• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGATURAN AMBANG BATAS FORMAL (FORMAL THRESHOLD) DALAM KONTEKS SISTEM PEMILIHAN UMUM YANG DEMOKRATIS DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGATURAN AMBANG BATAS FORMAL (FORMAL THRESHOLD) DALAM KONTEKS SISTEM PEMILIHAN UMUM YANG DEMOKRATIS DI INDONESIA"

Copied!
194
0
0

Teks penuh

(1)

AMBANG BATAS FORMAL (FORMAL THRESHOLD)

DALAM KONTEKS SISTEM PEMILIHAN UMUM

YANG DEMOKRATIS DI INDONESIA

I GUSTI NGURAH AGUNG SAYOGA RADITYA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2013

(2)

PENGATURAN

AMBANG BATAS FORMAL (FORMAL THRESHOLD)

DALAM KONTEKS SISTEM PEMILIHAN UMUM

YANG DEMOKRATIS DI INDONESIA

I GUSTI NGURAH AGUNG SAYOGA RADITYA NIM : 1190561045

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2013

(3)

ii

Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum Pada Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum

Program Pascasarjana Universitas Udayana

I GUSTI NGURAH AGUNG SAYOGA RADITYA NIM. 1190561045

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2013

(4)

iii

PADA TANGGAL ……….

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Ibrahim, R, SH., MH. Dr. I Dewa Gede Palguna, SH., MHum. NIP. 19551128 198303 1 003 NIP. 19611224 198803 1 001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana

Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana

Dr.Ni Ketut Supasti Dharmawan,SH, M.Hum, LL.M Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S(K) NIP. 19611101 198601 2 001 NIP. 19590215 198510 2 001

TTD TTD

(5)

iv

Panitia Penguji Tesis

Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana

Nomor : 1544/UN14.4/HK/2013 Tanggal : 1 Agustus 2013

Ketua : Prof. Dr. Ibrahim R, SH., MH.

Sekretaris : Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.Hum. Anggota : 1. Prof.Dr. I Made Pasek Diantha,SH.,MS.

2. Dr. I Gede Yusa, SH., MH.

(6)

v Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : I Gusti Ngurah Agung Sayoga Raditya

NIM : 1190561045

Tempat/Tanggal Lahir : Samarinda/12 Oktober 1990

Alamat : Jl. Kertanegara IX/4, Br. Anyar-Anyar, Ubung Kaja, Denpasar-Bali, 80116

Program Studi : Magister Ilmu Hukum (Hukum Pemerintahan)

Judul Tesis : Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam Konteks Sistem Pemilihan Umum Yang Demokratis di Indonesia

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas Plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti Plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia menerima sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mendiknas RI Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku

Denpasar, 21 Agustus 2013 Hormat saya,

(7)

vi

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, karena atas segala berkah dan anugrah-Nya, maka penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam Konteks Sistem Pemilihan Umum Yang Demokratis di Indonesia”.

Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih setulusnya atas semua bantuan, arahan, dan bimbingan kepada semua pihak: 1. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika Sp.PD KEMD, Rektor Universitas Udayana. 2. Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), Direktur Program Pascasarjana

Universitas Udayana.

3. Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H., M.H. Dekan Fakultas hukum Universitas Udayana.

4. Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.,M.Hum.LL.M, Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana

5. Prof. Dr. Ibrahim R, SH.,MH, Dosen Pembimbing I yang telah banyak membimbing dan memberi masukan yang membangun dalam penyusunan tesis ini.

6. Dr. I Dewa Gede Palguna,SH.,M.Hum, Dosen Pembimbing II yang penuh kesabaran dalam membimbing dan memberi masukan ilmu pengetahuan yang berguna bagi penulis sehingga tesis ini dapat terselesaikan.

(8)

vii

Dewa Gede Palguna, S.H., M.Hum selaku Sekretaris, Prof.Dr. I Made Pasek Diantha,SH.,MS., Dr. I Gede Yusa, SH., MH., dan Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa, S.H., M.H selaku Anggota, yang telah berkenan meluangkan waktunya untuk menguji, memberikan penilaian, dan masukan yang maksimal demi penyusunan tesis yang lebih baik.

8. Guru-Guru Besar dan segenap Dosen Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan wawasan selama perkuliahan dan mendukung penyusunan tesis ini.

9. Segenap Staf Administrasi Program Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana yang telah banyak membantu dalam kelancaran studi.

10. Keluarga penulis, Bapak I Gusti Ngurah Bagus Astawa, SH, Mamah Sri Sudarwati, dan Adik I Gusti Ayu Putri Astari Yogiswari yang tidak henti-hentinya memberikan penulis doa, semangat, dan cintanya selama penulisan tesis ini.

11. Keluarga Besar Universitas Mahendradatta yang telah memberikan dukungan dalam penyelesaian tesis ini.

12. Sahabat dari penulis, Agus Pradana, S.Si., Pande Tunik,S.Sn., Ngurah Yudi,SE., dan teman-teman dari SONE Bali, Zumi, S.Kom., Ferdy, Octa, Agus, Buchel, Kiki, Lukman, Bli Kadek, Anga, Yerdi.

13. Rekan-rekan kuliah pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana yang telah banyak membantu dalam penyelesaian penulisan tesis.

(9)

viii bagi seluruh umat manusia di dunia.

OM SANTI, SANTI, SANTI, OM

Denpasar, 21 Agustus 2013

(10)

ix

Tesis ini membahas tentang permasalahan pengaturan ambang batas formal dalam pemilihan umum dengan fokus pembahasan pada kerangka prinsip demokrasi konstitusional dan indikator yang dapat digunakan dalam legislasinya. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan analisis konseptual hukum, pendekatan sejarah, pendekatan perbandingan, dan pendekatan filsafat. Sementara teori yang digunakan untuk menganalisis permasalahan adalah teori negara hukum dan teori demokrasi

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengaturan ambang batas formal pemilihan umum memenuhi prinsip demokrasi konstitusional berdasarkan empat aspek : kewenangan legislasi yang dimiliki oleh DPR-RI; tujuan menstabilkan lembaga negara (legislatif dan eksekutif); tidak bertentangan dengan hak asasi manusia; konsistensi dalam putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang menguji konstitusionalitas materi ambang batas formal. Pengaturan ambang batas formal juga mencerminkan cita hukum bangsa Indonesia, terutama pada prinsip demokrasi permusyawaratan/perwakilan Indonesia. Perbandingan hukum dengan negara lain memperlihatkan bahwa pengaturan ambang batas formal tidak hanya mengatur perihal persentase, melainkan juga pengaturan yang bersifat mengurangi disproporsionalitas. Pengaturan yang lebih komprehensif terkait dengan hal tersebut perlu dilakukan ke depannya dalam undang-undang pemilihan umum Indonesia untuk menciptakan pengaturan yang berkeadilan dan pembentukan hukum yang berkelanjutan.

Kata Kunci : ambang batas formal, sistem pemilu, demokrasi konstitusional, pembentukan hukum yang berkelanjutan

(11)

x

normative legal research that uses statute, analytical and conceptual, historical, comparative, and philosophical approach. Meanwhile, the theories that be used to analyze the problem are Rule of Law Theory (Rechtstaat) and Theory of Democracy.

The result repeals that the formal threshold provision fulfils constitutional democratic principle based on four aspects : the legislation authority of DPR-RI ; the purpose to stabilizing the state institutions (legislative and executive); has no conflict to fundamental human rights; the consistency of ruling from of the Constitutional Court of The Republic of Indonesia that reviews formal threshold. Formal threshold also reflects the idea of the law of Indonesia, especially on Indonesian consensus/representative democracy principle. A legal comparison showed that the substance of formal threshold is not only about the percentages, but also the provision for reducing disproportionality. The provision of formal threshold should be more comprehensive in the future to ensure the legal justice and sustainable law making.

Key Words : formal threshold, electoral system, constitutional democracy, sustainable law-making

(12)

xi

Tesis ini diberi judul “Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal

Threshold) Dalam Konteks Sistem Pemilihan Umum Yang Demokratis di

Indonesia”. Adapun tesis ini disusun dalam lima bab dan menguraikan bagaimana pemenuhan prinsip demokrasi konstitusional dan indikator-indikator yang dapat digunakan dalam pengaturan ambang batas formal pemilihan umum sebagai bentuk reformasi perundang-undangan pemilu yang demokratis di Indonesia.

BAB I sebagai bab pendahuluan memuat latar belakang yang menjelaskan isu hukum yang diangkat sebagai permasalahan yakni adanya konflik norma, baik secara formil maupun materiil. Pengaturan ambang batas formal memiliki ketidaksinkronan dengan asas kejelasan tujuan sebagaimana yang menjadi syarat formil pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik (vide Pasal 5 huruf a UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan), yaitu perihal tujuan menciptakan sistem multipartai sederhana yang nantinya akan menghasilkan sistem pemerintahan presidensial. Dalam hal ini tujuan pengaturan ambang batas formal tidak jelas menjabarkan definisi sistem multipartai sederhana yang dimaksud serta relevansi antara sistem multipartai dan sistem presidensial. Kemudian secara materiil, konflik norma terjadi antara pengaturan ambang batas formal dengan peraturan perundang-undangan lain yang memberikan dasar perlindungan hak asasi manusia, khususnya perihal jaminan perlindungan atas suara sah dari pemilih. Selain itu perihal indikator yang tidak jelas dan kebutuhan untuk menciptakan desain hukum ambang batas formal yang baku menyebabkan permasalahan ini dianggap menarik dan penting untuk dikaji. Kemudian dalam Bab I juga menempatkan rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, orisinalitas penelitian, menjabarkan landasan teori sebagai sarana untuk menjawab permasalahan, serta menentukan metode penelitian yang digunakan dengan uraian berupa jenis penelitian, jenis pendekatan, sumber bahan hukum, teknik pengumpulan bahan hukum, dan teknik analisis bahan hukum.

BAB II menguraikan mengenai tinjauan umum berupa pemikiran tentang konsepsi demokrasi konstitusional sebagai uraian lebih lanjut perihal teori yang digunakan yakni teori negara hukum dan teori demokrasi. Selain itu dalam bab ini juga diuraikan tiga konsep dasar, yaitu sistem pemilihan umum (electoral system), lembaga perwakilan, dan partai politik, disertai dengan dasar hukum yang berlaku di Indonesia. Bab ini juga memberikan tinjauan umum perihal konsep dari ambang batas pemilu (electoral threshold).

BAB III membahas mengenai pemenuhan pengaturan ambang batas formal pemilihan umum terhadap prinsip demokrasi konstitusional yang dikaji dalam empat konsentrasi, yakni perihal legislasi dari ambang batas formal, upaya penataan lembaga negara dan hubungan antar lembaga negara, kesesuaian pengaturannya dengan norma hak asasi manusia, dan konsistensi pengujian undang-undang yang menguji ketentuan ambang batas formal pemilihan umum oleh Mahkamah Konstitusi.

(13)

xii

ketentuan-ketentuan yang berfungsi untuk mengurangi disproporsionalitas. Selain itu dibahas pula perihal konsep tujuan hukum (kepastian, keadilan, dan kemanfaatan) sebagai indikator pengaturan ambang batas formal yang berkelanjutan dengan dielaborasikan dengan prinsip justice as fairness dari John Rawls.

BAB V merupakan bagian penutup yang memberikan simpulan terhadap pembahasan permasalahan yang diuraikan. Selain itu pada Bab ini juga disampaikan yang menjadi saran-saran terkait dengan pembentukan hukum ambang batas formal pemilihan umum yang lebih komprehensif di masa mendatang.

(14)

xiii

Halaman Sampul Dalam ... i

Halaman Persyaratan Gelar Magister ... ii

Halaman Pengesahan Tesis ... iii

Halaman Penetapan Panitia Penguji Tesis ... iv

Surat Pernyataan Bebas Plagiat ... v

Halaman Ucapan Terima Kasih ... vi

Halaman Abstrak ... ix

Halaman Abstract ... x

Ringkasan ... xi

Halaman Daftar Isi ... xiii

Halaman Daftar Tabel ... xvii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 9

1.3. Ruang Lingkup Masalah ... 9

1.4. Tujuan Penelitian ... 10 1.4.1. Tujuan Umum ... 10 1.4.2. Tujuan Khusus ... 11 1.5. Manfaat Penelitian ... 11 1.5.1. Manfaat Teoritis ... 11 1.5.2. Manfaat Praktis ... 12

(15)

xiv

1.7.2. Teori Demokrasi ... 19

1.8. Metode Penelitian ... 23

1.8.1. Jenis Penelitian... 23

1.8.2. Jenis Pendekatan ... 24

1.8.3. Sumber Bahan Hukum ... 25

1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 27

1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum ... 28

BAB II DEMOKRASI KONSTITUSIONAL DAN PEMILIHAN UMUM ... 30

2.1. Konsepsi Demokrasi Konstitusional ... 30

2.2. Sistem Pemilihan Umum ... 36

2.2.1. Definisi Sistem Hukum ... 36

2.2.2. Pemilihan Umum ... 41

2.2.3. Jenis Sistem Pemilihan Umum ... 44

2.2.4. Sistem Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia ... 54

2.3. Lembaga Perwakilan ... 58

2.3.1. Klasifikasi Lembaga Perwakilan ... 62

2.3.2. Lembaga Perwakilan Indonesia ... 68

2.4. Partai Politik ... 72

(16)

xv

2.4.3. Sistem Partai Politik ... 76 2.4.4. Sistem Partai Politik Indonesia ... 78 2.5. Konsep Ambang Batas Pemilihan Umum (Electoral Threshold) ... 81

BAB III PENGATURAN AMBANG BATAS FORMAL DALAM SISTEM DEMOKRASI KONSTITUSIONAL INDONESIA ... 85

3.1. Pengaturan Ambang Batas Formal di Indonesia ... 85 3.2. Lembaga Negara dan Hubungan Antar Lembaga Negara Pasca

Pengaturan Ambang Batas Formal ... 96 3.2.1. Penataan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. ... 96 3.2.2. Relevansi Pengaturan Ambang Batas Formal Terhadap

Sistem Pemerintahan Presidensial Indonesia ... 108 3.3. Ambang Batas Formal Dalam Aspek Hak Politik ... 117

3.3.1. Pengaturan Hak-Hak Politik dan Konsekuensi Yuridis Ambang Batas Formal ... 118 3.3.2. Legitimasi Pembatasan Hak Politik Terhadap Ambang Batas

Formal ... 123 3.4. Konsistensi Pengujian Ambang Batas Formal ... 127

BAB IV INDIKATOR PENGATURAN AMBANG BATAS FORMAL

DALAM UNDANG-UNDANG PEMILIHAN UMUM

INDONESIA ... 136

4.1. Cita Hukum Indonesia Sebagai Indikator Fundamental Pengaturan Ambang Batas Formal ... 137

(17)

xvi

4.2.1. Jerman ... 145

4.2.2. Turki ... 147

4.2.3. Polandia ... 149

4.2.4. Denmark ... 151

4.3. Pemenuhan Tujuan Hukum sebagai Indikator Ambang Batas Formal yang Berkelanjutan ... 155

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 164

5.1. Simpulan ... 164

5.2. Saran ... 165

(18)

xvii

Tabel 3.1. : Perolehan Suara dan Persentase Suara Partai Politik Peserta Pemilu

2009 ... 97 Tabel 3.2. : Pengurangan Jumlah Suara Pemilihan Umum Dewan Perwakilan

(19)

1

1.1 Latar Belakang Masalah

Pasca berakhirnya rezim Orde Baru, undang-undang pemilihan umum mengalami regenerasi sebagai upaya pemulihan atas pengingkaran demokrasi yang terjadi selama masa tersebut. Demokratisasi yang diselenggarakan sejak tahun 1999 hingga sekarang menempatkan pengaturan ambang batas pemilu, atau lebih dikenal dengan istilah electoral threshold, dalam penyelenggaraan pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai bagian reformasi perundang-undangan pemilihan umum.

Ambang batas pemilu atau electoral threshold adalah pengaturan tingkat minimal dukungan, baik dalam bentuk jumlah perolehan suara (ballot) atau jumlah perolehan kursi (seat), yang harus diperoleh partai politik peserta pemilu agar dapat menempatkan perwakilannya dalam lembaga perwakilan.1 Ambang batas yang diatur secara formal (formal threshold) diperlihatkan dengan adanya pencantuman sejumlah persentase tertentu secara langsung dan tegas dipaksakan.2 Adapun bentuk pengaturan ambang batas formal diwujudkan dalam Pasal 208 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU No. 8 Tahun 2012) yang mengatur bahwa “Partai

1 Sigit Pamungkas, 2009, Perihal Pemilu, Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, Yogyakarta, hal 19.

2 Kacung Marijan, 2010. Sistem Politik Indonesia, Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru. Kencana, Jakarta, hal. 72.

(20)

Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.” Persentase ambang batas tersebut menjadi syarat yang harus dipenuhi dalam penentuan representasi perwakilan pada suatu penyelenggaraan pemilu di era reformasi.

Pembatasan keterwakilan jumlah partai politik secara yuridis di dalam lembaga perwakilan melalui ambang batas formal menjadi salah satu konsentrasi pembangunan hukum pada masa reformasi dalam rangka visualisasi demokrasi yang lebih baik. Demokratisasi pemilihan umum pada hakikatnya menempatkan keberadaan partai politik sebagai salah satu pilar penting bagi suatu negara modern, terlebih pada negara dengan masyarakat yang majemuk (plural society).3 Namun seiring dengan pembelajaran proses berdemokrasi, timbul satu pemahaman bahwa sistem multipartai yang diterapkan dalam penyelenggaraan pemilihan umum dianggap menjadi salah satu kesalahan yang paling mendasar. Dewan Perwakilan Rakyat yang diisi dengan kepartaian majemuk dipersepsikan tidak dapat memaksimalkan fungsi eksekutif dan menjaga kestabilan sistem presidensial, terutama dalam hal konsensus pengambilan kebijakan.4 Dalam upaya menyikapi hal tersebut, arah pembentukan undang-undang terkait dengan sistem kepartaian diupayakan mampu menyeimbangkan antara unsur kemajemukan

3 ibid. hal. 59-61.

4 Radiman Salman, 2010, “Partai Politik dan Pemilu : Penyederhanaan dan Pembaharuan Parpol”, dalam Konstitusionalisme Demokrasi - Sebuah Diskursus tentang Pemilu, Otonomi

Daerah dan Mahkamah Konstitusi Sebagai Kado Untuk ―Sang Penggembala‖ Prof. A. Mukthie Fadjar, SH., MS. (Disunting oleh Sirajjudin et.al), In – Trans Publishing, Malang, hal.143.

(21)

partai politik dan stabilitas pemerintahan melalui pengaturan ambang batas formal pemilihan umum.

Mekanisme konversi jumlah perolehan suara menjadi kursi mengalami regenerasi yang tidak sederhana, terutama sejak diberlakukannya persentase ambang batas formal yang dianggap memiliki tingkat kompleksitas tinggi dalam perancangan undang-undang pemilihan umum. Persentase ambang batas formal sebesar 3,5% sebagaimana diatur dalam Pasal 208 UU No. 8 Tahun 2012 diberlakukan dalam penyelenggaraan pemilu sebagai upaya memperkuat lembaga perwakilan rakyat melalui langkah mewujudkan sistem multipartai sederhana, yang selanjutnya akan menguatkan sistem pemerintahan presidensial.5 Upaya penciptaan sistem multipartai sederhana tersebut seakan bertentangan dengan Pasal 5 huruf a UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang menentukan bahwa dalam hal pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik wajib memenuhi salah satu asas formal, yaitu asas kejelasan tujuan.6 Pengaturan ambang batas formal tidak menentukan batasan tujuan yang ingin dicapai secara jelas perihal sistem multipartai seperti apakah yang dimaksud dengan sederhana serta bagaimana relevansinya dengan sistem pemerintahan presidensial secara nyata dengan adanya pengaturan tersebut. Hal ini menimbulkan implikasi sumirnya tujuan pembentukan perundang-undangan yang baik dalam pengaturan ambang batas formal.

5 Lihat Penjelasan Umum UU No. 8 Tahun 2012.

6 Bahwa yang dimaksud dengan “asas kejelasan tujuan” berdasarkan Pasal 5 huruf a UU No. 12 Tahun 2011 adalah setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.

(22)

Penyelenggaraan pemilu yang demokratis juga wajib menempatkan perlindungan hak asasi manusia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dan dijamin keberadaannya secara tegas di dalam kerangka hukum. Fenomena pelaksanaan demokrasi yang tidak demokratis di era Orde Baru memberikan andil terjadinya perubahan substansil yang menghasilkan jaminan perlindungan hak asasi manusia secara konstitusional berdasarkan Pasal 28A-28J Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta dibentuknya dua perundang-undangan organis, yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan

International Covenant on Civil and Political Rights.7 Pengaturan ambang batas formal turut memperlihatkan adanya suatu problematik berupa konflik norma (conflict of norm), terutama dengan peraturan perundang-undangan yang memberikan jaminan perlindungan hak hukum, baik bagi warga negara dan partai politik.

Pengaturan ambang batas formal menimbulkan konsekuensi yuridis terjadinya penyederhanaan sistem kepartaian (sistem multipartai sederhana) dengan hilangnya sejumlah suara pada partai politik tertentu yang tidak memenuhi persentase yang ditentukan.8 Konsekuensi hilangnya suara tersebut menjadi bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 3 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 yang memberikan jaminan perlindungan dan kepastian

7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil

and Political Rights merupakan hasil ratifikasi dari The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB tertanggal 16

Desember 1966.

(23)

hukum, termasuk dalam hal ini perlindungan akan suara-suara pemilih yang diberikan secara sah kepada partai politik peserta pemilu.9 Hal tersebut juga sejalan dengan konsideran menimbang UU No. 8 Tahun 2012 yang mengamanatkan bahwa pemilihan umum wajib menjamin tersalurkannya suara rakyat secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Adanya suara yang hilang dengan diaturnya ambang batas formal menimbulkan inkonsistensi perihal bagaimana menterjemahkan jaminan perlindungan suara rakyat dalam sistem pemilu langsung yang demokratis sesuai dengan kerangka ketatanegaraan Indonesia. Pertentangan norma, baik dengan peraturan perundang-undangan lain maupun dengan konsideran UU No. 8 Tahun 2012 sebagai dasar validitas, menjadikan pengaturan ambang batas formal menarik untuk dikaji secara holistik di dalam kerangka hukum dan demokrasi bangsa Indonesia.

Keberadaan ambang batas formal rentan mengalami resistensi dari warga negara, terutama pihak yang merasa hak konstitusionalnya dilanggar. Fenomena hukum tersebut setidaknya diperlihatkan dengan tingginya intensitas pengujian konstitusionalitas materi undang-undang pemilu kepada Mahkamah Konstitusi berkenaan dengan substansi ambang batas formal pemilihan umum. Meskipun Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusannya menegaskan konstitusionalitas ambang batas dalam pemilihan umum (tanpa atau dengan disertai dissenting

9 Rumusan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 mengatur bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Sementara rumusan Pasal 3 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 mengatur bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.

(24)

opinion10), penulis menganggap pengaturan ambang batas formal ini masih menyisakan sejumlah permasalahan yang elementer sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, yaitu terkait dengan bagaimana legitimasi penghilangan suara pemilih dan tujuan penciptaan sistem multipartai sederhana yang riil.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 menegaskan justifikasi pengaturan ambang batas formal dalam UU No. 8 Tahun 2012 sebagai

legal policy (politik hukum) dari pembentuk undang-undang yang tidak dapat

diganggu gugat oleh Mahkamah Konstitusi sepanjang sejalan dengan prinsip-prinsip hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas.11 Justifikasi tersebut menurut penulis masih menyisakan permasalahan perihal seperti apakah penormaan persentase ambang batas formal yang dikatakan tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas sehingga Mahkamah Konstitusi tidak dapat menggangu gugatnya. Tolak ukur legitimasi ambang batas formal yang tidak bertentangan dengan ketiga aspek tersebut menjadi wajib untuk

10 Perbedaan pendapat atau dissenting opinion terjadi dalam dua putusan Mahkamah Konstitusi yang menguji substansi ambang batas formal dalam undang-undang pemilu, yakni Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VII/2009 perihal pengajuan ambang batas formal dalam dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD, serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 tentang pengujian ketentuan ambang batas formal dalam UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD.

11 Lihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012, hal. 79. Mahkamah Konstitusi memaparkan ratio decidendi ”...bahwa dengan demikian dapat disimpulkan bahwa lembaga legislatif dapat menentukan ambang batas sebagai legal policy bagi eksistensi Partai Politik baik berbentuk ET maupun PT. kebijakan seperti ini diperbolehkan oleh konstitusi sebagai politik penyederhanaan kepartaian karena pada hakikatnya adanya Undang-Undang tentang Sistem Kepartaian atau Undang-Undang Politik yang terkait memang dimaksudkan untuk membuat pembatasan-pembatasan sebatas yang dibenarkan oleh konstitusi. Mengenai berapa besarnya angka ambang batas adalah menjadi kewenangan pembentuk Undang-Undang untuk menentukannya tanpa boleh dicampuri oleh Mahkamah selama tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat dan rasionalitas…”

(25)

dijabarkan sebagai upaya menjaga prinsip-prinsip demokrasi yang konsisten dan konstitusionalitas pengaturannya.

Segenap permasalahan dan pertentangan norma tersebut pada akhirnya bermuara pada titik ketidakjelasan parameter hukum yang digunakan dalam menentukan pengaturan persentase ambang batas formal. Setidaknya terdapat tiga hal yang menjadi pertanyaan dasar, yakni berapa persen angka ambang batas yang akan diterapkan; bagaimana cara menentukannya; atau apakah peningkatan persentase sesungguhnya diperlukan atau tidak dalam setiap penyelenggaraan pemilihan umum? Penentuan persentase ambang batas yang terkesan rumit menjadi permasalahan yang sering mengakibatkan berlarutnya pembahasan undang-undang pemilu. Setidaknya kerumitan tersebut tampak secara nyata dari adanya diferensiasi pandangan antar fraksi-fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat dalam menentukan jumlah persentase ambang batas serta perihal ruang lingkup keberlakuannya.12 Keadaan tersebut memperlihatkan bahwa penormaan ambang batas formal seakan tidak memiliki indikator-indikator yang jelas, sehingga rentan mengandung unsur-unsur yang dapat menyebabkan pertentangan dengan norma-norma lainnya.

12 9 Fraksi di DPR Gagal Sepakati RUU Pemilu,

http://news.detik.com/read/2012/04/10/221504/1889323/10/9-fraksi-di-dpr-gagal-sepakati-ruu-pemilu, diakses tanggal 17 Oktober 2012 dan Ambang 3,5% Hanya untuk DPR - Meski tak raih

suara nasional 3,5 persen, partai yang berjaya di daerah tetap bisa di DPRD

http://politik.news.viva.co.id/news/read/303842-ambang-3-5--hanya-untuk-dpr, diakses tanggal tanggal 17 Oktober 2012. Lihat pula Pertimbangan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012, hal. 98-99 yang membatalkan ketentuan ambang batas formal di daerah untuk penentuan DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

(26)

Indikator-indikator secara teoritis hukum di dalam penciptaan suatu norma merupakan aspek yang wajib untuk dicermati oleh para yuris, termasuk dalam hal menentukan ambang batas formal guna melimitasi jumlah partai politik di Dewan Perwakilan Rakyat. Mahkamah Konstitusi sendiri di dalam putusannya menyadari bahwa perancangan perundangan-undangan pemilihan umum seakan tidak memiliki konsep yang jelas perihal bagaimana desain pemilihan umum Indonesia yang demokratis, sehingga kenyataan hukum yang terjadi adalah berkembanganya paradigma kebiasaan melakukan perubahan maupun pergantian undang-undang pemilu menjelang penyelenggaraannya.13 Penciptaan suatu norma hukum yang tidak jelas indikatornya rentan melanggar hak asasi manusia serta bertentangan dengan konstitusi dan norma-norma hukum lainnya. Oleh karena itu, kejelasan dasar pemberlakuan ambang batas formal perolehan suara dalam penyelenggaraan pemilihan umum dan parameter hukum dalam menentukan persentase yang akan diterapkan menjadi penting untuk dikaji secara teoritis.

Pengaturan ambang batas formal memberikan pengaruh signifikan dalam upaya penciptaan sistem pemilihan umum yang memenuhi nilai-nilai demokrasi bangsa Indonesia. Pengaturan ambang batas formal secara faktual masih menyisakan sejumlah permasalahan demokrasi yang mendasar, walaupun Mahkamah Konstitusi telah memberikan putusan berkekuatan hukum tetap terhadap pasal yang digugat. Adanya pertentangan dengan norma-norma hak politik, kejelasan tujuan penormaan, bagaimana menentukan persentase, serta konsekuensi-konsekuensi yuridis lain yang timbul secara sistemis menjadi hal

(27)

yang penting untuk dibahas dalam kerangka teori-teori hukum dalam rangka menegakkan supremasi negara hukum dan demokrasi Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, maka penulis berpendapat merupakan hal yang menarik dan urgen untuk mengkaji pengaturan ambang batas formal secara teoritis hukum.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana yang telah diuraikan tersebut, maka rumusan masalah yang dapat disusun adalah sebagai berikut :

(1) Apakah pengaturan ambang batas formal tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi konstitusional Indonesia?

(2) Apakah indikator yang dapat digunakan dalam pengaturan ambang batas formal pada undang-undang pemilu di Indonesia?

1.3. Ruang lingkup Masalah

Agar tetap fokus dengan rumusan masalah, maka perlu ditentukan batasan-batasan yang menjadi ruang lingkup permasalahan di dalam penelitian ini. Lingkup permasalahan pertama adalah perihal kajian pengaturan ambang batas formal dalam perspektif prinsip-prinsip demokrasi konstitusional dengan fokus pada analisis ketentuan-ketentuan tertentu dalam UUD 1945, penataan lembaga dan hubungan antar lembaga negara, serta elaborasi prinsip dan peraturan tentang hak asasi politik. Selain itu, kajian Putusan Mahkamah Konstitusi yang menguji ambang batas formal juga termasuk dalam lingkup bahasan ini, terutama dari aspek konsistensi pertimbangan hukumnya.

(28)

Lingkup permasalahan kedua akan dibahas mengenai dasar pemberlakuan dan indikator yang dapat digunakan sebagai justifikasi dalam menentukan pengaturan dan persentase ambang batas formal yang ideal dalam pembangunan sistem pemilihan umum di Indonesia. Kajian dasar pemberlakuan berada pada lingkup aspek cita hukum Indonesia dengan menekankan pada aspek nilai demokrasi dan keadilan sosial. Sementara bahasan indikator ambang batas formal difokuskan pada aspek tujuan hukum (kepastian, keadilan, dan utilitas hukum) serta perbandingan dengan peraturan-peraturan hukum negara lain.

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum

Tujuan umum disusunnya penelitian ini adalah dalam rangka memberikan sumbangsih pemikiran teoritis perihal pengaturan ambang batas formal sebagai politik hukum pembatasan keterwakilan partai politik dalam kelembagaan DPR-RI. Penelitian ditujukan untuk memberikan pemahaman mengenai pengaturan ambang batas formal dalam perspektif teori hukum sebagai upaya penguatan perancangan perundang-undangan pemilihan umum. Selain itu, penelitian hukum ini juga dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji secara komprehensif perihal harmonisasi konseptual demokrasi konstitusional dalam pembangunan sistem pemilihan umum Indonesia.

(29)

1.4.2. Tujuan Khusus

Secara khusus, penelitian ini bertujuan sebagai berikut :

a. Dari aspek akademis, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui justifikasi pembatasan keterwakilan partai politik pada kelembagaan DPR-RI dengan diaturnya ambang batas formal dalam perundang-undangan pemilihan umum berdasarkan kerangka demokrasi konstitusional Indonesia.

b. Dari aspek praktis, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dasar keberlakuan dan indikator secara teoritis hukum yang dapat digunakan dalam merumuskan undang-undang pemilihan umum, khususnya substansi ambang batas formal, dalam rangka penguatan sistem pemilihan umum di Indonesia.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1. Manfaat Teoritis

Penelitian hukum ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa kontribusi pemikiran bagi pengaturan tentang pemilihan umum, terutama terkait dengan pengaturan ambang batas formal dalam konsepsi demokrasi Indonesia. Hasil dari penelitian ini diharapkan pula dapat digunakan sebagai referensi bagi peneliti-peneliti hukum (legal researcher) berikutnya dan bagi segenap civitas akademika Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana untuk lebih mendalami perihal pengaturan ambang batas formal, serta pengembangan ilmu hukum pada umumnya.

(30)

1.5.2. Manfaat Praktis

Adapun secara praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai referensi teoritis hukum bagi perancang perundang-undangan (legislative drafter) dalam membentuk perundangan-undangan pemilu berikutnya, terutama terkait penentuan substansi ambang batas formal yang ideal. Bagi organisasi atau lembaga partai politik, penelitian hukum ini diharapkan dapat menjadi bahan teoritis dalam mengontrol kebijakan hukum ambang batas formal yang diatur oleh pembentuk undang-undang di Indonesia. Sementara bagi masyarakat umum, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam membuka pemahaman konsepsi demokrasi Indonesia dan relevansi pengaturan ambang batas formal di Indonesia.

1.6 Orisinalitas Penelitian

Penelitian hukum ini merupakan hasil dari gagasan dan pemikian murni penulis dengan berdasar pada sudut pandang hukum bahwa pengaturan ambang batas formal di Indonesia menjadi salah satu permasalahan yang aktual. Dalam penelitian hukum ini, penulis bekerja secara mandiri dengan menggunakan bahan hukum yang dikumpulkan untuk dianalisis, baik berdasarkan peraturan perundangan maupun literatur hukum.

Berdasarkan pra-penelitian yang telah dilakukan, sepanjang pengetahuan penulis tidak terdapat penulisan tesis atau karya ilmiah komprehensif lainnya yang memiliki topik serta bahasan serupa mengenai ambang batas formal. Namun dalam hal ini terdapat beberapa tesis yang memiliki ruang lingkup bahasan identik dengan topik yang diangkat oleh penulis, yaitu sebagai berikut :

(31)

(1) Tesis “Politik Hukum Sistem Pemilihan Umum Di Indonesia Pada Era Reformasi” oleh Muhammad Aziz Hakim, dari Fakultas Hukum Program Pasca Studi Hukum Tata Negara, Universitas Indonesia, pada tahun 2012. (2) Tesis “Pengaruh Konstelasi Politik Terhadap Sistem Presidensial

Indonesia” oleh M. Ilham Habibie, dari Program Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, pada tahun 2009.

Perihal tesis pertama dengan judul “Politik Hukum Sistem Pemilihan Umum Di Indonesia Pada Era Reformasi”, Muhammad Aziz Hakim mengkaji konfigurasi politik dan implementasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Pemilihan Umum pada era reformasi. Adapun Muhamad Azis Hakim menggunakan metode penelitian normatif sekaligus metode penelitian empiris dalam penelitiannya dengan mayoritas substansi membahas bagaimana politik hukum dari perundang-undangan pemilu pada masa reformasi serta pelaksanaannya, terutama pada fokus isu-isu yang mengandung hal kontroversi.14

Kemudian untuk tesis kedua dengan judul “Pengaruh Konstelasi Politik Terhadap Sistem Presidensial Indonesia”, M. Ilham Habibie mengkaji hubungan konstelasi politik di DPR-RI terhadap sistem Presidensial Indonesia dengan terfokus pada masa pemerintahan tahun 2004-2009. Pembahasan juga dilakukan terhadap pengaruh pasal-pasal dalam UUD 1945 yang berperan dalam mempengaruhi sistem presidensial Indonesia. M. Ilham Habibie juga mengkaji

14 Muhammad Aziz Hakim, 2012, Politik Hukum Sistem Pemilihan Umum Di Indonesia Pada

Era Reformasi, Tesis, Fakultas Hukum Program Pasca Studi Hukum Tata Negara, Universitas

(32)

penerapan sistem Presidensial yang ideal dalam sistem multipartai Indonesia dengan fokus perhatian pada aspek penyederhanaan partai, koalisi, dan pengaturan oposisi secara melembaga.15

Orisinalitas yang ditekankan oleh penulis dalam penulisan tesis ini adalah berada pada variabel terikatnya, yakni pengaturan ambang batas formal yang dikaji dari aspek mewujudkan sistem pemilihan umum yang demokratis di Indonesia. Penelitian hukum ini menekankan bagaimana legitimasi pengaturan ambang batas formal yang membatasi keterwakilan partai politik pada kelembagaan DPR-RI dalam kerangka demokrasi konstitusional. Selain itu penekanan yang menjadi unsur orisinalitas dalam penelitian hukum ini adalah pada aspek kajian parameter-parameter teori hukum yang menjadi dasar pemberlakuan ambang batas perolehan suara dalam penyelengggaraan pemilu di Indonesia, perbandingan aturan-aturan hukum di berbagai negara, serta bagaimana mewujudkan ambang batas formal yang berkelanjutan.

1.7. Landasan Teori

Di dalam penelitian ini, teori yang digunakan sebagai landasan untuk mengkaji permasalahan perihal pengaturan ambang batas formal adalah teori negara hukum dan teori demokrasi.

15 M. Ilham Habibie, 2009, Pengaruh Konstelasi Politik Terhadap Sistem Presidensial

Indonesia, Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro,

(33)

1.7.1. Teori Negara Hukum

Negara hukum memiliki beragam terminologi dengan masing-masing definisi serta karakteristik yang menjadi formulasi pembentuknya. Negara yang menganut sistem Common Law menggunakan istilah Rule of Law dengan arti bahwa “pemerintah berdasarkan atas hukum bukan berdasar atas manusia” (government based on rule of law, not rule of man), sementara negara yang menganut sistem Civil Law menganut konsep negara hukum dalam istilah

Rechtsstaat (negara hukum).16

Frederich Julius Stahl memaparkan empat prinsip yang terdapat dalam

Rechtsstaat yakni sebagai berikut:

1. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia; 2. Negara didasarkan pada teori trias politica;

3. Pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang

(Wetmatig bestuur);

4. Adanya peradilan administrasi negara yang bertugas menangani kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige

overheidsdaad.).17

Sementara dalam konsep Rule of Law, Albert Venn Dicey menempatkan tiga unsur dalam negara hukum, yaitu :

1. Supremasi hukum (supremacy of law), dimana tidak ada seorang pun yang dapat dihukum kecuali atas adanya pelanggaran hukum yang telah ditentukan aturan hukumnya (that no man is punishable or can be lawfully

made to suffer in body or goods except for a distinct breach of law

16 Munir Fuady, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), PT. Refika Aditama, Bandung, hal. 2.

17 Titik Triwulan Tutik, 2010, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen

(34)

established in the ordinary legal manner before the ordinary courts of the land).18

2. Persamaan hukum (legal equality) dengan karakteristik tidak ada seorangpun yang berada di atas hukum (no man is above the law) dan semua orang tunduk pada hukum yang sama apapun kelas dan kondisinya (whatever be his rank or condition is subject to the ordinary law of the

realm).19

3. Perlindungan atas hak-hak individu (rights of individuals). Dicey berpendapat bahwa tidak seperti di negara lain, di Inggris hak-hak individu tidak bersumber dari konstitusi yang dikodifikasikan. Perlindungan atas hak-hak individu timbul sebagai konsekuensi dari penegasan putusan-putusan pengadilan (the consequence of the rights of individuals, as

defined and enforced by the courts) yang merupakan hasil induksi atau

generalisasi dari prinsip-prinsip hukum privat yang memberikan perlindungan atas hak-hak orang secara pribadi 20

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dipahami bahwa persamaan yang mengemuka di dalam konsepsi umum negara hukum, baik Rechtsstaat maupun

Rule of Law, menempatkan posisi hukum yang berdaulat (supremacy of law) di

dalam pemerintahan. Krabbe menterjemahkannya sebagai “souvereiniteit van het

recht”, yang berarti bahwa baik yang memerintah maupun yang diperintah

18 Albert Venn Dicey, 1927, Introduction to the Study of the Law of the Constitution (Eighth

Edition), Macmillan and Co., Limited, London, hal. 183-184.

19 ibid, hal. 189. 20 Ibid, hal. 199.

(35)

keduanya tunduk pada hukum.21 Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa hukum berada pada kedudukannya yang tertinggi (supreme) dan tidak ada kekuasaan negara yang dapat bertindak sewenang-wenang di atas hukum. Pencegahaan kesewenang-wenangan negara dengan menempatkan kedaulatan hukum salah satunya ditujukan demi perlindungan kepentingan dan hak-hak asasi manusia (fundamental human right).

Dalam perkembangannya, terdapat dua tipe negara hukum, yaitu tipe negara hukum formil dan tipe negara hukum materiil. Negara hukum formil atau

Nachtwachter Staat merupakan bagian dari sejarah perkembangan paham

liberalisme, dimana tugas negara hanya menjaga hak-hak rakyat agar tidak dilanggar (menjaga pelanggaran terhadap undang-undang) dan negara tidak boleh ikut terlibat secara aktif dalam hal urusan kemakmuran rakyat.22 Keberlangsungan konsep negara hukum formil mengalami pergesaran menjadi negara hukum materiil sebagai upaya mengurangi ketimpangan sosial (social

injustice), dimana tugas negara tidak hanya berada pada kerangka pelaksanaan

undang-undang, melainkan secara aktif turut serta dalam menyelenggarakan upaya kesejahteraan umum (Welvaars Staat).23

Perkembangan paradigma negara hukum pada akhirnya mengarah kepada konsep negara hukum modern yang demokratis dengan menempatkan negara

21 Djokosutono, 1982, Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 78.

22 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal.156. Lihat pula Yohanes Usfunan, 1986, Aspek-Aspek Hukum Bela Negara di Indonesia, Yayasan Ayu Sarana Cerdas, Denpasar, hal. 18.

23 SF Marbun dan Moh. Mahfud MD, 2009, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Penerbit Liberty, Yogyakarta, hal. 44-45.

(36)

dalam fungsinya memberikan pelayanan demi kesejahteraan masyarakatnya (social service state). Lebih lanjut dipaparkan aspek yang harus dipenuhi dalam negara hukum modern berdasarkan International Commision of Jurist adalah sebagai berikut :

1. Perlindungan konstitusional (constitutional proctection of human

rights). Lebih lanjut dijabarkan bahwa selain menjamin hak-hak

individual (substansil), konstitusi harus pula menentukan teknis-prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin;

2. Lembaga kehakiman yang bebas dan tidak memihak (an

independent and impartial judiciary);

3. Pemilihan umum yang bebas (fair and free general elections); 4. Kebebasan menyatakan pendapat (recognition of the right to express

an opinion);

5. Kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi (freedom to

organize, freedom to dissent);

6. Pendidikan kewarganegaraan (civic education).24

Berdasarkan keseluruhan pemaparan perihal teori negara hukum tersebut di atas, pemahaman yang dapat dibentuk adalah bahwa sistem kenegaraan pada dasarnya harus dibangun dengan berdasarkan pada hukum yang berlaku, tersusun dalam peraturan perundang-undangan, dan yang berkeadilan demi kesejahteraan. Bagi penulis, teori negara hukum dipandang relevan untuk mengkaji rumusan masalah pertama perihal legitimasi aturan ambang batas formal di dalam prinsip demokrasi konstitusional. Beberapa domain konsep seperti pemahaman supremasi hukum, pembatasan kekuasaan melalui trias politica, dan konsep negara hukum modern yang demokratis dipandang relevan untuk digunakan. Kajian teoritis ambang batas formal pada akhirnya bermuara pada aspek perlindungan hak-hak asasi manusia secara konstitusional.

24 Majda El-Muhtaj, 2005, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia (Dari UUD 1945

(37)

1.7.2. Teori Demokrasi

Pemahaman klasik perihal demokrasi tidak lepas dari aspek etimologinya yang berasal dari bahasa Yunani yaitu “demos” (rakyat) dan “kratein/kratos” (kekuasaan/berkuasa) yang berarti rakyat yang berkuasa atau government by the

people.25 Secara sederhana demokrasi dapat diterjemahkan sebagai suatu kondisi kenegaraan dimana dalam sistem pemerintahannya kekuasaan tertinggi berada pada kendali rakyat. Demokrasi secara singkat juga dapat diartikan sebagai pemerintahan rakyat.

Hakikat demokrasi erat kaitannya dengan ajaran teori kedaulatan rakyat dimana esensi kekuasaan tertinggi terletak pada keberadaan dan kedudukan rakyat. Jean Jacques Rousseau memaparkan adanya suatu perjanjian masyarakat atau kontrak sosial dalam peletakkan kekuasaan suatu negara, dimana keadaan alami atau primitif dari manusia (seperti hak bagi yang terkuat, perbudakan, homo

homini lupus) merupakan hal yang tidak dapat dipertahankan keberadaannya.

Oleh karena itu, manusia menyatukan kekuatan bersama yang ada, dimana kekuasaan yang ada untuk kepentingan bersama tersebut berada di bawah kehendak umum dalam sebuah pakta sosial dengan menerima setiap anggota sebagai bagian yang tidak terpisahkan.26 Teori klasik dari J.J. Rousseau turut menjadi cikal bakal dalam membangun prinsip-prinsip demokrasi modern perihal tujuan untuk mencapai kesejahteraan rakyat, dimana rakyat dianggap sebagai

25 Miriam Budiardjo, 2009, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal 105.

26 Jean-Jacques Rousseau, 1989, Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip-Prinsip Hukum Politik (Terjemahan Ida Sundari Hesen dan Rahayu Hidayat), Penerbit Dian Rakyat, Jakarta, hal. 14-16.

(38)

subyek yang paling mengerti dan memahami bagaimana negara harus bertindak untuk mencapai tujuan yang dimaksud.27

Dalam perkembangannya, teori kedaulatan rakyat sebagai benih kristalisasi demokrasi berintegrasi dengan teori kedaulatan hukum dalam membentuk supremasi kekuasaan. Terjadinya konvergensi antara teori keadaulatan rakyat dan teori kedaulatan hukum merupakan konsekuensi logis dimana prinsip demokrasi membutuhkan kerangka yuridis agar demokrasi dapat berjalan dalam kehidupan bernegara dan hukum dapat berdaulat atas nama rakyat untuk mencapai keadilan.28 Korelasi yang terbangun adalah bahwa prinsip-prinsip negara hukum dan prinsip-prinsip demokrasi tidak dapat dipisahkan, sehingga lebih lanjut dikenal dengan negara hukum demokratis.29

Koentjoro Poerbopranoto memaparkan bahwa adalah hal yang sulit untuk menjalankan demokrasi secara langsung dikarenakan adanya faktor-faktor seperti jumlah penduduk, luas daerah dan kompleksitas susunan masyarakat sehingga dibutuhkan adanya proses perwakilan dengan salah satu persoalan pokok adalah bagaimana cara melaksanakan perwakilan itu.30 Sejalan dengan hal tersebut, John Stuart Mill menjelaskan tipe ideal dari pemerintahan yang sempurna adalah perwakilan (that the ideal type of a perfect government must be representative), meskipun ia berpendapat bahwa pemerintahan yang sepenuhnya dapat memenuhi

27 Wirjono Prodjodikoro, 1981, Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik, PT. Eresco Jakarta, Bandung, hal. 41.

28 Hendra Nurtjahjo, 2006, Filsafat Demokrasi, Bumi Aksara, Jakarta, hal. 41.

29 Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara (Edisi Revisi), PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 8.

30 Koentjoro Poerbopranoto, 1987, Sistim Pemerintahan Demokrasi, PT. Eresco, Bandung, hal. 33-34.

(39)

semua tuntutan adalah dimana apabila di dalam pemerintahan tersebut masyarakat secara keseluruhan dapat berpartisipasi bahkan dalam fungsinya yang terkecil (that the only government which can fully satisfy all the exigencies of the social

state is one in which the whole people participate; that any participation, even in the smalles public function, is useful).31

Proses keterlibatan masyarakat di dalam konsep demokrasi membutuhkan sistem perwakilan dalam rangka pelaksanaan fungsi pemerintahan. Lyman Tower Sargent memaparkan bahwa semua prinsip demokrasi berhubungan satu sama lain dan timbul dari prinsip demokrasi yang paling mendasar yaitu keterlibatan warga negara (the principles of democracy all relate to each other and all stem from the

most fundamental democratic principle – citizen involvement). Sistem pemilihan

umum menjadi sarana perwujudan yang utama keterlibatan warga negara yang akhirnya bermuara pada aspek demokrasi perwakilan.32 Lebih lanjut Lyman Tower Sargent memaparkan bahwa dewasa ini sistem pemilu menjadi jalan utama untuk pengekspresian keterlibatan warga negara, dan sistem perwakilan merupakan tujuan dan hasil dari sistem pemilu (today the electoral system is the

major avenue for the expression of citizen involvement, and of course, the system of representation is the purpose and result of the electoral system).33

31 John Stuart Mill, 1862, Consideration on Representative Government, Harper & Brothers Publisher, New York, hal. 80.

32 Lyman Tower Sargent, 1984, Contemporary Political Ideologies (Sixth Edition), The Dorsey Press, Chicago, hal.54.

(40)

Demokrasi perwakilan yang diwujudkan melalui pemilihan umum menempatkan pemahaman adanya pemberian legitimasi pada sejumlah perwakilan yang representatif guna dapat mengambil kebijakan hukum atas nama masyarakat secara umum. Robert A. Dahl memaparkan bahwa dominasi elit dalam demokrasi merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari disebabkan ketidaksamaan politik, seperti sumber-sumber daya politik atau pengaruh terhadap kebijakan dan tingkah laku pemerintah negara, itu terdapat dalam tingkatan yang penting di semua masyarakat.34 Dahl menterjemahkan sebagai demokrasi poliarki dengan prinsip egalitarianisme dimana negara dengan skala besar diatur oleh banyak pejabat berpengaruh dan mempunyai kekuasaan untuk membuat kebijakan yang dipilih melalui pemilihan umum yang bebas, adil, dan berkala.35 Perkembangan demokrasi perwakilan mengaktualisasi kedaulatan seluruh masyarakat (umum) diserahkan kepada sejumlah elit yang dipilih melalui mekanisme pemilihan sebagai suatu kompetisi.

Keseluruhan uraian tersebut di atas menyiratkan bahwa kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum, pemilihan umum, serta perwakilan repesentatif menjadi unsur-unsur integral dalam teori demokrasi. Bagi penulis, teori demokrasi dipandang relevan untuk mengkaji dasar keberlakuan ambang batas formal. Teori demokrasi digunakan sebagai dasar untuk menganalisis nilai-nilai demokrasi yang terkandung dalam pengaturan ambang batas formal Indonesia. Selain itu, dalam

34 Robert A. Dahl, 1992, Demokrasi dan Para Pengkritiknya (Terjemahan A. Rahman Zainuddin), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal. 99.

35 Robert A. Dahl, 2001, Perihal Demokrasi – Menjelajah Teori dan Praktek Demokrasi

Secara Singkat) (Terjemahan A. Rahman Zainuddin), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal.

(41)

hal teori demokrasi perwakilan juga dianggap relevan digunakan untuk menganalisis indikator penentuan ambang batas formal perihal tingkat representatif dari lembaga perwakilan yang dibentuk pasca pengaturan ambang batas formal.

1.8. Metode Penelitian

1.8.1. Jenis Penelitian

Penelitian hukum ini merupakan penelitian hukum normatif (normative

legal research) dikarenakan fokusnya adalah mengkaji hukum tertulis dari

berbagai aspek, seperti teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi pasal, formalitas, dan kekuatan mengikat suatu undang-undang, serta bahasa hukum yang digunakan.36 Penelitian hukum normatif pada umumnya mencakup :

1. Penelitian terhadap asas-asas hukum; 2. Penelitian terhadap sistematik hukum;

3. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal; 4. Perbandingan hukum;

5. Sejarah hukum.37

Adapun penelitian hukum normatif pada penelitian ini menitikberatkan pada isu konflik norma sebagaimana telah dijelaskan dalam latar belakang masalah, yaitu adanya ketidaksinkronan antara substansi ambang batas formal

36 Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 101.

37 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif – Suatu Tinjauan

(42)

dengan peraturan perundangan-undangan lain yang sederajat, disharmonisasi dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi sebagai dasar pernormaan, serta konsideran UU No. 8 Tahun 2012 yang menjadi landasan validitas.

1.8.2. Jenis Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum normatif ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan analisis dan konseptual hukum (analitical & conceptual approach), pendekatan sejarah (historical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach) dan pendekatan filsafat (philosophical approach). Adapun masing-masing pendekatan menenkankan pada fokus kajian yang berbeda yakni sebagai berikut :

1. Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan meneliti berbagai peraturan hukum yang menjadi fokus dalam penelitian. Dalam hal ini, pendekatan undangan beranjak pada peraturan perundang-undangan yang memiliki korelasi dan koherensi perihal pemilihan umum khususnya yang memuat pengaturan ambang batas formal, serta materi terkait lainnya yang menjadi bagian kajian penelitian ini.

2. Pendekatan analisis dan konseptual hukum dilakukan dengan menelaah teori-teori hukum maupun pandangan dari para sarjana, yang kemudian dianalisis relevansinya terkait dengan permasalahan pengaturan ambang batas formal.

(43)

3. Pendekatan sejarah dilakukan dengan menilik dari sejarah penormaan hukum penyelenggaraan pemilihan umum, baik pemilihan umum sebelum maupun sesudah diberlakukannya pengaturan ambang batas formal.

4. Pendekatan perbandingan merupakan elaborasi dari pendekatan perundangan-undangan dengan memperbandingkan dengan undang-undang yang berlaku di berbagai negara, khususnya yang mengatur ambang batas formal.

5. Pendekatan filsafat beranjak dari dasar ontologis dan landasan filosofis Pancasila dan UUD 1945, serta rasio hukum dari ketentuan-ketentuan tertentu dalam UUD 1945, khususnya tentang Demokrasi, Pemilihan Umum, dan Hak Asasi Manusia.

1.8.3. Sumber Bahan Hukum

Bahan hukum yang digunakan untuk memecahkan masalah sebagaimana yang telah dirumuskan dalam penelitian hukum ini adalah bersumber dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier.

Bahan hukum primer (primary law material) terdiri dari peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi. Adapun bahan hukum primer yang digunakan terkait dengan lingkup permasalahan adalah sebagai berikut :

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2) Undang-Undang No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan

Golongan Karya;

3) Undang-Undang No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum; 4) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

(44)

5) Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

6) Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan

International Covenant on Civil and Political Rights;

7) Undang-Undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

8) Undang – Undang No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden;

9) Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD;

10) Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;

11) Undang-Undang No. 8 tahun 2012 tentang tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

12) Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1959 tentang Syarat-Syarat dan Penyederhanaan Kepartaian.

13) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VII/2009 atas Pengujian Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

14) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 atas Pengujian Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Bahan hukum sekunder (secondary law material) yang digunakan dalam penelitian hukum umumnya adalah seperti buku-buku teks ilmu hukum dan jurnal ilmiah terpublikasi. Adapun bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian hukum normatif ini antara lain berupa : buku-buku, maupun literatur-literatur, termasuk literatur asing yang memuat teori-teori hukum, asas-asas, dan konsep hukum yang dipandang relevan dengan permasalahan yang diteliti untuk dikutip dan menjadi landasan pembenaran dalam menjawab permasalahan.

(45)

Selain bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, terdapat pula bahan hukum tertier (tertiary law material) untuk menunjang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang digunakan. Adapun bahan hukum tertier yang digunakan sebagai penunjang adalah kamus hukum, kamus besar bahasa Indonesia, kamus bahasa inggris, ensiklopedia, serta situs internet sebagai media

online yang memuat berita terkait dengan permasalahan yang diteliti.

1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam penelitian hukum ini, bahan-bahan hukum dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi pustaka atau library research. Penelitian ini dilakukan dengan memeriksa pustaka atau literatur hukum yang memiliki relevansi dengan materi kajian dan telah terpublikasi, seperti peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, buku-buku ilmu hukum. Adapun literatur-literatur hukum yang dimaksud kemudian digunakan dalam hal menginventaris pandangan maupun doktrin hukum dari para sarjana hukum untuk dikritisi ataupun sebagai dasar pembenar dalam bahasan penelitian.

Gorys Keraf memaparkan bahwa terdapat tiga golongan bahan bacaan dalam penelitian kepustakaan, yaitu sebagai berikut :

1. buku-buku atau bahan bacaan yang memberikan gambaran umum mengenai persoalan yang akan digarap. Tidak perlu dibuat catatan-catatan dari buku-buku semacam ini

2. buku-buku yang harus dibaca secara mendalam dan cermat, karena bahan-bahan yang diperlukan untuk karya tulis terdapat di situ, Dari bahan-bahan semacam inilah pengarang harus membuat kutipan-kutipan yang diperlukan.

(46)

3. bahan bacaan tambahan yang menyediakan informasi untuk mengisi yang masih kurang untuk melengkapi karya tulis itu.38

1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum

Bahan hukum diolah dan dianalisis dengan menggunakan teknik penafsiran atau interpretasi dan teknik argumentasi. Von Savigny sebagaimana dikutip oleh Peter Mahmud Marzuki mendefinisikan bahwa interpretasi merupakan suatu rekonstruksi buah pikiran yang tak terungkapkan di dalam undang-undang.39 Kegiatan interpretasi merupakan suatu upaya menemukan kebenaran yang utuh atas suatu pemikiran yang telah ada dengan berpijak pada satu bentuk perspektif dan memecahkan masalah yang belum terselesaikan.

Pemahaman hukum secara teoritik terkait dengan permasalahan, dianalisis dengan interpretasi yang memiliki karakter hermeneutik hukum. Hermeneutik berasal dari bahasa Yunani yaitu hermeneuein yang berarti menafsirkan atau menginterpretasikan.40 Metode penafsiran dalam lingkaran hermeneutik berlangsung dalam hubungan bolak balik antara bagian dan keseluruhan, antara teks, konteks, dan kontekstualisasi, dalam rangka membentuk suatu pemahaman yang utuh atas suatu permasalahan.41 Jimly Asshidiqie kemudian menyebutkan bahwa aspek yang menjadi pedoman dalam melakukan interpretasi hermeneutika hukum adalah keadilan, kepastian hukum, prediktabilitas, dan kemanfaatan.42

38 Gorys Keraf, 1994, Komposisi – Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa,, Penerbit Nusa Indah, Flores, hal. 166.

39 Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hal. 106.

40 I Ketut Donder dan I Ketut Wisarja, 2010, Filsafat Ilmu : Apa, Bagaimana, untuk Apa Ilmu

Pengetahuan itu dan Hubungannya dengan Agama?, Paramita, Surabaya, hal. 175.

41 Jimly Asshiddiqie, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal.247. Lihat pula dalam I Ketut Donder dan I Ketut Wisarja, op.cit, hal. 178.

(47)

Teknik interpretasi dapat digolongkan seperti penafsiran gramatikal, historis, sistematis, teleologis, kontektual, dan lain-lain. Adapun bahan – bahan hukum yang telah diolah melalui teknik interpretasi, akan dielaborasikan dengan teknik argumentasi. Teknik argumentasi merupakan teknik penilaian yang didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Penilaian yang dimaksud berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap bahan-bahan hukum.43

43 Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2009, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum

(48)

30

DEMOKRASI KONSTITUSIONAL DAN PEMILIHAN UMUM

2.1. Konsepsi Demokrasi Konstitusional

Gagasan perihal konsep demokrasi konstitusional muncul sebagai bentuk perkembangan paradigma negara modern yang menjadikan konstitusi sebagai pengawal sistem demokrasi. Demokrasi menempatkan prinsip one man, one vote,

one value yang pada akhirnya mengarahkan suatu keputusan dinilai secara

kuantitatif dan menjadi lebih berpihak pada kehendak mayoritas. Demokrasi yang ideal merupakan rasionalisasi dari perwujudan prinsip-prinsip umum yang mencakup setiap kehendak umum seluruh masyarakat. Disinilah peranan konstitusi untuk memberikan jaminan atas perwujudan nilai-nilai tersebut dengan cara membatasi mekanisme demokrasi secara hukum guna melindungi hak-hak seluruh warga negaranya.44

Jimly Asshiddiqie berpendapat perihal demokrasi konstitusional (constitutional democracy) merupakan suatu sistem dimana pelaksanaan kedaulatan rakyat diselenggarakan menurut prosedur konstitusional yang ditetapkan dalam hukum dan konstitusi. Demokrasi konstitusional menempatkan bagaimana adanya suatu upaya dalam mewujudkan konsensus di antara kedaulatan rakyat (demokrasi) dan kedaulatan hukum (nomokrasi), sebagai suatu

44 Janedjri M. Gaffar, 2012, Demokrasi Konstitusional (Praktik Ketatanegaraan Indonesia

Setelah Perubahan UUD 1945), Konstitusi Press, Jakarta, hal. 184-185. Lebih lanjut dijelaskan

bahwa demokrasi yang lebih mencerminkan kehendak mayoritas terkadang bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat menurut UUD. UUD mempertegas keberadaan Pasal 1 ayat (3) dimana negara Indonesia adalah negara hukum, sehingga demokrasi menjadi dibatasi oleh hukum dengan puncaknya pada UUD 1945 untuk mengatasi kelemahan dalam demokrasi tersebut.

(49)

dua hal yang dianggap disharmoni namun melekat antara satu dan yang lain dalam pencapaian tujuan negara yang melindungi masyarakat plural (plural society).45 Demokrasi konstitusional pada hakikatnya sangat diperlukan bila dibandingkan dengan rezim totaliter atau otoriter yang telah tergantikan keberadaan pada paruh kedua Abad Keduapuluh (constitutional democracy is virtually indispensable

when contrasted with the totalitarian or authoritarian regimes that it replaced in the second half of the twentieth century).46

Bart Hassel dan Piotr Hofmanski sebagaimana dikutip oleh I Dewa Gede Atmadja merinci empat ciri khas yang menjadi dasar dari konsep demokrasi konstitusional sebagai berikut :

1. Undang-undang yang mempengaruhi kedudukan warga negara dibentuk oleh parlemen yang dipilih secara demokratis

2. Mencegah perilaku sewenang-wenang dari pemerintah

3. Peradilan yang bebas dalam menerapkan hukum pidana, dan menguji peraturan perundang-undangan dan tindakan pemerintah 4. Unsur material rule of law yakni perlindungan HAM, terutama

kebebasan berbicara, kebebasan pers, dan kebebasan berserikat dan berkumpul.47

Undang-undang dibuat oleh lembaga yang memiliki otoritas, yang anggotanya dipilih dengan cara-cara yang demokratis, dengan tujuan agar masyarakat dapat turut serta mengontrol jalannya fungsi negara dan menghindarkan terjadinya praktek penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) atau

45 Jimly Asshiddiqie, 2010, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 58.

46 Michel Rosenfeld, 2001, “The Rule of Law and the Legitimacy of Constitutional Democracy”, dalam Southern California Law Review vol 74 (2001), Publisher University of Southern California; School of Law; Gould School of Law, California, diakses dari http://www-bcf.usc.edu/~usclrev/pdf/074503.pdf, tanggal 18 Maret 2013, hal. 1310.

47 I Dewa Gede Atmadja, 2012, Ilmu Negara (Sejarah, Konsep Negara, dan Kajian

Referensi

Dokumen terkait