• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kepiting Bakau Genus Scylla Klasifikasi dan identifikasi kepiting bakau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kepiting Bakau Genus Scylla Klasifikasi dan identifikasi kepiting bakau"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kepiting Bakau Genus Scylla

2.1.1. Klasifikasi dan identifikasi kepiting bakau

Kepiting bakau tergolong dalam famili Portunidae yang terdiri atas 6 subfamili, yaitu: Carcininae, Polybiinae, Caphrynae, Catoptrinae, Podopthalminae, dan Portuninae. Moosa et al. (1985) memperkirakan bahwa terdapat sekitar 234 jenis kepiting yang tergolong ke dalam subfamili Portuninae di wilayah Indopasifik Barat dan 124 jenis di wilayah Indonesia. Portunidae tergolong ke dalam kelompok kepiting perenang (swimming crab) karena memiliki pasangan kaki terakhir yang memipih dan digunakan untuk berenang. Famili Portunidae mencakup rajungan (Portunus, Charybdis, dan Thalamita) dan kepiting bakau (Scylla spp). Kepiting bakau memiliki nama lokal yang beragam, yaitu kepiting (Jawa), katang nene (Maluku Tengah), dan ketam batu (Sumatera). Di mancanegara, kepiting bakau pun memiliki nama yang beragam yaitu kepiting batu (Malaysia) (Oong 1966 in Siahainenia 2008), kepiting lumpur atau mud crab (Australia), kepiting samoa (Hawaii), alimango (Philipina), tsai jim (Taiwan), serta nokoro gozami (Jepang) (Cowan 1984 in Siahainenia 2008).

Aiyun & Siliang (1991) dan Sukarya (1991) in Sulistiono et al. (1994), mengklasifikasikan kepiting bakau sebagai berikut:

Filum : Arthropoda Kelas : Crustacea Ordo : Decapoda Sub ordo : Pleocyemata

Infra ordo : Brachyura Famili : Portunidae Sub famili : Portuninae Genus : Scylla (de Haan) Spesies : Scylla serrata (Forskal)

Scylla tranquebarica (Dana)

Scylla oceanica (Fabricious)

Hingga saat ini, pengidentifikasian spesies kepiting bakau masih kontroversi. Beberapa tahun yang lalu, hanya terdapat satu spesies yang dikenal sebagai genus Scylla (Fuseya 1998 in Fushimi & Watanabe 2001). Akan tetapi, saat ini para

(2)

peneliti telah melaporkan bahwa genus Scylla memiliki beberapa spesies (Estampador 1949 in Fushimi & Watanabe 2001). Estampador (1949) in Fushimi & Watanabe (2001), mengklasifikasikan kepiting bakau menjadi tiga spesies dan satu varietas, yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarica, Scylla oceanica, dan Scylla serrata var. paramamosain. Karaketristik morfologi yang telah ditemukan dari ketiga spesies tersebut sesuai dengan deskripsi yang dijabarkan oleh Estampador pada tahun 1949. Karakteristik morfologi dari rostrum dan gigi anterolateral serta cheliped pada kepiting bakau dapat dilihat sebagai berikut: Scylla serrata: duri frontal margin tumpul berukuran sama dan duri anterolateral berjumlah 9 dengan gigi yang bergerigi tajam dan berukuran sama; Scylla tranquebarica: duri frontal margin tajam dengan duri berukuran sama dan duri anterolateral berjumlah 9 dengan gigi yang bergerigi tajam dan berduri; Scylla oceanica: duri frontal margin tajam berukuran sama dan duri anterolateral berjumlah 9 dengan gigi yang bergerigi tajam. Selain itu terdapat pembeda lainnya, yaitu jumlah duri pada cheliped carpus dan corak pada pleopod pertama yang terdapat pada ketiga spesies kepiting bakau. Perbedaan dari ketiga spesies kepiting bakau di atas dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Perbandingan bentuk karapas (tampak dorsal dan ventral) serta cheliped carpus pada ketiga spesies Scylla (jantan) (Fushimi & Watanabe 2001).

(3)

Fuseya & Watanabe (1996) in Fushimi & Watanabe (2001) juga mengklasifikasikan kepiting bakau menjadi 3 spesies, yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarica, dan Scylla oceanica berdasarkan klasifikasi Estampador. Perbedaan nyata tersebut ditemukan pada 3 dari 17 loci sampel dan jarak genetik relatifnya pun telah dihitung antara ketiga spesies kepiting bakau dari genus Scylla. Ketiga spesies kepiting bakau yang diklasifikasikan oleh Estampador berdasarkan ciri morfologis memiliki kesamaan dengan hasil percobaan di atas. Akan tetapi, analisis genetik memperlihatkan bahwa Scylla serrata dan Scylla tranquebarica berkorelasi lebih dekat dibandingkan dengan Scylla oceanica. Informasi tersebut diperoleh dari investigasi mutakhir yang menyatakan bahwa ketiga spesies kepiting bakau benar-benar berbeda dan dapat dibedakan. Selanjutnya Klinbunga et al. (2001) in Watanabe et al. (2002) melakukan studi dengan menggunakan sampel dari Thailand dan menyatakan bahwa telah ditemukan tiga spesies kepiting bakau dengan menggunakan analisa RAPD dari DNA genom, ketiga spesies kepiting bakau (S. serrata, S. tranquebarica, S. oceanica) tersebut sesuai dengan kriteria yang telah dijabarkan oleh Estampador. Berdasarkan perbedaan tersebut, penulis menggunakan identifikasi kepiting genus Scylla berdasarkan deskripsi morfologi dari Estampador yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarica, dan Scylla oceanica karena telah diuji oleh berbagai ahli di bidangnya.

2.1.2. Morfologi kepiting bakau

Menurut Moosa (1981) in Siahainenia (2008) untuk mengenal dan memberikan diagnosa dari tiga jenis krustasea, terlebih dahulu diperlukan pengetahuan tentang istilah bagian-bagian tubuh yang biasanya digunakan dalam taksonomi kepiting bakau. Dijelaskan pula bahwa bagian-bagian tubuh penting yang digunakan dalam pengenalan jenis famili Portunidae adalah sebagai berikut dan dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3:

a. Karapas (carapace), yaitu selubung kepala-dada serta bagian-bagian yang ada di atasnya.

b. Jumlah, bentuk dan sifat duri pada bagian dahi karapaks (rostrum). c. Jumlah, bentuk dan sifat duri pada tepi antero-lateral karapaks. d. Bentuk sudut postero-lateral tubuh.

(4)

e. Bagian-bagian yang terdapat pada ruas-ruas kaki jalan (periopod), terutama dari pasangan kaki pertama yang berbentuk capit (cheliped) dan pasangan kaki terakhir yang berbentuk dayung (pleopod).

f. Bentuk tutup abdomen dan bentuk pleopod. g. Bentuk mulut terutama maxiliped III.

h. Bentuk bagian ruas dasar antena (basal antennal joint).

Secara umum, ciri dari jenis-jenis organisme yang tergolong ke dalam famili Portunidae adalah: karapas pipih atau agak cembung, berbentuk heksagonal atau agak persegi, bentuk umum adalah bulat telur memanjang atau berbentuk kebulat-bulatan, karapas umumnya berukuran lebih lebar daripada panjangnya dengan permukaan yang tidak selalu jelas pembagiannya, dan memiliki tepi antero-lateral karapaks dengan jumlah duri lima (jarang kurang dari lima kecuali pada subfamili Podopthalminae) sampai sembilan buah. Kemudian memiliki dahi lebar serta terpisah dengan jelas dari sudut supraorbital dan memiliki jumlah duri dua sampai enam buah, antena (antennulae) kecil terletak menyerong atau melintang, pasangan kaki terakhir berbentuk pipih menyerupai dayung, terurtama pada dua ruas terakhir (terdapat beberapa genus yang tidak berbentuk demikian) (Moosa et al. 1985).

Menurut Kasry (1996) kepiting bakau memiliki karapaks berwarna seperti lumpur atau sedikit kehijauan, pada bagian kiri dan kanan karapas terdapat sembilan buah duri tajam, dan pada bagian depan karapas di antara kedua tangkai matanya terdapat enam buah duri. Dalam keadaan normal sapit kanan lebih besar daripada sapit kiri dengan warna kemerah-merahan pada masing-masing ujung sapit. Kepiting bakau memiliki tiga kaki pejalan dan satu kaki perenang, di mana kaki perenang tersebut terdapat pada bagian ujung perut dan ujung kaki perenang ini dilengkapi dengan alat pendayung. Selanjutnya Sulistiono et al. (1992) in Mulya (2000) menyatakan bahwa secara umum karapas berbentuk cembung dan halus, lebar karapas satu setengah dari panjangnya, bentuk alur H antara gastric (pencernaan) dan cardiac (jantung) jelas, empat gigi triangular pada lengan bagian depan mempunyai ukuran yang sama, orbit lebar dan memiliki dua celah, ruas-ruas abdomen pada kepiting bakau jantan berbentuk segitiga sedangkan pada kepiting bakau betina berbentuk sedikit membulat. Akan tetapi ketiga spesies kepiting bakau

(5)

S. serrata, S. tranquebarica, dan S. oceanica memiliki morfologi yang berbeda-beda, perbedaan morfologi tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

(6)
(7)

Tabel 1. Karakteristik jenis kepiting bakau (Scylla spp) menurut Estampador.

Warna dan ciri

morfologis Scylla serrata Scylla oceanica

Scylla tranquebarica

Scylla serrata var. paramamosain Warna karapaks Coklat merah seperti karat Hijau keabu-abuan

Hijau buah zaitun Coklat kehijauan Sumber

pigmen polygonal

Tidak ada Pada capit dan semua kaki jalan

Hanya pada bagian terakir kaki jalan

Pigmen putih pada bagian terakhir dari kaki Bentuk alur

”H” pada karapaks

Tidak dalam Dalam Dalam Relatif tidak begitu dalam Bentuk duri

depan

Tumpul Tajam Tajam Sedang

Bentuk duri pada

fingerjoint

Duri tidak ada dan berubah menjadi vestigial

Kedua duri jelas dan runcing

Kedua duri jelas dan satu agak tumpul - Bentuk rambut/setae Hanya pada hepatic area Melimpah pada karapaks - -

Sumber: Estampador (1949) in Siahainenia (2008).

Menurut Moosa et al. (1985) kepiting bakau genus Scylla di Indonesia memiliki dua warna dasar berbeda, yaitu yang termasuk warna kehijauan atau hijau keabuan (S. oceanica dan S. tranquebarica) serta kelompok yang berwarna dasar hijau-merah-kecoklatan (S. serrata dan S. serrata var. paramamosain). Jenis S. oceanica dan S. tranquebarica biasanya ditemukan pada perairan terbuka sedangkan jenis S. serrata dan S. serrata var. paramamosain ditemukan meliang di daerah mangrove. Selanjutnya, Kathirvel & Srinivasagam (1992) menyatakan bahwa morfologi dari Scylla oceanica dan Scylla tranquebarica memiliki kesamaan, yaitu kedua spesies Scylla ini dapat tumbuh dengan ukuran yang sangat besar, keduanya tidak hidup meliang, dan memiliki dua duri tajam pada sisi terluar cheliped carpus. Variasi warna yang terdapat pada karapas dari kedua spesies ini disebabkan oleh perbedaan letak geografis. Sedangkan spesies Scylla serrata memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil dibandingkan S. oceanica dan S. tranquebarica, hidupnya meliang, serta hanya memiliki satu duri yang tumpul pada sisi terluar cheliped carpus.

2.1.3. Distribusi dan habitat kepiting bakau

Kepiting bakau hanya tersebar di perairan tropik atau pada perairan berkondisi tropik. Daerah sebarannya meliputi wilayah Indopasifik, mulai dari pantai selatan dan timur Afrika Selatan, Mozambik, Iran, Pakistan, India, Srilangka, Bangladesh, pulau-pulau di lautan Hindia, Kamboja, Vietnam, negara-negara ASEAN, Jepang,

(8)

Taiwan, serta Filipina. Kemudian kepiting bakau pun ditemukan di pulau-pulau Lautan Pasifik mulai dari Kepulauan Hawaii sampai ke Selandia Baru dan Australia (Kasry 1996). Menurut Sulistiono et al. (1994) kepiting bakau ditemukan di perairan payau dan sebagian besar tertangkap di wilayah pesisir perairan Indonesia (Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya). Pemusatan daerah pengusahaan kepiting bakau berkaitan dengan habitat yang masih baik, antara lain terdapat di selatan Jawa (Cilacap), utara Jawa (Tanjung Pasir, Pamanukan), barat Sumatera (Bengkulu, Riau), timur Kalimantan (Kota Baru, Pasir, Balikpapan), Sulawesi (Teluk Bone, Teluk Kolono, Kendari), Nusa Tenggara Barat (Teluk Waworada, Teluk Bima), dan Irian Jaya (Teluk Bintuni, Biak Nimfor) (Asmara 2004).

Secara representatif, kepiting bakau genus Scylla memiliki daerah sebaran yang luas yaitu di sepanjang Indo-Pasifik Barat, dimana daerah penyebaran dari maisng-masing spesies dapat dipisahkan secara jelas menurut Keenan (Tabel 2 dan Gambar 4). Scylla serrata (S. oceanica Estampador) memiliki daerah penyebaran paling luas, yang meliputi Samudera Hindia bagian Barat hingga ke Kepulauan Pasifik Selatan. S. tranquebarica (S. serrata var. paramamosain Estampador) dan S. olivacea (S. serrata Estampador) memiliki daerah penyebaran yang terfokus di Laut Cina Selatan yang memanjang sampai Samudera Hindia dan Samudera Pasifik bagian Barat. Sementara itu, S. paramamosain (S. tranquebarica Estampador) memiliki daerah penyebaran yang terbatas, kebanyakan berada di Laut Cina Selatan dan Laut Jawa (Le Vay 2001 dan Keenan et al. 1998 in Watanabe et al. 2002).

Tabel 2. Daerah penyebaran spesies Scylla di dunia.

Spesies Daerah Penyebaran

S. serrata Indo-Pasifik Barat: Afrika Selatan, Laut Merah, Australia, Filiphina, Kepulauan Pasifik (Fiji, P. Solomon, Caledonia Baru, Samoa Barat), Taiwan, Jepang.

S. paramamosain Laut Cina Selatan: Kamboja, Vietnam, Singapura, Cina, Taiwan, Hong Kong; Laut Jawa: Kalimantan, Jawa Tengah.

S. olivacea Samudera Hindia: Pakistan hingga Australia Barat;

Laut Cina Selatan: Thailand, Singapura, Vietnam, Sarawak hingga Cina Selatan;

Samudera Pasifik: Filipina, Timor-Timur, Teluk Carpentaria. S. tranquebarica Samudera Hindia: Pakistan hingga Malaysia;

Laut Cina Selatan: Sarawak, Singapura; Samudera Pasifik: Filiphina.

(9)

Gambar 4. Daerah penyebaran kepiting bakau di dunia menurut Keenan (FAO 1998).

Kepiting bakau dapat ditemukan di daerah estuari dan daerah pesisir yang tertutup, secara umum kepiting bakau biasanya berasosiasi kuat dengan hutan mangrove, terutama daerah estuari. Selanjutnya, terdapat kondisi yang membedakan distribusi lokal dan kelimpahan keempat spesies kepiting bakau secara kompleks, Hill (1975;1978); Hill et al. (1982) in Le Vay (2001) menyatakan bahwa distribusi dan kelimpahan kepiting bakau bergantung pada stadia perkembangan kepiting bakau. Kepiting bakau juvenil hingga ukuran karapaks 8 cm biasanya melimpah pada daerah intertidal, sedangkan kepiting bakau subadult dan dewasa berada di daerah subtidal. Chandrasekaran & Natarajan (1994) in Le Vay (2001) menyatakan bahwa juvenil baru kepiting bakau akan lebih memilih berada di lingkungan perairan yang tertutupi oleh lamun, alga, dan akar mangrove.

Menurut Kasry (1996) kepiting bakau akan beruaya dari perairan pantai ke perairan laut, kemudian induk dan anak-anaknya akan berusaha kembali ke perairan pantai, muara sungai atau perairan hutan bakau untuk berlindung, mencari makan, atau membesarkan diri. Kepiting bakau yang telah siap melakukan perkawinan akan beruaya dari perairan bakau ke tepi pantai dan selanjutnya ke tengah laut untuk

(10)

melakukan pemijahan. Kepiting jantan yang telah melakukan perkawinan akan kembali ke perairan hutan bakau atau paling jauh di sekitar perairan pantai yaitu pada bagian-bagian yang berlumpur dengan organisme makanan yang berlimpah. Telur kepiting yang telah dibuahi akan menetas menjadi zoea (Z I, II, III, IV, V), megalopa, kepiting muda, dan akhirnya menjadi kepiting dewasa. Kepiting muda akan kembali ke pantai atau kawasan bakau untuk mencari makan dan tempat berlindung yang aman.

2.1.4. Daur hidup kepiting bakau

Potensi reproduksi kepiting bakau sangat tinggi, menurut Arriola (1940) in Moosa et al. (1996) satu induk kepiting bakau dapat memijahkan telur dua juta telur. Daur hidup kepiting bakau dimulai dari telur hingga mencapai kepiting dewasa melalui beberapa tingkat perkembangan, antara lain tingkat zoea, tingkat megalopa, tingkat kepiting muda, dan tingkat kepiting dewasa (Gambar 5) (Ong Kah Sin 1964; Motoh et al. 1977 in Moosa et al. 1985). Sedangkan menurut Estampador (1949) in Moosa et al. (1985) perkembangan kepiting bakau terbagi ke dalam tiga tahap, yaitu tahap embrionik, tahap larva, dan tahap postlarvae.

Menurut Ong Kah Sin (1964); Motoh et al. (1977) in Moosa et al. (1985) dalam perkembangan dari tingkat zoea ke tingkat zoea selanjutnya memerlukan waktu 3-4 hari, dan untuk perkembangan tingkat zoea seluruhnya memerlukan waktu minimal 18 hari. Dalam perkembangan tingkat zoea menuju tingkat megalopa, terdapat lima kali pergantian kulit (moulting). Ukuran panjang tubuh dari setiap tingkatan dari setiap pergantian kulit (moulting) zoea ialah 1,15 mm (zoea tingkat 1); 1,51 mm (zoea tingkat 2); 1,93 mm (zoea tingkat 3); 2,40 mm (zoea tingkat 4), dan 3,45 mm (zoea tingkat 5). Selanjutnya dari tingkat megalopa ke tingkat kepiting muda (instar 1) memerlukan waktu 11-12 hari dengan salinitas 31 ± 2 ppt, sedangkan jika dilakukan pada salinitas 21-27 ppt akan diperlukan waktu 7-8 hari. Kepiting bakau hanya memiliki satu tingkat perkembangan megalopa dan kuran panjang karapas dan lebar karapas pada tingkat megalopa ialah 2,18 mm dan 1,52 mm.

Menurut Smit et al. (2004) in Butar-Butar (2006) waktu yang diperlukan kepiting dewasa yang siap memijah adalah antara 18 hingga 24 bulan, dimana

(11)

kepiting dewasa akan memijah pada bulan-bulan yang memiliki suhu perairan lebih hangat.

Gambar 5. Siklus hidup kepiting bakau (Scylla spp) (Smit et al. 2004 in Butar-Butar 2006).

2.1.5. Karakteristik lingkungan dan substrat terhadap kepiting bakau

Parameter fisika dan kimia adalah faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan kepiting bakau, diantaranya adalah salinitas, suhu, pH, kedalaman air saat pasang surut, serta substrat dasar. Kepiting bakau di alam menempati habitat yang berbeda-beda bergantung pada stadia daur hidupnya. Untuk mengetahui kekhususan habitat kepiting bakau diperlukan pengetahuan mengenai parameter fisika dan kimia di mana organisme ini berada (Mulya 2000).

Kasry (1996) menyatakan kisaran salinitas yang dapat ditolerir kepiting bakau cukup luas. Kepiting bakau dapat hidup pada kisaran salinitas yang lebih kecil dari 15‰ dan lebih besar dari 30‰. Hill (1978) in Mulya (2000) menyatakan bahwa S. serrata mampu mentolerir perairan dengan salinitas hingga 60‰. Keenan et al. (1998) in Le Vay (2001) menyatakan bahwa keempat spesies Scylla pada stadia larva atau juvenil memiliki toleransi yang berbeda-beda terhadap salinitas. Scylla serrata lebih dominan berada di perairan dengan salinitas 34‰ dan berada di daerah mangrove yang tergenang oleh air laut selama hampir sepanjang tahun sedangkan

(12)

spesies lainnya lebih banyak berada di perairan dengan salinitas 33‰ di daerah estuari yang tergenang air laut secara periodik.

Selanjutnya, suhu air mempengaruhi pertumbuhan (moulting), aktivitas dan nafsu makan kepiting bakau (Hill 1982 in Mulya 2000). Fieder dan Haesman (1978) in Siahainenia (2008) menyatakan bahwa perairan yang bersuhu tinggi cenderung akan meningkatkan pertumbuhan kepiting bakau sehingga waktu untuk mencapai dewasa menjadi singkat. Menurut Baliao (1983) in Siahainenia (2008) disamping kepadatan makanan, suhu perairan diduga berperan terhadap efisiensi pemanfaatan makanan dan peningkatan kelulushidupan larva kepiting bakau. Dinyatakan pula bahwa kepiting bakau akan tumbuh lebih cepat pada perairan dengan kisara suhu 23

o

C – 32 oC.

Wahyudi dan Ismail (1987) in Mulya (2000) menyatakan bahwa kepiting bakau dapat hidup pada kondisi perairan asam, yaitu pada daerah bersubstrat lumpur dengan pH rata-rata 6,5. Pendapat ini didukung oleh La Sara (1994) in Mulya (2000) yang menyatakan bahwa kepiting bakau dapat hidup pada kisaran pH 6,5-7,0. Kedalaman air berpengaruh bagi kehidupan kepiting bakau pada saat terjadi perkawinan. Kepiting bakau dapat hidup pada perairan yang dangkal. Wahyuni dan Ismail (1987) in Mulya (2000) berpendapat bahwa kepiting bakau dapat hidup pada kedalaman 30 cm – 79 cm di perairan dekat hutan mangrove dan pada kedalaman 30 cm – 125 cm di muara sungai. Kepiting bakau menuju perairan dangkal pada waktu siang hari (Hill 1980 in Mulya 2000).

Menurut Snedaker dan Getter (1985) in Siahainenia (2008) habitat kepiting bakau adalah perairan intertidal (dekat hutan mangrove) yang bersubstrat lumpur. Substrat di sekitar hutan mangrove sangat mendukung kehidupan kepiting bakau terutama dalam melangsungkan perkawinan.

2.2. Hutan Mangrove

2.2.1. Pengertian hutan mangrove

Kata mangrove merupakan perpaduan antara bahasa Portugis ”mangue” dan bahasa Inggris ”grove”. Dalam bahasa Inggris, kata mangrove dipergunakan baik untuk komunitas pohon-pohonan, rumput-rumputan, maupun semak belukar yang tumbuh di laut. Sedangkan dalam bahasa Portugis, kata mangrove dipergunakan

(13)

untuk individu-individu jenis mangrove tersebut (Macnae 1969 in Pramudji 2004). Hutan mangrove adalah suatu formasi hutan yang mampu tumbuh dan berkembang di daerah tropik dan subtropik pada lingkungan pesisir yang berkadar garam sangat ekstrim, jenuh air, serta kondisi tanah yang tidak stabil dan anaerob yang selalu dipengaruhi oleh pasang surut. Umumnya hutan mangrove tumbuh dan berkembang dengan baik pada kawasan pesisir di daerah yang terlindung dari hempasan ombak dan ditopang oleh adanya aliran sungai yang selalu membawa material, misalnya di daerah pesisir teluk, muara sungai, delta, dan estuari (Pramudji 2004).

2.2.2. Komposisi, fungsi, dan manfaat hutan mangrove

Komposisi flora yang terdapat pada ekosistem mangrove ditentukan oleh beberapa faktor penting, seperti kondisi jenis tanah dan genangan pasang-surut. Komunitas mangrove di Indonesia memiliki keragaman hayati tertinggi di dunia, dengan jumlah total kurang lebih 89 spesies yang terdiri atas 35 spesies tanaman, 9 spesies perdu, 9 spesies liana, 29 spesies epifit, dan 2 spesies parasit. Beberapa jenis yang umum dijumpai di wilayah pesisir Indonesia adalah: bakau (Rhizophora), api-api (Avicennia), pedada (Sonneratia), tanjang (Bruguiera), nyirih (Xyclocarpus), tengar (Ceriops), dan buta-buta (Exoecaria). Dikarenakan sifat lingkungan hutan mangrove yang keras, misalnya karena genangan pasang-surut air laut, perubahan salinitas yang besar, perairan berlumpur tebal dan anaerobik, maka pohon-pohon mangrove telah beradaptasi baik secara morfologi maupun fisiologi (Nontji 2007).

Mangrove umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang selalu dipengaruhi oleh air tawar serta terlindung dari hempasan ombak. Oleh karena itu, magrove banyak tumbuh di kawasan pesisir yang terlindung. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk mempertahankan eksistensinya mangrove memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan pesisir yang sangat ekstrim (Smith 1987 in Pramudji 2004). Kemampuan mangrove untuk beradaptasi terhadap lingkungan tersebut adalah adaptasi terhadap salinitas dan suhu udara yang tinggi dengan cara memiliki daun yang tebal, kuat, serta sel khusus untuk menyimpan garam; adaptasi terhadap kadar oksigen yang rendah dengan cara memiliki bentuk perakaran yang khas; serta adaptasi terhadap substrat (sedimen) dengan cara memiliki struktur

(14)

perakaran yang mampu menahan dan mengendapkan bahan organik (Pramudji 2004).

Besarnya daya adaptasi jenis tumbuhan mangrove terhadap kisaran salinitas mempengaruhi terjadinya pemintakatan atau zonasi pada kawasan hutan mangrove. Pembagian zonasi hutan mangrove berdasarkan perbedaan salinitas tersebut adalah sebagai berikut (Pramudji 2004):

a. Zona garis pantai, yaitu kawasan hutan mangrove yang berhadapan langsung dengan laut. Zona ini umumnya memiliki lebar sekitar 10-75 meter dari garis pantai. Jenis mangrove yang biasa ditemukan pada zonasi ini adalah Rhizophora stylosa, R. mucronata, Avicennia marina, dan Soneratia alba.

b. Zona tengah, yaitu kawasan hutan mangrove yang terletak di belakang zona garis pantai dan memiliki substrat berupa lumpur liat. Pada zona ini umumnya ditemukan jenis Rhizopora apiculata, Avicennia officinalis, Bruguiera cylindrica, B. gymnorrhiza, B. parviflora, B. sexangula, Ceriops tagal, Aegiceras corniculatum, Sonneratia caseolaris, dan Lumnitzera littorea.

c. Zona belakang, yaitu kawasan hutan mangrove yang berbatasan dengan hutan darat. Jenis mangrove yang tumbuh pada pada zona ini adalah Xylocarpus granatum, Excoecaria agalocha, Nypa fruticans, Derris trifolia, Osbornea octodonta, dan Heritiera littoralis.

Sedangkan pembagian zonasi hutan mangrove berdasarkan jenis vegetasi yang dominan mulai dari arah laut ke darat berturut-turut adalah zona Avicennia, zona Rhizophora, zona Bruguiera, dan zona Nypa (Arief 2003 in Pramudji 2004).

Menurut Pramudji (2004), hutan mangrove memiliki beberapa fungsi penting berdasarkan aspek ekologinya, yaitu:

a. Sebagai sumber nutrisi (nursery ground), karena didalamnya terjadi proses biologi yang dimanfaatkan oleh berbagai biota laut.

b. Sebagai tempat penghasil oksigen.

c. Sebagai tempat memijah (spawning ground), pembesaran, mencari makan (feeding ground) serta habitat dari berbagai biota laut, yaitu ikan, udang, kepiting, dan kerang-kerangan.

d. Sebagai tempat berlindung dan berkembangnya hewan-hewan darat, seperti burung, kelelawar, kera, buaya, biawak, dan ular.

(15)

e. Sebagai sumber plasma nutfah dan genetika.

f. Sebagai pelindung pantai dari abrasi, banjir, serta bencana gelombang pasang tsunami.

g. Membantu dalam perluasan tanah dengan membentuk teras-teras pantai di kawasan pesisir, karena akar mangrove mampu menahan sedimen yang terbawa aliran sungai.

h. Sebagai kawasan penyangga proses intrusi air laut ke daratan, serta mampu berperan sebagai filter untuk menyerap air limbah industri maupun air limbah rumah tangga.

Selain itu hutan mangrove juga memiliki manfaat yang sangat besar bagi masyarakat pesisir, manfaat tersebut antara lain adalah sebagai penyedia keperluan rumah tangga, misalnya: kayu bangunan, kayu, dan arang; sebagai area tambak udang dan ikan; sebagai bahan baku kertas, penyamak kulit, dan kayu lapis untuk industri; sebagai tempat penghasil benih ikan, udang, kepiting, dan kerang; serta sebagai kawasan ekowisata bagi masyarakat maupun sebagai tempat penelitan dan pendidikan (Pramudji 2004).

2.2.3. Sebaran hutan mangrove di Indonesia

Luas hutan mangrove di seluruh Indonesia diperkirakan sekitar 4,25 juta hektar atau 3,98% dari seluruh luas hutan Indonesia (Nontji 2007). Luas hutan mangrove di Indonesia pada tahun 1982 diperkirakan sekitar 4,25 juta hektar namun pada tahun 1993 atau dalam kurun waktu 11 tahun, luas hutan mangrove tersebut turun menjadi 2,49 juta hektar (Pramudji 2004). Area hutan mangrove yang luas antara lain terdapat di pesisir Sumatera sebesar 19,7% , pesisir Kalimantan sebesar 26,2%, dan pesisir selatan Papua sebesar 30% (Pramudji 2004; Nontji 2007). Pulau-pulau tersebut memiliki banyak aliran sungai besar dan panjang dengan tipe delta beragam sebagai akibat dari arus sungai yang membawa materi ke muara (Pramudji 2004). Sebaran dan luas hutan mangrove di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3.

(16)

Tabel 3. Luas hutan mangrove di Indonesia.

Provinsi Luas (ha)

Sumatera: Aceh 20.000 Sumatera Utara 30.750 Sumatera Barat 1.800 Riau 184.400 Jambi 4.050 Sumatera Selatan 231.025 Bengkulu <2.000 Lampung 11.000

Jawa dan Bali:

DKI Jakarta dan Jawa Barat <5.000

Jawa Tengah 13.577 Jawa Timur 500 Bali <500 Kalimantan: Kalimantan Barat 40.000 Kalimantan Tengah 20.000 Kalimantan Selatan 66.650 Kalimantan Timur 266.800 Nusa Tenggara: NTB 4.500 NTT 20.700 Sulawesi: Sulawesi Utara 4.833 Sulawesi Tengah 17.000 Sulawesi Tenggara 29.000 Sulawesi Selatan 34.000 Maluku: 100.000 Irian Jaya: 1.382.000 Indonesia: 2.490.085

Sumber: Parry (1996) in Pramudji (2004).

Akan tetapi, saat ini luas hutan mangrove di Indonesia telah mengalami penambahan, hal ini dikarenakan adanya penanaman kembali lahan mangrove di bekas tambak. FAO (2007) menyatakan luas hutan mangrove di Indonesia pada tahun 2005 mencapai 2.900.000 ha.

(17)

2 0 Ga m b a r 6 . P et a p e n y eb ar a n m a n g ro v e d i In d o n es ia ( w a rn a h ij au k eh it am an ) (R ee f at R is k 1 9 9 9 i n F is h e ri es B u si n n es C en te r 2 0 0 9 ).

(18)

2.2.4. Ketergantungan kepiting bakau pada ekosistem mangrove

Kepiting bakau menjalani sebagian besar daur hidupnya di ekosistem mangrove dan memanfaatkan ekosistem mangrove sebagai habitat alami utamanya, yakni sebagai tempat berlindung, mencari makan, dan pembesaran. Kepiting bakau melangsungkan perkawinan di perairan hutan mangrove dan secara berangsur-angsur sesuai dengan perkembangan telurnya, kepiting betina akan beruaya dari perairan hutan mangrove ke laut untuk memijah. Sedangkan kepiting bakau jantan akan tetap berada di perairan hutan mangrove untuk melanjutkan aktifitas hidupnya. Setelah memijah, kepiting bakau betina akan kembali ke hutan mangrove, demikian pula dengan dengan juvenil kepiting bakau yang akan bermigrasi ke hulu estuaria untuk kemudian berangsur-angsur memasuki hutan mangrove (Siahainenia 2008).

Ekosistem mangrove merupakan tempat ideal bagi kepiting bakau untuk berlindung. Kepiting muda yang berasal dari laut, banyak dijumpai di sekitar estuari dan hutan mangrove karena terbawa arus laut dan pasang sehingga akan menempel pada akar-akar mangrove untuk berlindung (Hutching & Saenger 1987 in Siahainenia 2008). Sedangkan kepiting bakau dewasa merupakan penghuni tetap hutan mangrove dan sering dijumpai membenamkan diri dalam substrat lumpur atau menggali lubang pada substrat lunak sebagai tempat persembunyian (Queensland Departement of Industries 1989 in Siahainenia 2008). Lebih lanjut dikemukakan oleh Pagcatipunan (1972) in Siahainenia (2008) yang menyatakan bahwa setelah berganti kulit (moulting), kepiting bakau akan melindungi dirinya dengan cara membenamkan diri atau bersembunyi di lubang hingga karapaksnya mengeras. Hutching & Saenger (1987) in Siahainenia (2008) menyatakan bahwa kepiting bakau hidup di perairan sekitar hutan mangrove dan memakan akar-akarnya (pneumatophore). Sementara Hill (1982) in Siahainenia (2008) menyatakan bahwa perairan di sekitar hutan mangrove sangat cocok untuk kehidupan kepiting bakau karena sumber makanannya seperti bentos dan serasah cukup tersedia.

2.3. Garis Wallace

Garis Wallace adalah sebuah garis hipotetis yang memisahkan wilayah geografi hewan Asia dan Australasia. Bagian barat dari garis ini berhubungan dengan spesies Asia sedangkan pada bagian timur berhubungan dengan spesies

(19)

Australia. Garis ini dinamakan atas nama Alfred Russel Wallace, yang menyadari perbedaan tersebut pada saat melakukan kunjungan ke Hindia Timur pada abad ke-19. Garis Wallace membentang melalui Kepulauan Melayu, antara Borneo (Kalimantan) dan Sulawesi serta antara Bali (sebelah barat) dan Lombok (sebelah timur). Keberadaan garis Wallace pun tercatat oleh Antonio Pigafetta dalam catatannya mengenai perbedaan biologis antara Filipina dan Kepulauan Maluku dan tercatat dalam perjalanan Ferdinand Magellan pada tahun 1521. Kemudian garis Wallace diperbaiki dan digeser ke Timur (daratan pulau Sulawesi) oleh Weber dan diberi nama garis Wallace-Weber. Batas penyebaran flora dan fauna Asia ini ditentukan secara berbeda-beda, berdasarkan tipe-tipe flora dan fauna (Wikipedia 2008).

Gambar 7. Garis Wallace (Southchinasea 2009).

2.4. Karakter Morfometrik dan Meristik serta Hubungan Kekerabatan

Afrianto et al. (1996) menyatakan bahwa morfometrik ialah ukuran dalam satuan panjang atau perbandingan ukuran bagian-bagian luar tubuh organisme, sedangkan meristik adalah sifat-sifat yang menunjukkan jumlah-jumlah bagian-bagian tubuh luar, seperti jumlah jari-jari sirip (pada ikan), yang digunakan untuk penentuan klasifikasi. Ukuran dalam morfometrik adalah jarak antara satu bagian ke

(20)

bagian tubuh lainnya dan biasanya dinyatakan dalam satuan milimeter atau centimeter.

Karakter morfometrik dapat memberikan informasi mengenai perbedaan antar spesies, termasuk variasi spesies Crustacea. Contohnya variasi interspesifik pada dua spesies Procambarus spp. (crayfish di Meksiko), yang kemudian diketahui merupakan dua spesies simpatrik (Allegrucci et al. 1992 in Overton et al. 1997); analisa multivariat kepiting bakau Scylla serrata yang berasal dari empat lokasi negara di Asia Tenggara, yang kemudian diketahui merupakan tiga grup yang berbeda berdasarkan karakter morfometrik dan meristiknya (Overton et al. 1997); pengklasifikasian tiga spesies kepiting bakau genus Scylla di Thailand dan Laut Andaman menggunakan analisis morfometrik, yang kemudian diketahui memiliki tiga spesies yang berbeda (Sangthong & Jondeung 2006).

Selain itu, analisis karakter morfometrik dan meristik pun dapat digunakan untuk mengetahui hubungan kekerabatan pada organisme lain, contohnya ikan dan udang Penaeus monodon (Imron 1998). Studi morfometrik secara kuantitatif memiliki tiga manfaat yaitu membedakan jenis kelamin dan spesies, mendeskripsikan pola-pola keragaman morfologis antar spesies, dan mengklasifikasikan serta menduga hubungan filogenik. Perbedaan morfologis antar populasi atau spesies biasanya digambarkan sebagai kontras dalam bentuk tubuh secara keseluruhan atau ciri-ciri anatomi tertentu. Hal yang sama dapat dilakukan pada ciri-ciri meristik. Terdapat perbedaan yang mendasar antara ciri morfometrik dan meristik, yaitu ciri meristik memiliki jumlah yang lebih stabil selama masa pertumbuhan, sedangkan ciri morfometrik berubah secara kontinu sejalan dengan ukuran dan umur (Strauss and Bond 1990 in Imron 1998).

Gambar

Gambar 1.  Perbandingan bentuk karapas (tampak dorsal dan ventral) serta cheliped  carpus pada ketiga spesies Scylla (jantan) (Fushimi &amp; Watanabe 2001)
Gambar 2.   Bagian-bagian tubuh kepiting tampak dorsal (FAO 1998).
Gambar 3.   Bagian-bagian tubuh kepiting tampak ventral (FAO 1998).
Tabel 1.  Karakteristik jenis kepiting bakau (Scylla spp) menurut Estampador.
+5

Referensi

Dokumen terkait

1 KELOMPOK NAMA SISWA Kekompakan Kelompok dalam presentasi Menghargai pendapat teman dalam Kelompok lain Menyampaikan hasildiskusi di

Tujuan penulisan skripsi yang pertama adalah untuk mengetahui pencapaian rasa keadilan fungsi dan tujuan visum et repertum dalam Putusan No.999/Pid.B/2004/PN.BB,

Pada bab ini akan diuraikan hasil penelitian yang diperoleh penulis dari penelitian yaitu mengenai ketentuan asuransi atas benda sebagai objek jaminan fidusia

Data terkait dengan variabel-variabel yang terdapat pada penelitian ini, yaitu kinerja jangka panjang, underwriter reputation, earnings management dan size atau ukuran

Faktor-faktor yang mempengaruhi luas kebakaran hutan dan hutan rawa gambut di Sumatera, Kalimantan, dan Papua adalah harga kayu bulat, harga ekspor CPO, el nino,

Praktek jual beli sistem online yang dilakukan mahasiswa Universitas Al Asyariah Mandar, Kabupaten Polewali Mandar, sudah sesuai dengan hukum Islam terlihat pada praktek

Saya mengesahkan bahawa satu Jawatankuasa Peperiksaan Tesis telah berjumpa pada untuk menjalankan peperiksaan akhir bagi Farah Hanan binti Aminallah bagi menilai tesis beliau

Sedangkan teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara purposive sampling (sample tujuan) artinya anggota sample yang dipilih secara khusus