• Tidak ada hasil yang ditemukan

kewenangan daerah khusus dan daerah isti

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "kewenangan daerah khusus dan daerah isti"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

KEWENANGAN DAERAH KHUSUS DAN DAERAH ISTIMEWA DALAM SISTEM NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA

A. Latar Belakang

Pada masa Amandemen UUD 1945, mengenai bentuk negara Kesatuan Republik

Indonesia sangat kuat untuk dipertahankan. Tidak ada keinginan politik dalam pembahasan

amandemen UUD oleh MPR 1998-2002 untuk mengubah bentuk negara. Hal ini di

masukkan dalam kesepakatan dasar yang disusun oleh panitia Ad Hoc I yang mana terdiri

dari lima butir antara lain :1

1. Tidak mengubah pembukaan UUD Negara kesatuan Republik Indonesia;

2. Tetap mempertahankan Negara kesatuan Republik Indonesia;

3. Mempertegas sistem pemerintahan presidensiil;

4. Penjelasan UUD Negara Republik Indonesia Tahun1945 yang memuat hal-hal normatif

akan dimasukkan dalam pasal-pasal (batang tubuh); 5. Melakukan perubahan secara adendum.

Jelas disana semangat untuk mempertahankan bentuk negara sebagai harga mati dalam

kenegaraan Republik Indonesia. Ketentuan mengenai bentuk negara ini dituangkan dlam

Pasal 1 ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi: Pasal 1 ayat (1)

Negara Indonesia adalah Negara kesatuan yang berbentuk republik.

Bahkan untuk mengantisipasi adanya perubahan mengenai bentuk negara kesatuan ini

dalam amandemen UUD NRI 1945 dicantumkan dalam Pasal 37 ayat (5) yang berbunyi: UUD NRI Tahun 1945 Pasal 37 ayat (5)

Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan.

Namun Negara Indonesia setelah amandemen UUD 1945 mengenal istilah daerah yang

bersifat khusus dan daerah yang bersifat istimewa. Ketentuan ini memiliki dasar hukum

dari Undang-Undang Dasar tepatnya pada Pasal 18B ayat (1) yang berbunyi :

Pasal 18B ayat (1)

(2)

“Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.

Eko Prasodjo seperti yang dikutip Edi Toet Hendratno menyatakan bahwa Pasal 18B ayat (1) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 yang menyebutkan negara mengakui

keistimewaan dan kekhususan suatus daerah dan keanekaragaman daerah dalam sistem

Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan kesamaan dengan konsep diversity in

unity (keragaman dalam kesatuan) dalam sistem federal.2 Hal tersebut dianggap

bertentangan dengan konsep negara kesatuan yang dianut di Indonesia sebagaimana yang

terdapat dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.3

Hendratno juga menyatakan bahwa pemberian status otonomi khusus maupun status keistimewaan terhadap daerah-daerah seperti Aceh dan Papua lebih mengarah pada model

bentuk susunan negara federal.4 Pandangan tersebut didasarkan pada berbagai alasan dan

argumentasi yang ditemukan dalam undang-undang pemerintahan daerah maupun dalam

undang-undang yang menjadi landasan yuridis bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah

di daerah otonomi khusus/istimewa.5Akan tetapi, tidak sedikit juga konsep atau teori hukum

tata negara yang dapat dijadikan landasan argumentasi untuk menyatakan bahwa status

otonomi khusus atau istimewa bagi daerah-daerah tertentu tetaplah merupakan bagian dari

model bentuk susunan negara kesatuan yang dianut Indonesia.

Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia adalah adanya pembagian

kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hampir seluruh

kewenangan pemerintah pusat diserahkan pada daerah, kecuali bidang; politik luar negeri,

2 Edie Toet Hendratno, Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme Graha Ilmu dan Universitas Pancasila Press, Jakarta: 2009, hlm.238

3 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, RajaGrafindo Persada,Jakarta: 2005, hlm. 95

4 Edie Toet Hendratno, Negara Kesatuan...,obcit

(3)

pertahanan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama.6 Hal ini

menimbulkan peningkatan tanggungjawab penyelenggaraan pemerintahan (penyediaan

barang publik dan pembangunan ekonomi) di tingkat daerah yang sangat besar.7 Termasuk

bagi daerah dengan status otonomi khusus maupun status istimewa. Penyerahan atau

membiarkan mengatur dan mengurus asas dan cara mnjalankan kewenangan pemerintahan

di daerah merupakan suatu otonom.8

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang tersebut penulis merumuskan rumusan masalah yang

akan dibahas yaitu :

1. Bagaimana kewenangan daerah istimewa/khusus dalam negara kesatuan Republik

Indonesia ?

2. Bagaimana status daerah istimewa/khusus dalam konsep negara kesatuan ?

BAB II PEMBAHASAN

6 UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Disamping kelima hal tersebut terdapat kewenangan lain yang masih dipegang pemerintah pusat, yakni; (1) kebijakan tentang perencanaan nasional dan

pengendalian pembangunan nasional secara makro, (2) dana perimbangan keuangan, (3) sistem administrasi negara, (4) lembaga perekonomian negara, (5) pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, (6) pendayagunaan SDA, (7) teknologi tinggi yang strategis, (8) konservasi dan (9) standarisasi nasional

(4)

Untuk menjawab rumusan masalah diatas, penulis akan menyajikan beberapa bahan

terkait pembahasan kewenangan daerah yang bersifat istimewa, dan khusus yang merujuk

pada Undang – Undang sebagai dasar untuk menganalisis rumusan masalah tersebut.

A. Kewenangan Daerah Otonomi Istimewa Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

UU No. 11 Tahun 2006 merupakan undang-undang yang menjadi dasar hukum

bagi penyelenggaraan otonomi khusus di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tidak

bisa dipungkiri bahwa undang-undang tersebut dibuat sebagai tindak lanjut dari nota

kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah RI dengan GAM

pada 15 Agustus 2005. Satu tahun kemudian, yaitu pada tanggal 1 Agustus 2006,

akhirnya UU No. 11 Tahun 2006 tersebut diundangkan.

Penggunaan istilah “Pemerintahan Aceh” sebagai nama dari UU No. 11 Tahun

2006 tersebut merupakan suatu yang tidak lazim dalam sistem perundang-undangan

Nasional. Berbeda dengan daerah lainnya yang menggunakan istilah “Pemerintahan

Daerah Provinsi”, Daerah Otonomi Khusus Aceh tidak mennumbuhkan istilah tersebut

di dalam penyebutan nama daerahnya. Penggunaan istilah tersebut sangat tidak sesuai

dengan UUD 1945 maupun UU No. 23 Tahun 2014. Tidak terdapatnya istilah “daerah

provinsi” di depan istilah “pemerintah” dalam “Pemerintah Aceh” sangat mirip dengan

istilah “Pemerintah Republik Indonesia” yang menunjuk pada makna pemerintahan

sebuah negara, bukan sebuah daerah.

Selain itu ada perbedaan dalam memberian nama dalam Dewan Perkawilan Rakyat

Daerah (DPRD) di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yakni bernama “Dewan

Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) untuk DPRD tingkat propinsi dan “Dewan

Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK) untuk menyebutkan DPRD tingkat

Kabupaten/Kota.9

(5)

Istilah berbeda lainnya yang terdapat dalam UU No. 11 Tahun 2006 dengan

undang-undang lainnya misalnya penyebutan Komisi Independen Pemilihan (KIP)

yang memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pemilihan umum Presiden/Wakil

Presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah,

anggota DPRA/DPRK, pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan

walikota/wakil walikota di NAD. Daerah-daerah lainnya di Indonesia sebagaimana

yang terdapat dalam UU No. 23 Tahun 2014 Jo UU No 2 Tahun 2015 menggunakan

Istilah Komisi Pemilihan Umum Daerah “KPUD”.10

Aceh juga berhak untuk memiliki bendera, lambang dan hymne daerah

sebagaimana yang dimakud dalam ketentuan Pasal 246 UU No. 11 Tahun 2006.

Ada beberapa kekhususan lainnya yang menurut penulis sangat berbeda dengan

daerah lainnya yang dimiliki oleh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagaimana

yang terdapat dalam ketentuan UU No. 11 Tahun 2006 antara lain sebagai berikut:

1. Pembagian daerah di Aceh yang dibagi kedalam kabupaten/kota, kecamatan,

mukim, kelurahan dan gampong.11 Mukim merupakan kesatuan masyarakat hukum

di bawah kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa gampong. Sedangkan

kelurahan dan gampong adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah

mukim.12

2. Rencana persetujuan internasional yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan

Aceh yang dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan

DPRA.13 Pemerintah Aceh dapat mengadakan kerja sama dengan lembaga atau

badan di luar negeri kecuali yang menjadi kewenangan Pemerintah. Dalam naskah

kerja sama tersebut dicantumkan frasa Pemerintah Aceh sebagai bagian dari

10 Lihat Pasal

11 Lihat Pasal 1 angka 12 UU No 11 tahun 2009

(6)

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Serta Pemerintah Aceh dapat berpartisipasi

secara langsung dalam kegiatan seni, budaya, dan olah raga internasional.14

3. Rencana pembentukan undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang

berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh dilakukan dengan konsultasi dan

pertimbangan DPRA.15

4. Kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang

akan dibuat oleh Pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan

Gubernur.16

5. Penduduk Aceh dapat membentuk partai politik lokal yang memiliki hak antara

lain; mengikuti Pemilu untuk memilih anggota DPRA dan DPRK; mengusulkan

pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur, calon bupati dan wakil bupati, serta

calon walikota dan wakil walikota di Aceh.17

6. Di Aceh terdapat pengadilan Syari’at Islam yang dilaksanakan oleh sebuah

Mahkamah Syar’iyah, yang terdiri dari Mahkamah Syar’iyah Aceh sebagai

pengadilan tingkat banding dan Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/Kota sebagai

pengadilan tingkat pertama. Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa,

mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal

al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum

pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam dengan hukum acara yang ditetapkan

berdasarkan Qanun.

7. Produk hukum sejenis peraturan daerah (perda) di Aceh disebut dengan istilah

“Qanun”. Terdapat dua macam Qanun, yaitu Qanun Aceh yang disahkan oleh

14 Lihat Pasal 9 UU No 11 tahun 2009 15Lihat Pasal 8 ayat (2) UU No 11 tahun 2009 16Lihat Pasal 8 ayat (3) UU No 11 tahun 2009

(7)

Gubernur setelah mendapatkan persetujuan bersama dengan DPRA, dan Qanun

Kabupaten/Kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota setelah mendapatkan persetujuan

bersama DPRK. Qanun dibentuk dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan

Aceh, pemerintahan kabupaten/kota, dan penyelenggaraan tugas pembantuan.18

Qanun dapat memuat ancaman pidana atau denda lebih dari 6 (enam) bulan

kurungan dan/atau denda paling banyak Rp.50.000.000.00 (lima puluh juta rupiah).

Bahkan Qanun mengenai jinayah (hukum pidana) dapat menentukan jenis dan

bentuk ancaman pidana tersendiri.19

8. Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota dapat membentuk lembaga,

badan dan/atau komisi dengan persetujuan DPRA/DPRK.20 Di Aceh terdapat

institusi atau lembaga yang tidak terdapat di daerah-daerah lainnya, seperti Majelis

Permusyawaratan Ulama (MPU) yang merupakan mitra kerja Pemerintah Aceh,

Kabupaten/Kota dan DPRA/DPRK, Lembaga Wali Nanggroe dan Lembaga Adat,

Pengadilan Hak Asasi Manusia, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dan unit

Polisi Wilayatul Hisbah sebagai bagian dari Satuan Polisi Pamong Praja, sebagai

penegak Syari’at Islam.

B. Kewenangan Daerah Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat

Status otonomi khusus bagi provinsi papua saat ini didasarkan pada uu no. 21 tahun

2001 tentang otonomi khusus bagi propinsi papua sebagaimana kemudian diubah

melalui perppu nomor 1 tahun 2008 yang ditetapkan menjadi undang-undang nomor

35 tahun 2008 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang

nomor 1 tahun 2008 tentang perubahan atas undang-undang nomor 21 tahun 2001

tentang otonomi khusus bagi provinsi papua menjadi undang-undang. pemberian status

(8)

otonomi khusus pada provinsi papua setidaknya didasarkan pada dua hal yaitu karena

adanya kesenjangan pembangunan dan pelanggaran hak asasi manusia (ham).

Salah satu kekhususan yang dimiliki oleh Provinsi Papua dan Papua Barat adalah

pada bentuk dan susunan pemerintahannya. Pemerintahan Provinsi Papua terdiri atas

Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) sebagai badan legislatif dan Pemerintahan

Provinsi sebagai badan eksekutif. Pasal 5 ayat (1) UU No. 35 Tahun 2008 berbunyi

sebagai berikut:

Pemerintahan Daerah Provinsi Papua terdiri atas DPRP sebagai badan legislatif, dan Pemerintah Provinsi sebagai badan eksekutif.

Penggunaan istilah badan legislatif dan badan eksekutif dalam pemerintahan

propinsi Papua perlu mendapat perhatian khusus. Karena penggunaan istilah badan

legislatif dan badan eksekutif ini merujuk pada pembagian kekuasaan negara seperti

yang di utarakan oleh Montesquieu dengan teori Trias Politicanya. Montesquieu

membagi kekuasaan pemerintahan dalam tiga cabang, yaitu kekuasaan membuat

undang-undang (legislatif), kekuasaan untuk menyelenggarakan undang-undang

(eksekutif), dan kekuasaan untuk mengadili terhadap pelanggaran undang-undang

(yudikatif).21

C.F. Strong menyatakan dalam konsep negara kesatuan, kedaulatan negara tidak

terbagi-bagi. Konstitusi negara kesatuan tidak mengakui adanya badan pembentuk

undang-undang selain badan pembentuk undang-undang pusat. Sehingga tepatlah jika

dalam UU No 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Perpu No 2 tahun 2014 tentang

Perubahan Atas UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah tidak

menggunakan istilah Badan Legislatif dan Badan Eksekuif dalam pemerintahan daerah.

Dikatakan disana bahwa DPRD ialah lembaga perwakilan rakyat daerah yang

(9)

berkedudukan sebagai unsur penyelenggaran pemerintahan daerah.22 Sedangkan Kepala

Daerah sebagai unsur penyelenggaraan Pemerintahan daerah yang memimpin

pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom.23

Dalam pandangan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dipencarkan dalam

menjalankan pemerintahan daerah itu hanya lembaga eksekutif saja. Hal ini juga

diperkuat dengan adanya pembinaan dan pengawasan oleh pemerintahan pusat terhadap

penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh daerah.24 Kemudian Presiden memegang

tanggungjawab akhir atas penyelenggaraan Urusan Pemerintahan yang dilaksanakan

oleh pemerintah Pusat dan Daerah.25

Sehingga jelas bahwasaya dalam menjalankan pemerintahan daerah di Negara

Indonesia yang menganut asas desentralisasi dan dokensentrasi serta tugas pembantuan

ini tidak mengenal adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan dalam struktur organ

pemerintahan daerah, jelas penggunaan istilah badan legislatif dan badan eksekutif

dalam suatu pemerintahan daerah Negara Indonesia tidak relevan dengan negara

kesatuan tetapi lebih mirip pada penyelenggaraan pemerintahan negara bagian layaknya

negara yang memiliki bentuk Federasi.

Selain itu dengan dinamakannya Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) untuk

daerah propinsi juga tidak lazim dengan peraturan perundang-undangan lainya seperti

UU Nomor 17 tahun 2014 Tentang MPR,DPR,DPD,dan DPRD atau biasa disebut UU

MD326. Hal lain yang menjadi kewenangan khusus yang hanyan dimiliki oleh

pemerintahan daerah Papua yakni dibentuknya Majelis Rakyat Papua yang merupakan

represtasi kultural orang asli Papua yang memiliki kewenangan tertentu dalam rangka

perlindungan hak-hak orang asli Papua yang berlandaskan pada penghormatan terhadap

22 Lihat Pasal 1 angka 4 UU No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah 23 Lihat Pasal 1 angka 3 UU No 23 Tahun 2014

(10)

adat dan budaya, pemberdayaan perempuan, dan pemantapan kerukunan hidup

beragama.27

Selain itu, Provinsi Papua juga dapat membentuk Peraturan Daerah Khusus

(Perdasus) yang dibuat dan ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur dengan

pertimbangan dan persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagaimana yang diatur

dalam ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2001. Selain Perdasus, terdapat

juga Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) yang dibuat dan ditetapkan oleh DPRP

bersama-sama Gubernur sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 29 ayat (2) UU No.

21 Tahun 2001. Perdasi ini lebih mirip dengan Peraturan Daerah karena dibuat dan

ditetapkan oleh DPRP bersama-sama Gubernur.

Kekhususan lainnya yang dimiliki oleh Provinsi Papua yang mengarah kepada

bentuk negara federal diantaranya; dalam ketentuan Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2001

disebutkan bahwa Papua dapat memiliki bendera daerah dan lagu daerah sebagaimana

Sang Merah Putih sebagai Bendera Negara Indonesia dan Lagu Indonesia Raya sebagai

Lagu Kebangsaan Indonesia, walaupun dinyatakan bukan sebagai symbol kedaulatan.

Akan tetapi hal ini sudah mengarah pada bentuk negara federal.

C. Kewenangan Daerah Otonomi Khusus Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta

Daerah otonomi khusus Jakarta atau sering disebut Daerah Khusus Ibukota Jakarta

(DKI Jakarta) diatur dalam UU No 29 tahun 2007 Tentang Pemerintahan Provinsi

Daerah Khusus Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Adanya otonomi khusus di Provinsi DKI Jakarta didasari pertimbangan bahwa

hubungan DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia yang

mana sudah sewajarnya memiliki fungsi dan peran yang penting dalam mendukung

penyelenggaraan pemerintahan Negara Indonesia yang memiliki kekhususan tugas,

(11)

hak, kewajiban, dan tanggungjawab tertentu dalam penyelenggaraan pemerintahan dan

sebagai tempat kedudukan perwakilan negara asing, serta pusat/perwakilan lembaga

internasional.28

Selain itu bahan yang menjadi pertimbangan dalam memberikan status khusus

kepada provinsi DKI Jarkarta ialah karena Jakarta sebagai pusat pemerintahan dan

sebagai daerah otonom berhadapan dengan karakteristik permasalahan yang sangat

kompleks dan berbeda dengan provinsi lain. Provinsi DKI Jakarta selalu berhadapan

dengan masalah urbanisasi, keamanan, transportasi, lingkungan, pengelolaan kawasan

khusus, dan masalah sosial kemasyarakatan lain yang memerlukan pemecahan masalah

secara sinergis melalui berbagai instrumen.29

Dalam pelaksanaan pemerintahan daerah Provinsi DKI Jakarta memiliki perbedaan

dengan daerah lain yang antara lain :

1. Adanya Deputi Gubernur sebagai pejabat yang membantu Gubernur dalam

menyelenggarakan pemerintahan daerah provinsi DKI Jakarta.30 Deputi tersebut

diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Gubernur. Deputi ini

bertanggungjawab kepada Gubernur.

2. Wilayah di Provinsi DKI Jakarta di bagi dalam kota administrasi dan kabupaten

administrasi yang dipimpin oleh Walikota/Bupati.31 Walikota/Bupati di kota

administrasi/ kabupaten Provinsi DKI Jakarta di angkat oleh Gubernur melalui

pertimbangan dari DPRD Provinsi DKI Jakarta dari pegawai negeri sipil yang

memenuhi syarat dan selain itu Walikota/Bupati kota administrasi/Kabupaten

bertanggungjawab kepada Gubernur, selain itu Walikota/Bupati dapat

diberhentikan oleh Gubernur.32

Ketentuan ini berbeda dengan pengisian jabatan Walikota/Bupati sebagai kepala

daerah Kabupaten/Kota yang mana dilakukan melalui pemilihan langsung

28 Lihat Pasal 5 UU No 29 Tahun 2007

29 Lihat Penjelasan dalam UU No 29 Tahun 2007 30 Lihat Pasal 1 angka 9 UU No 29 Tahun 2007

(12)

meskipun dalam pertanggungjawabannya memang masih kepada Gubernur sebagai

wakil pemerintahan pusat di daerah. Namun tanggung jawab ini tidak sebesar

tanggungjawab layaknya Walikota/Bupati di Provinsi DKI Jakarta. Artinya

Walikota/Bupati di pemerintahan daerah lainnya masih memiliki kewenangan yang

besar terkait dengan pelaksanaan otonomi luas.

3. Dalam pemerintahan daerah Provinsi DKI Jakarta tidak dikenal adanya Dewan

Perwakila Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, yang ada ialah dewan kota/kabupaten.

Komposisi keanggotaan daripada dewan kota/kabupaten ini ialah terdiri dari

tokoh-tokoh yang mewakili masyarakat dengan komposisi satu kecamatan satu wakil.

Tidak ada pemilihan langsung dalam pengisian dewan kota/dewan kabupaten ini

namun yang ada ialah anggota dewan kabupaten/kota diusulkan oleh

masyarakatdan disetujui oleh DPRD DKI Jakarta untuk selanjutnya ditetapkan oleh

Gubernur.33

4. Pemerintah daerah provinsi DKI Jakarta dapat mengusulkan kepada Pemerintahan

mengenai penambahan jumlah dinas, lembaga teknis provinsi serta dinas, dan/atau

lembaga teknis daerah baru.34

5. Selain itu adanya ketentuan pengkhususan Provinsi DKI Jakarta dalam rangka

melestarikan dan mengembangkan budaya masyarakat yakni antara lain budaya

masyarakat Betawi serta melindungi berbagai budaya masyarakat daerah lain yang

ada di daerah Provinsi DKI Jakarta.35

6. Kekhususan yang dimiliki oleh Provinsi DKI Jakarta ialah mengenai protokoler,

dimana Gubernur Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara mempunyai hak

protokoler, termasuk juga mendampingi Presiden dalam acara kenegaraan.36

7. Provinsi DKI Jakarta terutama di Kota/Kabupaten yang berbatasan langsung

dengan Provinsi Jawa barat dan Provinsi Banten, melalui pemerintahan Provinsi

DKI Jakarta melakukan kerja sama dengan mengikutsertakan pemerintah

33 Lihat Pasal 24 ayat (1), (2), dan (3) UU No 29 Tahun 2007 34 Lihat Pasal 13 ayat (3) UU No 29 Tahun 2007

(13)

Kota/Kabupaten yang berbatasan langsung guna meningkatkan kesejahteraan

masyarakat yang didasarkan pada pertimbangan efesiensi dan efektifitas pelayanan

publik serta saling menguntungkan.37

Meskipun pada dasarnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga dapat melakukan

kerja sama dengan Pemerintah Provinsi lain atau Pemerintah Kabupaten/Kota.

D. Kewenangan daerah Otonomi Istimewa Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Pemberian otonomi istimewa kepada Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)

sempat mengalami gejolak politik pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang

Yudhono. Beliau menyatakan bahwa tidak ada monarkhi dalam negara demokrasi

ditambah lagi, pasca amandemen UUD NRI 1945 Gubernur Propinsi DIY ialah Sultan

Hamengkubuwono X tanpa melalui pemilihan dan telah diperpanjang secara otomatis

sebanyak dua kali. Hal inilah yang kemudian melahirkan gejolak politik dimana,

pertama, masa jabatan Gubernur Provinsi DIY telah berakhir dengan dua kali masa

jabatan 2002-2012, kedua, adanya keinginan para elite politik atas dasar kepentingan

atau memang jiwa kenegaraan yang diakari oleh semangat demokrasi yang kuat,

sehingga memaknai Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 bahwasanya demokrasi merupakan

harga mati dalam pengisian jabatan Gubernur.

Sehingga dalam kelanjutannya mengenai memberian otonomi istimewa kepada

Provinsi DIY mengalami gejolak hingga lahirnya refrendum dari rakyat Yogyakarta

yang tetap mendukung Keistimewaan Yogayakrat terkait Sultan hamengkubuwono

sebagai Gubernur DIY. Dan akhirnya melalui negosiasi yang panjang, Presiden dan

DPR menyetejui UU No 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewa

Yogyakarta.

Secara jelas undang-undang nomor 13 tahun 2012 menegaskan bahwa yang

dimaksud dengan keistimewaan adalah keistimewaan kedudukan hukum yang dimiliki

(14)

oleh DIY berdasarkan sejarah dan hak asal-usul menurut UUD Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 untuk mengatur dan mengurus kewenangan istimewa. Adapaun

kewenangan istimewa adalah kewenangan tambahan tertentu yang dimiliki DIY selain

wewenang sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang tentang Pemerintahan

Daerah. 38Kewenangan dalam urusan keistimewaan meliputi :39

a. Tata cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas dan wewenang Gubernur dan Wakil

Gubernur

b. Kelembagaan Pemerintah DIY c. Kebudayaan

d. Pertanahan dan e. Tata ruang

Penyelenggaraan kewenangan dalam urusan keistimewaan didasarkan pada nilai-nilai

kearifan local dan keberpihakan kepada rakyat. Kewenangan dalam urusan

keistimewaan diatur dengan Perdais. Dengan demikian di DIY ada dua macam produk

hukum daerah, yaitu Peraturan Daerah DIY (Perda) untuk mengatur penyelenggaraan

urusan Pemerintahan provinsi sebagaimana diatur dalam dalam undang-undang

pemerintahan daerah dan Peraturan Daerah Istimewa DIY (Perdais), untuk mengatur

penyelenggaraan kewenangan Istimewa.40

Adapun tata cara pengisisan jabatan khususnya persyaratan calon Gubernur dan

calon Wakil Gubernur di DIY sebagaimana disebutkan dalam Pasal 18, memiliki ke

khasan atau kekhususan daerah yang sama sekali berbeda dengan ketentuan dalam UU

No. 22 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yakni calon yang

bertahta sebagai Sultan Hamengkubuwono untuk calon Gubernur dan bertahta sebagai

Adipati Pakualam untuk calon Wakil Gubernur.41Persyaratan ini menarik karena calon

harus bertahta sebagai sultan (Gubernur) atau Adipati (Wakil Gubernur), yang

38 Lihat Pasal 1 Ayat (2) dan (3) UU No 13 Tahun 2012 39 Lihat Pasal 7 UU No 13 Tahun 2012

40 Ni’matul Huda, Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Perdebatan Konstitusi dan Perundang-undangan di Indonesia, Nusa Media, Bandung, 2013, hlm.173

(15)

dibuktikan dengan surat pengukuhan yang menyatakan Sultan Hamengkubuwono

bertahta dikesultanan dan surat pengukuhan yang menyatakan Adipati Pakualam

bertahta di Kadipaten.42

Salah satu keistimewaan DIY di bidang pertanahan, di dalam Bab X ditegaskan

bahwa dalam penyelenggaraan kewenangan pertanahan, Kesultanan dan Kadipaten

dengan undang-undang ini dinyatakan sebagai badan hukum dalam hal ini yang

dimaksudkan badan hukum adalah badan hukum khusus bagi Kesultanan dan

Kadipaten, yang dibentuk berdasarkan UU No 13 Tahun 2012.43Oleh karena Kesultanan

dan Kadipaten telah ditegaskan sebagai badan hukum maka Kesultanan dan Kadipaten

merupakan subyek hak yang mempunyai hak milik atas tanah Kesultanan dan Tanah

Kadipaten.44

Tanah Kesultanan dan tanah Kadipaten meliputi tanah keprabon45 dan tanah bukan

keprabon46 yang terdapat diseluruh kabupaten/kota dalam wilayah DIY. Kesultanan dan

Kadipaten berwenang mengelola dan memanfaatkan tanah Kesultanan dan tanah

Kadipaten untuk sebesar-besarnya pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial dan

kesejahteraan masyarakat. Dalam Bab XI tentang tata ruang menegaskan, kewenangan

Kesultanan dan Kadipaten dalam tata ruang terbatas pada pengelolaan dan pemanfaatan

tanah Kesultanan dan tanah Kadipaten. Dalam pelaksanaan kewenangan tata ruang,

Kesultanan dan Kadipaten menetapkan kerangka umum kebijakan tata ruang tanah

Kesultanan dan tanah Kadipaten sesuai dengan Keistimewaan DIY. Kerangka umum

kebijakan tata ruang tanah Kesultanan dan tanah Kadipaten ditetapkan dengan

memperhatikan tata ruang nasional dan tata ruang DIY yang dimana ketentuan lebih

42 Opcit, Ni’matul Huda,….hlm 174 43 Lihat Pasal 32 UU No 13 Tahun 2012 44 Opcit, Ni’matul Huda,….hlm 189

45 Tanah keprabon yaitu tanah yang digunakan untuk bangunan istana dan kelengkapannya, seperti pagelaran , Kraton, Sripaganti, tanah untuk makam Raja dan Kerabat (dikota Gede, Imogiri, dan Giriloyo), alun-alun, masjid, taman sari, pesanggrahan, dan Petilasan. Lihat Penjelasan Pasal 32 ayat (3) UU No 13 Tahun 2012

(16)

lanjut mengenai pengelolaan dan pemanfaatan tanah Kesultanan dan tanah Kadipaten

serta tata ruang tanah Kesultanan dan tanah Kadipaten diatur dengan Perdais.

B. Relevansi Pemberian Status Daerah Khusus dan Istimewa dalam Teori Negara Kesatuan di Negara Kesatuan Republik Indonesia

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa negara Indonesia yang

memiliki bentuk negara kesatuan, pasca amandemen UUD NRI 1945 telah melakukan

otonomi daerah yang luas dengan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas

pembantuan. Melalui pelaksanaan otonomi daerah yang luas ini Negara Kesatuan

Republik Indonesia terbagi atas provinsi dan tiap-tiap provinsi tersebut terbagi pula atas

kabupaten/kota yang mana tiap-tiap provinsi dan kabupaten/kota memiliki dan

mengurusi jalannya pemerintah daerah mereka masing-masing.

Pemerintah daerah tersebut kemudian dijalankan oleh kepala daerah yang bernama

Gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi untuk pemerintah daerah

propinsi dan Bupati/Walikota dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota

untuk pemerintah daerah kabupaten/kota yang mana kepala daerah beserta Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah tersebut diibaratkan suami istri yang memiliki peran

masing-masing dalam rangka menjalankan pemerintah daerah.

Kembali pada pembahasan mengenai bentuk pemerintah daerah yag ada di Negara

Indonesia, dalam perkembangannya ternyata ada empat daerah yang memiliki status

yang berbeda antara lain Jakarta dan Papua dengan status daerah otonomi khusus dan

Yogyakarta dan Aceh dengan status otonomi istimewa. Penerapan status khusus dan

istimewa dalam pemerintah daerah ini sebenarnya memiliki dasar hukum dalam UUD

NRI 1945 yakni pada pasal 18B ayat (1) hasil dari amandemen ke II UUD NRI 1945. Namun kemudian daerah khusus dan istimewa ini memiliki kewenangan yang

relatif berbeda dengan daerah lain, pengaturan di tiap-tiap daerah istimewa dan khusus

(17)

Daerah Istimewa Yogyakarta, UU No. 11 Tahun 2006 tentang Keistimewaan Aceh, UU

No 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dan Perrpu

No 1 Tahun 2008 Jo UU No 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagis Provinsi

Papua. Namun demikian selain hal-hal yang secara khusus diatur dalam

undanng-undang otonomi khusus dan istimewa tersebut pengaturan mengenai pemerintah daerah

yang memiliki otonomi khusus maupun istimewa tetap menggunakan UU No. 2 Tahun

2015 Jo Perpu No 2 tahun 2014 Jo UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Daerah.

Pertanyaan selanjutnya ialah apakah pemberian otonomi khusus dan istimewa

dalam teori negara kesatuan yang dianut oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia ini

relevan? Untuk itu dalam menjawab wacana ini perlu memaknai apa pengertian dari

bentuk negara kesatuan tersebut.

Menurut pendapat beberapa ahli dalam menentukan bentuk negara yang ditinjau

dari segi susunannya kemungkinan akan menghasilkan dua bentuk susunan negara

sebagaimana yang dikemukakan oleh Soehino, yaitu :

1. Negara yang bersusunan tunggal, yang disebut Negara Kesatuan 2. Negara yang bersusunan jamak, yang disebut Negara Federasi47

Abu Daud dalam bukunya ilmu negara mempunyai pandangan yang sejalan

dengan pandangan yang dikemukakan oleh Soehino bahwa dalam menentukan bentuk

negara yang ditinjau dari segi susunan akan menghasilkan dua susunan bentuk negara,

yaitu :

1. Negara Kesatuan. Ini adalah negara yang bersusunan tunggal 2. Negara Federasi ini adalah negara yang bersusunan jamak48

(18)

Dalam pandangan dua ahli tersebut memberikan pengertian yang sama dalam

memberikan pengertian yang dimaksud dengan negara berbentuk kesatuan. Soehino

dan Abu Daud Busroh menegaskan Bahwa negara kesatuan dapat pula disebut negara

unitary adalah negara yang tidak tersusun dari beberapa negara,melainkan hanya

terdiri atas satu negara sehingga tidak ada negara didalam negara. Dengan demikian

dalam negara kesatuan hanya ada satu pemerintah, yaitu Pemerintah Pusat yang

mempunyai kekuasaan serta wewenang tertinggi dalam bidang pemerintahan negara,

menetapkan kebijakan pemerintahan negara baik pusat maupun di daerah-daerah49.

Dari penjabaran definisi diatas secara tegas dinyatakan bahwa prinsip atau doktrin

dalam negara berbentuk kesatuan ialah kedaulatan tertinggi berada pada pemerintah

pusat, maka daerah provinsi dan kabupaten / kota yang menjadi bagian dari negara

kesatuan tunduk pada pemerintah pusat.

Dalam membagi bentuk negara Ni’Matul Huda mempunyai pandangan yang

berbeda dengan Soehino dan Abu Daud, pembagian bentuk negara pada masa

sekarang yang dikemukakan oleh Ni’Matul Huda terbagi menjadi tiga bentuk negara,

yaitu :

1. Negara Kesatuan 2. Negara Federal 3. Negara Konfederasi50

Adapun perbedaan pandangan dalam pengkalisfikasian bentuk negara akan tetapi

pada pengertian tentang bentuk negara kesatuan Ni’Matul Huda tetap pada

pandangan yang sama dalam memberikan pengertian Negara Kesatuan, sebagaimana

yang dikutip oleh Ni’Matul Huda

“...negara kesatuan dalah bentuk kenegaraan yang paling kokoh, jika dibandingkan

dengan federal atau konfederasi. Dalam negara kesatuan terdapat, baik persatuan

49 Ibid Soehino hlm 224, lihat juga Abu Daud Busroh hlm 64.

(19)

(union) maupun kesatuan (unity). Dilihat dari segi sususnan negara kesatuan bukan

negara tersusun dari beberapa negara melainkan negara tunggal”51

Jimly Asshiddiqie menegaskan bahwa negara kesatuan adalah negara dimana

kekuasaan negara terbagi antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah.

Kekuasaan asli terdapat di tingkat pusat, sedangkan kekuasaan daerah mendapatkan

kekuasaan dari pusat melalui penyerahan sebagian kekuasaan yang ditentukan secara

tegas.52

Konsepsi Negara kesatuan Republik Indonesia merupakan prinsip dasar dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah. Konsepsi tersebut di satu sisi mengukuhkan

keberadaan daerah sebagai bagian nasional, tetapi di sisi lain memberikan stimulan

bagi masyarakat daerah untuk mengartikulasikan semua kepentingannya, termasuk

masalah otonomi daerah dalam sistem hukum dan kebijakan nasional.53 Inilah

kemudian disebut sebagai negara kesatuan yang didesentralisasikan.

Penjelasan lebih lanjut mengenai negara kesatuan yang didesentralisasikan tersebut

dapat dilihat dari uraian yang dikemukakan oleh Zulfikar Salahuddin, Al Chaidar dan

Herdi Sahrasad dalam Ni’matul Huda berikut ini: 54

“Prinsip pada negara kesatuan ialah bahwa yang memegang tampuk kekuasaan

tertinggi atas segenap urusan negara ialah pemerintah pusat tanpa adanya suatu

delegasi atau pelimpahan kekuasaan pada pemerintah daerah (local government).

Dalam negara kesatuan terdapat asas bahwa segenap urusan-urusan negara tidak

dibagi antara pemerintah pusat (central government) dan pemerintah lokal (lical

government) sehingga urusan-urusan negara dalam negara kesatuan tetap

51Ibid, lihat juga Fred Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Cetakan kelima, Bandung, Binacipta, 1974, hlm 188. 52Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Kelompok Gramedia, Jakarta, 2007, Hlm 282

53Hari Subarno, Untaian Pemikiran Otonomi Daerah, Mandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa, Sinar Grafikan, Jakarta, 2008, Hlm 144

(20)

merupakan suatu kebulatan (eenheid) dan pemegang tertinggi di negara itu ialah

pemerintah pusat.”

Dengan demikian, berdasarkan penjelasan di atas maka dapat diketahui bahwa

kekuasaan yang sebenarnya tetap berada dalam genggaman pemerintah pusat dan tidak

dibagi-bagi. Dalam negara kesatuan, tanggungjawab pelaksanaan tugas-tugas

pemerintahan pada dasarnya tetap berada di tangan pemerintah pusat. Adapun

hubungan antara asas desentralisasi dengan sistem otonomi daerah sebagaimana

dikemukakan oleh Benyamin Hossein yang kemudian diikuti oleh pendapat Philip

Mowhod dan kemudian disimpulkan oleh Jayadi N.K dalam Siswanto Sunarno adalah

sebagai berikut: 55

“Secara teoritis desentralisasi seperti yang dikemukakan oleh Benyamin Hossein

adalah pembentukan daerah otonom dan/atau penyerahan wewenang tertentu

kepadanya oleh pemerintah pusat . Philip Mawhod menyatakan desentraliasi adalah

pembagian dari sebagian kekuasaan pemerintah oleh kelompok yang berkuasa di pusat

terhadap kelompok-kelompok lain yang masing-masing memiliki otoritas di dalam

wilayah tertentu di suatu negara. Dari defenisi kedua pakar diatas, menurut Jayadi N.K.

bahwa mengandung empat pengertian: pertama, desentralisasi merupakan

pembentukan daerah otonom; kedua, daerah otonom yang dibentuk dan diserahi

wewenang tertentu oleh pemerintah pusat; ketiga, desentralisasi juga merupakan

pemencaran kekuasaan oleh pemerintah pusat;keempat, kekuasaan yang dipencarkan

diberikan kepada kelompok-kelompok masyarakat dalam wilayah tertentu.”

Berikut ini penjelasan lebih lanjut mengenai negara kesatuan dan otonomi daerah

di Indonesia: 56

(21)

“…Akan tetapi, sistem pemerintahan Indonesia yang salah satunya menganut asas

negara kesatuan yang didesentralisasikan menyebabkan ada tugas-tugas tertentu yang

diurus sendiri sehingga menimbulkan hubungan timbal balik yang melahirkan adanya

hubungan kewenangan dan pengawasan.” 15

Bahkan penjelasan tentang asas desentralisasi oleh Siswanto Sunarno diserupai

dengan hak keperdataan atau disamakan dengan hukum keperdataan, yaitu adanya

pemberi hak dan penerima hak. Berikut ini penjelasannya mengenai asas desentralisasi

dan sistem otonomi daerah di Indonesia yang dikemukakan secara gamblang berikut

ini:57

“Asas desentralisasi ini dapat ditanggapi sebagai hubungan hukum keperdataan, yakni

penyerahan sebagaian hak dari pemilik hak kepada penerima hak, dengan objek hak

tertentu. Pemilik hak pemerintahan adalah ditangan pemerintah, dan hak pemerintahan

tersebut diberikan kepada pemerintah daerah,dengan objek hak berupa kewenangan

pemerintah dalam bentuk untuk mengatur urusan pemerintahan, namun masih tetap

dalam kerangka NKRI. Pemberian hak ini, senantiasa harus dipertanggungawabkan

kepada si pemilik hak dalam hal ini Presiden melalui Menteri dalam Negeri dan DPRD

sebagai kekuatan representatif rakyat di daerah.”

Inti dari konsep pelaksanaan otonomi daerah adalah upaya memaksimalkan hasil

yang akan dicapai sekaligus menghindari kerumitan dan hal-hal yang menghambat

pelaksanaan otonomi daerah. Dengan demikian tuntutan masyarakat dapat diwujudkan

secara nyata dengan penerapan otonomi daerah dan kelangsungan pelayanan umum

yang tidak diabaikan.

(22)

Dalam perkembangannya kemudian ialah bagaimana konsep negara kesatuan

dalam mencermati perkembangan otonomi daerah yang melahirkan otonomi khusus

dan istimewa sehingga dalam khasanah otonomi daerah tidak lagi simetris melainkan

asimetris namun secara menyeluruh tetap berada di dalam satu komponen utama yang

bernama negara. Menjawab permasalahan ini penulis coba untuk merujuk pada teori

terbentuknya negara kesatuan, sebenarnya terbentuknya Negara Kesatuan Republik

Indonesia juga memenuhi kriteria terbentuknya negara serikat. Dengan kata lain bahwa

terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak murni memenuhi konsep

terbentuknya negara kesatuan.

Zulfikar Salahuddin, Al Chaidar dan Herdi Sahrasad menjelaskan bahwa model

negara kesatuan asumsi dasarnya berbeda secara diametrik dari negara federal. Formasi

negara kesatuan dideklarasikan saat kemerdekaan oleh para pendiri negara dengan

mengklaim seluruh wilayahnya sebagai bagian dari satu negara.58 Tidak ada

kesepakatan para penguasa apalagi negara-negara, karena diasumsikan bahwa semua

wilayah yang termasuk di dalamnya bukanlah bagian-bagian wilayah yang bersifat

independen. Dengan dasar itu, maka negara membentuk daerah-daerah atau

wilayah-wilayah yang kemudian diberi kekuasaan atau kewenangan oleh pemerintah pusat

untuk mengurus berbagai kepentingan masyarakatnya, ini diasumsikan bahwa

negaralah yang menjadi sumber kekuasaannya.59

Sedangkan negara serikat (federasi) merupakan negara yang bersusunan jamak,

maksudnya negara ini terdiri dari beberapa negara yang semula telah berdiri sendiri

sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, mempunyai undang-undang dasar sendiri

serta pemerintahan sendiri.60 Negara-negara bagian itu kemudian menyerahkan

58Huda, Ni’matul, Hukum Tata Negara…,Op.Cit., hlm. 92 59Ibid.,

(23)

sejumlah tugas dan kewenangan untuk diselenggarakan oleh suatu pemerintah federal,

sedangkan urusan-urusan lain tetap menjadi kewenangan negara bagian.61Ramlan

Surbakti menambahkan bahwa dalam negara serikat pemerintah negara bagian

bukanlah bawahan dan tidak bertanggungjawab kepada pemerintah federal.62

Dengan demikian, bahwa dalam konsep terbentuknya negara kesatuan, wilayah

negara atau pembagian wilayah negara ke dalam beberapa daerah baru dilakukan

setelah terbentuknya negara. Negara (pemerintah pusat) terbentuk terlebih dahulu,

barulah kemudian setelah itu dibentuk daerah-daerah. Berbeda dengan proses

terbentuknya negara federal, negara-negara bagian (daerah) telah ada dan berdiri sendiri

sebagai negara yang merdeka dan berdaulat sebelum bergabung untuk membentuk

pemerintah dan/atau negara gabungan (pemerintah/negara federal).

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan

Indonesia sebagai negara kesatuan yang ditegaskan dalam Konstitusi

seharusnya tunduk pada prinsip – prinsip negara kesatuan akan tetapi

berdasarkan status beberapa daerah yang memproleh kewenangan yang

bersifat istimewa dan khusus dapat mencederai semangat negara kesatuan. Hal

ini dapat kita lihat pada Undang-Undang yang mengatur daerah yang berstatus

istimewa dan khusus.

Berdasarkan pada Undang –Undang yang telah dijabarkan diatas maka

dapat disimpulkan bahwa gagasan yang bersifat desentralisasi yang asimetril

61Ramlan Surbakti. Memahami Ilmu Politik, Grassindo, Jakarta, 2010, Hlm 216

(24)

mencedarai semangat atau prinsip negara kesatuan dengan adanya beberapa

ketentuan yang diperoleh daerah yang tidak mencerminkan prinsip negara

kesatuan dalam artian kewenangan yang diperoleh daerah istimewa dan

khusus tidak sesuai apabila ditinjau berdasarkan teori negara kesatuan.

B. Saran

Untuk mencegah lahirnya kembali gerakan separatisme yang

mengancam integrasi bangsa dalam hal ini kesatuan bangsa yang berakhir

dapat berujung pada permintaan pemisahan diri maupun perubahan bentuk

negara menjadi federal, hal disebabkan oleh kecemburuan sosial yang

melahirkan kesenjangan ekonomi sebagaima data yang di jabarkan Ni’Matul

Huda dalam bukunya Hukum Pemerintahan Daerah. Maka perlu dibuat suatu

sistem pemerintahan yang ditata dengan mekanisme asimetrikal sequention

desentralisation yaitu pemberian penambahan kewenangan berdasarkan pada

kinerja menggunakan beberapa parameter yang dievaluasi setiap tahunnya

untuk menenukan kewenangan yang diperoleh setiap daerah sebagaimana

(25)

DAFTAR PUSTAKA

Abu Daud Busroh, Ilmu Negara, Jakarta, BumiAksara, 2011 cetakan kedelapan

Edie Toet Hendratno, Negara Kesatuan, Desentralisasi, dan Federalisme Graha Ilmu dan

Universitas Pancasila Press, Jakarta: 2009

Gramedia, Jakarta, 2007

Hari Subarno, Untaian Pemikiran Otonomi Daerah, Mandu Otonomi Daerah Menjaga

IGde Pantja Astawa, Problematika Hukum Otonomi Daerah di Indonesia , Alumni,Bandung:

Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Kelompok

Kesatuan Bangsa, Sinar Grafikan, Jakarta, 2008

MPR RI, Paduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

Sesuai Dengan Bab, Pasal, dan Ayat, Sekjen MPR RI, 2009

Ni’matu Huda, Ilmu Negara, Jakarta, RajaGrafindoo, 2010 cetakan kedua

Ni’matul Huda, Daerah Istimewa Yogyakarta Dalam Perdebatan Konstitusi dan

Perundang-Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, RajaGrafindo Persada,Jakarta: 2005

Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cet. 10, Gadjah Mada

Ramlan Surbakti. Memahami Ilmu Politik, Grassindo, Jakarta

Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam

(26)

Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta, Liberty, 2008 Cetakan kedelapan undangan di Indonesia,

Nusa Media, Bandung, 2013University Press, Yogyakarta: 2008

Sunarno, Siswanto, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Cet.3, Sinar Grafika,Jakarta

Peraturan Perundang – Undangan

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Otonomi khusus Bagi Provinsi Daerah

Istimewa Aceh

Undang-undang Nomor 29 Tahun 2007 Tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus

Ibukota Jakarta

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2008 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang nomor 1 tahun 2008 Tentang Perubahan atas Undang-Undang

Nomor 21 tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi

Undang-undang

Undang-undang Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Keistimewaan Daerah Istimewah

(27)

Referensi

Dokumen terkait

Dari gambar 22 terlihat bahwa tanah dengan kondisi tanpa akar memiiki nilai sudut geser dalam yang rendah yaitu 37,95 o , tapi tanah yang mengandung akar tanaman nilai sudut

Tidak ada kurikulum terpadu dan sistematis di dunia pendidikan Indonesia yang mendukung kecenderungan dan perkembangan dunia usaha yang mengarah pada kinerja ekonomi Islam..

Berkenaan dengan hal tersebut, maka penelitian ini mencoba untuk mengidentifikasi: “Pengaruh Ekuitas Merek Ultra Milk Terhadap Minat Beli Konsumen Di Universitas Kristen Maranatha,

Nilai suatu jenis rotan untuk keperluan mebel, barang kerajinan dan peralatan rumah tangga sangat ditentukan oleh keawetannya, Keawetan rotan adalah daya tahan suatu jenis

5) Untuk memberikan kepercayaan masyarakat dan legitimasi hasil penyelenggaraan Pemilukada di Kota Pekanbaru Tahun 2011, dan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

2014 Judul Paper : MODEL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT BERBASIS KERAJINAN KALIGRAGI KULIT KAMBING SEBAGAI STRATEGI PENGEMBANGAN INDUSTRI KREATIF DAN PRODUK UNGGULAN LOKAL DI

Hasil penelitian membuktikan bahwa sebanyak 30 responden (43,5%) mengalami konsumsi rokok sedang dan sebanyak 40 responden (58,0%) mengalami penyakit TBC positif,

Untuk mencapai tujuan tersebut digunakan tiga kejadian badai geomagnet yang cukup besar yang terjadi pada tanggal 15 Juli 2000 dan 5 Oktober 2000 serta tanggal 21 Oktober 2001