• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI KESIMPULAN, KONTRIBUSI TEORITIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. 6.1 Kesimpulan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB VI KESIMPULAN, KONTRIBUSI TEORITIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. 6.1 Kesimpulan"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

284 BAB VI

KESIMPULAN, KONTRIBUSI TEORITIS DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan beberapa temuan lapangan yang menyangkut pola sebaran industri kreatif pada lima kawasan amatan yaitu Dago, Cihampelas, Riau/RE. Martadinata, Cibaduyut dan Suci serta adanya fenomena lapangan yang menyangkut pola penggunaan lahan, fungsi kawasan dan pola perjalanan wisatawan di Kota Bandung, maka diambil kesimpulan penelitian sebagai berikut: 1. Bentuk pola sebaran industri kreatif pada destinasi pariwisata di

Indonesia

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proposisi pertama “Sebaran industri kreatif pada destinasi pariwisata membentuk berbagai macam pola yang didasarkan pada karakter, fungsi kegiatan, proses produksi dan sistem keruangan“ dapat diperkuat dengan temuan penelitian. Hal ini dapat ditunjukkan dengan sebaran lokasi usaha penjualan fesyen, kuliner dan bangunan arsitektur serta sebaran lokasi produksi industri fesyen pada kawasan penelitian yang membentuk pola sebaran tidak sama.

Dari aspek ekonomi, penelitian mengungkapkan adanya kecenderungan lokasi penjualan industri fesyen sebagai atraksi wisata belanja, yang mendekati atau menyatu dengan bangunan usaha lainnya. Hal ini dapat ditunjukkan dengan konsentrasi kegiatan factory outlets dan kuliner pada satu lokasi. Temuan ini memperkuat teori pengembangan destinasi yang terkait dengan daya tarik suatu tempat seperti dinyatakan oleh Soane (1992) dalam Davidson and Maitland (2002;23) yaitu untuk menambah daya tarik wisata destinasi dan teori Destinasi Pariwisata lainnya (Inskeep, 1991 dan Hall 2000). Pengelompokan industri fesyen dan kuliner dalam fungsinya sebagai atraksi wisata, dapat memperkuat konsep pariwisata perkotaan dan ciri destinasi pariwisata (Davidson dan Maitland, 1997) yang menekankan bahwa suatu destinasi pariwisata merupakan kawasan yang kompleks dengan berbagai keragaman produk wisata dan berbagai kegiatan

(2)

285

perekonomian lainnya yang dapat menunjang kegiatan pariwisata ataupun yang mungkin bertentangan dengan kegiatan pariwisata.

Temuan mengenai pola sebaran penjualan industri kreatif pada kawasan atau destinasi pariwisata yang dipengaruhi oleh faktor ekonomi, aksesibilitas, topografi, kebijakan, dan pola perjalanan wisatawan, serta adanya faktor tradisi dan kekerabatan yang mempengaruhi pola sebaran produksi dapat mengisi celah dan kekosongan konsep klaster industri kreatif yang dinyatakan oleh Lazzaretti & Coke (2006), Evans (2009), Harvey Dkk (2012) dan Horley (2010) yang menekankan pada terbentuknya pola klaster produksi dan belum menyinggung sama sekali mengenai pola sebaran industri kreatif dalam fungsi kegiatan penjualan serta keterkaitannya dengan pasar wisatawan yang selalu dinamis.

Penelitian mengungkapkan adanya faktor toleransi dan unsur gotong royong yang mempengaruhi pembentukan pola klaster utama dan klaster pendukung seperti ditemukan pada kelompok produsen kaos dan sablon di kawasan Suci. Hasil penelitian ini merupakan temuan yang dapat memperkaya teori Kelas Kreatif (Florida, 2006) dan memperbaiki Konsep Klaster Industri Kreatif yang dikemukakan oleh Lazzaretti et.al (2006). Beberapa konsep tentang industri kreatif yang ada selama ini melihat unsur budaya hanya sebagai faktor pendukung kreatifitas dan inovasi, bukan dalam proses produksi.

Hasil lain dari penelitian menunjukkan bahwa klaster produksi tidak selalu tergantung pada pemusatan tenaga kerja dan sumber bahan baku. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya sebaran usaha kreatif yang berdiri sendiri dan menggunakan sedikit tenaga kreatif atau trampil, dibandingkan dengan usaha industri kreatif yang diteliti di luar negeri. Temuan ini memperlemah hasil penelitian Lazzaretti dan Coke (2006), Khang (2010), Berg dan Hassink (2012) dan Meiqing dan Lijun (2008) yang menekankan pada konsentrasi tenaga kerja, budaya dan

policy.

2. Konsentrasi kegiatan ekonomi yang ditimbulkan oleh adanya interaksi yang dinamis antara industri kreatif dan industri pariwisata.

(3)

286

Proposisi II yaitu Kegiatan pariwisata memicu terjadinya konsentrasi kegiatan industri kreatif yang bersifat penjualan dan pemasaran. Konsentrasi kegiatan industri kreatif yang berkaitan pariwisata dapat mengakibatkan pergeseran pola penggunaan lahan dan fungsi kawasan setempat karena adanya kekuatan antara kedua sektor tersebut yang saling mempengaruhi”, dapat diperkuat dengan adanya konsentrasi fasilitas penjualan industri fesyen di kawasan Dago, Cihampelas dan Riau/RE. Martadinata sehingga mengakibatkan peningkatan kegiatan pada ketiga kawasan tersebut. Terjadinya konsentrasi kegiatan kedua industri tersebut menimbulkan pergeseran fungsi bangunan, pola penggunaan lahan serta perubahan fungsi kawasan perumahan menjadi kawasan beragam fungsi (komersial).

Perubahan dalam kawasan (Dago dan Riau) menunjukkan bahwa antara industri kuliner dan fesyen dengan heritage atau bangunan arsitektur memiliki hubungan yang sangat kuat dan antar keduanya dapat saling mendukung dalam fungsinya sebagai amenitas wisata. Kecenderungan ini bukan hanya terlihat di Kota Bandung saja, tetapi dapat dilihat pula di Yogyakarta, Bogor, Bali dan Jakarta. Sinerjitas antar subsektor/ jenis industri kreatif dalam fungsinya sebagai fasilitas pelayanan wisata dapat ditunjukan pada gambar 6.1 berikut.

Fesyen Kuliner Bangunan Arsitektur Atraksi Wisata Destinasi Pariwisata Wisatawan

Untuk saling melengkapi dan memperkuat citra

kawasan

Gambar 6.1 Hubungan antar industri kreatif sebagai fasilitas pelayanan wisata Sumber: Peneliti, 2013

(4)

287

Sementara perubahan fungsi bangunan yang diakibatkan oleh pergeseran fungsi kegiatan di dalamnya disebabkan oleh adanya peningkatan faktor permintaan atau demand. Peningkatan ekonomi pada sebagian masyarakat diimbangi dengan peningkatan kebutuhan lainnya termasuk kegiatan berwisata dan rekreasi. Salah satu kecenderungan yang nyata terlihat di Kota Bandung adalah pesatnya perkembangan usaha kuliner sebagai faktor penawaran/supply dalam sebuah destinasi. Peningkatan faktor supply ini karena adanya peningkatan permintaan atau demand (Gunn, 1988 dan 1994). Salah satu demand wisatawan saat ini adalah tuntutan akan adanya wisata belanja yang dilengkapi dengan wisata kuliner seperti dinyatakan oleh wisatawan dan hasil survei terhadap pelaku usaha. Di sisi lain adanya kecenderungan wisata belanja yang dilengkapi dengan kuliner merupakan peluang baru bagi masyarakat setempat untuk dapat meraih lebih banyak manfaat ekonomi dari kegiatan pariwisata.

Ditinjau dari sebaran kegiatannya, hasil penelitian ini dapat memperkuat teori perkembangan kota (Harris dan Ullman, 1945) dimana kota tidak tumbuh dengan satu pusat kegiatan saja namun terbentuk sebagai suatu proses perkembangan dan integrasi yang berlanjut secara terus menerus dari sejumlah pusat-pusat kegiatan yang terpisah satu sama lain dalam satu sistem perkotaan. Pesatnya pertumbuhan kedua industri yang dinamis tersebut apabila tidak ditangani dan direncanakan secara tepat dan terintegrasi dengan perencanaan tata ruang destinasi pariwisata akan membawa pada penurunan kualitas destinasi pariwisata. Penelitian menunjukkan bahwa wisatawan sebagai pasar tidak menjadikan harga sebagai pertimbangan utama dalam menentukan pilihan pembelian. Hal ini disebabkan daya beli pasar yang bervariasi dan motivasi perjalanan yang senantiasa berubah secara dinamis.

Perubahan kota terkait dengan upaya pemenuhan terhadap demand wisatawan sehingga jauh keluar dari zona pariwisata yang telah ditentukan (Maitland dalam Richards & Wilson, 2007:77). Motivasi perjalanan dan persepsi wisatawan tidak mudah dan sederhana untuk dapat diakomodasi sebagai tipologi wisatawan dikarenakan sangat bervariasinya tujuan wisata seseorang ke sebuah destinasi pariwisata kota. Sebagai contoh: wisatawan datang ke Bandung untuk bisnis sambil

(5)

288

berlibur atau mengunjungi kerabat dan motivasi lainnya.Kegiatan Industri Kreatif dan Pariwisata yang saling mempengaruhi dalam sebuah destinasi pariwisata dapat digambarkan sebagai berikut ini.

3. Pengaruh sistem keruangan destinasi pariwisata dan pola perjalanan wisatawan terhadap pola sebaran industri kreatif.

Proposisi III yang diajukan yaitu “Pertumbuhan klaster industri kreatif pada sebuah destinasi pariwisata dipengaruhi oleh sistem keruangan destinasi dan pola perjalanan wisatawan” dapat diperkuat dengan temuan pada kelima kawasan amatan. Hal ini dapat ditunjukkan dengan perluasan sebaran lokasi restoran/café sebagai usaha kuliner yang cenderung pada lapisan dalam kawasan (Dago dan RE. Martadinata) karena adanya koridor penghubung dan jalur-jalur pergerakan (jalur utama dan sekunder) yang dilalui oleh pola perjalanan wisatawan. Sebaran usaha kuliner tersebut cenderung membentuk pola berkelompok dan bersinerji dengan

Gambar 6.2 Kegiatan industri kreatif dan pariwisata yang saling mempengaruhi Sumber: Peneliti (2013) Wisatawan Kawasan /Destinasi pariwisata Kegiatan Pariwisata Saling mempengaruhi Kegiatan Industri Kreatif

(6)

289

bangunan-bangunan kuno/arsitektur Eropa untuk menambah daya tarik atraksi wisata kuliner.

Sementara kegiatan produksi memilih lokasi pada lingkungan perumahan karena umumnya industri kreatif di Indonesia berbasis pada usaha kecil dan produksinya memerlukan infrastruktur dan transportasi yang memadai. Hal ini dapat ditunjukkan dengan lokasi Cibaduyut yang dekat dengan pintu-pintu masuk ke Kota Bandung dan jalan lingkar luar serta jalan tol antar kota. Kawasan Suci berada pada jalur arteri yang mudah dicapai dari jalan layang Pasopati dan tol Cipularang (pintu Pasteur).

Dengan diperolehnya semua temuan lapangan maka ketiga proposisi yang diajukan dapat didukung semuanya oleh hasil penelitian meskipun masih ada kekurangannya, khususnya yang berkaitan dengan sistem keruangan dan kegiatan industri kreatif yang tampak berbaur dengan kegiatan pariwisata.

6.2 Kontribusi Teoritik dan Dialog Teori

6.2.1 Kontribusi teoritik

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola sebaran penjualan Industri kreatif pada destinasi pariwisata di Indonesia cenderung linier pada jalur-jalur utama karena dipengaruhi oleh faktor ekonomi, kondisi lahan, aksesibilitas dan pola perjalanan wisatawan. Sementara pola sebaran produksi industri kreatif cenderung menyebar secara berkelompok karena dipengaruhi oleh faktor ekonomi, infrastruktur, budaya, tradisi dan faktor kekerabatan. Dengan demikian, maka hasil penelitian ini dapat memperbaharui konsep klaster kreatif yang selama ini ada dengan memasukkan sistem keruangan destinasi pariwisata (aksesibilitas dan infrastruktur), faktor kekerabatan serta pola perjalanan wisatawan sebagai pertimbangan dalam menentukan lokasi penjualan industri kreatif dan bukan hanya ditekankan pada faktor ekonomi, jarak dan harga.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas maka konsep baru mengenai pola sebaran industri kreatif di Indonesia dapat dinyatakan sebagai berikut:

(7)

290

(1) Pola sebaran penjualan Industri kreatif pada destinasi pariwisata cenderung linier pada jalur-jalur utama karena dipengaruhi oleh faktor ekonomi, aksesibilitas dan pola perjalanan wisatawan. Konsep ini dapat diimplementasikan pada pola sebaran penjualan fesyen dan kerajinan di Kuta dan Ubud, Bali dan Kasongan, Yogyakarta yang cenderung menempati lokasi pada jalur utama dan dilalui oleh arus perjalanan wisatawan karena faktor aksesibilitas yang tinggi.

(2) Pola sebaran produksi industri kreatif cenderung menyebar atau berkelompok . Pola berkelompok karena dipengaruhi oleh faktor ekonomi, infrastruktur, budaya dan tradisi serta faktor kekerabatan. Sementara pola menyebar karena dipengaruhi oleh faktor tenaga kerja seperti terlihat pada lokasi- lokasi produksi industri kreatif yang menyebar di lingkungan perumahan (animasi, fesyen, computer games, catering/kuliner). Sebaran lokasi industri kreatif di Indonesia tidak selalu tergantung pada konsentrasi tenaga kerja, jarak dari sumber bahan baku dan persaingan. Terbentuknya pola klaster produksi industri kreatif lebih dipengaruhi oleh proses produksi, budaya, sejarah, tradisi dan sistem keruangan .

(3) Penelitian mengungkapkan bahwa “Toleransi” muncul karena adanya hubungan kekerabatan dan sikap positif terhadap perkembangan pariwisata seperti terlihat pada masyarakat Kota Bandung. Temuan ini memperkaya teori Florida, dimana toleransi akan lebih mudah muncul pada masyarakat yang masih memiliki akar budaya yang kuat. Pada teori Kelas Kreatif (Florida, 2008), toleransi dalam kelas kreatif menyangkut sikap penerimaan terhadap keragaman namun belum menyinggung aspek hubungan kekeluargaan, kegotongroyongan dan kehidupan bersama dalam ruang produksi yang terbatas.

(4) Konsep baru lain yang dapat dimunculkan dalam penelitian ini menyangkut konsentrasi industri kreatif yang dipengaruhi oleh kekuatan industri pariwisata dan dapat mengakibatkan pergeseran pola penggunaan lahan. Konsep baru ini diharapkan dapat memperbaiki konsep pariwisata perkotaan yang dinyatakan oleh Jansen dan Verbeke (1986) dan Page (1995) yang

(8)

291

menyatakan bahwa pariwisata perkotaan hanya merupakan seperangkat kebutuhan wisatawan atas sebuah kota dimana mereka dan penduduk setempat memanfaatkan kota secara berbeda.

(5) Temuan mengenai pola sebaran penjualan industri kreatif yang mempengaruhi perubahan fungsi kawasan wisata menunjukkan adanya peningkatan pergerakan wisatawan yang mengakibatkan pergeseran fungsi-fungsi kegiatan di dalamnya. Dari penjelasan tersebut diatas, konsep baru lainnya yang dapat diajukan dari penelitian ini adalah pertumbuhan industri kreatif pada sebuah destinasi pariwisata mendekati pusat-pusat pertumbuhan industri pariwisata karena dipengaruhi oleh kondisi sistem keruangan setempat dan arus kunjungan wisatawan. Konsep baru ini akan mempengaruhi teori struktur ruang dan penggunaan lahan (Harris & Ullman, 1945 dan Colby, 1933) yang menekankan pada proses pertumbuhan kota dalam suatu sistem perkotaan namun teori-teori tersebut belum menjelaskan lebih jauh adanya hubungan kuat yang saling mempengaruhi antara 2 kegiatan ekonomi yang dominan dan terkait dengan pola pergerakan wisatawan.

Berdasarkan kajian dan penjelasan tersebut di atas, maka dalam penelitian ini dapat diajukan teori baru tentang pola sebaran industri kreatif pada sebuah destinasi pariwisata sebagai berikut; Pertama, pertumbuhan industri kreatif

membentuk beragam pola sebaran karena dipengaruhi oleh karakteristik dan fungsi kegiatan industri kreatif, budaya, proses produksi, kebijakan dan sistem keruangan destinasi. Kedua, interaksi dinamik antara industri kreatif dengan industri pariwisata dapat mengakibatkan perubahan penggunaan lahan karena adanya peningkatan kegiatan dan arus kunjungan wisatawan.

Teori baru ini bersifat lokal karena didasarkan pada penelitian studi kasus di Kota Bandung dan guna memperkuat kedudukan teori baru tersebut, perlu untuk mendialogkannya dengan lokasi-lokasi pusat penjualan dan produksi industri kreatif di luar Kota Bandung seperti halnya di Yogyakarta, Bali dan Inggris. Mengingat bahwa selama ini konsep-konsep tentang sebaran industri kreatif yang

(9)

292

dihasilkan oleh beberapa peneliti terdahulu (Lazzaretti et.al 2009; Turk, 2003; Kunzmann, 2004; Khang, 2010; Meiqing & Lijun, 2008; Berg & Hassink, 2012 dan Lundersquit, 2002) belum dirangkai menjadi sebuah teori. Sejauh pengetahuan peneliti belum ada suatu teori tentang pola sebaran industri kreatif yang terkait dengan sistem keruangan destinasi pariwisata. Sebaran industri kreatif pada destinasi pariwisata yang dipengaruhi oleh sistem keruangan destinasi dan pola perjalanan wisatawan dapat ditunjukkan sebagai klaster kreatif seperti ditunjukkan pada gambar 6.3 berikut.

Gambar 6.3. Pertumbuhan industri kreatif pada destinasi pariwisata Sumber : Koestantia (2014)

Kegiatan industri kreatif Kegiatan pariwisata Pola Perjalanan Wisatawan Akses utama Lingkungan permukiman Klaster kreatif Komponen-komponen destinasi pembentuk sistem keruangan destinasi pariwisata

Pusat Pertumbuhan Industri Kreatif & Pariwisata

(10)

293 6.2.2 Dialog teori

Telah diungkapkan di atas bahwa sejauh ini belum ada teori lain tentang pola sebaran industri kreatif dan sistem keruangan destinasi pariwisata, sehingga dialog teoritik dalam hal ini tidak dilakukan terhadap teori lainnya. Untuk itu dilakukan dialog teori dengan lokasi sebaran industri kreatif sebagai berikut:

(1). Pengamatan atas sentra produksi gerabah di Kasongan, Yogyakarta menunjukkan bahwa lokasi Kasongan memiliki kemudahan aksesibilitas dan infrastruktur yang cukup baik. Kasongan berhasil mengubah citra kawasan pertanian di pedesaan dengan citra sentra industri kreatif. Kasongan dikunjungi oleh wisatawan karena dipengaruhi oleh sistem keruangan destinasi pariwisata Yogyakarta (aksesibilitas, infrastruktur dan kebijakan) serta adanya promosi pariwisata setempat. Sebaran penjualan industri gerabah di Kasongan membentuk pola linier mengikuti pola jalur utama seperti ditunjukkan pada gambar 5.70. Meskipun pertumbuhan industri gerabah di Kasongan semata-semata bukan dipicu oleh adanya kegiatan pariwisata di Bantul, adanya promosi pariwisata Yogyakarta sebagai kota budaya merupakan salah satu faktor pendorong yang cukup kuat bagi pertumbuhan industri gerabah (wawancara dengan Kepala Desa Bangunjiwo, 15 Mei 2009).

Wisatawan yang berkunjung ke Desa Kasongan di antaranya merupakan pembeli/buyers sehingga memiliki peran yang cukup besar pula dalam mengenalkan produk gerabah di luar negeri (wawancara dengan pihak Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kab. Bantul, 2010) .Dalam hal ini dapat dinyatakan bahwa industri pariwisata Yogyakarta secara kuat mempengaruhi pertumbuhan industri gerabah di Kasongan.

(2). Sebaran industri kreatif di kawasan Kuta Bali jelas menunjukkan adanya pengaruh sistem keruangan dan pola perjalanan wisatawan. Pertumbuhan industri fesyen, kerajinan dan kuliner dapat terlihat pada jalur-jalur yang dilalui oleh arus perjalanan wisatawan, terkait dengan faktor aksesibilitas serta ketersediaan infrastruktur yang dibutuhkan oleh wisatawan. Pesatnya pertumbuhan industri kreatif di Bali seiring dengan perkembangan pariwisata dan berimplikasi pada pola

(11)

294

penggunaan lahan serta perubahan kawasan Kuta. Daya tarik wisata pantai dan budaya berdampak pada peningkatan kegiatan pariwisata setempat dan memicu terjadinya konsentrasi kegiatan penjualan industri fesyen, kerajinan dan kuliner yang berbaur dengan fasilitas pelayanan wisata lainnya seperti akomodasi, sementara area permukiman penduduk semakin berkurang.

(3). Berdasarkan pengamatan intensif terhadap pusat penjualan fesyen (factory

outlets) Bicester, disimpulkan bahwa lokasi Bicester memiliki aksesibilitas yang

tinggi dan didukung oleh adanya infrastruktur, termasuk moda transportasi umum yang sangat memadai. Pemilihan lokasi pusat wisata belanja di luar kota London dipengaruhi oleh faktor kebijakan Pemerintah Inggris untuk mengurangi beban kota London dan kota-kota besar lain di sekitarnya. Keberadaan pusat-pusat wisata belanja seperti BVOS tetap menimbulkan masalah lain bagi penduduk, terutama faktor ketenagakerjaan (employment) dan dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh banyaknya kendaraan menuju lokasi BVOS terutama pada akhir pekan.

(4). Sebaran lokasi produksi sepatu di Northampton membentuk pola menyebar dalam sebuah area yang berdekatan. Pola sebaran produksi sepatu ini berbeda dengan pola sebaran penjualan fesyen di BVOS yang bentuk enclave (terpusat dan tertutup). Hal ini menunjukkan adanya perbedaan pola sebaran yang dipengaruhi oleh karakteristik industri dan fungsi kegiatan yang berlangsung di dalamnya. Arus kunjungan wisatawan ke Northampton tidak setinggi arus kunjungan ke BVOC dipengaruhi oleh faktor kebijakan. Northampton merupakan kawasan konservasi shingga lebih sedikit menerima arus kunjungan wisatawan dibandingkan atraksi wisata belanja yang umumnya cenderung lebih menarik bagi wisatawan akhir-akhir ini.

Berdasarkan kajian atas 4 lokasi pertumbuhan industri kreatif tersebut di atas, dapat dinyatakan bahwa sebaran industri kreatif pada lokasi-lokasi tersebut membentuk berbagai macam pola sebaran. Dengan demikian maka teori klaster kreatif yang dibangun dari hasil penelitian di Kota Bandung ini, sebagian besar dapat diadopsi untuk lokasi lain.

(12)

295

Keterkaitan antara sebaran industri kreatif dengan sistem keruangan destinasi pariwisata dapat digambarkan sebagai diagram berikut ini.

Gambar 6.4 Interaksi dinamik antara industri kreatif dengan industri pariwisata Sumber:

Koestantia (2014)

6.3 Implikasi Hasil Penelitian

Implikasi hasil penelitian ini terhadap Ilmu Arsitektur dan Perencanaan adalah berkaitan dengan perencanaan tata ruang kota. Dalam upaya mewujudkan konsep kota yang berkelanjutan atau Kota Kreatif, ruang-ruang untuk industri kreatif perlu ditata dengan tepat dan baik. Suatu lingkungan akan mendukung pembentukan klaster kreatif apabila didukung oleh ketersediaan perumahan yang layak dan terjangkau masyarakat sebagai tenaga kreatif, adanya infrastruktur yang

(13)

296

memadai dan pembinaan terhadap ketrampilan kreatif antara lain melalui pemeliharaan budaya.

Dari sebaran industri kreatif di wilayah penelitian yang seolah-olah berlomba menempati lokasi yang strategis dan menguntungkan, perlu dipertimbangkan bahwa Klaster Kreatif tidak hanya sebagai tempat penampungan produk kreatif, namun lebih penting untuk menjaga nilai-nilai kelokalan yang ada agar ruang kreatif tetap dapat terjaga. Untuk penciptaan Klaster Kreatif perlu adanya pendekatan budaya dan dimensi sosial, bukan semata-mata hanya untuk kepentingan ekonomi. Bagi Indonesia yang baru mulai mengembangkan Industri Kreatif, perlu dibina jejaring kreatif dan memberikan ruang yang cukup bagi kelompok-kelompok kreatif di setiap wilayah agar pertumbuhan industri kreatif tidak cenderung pada penurunan kualitas ruang atau lingkungan.

Klaster kreatif dapat diciptakan mulai dari lingkungan terkecil seperti lingkungan perumahan sebagai upaya membina lingkungan yang nyaman dan tertata. Implikasi hasil penelitian ini terhadap kebijakan adalah membantu upaya pencegahan dampak negatif dari pertumbuhan industri kreatif dan pariwisata terutama di kota-kota besar dengan pembentukan kantong-kantong kreatif atau klaster kreatif yang direncanakan secara tepat. Ruang-ruang produksi kreatif dapat diberdayakan sebagai atraksi wisata melalui pembinaan dan penataan fisik yang lebih baik serta adanya promosi dan jejaring kreatif, sehingga kegiatan industri kreatif dapat bersinerji dengan kegiatan pariwisata untuk memberikan manfaat bagi masyarakat setempat. Dengan semakin pesatnya perkembangan pariwisata di suatu destinasi perlu adanya perencanaan yang terintegrasi antara industri kreatif dan industri pariwisata dengan perencanaan kota sebagai destinasi pariwisata.

Pengelompokan pekerja kreatif atau produsen produk kreatif karena didasari oleh faktor kekerabatan akan mempengaruhi arus urbanisasi ke kota atau destinasi-destinasi pariwisata yang menjanjikan. Hal ini akan berpengaruh terhadap kebutuhan ruang setempat dan rawan terhadap munculnya pemukiman-pemukiman padat/kumuh dalam kota atau destinasi pariwisata. Di sisi lain perkembangan pariwisata akan membawa perubahan-perubahan terhadap masyarakat setempat, baik secara ekonomi maupun sosial budaya. Perubahan yang signifikan dalam

(14)

297

bidang perencanaan kota adalah perubahan fungsi kawasan perumahan menjadi kawasan komersial sehingga mengabaikan fungsi kawasan heritage yang seharusnya dilestarikan. Dalam hal ini kepentingan pelestarian budaya dikalahkan oleh kepentingan ekonomi. Agar penurunan kualitas fisik lingkungan binaan tidak semakin buruk perlu adanya pembatasan pemberian ijin untuk bangunan komersial di wilayah konservasi budaya dan ketegasan dalam penegakan hukum (law

enforcement) sesuai rencana tata ruang wilayah yang ada.

Konsentrasi kegiatan industri kreatif dan pariwisata yang cenderung pada pusat-pusat pertumbuhan atau kawasan wisata, akan menarik lebih banyak arus kunjungan wisatawan. Hal tersebut perlu diantisipasi, terutama pada daerah konservasi dan resapan air sehingga tidak menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Dampak perkembangan kawasan yang tidak terkendali akan berdampak pada tingkat kenyamanan dan keamanan, bukan hanya bagi masyarakat setempat tetapi akan mempengaruhi pula tingkat kunjungan wisatawan sehingga mengalami penurunan seperti dinyatakan pada teori Butler. Oleh karena itu dalam perencanaan destinasi pariwisata kota dan perencanaan wilayah, hasil penelitian ini perlu dipertimbangkan agar kota kreatif yang berwawasan lingkungan dapat benar-benar terwujud di Indonesia.

6.4 Saran Penelitian Lanjutan

Terkait dengan penelitian ini yang menggunakan metode Studi Kasus maka penelitian ini terbuka bagi penilaian atas konteks yang turut berperan dalam pemaknaan atas fenomena yang terkait dengan konteks tersebut (Bogdan, R.C. dan Biklen, K., 1982; Mulyana, 2002). Melalui pemanfaatan teori teori yang diacu, peneliti studi kasus dapat membangun teori yang langsung terkait dengan kondisi kasus yang ditelitinya. Kesimpulan konseptual dan teoritis yang dibangun melalui penelitian studi kasus dapat lebih bersifat alamiah, karena sifat dari kasus yang alamiah seperti apa adanya tersebut (Van Wynsberghe dalam Khan, 2007:4). Teknik studi kasus

(15)

298

pada penelitian kualitatif sangat cocok jika digunakan untuk melakukan pengungkapan atau penemuan namun tidak berhenti pada temuan begitu saja. Dengan studi kasus pengungkapan kasus berhubungan dengan suatu tema atau topik hanya memberikan hasil yang terbatas. Oleh karena itu hasil studi kasus ini diharapkan dapat diarahkan pada penemuan lebih lanjut.

Pada penelitian studi kasus ada unsur kesinambungan, dimana pertanyaan penelitian menjadi hal baru bagi penelitian selanjutnya. Dengan demikian segala kekurangan dalam penelitian disertasi ini dapat diperbaiki dan dilengkapi oleh penelitian-penelitian selanjutnya. Penelitian mengenai hubungan ruang antara industri kreatif dengan destinasi pariwisata merupakan penelitian yang tergolong langka dalam ilmu arsitektur dan ilmu perencanaan kota. Oleh karenanya masih sangat dibutuhkan adanya penelitian-penelitian lanjutan dalam konteks tersebut. Penelitian lanjutan yang dapat diusulkan sebagai berikut:

(1) Kajian Perkembangan Kota yang Dipengaruhi oleh Keberadaan Industri Kreatif.

Adanya kecenderungan industri kreatif di Indonesia yang tumbuh dari lingkungan pemukiman memberikan dampak bagi perkembangan dan pertumbuhan suatu kota, baik dampak positif maupun negatif. Kajian dalam skala kawasan (meso) telah diungkapkan pada penelitian ini namun kajian secara lebih luas dalam kaitannya dengan pertumbuhan kota belum dapat diungkapkan. Oleh karena itu kajian perkembangan kota dan keberadaan industri kreatif di dalamnya akan memberikan gambaran bagi kelanjutan kota tersebut atau sebagai urban regeneration.

(2) Pola Pola Pengembangan Industri Kreatif dan Pariwisata Menuju Kota Kreatif.

Basis industri kreatif adalah kreatifitas dan inovasi. Persaingan yang utama dalam industri kreatif adalah dalam hal desain. Penelitian ini telah menyatakan adanya hubungan yang kuat antara industri kreatif dan industri pariwisata. Penelitian secara spesifik belum memberikan model kota kreatif sebagai sebuah destinasi pariwisata. Hasil penelitian akan dapat mengungkapkan sinerjitas antara kedua industri tersebut agar dapat

(16)

299

dimanfaatkan untuk pembentukan kota kreatif yang merupakan salah satu upaya untuk mencegah terjadinya urban sprawl.

(3) Pengaruh Pola Perjalanan Wisatawan Terhadap Pola Distribusi Produk Industri Kreatif.

Hubungan antara jalur pergerakan produk industri fesyen dengan pola perjalanan wisatawan secara sepintas telah diungkapkan dalam penelitian disertasi ini. Penelitian ini belum dapat mengungkapkan pengaruh satu dengan yang lainnya secara rinci dan spesifik. Penelitian lanjutan akan menghasilkan temuan mengenai pola perjalanan wisatawan yang benar mempengaruhi pola distribusi produk kreatif secara signifikan, pada sebuah destinasi pariwisata dan berbagai subsektor industri kreatif lainnya yang terkait.

(4) Ruang Produksi Industri Kreatif, Atraksi Wisata dan Jejaring Kreatif.

Penelitian disertasi ini secara sepintas telah mengungkapkan perlunya jejaring kreatif dalam pola pemasaran industri kreatif. Dengan perkembangan teknologi dan informasi yang semakin pesat dan makin tingginya persaingan global maka pola sebaran industri kreatif seperti computer games, seni pertunjukan dan desain sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi dan informasi. Penelitian telah menemukenali ruang produksi fesyen di kota Bandung belum mampu menjadi daya tarik wisata, sementara tempat-tempat produksi perhiasan emas dan perak seperti di Celuk Bali, Kota Gede, Bangkok atau kerajinan kaca di Venezia telah mampu menarik kunjungan wisatawan ke lokasi produksi. Penelitian lanjutan tentang hal ini akan dapat mengungkapkan bagaimana peran jejaring kreatif dan pola pemasaran yang terkait dengan keberadaan ruang produksi industri kreatif.

Gambar

Gambar 6.3. Pertumbuhan industri kreatif pada destinasi pariwisata  Sumber : Koestantia   (2014)
Gambar 6.4 Interaksi dinamik antara industri kreatif dengan industri pariwisata  Sumber:  Koestantia   (2014)

Referensi

Dokumen terkait