• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kerentanan Schistosoma japonicum terhadap Praziquantel di Napu dan Lindu, Sulawesi Tengah Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kerentanan Schistosoma japonicum terhadap Praziquantel di Napu dan Lindu, Sulawesi Tengah Indonesia"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Susceptibility of Schistosoma japonicum to Praziquantel in Napu and Lindu, Central Sulawesi,

Indonesia

Anis Nurwidayati1*, Triwibowo AG2, Phetisya PFS1, Risti1

1

Balai Penelitian dan Pengembangan Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang Donggala Jalan Masitudju No 58 Labuan Panimba, Labuan, Donggala, Sulawesi Tengah, Indonesia

2

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Vektor dan Reservoir Penyakit, Salatiga *E_mail: anisnurw21@gmail.com

Received date: 08-01-2016, Revised date: 27-04-2016, Accepted date: 20-06-2016

ABSTRAK

Schistosomiasis di Indonesia hanya ditemukan di Dataran Tinggi Napu, Lindu dan Bada, Sulawesi Tengah. Penyakit ini disebabkan oleh cacing Schistosoma japonicum. Schistosomiasis masih menjadi masalah kesehatan di daerah endemis dengan prevalensi yang meningkat setiap tahun. Penggunaan obat secara luas dengan pengobatan massal menggunakan praziquantel untuk mengurangi prevalensi schistosomiasis telah dilakukan sejak tahun 1980-an. Tujuan penelitian untuk mengidentifikasi perkembangan ke arah resistensi cacing S. japonicum terhadap praziquantel. Penelitian dilakukan pada bulan April-November 2011 di daerah endemis Napu Kabupaten Poso dan Lindu Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah. Sejumlah 80 sampel positif schistosomiasis di Napu dan 60 sampel positif schistosomiasis di Lindu diberikan obat praziquantel dosis tunggal 60 mg/kg berat badan. Pada minggu ketiga, keenam, kesembilan, dan kedua belas setelah pengobatan pertama, dilakukan pemeriksaan tinja kembali. Hasil pemeriksaan menunjukkan pada minggu ketiga, keenam, kesembilan, dan kedua belas setelah pengobatan pertama, tidak ditemukan lagi telur S. japonicum pada tinja sampel. Hasil tersebut menunjukkan angka kesembuhan praziquantel di daerah tersebut adalah 100 %. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan tidak ditemukan bukti adanya penurunan kerentanan cacing S. japonicum terhadap praziquantel meskipun sudah digunakan lebih dari 20 tahun.

Kata kunci: kerentanan obat, praziquantel, schistosomiasis

ABSTRACT

Schistosomiasis in Indonesia is found in Napu, Lindu and Bada highland, Central Sulawesi. This disease is caused by Trematode worm, Schistosoma japonicum. Mass chemotherapy using praziquantel was done to reduce the prevalence of schistosomiasis since 1980’s. The objective of this study was to identify the development of resistance in S. japonicum to praziquantel in endemic areas. Field study was conducted in endemic areas Napu and Lindu in April –November 2011. All of the 80 stool-positive subjects in Napu and 60 stool-positive subjects in Lindu, were treated with a single dose of 60 mg/kg of praziquantel. On three, six, nine, and 12 weeks after treatment, all of the subjects were examined again using the same stool examination. The results showed that on three weeks examination after treatment, stool-negative results were found in all subjects which represents a 100 % parasitological cure rate. All stool samples were re-examined six, nine, and 12 weeks after the first treatment and no stool-positive subjects were found. The results indicate that there was no evidence for reduced susceptibility of S. japonicum to praziquantel despite its extensive use in the endemic areas of Napu and Lindu for more than 20 years.

Keywords: susceptibility, praziquantel, schistosomiasis

PENDAHULUAN

Schistosomiasis atau penyakit demam keong di Indonesia diketahui terdapat di Dataran Tinggi Lindu, Dataran Tinggi Napu, dan Dataran Tinggi Bada Sulawesi Tengah. Kasus penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Muller dan Tesch

(1937). Hospes perantara schistosomiasis

ditemukan tahun 1971 dan diidentifikasi sebagai

Oncomelania hupensis lindoensis.1

Sampai saat ini schistosomiasis masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di ketiga wilayah endemis tersebut dengan prevalensi yang berfluktuatif setiap tahunnya, bahkan pada beberapa tahun terakhir ini justru cenderung meningkat. Pada tahun 2004, prevalensi pada

(2)

manusia sebesar 0,52 %, pada tahun 2005,

prevalensi infeksi manusia mengalami

peningkatan menjadi 1,03 %. Pada tahun 2008 prevalensi schistosomiasis di Dataran Tinggi Napu dan Lindu meningkat sampai di atas 2 %. Prevalensi di daerah endemis baru Dataran Tinggi

Bada mencapai diatas 2 %. Prevalensi

schistosomiasis pada tahun 2010 di Napu mencapai 4,78%, sedangkan di Lindu mencapai 3,22 %.2

Upaya kuratif yang dilakukan sejak tahun

1978 dalam upaya menurunkan kasus

schistosomiasis pada manusia di Indonesia adalah dengan melakukan pengobatan selektif maupun

massal dengan menggunakan praziquantel.

Praziquantel adalah obat pilihan dan kemungkinan merupakan satu-satunya obat yang efektif yang tersedia saat ini untuk mengobati schistosomiasis pada manusia.3,4

Penggunaan praziquantel yang berlangsung

lama dan terus menerus sebagai obat

schistosomiasis dikhawatirkan akan dapat

meningkatkan sistem kekebalan tubuh pada

Schistosoma japonicum dan sensitifitasnya akan

menurun, atau bahkan dapat menimbulkan resistensi obat. Resistensi terhadap praziquantel telah dilaporkan sehingga perlu dilakukan penelitian untuk penemuan obat baru.5,6

Di Indonesia belum pernah dilakukan penelitian kerentanan cacing S. japonicum terhadap praziquantel. Oleh karena itu perlu dilakukan kajian terhadap obat tersebut pada S.

japonicum untuk mengetahui sensitifitasnya

setelah pemakaiannya di Indonesia sejak tahun 1980-an sampai dengan saat ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kerentanan cacing

Schistosoma japonicum di Indonesia, mengingat

schistosomiasis di Indonesia hanya ditemukan di Sulawesi Tengah, terhadap praziquantel dengan studi di lapangan, yaitu dengan pemeriksaan ada/tidak telur S. japonicum pada tinja sampel, pada minggu ketiga, keenam, kesembilan, dan kedua belas setelah pengobatan pertama setelah pemberian praziquantel.

METODE

Penelitian uji kerentanan praziquantel

dilaksanakan di daerah endemis schistosomiasis Napu dan Lindu pada bulan April-November

2011. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional. Populasi penelitian adalah seluruh penduduk di daerah endemis schistosomiasis Napu dan Lindu. Penentuan sampel dilakukan dengan purposive sampling, yaitu sampel penelitian adalah semua penderita schistosomiasis di daerah endemis schistosomiasis Napu dan Lindu, terdiri atas semua golongan umur. Pada penelitian ini tidak dilakukan pembatasan umur penderita yang masuk sebagai sampel penelitian. Jumlah sampel penelitian ini adalah 91 orang di Napu dan 63 orang di Lindu.

Bahan

Bahan penelitian ini adalah tinja sampel, kotak stool untuk pengumpulan tinja sampel, kardus, kawat kassa untuk katto-katz, malachit

green, glyserin, celophan tape, gelas benda.

Cara Kerja

Dilakukan pendataan sampel yang positif schistosomiasis untuk diberi perlakuan pemberian

praziquantel dosis tunggal 60 mg/Kg berat badan.

Sebelum penduduk yang termasuk ke dalam sampel diberi praziquantel, dibagikan kotak tinja untuk dikumpulkan dan diperiksa dengan metode

kato-katz, untuk mengetahui kepadatan telur pra

pemberian praziquantel. Pada tiga minggu setelah pemberian praziquantel yang pertama, kotak tinja dibagikan ke penduduk yang termasuk ke dalam sampel untuk diisi tinja, selama tiga hari berturut-turut (tiga kali). Setiap sampel dibagikan tiga kotak tinja. Semua sampel kemudian diperiksa kembali tinjanya pada minggu ketiga, keenam, kesembilan, dan kedua belas setelah pengobatan pertama setelah pemberian obat pertama untuk

mengetahui apakah masih ditemukan telur.7,8

Sediaan diperiksa di bawah mikroskop compound untuk mengetahui adanya telur S. japonicum dan dihitung kepadatan telur (egg per gram/epg) setelah pemberian praziquantel pertama.

HASIL

Pada penelitian ini sampel yang positif telur

S. japonicum dan diberi pengobatan praziquantel

adalah sebanyak 91 sampel dari Napu dan 63 sampel dari Lindu. Penduduk yang menjadi sampel adalah penduduk yang ditemukan telur S.

japonicum pada tinja sebelum pemberian

(3)

Pada seluruh sampel di Napu maupun di Lindu yang diberi praziquantel dan diperiksa lagi pada minggu ketiga, keenam, kesembilan, dan kedua belas setelah pemberian praziquantel

ternyata tidak ditemukan lagi telur S. japonicum pada tinjanya. Hasil pemeriksaan sampel pada setiap tiga minggu dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rerata Kepadatan Telur Cacing S. japonicum Sebelum dan Setelah Pemberian Praziquantel (60mg/kg) pada Sampel Penderita di Napu dan Lindu, Sulawesi Tengah

Wilayah Desa Jumlah sampel

Rerata kepadatan telur sebelum pengobatan

(egg per gram)

Rerata kepadatan telur setelah pengobatan dengan praziquantel (egg per gram) 3 minggu 6 minggu 9 minggu 12 minggu

Napu Mekarsari 28 1,61 0 0 0 0 Tamadue 32 2,31 0 0 0 0 Dodolo 11 1,91 0 0 0 0 Watumaeta 4 1,75 0 0 0 0 Sedoa 7 1,29 0 0 0 0 Banyusari 4 1,5 0 0 0 0 Kaduwaa 5 1 0 0 0 0 Lindu Puroo 17 2,53 0 0 0 0 Langko 15 1 0 0 0 0 Tomado 19 2,32 0 0 0 0 Anca 12 1,58 0 0 0 0 PEMBAHASAN

Pengobatan dengan praziquantel merupakan

salah satu dari upaya pengendalian

schistosomiasis yang terintegrasi, yang meliputi pengendalian siklus penularan, hewan reservoir, perbaikan infrastruktur dan pendidikan kesehatan

yang terbukti efektif dalam mengontrol

schistosomiasis di Cina.5,9,10

Praziquantel yang digunakan di daerah

endemis schistosomiasis saat ini diproduksi oleh Merck, Jerman. Obat ini memiliki spektrum luas melawan cacing trematoda dan cestoda. Target penyakit dari obat ini meliputi schistosomiasis,

clonorchiasis dan opisthorchiasis, paragonimiasis, heterophyidiasis, echinostomiasis, fasciolopsiasis, neodiplostomiasis, gymnophalloidiasis, taeniases, diphyllobothriasis, hymenolepiasis, dan

cysticercosis.3

Praziquantel memiliki efikasi yang tinggi,

efek samping ringan, pemberian mudah, harga terjangkau, tidak beracun bagi hewan, sehingga menjadi obat pilihan (drug of choice) untuk schistosomiasis.4,7,11,12

Praziquantel diserap dengan cepat melalui

usus dan mencapai konsentrasi plasma maksimal pada 1-2 jam setelah pemberian secara oral. Metabolisme praziquantel terjadi di hati oleh sistem cytochrome p450. Ekskresi praziquantel terjadi melalui urin (60-80 %), empedu dan feses

(15-35 %), dan terjadi 24 setelah jam

pengobatan.3,13

Praziquantel adalah obat yang aman digunakan, baik pada orang dewasa, anak-anak maupun wanita hamil. Sejak tahun 1980an

praziquantel merupakan obat pilihan yang

digunakan untuk pengobatan schistosomiasis di daerah endemis Napu dan Lindu, Sulawesi

Tengah Indonesia. Angka kesembuhan

schistosomiasis karena S. japonicum dengan pemberian praziquantel menurut WHO adalah di atas 90 %.14

Penelitian sebelumnya mengenai kemoterapi pada manusia menunjukkan bahwa dosis 40 atau 50 mg/kg dapat mencapai angka kesembuhan 97,6–100 %.5,15 Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa peningkatan dosis dan pembagian dosis tidak menghasilkan perbedaan yang signifikan pada angka kesembuhan.5,12,16

(4)

Penelitian menunjukkan tingkat kesembuhan akibat S. haematobium tiga minggu setelah pengobatan dengan praziquantel berkisar antara

49,9-98,4 % di Nigeria Barat. Tingkat

kesembuhan akibat S. mansoni setelah pemberian

praziquantel di negara tersebut berkisar 51,7-60,2

%.17 Penelitian di Sinegal menujukkan tingkat kesembuhan (cure rates) akibat S. haematobium berkisar (38-96 %) dengan Egg Reduction Rates (ERRs) (97-99 %).11 Pada sebuah penelitian di

Uganda, efikasi praziquantel terhadap S.

haematobium masih bagus dan hampir sama

antara praziquantel bentuk sirup maupun tablet yang digerus.18 Sebuah penelitian meta analisis menyatakan bahwa praziquantel masih efektif untuk pengobatan schistosomiasis dan dosis yang

dinaikkan akan meningkatkan efikasi

praziquantel, baik terhadap cacing S. haematobium, S. japonicum maupun S. mansoni.6,7,11,12

Penelitian terhadap pasien schistosomiasis di Kenya, Etiopia dan Uganda menunjukkan bahwa pemberian praziquantel mengurangi pembentukan jaringan ikat/fibrosis pada jaringan hati. Hal tersebut dapat dijelaskan karena praziquantel membunuh cacing dewasa sehingga mengurangi jumlah telur cacing yang terperangkap di jaringan hati. Selain itu akhir-akhir ini diketahui bahwa

praziquantel selain sebagai anti cacing, juga

memiliki kemampuan sebagai anti-inflamasi. Dengan demikian, praziquantel tidak hanya mengeliminasi cacing, tetapi mempengaruhi respon imun tubuh inang.19,20

Penelitian di Cina menunjukkan efikasi

praziquantel terhadap S. japonicum masih bagus

meskipun sudah digunakan lebih dari tiga dekade. Penelitian tersebut juga menyatakan tidak ditemukan bukti adanya resistensi praziquantel pada S. japonicum.10,13,8 Penelitian serupa yang dilakukan juga di Cina menunjukkan rendahnya kegagalan pengobatan dengan praziquantel. Dengan demikian, praziquantel masih efektif sebagai obat terhadap schistosomiasis karena S.

japonicum pada manusia di Cina.7,8 Sebuah penelitian di laboratorium Cina menunjukkan adanya potensi resistensi S. japonicum terhadap

praziquantel pada mencit yang disebabkan

pemberian praziquantel yang lebih rendah dari dosis yang seharusnya dan secara terus menerus.21

Penelitian secara molekuler menyebutkan bahwa resistensi obat pada cacing dapat disebabkan oleh peran pompa efflux (efflux pump)

seperti protein ATP-binding, termasuk

P-glycoprotein dan famili protein yang berhubungan

dengan resistensi obat. Kombinasi praziquantel dengan senyawa Pgp modulator alami atau sintetis dapat menjadi strategi efektif untuk pengobatan pada kasus infeksi S. mansoni yang terkonfirmasi resisten terhadap praziquantel.22,23

Prevalensi schistosomiasis di Indonesia sejak penggunaan praziquantel sebagai kemoterapi yang diberikan secara massal menunjukkan angka penurunan, akan tetapi prevalensi kembali meningkat sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2010. Peningkatan kembali prevalensi tersebut mungkin disebabkan karena schistosomiasis di Indonesia disebabkan oleh S. japonicum yang sifatnya zoonosis sejati. Beberapa hewan mamalia seperti tikus, kerbau, babi, anjing, sapi dan sebagainya diketahui sebagai hospes reservoir S.

japonicum di wilayah endemis Napu dan Lindu,

Sulawesi Tengah.

Prevalensi schistosomiasis pada ternak di daerah endemis Lindu masih di atas 1 %. Penelitian tahun 2011 menunjukkan angka prevalensi schistosomiasis pada hewan mamalia di empat Desa Lindu, yaitu kerbau (36,4-47,5 %), sapi (16,7-33 %), dan babi (8,3-20 %).24

Pengendalian schistosomiasis pada ternak mamalia selama ini dilakukan oleh Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan baik Provinsi Sulawesi Tengah maupun Kabupaten Poso dan Sigi. Akan tetapi, pengendalian tersebut masih terbatas pada ternak mamalia yang dipelihara, dengan pemberian praziquantel. Penanganan belum dilakukan pada hewan mamalia liar, seperti tikus, babi hutan, kerbau dan sapi liar yang masih banyak berada di dalam kawasan hutan. Keberadaan hewan tersebut menyebabkan siklus penularan schistosomiasis dapat terus berlangsung melalui siklus silvatik.

Dengan demikian pemberantasan

schistosomiasis tidak dapat hanya pada sektor kesehatan manusia saja, melainkan juga sektor lingkungan meliputi mengurangi fokus keong perantara maupun penanganan hewan mamalia yang dapat menjadi reservoir.

Penduduk yang menjadi sampel dalam penelitian ini merupakan penduduk yang menetap

(5)

di daerah endemis untuk waktu yang lama, sehingga mereka selalu mendapatkan obat

praziquantel saat dilakukan pengobatan massal

schistosomiasis. Dengan demikian, kemungkinan mulai berkembangnya resistensi S. japonicum terhadap obat praziquantel dapat saja terjadi.

Hasil pemeriksaan tinja pada Tabel 1.

menunjukkan belum adanya penurunan

kerentanan S. japonicum terhadap praziquantel di daerah endemis Napu dan Lindu meskipun penggunaan praziquantel telah berlangsung lama dan dalam skala yang luas. Mekanisme kerja

praziquantel diketahui melalui saluran ion

kalsium sehingga merusak tegumen cacing dewasa.25,26 Cacing Schistosoma diketahui muda kurang rentan terhadap praziquantel.5,7

Pada Tabel 1 juga dapat dilhat terjadi penurunan jumlah sampel yang mengumpulkan tinja, meskipun angka kesembuhan dari sampel yang terkumpul masih menunjukkan 100 %. Penurunan tersebut dapat disebabkan karena faktor kejenuhan penduduk untuk menyetor tinjanya setiap tiga minggu untuk diperiksa, meskipun sampel sudah menyetujui informed

consent untuk pemeriksaan tinja.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat dilihat bahwa praziquantel masih efektif digunakan sebagai obat schistosomiasis di daerah endemis Napu dan Lindu. Pemberian dosis 60mg/kg berat badan menunjukkan angka kesembuhan sebesar 100 %.

KESIMPULAN

Praziquantel masih rentan dalam membunuh

cacing dewasa S. japonicum di Indonesia.

SARAN

Pengobatan schistosomiasis masih dapat dilakukan dengan praziquantel dan evaluasi penggunaan obat praziquantel di daerah endemis perlu dilakukan secara berkala.

UCAPAN TERIMA KASIH

Peneliti mengucapkan banyak terimakasih kepada Prof. DR. M. Sudomo atas diskusi dan banyak masukan, Bapak Arwin, Bapak Amos dan Bapak Pinus di Laboratorium Schistosomiasis Lindu, Bapak Kaleb di Lab. Schistosomiasis Napu atas bantuan teknis yang diberikan dan anggota

tim penelitian, serta semua pihak yang telah membantu terlaksananya penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hadidjaja P. Schistosomiasis di Indonesia. Jakarta: UI Press; 1985.

2. Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah. Laporan Schistosomiasis Sulawesi Tengah 2015; 2015.

3. Chai J-Y. Praziquantel treatment in trematode and cestode infections: an update. Infect Chemother. 2013;45(1):32-43. doi:10.3947/ic.2013.45.1.32.

4. Cleland CR, Tukahebwa EM, Fenwick A, Blair L. Mass drug administration with praziquantel reduces the prevalence of Schistosoma mansoni and improves liver morbidity in untreated preschool children. Trans R Soc Trop Med Hyg. 2014;108(9):575-81. doi:10.1093/trstmh/tru097.

5. Olveda RM, Acosta LP, Tallo V, et al. Efficacy and safety of praziquantel for the treatment of human schistosomiasis during pregnancy: a phase 2, randomised, double-blind, placebo-controlled trial. Lancet Infect Dis. November 2015. doi:10.1016/S1473-3099(15)00345-X.

6. Sousa-Figueiredo JC, Betson M, Atuhaire A, et al. Performance and safety of praziquantel for treatment of intestinal schistosomiasis in infants and preschool children. PLoS Negl Trop Dis. 2012;6(10):e1864.doi:10.1371/journal.pntd.00018 64.

7. Wang W, Dai J-R, Li H-J, Shen X-H, Liang Y-S. The sensitivity of Schistosoma japonicum to praziquantel: a field evaluation in areas with low endemicity of China. Am J Trop Med Hyg. 2012;86(5):834-6. doi:10.4269/ajtmh.2012.11-0701.

8. Wu W, Huang Y. Application of praziquantel in schistosomiasis japonica control strategies in China. Parasitol Res. 2013;112(3):909-915. doi:10.1007/s00436-013-3303-9.

9. Hong Q, Yang K, Huang Y, et al. Effectiveness of a comprehensive schistosomiasis japonica control program in Jiangsu province, China, from 2005 to 2008. Acta Trop. 2011;120 Suppl :S151-S157. doi:10.1016/j.actatropica.2010.11.006.

10. Li H, Dong G-D, Liu J-M, et al. Elimination of schistosomiasis japonica from formerly endemic areas in mountainous regions of southern China using a praziquantel regimen. Vet Parasitol. 2015;208(3-4):254-8.

(6)

11. Webster BL, Diaw OT, Seye MM, et al. Praziquantel treatment of school children from single and mixed infection foci of intestinal and urogenital schistosomiasis along the Senegal River Basin: monitoring treatment success and re-infection patterns. Acta Trop. 2013;128(2):292-302. doi:10.1016/j.actatropica.2012.09.010.

12. Van den Broeck F, Volckaert F, Polman K, Huyse T. Impact of treatment with PZQ on the evolution of the human parasite Schistosoma mansoni.

Available from:

https://lirias.kuleuven.be/handle/123456789/4002 21. Accessed on April 27, 2016.

13. Ezeamama AE, McGarvey ST, Hogan J, et al. Treatment for Schistosoma japonicum, reduction of intestinal parasite load, and cognitive test score improvements in school-aged children. PLoS Negl Trop Dis. 2012;6(5):e1634. doi:10.1371/journal.pntd.0001634.

14. WHO. Schistosomiasis fact sheet. Available from: http://www.who.int. Accessed on April 27, 2016.

15. Olliaro PL, Vaillant M, Diawara A, et al. Toward measuring schistosoma response to praziquantel treatment with appropriate descriptors of egg excretion. McCarthy JS, ed. PLoS Negl Trop Dis. 2015;9(6):e0003821.

doi:10.1371/journal.pntd.0003821.

16. Tukahebwa EM, Vennervald BJ, Nuwaha F, Kabatereine NB, Magnussen P. Comparative efficacy of one versus two doses of praziquantel on cure rate of Schistosoma mansoni infection and re-infection in Mayuge District, Uganda. Trans R Soc Trop Med Hyg. 2013;107(6):397-404. doi:10.1093/trstmh/trt024.

17. Garba A, Lamine MS, Barkiré N, et al. Efficacy and safety of two closely spaced doses of praziquantel against Schistosoma haematobium and S. mansoni and re-infection patterns in school-aged children in Niger. Acta Trop. 2013;128(2):334-44.

doi:10.1016/j.actatropica.2012.08.008.

18. Navaratnam AMD, Sousa-Figueiredo JC, Stothard JR, Kabatereine NB, Fenwick A, Mutumba-Nakalembe MJ. Efficacy of praziquantel syrup versus crushed praziquantel tablets in the treatment of intestinal schistosomiasis in Ugandan preschool children, with observation on compliance and safety. Trans R Soc Trop Med Hyg. 2012;106(7):400-7. doi:10.1016/j.trstmh.2012.03.013.

19. Mwangi IN, Sanchez MC, Mkoji GM, et al. Praziquantel sensitivity of Kenyan Schistosoma mansoni isolates and the generation of a laboratory strain with reduced susceptibility to the

drug. Int J Parasitol Drugs drug Resist. 2014;4(3):296-300.

doi:10.1016/j.ijpddr.2014.09.006.

20. Muhumuza S, Olsen A, Katahoire A, Nuwaha F. Reduced uptake of mass treatment for schistosomiasis control in absence of food: beyond a randomized trial. BMC Infect Dis. 2015;15(1):423. doi:10.1186/s12879-015-1158-7.

21. Wang W, Li H-J, Qu G-L, et al. Is there a reduced sensitivity of dihydroartemisinin against praziquantel-resistant Schistosoma japonicum? Parasitol Res. 2014;113(1):223-8. doi:10.1007/s00436-013-3647-1.

22. Pinto-Almeida A, Mendes T, de Oliveira RN, et al. Morphological characteristics of Schistosoma mansoni PZQ-resistant and -susceptible strains are different in presence of praziquantel. Front

Microbiol. 2016;7.

doi:10.3389/fmicb.2016.00594.

23. Pinto-Almeida A, Mendes T, Armada A, et al. The role of efflux pumps in Schistosoma mansoni praziquantel resistant phenotype. PLoS One. 2015;10(10):e0140147.

doi:10.1371/journal.pone.0140147.

24. Gunawan, Hayani Anastasia, Phetisya Pamela F.S R. Kontribusi hewan mamalia sapi, kerbau, kuda, babi dan anjing dalam penularan schistosomiasis di Kecamatan Lindu Kabupaten Sigi Propinsi Sulawesi Tengah Than 2013. Media Litbangkes. 2014;Vol. 24(4):209-14.

25. You H, McManus DP, Hu W, Smout MJ, Brindley PJ, Gobert GN. Transcriptional responses of in vivo praziquantel exposure in Schistosomes identifies a functional role for calcium signalling pathway member camKII. PLoS Pathog. 2013;9(3):e1003254. doi:10.1371/journal.ppat.1003254.

26. Zheng Y, Dong L, Hu C, et al. Development of chiral praziquantel analogues as potential drug candidates with activity to juvenile Schistosoma japonicum. Bioorg Med Chem Lett. 2014;24(17):4223-6.

Referensi

Dokumen terkait

Agen pendidikan politik inilah yang seharusnya diberi peran dan tanggung jawab untuk memberi pengetahuan, pemahaman, dan pengalaman menyangkut nilai-nilai pemilu

Kolom Site Id dan Nama Site dapat diisi dengan melakukan pencarian menggunakan tombol search site yang tersedia maka akan muncul pop up halaman kunci, sedangkan

Diketahui kriteria yang diharapkan dari Pengawas Menelan Obat adalah berusia diatas 17 tahun, perempuan, tidak bekerja, pendidikan minimal SMA mempunyai hubungan kekerabatan,

[r]

Hasil analisis posisi bisnis unit usaha strategis perusahaan Psycho Art Wooden Batik of Handicraft and Furniture Surakarta diperoleh total nilai tertimbang sebesar 4,05 (tinggi)

Keputusan Gubernur Sumatera Selatan Nomor 85/KPTS/BPBD- SS/2017 tentang Status Keadaan Siaga Darurat Bencana Asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi

Contoh variabel kualitatif: Dalam kasus internet banking di atas, jika orang memang merasa lebih aman dengan tidak memegang uang tunai banyak- banyak, dia mungkin tidak

1. Pengaruh tersebut bernilai positif atau dapat dikatakan, semakin tinggi modal sendiri yang dimiliki oleh petani jeruk, maka akan semakin tinggi pula pendapatan yang