GLOBAL CITY SEBAGAI PARADIGMA PEMBANGUNAN
EKONOMI KOTA DI ERA GLOBALISASI : TINJAUAN
ANALISIS TEORI
Wasisto Raharjo Jati*
Abstract
This article aims to analyze the concept of global city as alternative paradigm in the city devel-opment in the era of globalization. This concept accommodate economic investment from abroad to build its industrial base in the city of a country. Cities are no longer oriented as the center of the national economy, but also the actors who compete with other cities in the world to make a profit. City then experience specialized function that only focus on the development of only one sector of the economy to maximize its comparative advantage. Interedepedence between cities in the world is the way a city to have an exchange of economic resources with other cities. Keywords: Global City, Urban Studies, Interdepedence, Globalization
Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk menganalisa konsep global city sebagai paradigma alternatif dalam pembangunan kota di era globalisasi. Konsep ini mencakup investasi ekonomi asing untuk mendirikan basis industrinya dalam kota di suatu negara. Kota tidak lagi berorientasi sebagai pusat ekonomi nasional, tetapi juga sebagai aktor yang bersaing dengan kota-kota lain di dunia untuk mendapatkan keuntungan. Kota kemudian mengalami spesialisasi fungsi yang hanya berfokus pada pembangunan satu sektor ekonomi untuk memaksimalkan keunggulan komparatifnya. Interdependensi antar kota di dunia menjadi suatu cara bagi sebuah kota untuk saling bertukar sumber-sumber ekonomi dengan kota lain.
Kata kunci: kota global, studi perkotaan, interdependensi, globalisasi.
VOLUME 03 No. 2 Agustus 2013 Halaman 109-121
_________________
Pendahuluan
Premis utama dalam membahas relasi antara globalisasi dan pengembangan kota adalah tentang interdependensi. Globalisasi yang ditandai dengan adanya keterbukaan pasar, teknologi informasi, maupun modal
membawa implikasi semakin
terintegrasinya ke dalam sistem global. Adapun sistem tersebut tidaklah statis dan tersentralkan dalam satu sentrum saja, namun terhubung antar satu sama lainnya. Globalisasi sejatinya adalah arena besar yang mendesain konektivitas itu berlangsung dalam berbagai arah, Dalam bahasa Castells konektivitas tersebut merupakan pergeseran dari space of places telah berubah menjadi space of flows. (Castell, 2000: 6) Aliran modal dan informasi itu berjalan secara dinamis menembus batas ruang waktu serta terjadi dalam kapanpun dan di manapun. Oleh karena itulah, sangatlah sulit sekali bagi individu pada zaman sekarang untuk menolak globalisasi karena secara sadar dan tidak sadar, kita sendiri sudah berada dalam globalisasi.
Interdependensi antar sentrum ekonomi dalam arena globalisasi memberi pengaruh besar terhadap rekonfigurasi mengenai eksistensi kota-kota di dunia yang selama ini menjadi pusat ekonomi di negaranya. Kota yang sejatinya berfungsi sebagai akumulator dan redistributor kue ekonomi yang berputar dalam skope perekonomian nasional kini harus berhadapan dengan kota lainnya di berbagai penjuru dunia untuk saling berkontestasi memperoleh kue ekonomi secara masif untuk perkembangan ekonomi kotanya. (Sassen, 1991: 10) Implikasi yang timbul kemudian adalah kota kini tidaklah lagi berorientasi dalam ranah lokal maupun nasional saja, namun juga diharuskan untuk berorientasi kepada global. Adapun istilah “kota
glo-bal” (global city) yang diangkat sebagai tema utama dalam penulisan makalah ini merupakan sebentuk paradigma baru pengembangan kota dalam arena globalisasi. (Abrahamson, 2004: 12) Pemahaman tersebut memiliki perbedaan dengan istilah kota dunia (world city) yang terlebih dahulu eksis di kalangan sarjana studi politik perkotaan (urban politik). (Sassen, 2005: 21-43) Perbedaannya adalah kota dunia sendiri lebih mengarah perputaran kapital dan informasi hanya berpusat pada kota-kota di kawasan Utara (global north) seperti halnya London, Amsterdam, New York, maupun Paris, sehingga karakter pengembangan kotanya lebih mengarah kepada perluasan ruang makro ekonomi untuk melancarkan kegiatan transaksi pasar bebas. Kota global (global city) memberikan ruang deliberasi ekonomi bahwa kue perekonomian sendiri tidak hanya berlangsung dalam satu kawasan, namun terinklusifkan antar sesama kawasan di dunia. Artinya, tidak ada relasi subordinasi antara kota dunia pertama dengan kota dunia ketiga, karena interdepensi yang ditawarkan dalam pengembangan kota sebagaimana yang ditawarkan dalam global city.
Maka tulisan akan mengulas lebih lanjut mengenai paradigma global city sendiri dalam analisis teori mengingat kajian ini merupakan baru dalam studi politik perkotaan. Adapun tulisan dalam makalah ini akan dibagi dalam berbagai subbab pembahasan 1) membahas mengenai terbentuknya global city 2)
menjelaskan mengenai fase
Terbentuknya Global City
Terdapat berbagai alasan mengapa kota diharuskan mengalami transformasi menjadi kota global pada era sekarang ini. Diantaranya, peniadaan batas-batas geografis telah membuat kondisi perekonomian global sendiri berkembang sangat kompleks di mana semua kawasan sub-nasional sendiri ikut berpartisipasi dalam arena global tersebut. Hal itulah yang kemudian mendorong adanya spesialisasi antar kota global di dunia yang saling terkoordinasi dan termanajerialkan dalam satu arena. (Duffy, 1995: 34) Spesialisasi ekonomi yang berkembang antar kawasan tersebut terbagi dua yakni ekonomi formal dan ekonomi informal. Dalam ranah ekonomi formal, kini ditandai dengan pertumbuhan kelas menengah ekonomi yang berbasiskan pada tenaga professional maupun pembangunan infrastruktur yang pesat. Hal inilah yang kemudian pertumbuhan suatu kota pun berkembang menjadi kawasan kosmopolitan. Setidaknya inilah yang bisa kita potret dari fenomena kota kembar (twin city) maupun kota bersaudara (sister city) yang marak terjadi dalam diplomasi antar kota besar dunia mutakhir. Spesialisasi yang diwujudkan dalam kota kembar maupun kota saudara sebenarnya adalah upaya mengidentifikasi similaritas sumber pendapatan ekonomi sama yang digali dari karakteristik sosio ekonomi maupun sosio kultural dari masing-masing kota. Selain itu, spesialisasi juga bentuk dari new international division of labor yakni adanya transfer/perpindahan (relocation) secara off-shore dan perluasan industri dari kawasan kota industri yang terletak di kawasan negara maju menuju kepada kota di negara berkembang yang tengah membangun industrialisasinya. Hal tersebut dapat diindikasi dari pertukaran sumber daya antar kedua dalam rangka
memperkuat perekonomian formal seperti halnya pertukaran SDM profesional, promosi investasi ekonomi, maupun hubungan mutualisme lainnya. Dimensi ekonomi informal kini ditandai dengan pesatnya intensitas pekerja migran yang berlangsung antar dua kota yang berbeda negara. Pekerja migran itu berasal dari kawasan perkotaan yang telah mengalami overload pembangunan ekonomi sehingga tidak mampu lagi menampung lonjakan pekerja urban yang berasal dari desa. Hal inilah yang kemudian terjadinya trans-urbanisasi (trans-urbanization) yakni perpindahan dari desa ke kota besar di berbagai penjuru dunia untuk memperoleh penghasilan ekonomi yang lebih baik.
berfokus pada pusat keuangan dunia, Shanghai menjadi pusat bisnis utama di Asia Timur, Singapura berfokus pada layanan redistribusi (hub port) dan tran-sit, London pusat bursa dunia, dan Paris sebagai pusat bisnis ekonomi kreatif. Hal ini ditujukan untuk membangun keunggulan komparatif kotanya masing-masing. Dua hal yang penting dalam mengkorelasikan globalisasi dan kota glo-bal adalah masalah mobilitas gloglo-bal ( glo-bal mobility) dan keadaan yang tetap (global fixity). (McCann, 2004: 2315– 2333) Kedua hal tersebut berpengaruh kepada iklim investasi yang masuk ke dalam perekonomian global tersebut. Adapun kota yang berkembang menjadi sebuah kota global, dua hal tersebut bersifat wajib dan signifikan dalam rangka mengembangkan perekonomian kotanya. Secara khusus, mobilitas global (global mobility) dalam sebuah kota glo-bal adalah sarana transportasi yang menunjang seperti ketersediaan sistem MRT (mass rapid transit) yang mampu mengangkut banyak orang sekali jalan sehingga memudahkan untuk berpindah dari satu tempat ket tempat lainnya dan keadaan yang tetap (global fixity) adalah keadaan stabilitas ekonomi dan politik yang stabil tanpa adanya gangguan yang sekiranya dapat menganggu kegiatan perekonomian. Aspek sekuritas tersebut merupakan penjamin bahwa berinvestasi di kota global adalah pilihan bijak karena ketersediaan jaringan dan aliran modal yang begitu cepat dan dinamis.
Hal inilah kemudian banyak kota besar di dunia kini ramai-ramai membuat tagline kampanye untuk mencitrakan dirinya sebagai kota global seperti halnya Malaysia dengan Truly Asia , Singapore dengan Yours Singapore, hingga kota-kota Indonesia juga memiliki inidkasi serupa seperti Yogyakarta dengan Never Ending Asia maupun Solo dengan Spirit
of Java. Memang kalau ditinjau lebih lanjut, konsep itu merupakan bagian dari kampanye turisme untuk menggaet para wisatawan dari lokal, nasional, bahkan global. Akan tetapi ditinjau dari sudut pandang politik perkotaan, hal itu merupakan sebentuk pencitraan diri kota yang semula berbasiskan pada ekonomi lokal mulai beralih kepada ekonomi glo-bal dengan mengedepankan karakter identitas lokalnya. Hal inilah yang kemudian terjadi proses glokalisasi dalam pengembangan kota di kawasan lokal kedaerahan menjadi kota global, namun
tanpa meninggalkan karakter
budayanya.
Transformasi Kota Menjadi Kota
Global
dilakukan oleh Shahid Yusuf di Shang-hai maupun McCann di Lexington. Yusuf dalam kasus Shanghai, semenjak Cina memberlakukan sistem gaige kaifang (ekonomi terbuka) menempatkan kota-kota di Pantai Timur sebagai pintu utama datangnya investasi asing. Hasilnya kemudian adalah terjadi perubahan fungsi kota-kota di Cina khususnya dalam menyambut era keterbukaan tersebut. Perubahan fungsi tersebut terlihat adanya spesialisasi kota-kota di Cina di mana terdapat kota industri, kota pertanian, kota perdagangan, maupun kota perakitan. Shanghai sendiri ditempatkan sebagai hub city dari kota-kota tersebut di mana Shanghai berperan sebagai manajer dan sekaligus hilir dari produksi komoditas kota-kota tersebut untuk kemudian dijual ke pasaran global. (Yusuf, 2002: 1213–1240) Sedangkan dalam kasus Lexington, kota tersebut mengalami bentuk transformasi dari semula levelnya municipality (kota madya) berkembang menjadi city (kota besar). Adalah IBM selaku perusahaan multi nasional yang bertempat di kota tersebut turut mempengaruhi perubahan tersebut di mana kota yang semula dari hanya diisi oleh kalangan warga lokal kini turut juga dipenuhi kalangan ekspatriat. (McCann, 2004: 2320) Hal yang bisa kita tangkap dari contoh studi kasus di Shanghai dan Lexington tersebut adalah munculnya inter-city networking. Istilah tersebut menggambarkan adanya ketergantungan antara kota besar dengan kota kecil lainnya yang tujuannya untuk mendukung fungsi ekonomi kota besar. (Scott, 2008: 56)
Urbanisasi yang biasanya
terkonsentrasikan di kota besar secara perlahan mulai bergeser ke arah kota kecil tersebut. Kota kecil atau yang biasa disebut kota satelit memang sangatlah
urgen dan signifikan dalam
pengembangan kota di era globalisasi sekarang ini. Keberadaanya sebagai penyuplai (hinterlands) ekonomi bagi kota besar baik itu sebagai penyuplai tenaga kerja maupun industrialisasi, penting mereduksi beban ekonomi yang harus ditanggung oleh kota besar. Oleh karena itulah, tidaklah mengherankan apabila kini di kota-kota besar dunia sendiri lazim dikenal sebagai kawasan megapolitan maupun mega urban. Megapolitan tersebut pada dasarnya merupakan bentuk aglomerasi spasial maupun ekonomi yang dilakukan oleh kota besar dengan menarik beberapa kota-kota kecil di sekitarnya agar menjadi penyangga kota besar tersebut. Apalagi kalau kota besar tersebut sudah berkembang menjadi kota global, tentunya itu akan menambah daya pikat bagi kota kecil untuk bergabung dalam kawasan megapolitan kota besar tersebut. Setidaknya megapolitan dalam kota glo-bal bisa menarik 2 hingga 5 kota kecil untuk menjadi penyangganya sebut saja Megapolitan Tokyo yang menarik Kawasaki, Roppongi, dan Yokohama sebagai kawasan penyangga, Hongkong dengan Guangzhou, dan Shenzen.
dalam bidang ekonomi karena
mempunyai megapolitan
Gerbangkertasusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Surabaya, Sidoarjo, dan Lamongan), sementara Bandung dipilih karena turisme dan kekuatan ekonomi kreatifnya sebagai sumber penggerak ekonomi kota. Untuk menjadi sebuah kota
global harus melalui berbagai tahapan yang bentuknya mengikuti pola berjenjang (stagist). Umumnya pola berjenjang tersebut mengikuti pola prismatik atau mengikuti pola piramida di mana posisi kota global sendiri berada di puncak. Adapun penjelasannya disampaikan dalam tabel berikut ini.
Tabel 1 : Fase Perkembangan Kota Global (Global City)
Sumber : Ruble (1996).
Fase Perkembangan
(paths)
Karakteristik Contoh Kota
Global City Perekonomian kota sudah tidak lagi berorientasi kepada ekonomi nasional, namun berorientasi kepada ekonomi dunia.
Kota sudah bisa memerankan dirinya sebagai sentrum kebijakan ekonomi dunia
Lingkaran kota-kota di Atlantik Utara seperti New York, London, Tokyo, Paris, dan Singapura
Post Industrial City Pola industrialisasi telah terbangun sejak lama
Penyesuaian terhadap masyarakat post industri Persaingan sosial yang keras
Kota-kota di kawasan Mediterania seperti Marseille, Madrid, maupun Barcelona
Kota-kota yang terletak di kawasan Eropa Tengah seperti Amsterdam, Berlin, Frankfurt.
New Age Boomtown Kapitalisasi terhadap industrialisasi baru seperti ekonomi kreatif dan teknologi informasi
Sektor jasa keuangan menjadi mesin utama penggerak ekonomi
Lingkaran kota-kota di Pasifik seperti Sydney, Singapura, dan Hong Kong. Amerika Utara seperti Vancouver dan Seattle Amerika Latin seperti Sao Paulo, Buenos Aires, dan Bogota
Kota-kota Eropa seperti Brussels dan Montpellier
Post-Socialist Society
Pola ekonomi yang masih mengalami transisi dari sosialis menuju kapitalis
Industrialisasi yang belum mengarah kepada komersial, namun lebih cenderung kepada komunalisme
Kota-kota yang terletak di kawasan Eropa Timur dan kawasan Eurasia, Kaukasus, maupun bekas negara komunis.
Partially Marketized City
Perekonomian kota didominasi ekonomi agraris dan ekonomi semi industri
Kuatnya pengaruh negara dalam bidang perekonomian
Kota-kota Amerika Latin
Marginalized city Ekonomi kota masih bersifat subsisten dalam artian belum menyentuh kepada komersialisasi industri
Produk ekonomi kota dominan dikuasai oleh produk agraris dan ekstratif
Dari berbagai tahapan tersebut, terdapat perkembangan linearitas yang dicapai sebuah kota untuk berkembang menjadi sebuah kota global. Mulai dari level sederhana yakni munculnya marginalized city hingga yang paling tinggi adalah global city. Adapun pengertian marginalized city sendiri bisa beragam, yang pertama adalah marginalized city bisa berarti kota tersebut mengalami marjinalisasi ekonomi dan kalah saing dengan kota-kota besar dunia. Jika yang menjadi dasar adalah kota-kota di Afrika, sepertinya tesis tersebut memang dirasa relevan. Namun bisa saja, konteks marginalized city diartikan sebagai bentuk masuknya kota-kota satelit menuju kota-kota utama sehingga istilah marginalized sendiri kemudian ditambahkan. Pengertian kedua tersebut merupakan bentuk modifikasi konsep Lewis Munfred mengenai sirkulasi kota (city circulation) di mana terdapat pembagian fungsi kota dari semula yakni CBD (Central Bussiness District) hingga kepada kawasan suburban fringes. Dalam hal ini, kita tempatkan posisi marginalized city sendiri ke dalam posisi suburban fringe tersebut yang sedang berkembang menjadi CBD dalam skala ekonomi glo-bal.
Adapun dalam memaknai kota glo-bal sebagai fase puncak dari perkembangan kota di era globalisasi sendiri juga memiliki berbagai macam lokus pemaknaan dalam mendefinsiikan pengembangan ekonomi global yang diemban kota tersebut. Friedmann (1986) sendiri lebih menyebutnya sebagai kota dunia (world city) sebagai tesis utama
dalam menghubungkan antara
urbanisasi sebagai wujud transfer ekonomi dari desa ke kota dengan fenomena internasional division of labour dalam globalisasi di mana dari situ kemudian terjadi proses tarik-menarik
yang kait mengkait antar keduanya. (Friedmann, 1986: 69-84) Berbeda halnya dengan dengan Friedmaan yang mengkorelasikan antara urbanisasi dan globalisasi dalam model kota dunia, pemikiran Castells (2000) sendiri lebih mengarah kepada global city sebagai mega cities di mana kota global berperan
sebagai sentral yang mampu
glo-bal yang berkompetitif.
Adapun bentuk negatif dari sprawl-isasi tersebut adalah munculnya gejala “gegar budaya” (cultural shock) yang dialami penduduk desa karena efek modernisasi dan globalisasi telah menggerus budaya lokal. Efek lainnya dari aglomerasi kota tersebut adalah menurunnya daerah hijau karena semua telah terkonversi menjadi kawasan hutan beton. Kondisi tersebut tentu saja membahayakan perekonomian kota glo-bal di mana ancaman bencana yang diakibatkan aglomerasi ekonomi kota yang merajalela justru menjadi bumerang tersendiri. Oleh karena itulah, penempatan konsep global city menjadi mega cities sebagaiamana yang dimaksudkan oleh Castell sendiri perlu disikapi berhati-hati, karena jika salah memposisikan aglomerasi ekonomi dalam global city malah justru akan menjadi
bencana.
Ada berbagai macam paradigma dalam menjelaskan konsep global city. Perlu ditegaskan pula bahwa penyebutan paradigma tersebut bukan berarti bahwa terdapat banyak definisi untuk menjelaskan makna global city.
Paradigma tersebut hanya
menitikberatkan pada aspek tertentu dari global city untuk kemudian dispesifikasikan menjadi pemahaman baru lainnya. Namun bisa juga, paradigma tersebut digunakan untuk menyederhanakan pengertian global city yang masih sangat abstrak dan general sehingga masyarakat awam pun bisa
mengerti mengenai apa yang
dimaksudkan/memudahkan pengertian global city tersebut. Berikut ini merupakan bagian dari paradigma dari global city tersebut dalam tabulasi penjelasan di bawah ini.
Tabel 2 : Fase Paradigma Kota Global (Global City)
Sumber : Lin Ye (2007).
Tabulasi tersebut merupakan deskripsi analisis terhadap eksistensi kota global yang umumnya dominan menyebutkan bahwa kota global sendiri merupakan sentrum dari perekonomian dunia seperti dalam analisis world cities maupun mega cities. Hal inilah yang kemudian ingin dijelaskan dalam sub
pembahasan berikutnya mengenai kompetisi ekonomi seperti apakah yang dijalankan oleh kota global. Logika kompetisi sekaligus pusat ekonomi dunia secara tidak langsung merujuk pada perkembangan kapitalisme dunia sekarang ini. Fenomena tersebut turut merubah tatanan kota yang semula World Cities Mega Cities Global Cities Primate Cities
x Integrasi ke
dalam sistem
ekonomi dunia
x Sektor produksi
yang khusus
x Konsentrasi dan
akumulasi capital
x Polarisasi spasial
dan sosial
x Tujuan dari
destinasi dan
migrasi pekerja
ekonomi formal
dan informal
x Aglomerasi dari
ekonomi lokal,
nasional, dan
global
x Konsentrasi
ekonomi pada
aspek produksi,
pola distribusi,
cara konsumsi
x Kontrol media
dunia yang besar
x Pusat komando
dari perekonomian dunia
xPusatnya dari
para tenaga
professional untuk mobilisasi
ekonomi dunia
xTempat utama
terjadinya proses industrialisasi
ekonominya ke
seluruh dunia
xPusat dari
kegiatan
perbankan dan
jasa keuangan
lainnya
sangat berorientasi kepada government kini lebih mengarah pada bisnis (bussinees). (Eade, 1997: 20) Kondisi tersebut mengharuskan kota sebagai entitas bisnis berbasis spasial bergerak lebih dinamis dalam rangka meraih investasi asing demi pengembangan kotanya. Kendala utama dalam mewujudkan keinginan tersebut berasal dari hierarki regulasi yang mengikat. Hal inilah yang kemudian kota sendiri tidak bisa dinamis dalam menjalin kerjasama dengan luar negeri. Apalagi dalam konsep otonomi daerah di Indonesia, hak politik luar negeri sendiri masih dipegang oleh
pemerintah pusat sehingga
pengembangan kota di era globalisasi sendiri cenderung monoton.
Bila kita melihat kasus kota besar di Indonesia entah itu Jakarta, Medan, dan Surabaya sebenarnya jika dilihat aspek sejarah pembangunan sekaligus pengembangan kotanya sebenarnya sudah didesain menjadi kota global dengan tumbuhnya bandar-bandar perdagangan internasional yang terletak di pesisir pantai. Pengaruh kolonialisme memang menjadikan kota Indonesia menjadi kota global dengan tatanan kotanya yang sudah didesain untuk melayani pedagang internasional. Hanya saja kemudian, ketika Indonesia sudah merdeka, terjadi stagnasi dalam mengembangkan desain kotanya. Mayoritas pengembangan kota di Indo-nesia era 1970-an yang ditandai dengan modernisasi membuat kawasan pusat kota secara besar-besaran juga mengalami pergeseran fungsi, dari pusat industri manufaktur menjadi pusat kegiatan bisnis, keuangan dan jasa. Industri manufaktur bergeser ke arah tepi kota. Permukiman di pusat kota beralih fungsi menjadi kawasan bisnis, supermall, perkantoran dan sebagainya, sedangkan permukiman begeser ke arah pinggir kota.
Stagnasi yang dimaksudkan adalah tidak ada konsep yang jelas dalam menata sebuah kota besar untuk bertransformasi menjadi kota global. (Rutz, 1987: 60) Seperti yang telah disinggung bahwa kota global merupakan kota yang terspesialisasi komoditas unggulannya sehingga dapat bersaing dengan kota besar lainnya, kota besar di Indonesia seperti halnya monster city yang rakus untuk menjalankan semua fungsi mulai dari kota industri, kota permukiman, kota hiburan, maupun kota birokrasi. Beban yang ditanggung kota terhadap berbagai fungsi tersebut membuat kota sendiri tidak memfokuskan diri untuk
mengembangkan keunggulan
komparatifnya terhadap satu fungsi tertentu saja.
Dalam survei yang dilakukan oleh majalah Asiaweeks pada pertengahan Juli 2011 silam menyebutkan bahwa kota-kota besar di Indoensia pada dasarnya tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk bersaing menjadi sebuah kota global. Kondisi tersebut didasarkan fakta bahwa kebobrokan sistem birokrasi kota, kesemrawutan sistem transportasi massal, dan lonjakan kaum urban yang tidak terkendali. Kota Jakarta dalam berbagai analisis ekonomi-politik ditempatkan sebagai kota yang berprospek ekonomi cerah di Asia dan berperan sebagai kota menjanjikan pada tahun 2025 sebenarnya tidak lebih dari sekedar isapan jempol. Dari berbagai analisis yang dilakukan oleh akademisi yang konsentrasi terhadap studi perkotaan menyebutkan bahwa kota Ja-karta sendiri gagal dalam menjalankan fungsinya sebagai kota global dilihat dari
aspek keamanan, kenyamanan,
menyebutnya sebagai kota mati (death city) pada 2025.
Interdependensi yang menjadi link-age antara globalisasi dan studi perkotaan dalam membahas kota global sebenarnya sudah diterapkan Jakarta maupun Surabaya sebagai representasi kota glo-bal dari Indonesia menurut Global City Competitiveness Index. Hanya saja interdependensi kedua kota tersebut dengan kota-kota di sekitarnya cenderung hierarkis dalam artian kota-kota tersebut tidak ditempatkan dalam relasi setara dengan kedua kota itu. Kondisi tersebut
mengakibatkan tidak terjadi
interdependensi antar kota, malah justru kompetisi internal dalam kota. Baik kota besar dengan kota satelit sama-sama bersaing memperebutkan titel kota global yang sebenarnya hanya untuk
pencitraan diri pemangku
pemerintahannya saja. Globalisasi sebagai paradigma dalam pengembangan kota memang bertujuan mengajak untuk berkompetisi meraih laba yang tinggi, hanya saja itu berlangsung dalam kondisi yang seimbang. Dalam kasus Indonesia, kota besar sebagai core dan kota kecil sebagai hinterlands tidak ada koordinasi yang baik dalam mengembangkan potensi kota-kotanya masing-masing. Dalam istilah politik perkotaan, koordinasi kota dikenal sebagai urban governance (pengelolaan kota). Istilah tersebut mengindikasikan adanya kepedulian kota besar terhadap perkembangan kota-kota di sekitarnya dengan menyediakan insentif berupa sistem transportasi massal, industrialisasi, dan lain sebagainya. Inti yang ingin disampaikan ialah keinginan kota untuk melakukan benefit sharing dari proses akumulasi kapital dalam globalisasi secara adil dan merata dengan kota kecil maupun desa. Masalah disparitas memang menjadi kendala dalam relasi kota global dengan kota
lainnya untuk mengembangkan
ekonominya sehingga sebisa mungkin harus diminimalisir.
Kota Global : Dari Industri ke Post
Industri
ditentukan dalam rapat dewan kota yang isinya merupakan para komisioner perusahaan yang berkecimpung dalam kota tersebut. Otorita kota yang lazim di dunia seperti Hongkong, Macau, Dubai, dan lain sebagainya memang menempuh cara tersebut demi kepentingan bisnis. Maka tidaklah salah kalau dalam menjalankan sebuah kota global (global city) sendiri, prinsip business as usual lebih dikedepankan daripada politic as usual dalam memimpin kota. (Clark, 2004: 34) Prinsip apolitis yang disematkan kota global pada dasarnya ditujukan untuk menghindari dan mereduksi intervensi politik dari pusat dalam kegiatan bisnis di kota global. Kota global memang mendapat perlakuan khusus sesuai dengan perannya sebagai mesin ekonomi nasional di kancah globalisasi dengan diberikannya status otonomi khusus kepada kota tersebut. Aplikasi otonomi khusus tersebut merupakan bentuk dari otonomi asimetris yang dianut sebuah negara terhadap suatu daerah yang kapasitasnya mampu menghadirkan keuntungan kepada negara melalui kegiatan bisnisnya.
Otonomi asimetris bagi kota global untuk menjalankan bisnisnya memang banyak dipraktekkan di berbagai negara seperti Dubai, Hongkong, Macau, Shenzen, Alexandria, Seattle, Barcelona, London, New York, dan lain sebagainya. Implementasi otonomi khusus akan membuat status kota global yang disandang oleh sebuah kota besar akan menjadi riil dan tidak hanya istilah seremonial belaka saja. Hal tersebut juga memberikan kepastian hukum bagi para investor asing untuk menanamkan modalnya di kota tersebut dengan fasilitas ekonomi yang menunjang seperti fasilitas jalan bebas hambatan, insentif pajak berupa tax holiday, bebas bea impor, dan lain sebagainya. Implikasinya kemudian
merambah luas kepada terbentuknya jejaring interdependensi yang kuat antar kota-kota di dunia dalam proses industrialisasi.
Pada dasarnya, kota global memang mengandalkan diri pada proses industrialisasi manufaktur maupun infrastruktur. Kondisi semacam itu segaris dengan paradigma fordisme yang marak terjadi di era 1970-1980 di mana konsumsi barang yang meningkat berimplikasinya naiknya angka produktivitas barang industri. Era tersebut juga merupakan pertanda zaman konsumsi massal yang tinggi (high mass consumption) yang dialami berbagai negara dunia karena adanya modernisasi ekonomi, kemajuan teknologi, (Abrahamson, 2004: 75) maupun boom-ing harga minyak dunia sehingga terjadi pertukaran kesejahteraan yang seimbang antara kota negara maju yang mengandalkan kepada barang teknologi dan barang produksi ekstratif. Adapun dalam era sekarang ini, kota global kini mengalami perubahan fungsi yang semula industry oriented dengan produksi benda fisik kini berganti dengan post-industry oriented dengan menjual jasa. Jasa yang dimaksudkan adalah jasa perbankan, jasa industry, maupun jenis jasa ekonomi lainnya yang umumnya mengarah pada aspek supporting system dalam kegiatan perekonomian.
dunia yang mana semua aliran kapital, teknologi, dan informasi sendiri biasanya berasal dari kota Alpha tersebut. Sebagai contoh, New York menjadi kota Alpha karena adanya NYSE (New York Stock Exchanges), London melalui bursa harga minyak, Singapura karena kotanya yang strategis terletak di jalur perdagangan dunia. Indikator Beta sendiri mengindikasikan bahwa kota tersebut kota-kota yang selama ini menjadi kota industrialisasi produk dunia maupun kota tempat perusahaan multinasional berpusat. (Huang, 2007: 209-231) Yang masuk dalam kategori Beta ini adalah At-lanta, Melbourne, Barcelona, Dallas, dan Oslo. Adapun gamma merupakan predikat bagi kota yang memegang kendali sebagai kota industri dan net ex-porter bagi komoditas teknologi. Kota-kota yang masuk dalam kategorial ini adalah Guatemala City, Manama, Minneapolis, Montreal, dan Nairobi.
Secara garis besar, survey yang dilakukan oleh GAWC sendiri menunjukkan bahwa terdapat hierarki kuasa dalam mengklasifikasi berbagai kota besar dunia. Hierarki kuasa tersebut bisa saja kembali dalam analisis dikotomi utara (global north) dan selatan (global south) yang selama ini kerap menghiasi perdebatan akademik seputar disparitas kesejahteraan dan kesenjangan ekonomi antar kota di negara dunia pertama dengan kota dunia ketiga. Namun analisis tersebut tidak sepenuh benar mengingat dalam rilis indeks kompetitif kota besar dunia di arena globalisasi menyebutkan bahwa yang menjadi indikator meliputi berbagai hal seperti sarana-prasarana, tingkat pendidikan, sistem transportasi, sistem perumahan, kesehatan, sanitasi, dan ruang publik. Artinya pengertian kota global (global city)tidaklah selalu menunjuk pada kota-kota di kawasan Asia Timur, Eropa Barat,
dan Amerika Utara yang acap kali disebut sebagai kota dunia yang maju dan modern. Buktinya terdapat kota global yang berpredikat alpha sendiri justru berada di kawasan dunia ketiga sendiri justru masuk deretan kota berpredikat tersebut seperti halnya Jakarta, Mumbai, Kalkuta, Sao Paolo, Meksiko, Kuala Lumpur, maupun Manila yang selama ini diposisikan sebagai emerging markets dalam era globalisasi sekarang ini. Oleh karena itulah, derajat kompetitif sebuah kota bukanlah diukur dalam persepsi bahwa kota global sendiri terletak di negara maju, pengertian kota global merupakan cara/parameter bagi manajer kota untuk memperbaiki kotanya agar mampu bersaing secara kompetitif dalam era globalisasi sekaligus memenuhi kepentingan nasionalnya dalam relasi antar bangsa.
Kesimpulan
hold-ing home) bagi entitas bisnis yang menggerakkan usahanya di kota tersebut dengan memberi berbagai kemudahan bagi pebisnis untuk memperluas pangsa pasarnya dengan menjadikan kota sebagai basis operasionalisasinya. Oleh
karena itulah, dalam usaha
pengembangan kota besar di Indonesia. Konsep ini perlu untuk disosialisasikan demi meningkatkan daya saing daerah di kancah global.
Daftar Pustaka
Abrahamson, Mark. (2004) Global Cities. Oxford: Oxford University Press.
Castell, Matt. (2000) The Rise of the Network So-ciety. London: Blackwell Publishing
Clark, David. (2004) Urban World/Global City.
London: Routledge
Duffy, Hazel. (1995) Competitive Cities: Succeed-ing in The Global Economy. London: FN Spon
Eade, John. (1997) Living in The Global City : Globalization as Local Process. London : Routledge
Friedmann, John. (1986) The World City
Hypoth-esis. Development and Change. Cam-bridge: Cambridge University Press
GaWC. The World According to GAWC 2012.
Terdapat dalam: <http://
www.lboro.ac.uk/gawc/world2012.html> (Diakses pada 10 November 2012).
Huang, Yefang. (2007) Cities and Globalization:
An International Cities Perspective. Ur-ban Geography. Jurnal Urban Geogra-phy, 28 (3)
McCann, Eugene. (2004) Urban Political
Economy Beyond the ‘Global City.” Ur-ban Studies. London: Carfax Publishing Ruble, B. (1996) Preparing for the Urban Fortune: Global Pressures and Local Forces. Wash-ington D.C: Woodrow Wilson Center Press
Rutz, Werner. (1987) Cities and Towns in Indone-sia : Their Development, Current Position, and Function with regard to Administra-tion and Regional Autonomy. Berlin : Borntaeger
Sassen, Saskia. (1991) The Global City. New Jer-sey : Princeton University Press, 1991 Sassen, Saksia. (2005) “The Global City :
Intro-ducing a Concept.” Brown Journal of World Affairs, 11 (2), pp. 21-43.
Scott, Allen. (2008) Social Economy of the Me-tropolis : Cognitive-Cultural Capitalism and the Global Resurgence of Cities. Ox-ford : OxOx-ford University Press
Taylor, Peter. (2007) Cities in Globalization : Theories, Policies, and Practices. London : Routledge, 2007
Ye, Lin. (2007) Is Shanghai Really a “Global City?”. Makalah disajikan dalam Inter-national Conference on Globalism and Urban Change. (University of Louisville, Chicago, 8-10 Juli, 2007).
Yusuf, Shahid. (2002) Pathways to a World City: Shanghai Rising in an Era of Globalisation. Urban Studies, pp.1213– 1240.