secara umum telah terpenuhi dua aspek sekaligus. Pertama adalah tersedianya pangan yang cukup dan merata untuk seluruh penduduk. Kedua, setiap penduduk mempunyai akses fisik dan ekonomi terhadap pangan untuk memenuhi kecukupan gizi guna menjalani kehidupan yang sehat dan produktif dari hari ke hari.

Ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga merupakan landasan bagi ketahanan pangan masyarakat, yang selanjutnya menjadi pilar bagi ketahanan pangan daerah dan nasional. Berdasarkan pemahaman tersebut, maka salah satu prioritas utama pembangunan ketahanan pangan adalah memberdayakan masyarakat, agar mampu menanggulangi masalah pangannya secara mandiri, serta mewujudkan ketahanan pangan rumah tangganya secara berkelanjutan.

Pada tataran rumah tangga, persoalan yang menonjol dalam pemantapan ketahanan pangan adalah masih besarnya proporsi kelompok masyarakat yang mempunyai daya beli rendah, ataupun yang tidak mempunyai akses atas pangan karena berbagai sebab, sehingga mereka mengalami kerawanan pangan kronis maupun transien. Jika kondisi yang mereka alami berkelanjutan, maka kualitas fisik maupun intelegensia masyarakat tersebut cenderung rendah, dan bangsa ini akan kehilangan potensi terbaik dari sebagian sumberdaya manusianya.

Pada sisi lain, Indonesia mempunyai keunggulan komparatif (comparative advantage) sebagai negara agraris dan maritim. Keunggulan komparatif tersebut merupakan fundamental perekonomian yang senantiasa didayagunakan melalui proses pembangunan menjadi keunggulan bersaing (competitive advantage). Dengan pendekatan demikian, perekonomian yang dikembangkan di Indonesia memiliki landasan yang kuat yaitu pada sumberdaya domestik, serta memiliki kemampuan bersaing yang tinggi. Dalam kaitan ini pembangunan ekonomi di bidang pangan, baik yang berbasis tanaman, peternakan, perikanan maupun kehutanan, akan sekaligus memperkuat ketahanan pangan nasional. Oleh sebab itu pembangunan ekonomi di bidang pangan ini merupakan prioritas strategis dalam pembangunan nasional.

(21)

3 Ikan sebagai salah satu sumber protein, memegang peran penting dalam program ketahanan pangan terutama ketahanan gizi masyarakat. Ikan dihasilkan selain dari penangkapan, juga dihasilkan dari budidaya. Kondisi sumberdaya ikan dari penangkapan tidak dapat diharapkan akan dapat menyuplai kebutuhan untuk konsumsi karena kondisi sumberdaya yang sebagian wilayahnya mengalami overfishing. Salah satu sektor andalan yang masih dapat diupayakan yaitu mengembangkan usaha budidaya ikan sehingga dapat meningkatkan produksinya sehingga dapat menggantikan kekurangan sumber ikan yang tidak dapat disediakan oleh usaha penangkapan. Peningkatan produksi ikan hasil budidaya harus dilakukan melalui pendekatan sistem usaha budidaya yang baik, sehingga pemenuhan protein untuk menjaga ketahanan pangan rumah tangga dapat dipenuhi.

1.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan:

a. Mengidentifikasi kondisi sistem usaha perikanan budidaya ikan yang ada di lokasi b. Mengidentifikasi berbagai faktor penting dalam sistem usaha perikanan (SUP)

budidaya yang mendukung ketahanan pangan

c. Menganalisis hubungan antar faktor dalam SUP budidaya yang mendukung ketahanan pangan.

d. Merumuskan model pengembangan SUP budidaya yang mendukung ketahanan pangan.

1. 3. Keluaran

Keluaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

a. Teridentifikasinya kondisi sistem usaha perikanan budidaya ikan

b. Teridentifikasinya berbagai faktor penting dalam sistem usaha perikanan (SUP) yang mendukung ketahanan pangan

c. Teranalisisnya hubungan antar faktor dalam Sistin Usaha Perikanan yang mendukung ketahanan pangan.

(22)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Ketahanan Pangan

2.1.1 Konsep dan Definisi Ketahanan Pangan

Ketika terjadi krisis pangan dunia pada tahun 1970-an maka mulailah dikenal istilah ketahanan pangan. Dasar-dasar ketahanan pangan dipakai sebagai titik tolak evaluasi keadaan pangan, yang dilatarbelakangi oleh pemikiran yang muncul dalam Konferensi Pangan Duni PBB pada tahun 1974. Konsep ketahanan pangan kemudian mempengaruhi berkembangnya konsep swasembada atau “self sufficiency” yang mengutamakan kebutuhan domestik melalui produksi dalam negeri. Konsep ketahanan pangan terus berkembang hingga diterimanya Deklarasi Roma 1992 tentang Ketahanan Pangan yang menegaskan sebagai :

“hak setiap orang untuk memiliki akses terhadap pangan yang aman, bermutu dan bergizi, konsisten dengan hak untuk memperoleh pangan yang cukup dan hak azazi bagi setiap orang untuk bebas dari kelaparan”.

Kelaparan adalah bentu kekurangan pangan yang apabila berlangsung lama dapat mengakibatakan kekurangan gizi (Soetrisno, 1998). Syarief, Hardinsyah dan Atmojo (1999) menyebutkan bahwa makna atau dimensi yang terkandung dalam definisi tersebut adalah dimensi fisik pangan (penyediaan), dimensi ekonomi (daya beli), dimensi pemenuhan kebutuhan gizi individu (dimensi gizi dan sasaran) sesuai nilai0nilai budaya religi (pola pangan yang sesuai), dimensi keamanan pangan (kesehatan), dan dimensi waktu (secara berkesinambungan). Definisi ini secara mendasar sudah menganut konsep yang holistic dan mengandung makna yang selaras dengan paradigm baru kesehatan.

Kantor Menteri Negara Urusan Pangan Republik Indonesia (1996) mendefinisikan Ketahanan Pangan dalam Undang-Undang Nomor & Tahun 1996 tentang Pangan (Bab I pasal 7 ayat 18), adalah :

“kondisi terpenuhinya pangan bagi rumahtangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman merata dan terjangkau”.

(23)

5 Pada Lokakarya Nasional Ketahanan Pangan Nasional (Departemen Pertnian Republik Indonesia, 1996) ketahanan pangan rumahtangga didefinisikan dalam beberapa alternatif rumusan yaitu :

(1) Kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pangan anggota rumahtangga dalam jumlah, mutu dan ragam sesuai budaya setempat dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat

(2) Kemampuan rumahtangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari produksi sendiri dan atau membeli dari waktu ke waktu agar dapat hidup

(3) Kemampuan rumahtangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar hidup sehat.

Beberapa definisi ketahanan pangan dari tahun 1970-an yang menekankan pada kemampuan wilayah dalam penyediaan pangan untuk mengatasi kelaparan, yang kemudian pada decade 1980-an definisi ketahanan pangan bergeser dari ketersediaan pangan wilayah ke aksesibilitas pangan oleh setiap rumahtangga dan individu serta pada decade 19990-an ketahanan pangan lebih difokuskan kepada terpenuhinya kebutuhan gizi setiap individu dalam jumlah dan mutu agar dapat hidup sehat (Hardinsyah et al., 1999).

Untuk kepentingan perumusan kebijakan dan program ketahanan pangan maka perlu dilakukan redefinisi yang memuat enam komponen dasar ketahanan pangan yaitu: (a) pemenuhan kebutuhan gizi untuk hidup aktif dan sehat sesuai nilai setempat (pola pangan dan religi); (b) jaminan keamanan pangan sebagai bagian dari pola pemenuhan kebutuhan kesehatan; (c) akses pangan secara fisik (produksi dan ketersediaan pangan); (d) akses pangan secara ekonomi atau social (kemampuan membeli atau memperoleh pangan); (e) akses informasi tentang jumlah, mutu dan harga pangan; dan (f) kesinambungan, yaitu terjaminnya pemenuhan kebutuhan pangan sepanjang waktu (Hardinsyah et al., 1999).

Usaha untuk mewujudkan ketahanan pangan sampai pada tingkat rumahtangga dapat ditempuh melalui peningkatan efektivitas dan efisiensi distribusi pangan, peningkatan daya beli masyarakat, peningkatan kemampuan penyediaan pangan, peningkatan pembentukan cadangan pangan, dan peningkatan pengetahuan pangan dan gizi. Kebijakan peningkatan ketahanan pangan memberikan perhatian secara khusus

(24)

kepada mereka yang memiliki resiko tidak mempunyai akses untuk memperoleh pangan yang cukup (Suhardjo, 1996; Soetrisno, 1996).

Atmodjo, Syarief, Sukandar dan Latifah (1995) menyebutkan bahwa kondisi ketidaktahanan pangan (food insecurity) tingkat rumahtangga ada dua bentuk yaitu : (a) ketidaktahanan pangan kronis yaitu terjadi dan berlangsung secara terus menerus yang biasanya disebabkan oleh rendahnya daya beli dan kualitas sumberdaya yang sering terjadi di wilayah miskin dan gersang; dan (b) ketidaktahanan pangan akut, terjadi secara mendadak yang disebabkan oleh bencana alam, kegagalan produksi dan kenaikan harga yang mengakibatkan masyarakat sukar memperoleh pangan yang memadai.

2.1.2 Indikator dan Pengukuran Ketahanan Pangan

Mengacu pada pada pengertian ketahanan pangan dalam UU RI No. 7 Tahun 1996, Soetrisno (1996) mengemukakan beberapa indikator yang dapat digunakan meliputi: 1) Angka ketersediaan pangan setara energi, protein dan lemak dibandingkan angka kecukupan berdasarkan rekomendasi; 2) Angka konsumsi energi, protein dan lemak penduduk dibandingkan angka kecukupan berdasarkan rekomendasi; 3) Prosentase jumlah penduduk yang mengalami rawan pangan; 4) Angka Indeks Ketahanan Pangan Rumahtangga; 5) Angka rasio antara stok dengan konsumsi pada berbagai tingkat wilayah; 6) tingkat harga pangan pokok penduduk setempat; 7) Skor Pola Pangan Harapan (PPH) untuk tingkat ketersediaan atau konsumsi; 8) Kondisi keamanan pangan; 9) Keadaan kelembagaan cadangan pangan masyarakat; dan 10) Tingkat cadangan pangan pemerintah dibandingkan perkiraan kebutuhan.

Secara konseptual ketahanan pangan yang telah diterima oleh Sidang Komite Pangan Dunia tahun 1993 mencakup tiga aspek penting yaitu : (1) ketersediaan pangan; (2) stabilitas penyediaan pangan; dan (3) akses individu dan atau rumahtangga untuk mendapatkan pangan. Ketiga aspek diterjemahkan dalam suatu indeks yang mengukur keadaan ketahanan pangan. Karena sasaran ketahanan pangan adalah rumahtangga maka indicator ketahanan pangan yang disusun difokuskan pada Indeks Rata-Rata Ketahanan Pangan Rumahtangga (AHFSI = Average Household Food Security Index). Secara ringkas formula ukuran ketahanan pangan digambarkan sebagai berikut:

(25)

7

AHFSI = 100 – [ H {G + (1 – G) I} + 0,5Q { I – H (G + (1 – G) I) } ]100

H = rasio penduduk yang mengalami kekurangan pangan (undernourished) terhadap jumlah penduduk.

G = Proporsi angka kekurangan kalori terhadap angka rata-rata kebutuhan kalori. Angka ini diukur dari selisih antara ketersediaan rata-rata energi untuk kelompok penduduk kekurangan pangan dengan rata-rata kebutuhan kalori. I = Ketimpangan dalam distribusi (inequality in distribution of food gaps) yang

diukur dengan koefisien GINI dari distribusi konsumsi kalori.

Q = Koefisien variasi DES (Dietary Energy Supplies) atau ketersediaan energi untuk konsumsi, yang menjadi ukuran kemungkinan yang dikaitkan denganketidaktahanan pangan yang mendadak (temporary food security).

Berdasarkan Indeks Rata-Rata Ketahanan Pangan Rumahtangga (AHFSI) status ketahanan pangan dikelompokkan ke dalam 4 (empat) kelompok sebagai berikut: (1) Sangat Tahan (AHFSI Tinggi di atas 85); (2) Tahan (AHFSI Menengah antara 75 – 85); (3) Tidak Tahan (AHFSI Rendah antara 65 – 75); dan (4) Sangat Rawan/Kritis (AHFSI Sangat Rendah di bawah 65) (FAO, 1994 dalam Soetrisno, 1995).

Pada dasarnya model yang dianjurkan FAO (AHFSI) tersebut cukup baik dan akurat dalam menangkap kondisi ketahanan pangan suatu negara (Soetrisno, 1995), namun untuk menangkap ketahanan pangan tingkat rumahtangga belum terbukti handal dan ditinjau dari aspek operasional model tersebut relatif sulit untuk diterapkan. Menurut Hasan (1995), ketahanan pangan tingkat rumahtangga dapat dketahui melalui pengumpulan data konsumsi dan ketersediaan pangan dengan cara survei pangan secara langsung. Hasilnya kemudian dibandingkan dengan norma kecukupan yang telah ditetapkan. Selain pengukuran konsumsi dan ketersediaan pangan, melalui survei tersebut dapat pula dikumpulkan data mengenai ekonomi. Sosial dan demografi, harga pangan, pengeluaran dan sebagainya. Data tersebut dapat digunakan sebgai indikator resiko terhadap ketahanan pangan pada tingkat rumahtangga.

Foster (1992) dalam Hardinsyah et al. (1998), menyarankan tiga alternatif konsep dan pengukuran ketahanan pangan rumahtangga yang lebih melihat dari sudut ekonomi, dimana rumahtangga dikatakan memiliki ketahanan pangan jika:

(26)

1 Nilai kekurangan produksi di dalam rumahtangga

 Pendapatan dan asset rumahtangga untuk belanja pangan

2 Kebutuhan pangan rumahtangga

x harga pangan

 Pendapatan dan asset rumahtangga untuk belanja pangan

3 Kebutuhan konsumsi dan produksi pangan

x harga pangan

 Pendapatan dan asset rumahtangga untuk belanja pangan

Selanjutnya Hardinsyah (1996) menyarankan penggunaan Skor Konsumsi Pangan (SKP) untuk pengukuran ketahanan pangan rumahtangga. Ukuran sederhana ini dapat digunakan untuk menduga pemenuhan kebutuhan gizi rumahtangga. SKP mempunyai korelasi yang erat dengan rata-rata tingkat konsumsi zat gizi (Energi, Protein, Lemak, Vitamin A, Vitamin C, Thiamin, Kalsium, Fosfor, Besi dan Seng) seperti dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 1. Skor Konsumsi Pangan (SKP) untuk Mengidentifikasi Ketahanan Pangan Rumahtangga

Kelompok Pangan Jumlah Pangan yang Dibutuhkan per

Unit Konsumen bagi Pria Dewasa **) Skor

1. Makanan Pokok*) 5 piring (500 gr) 0 1 2

2. Lauk Pauk 4 potong (200 gr) 0 1 2

3. Sayuran 2 mangkuk (150 gr) 0 1 2

4. Buah-buahan 2 buah/potong (200 gr) 0 1 2

5. Susu 1 gelas (200 ml) 0 1 2

Keterangan :

Skor = 0, jika konsumsi makanan  ½ UK Skor Total :

Skor = 1, jika konsumsi makanan = ½ - 1 UK 6 – 10 : Cukup Tahan Skor = 2, jika konsumsi makanan  1 UK < 6 : Tidak Cukup Tahan *) Dengan asumsi peran makanan jajanan sebesar 10 % dan umbi-umbian < 20 % **) Dengan asumsi bagi pria dewasa dengan kegiatan sedang

2.1.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan

Menurut Soetrisno (1995) terdapat dua komponen penting dalam ketahanan pangan yaitu ketersediaan dan akses terhadap pangan. Maka tingkat ketahanan pangan suatu negara/wilayah dapat bersumber dari kemampuan produksi, kemampuan ekonomi untuk menyediakan pangan dan kondisi yang membedakan tingkat kesulitan dan

(27)

9 hambatan untuk akses pangan. Hal senada dinyatakan Sawit dan Ariani (1997) bahwa penentu ketahanan pangan di tingkat rumah tangga adalah akses terhadap pangan, ketersediaan pangan dan resiko yang terkait dengan akses serta ketersediaan pangan tersebut.

Menurut Aziz (1990) ketahanan pangan rumah tangga dapat dicapai dengan pendapatan (daya beli) dan produksi pangan yang cukup. Tingkat pendapatan sangat berpengaruh nyata terhadap konsumsi gizi berupa, protein, vitamin A dan zat besi (Hartoyo, 1996). Sementara menurut Hasan (1995) resiko ketidaktahanan pangan tingkat rumah tangga timbul karena faktor rendahnya produksi dan ketersediaan pangan maupun faktor geografis. Sedangkan menurut Susanto (1996) kondisi ketahanan pangan rumah tangga dipengaruhi tidak hanya oleh ketersediaan pangan (pada tingkat makro dan tingkat di dalam pasar dan kemampuan daya beli, tetapi juga oleh beberapa hal yang berkaitan dengan pengetahuan dan aspek sosio budaya.

Ketersediaan pangan keluarga mempunyai hubungan dengan pendapatan keluarga, ukuran keluarga dan potensi desa (LIPI, 1988). Rendahnya pendapatan merupakan rintangan lain yang menyebabkan orang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan (Sayogyo, 1989). Keluarga dan masyarakat yang berpenghasilan rendah, mempergunakan sebagian besar dari keuangannya untuk membeli makanan dan bahan makanan dan tentu dalam jumlah uang yang dibelanjakan juga rendah (Suhardjo, 1989).

Selanjutnya Suhardjo (1989) menyatakan bahwa bila kebutuhan akan pangan dapat dipenuhi dari produksi sendiri, maka penghasilan dalam bentuk uang tidak menentukan. Kapasitas penyediaan bahan pangan dapat dipertinggi dengan meningkatkan produksi pangan sendiri. Namun sebaliknya jika kebutuhan pangan banyak tergantung pada apa yang dibelinya, maka penghasilan (daya beli) harus sanggup membeli bahan makanan yang mencukupi baik kuantoitas maupun kualitasnya. Sementara itu menurut Soemarwoto (1994) menyatakan bahwa faktor ekonomi menyebabkan penilaian kemampuan manusia untuk mendapatkan makanan ditentukan oleh harga makanan. Selanjutnya Purwaka (1994) menyatakan bahwa walaupun pendapatan per kapita rata-rata meningkat, harga akan menjadi kendala bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk dapat mengkonsumsi pangan terutama hasil laut.

(28)

Agar rumah tangga memperoleh pangan untuk dikonsumsi, maka pangan harus tersedia. Ketersediaan pangan secara makro maupun mikro banyak ditentukan oleh tinggi rendahnya produksi pangan dan dari keluar/masuknya pangan dari/ke wilayah yang bersangkutan. Sementara itu ketidakterjaminan ketersediaan pangan di pasar selain pengaruh faktor produksi juga dipengaruhi oleh mekanisme pasar, sarana/prasarana, dan sebagainya. Banyak sedikitnya pangan yang dibeli dari pasar termasuk keragamannya sangat ditentukan oleh pendapatan/daya beli rumah tangga, harga-harga pangan serta pengetahuan rumah tangga untuk memilih makanan/bahan makanan yang akan dikonsumsi. Oleh karena itu ketersediaan pangan di rumah tangga sangat tergantung pada hasil pertaniannya (bagi yang mengusahakan lahan) dan dari apa yang dibeli di pasar (bagi yang memiliki daya beli). Walaupun rumah tangga memiliki daya beli yang cukup dan pangan tersedia juga cukup, namun bila pengetahuan pangan dan gizi yang dimiliki masih rendah akan sangat sulit bagi rumah tangga yang bersangkutan dapat memenuhi kecukupan pangannya baik kualitas, kuantitas maupun keragamannya (Suhardjo, 1996).

2.2 Ketahanan Pangan Rumah Tangga

Ketahanan Pangan Rumah Tangga (KPRT) sebagaimana hasil rumusan International Congres of Nutrition (ICN) yang diselenggarakan di Roma tahun 1992 mendefenisikan bahwa: “Ketahanan pangan rumah tangga (Household food security) adalah kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari”. Dalam sidang Committee on World Food Security 1995 defenisi tersebut diperluas dengan menambah persyaratan “Harus diterima oleh budaya setempat (acceptable with given culture)”. Hal lain dinyatakan Hasan (1995) bahwa ketahanan pangan sampai pada tingkat rumah tangga antara lain tercermin oleh tersedianya pangan yang cukup dan merata pada setiap waktu dan terjangkau oleh masyarakat baik fisik maupun ekonomi serta tercapainya konsumsi pangan yang beraneka ragam, yang memenuhi syarat-syarat gizi yang diterima budaya setempat. Dalam UU RI Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan dinyatakan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya

(29)

11 pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutu, aman, merata, dan terjangkau.

Upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan tingkat rumah tangga diperlukan kelembagaan pangan, karena ketahanan pangan mempunyai cakupan luas dan bersifat multisektoral meliputi aspek peraturan perundangan, organisasi sebagai pelaksana peraturan perundangan dan ketatalaksanaan (Soetrisno, 1996). Secara nasional di Departemen Pertanian terdapat Badan Urusan Ketahanan Pangan sebagai organisasi pelaksana ketahanan pangan. Hal lain yang dapat dilakukan dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan diperlukan kerjasama yang baik antara pemerintah, pengusaha, lembaga swadaya masyarakat dan penduduk setempat. Kerjasama tersebut dimaksudkan sebagai penguatan sistem pangan lokal sehingga tercapai ketahanan pangan rumah tangga. Ketahanan pangan rumah tangga dapat dicapai melalui berbagai kegiatan seperti peningkatan jaminan ekonomi dan pekerjaan, bantuan pangan melalui jaringan pengaman sosial, peningkatan produksi dan pemasaran pangan, pendidikan dan penyuluhan, penelitian, monitoring dan evaluasi untuk membantu masyarakat menilai dan memperkuat ketahanan pangannya. Secara teoritis, dikenal dua bentuk ketidaktahanan pangan (food insecurity) tingkat rumah tangga yaitu pertama, ketidaktahanan pangan kronis yaitu terjadi dan berlangsung secara terus menerus yang biasa disebabkan oleh rendahnya daya beli dan rendahnya kualitas sumberdaya dan sering terjadi di daerah terisolir dan gersang. Ketidaktahanan pangan jenis kedua, ketidaktahanan pangan akut (transitory) terjadi secara mendadak yang disebabkan oleh antara lain: bencana alam, kegagalan produksi dan kenaikan harga yang mengakibatkan masyarakat tidak mempunyai kemampuan untuk menjangkau pangan yang memadai (Atmojo, 1995). Menurut Sutrisno (1996) kebijakan peningkatan ketahanan pangan memberikan perhatian secara khusus kepada mereka yang memiliki resiko tidak mempunyai akses untuk memperoleh pangan yang cukup.

2.2.1 Indikator Ketahanan Pangan Rumah Tangga

Pemantauan kondisi ketahanan pangan pennting dilakukan untuk memantau kondisi ketahanan pangan, maka upaya terus aktif dilakukan untuk mengembangkan berbagai metode pengukuran dan peramalan agar sedapat mungkin menggambarkan

(30)

keadaan yang sebenarnya sedang atau akan terjadi. Maxwell dan Frankenberger (1992) menyatakan bahwa pencapaian ketahanan pangan rumah tangga dapat diukur dari berbagai indikator. Indikator tersebut dibedakan menjadi dua kelompok yaitu indikator proses dan indikator dampak. Indikator proses menggambarkan situasi pangan yang ditujukan oleh ketersediaan dan akses pangan. Ketersediaan pangan berkaitan dengan produksi pertanian, iklim, akses terhadap sumberdaya alam, praktek pengelolaan lahan, pengembangan institusi, pasar, konflik regional dari kerusuhan sosial. Sedang akses pangan meliputi strategi rumah tangga untuk memenuhi kekurangan pangan. Indikator dampak digunakan sebagai cerminan konsumsi pangan yang meliputi dua kategori yaitu secara langsung yakni konsumsi dan frekuensi pangan dan secara tak langsung meliputi penyimpanan pangan dan status gizi. Penelitian yang telah dilakukan oleh Khomsan (1999) bahwa indikator ketahanan pangan di Jawa diukur dari indikator tingkat konsumsi energi atau protein yang ditentukan oleh konsumsi beras, tahu dan tempe.

Berdasarkan uraian di atas bahwa ketahanan pangan merupakan konsep yang multidimensi, meliputi mata rantai sistem pangan dan gizi mulai dari produksi, distribusi, konsumsi dan status gizi. Oleh karena itu, Chung (1997) merangkum berbagai indikator ketahanan pangan rumah tangga dalam sebuah kerangka konseptual seperti berikut ini.

Gambar 1. Pengembangan Kerangka Pemikiran Ketahanan Pangan (Chung, 1997) Ketersediaan pangan

Akses Pangan

Pendapatan: Pertanian dan non pertanian Produksi pangan

Sumberdaya: Fisisk, manusia, sosial

Pemanfaatan pangan

Output

Konsumsi pangan

(31)

13

2.2.2 Pengukuran Ketahanan Pangan Rumah Tangga

Salah satu pengklasifikasian ketahanan pangan rumah tangga kedalam food secure (tahan pangan) dan food insecure (rawan ketahanan pangan) dapat dilakukan dengan menggunakan pengukuran dari indikator output yaitu konsumsi pangan (intik energi) atau status gizi individu (khususnya wanita hamil dan baduta). Rumah tangga dikategorikan rawan ketahanan pangan jika tingkat konsumsi energi lebih rendah dari cut off point atau TKE < 70 % (Zeitlin & Brown, 1990). Di Indonesia Sumarwan dan Sukandar (1998) juga telah menetapkan pengukuran ketahanan pangan rumah tangga dari tingkat konsumsi energi dan protein. Suatu rumah tangga dikatakan tahan pangan jika jumlah konsumsi energi dari proteinnya lebih besar dari kecukupan energi dan protein yang dibutuhkan (E & P > 100 %). Jika konsumsi energi atau proteinnya lebih kecil dari kecukupan, maka rumah tangga tersebut dikatakan rawan ketahanan pangan (E & P < 100 %). Menurut Hasan (1995) ketahanan pangan tingkat rumah tangga dapat diketahui melalui pengumpulan data konsumsi dan ketersediaan pangan dengan cara survei pangan secara langsung dan hasilnya dibandingkan dengan angka kecukupan yang telah ditetapkan. Selain pengukuran konsumsi dan ketersediaan pangan melalui survei tersebut dapat pula digunakan data mengenai sosial ekonomi dan demografi untuk mengetahui resiko ketahanan pangan seperti pendapatan, pendidikan, struktur keluarga, harga pangan, pengeluaran pangan dan sebagainya. Data tersebut dapat digunakan sebagai indikator risiko terhadap ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga (Sukandar dkk, 2001).

Konsep pengukuran ketahanan pangan lain yang dikembangkan Hardinsyah (1996) adalah berdasarkan mutu konsumsi dengan menggunakan skor diversifikasi pangan. Pada dasarnya konsep pengukuran ketahanan pangan yang dikembangkan Hardinsyah relatif sederhana dan mudah. Selain sudah memperhitungkan jumlah pangan yang dikonsumsi (aspek kuantitas) dan dikelompokkan pada lima kelompok pangan Empat Sehat Lima Sempurna (makanan pokok, lauk pauk, sayur buah dan susu) dan dihitung kuantitasnya menggunakan Unit Konsumen (UK) agar perbedaan komposisi umur dan jenis kelamin anggota rumah tangga dapat dipertimbangkan. Menurut Sutrisno (1995), dua komponen penting dalam ketahanan pangan adalah ketersediaan dan akses terhadap pangan. Dengan tingkat ketahanan pangan suatu negara/wilayah

(32)

dapat bersumber dari kemampuan produksi, kemampuan ekonomi untuk menyediakan pangan dan kondisi yang membedakan tingkat kesulitan dan hambatan untuk akses pangan. Hal yang sama dinyatakan Sawit dan Ariani (1997) bahwa penentu ketahanan pangan di tingkat rumah tangga adalah akses terhadap pangan, ketersediaan pangan dan risiko yang terkait dengan akses serta ketersediaan pangan tersebut.

Menurut Aziz (1990) ketahanan pangan rumah tangga dapat dicapai dengan pendapatan (daya beli) dan produksi pangan yang cukup. Sementara menurut Hasan (1995) resiko ketidaktahanan pangan tingkat rumah tangga timbul karena faktor rendahnya pendapatan atau rendahnya produksi dan ketersediaan pangan maupun faktor geografis. Sedangkan menurut Susanto (1996), kondisi ketahanan pangan rumah tangga dipengaruhi tidak hanya oleh ketersediaan pangan (pada tingkat makro dan tingkat di dalam pasar) dan kemampuan daya beli, tetapi juga oleh beberapa hal yang berkaitan dengan pengetahuan dan aspek sosio-budaya. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga tersebut diatas, dapat dirinci menjadi tiga faktor yaitu faktor ketersediaan pangan, daya beli dan pengetahuan pangan dan gizi.

1. Ketersediaan pangan. Menurut Suhardjo (1989) bila kebutuhan akan pangan dipenuhi dari produksi sendiri, maka penghasilan dalam bentuk uang tidak begitu menentukan. Kapasitas penyediaan bahan pangan dapat dipertinggi dengan meningkatkan produksi pangan sendiri. Menurut Djogo (1994) daerah yang memiliki perbedaan kondisi agroekologi, akan memiliki potensi produksi pangan yang berbeda. Namun sebaliknya jika kebutuhan pangan banyak tergantung pada apa yang dibelinya, maka penghasilan (daya beli) harus sanggup membeli bahan makanan yang mencukupi baik kuantitas maupun kualitasnya (Suhardjo, 1989). Sedangkan Soemarwoto (1994) menyatakan keluarga yang lebih suka menjual bahan pangan yang dimilikinya disebabkan oleh pertimbangan ekonomi.

2. Daya beli. Kemampuan membeli atau “daya beli” merupakan indikator dari tingkat sosial ekonomi seseorang atau keluarga. Pembelian merupakan fungsi dari faktor kemampuan dan kemauan membeli yang saling menjalin (Hardjana, 1994). Menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VII (LIPI, 1998) kurangnya ketersediaan pangan keluarga mempunyai hubungan dengan pendapatan keluarga, ukuran keluarga dan potensi desa. Rendahnya pendapatan merupakan rintangan lain yang

(33)

15 menyebabkan orang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang diperlukan (Sajogyo, 1996). Keluarga dan masyarakat yang berpenghasilan rendah, mempergunakan sebagian besar dari keuangannya untuk membeli makanan dan bahan makanan dan tentu jumlah uang yang dibelanjakan juga rendah (Suhardjo, 1989). Hal yang sama dinyatakan Soemarwoto (1994) bahwa faktor ekonomi menyebabkan manusia untuk mendapatkan makanan ditentukan oleh harga makanan.

3. Pengetahuan pangan dan gizi. Secara umum perilaku konsumsi makanan seseorang atau keluarga sangat erat dengan wawasan atau cara pandang yang dimiliki terhadap (sistem) nilai tindakan yang dilakukan. Jika ditelusuri lebih lanjut, sistem nilai tindakan itu dipengaruhi oleh pengalaman pada masa lalu yang berkaitan dengan pelayanan gizi/kesehatan/KB, ciri-ciri sosial yang dimiliki (umur, jenis/golongan etnik, pendidikan, pekerjaan dan sebagainya), dan informasi pangan, gizi dan kesehatan yang pernah diterimanya dari berbagai sumber (Susanto, 1994). Kebudayaan memberikan nilai sosial pada makanan karena ada makanan yang dianggap mempunyai nilai sosial tinggi dan ada pula nilai sosial yang rendah (Soemarwoto, 1994).

2.2.3. Ketersediaan dan Konsumsi Ikan

Secara umum konsumsi pangan dipengaruhi oleh tiga hal utama, yaitu pendapatan, ketersediaan pangan setempat dan pengetahuan/faktor budaya. Di bidang perikanan, untuk memenuhi kebutuhan ikan akibat peningkatan jumlah penduduk dan konsumsi ikan per kapita per hari, pemerintah terus berusaha meningkatkan produksi ikan. Gambaran perkembangan tingkat produksi ikan selama tahun 1996 – 1999 dapat dilihat pada Tabel 4.

Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI telah merekomendasikan standar kecukupan nasional pangan dan gizi untuk kecukupan protein sebesar 50 gram protein/kapita/hari dan energi sebesar 2,200 Kkal/kapita/hari. Dari angka kecukupan protein rata-rata per kapita per hari tersebut dianjurkan sebanyak 18 gram diantaranya dipenuhi dari pangan sumber protein hewani, dengan perincian 6 gram berasal dari ternak dan 12 gram berasal dari ikan.

(34)

2.3. Rumah Tangga Rawan Pangan

Rumah tangga rawan pangan di definisikan sebagai rumah tangga dengan konsumsi energi (ekuivalen orang dewasa) ≤ 80 persen dari angka kecukupan energi dan dengan pangsa pasar pangan > 60 persen dari total pengeluaran rumah tangga (Jonsson dan Toole (1991) dalam Maxwell et al (2000) dalam Ariningsih (2000).

Menurut Ariningsih (2009), proporsi rumah tangga rawan pangan di Jawa dan Luar Jawa menunjukkan adanya kesenjangan. Selama periode 1999-2005, proporsi rumah tangga rawan pangan di luar Jawa lebih tinggi dibanding dengan di Jawa.

Dari hasil riset yang dilakukan oleh Ariningsih (2009), disimpulkan bahwa dalam jangka panjang, upaya pemantapan ketahanan pangan dan penanganana rawan pangan di tingkat rumah tangga dapat dilakukan melalui: a) menjaga stabilitas harga pangan, b) perluasan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan c) pemberdayaan masyarakat miskin dan rawan pangan d) penguatan lembaga pengelola pangan di pedesaan.

2.4. System Dynamics

System dynamics pertama kali di perkenalkan oleh Jay W.Forrester di MIT pada dekade lima puluhan. System dynamics sebagai salah satu metode dalam memecahkan masalah secara berpikir sistem, yang semula diberi nama industrial dynamics, dengan mendasarkan teorinya kepada adanya karakteristik dari information-feedback yang antara lain akan selalu menyebabkan time delays atas setiap keputusan yang diambil oleh manajemen. System dynamics adalah suatu metode pemodelan yang penggunaannya erat berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang tendensi-tendensi dinamik sistem-sistem yang kompleks, yaitu pola-pola tingkah laku yang dibangkitkan oleh sistem itu sesuai dengan bertambahnya waktu. Asumsi utama dalam paradigma systems dynamics adalah bahwa tendensi-tendensi dinamik yang persisten pada setiap sistem yang kompleks bersumber dari struktur kausal yang membentuk sistem itu. Menurut Meadows (dalam Masri, 1980:12), dasar dari metode systems dynamics adalah kesadaran bahwa susunan (struktur) suatu sistem – hubungan unsur-unsurnya yang melingkar, kait mengait dan kadang-kadang bersifat tunggu menunggu,

(35)

17 dan semua itu sama pentingnya dengan tiap-tiap unsur itu sendiri dalam menentukan tingkah laku sistem itu.

Hal yang pokok dalam membangun sebuah model system dynamics adalah jumlah dari “level” untuk menggambarkan struktur yang ada misalnya jumlah stock level yang terdapat di dalam sistem tersebut. Selanjutnya direction of feedback merupakan hal berikut yang perlu dicermati. Sebuah elemen atau unsur dapat berperilaku membuat feed-back terhadap elemen yang lain baik secara langsung melalui hubungan mereka, maupun secara tidak langsung melalui rangkaian seri dari elemen yang terhubungkan lainnya guna mempengaruhi elemen yang merupakan penggerak perilaku yang bersangkutan. Feedback, melalui loops, dapat bersifat negatif atau positif. Dikatakan negatif bila feedback tersebut mampu menghalangi atau mengendalikan pengaruh yang terjadi dan dikatakan positif bila feedback tersebut mampu memperkuat pengaruh yang bersangkutan sehingga sistem dapat tumbuh atau justru menurun. Positif atau negatif adalah direction of feedback yang merupakan titik utama dalam melakukan analisis dari struktur.

(36)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian yang menjadi daerah sampel dipilih secara sengaja (purposive) yaitu setiap lokasi di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Pemilihan kabupatern berdasarkan criteria yang ditetapkan sebagai daerah rawan dalam statistic Rawan Pangan dan Gizi Tahun 2007 dan 2008 yang dikeluarkan oleh Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian dan selama 2 tahun berturut-turut dinyatakan sebagai daerah rawan pangan, atau lokasi yang berubah dari daerah tidak rawan menjadi rawan pangan selama 2 tahun (Kulonprogo). Kemudian, setelah ditentukan kabupaten yang terpilih yaitu Bandung, Kulonprogo, Banjarnegara dan Lumajang. Kriteria lainnya, kabupaten tersebut merupakan pusat usaha perikanan. Berdasarkan hasil statistik rawan pangan tersebut terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Daerah Rawan Pangan Berdasarkan Propinsi di Jawa

Propinsi Tahun

2006 2007

Jawa Barat Bogor Bogor

Bandung Bandung

Jawa Tengah Kota Tegal

Banjarnegara Banjarnegara Kota Salatiga Kota Semarang Blora Blora DI Yogyakarta Kulonprogo Gunungkidul

Jawa Timur Lumajang Lumajang

Jember Jember Bondowoso Bondowoso Situbondo Bangkalan Bangkalan Sampang Sampang Pamekasan

Gambar

Gambar 1. Pengembangan Kerangka Pemikiran Ketahanan Pangan (Chung, 1997) Ketersediaan  pangan
Tabel  4. Kriteria Penilaian Ketahanan Pangan Ikani pada Rumah Tangga Perikanan
Gambar 3.  Tahapan Pemodelan
Tabel 11. Produksi ikan Budidaya dan Luas kolam Per Kecamatan di Kabupaten  Kulonprogo Tahun 2008
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi reaksi yang optimum pada reaksi konversi senyawa dalam tanaman selasih hijau dengan metode MAOS dengan pelarut etilen

Dalam tulisan ini akan ditelaah bahwa kearifan lokal yaitu budaya pencak silat dapat menjadi filter untuk masuknya globalisasi, maksudnya adalah menyaring hal-hal yang

Contoh-contoh dari effek local ditinjukkan oleh penelanan bahan-bahan yang dapat membakar atau menghirup bahan-bahan yang menganggu (Irritant material) lebih maju dari effek

Rochim [4], menyatakan bahwa keausan pahat dipengaruhi geometri pahat, selain itu juga dipengaruhi oleh semua faktor yang berkaitan dengan proses permesinan, antara

Pemerintah hendaknya tidak perlu mengandalkan money multiplier untuk mengendalikan peredaran uang karena dari hasil penelitian terbukti bahwa variabel angka pengganda uang dalam

Herbarium Bogoriense merupakan salah satu lembaga penelitian di bawah naungan Pusat Penelitian Biologi (P2B) bidang botani. Fungsi dari P2B ini adalah: a) taksonomi tumbuhan

Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang yang selama ini telah memberikan bekal Ilmu dan pengetahuan kepada penulis.. Seluruh

Walaupun persaingan usaha makanan cukup banyak, mulai dari persaingan antara harga, promosi serta ragam makanan yang diproduksi penyaji katering tetapi kami percaya karena