• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN ENTREPRENEURIAL SELF EFFICACY PADA SISWA SMK NEGERI 2 SALATIGA DITINJAU DARI JENIS KELAMIN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERBEDAAN ENTREPRENEURIAL SELF EFFICACY PADA SISWA SMK NEGERI 2 SALATIGA DITINJAU DARI JENIS KELAMIN"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDAHULUAN

Setiap negara tanpa terkecuali Indonesia tidak terlepas dari persoalan pengangguran. Pertambahan angkatan kerja dari tahun ke tahun, tanpa diimbangi dengan jumlah lapangan kerja, menjadi penyebab utama semakin bertambahnya jumlah pengangguran (www.makassar.antaranews.com). Data survey keadaan ketenagakerjaan yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah angkatan kerja di Indonesia pada Februari 2012 mencapai 120,4 juta orang. Sedangkan tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan pada Februari 2012 mencapai 6,32 persen. Tingkat pengangguran terbuka untuk tingkat pendidikan Sekolah Dasar sebanyak 3,69 persen, Sekolah Menengah Pertama sebanyak 7,80 persen, Sekolah Menengah Atas sebanyak 10,34 persen, Sekolah Menengah Kejuruan sebanyak 9,51 persen, diploma I/II/III sebanyak 7,50 persen dan universitas sebanyak 6,95 persen (www.bps.go.id).

Dari data tersebut mengindikasikan bahwa biaya pendidikan yang begitu tinggi sejak dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi pada akhirnya hanya sebagai pemasok pengangguran terdidik. Penganggur-penganggur tersebut bukan

(2)

orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan, melainkan karena ingin menjadi pekerja, sementara kesempatan kerja terbatas (Saiman, 2009).

Salah satu jalan untuk mengatasi pengangguran di Indonesia adalah menciptakan lapangan pekerjaan baru. Menurut Alma (2001), semakin maju suatu negara semakin banyak orang terdidik dan banyak pula orang yang menganggur, maka semakin dirasakan pentingnya wirausaha. Pembangunan akan lebih berhasil jika ditunjang oleh wirausahawan yang dapat membuka lapangan kerja karena kemampuan pemerintah sangat terbatas.

Oleh sebab itu, wirausaha merupakan potensi pembangunan, baik dalam jumlah maupun dalam mutu wirausaha itu sendiri. Sekarang ini Indonesia sedang dihadapkan pada kenyataan bahwa jumlah wirausahawan Indonesia masih sangat sedikit. Menurut data Badan Pusat Statistik, jumlah pengusaha di Indonesia pada tahun 2012 sekitar 1,56 persen dari seluruh penduduk. Jumlah itu lebih rendah dibandingkan dengan jumlah wirausahawan di beberapa negara yang tingkat pertumbuhan ekonominya tinggi seperti Amerika Serikat yang merupakan negara maju, mencapai sekitar 12 persen dan jumlah wirausaha di Singapura juga tinggi, yaitu mencapai 7 persen (Sukandar, 2012).

Beberapa puluh tahun yang lalu ada pendapat yang mengatakan bahwa kewirausahaan tidak dapat diajarkan. Akan tetapi sekarang ini kewirausahaan merupakan mata pelajaran yang dapat diajarkan di sekolah menengah atas dan berbagai

(3)

perguruan tinggi, bahkan dijadikan sebagai kurikulum wajib (Saiman,2009).

Salah satu sekolah yang mendapatkan mata pelajaran kewirausahaan adalah Sekolah Menengah Kejuruan. Sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, pendidikan menengah kejuruan merupakan pendidikan pada jenjang pendidikan menengah yang mengutamakan pengembangan kemampuan peserta didik untuk dapat bekerja dalam bidang tertentu, kemampuan beradaptasi di lingkungan kerja, melihat peluang kerja, dan mengembangkan diri di kemudian hari. Dengan kata lain, SMK berperan dalam mempersiapkan peserta didik agar siap kerja, baik bekerja secara mandiri (berwirausaha) maupun mengisi lowongan pekerjaan yang ada (Depdikbud, 1993).

Kenyataan sering dijumpai saat ini banyak lulusan SMK yang lebih berorientasi pada pencari kerja dari pada membuka usaha sendiri. Ada beberapa hal yang menyebabkan siswa SMK yang tidak tertarik berwirausaha setelah lulus adalah karena tidak mau mengambil resiko, takut gagal, tidak memiliki modal dan lebih menyukai bekerja dengan orang lain. Alasan tersebut bertentangan dengan tujuan individu masuk sekolah kejuruan yang ingin cepat bekerja dan ingin membuka usaha sendiri. Lebih lanjut dijelaskan bahwa siswa tidak tertarik berwirausaha karena kurang memiliki motivasi dan tidak memiliki semangat serta keinginan untuk berusaha sendiri. Akibatnya individu berfikir bahwa berwirausaha merupakan sesuatu yang sulit untuk

(4)

dilakukan dan lebih senang untuk bekerja pada orang lain (Wijaya, 2007).

Persepsi tentang kelayakan sangat berkaitan dengan kemampuan diri seorang calon wirausaha. Kekuatan akan keyakinan dalam kemampuan seseorang untuk berhasil melakukan peran dan tugas seorang wirausaha disebut entrepreneurial self efficacy (Chen, Greene & Crick, 1998). Penelitian oleh Scherer, Brodzinski & Wiebe (1990) menemukan bahwa pria memiliki entrepreneurial self efficacy yang lebih tinggi dibandingkan wanita. Sedangkan penelitian oleh Zhao, Seibert dan Hills (2005) tidak mendukung temuan tersebut. Hasil dari penelitian Zhao, Seibert dan Hills menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam entrepreneurial self efficacy antara pria dan wanita. Sehingga peneliti merumuskan masalah yaitu adakah perbedaan entrepreneurial self efficacy pada siswa SMKN 2 Salatiga ditinjau dari jenis kelamin. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan entrepreneurial self efficacy pada siswa SMKN 2 Salatiga ditinjau dari jenis kelamin.

TINJAUAN PUSTAKA Entrepreneurial Self Efficacy

Entrepreneurial self efficacy berguna untuk mengukur kekuatan keyakinan individu bahwa ia mampu berhasil melaksanakan tugas dalam berwirausaha (Mueller,2007). Entrepreneurial self efficacy umumnya merupakan keyakinan

(5)

seseorang terhadap kemampuan mereka untuk mengambil tindakan kewirausahaan (DeNoble, Jung dan Ehrlich. 1999). Sedangkan Chen, Greene & Crick, (1998) mendefinisikan entrepreneurial self efficacy sebagai keyakinan yang kuat terhadap kemampuan seseorang untuk berhasil melakukan peran dan tugas seorang wirausaha.

Dari beberapa pengertian di atas dapat dirumuskan bahwa entrepreneurial self efficacy adalah keyakinan seseorang terhadap kemampuan mereka untuk mengambil tindakan kewirausahaan.

Komponen Entrepreneurial Self Efficacy

DeNoble, Jung dan Ehrlich pada tahun 1999 juga mengembangkan alat ukur entrepreneurial self efficacy. Dalam penelitiannya, DeNoble, Jung dan Ehrlich memasukkan enam komponen yang secara khusus terkait dengan persyaratan ketrampilan yang harus dimiliki seseorang untuk memulai suatu usaha. Komponen-komponen tersebut antara lain :

a. Developing new product or market opportunities

Mengembangkan produk baru atau peluang pasar, mencakup seperangkat ketrampilan yang berkaitan dengan penghargaan kesempatan. Ketrampilan ini akan sangat penting bagi seorang individu yang memperhatikan pencapaian sebuah usaha. Misalnya, orang yang percaya pada kemampuan mereka untuk memulai sebuah usaha, harus kreatif dalam melihat peluang untuk tetap bertahan atau tidak bertahan dalam perubahan pasar. Mereka percaya

(6)

bahwa produk atau peluang pasar yang mereka identifikasi dapat menjadi landasan yang kokoh untuk memulai suatu usaha.

b. Building an innovative environment

Membangun lingkungan yang inovatif mengacu pada kemampuan seseorang untuk mendorong orang lain mencoba ide baru, melakukan tindakan, dan bertanggung jawab pada hasil mereka sendiri, serta kemampuan seseorang untuk mendorong tindakan inovatif antara pekerja potensial. Tantangan dalam membangun lingkungan kerja yang dari awal dalam situasi usaha baru jauh berbeda dari seorang manajer yang berusaha menanamkan inovasi dalam pengaturan usaha yang sudah berdiri lama. Pada penelitian Chen, Greene & Crick(1998) komponen ini disebut sebagai pengambilan resiko dan inovasi.

c. Initiating investor relationships

Memulai hubungan dengan para penyedia modal, telah ditemukan untuk menjadi aktivitas yang penting untuk memperoleh dana yang cukup untuk membuka suatu usaha baru. Jenis kegiatan membuat jaringan dengan rekan usaha merupakan bagian integral dari apa yang seseorang harus lakukan untuk mewujudkan dan mempertahankan visi tersebut. Tuntutan mencari dan memelihara jaringan dengan rekan usaha ini sering kali diremehkan ketika memulai

(7)

suatu usaha, namun ketika proses usaha dimulai, kegiatan ini bisa sering kali memakan waktu paling banyak dan menuntut kegiatan yang memerlukan ketrampilan yang signifikan.

d. Defining core purpose

Mendefinisikan tujuan inti, berfungsi untuk memperjelas dan fokus seseorang pada visi penting bahwa usaha yang akan mereka jalankan perlu untuk menarik pekerja inti, pekerja, dan penyedia modal. Jika seseorang percaya bahwa ia tidak mampu menetapkan tujuan inti, tidak mungkin mereka akan merasa termotivasi untuk memulai suatu usaha. Fokus pada visi dan nilai-nilai dalam suatu usaha itu dilaporkan menjadi keterampilan kritis dengan pertumbuhan tinggi seseorang yang membuka usaha dalam penelitian yang dilakukan oleh Eggers (dalam DeNoble, Jung dan Ehrlich, 1999).

e. Coping with unexpected challenges

Menghadapi tantangan tak terduga, berkaitan dengan ambiguitas atau ketidakpastian yang meliputi kehidupan seorang dalam membuka suatu usaha. Jenis tantangan akan terjadi dengan umpan balik dari penyedia modal yang potensial, naik turunnya harga pasar, persyaratan untuk dana tunai, dan masalah serupa lainnya. Transisi dari kenyamanan suatu usaha yang ada ke dalam dunia penciptaan usaha membutuhkan seseorang untuk

(8)

mentoleransi kurangnya informasi, pesan yang ambigu, dan penolakan yang akan dihadapi dalam proses usaha.

f. Developing critical human resources

Pengembangan sumber daya manusia yang kritis, merupakan kemampuan seseorang untuk menarik dan mempertahankan pekerja-pekerja utama sebagai bagian dari usaha itu. Seorang individu yang memulai suatu usaha harus menyadari kebutuhan untuk melibatkan orang lain dalam proses penciptaan. Percaya bahwa seseorang memiliki kemampuan untuk menarik dan mempertahankan individu-indivdu berbakat merupakan komponen penting dalam kegiatan usaha. Komponen sumber daya manusia juga telah ditemukan untuk menjadi suatu keterampilan yang dilaporkan sendiri kritis terhadap pertumbuhan tinggi usaha di studi Eggers (dalam DeNoble, Jung dan Ehrlich, 1999).

Perbedaan Entreprenurial Self Efficacy ditinjau dari Jenis Kelamin.

SMK merupakan salah satu sekolah menengah di Indonesia yang mengutamakan kemampuan peserta didik untuk dapat bekerja dalam bidang tertentu, kemampuan beradaptasi di lingkungan kerja, melihat peluang kerja, dan mengembangkan diri di kemudian hari (Depdikbud, 1993). Setelah lulus, tamatan SMK dapat bekerja sebagai pegawai di berbagai bidang industri

(9)

ataupun dapat membuka usaha sendiri dengan menjadi wirausahawan.

Namun, kenyataan yang sering dijumpai saat ini banyak lulusan SMK yang lebih berorientasi pada pencari kerja dari pada membuka usaha sendiri. Wijaya (2007) menjelaskan bahwa beberapa hal yang menyebabkan siswa SMK tidak tertarik berwirausaha setelah lulus yaitu karena tidak mau mengambil resiko, takut gagal, tidak memiliki modal dan lebih menyukai bekerja dengan orang lain. Individu berfikir bahwa berwirausaha merupakan sesuatu yang sulit untuk dilakukan dan lebih senang untuk bekerja pada orang lain.

Entrepreneurial self efficacy dalam Chen, Greene & Crick (1998) didefinisikan sebagai kekuatan akan keyakinan dalam kemampuan seseorang untuk berhasil melakukan peran dan tugas seorang wirausaha. Persepsi tentang kelayakan sangat berkaitan dengan kemampuan diri seorang calon wirausaha. Beberapa teori kewirausahaan (entrepreneurship) yakin bahwa self efficacy memainkan peranan penting dan berpengaruh terhadap proses pengambilan keputusan untuk memulai suatu usaha baru (Mueller, 2007). Individu yang memiliki intensi untuk berwirausaha atau memilih untuk menjadi wirausaha, memiliki entrepreneurial self efficacy yang tinggi. Mereka yakin bahwa mereka dapat berhasil dalam bidang wirausaha. Siswa SMK yang memiliki entrepreneurial self efficacy yang tinggi setidaknya akan memiliki intensi untuk menjadi seorang wirausahawan.

(10)

Sebaliknya siswa yang memiliki entrepreneurial self efficacy yang rendah akan memiliki intensi yang rendah untuk membuka usaha sendiri (Zhao, Seibert dan Hills, 2005).

Penelitian Scherer, Brodzinski & Wiebe (1990) serta Chen, Greene & Crick (1998) menemukan bahwa ada perbedaan tingkat entrepreneurial self efficacy antara wanita dan pria. Pria memiliki entrepreneurial self efficacy yang lebih tinggi dibanding wanita. Peneliti beranggapan bahwa wanita memiliki social support yang kurang dibanding dengan pria. Bisa jadi siswa wanita dan siswa pria memiliki entrepreneurial self efficacy yang berbeda karena Support sosial yang diperoleh seseorang dapat mempengaruhi tingkat entrepreneurial self efficacy mereka. Zhao, Seibert dan Hills (2005) menemukan bahwa tingkat entrepreneurial self efficacy dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang salah satunya adalah social persuation. Social persuation dapat berupa social support dari orang-orang di sekeliling siswa terutama dari para pendidik dan orangtua. Jika siswa mendapat dukungan dan keyakinan dari orang-orang di sekitarnya bahwa dirinya mampu menjadi seorang wirausaha kemungkinan besar siswa akan memiliki entrepreneurial self efficacy yang tinggi.

Sejalan dengan penelitian di atas Mueller (2007) menyebutkan bahwa sosial budaya juga memengaruhi perbedaan entrepreneurial self efficacy antara wanita dan pria. Wanita dan pria secara historis diasumsikan memiliki peran yang berbeda di

(11)

masyarakat, dimana anak wanita dan pria memiliki perbedaan dalam aspirasi karir, termasuk keinginan untuk menjadi wirausahawan. Pada sistem sosial tradisional, karir menggunakan stereotip maskulin untuk pria dan feminin untuk wanita. Yang termasuk dalam stereotip sikap maskulin adalah ketegasan, daya saing, kemandirian, dan agresif. Sedangkan stereotip feminin meliputi penuh kasih sayang, tunduk, ketergantungan, menghormati, bekerjasama, merawat dan memelihara.

Dari berbagai uraian di atas kemungkinan terdapat perbedaan entrepreneurial self efficacy pada siswa wanita dan siswa pria.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah uji beda. Dalam penelitian ini terdapat satu variabel yaitu entrepreneurial self efficacy. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa-siswi SMKN 2 Salatiga Jurusan Teknik Komputer Jaringan dengan jumlah total 113 siswa. Peneliti memilih subjek siswa SMK N 2 Salatiga karena tamatan jurusan teknik komputer jaringan di SMK Negeri 2 Salatiga memiliki peluang yang besar untuk menjadi wirausahawan. Namun dari hasil penelusuran tamatan alumni SMKN 2 Salatiga jurusan teknik komputer jaringan pada tahun 2011/2012 hanya 9,8 persen yang membuka usaha sendiri. Selain itu jumlah siswa laki-laki dan siswa perempuan pada jurusan ini yang hampir seimbang dirasa tepat digunakan sebagai subjek penelitian.

(12)

Dalam penelitian ini teknik pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan sampling jenuh.

Tingkat entrepreneurialself efficacy di ukur dengan skala psikologis entrepreneurial self efficac. Skala entrepreneurial self efficacy yang digunakan dimodifikasi dari skala entrepreneurial self efficacy dari DeNoble, Jung dan Ehrlich (1999). Skala entrepreneurial self efficacy ini memiliki 42 item.

Hipotesis dalam penelitian ini adalah “ada perbedaan entrepreneurial self efficacy pada siswa SMKN 2 Salatiga ditinjau dari jenis kelamin”.

Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik uji beda Independent Sample T-test. Perhitungan dalam analisis ini dilakukan dengan menggunakan bantuan program komputer Statistical Product and Servise Solution (SPSS) version 17.0 for windows.

HASIL PENELITIAN Analisis Deskriptif

Dari hasil penelitian menunjukkan skor entrepreneurial self efficacy pada siswa laki-laki yang berada pada kategori sedang sebanyak 17 siswa, 38 siswa berada pada kategori tinggi, dan 8 siswa berada pada kategori sangat tinggi. Sedangkan skor entrepreneurial self efficacy pada siswa wanita yang berada pada kategori sedang sebanyak 24 siswa, 21 siswa berada pada

(13)

kategori tinggi, dan 5 siswa berada pada kategori sangat tinggi. Selain itu berdasarkan pengalaman berwirausaha menunjukkan bahwa dari 63 subjek laki-laki yang memiliki pengalaman berwirausaha ada 19 orang. Sedangkan ada subjek perempuan dari 50 subjek perempuan ada 7 orang yang memiliki pengalaman berwirausaha.

Hasil analisis data juga dapat diketahui kategori skor tiap aspek entrepreneurial self efficacy pada siswa laki-laki dan siswa perempuan. Entrepreneurial self efficacy memiliki enam aspek yaitu developing new product or market opportunities, building an innovative environment, initiating investor relationships, defining core purpose, coping with unexpected challenges, developing critical human resources. Data tiap aspek yang telah terkumpul diklasifikasikan ke dalam lima kategori, yaitu : sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah dan sangat rendah. Hasilnya aspek coping with unexpected challenges merupakan aspek yang memiliki skor terendah diantara kelima aspek lainnya. Sedangkan aspek developing new product or market opportunities mendapat urutan terendah setelah aspek coping with unexpected challenges. Selain kedua aspek tersebut juga terdapat aspek initiating investor relationships dan developing critical human resources yang memiliki skor rendah. Tabel skor keenam aspek entrepreneurial self efficacy pada siswa laki-laki dan siswa perempuan dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini.

(14)

Tabel 1

Kategori skor aspek entrepreneurial self efficacy

No. Aspek

Laki-laki Sangat

rendah

Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi 1 Developing new product or market opportunities - - 12 77 24 2 Building an innovative environment - - - 18 95 3 Initiating investor relationships - - 7 88 18 4 Defining core purpose - - 5 76 32 5 Coping with unexpected challenges - 1 22 75 15 6 Developing critical human resources - - 3 86 24 Uji Beda

Berdasarkan hasil perhitungan uji beda Independent Sample T-test diketahui nilai F (equal variances assumed) 0,685 dengan nilai signifikansi sebesar (Sig) 0,410 (p>0,05) berarti populasi dalam penelitian ini memiliki varians yang sama, sehingga uji t dibaca berdasarkan baris equal variances assumed dengan nilai t = 0,572 dengan nilai signifikansi 0,568 lebih besar dari 0,05 yang berarti tidak ada perbedaan Entrepreneurial Self Efficacy yang signifikan antara siswa laki-laki dan siswa perempuan.

(15)

PEMBAHASAN

Hasil analisa menunjukan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan tingkat entrepreneurial self efficacy pada siswa laki-laki dan siswa perempuan. Hasil penelitian ini didukung dengan penelitian Zhao, Seibert dan Hills (2005) yang menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan dalam entrepreneurial self efficacy antara pria dan wanita. Pada penelitian Zhao, Seibert dan Hills menggunakan sampel mahasiswa lulusan MBA yang selama 2 tahun terakhir mendapat pelatihan akademik dalam bidang bisnis. Menurut Zhao, Seibert dan Hills pengalaman belajar formal menghilangkan perbedaan entrepreneurial self efficacy pada laki-laki dan wanita yang ditemukan dalam studi sebelumnya dengan menggunakan sampel sarjana atau mahasiswa non-bisnis. Di sisi lain dapat dikatakan bahwa waktu telah berubah. Dalam masyarakat modern saat ini perbedaan antara laki-laki dan wanita sudah tidak eksis lagi.

Nampaknya hal tersebut juga terjadi di SMK Negeri 2 Salatiga dimana seluruh siswanya baik laki-laki maupun wanita sama-sama telah dibekali dengan pendidikan kewirausahaan sehingga entrepreneurial self efficacy antara siswa laki-laki dan siswa wanita tidak mengalami perbedaan.

Mata pelajaran kewirausahaan ini merupakan program akademik formal yang diberikan pada jenjang pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan. Mata pelajaran kewirausahaan memiliki dampak positif terhadap siswa untuk memulai sebuah

(16)

usaha wiraswasta (Saiman, 2009). Pembelajaran kewirausahaan dapat menghasilkan perilaku wirausaha dan jiwa kepemimpinan yang sangat terkait dengan cara mengelola usaha untuk membekali peserta didik agar dapat berusaha secara mandiri. Mata pelajaran kewirausahaan bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagi berikut yaitu ; memahami dunia usaha dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang terjadi di lingkungan masyarakat, berwirausaha dalam bidangnya, menerapkan perilaku kerja prestatif dalam kehidupannya, serta mengaktualisasikan sikap dan perilaku wirausaha.

Ruang lingkup mata pelajaran kewirausahaan di SMK meliputi aspek-aspek yaitu sikap dan perilaku wirausaha, kepemimpinan dan perilaku prestatif, solusi masalah, serta pembuatan keputusan. Standar kompetensi mata pelajaran pendidikan kewirausahaan di SMKN 2 Salatiga yaitu : mengidentifikasi sikap dan perilaku wirausaha, menunjukkan sikap pantang menyerah dan ulet, mengelola konflik, membangun visi dan misi usaha, menganalisis peluang usaha, menganalisis aspek-aspek perencanaan usaha, menyusun proposal usaha, mempersiapkan pendirian usaha, menganalisis resiko menjalankan usaha, menjalankan usaha kecil, serta mengevaluasi hasil usaha.

Para pendukung penyelenggara pendidikan kewirausahaan juga berpendapat bahwa pada usia sedini mungkin siswa harus diarahkan dan dipersiapkan untuk karier masa depan mereka

(17)

terutama sebagai remaja. Selain itu keinginan pertama untuk berwirausaha terbentuk pada tingkat sekolah menengah. Remaja pada usia ideal ini yang memperoleh pengetahuan tentang kewirausahaan memiliki entrepreneurial self efficacy yang tinggi dan mendorong sikap positif untuk menuju kewirausahaan (Wilson, Kickul, dan Marlino 2007).

Selain pendidikan kewirausahaan, SMKN 2 Salatiga juga memiliki unit produksi. Unit produksi “Karya ESEMKA” pada jurusan Teknik Jaringan Industri ini memproduksi perakitan laptop, pemasangan perangkat, merancang jaringan, memperbaiki jaringan, membuat server jaringan, membagi IP komputer, program game, karikatur animasi, editing foto, serta membuat program java. Secara tidak langsung baik siswa wanita maupun siswa laki-laki dapat belajar berwirausaha melalui unit produksi yang ada di sekolah. Para siswa diajarkan untuk menciptakan suatu produk atau jasa di bidang komputer serta bagaimana cara memasarkan produk atau jasa mereka.

Unit produksi sebagaimana yang dituangkan oleh Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan bahwa unit produksi di sekolah adalah : Suatu proses kegiatan usaha yang di lakukan di sekolah, bersifat bisnis (profit oriented) dengan para pelaku warga sekolah, mengoptimalkan sumber daya sekolah dan lingkungan, dalam berbagai bentuk unit usaha sesuai dengan kemampuan yang di kelola secara profesional. Unit Produksi berfungsi untuk memproduksi barang dan jasa dengan

(18)

memanfaatkan semua sumber daya yang ada di sekolah dan lingkungannya.

Melalui data yang telah diperoleh terdapat 26 subjek yang telah memiliki pengalaman berwirausaha. Pengalaman berwirausaha yang dialami pada setiap subjek tentunya berbeda-beda. Ketika subjek mengalami keberhasilan dalam pengalamannya berwirausaha maka dapat meningkatkan entrepreneurial self efficacy yang dimilikinya. Terlebih lagi jika keberhasilan tersebut didapat dengan melalui hambatan yang besar dan merupakan perjuangan sendiri, maka hal itu akan membawa pengaruh pada peningkatan entrepreneurial self efficacy seseorang. Akan tetapi jika subjek merasakan kegagalan dalam pengalamannya berwirausaha maka dapat menurunkan entrepreneurial self efficacy yang dimilikinya. Pengalaman berwirausaha merupakan sumber entrepreneurial self efficacy yang berupa enactive mastery experiences.

Menurut Zhao, Seibert dan Hills (2005) enactive mastery experiences merupakan informasi yang paling berpengaruh karena menyediakan bukti yang paling otentik berkenaan dengan kemampuan seseorang dalam melakukan tugas wirausaha. Hasil yang dicapai oleh seseorang dalam pengalamannya berwirausaha adalah informasi yang penting karena langsung berhubungan dengan pengalaman pribadi seseorang. pengalaman yang telah dilalui oleh seseorang yang dapat meningkatkan maupun menurunkan entrepreneurial self efficacy. pengalaman

(19)

keberhasilan yang sering didapatkan seseorang akan meningkatkan entrepreneurial self efficacy yang dimiliki seseorang sedangkan kegagalan akan menurunkan entrepreneurial self efficacy seseorang. Sebagai contoh, enactive mastery experiences dapat diperoleh siswa melalui kegiatan berwirausaha mandiri di luar tugas sekolah. Sedangkan di dalam sekolah enactive mastery experiences dapat diperoleh melalui latihan simulasi bisnis, studi kasus persaingan usaha, bahkan penyediaan modal usaha bagi siswa.

Selain dengan enactive mastery experiences, masih terdapat tiga sumber entrepreneurial self efficacy juga dapat mempengaruhi entrepreneurial self efficacy. Pertama adalah role modelling and vicarious experiences yaitu pengalaman keberhasilan orang lain yang memiliki kemiripan dengan individu dalam mengerjakan suatu tugas biasanya akan meningkatkan entrepreneurial self efficacy seseorang dalam mengerjakan tugas yang sama. Role modelling and vicarious experiences dapat diperoleh dengan mendatangkan tokoh wirausaha yang sukses sehingga siswa dapat belajar langsung dari pengalaman sang tokoh, atau juga dapat diperoleh dengan bekerja dengan seorang wirausaha dalam suatu proyek melalui program “magang”. Kedua social persuation yaitu nformasi tentang kemampuan yang disampaikan secara verbal oleh seseorang yang berpengaruh biasanya digunakan untuk meyakinkan seseorang bahwa ia cukup mampu melakukan suatu tugas. Pendidik dapat menggunakan

(20)

social persuation untuk meningkatkan entrepreneurial self efficacy siswa ketika sedang mengevaluasi siswa, atau ketika memberi mentoring siswa tentang tujuan karir mereka. Ketiga adalah physiological and emotional states dimana kecemasan dan stress yang terjadi dalam diri seseorang ketika melakukan tugas sering diartikan sebagai suatu kegagalan. Entrepreneurial self efficacy biasanya ditandai oleh rendahnya tingkat stress dan kecemasan, sebaliknya entrepreneurial self efficacy yang rendah ditandai oleh tingkat stress dan kecemasan yang tinggi pula. Strategi coping dapat membantu siswa untuk mempertahankan motivasi dan kontrol terhadap pekerjaan yang berhubungan dengan kecemasan yang menyebabkan harapan keberhasilan lebih tinggi.

Dari hasil pengukuran entrepreneurial self efficacy juga menunjukkan bahwa aspek coping with unexpected challenges memiliki skor yang paling bawah diantara ke lima aspek lainnya. Coping with unexpected challenges berkaitan dengan ambiguitas atau ketidakpastian yang meliputi kehidupan seseorang dalam membuka suatu usaha. Dapat dikatakan bahwa aspek coping with unexpected challenges merupakan keyakinan seseorang terhadap kemampuannya untuk menghadapi tantangan yang tak terduga dalam kehidupan berwirausaha. Nampaknya dalam hal ini baik siswa laki-laki maupun siswa perempuan kurang memiliki kepercayaan bahwa dirinya mampu untuk menghadapi tantangan dan ketidakpastian hidup dalam berwirausaha.

(21)

Sementara itu aspek developing new product or market opportunities memiliki skor terbawah kedua dari aspek coping with unexpected challenges. Aspek developing new product or market opportunities merupakan keyakinan seseorang terhadap kemampuannya dalam mengembangkan produk baru, menganalisis peluang pasar, serta ketrampilan dalam memanfaatkan kesempatan yang datang. Dalam hal ini baik siswa laki-laki maupun perempuan sama-sama merasa kurang memiliki kepercayaan akan kemampuannya dalam menganalisis peluang pasar, mengembangkan produk baru, serta ketrampilan memanfaatkan peluang yang datang.

Selain kedua aspek tersebut di atas juga terdapat aspek initiating investor relationship dan defining core purpose yang memiliki skor sedang. Initiating investor relationship merupakan keyakinan akan kemampuan dalam mengembangkan hubungan dengan para penyedia modal. Sedangkan defining core purpose merupakan keyakinan terhadap kemampuan dalam menetapkan tujuan inti serta fokus pada visi misi didirikannya sebuah usaha.

(22)

KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, data disimpulkan bahwa :

1. Tidak ada perbedaan yang signifikan entrepreneurial self efficacy antara siswa laki-laki dan siswa perempuan pada siswa SMKN 2 Salatiga.

2. Rerata siswa laki-laki dan rerata siswa wanita sama-sama berada pada kategori tinggi.

3. Aspek coping with unexpected challenges memiliki skor terendah.

Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan, maka penulis memberi saran sebagai berikut ;

1. Bagi siswa

Siswa yang memiliki tingkat entrepreneurial self efficacy yang sangat tinggi dapat dipertahankan. Sedangkan siswa yang memiliki entrepreneurial self efficacy yang masih sedang dapat ditingkatkan dengan lebih aktif dalam mengikuti kegiatan yang diadakan di sekolah yang dapat melatih jiwa kewirausahaan serta meningkatkan keyakinan diri bahwa dirinya mampu menghadapi berbagai tantangan dalam berwirausaha.

2. Bagi sekolah

Sekolah dapat lebih meningkatkan keyakinan diri siswa yang masih memiliki tingkat entrepreneurial self efficacy yang masih sedang dalam kaitannya dengan

(23)

kemampuannya menghadapi berbagai tantangan dalam berwirausaha yang dapat dilakukan melalui berbagai macam kegiatan seperti latihan berwirausaha, melakukan mentoring pada siswa dalam berwirausaha , memotivasi siswa, mendatangkan tokoh wirausahawan yang telah berhasil, hingga pemberian pinjaman modal usaha.

3. Penelitian selanjutnya

Bagi peneliti lain yang memiliki keinginan untuk melakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui perbedaan tingkat entrepreneurial self efficacy pada siswa sekolah, maka untuk penelitian selanjutnya dapat mengambil sampel dari sekolah-sekolah lain. Selanjutnya peneliti juga dapat mempertimbangkan untuk menggunakan faktor lain seperti desicion making, cognitive style, entrepreneurial education.

(24)

DAFTAR PUSTAKA

Alma, B. (2010). Kewirausahaan. Bandung: Alfabeta

Arikunto, S. (2002). Prosedur Penelitian. Suatu pendekatan Praktek. Edisi revisi V. Jakarta: Rineka Cipta.

Azwar, S. (1997). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajarakarta: Pustaka Belajar.

Azwar, S. (2003). Penyusunan Skala Psikologis. Yogyakarta: Pustaka Belajar

BPS. (2011). Berita Resmi Statistik. Available (online) http://www.bps.go.id/brs_file/naker_07mei12.pdf. Diunduh tanggal 4 September 2012

Chen, C. C., Greene, P. G., & Crick, A. (1998). Does entrepreneurial self-efficacy distinguish entrepreneurs from managers? Journal of Business Venturing, 13, 295–316.

Dagun, S.M. (1992). Maskulin dan feminin : perbedaan pria-wanita dalam fisiologi, psikologi, sexual, karier dan masa depan. Jakarta: Rineka Cipta

DeNoble, A., D. Jung, & S. Ehrlich. (1999). Entrepreneurial self efficacy: the development of a measure and its relationship to entrepreneurial action. In Frontiers of entrepreneurship research. Wellesey, MA: Babson College. Diunduh dari http://fusionmx.babson.edu/entrep/fer/papers99/I/I_C/IC%2 0Text.htm

Depdikbud, (1993). Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Jakarta: Depdikbud

(25)

Forbes, D. P. (2005). The effects of strategic decision making on entrepreneurial self efficacy. Journal of Entrepreneurship Theory and Practice, 599-626.

Hadi, S. (1991). Metodologi Research. Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Psikologi UGM

McGee, J., M. Peterson. (2009). "Entrepreneurial Self Efficacy: Refining the Measure. Journal of Entrepreneurship Theory and Practice 33 (4): 965-988.

Monks, F.J., Knoers, A.M.P., & Haditono, S.R. (1992). Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Mueller, S.L. (2007). Gender-role orientation as a determinant of entrepreneurial self efficacy. Journal of Development Entrepreneurship, Vol.13,No.1, 3-20.

Pihie, Z. A. L., & A. Bagheri (2010). Entrepreneurial attitude and entrepreneurial efficacy of technical secondary school students. Journal of Vocational Education and Training, Vol.62, No.3, September 2010, 351-366.

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. (2002). Kamus Besar Bahasa Inodesia. Jakarta : Balai Pustaka

Priyatno, D. (2010). Teknik Mudah dan Cepat Melakukan Analisis Data Penelitian. Yogyakarta: Gava Media

Saiman, L. (2009). Kewirausahaan. Jakarta: Salemba Empat.

Scherer, R. F., Brodzinski, J. D., & Wiebe, F. A. (1990). Entrepreneur career selection and gender: A socialization approach. Journal of Small Business Management, 28, 37– 44.

(26)

Sears, D. O dan Peplau, L. A. (1999). Psikologi Sosial: Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Seqiera, JM, JE McGee & SL Mueller (2005). Entrepreneurial Self-Efficacy: Refining the Measure. Journal of Entrepreneurship Theory and Practice, Baylor University.

Sugiyono. (2010). Statistik untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta

Sukandar, D. (2012). Menjadi Wirausahawan. Available (online) http://ekonomi.kompasiana.com/wirausaha/2012/08/20/men jadi-wirausahawan-dan-mendirikan-pt/. Diunduh tanggal 4 September 2012

Suriani. (2011). Mengubah Pengangguran Menjadi Potensi

Negara. Available (online)

http://makassar.antaranews.com/berita/27838/mengubah-pengangguran-jadi-potensi-negara). Diunduh tanggal 23 Desember 2011

Suryabrata, S. (2000). Metodologi Penelitian. Jakarta: PT.Raja Grafindo

Suryadi. (2006). Pengembangan Sistem dan Kurikulum Pendidikan Kejuruan. Available (online)http://sipil.upi.edu/direktori/Direktori/MATERI%2 0KULIAH/Dedi%20Suryadi%2C%20Drs.%20%2C%20M Pd./Artikel/Mkl-Semnasfptk06.pdf). Diunduh tanggal 18 februari 2012

Urban, B. (2006). Entrepreneurial self efficacy in a multicultural society: measures and etnich differences. Journal of industrial psychology 32, no.1:2-10

Wijaya, T. (2007). Hubungan adversity intelligence dengan intensi berwirausaha (studi empiris pada siswa SMKN 7 Yogyakarta) Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, vol.9, No.2, September 2007: 117-127.

(27)

Wilson, F., J. Kickul, & Marlino. D. (2007). Gender, entrepreneurial self efficacy, and entrepreneurial career intentions: Implications for entrepreneurship education. Journal of Entrepreneurship Theory and Practice 31, no.3: 387-401.

Zhao, H, SE Seibert & GE Hills (2005). The mediating role of self-efficacy in the development of entrepreneurial intentions. Journal of Applied Psychology, 90(6), 1265– 1272.

Referensi

Dokumen terkait

Ketidaktaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan sektor industri skala besar dalam pelaksanaan kewajiban pengelolaan lingkungan hidup disebabkan oleh komitmen

Expression of natural Cytotoxiicity receptors on peritoneal fluid natural killer cell and cytokine production by peritoneal fluid natural killer cell in women

Dengan adanya rukun dan syarat dalam dua akad tersebut maka praktek sale and lease back telah memenuhi hal tersebut baik secara tertulis maupun berupa praktek yang ada dalam

PENGUMUMAN HASIL PEMILIHAN LANGSUNG PENGADAAN BARANG /JASA PEKERJAAN KONSTRUKSI DINAS TATA RUANG DAN PERMUKIMAN KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN. NOMOR :

Alat bukti hak atas tanah dapat dilihat dari ketentuan Pasal 19 ayat (2) UUPA yang menyatakan bahwa “Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai

Nanopartikel kitosan dapat menurunkan kandungan Cd dalam medium cair dengan penambahan yang optimum sebesar 0,4 gr/50mL.Partikel tersebut juga menunjukkan penghambatan

Dalam penelitian ini akan dilakukan uji toksisitas akut dari ekstrak etanol herba putri malu dosis yang lebih tinggi yaitu hingga 5000 mg/kgBB dan akan pada

Thus, the presence of foreign firms in the Indonesian pharmaceutical industry generate higher technical efficiency change for domestic suppliers as these foreign firms tend to