UPAYA KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA
PENYEBARAN
HOAX
Jurnal
Oleh :Dona Raisa Monica, S.H., M.H. NIP. 198607022010122003 (Ketua)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMPUNG
ABSTRAK
UPAYA KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENYEBARAN HOAX
Oleh:
Dona Raisa Monica, S.H., M.H. (draisamonica@gmail.com)
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membawa pengaruh positif dan negatif Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan dan peradaban manusia. Dilain pihak kemajuan teknologi ITE tersebut dapat dimanfaatkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum,salah
satunya adalah penyebaran berita hoax. Pemberitaan hoax yang marak terjadi saat ini harus
ditanggapi serius oleh pemerintah dan memerlukan suatu tindakan tegas dari aparat penegak
hukum khususnya oleh pihak kepolisian dalam rangka penanggulanggannya. Hoax tidak hanya
diarahkan untuk mengacaukan persepsi masyarakat tentang situasi terkini tetapi juga merupakan upaya pihak-pihak tertentu untuk merusak kondusivitas negara.Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah upaya kepolisian dalam penanggulanagan tindak pidana penyebaran
hoax dan apakah yang menjadi faktor penghambat upaya kepolisian dalam penanggulangan
tindak pidana penyebaran hoax. Pendekatan masalah dilakukan dengan pendekatan yuridis
normatif sebagai pendekatan utama dan pendekatan yuridis empiris sebagai penunjang yang bersumber pada data primer dan data sekunder yang meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.Responden dalam penelitian ini adalah Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila dan penyidik polda Lampung serta analisis data secara kualitatif.Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan bahwa
upaya kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana penyebaran hoax diantaranya adalah
melalui cara pre-emtif yaitu penanaman nilai/norma terhadap seseorang,cara preventif yaitu merupakan tindak lanjut dari upaya pre-emtif yang masih dalam tataran pencegahan sebelum terjadinya kejahatan dan cara refresif yaitu upaya penal setelah tindak pidana terjadi mulai dari penyidikan,penuntutan dan siding dipengadilan.Faktor penghambat upaya kepolisian dalam
penanggulangan tindak pidana penyebaran hoax dianataranya factor aparat penegak
hukum,faktor sarana dan prasarana,faktor masyarakat dan faktor budaya.Adapun saran yang dapat dikemukakan yaitu diharapkan adanya peningkatan sarana dan prasarana yang dapat membantu pihak kepolisian dalam proses penyidikan dan pembuktian tindak pidana penyebaran
hoax dan kepada masyarakat agar dapat lebih selektif dalam membagian/membroadcast
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Modernisasi dalam ilmu sosial adalah suatu bentuk perubahan pola fikir dan keadaan dari yang tadinya tradisional menjadi lebih maju atau modern dengan harapan akan tercapai kehidupan masyarakat yang lebih
maju. Modernisasi dan globalisasi
merupakan salah satu hal yang paling melekat di kehidupan masyarakat di seluruh penjuru dunia. Namun belakangan ini modernisasi seakan menjadi alat pengubah zaman yang paling dominan dan memasuki segala sela kehidupan masyarakat di seluruh bangsa di dunia tak terkecuali di indonesia.
Kemajuan yang dicapai di bidang teknologi akan mempengaruhi pula
perubahan di dalam kehidupan
masyarakat. Setiap masyarakat itu akan selalu berubah dari masa ke masa. Teknologi telekomunikasi telah membawa manusia kepada suatu peradaban baru dengan struktur sosial beserta tata nilainya. Artinya, masyarakat berkembang menuju masyarakat baru yang berstruktur global yang mengkondisikan sekat-sekat negara mulai memudar. Sistem tata nilai dalam suatu masyarakat berubah, dari yang bersifat lokal-partikular menjadi global-universal.
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membawa pengaruh positif dan
negatif, ibarat pedang bermata
dua.Pemanfaatan teknologi informasi dan
komunikasi disatu pihak memberikan
kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan
dan peradaban manusia.Dilain pihak
kemajuan teknologi ITE tersebut dapat dimanfaatkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum,
yang menyerang berbagai kepentingan
hukum orang, masyarakat dan negara.1
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) bukanlah Undang-Undang Tindak Pidana Khusus, berhubung UU ini tidak semata-mata memuat hukum pidana, melainkan memuat tentang pengaturan
mengenai pengelolaan informasi dan
transaksi elektronik di tingkat nasional, dengan tujuan pembangunan teknologi informasi dapat dilakukan secara optimal, merata dan menyebar keseluruh lapisan
masyarakat.2
Saat ini kita sering mendengar atau bahkan
mendapatkan informasi yang bersifat
meresahkan dan menyebar begitu cepat melalui media internet, yang belakangan diketahui bahwa informasi tersebut adalah
informasi palsu (Hoak). Berbagai informasi
“hoax” atau palsu beredar dilinimasa,
menyebar melalui media sosial seperti facebook ,twitter, ataupun pesan singkat
telepon genggam seperti whatsapp dan lain
sebagainya. Pesatnya perkembangan telepon pintar membuat publik semakin mudah mengakses beragam berita dan informasi
hanya dalam genggaman tangan3, namun
imbasnya informasi palsu ikut tersebar dengan mudah yang bagi sejumlah orang
malah diyakini sebagai
kebenaran.Berdasarkan penelitian yang
dilakukan kementerian pendidikan dan
kebudayaan bersama dengan kominfo
diketahui yang menjadi korban berita bohong maupun pesan singkat penipuan lebih banyak terjadi pada orang-orang yang
1 Adami Chazawi dan Ardi Ferdian, Tindak Pidana
Informasi dan Transaksi Elektronik. Malang,Media Nusa Creative,2015,hlm.2.
2Ibid,hlm.1.
3IKA POMOUNDA,PERLINDUNGAN HUKUM
BAGI KORBAN PENIPUAN MELALUI MEDIA ELEKTRONIK (SUATU PENDEKATAN
mempunyai tingkat intelektualitas yang tinggi.Anak-anak yang lahir dan langsung bersinggungan dengan teknologi justru tidak mudah percaya dengan kabar berita bohong tersebut.Hal tersebut dikarenakan anak-anak lebih selektif dalam memilih untuk melacak terlebih dahulu sumber berita itu melalui
internet. Ketua komunitas masyarakat
Indonesia menilai maraknya kabarhoax jika
dibiarkan amat mungkin membuat
perpecahan sesama anak bangsa. Hoax
merupakan informasi yang di rekayasa untuk menutupi informasi sebenarnya atau juga bisa diartikan sebagai upaya pemutar balikan fakta menggunakan informasi yang meyakinkan tetapi tidak dapat diverifikasi
kebenarannya.Hoax juga dapat diartikan
sebagai tindakan mengaburkan informasi yang sebenarnya dengan cara membanjiri suatu media dengan pesan yang salah agar bisa menutupi pesan yang benar. Maraknya peredaran informasi "hoax" dipicu dua motif yaitu ekonomi dan politik.Ada situs-situs yang memang sengaja dibuat dengan tujuan mendapatkan kunjungan sebanyak mungkin, dengan membuat berita penuh sensasi.Selain
itu ada juga yang motifnya untuk
menyalurkan aspirasi politik melalui media
sosial dengan membuat kabar palsu.4
Hukum positif yamg mengatur mengenai
tindak pidana penyebaran informasi hoax di
Indonesia diantaranya terdapat dalam pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana serta Undang-Undang No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik diatur di dalam Pasal 28 ayat (1)
jo Pasal 45 (A).
Salah satu contoh kasus penyebaran berita
Hoax yang belakangan menimbulkan
kehawatiran dan kepanikan di masyarakat adalah kasus pemberitaan penjualan organ
4ibid
tubuh yang dimuat di koran manadopos,
pemberitaan ini cukup menghebohkan
dikarenakan pendistribusiannya yang begitu cepat di media sosial maupun media pesan singkat. Namun pada akhirnya berita tersebut dikonfirmasi oleh Kepala Polisi Republik Indonesia (KAPOLRI) sebagai
berita bohong.5 Kasus lain terkait informasi
hoax yang sempat beredar di media sosial
diantaranya Instruksi Kapolri Pemeriksaan Amien Rais hingga Rush Money Besar-Besaran.
Pemberitaan negatif yang tidak benar memiliki dampak buruk dimasyarakat, diantaranya menimbulkan kekhawatiran dan
kecemasan yang berlebihan, hingga
menimbulkan terjadinya tindak pidana baru. Sebagai contoh adalah kasus pemukulan massa terhadap seorang wanita gila yang terjadi di Kabupaten Batang Jawa Tengah. Belakangan beredar kabar banyak penculik berkeliaran dengan berpura-pura menjadi orang gila.Kabar penculikan yang katanya kerap terjadi disejumlah kawasan jalan Pantura bahkan sampai membuat warga Waleri menempel pengumuman kepada masyarakat tentang kabar yang belum tentu
kebenarannya itu. Masyarakat yang
kebanyakan sudah terprovokasi oleh
pemberitaan tersebut akhirnya memukul,
menendang sampai bonyok hingga
menelanjangi wanita tersebut.Padahal tidak ada bukti yang menunjukkan ia telah
menculik seorang anak6.
Pemberitaan hoax yang marak terjadi saat
ini harus ditanggapi serius oleh pemerintah dan memerlukan suatu tindakan tegas dari aparat penegak hukum khususnya oleh pihak
kepolisian dalam rangka
5http://www.jawapos.com/red/Penjualan Organ
Tubuh,22 maret 2017(19.00wib)
6 Dikutip dari http://m.harianjogja.com Dihakimi
penanggulanggannya, baik secara preventif
maupun represif. Informasi hoax sangat
berdampak negatif bagi masyarakat
sehingga menimbulkan kecemasan,
kebingungan, rasa tidak aman, tindak pidana kekerasan, bahkan dapat menyebabkan konflik suku, agama, ras antar golongan
(SARA). Selain itu juga Hoax tidak hanya
diarahkan untuk mengacaukan persepsi masyarakat tentang situasi terkini tetapi juga merupakan upaya pihak-pihak tertentu untuk merusak kondusivitas negara.
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, menimbulkan rasa ingin tahu kami untuk
mengkaji lebih lanjut dalam bentuk
penelitian dengan judul “Upaya Kepolisian
dalam Penanggulangan Tindak Pidana
Penyebaran Hoax.
Permasalahan yang akandibahas dalam penelitian iniadalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah Upaya Kepolisian
dalam Penanggulangan Tindak Pidana
Penyebaran hoax?
2. Apakah yang Menjadi Faktor
Penghambat Upaya Kepolisian dalam
Penanggulangan Tindak Pidana
Penyebaran hoax?
Pendekatanmasalahyang
digunakandalampenelitianiniadalahdengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris.Sumber dan jenis data diantaranya data primer yang didapat melalui wawancara dengan Penyidik pada Polda Lampung serta Dosen Bagian Hukum Pidana.Dan data sekunder diantaranya
bahan hokum primer,bahan hokum
sekunder dan bahan hokum
tersier.Pengumupulan data dilakukan
dengan studi pustaka dan studi lapangan kemudian data dianalisis secara deskriptif analisis.
II. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Upaya Kepolisian Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Penyebaran Berita Bohong (Hoax)
Berdasarkan hasil penelitian melalui
wawancara dengan Muh. Anwar R7
menyatakan bahwa upaya yang dapat
dilakukan oleh kepolisian dalam
penanggulangan tindak pidana penyebaran
berita bohong (hoax) adalah terdiri dari tiga
bagian pokok, yakni:
1. Pre-emtif, adapun yang dimaksud
dengan upaya pre-emtif adalah upaya-upaya awal yang dilakukan oleh pihak kepolisian untuk mencegah terjadinya
tindak pidana. Usaha-usaha yang
dilakukan dalam penanggulangan
kejahatan secara pre-emtif adalah
menanamkan nilai-nilai/norma-norma
yang baik sehingga terkristalisasi dalam diri seseorang untuk mencegah dirinya berbuat kejahatan, dalam pencegahan ini berasal dari teori NKK (Niat + Kesempatan = Kejahatan), jika
nilai-nilai atau norma-norma sudah
terkristalisasi dengan baik maka bisa menghilangkan niat untuk berbuat kejahatan walaupun ada kesempatan. Pencegahan pre-emtif yang dilakukan oleh kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana pelaku penyebar berita
bohong (hoax) adalah dengan cara
melakukan sosialisasi melalui media
sosial (social media).
2. Preventif, adapun yang dimaksud
dengan upaya-upaya preventif ini
adalah merupakan tindak lanjut dari upaya pre-emtif yang masih dalam tataran pencegahan sebelum terjadinya kejahatan, penekanan dalam upaya ini
7Hasil Wawancara dengan Muh. Anwar. R selaku
adalah dengan menghilangkan adanya kesempatan untuk melakukan kejahatan. Pencegahan preventif yang dilakukan oleh kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana pelaku penyebar berita
bohong (hoax) adalah dengan cara
membentuk Satuan Tugas Cyber Patrol
(Satgas Cyber Patrol), yang bertugas
mengawasi Tekhnologi Informasi atau Media Sosial.
3. Refresif, adapun yang dimaksud dengan
upaya refresif adalah upaya yang dilakukan pada saat telah terjadi tindak
pidana/kejahatan yang tindakannya
berupa penegakan hukum(law
enforcement) dengan menjatuhkan hukuman. Upaya refresif adalah suatu upaya penanggulangan kejahatan secara konsepsional yang ditempuh setelah terjadinya kejahatan. Penanggulangan dengan upaya refresif untuk menindak para pelaku sesuai dengan perbuatannya serta memperbaiki kembali agar mereka
sadar bahwa perbuatan yang
dilakukannya adalah perbuatan
melanggar hukum dan merugikan
masyarakat, sehingga tidak
mengulanginya dan orang lain juga tidak akan melakukannya mengingat sanksi yang berat. Pencegahan refresif yang dilakukan oleh kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana pelaku
penyebar berita bohong (hoax) adalah
dengan cara melakukan penegakan hukum terhadap pelaku penyebar berita
bohong (hoax).
Membahas penanggulangan dengan
cara refresif, tidak hanya menjadi tugas
kepolisian, tetapi dalam sistem
peradilan pidana yang berlaku dalam sistem hukum di Indonesia, ada 5 (lima)
sub-sistem yakni: Sub-sistem
Kepolisian; sistem Kejaksaan;
Sub-sistem Kehakiman; Sub-sistem
Pemasyarakatan; Sub-sistem
Kepengacaraan. Kelima rangkaian
inilah yang membentuk sistem peradilan pidana di Indonesia, dalam proses ini bukan hanya ditempuh untuk bagaimana
mencegah kejahatan, namun juga
bagaimana menanggulangi atau mencari solusi atas kejahatan yang sudah terjadi, sehingga cara-cara yang ditempuh adalah penindakan secara tegas terhadap pelaku tindak pidana/kejahatan.
Selanjutnya Muh. Anwar. R menambahkan bahwa selama ini strategi yang dilaksanakan oleh Kepolisian berupa tindakan atau kegiatan diantaranya melalui:
1. Sosialisasi kepada masyarakat tentang
berita bohong (hoax), dengan
menjelaskan ciri-ciri dan jenis-jenisnya, sehingga diharapkan dari cara ini
masyarakat bisa memahami dan
mengerti tentang berita bohong atau hoax;
2. Melakukan kerjasama dengan media
(online ataupun konvensional) baik dengan pemimpin atau pemilik media, organisasi wartawan maupun dengan wartawan, sehingga diharapkan dari
cara ini bisa membantu men-counter
penyebaran berita bohong atau hoax dan
bahkan bisa membantu klarifikasi atau pelurusan berita di masyarakat;
3. Melakukan tindakan internal dengan
mengirimkan Surat Telegram kepada seluruh Polres yang ada dibawah koordinasi Polda Lampung, tentang pencegahan tindak pidana penyebaran
berita bohong (hoax), sehingga dengan
cara ini jajaran kepolisian bisa
memaksimalkan pengawasan terhadap masyarakat secara menyeluruh dengan melibatkan anggota kepolisian sampai
tingkat desa atau kelurahan
(bhabinkamtibmas);
4. Melakukan kerjasama dengan sesama
Forum Komunikasi Pimpinan Daerah
khususnya dengan Dinas Komunikasi dan Informasi Pemerintah Provinsi Lampung, untuk pemblokiran media
sosial, sehingga dengan cara ini
diharapkan bisa mengawasi peredaran atau pergerakan pemakaian internet dan media sosial, karna Dinas Komunikasi dan Informasi adalah Instansi yang
memiliki garis koordinasi dengan
Kementerian Komunikasi dan Informasi di tingkat pusat, serta merupakan instansi yang
5. “memiliki kewenangan untuk
memblokir dan mengawasi internet;
6. Melaksanakan kerjasama dengan
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) khususnya Provinsi Lampung, dalam mengawasi penyiaran-penyiaran yang
bersifat elektronik di Provinsi
Lampung;
7. Melakukan kerjasama dengan Radio
Republik Indonesia (RRI) Provinsi Lampung, untuk mengklarifikasi dan men-counter pemberitaan bohong atau hoax;
8. Melakukan kerjasama dengan pihak
Bank atau Lembaga Keuangan untuk
melakukan pemblokiran rekening
pelaku, apabila ada kerugian materiil yang timbul dari perbuatan tersebut.
Selama tahun 2017 ini jajaran Polda Lampung khususnya Direktorat Reserse Kriminal Khusus, menerima laporan atau
menangani 1 (satu) perkara yang
menyangkut tindak pidana/kejahatan
penyebaran berita bohong (hoax), adapun
penyidik Direskrimsus Polda Lampung menjerat pelaku tindak pidana/kejahatan tersebut dengan Pasal 28 ayat (2) berisi
bahwa “Setiap orang dengan sengaja dan
tanpa hak menyebarkan informasi yang
ditujukan untuk menimbulkan rasa
kebencian atau permusuhan individu
dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antar
golongan (SARA)” jo Pasal 45A ayat (2)
berisi bahwa “Setiap orang dengan sengaja
dan tanpa hak menyebarkan informasi yang
ditujukan untuk menimbulkan rasa
kebencian atau permusuhan individu
dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan Informasi dan Transaksi Elektronik
Menurut Erna Dewi8, memberikan pendapat
bahwa upaya kepolisian dalam
penanggulangan tindak pidana penyebaran
berita bohong atau hoax adalah mengacu
kepada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yakni Polisi sebagai Penyelidik dan Penyidik dari suatu tindak pidana, khususnya diatur dalam Pasal 1 angka (1) UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), yang berisi bahwa “Penyidik
adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang untuk melakukan
penyidikan”, Pasal 1 angka (2) UU No. 8 Tahun 1981, berisi bahwa “Penyidikan
adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang
terjadi dan guna menemukan tersangkanya”.
Maraknya penyebaran hoax, yang
mengandung unsur fitnah bisa sangat
8Hasil Wawancara dengan Dr. Erna Dewi, SH, MH
mengkhawatirkan kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat, melalui unit cyber yang dimiliki oleh Kepolisian, para pelaku hoax bisa diringkus, namun permasalahan
selanjutnya secara umum masyarakat
memandang UU ITE masih hanya sebagai formalitas sesaat, yang mana peraturan dan perundang-undangan yang disusun,hanya berlaku jika ada kasus yang mencuat. Masyarakat juga dalam konteks menaati peraturan pun masih terbilang rendah karena masih tingginya tingkat pelanggaran didunia
cyber khususnya mengenai hoax,
bulliying,penipuan, bahkan mengakses situs
porno, maka dari indikator tersebut
dibutuhkan sosialisasi secara massif harus dilakukan oleh instansi terkait mengenai UU ITE, adapun bentuk sosialisasi kepada masyarakat bisa dilakukan dengan berbagai cara misalnya kampanye melalui media sosial untuk penggunaan internet sehat dan
pembagian software gratis untuk mem-filter
situs-situs porno dan lain sebagainya.
Menurut Erna Dewi9, rumusan Pasal 28 ayat
(1) UU No. 11 Tahun 2008 Tentang ITE,
yang berisi bahwa “Setiap orang dengan
sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita
bohong dan menyesatkan yang
mengakibatkan kerugian konsumen dalam
transaksi elektronik”, perbuatan yang diatur
dalam Pasal 28 ayat (1) UU ITE merupakan salah satu perbuatan yang dilarang dalam UU ITE, namun UU ITE tidak menjelaskan
apa yang dimaksud dengan “berita bohong dan menyesatkan”. Terkait dengan rumusan
Pasal 28 ayat (1) UU ITE yang
menggunakan Frasa “menyebarkan berita bohong”, sebenarnya dalam ketentuan Pasal
390 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), walaupun dengan rumusan yang sedikit berbeda yaitu digunakannya frasa
“menyiarkan kabar bohong” dan
berdasarkan pendapat R. Soesilo, terdakwa
9Hasil Wawancara dengan Dr. Erna Dewi (Akademisi
FH Unila), hari Selasa tanggal 8 Agustus 2017
hanya dapat dihukum dengan Pasal 390 KUHP, apabila ternyata bahwa kabar yang disiarkan itu adalah kabar bohong.
Dapat dianalisis bahwa peran kepolisian
dalam penanggulangan tindak pidana
penyebaran berita bohong (hoax), harus
memaksimalkan peran-peran kepolisian
yang ada, yakni:
a. Peran normatif adalah peran yang
dilakukan oleh seseorang atau lembaga yang didasarkan pada seperangkat norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, sesuai dengan Pasal 2, Pasal 4, Pasal 13 dan Pasal 14 (1) huruf g UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia;
b. Peran ideal adalah peran yang dilakukan
oleh seseorang atau lembaga yang didasarkan pada nilai-nilai ideal atau
yang seharusnya dilakukan sesuai
dengan kedudukannya di dalam suatu sistem, sesuai dengan UU No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, khususnya Pasal 1 angka (1), angka (2), angka (4), angka (5);
c. Peran faktual adalah peran yang
dilakukan oleh seseorang atau lembaga yang didasarkan pada kenyataan secara kongkrit di lapangan atau kehidupan sosial yang terjadi secara nyata, sesuai dengan UU No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik, khususnya Pasal 28 (2) dan Pasal 45A ayat (2).
Penerapan aturan hukum juga tidak hanya bersandar pada UU No. 11 Tahun 2008 Tentang ITE, namun juga dapat menerapkan rumusan Pasal 390 KUHP mengenai
rumusan kabar bohong, sehingga
memperkuat peran kepolisian dalam
B. Faktor Penghambat Upaya Kepolisian Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Penyebaran Berita Bohong (Hoax)
Penegakan hukum bukan semata-mata
pelaksanaan perundang-undangan saja,
namun terdapat juga faktor-faktor lain yang mempengaruhi yaitu substansi hukum, petugas, sarana dan prasarana, masyarakat dan kebudayaan. Faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam penanggulangan berita bohong (hoax), adalah sebagai berikut:
1. Faktor Substansi Hukum
Menurut Muh. Anwar. R, faktor penghambat kepolisian dalam penanggulangan tindak
pidana penyebaran berita bohong (hoax),
dari segi substansi hukum adalah Kepolisian saat ini, mengacu kepada UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Tekhnologi, khususnya Pasal 28 ayat (1) berisi bahwa
“Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak
menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian
konsumen dalam transaksi elektronik”, jo
Pasal 28 ayat (2) berisi bahwa “Setiap orang
dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan
informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau
permusuhan individu dan/atau kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan suku,
agama, ras, dan antar golongan (SARA)”.
Hal Senada dinyatakan oleh Erna Dewi10,
bahwa penyidik kepolisian dalam
melakukan upaya pencegahan penyebaran
berita bohong atau hoax bisa dilakukan
apabila ada aturan hukum yang tegas mengaturnya, jika hanya berdasarkan UU 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 Tentang ITE, khususnya Pasal 27, Pasal 28 dan Pasal 45 maka akan
sangat sulit bagi kepolisian untuk
10Hasil Wawancara dengan Dr. Erna Dewi
(Akademisi FH Unila), hari Selasa tanggal 8 Agustus 2017.
menanggulanginya apalagi sampai
melakukan penindakan dikarnakan bahwa
UU ITE bersifat lex specialis, yang
mengatur secara khusus tentang ITE, namun
dalam proses penanggulangannya
dibutuhkan langkah strategis kepolisian yang bersandar kepada aturan hukum, saat ini aturan yang mengaturnya masih terikat dalam Pasal 55 dan 56 KUHP serta pasal-pasal didalam KUHAP
2. Faktor Aparat Penegak Hukum
Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam kerangka penegakan hukum dan implementasi penegakan hukum bahwa penegakan keadilan tanpa kebenaran adalah suatu kebejatan. Penegakan kebenaran tanpa kejujuran adalah suatu kemunafikan. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, terasa, terlihat
serta harus diaktualisasikan.11
Menurut Muh. Anwar. R, dalam upaya
penanggulangan berita bohong atau hoax,
ada segi aparat penegak hukum adalah terkait dengan sumber daya manusia di instansi kepolisian yang masih terbatas dalam hal penguasaan ITE, di tingkatan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri memang sudah ada Direktorat khusus
kejahatan ITE, namun ditingkatan
Kepolisian Daerah masih tergabung dalam
Direktorat Reserse Kriminal Khusus
(Dirreskrimsus) Polda Lampung, dan
ditingkatan Kepolisian Resort (Polres)
belum semuanya memiliki Satuan Khusus cyber, apalagi pemahaman dan pengetahuan
terkait dunia cyber belum memadai dimiliki
oleh Aparat Kepolisian. Pihak Kepolisian saat ini dalam rangka menanggulangi
(mencegah dan menindak) pelaku
penyebaran berita bohong atau hoax masih mengandalkan kerjasama dengan
lembaga-lembaga lain atau bahkan masih
menggunakan kemampuan ahli ITE diluar institusi kepolisian, dan dibutuhkan waktu koordinasi yang panjang juga terkait dengan biaya-biaya operasional.
Menurut Erna Dewi12, senada dengan yang
disampaikan oleh pihak kepolisian, jika melihat kemampuan sumber daya manusia yang saat ini dimiliki oleh Kepolisian masih terbatas kepada lingkup Bareskrim Mabes Polri yng berada di Jakarta, serta Polda belum secara spesifik memiliki satuan tugas
khusus untuk menangani kejahatan cyber,
apalagi sampai pada tingkatan Polres dan
Polsek jajaran, sedangkan kejahatan cyber
tidak hanya terjadi di kota besar bisa saja terjadi di kota-kota kecil atau perkampungan yang memiliki akses internet. Kemampuan personil (anggota) yang memahami atau
menguasai Informasi dan Transaksi
Elektronik pun masih terbatas dalam lingkup kecil personil Polri yang ada di Mabes Polri dan Polda, bahkan Personil yang ada di Polres dan Polsek pun tidak memiliki
kemampuan khusus di bidang ITE,
sedangkan personil yang bersentuhan
langsung dengan masyarakat adalah yang ada di Polres, Polsek sampai dengan Bhabinkamtibmas (Bhayangkara Pembina Keamanan Ketertiban Masyarakat).
3. Faktor Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana yang mendukung
mencakup tenaga manusia yang
berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum
12Hasil Wawancara dengan Dr. Erna Dewi
(Akademisi FH Unila), hari Selasa tanggal 8 Agustus 2017.
tidak mungkin menjalankan peranannya
sebagaimana mestinya.13
Selanjutmya menurut Muh.Anwar. R.14,
menyatakan bahwa kendala sarana dan prasarana memiliki pengaruh dalam upaya mencegah penanggulangan tindak pidana
pelaku penyebar berita bohong (hoax)
sampai kepada pengungkapan pelaku
penyebar berita bohong (hoax), khusus
Kepolisian Daerah (Polda) Lampung, masih memiliki keterbatasan dalam:
1. Akses dan koordinasi dengan provider
penyedia layanan dan jasa seluler dan internet;
2. Belum memiliki server khusus untuk
digital forensic, sebagai pendukung kerja dibidang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Sarana dan prasarana Kepolisian yang paling memadai adalah di Bareskrim Mabes Polri, ditingkatan Polda, Polres dan Polsek jajaran belum memadai bahkan untuk setiap
ada kejahatan yang terkait dengan hoax,
Polda Lampung mesti berkoordinasi dengan Mabes Polri terlebih dahulu sebelum mengambil tindakan-tindakan khusus
4. Faktor Masyarakat
Menurut Muh. Anwar. R. Faktor
penghambat penanggulangan penyebaran
berita bohong atau hoax dari segi
masyarakat adalah masyarakat masih belum memiliki pemahaman dan pengetahuan hukum yang memadai tentang dampak dan ancaman dari penyebaran berita bohong atau
hoax, selain itu masyarakat yang terkategori
sebagai pengguna media sosial berasal dari berbagai golongan masyarakat, bukan hanya kalangan terbatas saja.
13Soerjono Soekanto. Op Cit. hlm.9
14 Hasil Wawancara dengan Muh. Anwar. R selaku
Masyarakat saat ini lebih cepat mempercayai berita, dikarnakan beberapa sebab antara lain:
1. Masyarakat atau orang cenderung
percaya hoax jika informasinya sesuai
dengan opini atau sikap yang dimiliki, misalnya terkait dengan ketidaksetujuan masyarakat terhadap satu kelompok atau produk dan kebijakan tertentu, sehingga ketika ada informasi terkait
dengan hal-hal tersebut maka
masyarakat akan mudah percaya;
2. Masyarakat atau orang cenderung
percaya hoax jika informasinya sesuai
dengan opini atau sikap yang dimiliki, misalnya terkait dengan kesukaan atau
kegemaran yang berlebihan dari
masyarakat terhadap satu kelompok atau produk dan kebijakan tertentu, sehingga ketika ada informasi terkait
dengan hal-hal tersebut maka
masyarakat akan mudah percaya.
5. Faktor Budaya
Faktor penghambat dalam penanggulangan
penyebaran berita bohong atau hoax dari
segi budaya adalah sebagai berikut:
1. Revolusi media sosial: Keterbukaan
informasi dan tingginya konsumsi media sosial (Indonesia pengguna facebook terbesar ke-4 didunia);
2. Literasi media sosial: Minimnya dan
kurang kritis terhadap informasi;
3. Pengguna media sosial sebagai
distributor informasi tanpa mampu melacak kebenarannya;
4. Era post-truth, yang diunggulkan adalah kedekatan emosi dan keyakinan pribadi dengan informasi yang diedarkan bukan pada nilai kebenarannya;
5. Konflik horizontal, penajaman
perbedaan, peredaran pesan kebencian,
dan kecendrungan pada bulliying social.
Berdasarkan uraian diatas dapat dianalisis bahwa 5 (lima) faktor penghambat diatas
memiliki keterkaitan yang erat, dan tidak saling mendominasi satu sama lainnya, karna Substansi Hukum (UU atau Peraturan) akan dijalankan oleh Aparat Penagak Hukum, dengan ditopang ketersediaan sarana dan prasarana penegakan hukum dan penanggulangan tindak pidana, serta sikap penerimaan hukum oleh masyarakat, yang didasarkan dengan budaya yang hidup dan berkembang di masyarakat.
III. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Upaya Kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana penyebaran berita bohong
(hoax), antara lain terdiri dari tiga bagian
pokok, yakni:
1. Pre-emtif, adapun yang dimaksud
dengan upaya pre-emtif adalah
menanamkan nilai nilai/norma-norma yang baik sehingga terkristalisasi dalam diri seseorang untuk mencegah dirinya berbuat kejahatan, dalam pencegahan ini berasal dari teori NKK (Niat + Kesempatan = Kejahatan), jika
nilai-nilai atau norma-norma sudah
terkristalisasi dengan baik maka bisa menghilangkan niat untuk berbuat kejahatan walaupun ada kesempatan. Pencegahan pre-emtif yang dilakukan oleh kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana pelaku penyebar berita
bohong (hoax) adalah dengan cara
melakukan sosialisasi melalui media
sosial (social media).
2. Preventif, adapun yang dimaksud
dengan upaya-upaya preventif ini
Pencegahan preventif yang dilakukan oleh kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana pelaku penyebar berita
bohong (hoax) adalah dengan cara
membentuk Satuan Tugas Cyber Patrol
(Satgas Cyber Patrol), yang bertugas
mengawasi Tekhnologi Informasi atau Media Sosial.
3. Refresif, adapun yang dimaksud dengan upaya refresif adalah upaya yang dilakukan pada saat telah terjadi tindak pidana/kejahatan yang
tindakannya berupa penegakan
hukum(law enforcement) dengan
menjatuhkan hukuman. Upaya
refresif adalah suatu upaya
penanggulangan kejahatan secara konsepsional yang ditempuh setelah
terjadinya kejahatan.
Penanggulangan dengan upaya
refresif untuk menindak para pelaku sesuai dengan perbuatannya serta memperbaiki kembali agar mereka
sadar bahwa perbuatan yang
dilakukannya adalah perbuatan
melanggar hukum dan merugikan
masyarakat, sehingga tidak
mengulanginya dan orang lain juga tidak akan melakukannya mengingat sanksi yang berat. Upaya refresif yang dilakukan oleh kepolisian dalam penanggulangan tindak pidana
pelaku penyebar berita bohong
(hoax) adalah dengan cara
melakukan penegakan hukum
terhadap pelaku penyebar berita
bohong (hoax) melalui tahap
penyelidikan dan penyidikan.
Faktor yang menjadi penghambat dalam
penanggulangan berita bohong (hoax),
antara lain sebagai berikut:
a. Faktor aparat penegak hukum, yaitu
secara kuantitas masih terbatasnya jumlah penyidik dan secara kualitas
sumber daya manusia yang masih belum menguasai tentang ITE;
b. Faktor sarana dan prasarana, yaitu
belum tersedianya alat digital
forensic di Polda Lampung, sehingga
masih membutuhkan koordinasi
dengan Bareskrim Mabes Polri;
c. Faktor masyarakat, yaitu rendahnya
pendidikan dan pemahaman
masyarakat terhadap informasi,
sehingga hoax atau berita bohong
gampang tersebar;
d. Faktor budaya, yaitu rendahnya
kesadaran masyarakat terhadap
budaya, kecendrungan masyarakat adalah apatis dengan nilai-nilai kebudayaan.
Saran dalam penelitian ini adalah, sebagai berikut:
1. Peningkatan sarana dan prasarana
khususnya untuk membantu kepolisian
dalam proses penyidikan dan
pembuktian tindak pidana penyebaran berita bohong(hoax),seperti pengadaan
alat digital forensic
2. Masyarakat diharapkan bisa menahan
diri untuk tidak mudah
membagikan/membroadcast informasi
DAFTAR PUSTAKA
A. LITERATUR
Andrisman, Tri. 2011. Hukum Pidana.
Universitas Lampung. Bandar
Lampung
Arief Mansuu, Dikdik M.2005. Cyber Law
Aspek Hukum Teknologi Informasi.
PT. Refika Aditama. Bandung.
Chazawi, Adam dan Ardi Ferdian.2015.
Tindak Pidana Informasi dan
Transaksi Elektronik. Media Nusa
Creative. Malang.
Firganefi dan Deni Achmad. 2013. Hukum
Kriminologi. PKKPUU. Bandar
Lampung.
Nawawi, Arief Barda. 2005. Tindak Pidana
Mayantara. PT. Raja Grafindo
Persada. Jakarta.
---. 2008. Bunga Rampai Kebijakan
Hukum Pidana. Kencana Prenada
Media Group. Jakarta.
Soekanto, Soerjono, 1984, Penanggulangan
Kejahatan. Jakarta, Rajawali Pers
---. 2007. Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Penegakan Hukum.
Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Tabah, Anton. 2002. Terjemahan Buku
Polica Reacen War. Tunggul Maju.
Jakarta.
B. PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang No.19 Tahun 2016 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang
No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi Transaksi Elektronik.
Lembaran Negara RI Tahun 2016,
No.251. Sekertariat Negara.
Jakarta.
Undang-Undang No.02 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Republik Indonesia.
Lembaran Negara RI Tahun 2002,