• Tidak ada hasil yang ditemukan

KUMPULAN MATERI ETIKA KEFARMASIAN KASUS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KUMPULAN MATERI ETIKA KEFARMASIAN KASUS"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

KUMPULAN MATERI

ETIKA KEFARMASIAN, KASUS DAN

KODE ETIK SERTA IMPLEMENTASINYA

Disusun oleh:

Nama : Hadi Kurniawan, S.Farm.

NIM : 12811090

Kelas : B

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

YOGYAKARTA

2012

DAFTAR ISI

SAMPUL DAFTAR ISI

PENDAHULUAN: APAKAH ETIKA KEFARMASIAN ITU? MENGAPA HARUS BELAJAR ETIKA KEFARMASIAN? ETIKA KEFARMASIAN, PROFESIONALISME,

HAK ASASI MANUSIA DAN HUKUM

SIAPAKAH YANG MENENTUKAN SESUATU ITU ETIS? APAKAH ETIKA KEFARMASIAN DAPAT BERUBAH?

(2)

BAGAIMANA SESEORANG MEMUTUSKAN SESUATU ITU ETIS? ETIKA

MORAL

ETIKA Vs MORAL ETIKET

PERBEDAAN ETIKA & ETIKET ETIKA PROFESI

SISTEM PENILAIAN ETIKA PENGERTIAN PROFESI

PROFESI, PROFESIONAL, CIRI-CIRI PROFESI

PRINSIP-PRINSIP ETIKA PROFESI, SYARAT-SYARAT SUATU PROFESI PERANAN ETIKA DALAM PROFESI

KODE ETIK PROFESI

PERKEMBANGAN KODE ETIK, TUJUAN KODE ETIK PROFESI FUNGSI, TUNTUTAN DAN KARAKTERISTIK KODE ETIK PROFESI PENYEBAB PELANGGARAN KODE ETIK, SANKSI PELANGGARAN PRAKTIK PELAKSANAAN KODE ETIK

SUMPAH APOTEKER

JENIS PELANGGARAN KEGIATAN DI APOTEK KOMPILASI KASUS RUMAH SAKIT

CONTOH PELANGGARAN ETIKA KASUS PRODUKSI

KASUS PENGADAAN KASUS DISTRIBUSI KASUS PELAYANAN KASUS MARKETING

APOTEKER DALAM DILEMA PENDIRIAN APOTEK

UU KESEHATAN NO.36/2009 DIGUGAT!

KODE ETIK APOTEKER INDONESIA DAN JABARAN IMPLEMENTASINYA IMPLEMENTASI SIKAP APOTEKER BERDASARKAN KODE ETIK ??? KODE ETIK PEMASARAN USAHA FARMASI INDONESIA

SUPLEMEN

PENDAHULUAN

APAKAH ETIKA KEFARMASIAN ITU?

Perhatikan kaus-kasus berikut ini, yang sangat mungkin terjadi hampir di semua negara:

(3)

Apotek akan mendapatkan fee dari kerjasama ini sebesar 2% faktur penjualan. Semua administrasi dapat ia kendalikan dan lengkap (surat pesanan, faktur pengiriman, faktur pajak, tanda terima, surat pesanan klinik dan balai pengobatan atau rumah sakit ke apotek, pengiriman dari apotek ke sarana tersebut dll.). Semua disiapkandengan rapi sehingga setiap ada pemeriksaan Badan POM tidak terlihat adanya penyimpangan secara administrasi.

2. P, apoteker praktek di sebuah kota kecil, didekati oleh organisasi penelitian agar ikut serta dalam uji klinik suatu obat AINS untuk osteoartritis. Dia ditawari sejumlah uang untuk setiap pasien yang dia ikut sertakan dalam uji tersebut. Wakil organisasi tersebut meyakinkan bahwa penelitian ini telah mendapatkan semua ijin yang diperlukan termasuk dari Komite Etik Kedokteran. Apoteker P belum pernah ikut serta dalam uji klinik sebelumnya dan merasa senang dengan kesempatan ini, terutama dengan uang yang ditawarkan. Dia menerima tawaran tersebut tanpa lebih jauh lagi menanyakan aspek etis dan ilmiah dari penelitian tersebut.

3. dll

Dari setiap kasus tersebut mengandung refleksi etis. Kasus-kasus tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai pembuatan keputusan dan tindakan apoteker bukan dari segi ilmiah ataupun teknis seperti bagaimana menangani resep atau produksi obat ataupun bagaimana melakukan penelitian yangsesuai dengan ethical clearence, namun pertanyaan yang muncul adalah mengenai nilai, hak-hak, dan tanggung jawab. Apoteker akan menghadapi pertanyaan-pertanyaan ini sesering dia menghadapi pertanyaan-pertanyaan ilmiah maupun teknis. Di dalam praktek kedokteran, tidak peduli apakah spesialisasinya maupun tempat kerjanya, beberapa pertanyaan lebih mudah dijawab dibandingkan pertanyaan lain. Jadi apakah sebenarnya etika itu dan bagaimanakah etika dapat menolong apoteker berhadapan dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu?

(4)

MENGAPA HARUS BELAJAR ETIKA KEFARMASIAN?

Ini beberapa alasan umum yang dikemukakan untuk tidak memberikan pelajaran etika kefarmasian di kurikulum farmasi padahal etika mempunyai peran yang besar dalam kurikulum sekolah pendidikan apoteker.

1. ”Asalkan apoteker memiliki pengetahuan dan keterampilan, maka etika tidak akan jadi masalah”

2. ”Etika itu dipelajari di dalam keluarga, tidak di sekolah kefarmasian”

3. ”Etika kefarmasian dipelajari dengan mengamati bagaimana apoteker senior bertindak, bukan

dari buku atau kuliah”

4. ”...etika merupakan kajian mengenai moralitas - refleksi terhadap moral secara sistematik dan

hati-hati dan analisis terhadap keputusan moral dan perilaku...”

5. ”Etika itu penting, tapi kurikulum kita sudah terlalu penuh dan tidak ada ruang untuk

mengajarkan etika”

Sebagian, hanya sebagian saja, yang valid. Secara bertahap sekolah-sekolah pendidikan apoteker di dunia mulai menyadari bahwa mereka perlu membekali mahasiswanya dengan sumber dan waktu yang cukup untuk belajar etika. Etika merupakan dan akan selalu menjadi komponen yang penting dalam praktek pengobatan. Prinsip-prinsip etika seperti menghargai orang, tujuan yang jelas dan kerahasiaan merupakan dasar dalam hubungan apoteker-pasien. Walaupun begitu, penerapan prinsip-prinsip tersebut dalam situasi khusus sering problematis, karena dokter, apoteker, pasien, keluarga mereka, dan profesi kesehatan lain mungkin tidak setuju dengan tindakan yang sebenarnya benar dilakukan dalam situasi tersebut. Belajar etika akan menyiapkan mahasiswa kefarmasian untuk mengenali situasi-situasi yang sulit dan melaluinya dengan cara yang benar sesuai prinsip dan rasional. Etika juga penting dalam hubungan apoteker dengan masyarakat dan kolega mereka dan dalam melakukan penelitian kedokteran. Sangat sering, bahkan etika membuat standar perilaku yang lebih tinggi dibanding hukum, dan kadang etika memungkinkan apoteker perlu untuk melanggar hukum yang menyuruh melakukan tindakan yang tidak etis.

ETIKA KEFARMASIAN, PROFESIONALISME, HAK ASASI MANUSIA DAN HUKUM

Etika telah menjadi bagian yang integral dalam pengobatan setidaknya sejak masa Hippocrates, seorang ahli pengobatan Yunani yang dianggap sebagai pelopor etika kedokteran pada abad ke-5 SM. Dari Hippocrates muncul konsep pengobatan sebagai profesi, dimana ahli pengobatan membuat janji di depan masyarakat bahwa mereka akan menempatkan kepentingan pasien mereka di atas kepentingan mereka sendiri. Saat ini etika kedokteran telah banyak dipengaruhi oleh perkembangan dalam hak asasi manusia.

(5)

kefarmasian yang dapat diterima melampaui batas negara dan kultural. Lebih dari pada itu, apoteker sering harus berhubungan dengan masalah-masalah medis dan obat karena pelanggaran hak asasi manusia, seperti migrasi paksa, penyiksaan, dan sangat dipengaruhi oleh perdebatan apakah pelayanan kesehatan merupakan hak asasi manusia karena jawaban dari pertanyaan ini di beberapa negara tertentu akan menentukan siapakah yang memiliki hak untuk mendapatkan perawatan medis.

Etika kefarmasian juga sangat berhubungan dengan hukum. Hampir di semua negara ada hukum yang secara khusus mengatur bagaimana dokter harus bertindak berhubungan dengan masalah etika dalam perawatan pasien dan penelitian. Badan yang mengatur dan memberikan ijin praktek apoteker di setiap negara bisa dan memang menghukum apoteker yang melanggar etika. Namun etika dan hukum tidaklah sama. Bahkan etika membuat standar perilaku yang lebih tinggi dibanding hukum, dan kadang etika memungkinkan apoteker perlu untuk melanggar hukum yang menyuruh melakukan tindakan yang tidak etis. Hukum juga berbeda untuk tiap-tiap negara sedangkan etika dapat diterapkan tanpa melihat batas negara. Namun pengobatan ilmiah memiliki keterbatasan terutama jika berhubungna dengan manusia secara individual, budaya, agama, kebebasan, hak asasi, dan tanggung jawab. Seni pengobatan melibatkan aplikasi ilmu dan teknologi pengobatan terhadap pasien secara individual, keluarga, dan masyarakat sehingga keduanya tidaklah sama. Lebih jauh lagi bagian terbesar dari perbedaan individu, keluarga, dan masyarakat bukanlah non-fisiologis namun dalam mengenali dan berhadapan dengan perbedaan-perbedaan ini di mana seni, kemanusiaan, dan ilmu-ilmu sosial bersama dengan etika, memiliki peranan yang penting. Bahkan etika sendiri diperkaya oleh disiplin ilmu yang lain, sebagai contoh, presentasi dilema klinis secara teatrikal dapat menjadi stimulus yang lebih baik dalam refleksi dan analisis etis dibanding deskripsi kasus sederhana.

Secara umum apoteker diharapkan dapat mengaktualisasikan prinsip etika profesi dengan derajat yang lebih tinggi dibanding orang lain. Prinsip etika profesi itu meliputi belas kasih, kompeten, dan otonomi.

Belas kasih, memahami dan perhatian terhadap masalah orang lain, merupakan hal yang pokok

dalam praktek pengobatan. Agar dapat mengatasi masalah pasien, apoteker harus memberikan perhatian terhadapkeluhan/gejala yang dialami pasien dan memberikan nasehat yang meredakan gejala tersebut dengan pengobatan dan harus bersedia membantu pasien mendapatkan pertolongan. Pasien akan merespon dengan lebih baik jika dia merasa bahwa apotekernya menghargai masalah mereka dan tidak hanya sebatas melakukan pengobatan terhadap penyakit mereka.

Kompetensi yang tinggi diharapkan dan harus dimiliki oleh apoteker. Kurang kompeten dapat

(6)

akan muncul sejalan dengan perubahan dalam praktek kefarmasian, lingkungan sosial dan politik.

Otonomi, atau penentuan sendiri, merupakan nilai inti dari pengobatan yang berubah dalam tahun-tahun terakhir ini. Apoteker secara pribadi telah lama menikmati otonomi pengobatan yang tinggi dalam menetukan bagaimana menangani pasien mereka. Apoteker secara kolektif (profesi kesehatan) bebas dalam menentukan standar pendidikan farmasi dan praktek pengobatan. Masih ada ditemukan (walaupun sedikit), apoteker yang menghargai otonomi profesional dan klinik mereka, dan mencoba untuk tetap menjaganya sebanyak mungkin. Pada saat yang sama, juga terjadi penerimaan oleh apoteker di penjuru dunia untuk menerima otonomi dari pasien, yang berarti pasien seharusnya menjadi pembuat keputusan tertinggi dalam masalah yang menyangkut diri mereka sendiri.

Selain terikat dengan ketiga nilai inti tersebut, etika kefarmasian berbeda dengan etika secara umum yang dapat diterapkan terhadap setiap orang. Etika kefarmasian masih terikat dengan Sumpah dan Kode Etik Apoteker. Sumpah dan kode etik beragam di setiap negara bahkan dalam satu negara, namun ada persamaan, termasuk janji bahwa apoteker akan mempertimbangkan kepentingan pasien diatas kepentingannya sendiri, tidak akan melakukan deskriminasi terhadap pasien karena ras, agama, atau hak asasi menusia yang lain, akan menjaga kerahasiaan informasi pasien, dan akan memberikan pertolongan darurat terhadap siapapun yang membutuhkan.

SIAPAKAH YANG MENENTUKAN SESUATU ITU ETIS?

Etika bersifat pluralistik. Setiap orang memiliki perbedaan terhadap penilaian benar atau salah bahkan jika ada persamaan bisa saja hal tersebut berbeda dalam alasannya. Di beberapa masyarakat, perbedaan tersebut dianggap sebagai sesuatu yang normal dan ada kebebasan besar bagi seseorang untuk melakukan apa yang dia mau, sejauh tidak melanggar hak orang lain. Namun di dalam masyarakat yang lebih tradisional, ada persamaan dan persetujuan pada etika dan ada tekanan sosial yang lebih besar, kadang bahkan didukung oleh hukum, dalam bertindak berdasarkan ketentuan tertentu. Dalam masyarakat tersebut budaya dan agama sering memainkan peran yang dominan dalam menentukan perilaku yang etis.

(7)

saja, hak asasi manusia yang dinyatakan dalam United Nations Universal Declaration of Human Rights serta dokumen lain yang telah diterima dan tertulis secara resmi. Hak-hak asasi manusia yang terutama penting dalam etika kefarmasian adalah hak untuk hidup, bebas dari deskriminasi, bebas dari siksaan dan kekejaman, bebas dari perlakuan yang tidak manusiawi dan tidak pantas, bebas beropini dan berekspresi, persamaan dalam mendapatkan pelayanan umum di suatu negara, dan pelayanan kefarmasian.

Bagi apoteker, pertanyaan ”siapakah yang menentukan sesuatu etis atau tidak?” sampai saat ini memiliki jawaban yang berbeda-beda. Selama berabad-abad profesi kesehatan telah mengembangkan standar perilakunya sendiri untuk anggotanya, yang tercermin dalam kode etik dan dokumen kebijakan yang terkait. Dalam tingkatan yang global, IPF (International Pharmachist Federation) telah menetapkan pernyataan etis yang sangat luas yang mengatur perilaku yang diharuskan dimiliki oleh apoteker tanpa memandang dimana dan kapan dia berada dan melakukan praktek. Banyak ikatan apoteker di suatu negara (jika tidak sebagian besar) bertanggung jawab terhadap pengembangan dan pelaksanaan standar etis yang aplikatif. Standar tersebut mungkin memiliki status legal, tergantung pendekatan negara tersebut terhadap hukum praktek medis. Meskipun demikian, kehormatan profesi kefarmasian tidaklah bersifat absolut. Sebagai contoh:

 Apoteker akan selalu dihadapkan pada hukum yang berlaku dimana dia berada dan kadang

dihukum karena melanggar hukum.

 Beberapa organisasi kesehatan sangat kuat dipengaruhi oleh ajaran agama, yang mengakibatkan

adanya kewajiban tambahan terhadap anggotanya selain kewajiban apoteker secara umum.  Di banyak negara organisasi yang menetapkan standar bagi perilaku apoteker dan memonitor

kepatuhan, mereka memiliki anggota yang berpengaruh yang bukan apoteker.

Instruksi etis resmi dari organisasi profesi apoteker secara umum sama, mereka tidak selalu dapat diterapkan di setiap situasi yang mungkin dihadapi apoteker dalam praktek kefarmasian mereka. Di dalam kebanyakan situasi, apoteker harus memutuskan untuk dirinya sendiri apakah yang benar untuk dilakukan, namun dalam mengambil keputusan tersebut, akan sangat membantu jika mereka mengetahui apa yang dilakukan apoteker lain dalam situasi yang sama. Kode etik apoteker dan kebijakan yang berlaku merupakan konsensus umum bagaimana seorang apoteker harus bertindak dan harus diikuti kecuali ada alasan yang lebih baik mengapa harus melanggarnya.

APAKAH ETIKA KEFARMASIAN DAPAT BERUBAH?

(8)

berdasarkan kepentingan terbaik dari pasien, usaha yang sama juga harus tetap dilakukan dalam menjamin otonomi dan keadilan pasien”. Saat ini orang-orang mulai berfikir bahwa diri mereka sendiri merupakan penyedia kesehatan utama bagi mereka sendiri dan bahwa peran tenaga kesehatan adalah bertindak sebagai konsultan dan instruktur. Walaupun penekanan terhadap perawatan sendiri ini jauh dari keumuman, namun sepertinya terus menyebar dan menggejala dalam perkembangan hubungan pasien-dokter-tenaga kesehatan lainnya yang memunculkan kewajiban etik yang berbeda bagi apoteker dibanding sebelumnya. Hingga akhir-akhir ini apoteker menganggap diri mereka sendiri bertanggung jawab terhadap diri sendiri, kepada kolega profesi kesehatan mereka, dan terhadap agama yang dianut, Tuhan Yang Maha Kuasa. Saat ini, mereka memiliki tanggung jawab tambahan – terhadap pasien mereka, kepada pihak ketiga seperti rumah sakit, organisasi yang mengambil keputusan medis terhadap pasien, kepada pemegang kebijakan dan perijinan praktek, dan bahkan sering kepada pengadilan. Berbagai tanggung jawab yang berbeda ini dapat saling bertentangan satu sama lain, yang akan terlihat dalam bahasan loyalitas ganda.

Etika kefarmasian juga telah berubah dengan cara yang lain. Ontoh keterlibatan dalam aborsi dilarang dalam kode etik dokter sampai beberapa saat yang lalu, namun sekarang dapat ditoleransi dalam kondisi tertentu oleh profesi kesehatan di beberapa negara. Sedangkan dalam etika kedokteran tradisional dokter hanya bertanggung jawab terhadap pasien mereka secara pribadi. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi medis memunculkan masalah etis baru yang tidak dapat dijawab oleh etika kefarmasian tradisional. Reproduksi buatan, genetika, informatika kesehatan serta teknologi perbaikan kehidupan dan teknologi untuk memperpanjang kehidupan, kesemuanya memerlukan keterlibatan dokter dan tenaga kesehatan lainnya, sangat berpotensi menguntungkan pasien namun juga sangat berpotensi merugikan pasien tergantung bagaimana menerapkannya. Untuk membantu bagaimana memutuskan dan dalam kondisi apa apoteker dapat melakukan hal tersebut, organisasi profesi apoteker harus menggunakan metode analisis yang berbeda tidak hanya berdasarkan kode etik yang telah ada. Selain perubahan dalam etika kefarmasian yang jelas memang terjadi, sudah ada persetujuan diantara apoteker atau ornagisasi profesi bahwa nilai fundamental dan prinsip-prinsip etis tidaklah berubah, karena tidak bisa dihindari bahwa manusia akan selalu memiliki masalah kesehatan sehingga mereka akan terus memerlukan tenaga kesehatan yang otonom, kompeten, dan berbelas kasih untuk merawat mereka.

APAKAH ETIKA KEFARMASIAN BERBEDA DI SETIAP NEGARA?

(9)

mentoleransi ketidaksamaan hak memperoleh pelayanan kesehatan bagi warganya. Di beberapa negara ada ketertarikan yang besar terhadap masalah-masalah etik yang muncul karena adanya kemajuan teknologi pengobatan sedangkan di negara yang tidak memiliki akses terhadap teknologi tersebut, masalah-masalah etik tentu tidak muncul. Apoteker di beberapa negara cukup yakin bahwa mereka tidak akan ditekan oleh pemerintah untuk melakukan sesuatu yang tidak etis namun di negara lain mungkin akan sulit bagi mereka memenuhi kewajiban etis, seperti menjaga kerahasiaan pasien jika berhadapan dengan polisi atau permintaan angkatan bersenjata untuk melaporkan adanya jejak/luka yang mencurigakan pada seorang pasien

Walaupun perbedaan ini terlihat sangat nyata, persamaan yang ada jauh lebih besar lagi. Apoteker di seluruh dunia memiliki banyak persamaan, dan ketika mereka berhimpun bersama dalam suatu organisasi seperti IPF akan mencapai suatu kesepakatan mengenai masalah-masalah etik yang kontroversial, walaupun kadang harus melewati debat yang panjang. Nilai pokok dari etika kefarmasian, seperti belas kasih, kompetensi, dan otonomi, bersamaan dengan pengalaman dan ketrampilan di semua bidang pengobatan dan pelayanan kesehatan yang dimiliki oleh apoteker memberikan dasar dalam menganalisa masalah masalah etik dalam pengobatan dan memunculkan suatu solusi yang berdasarkan kepentingan terbaik bagi pasien secara pribadi dan warga negara serta kesehatan masyarakat secara umum.

BAGAIMANA SESEORANG MEMUTUSKAN SESUATU ITU ETIS?

Setiap orang bertanggung jawab terhadap diri sendiri dalam mengambil keputusan etis dan dalam mengimplementasikannya. Bagi apoteker secara pribadi dan mahasiswa farmasi, etika kefarmasian tidak hanya terbatas pada rekomendasi-rekomendasi yang dikeluarkan oleh IPF atau organisasi kesehatan yang lain karena rekomendasi tersebut sifatnya sangat umum dan setiap orang harus memutuskan apakah hal itu dapat diterapkan pada situasi yang sedang dihadapi atau tidak dan terlebih lagi banyak masalah etika yang muncul dalam praktek kefarmasian yang belum ada petunjuk bagi ikatan apoteker. Ada berbagai cara berbeda dalam pendekatan masalah-masalah etika seperti dalam contoh kasus pada bagian awal tulisan ini. Secara kasar cara pendekatan penyelesaian masalah etika dapat dibagi menjadi dua kategori rasional dan non-rasional. Penting untuk mengingat bahwa non-rasional bukan berarti irrasional namun hanya dibedakan dari sistematika, dan alasan yang dapat digunakan dalam mengambil keputusan.

1. Pendekatan-pendekatan non-rasional:

Kepatuhan merupakan cara yang umum dalam membuat keputusan etis, terutama oleh anak-anak

dan mereka yang bekerja dalam struktur kepangkatan (militer, kipolisian, beberapa organisasi keagamaan, berbagai corak bisnis). Moralitas hanya mengikuti aturan atau perintah dari penguasa tidak memandang apakah anda setuju atau tidak.

Imitasi serupa dengan kepatuhan karena mengesampingkan penilaian seseorang terhadap benar dan

(10)

paling umum mempelajari etika kedokteran, dengan panutannya adalah konsultan senior dan cara belajar dengan cara mengobservasi dan melakukan asimilasi dari nilai-nilai yang digambarkan.  Perasaan atau kehendak merupakan pendekatan subjektif terhadap keputusan dan perilaku moral

yang diambil. Yang dianggap benar adalah apa yang dirasakan benar atau dapat memuaskan kehendak seseorang sedangkan apa yang salah adalah yang dirasakan salah atau tidak sesuai dengan kehendak seseorang. Ukuran moralitas harus ditemukan di dalam setiap individu dan tentu saja akan sangat beragam dari satu orang ke orang lain, bahkan dalam individu itu sendiri dari waktu ke waktu.

Intuisi merupakan persepsi yang terbentuk dengan segera mengenai bagaimana bertindak di dalam

sebuah situasi tertentu. Intuisi serupa dengan kehendak dimana sifatnya sangat subjektif, namun berbeda karena intuisi terletak pada pemikiran dibanding keinginan. Karena itu intuisi lebih dekat kepada bentuk rasional dari keputusan etis yang diambil dari pada kepatuhan, imitasi, perasaan, dan kehendak. Meskipun begitu, intuisi sistematis ataupun penuh pemikiran namun hanya sebatas mengarahkan keputusan berdasarkan apa yang terbersit dalam pikiran saat itu. Seperti halnya perasaan dan kehendak, intuisi dapat bervariasi dari setiap individu, dan bahkan dari individu itu sendiri.

Kebiasaan merupakan metode yang sangat efisien dalam mengambil keputusan moral karena tidak

diperlukan adanya pengulangan proses pembuatan keputusan secara sistematis setiap masalah moran muncul dan sama dengan masalah yang pernah dihadapi. Meskipun begitu ada kebiasaan yang buruk (seperti berbohong) dan juga kebiasaan baik (seperti mengatakan dengan jujur) terlebih lagi ada berbagai keadaan yang sepertinya serupa namun tetap membutuhkan keputusan yang sangat berbeda. Walaupun kebiasaan ini sangat berguna, namun kita tidak boleh terlalu mengandalkannya.

2. Pendekatan rasional:

Deontologi melibatkan pencarian aturan-aturan yang terbentuk dengan baik yang dapat dijadikan

sebagai dasar dalam pembuatan keputusan moral seperti ”perlakukan manusia secara sama”. Dasarnya dapat saja agama (seperti kepercayaan bahwa manusia sebagai ciptaan Tuhan adalah sama) atau juga non-religius (seperti manusia memiliki gen-gen yang hampir sama). Sekali aturan ini terbangun maka hal tersebut harus diterapkan dalam situasi ilmiah, dan akan sangat mungkin terjadi perbedaan aturan mana yang diperlukan (seperti apakah aturan bahwa tidak boleh membunuh orang lain atau hukuman yang menjadi dasar larangan aborsi).

Konsekuensialisme mendasari keputusan etis yang diambil karena merupakan cara analisis

(11)

(disablility-adjusted life-years). Pendukung teori ini umumnya tidak banyak menggunakan prinsip-prinsip karena sangat sulit mengidentifikasi, menentukan prioritas dan menerapkannya dan dalam suatu kasus mereka tidak mempertimbangkan apakah yang sebenarnya penting dalam pengambilan keputusan moral seperti hasil yang ingin dicapai. Karena mengesampingkan prinsip-prinsip maka konsekuensialisme sangat memungkinkan timbulnya pernyataan bahwa ”hasil yang didapat akan membenarkan cara yang ditempuh” seperti hak manusia dapat dikorbankan untuk mencapai tujuan sosial.

Prinsiplisme, seperti yang tersirat dari namanya, mempergunakan prinsip-prinsip etik sebagai

dasar dalam membuat keputusan moral. Prinsip-prinsip tersebut digunakan dalam kasus-kasus atau keadaan tertentu untuk menentukan hal yang benar yang harus dilakukan, dengan tetap mempertimbangkan aturan dan konsekuensi yang mungkin timbul. Prinsiplisme sangat berpengaruh dalam debat-debat etika baru-baru ini terutama di Amerika. Keempat prinsip dasar, penghargaan otonomi, berbuat baik berdasarkan kepentingan terbaik dari pasien, tidak melakukan tindakan yang dapat menyakiti pasien serta keadilan merupakan prinsip dasar yang digunakan dalam pengambilan keputusan etik di dalam praktek. Prinsip-prinsip tersebut jelas memiliki peran yang penting dalam pengambilaan keputusan rasional walaupun pilihan terhadap keempat prinsip tersebut dan terutama prioritas untuk menghargai otonomi di atas yang lain merupakan refleksi budaya liberal dari Barat dan tidak selalu universal. Terlebih lagi keempat prinsip tersebut sering kali saling bergesekan di dalam situasi tertentu sehingga diperlukan beberapa kriteria dan proses untuk memecahkan konflik tersebut.

Etika budi pekerti kurang berfokus kepada pembuatan keputusan tetapi lebih kepada karakter dari

si pengambil keputusan yang tercermin dari perilakunya. Nilai merupakan bentuk moral unggul. Seperti disebutkan di atas, satu nilai yang sangat penting untuk apoteker adalah belas kasih, termasuk kejujuran, bijak, dan dedikasi. Apoteker dengan nilai-nilai tersebut akan lebih dapat membuat keputusan yang baik dan mengimplementasikannya dengan cara yang baik juga. Namun demikian, ada orang yang berbudi tersebut sering merasa tidak yakin bagaimana bertindak dalam keadaan tertentu dan tidak terbebas dari kemungkinan mengambil keputusan yang salah.

(12)

1. Tentukan apakah masalah yang sedang dihadapai adalah masalah etis.

2. Konsultasi kepada sumber-sumber kewenangan seperti kode etik dan kebijakan ikatan apoteker

serta kolega lain untuk mengetahui bagaimana apoteker biasanya berhadapan dengan masalah tersebut.

3. Pertimbangkan solusi alternatif berdasarkan prinsip dan nilai yang dipegang serta

konsekuensinya.

4. Diskusikan usulan solusi anda dengan siapa solusi itu akan berpengaruh.

5. Buatlah keputusan dan lakukan segera, dengan tetap memperhatikan orang lain yang

terpengaruh.

6. Evaluasi keputusan yang telah diambil dan bersiap untuk bertindak berbeda pada kesempatan

yang lain.

ETIKA

PENGERTIAN ETIKA

Etika merupakan studi tentang nilai dengan pendekatan kebenaran. Kata etik (atau etika) berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat. Sebagai suatu subyek, etika akan berkaitan dengan konsep yang dimilki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau benar, buruk atau baik. Kata etika sering disebut dengan istilah etik atau ethics (bahasa Inggris) atau ethicus (bahasa Latin) yang berarti kebiasaan. Maka secara etimologi, yang dikatakan baik adalah yang sesuai dengan kebiasaan masyarakat. Namun dalam perkembangannya, pengertian etka tersebut telah mengalami perubahan yang jauh dari makna awal.

Etika adalah studi tentang nilai-nilai manusiawi yang berhubungan dengan nilai kebenaran dan ketidakbenaran yang didasarkan atas kodrat manusia serta manifestasinya di dalam kehendak dan perilaku manusia. Pelanggaran etika belum tentu melanggar UU, namun hanya melanggar sumpah (etika). Sedang pelanggaran UU pasti melanggar etika juga.

Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara hingga pergaulan hidup tingkat internasional di perlukan suatu system yang mengatur bagaimana seharusnya manusia bergaul. Sistem pengaturan pergaulan tersebut menjadi saling menghormati dan dikenal dengan sebutan sopan santun, tata krama, protokoler dan lain-lain. Maksud pedoman pergaulan tidak lain untuk menjaga kepentingan masing-masing yang terlibat agara mereka senang, tenang, tentram, terlindung tanpa merugikan kepentingannya serta terjamin agar perbuatannya yang tengah dijalankan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan hak-hak asasi umumnya. Hal itulah yang mendasari tumbuh kembangnya etika di masyarakat kita.

(13)

baik. Drs. O.P. SIMORANGKIR merumuskan etika atau etik sebagai pandangan manusia dalam berprilaku menurut ukuran dan nilai yang baik. Drs. Sidi Gajalba dalam sistematika filsafat menjelaskan bahwa etika adalah teori tentang tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari segi baik dan buruk, sejauh yang dapat ditentukan oleh akal. Drs. H. Burhanudin Salam menyebut etika adalah cabang filsafat yang berbicara mengenai nilai dan norma moral yang menentukan prilaku manusia dalam hidupnya.

Dalam perkembangannya, etika sangat mempengaruhi kehidupan manusia. Etika memberi manusia orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya melalui rangkaian tindakan sehari-hari. Ini berarti etika membantu manusia untuk mengambil sikap dan bertindak secara tepat dalam menjalani hidup ini. Etika pada akhirnya membantu kita untuk mengambil keputusan tentang tindakan apa yang perlu kita lakukan dan yang pelru kita pahami bersama bahwa etika ini dapat diterapkan dalam segala aspek atau sisi kehidupan kita, dengan demikian etika ini dapat dibagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan aspek atau sisi kehidupan manusianya.

Menurut Sonny Keraf, etika dapat dibagi menjadi :

a. ETIKA UMUM, berbicara mengenai kondisi-kondisi dasar bagaimana manusia bertindak secara etis, bagaimana manusia mengambil keputusan etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolak ukur dalam menilai baik atau buruknya suatu tindakan. Etika umum dapat di analogkan dengan ilmu pengetahuan, yang membahas mengenai pengertian umum dan teori-teori.

b. ETIKA KHUSUS, merupakan penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus. Penerapan ini bisa berwujud :

1) Bagaimana saya mengambil keputusan dan bertindak dalam bidang kehidupan dan

kegiatan khusus yang saya lakukan, yang didasari oleh cara, teori dan prinsip-prinsip moral dasar.

2) Namun, penerapan itu dapat juga berwujud : Bagaimana saya menilai prilaku saya

dan orang lain dalam bidang kegiatan dan kehidupan khusus yang dilatarbelakangi oleh kondisi yang memungkinkan manusia bertindak etis : cara bagaimana manusia mengambil suatu keputusan atau tindakan, dan teori serta prinsip moral dasar yang ada dibaliknya.

ETIKA KHUSUS dibagi lagi menjadi dua bagian :

a) Etika individual, yaitu menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya

sendiri.

(14)

masyarakat, negara), sikap kritis terhadap pandangan-pandangan dunia dan idiologi-idiologi maupun tanggung jawab umat manusia terhadap lingkungan hidup.

Perlu diperhatikan bahwa etika individual dan etika sosial tidak dapat dipisahkan satu sama lain dengan tajam, karena kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan sebagai anggota umat manusia saling berkaitan.

Dengan demikian luasnya lingkup dari etika sosial, maka etika sosial ini terbagi atau terpecah menjadi banyak bagian atau bidang. Dan pembahasan bidang yang paling aktual saat ini adalah sebagai berikut :

1. Sikap terhadap sesama

2. Etika keluarga

3. Etika profesi

4. Etika politik

5. Etika lingkungan

6. Etika idiologi

Ada dua macam etika yang harus kita pahami dalam menentukan baik dan buruknya perilaku manusia :

1. ETIKA DESKRIPTIF, yaitu etika yang berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap dan prilaku manusia dan apa yang dikejar oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika deskriptif memberikan fakta sebagai dasar untuk mengambil keputusan tentang perilaku atau sikap yang mau diambil.

2. ETIKA NORMATIF, yaitu etika yang berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola perilaku ideal yang seharusnya dimiliki oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai. Etika normatif memberi penilaian sekaligus memberi norma sebagai dasar dan kerangka tindakan yang akan diputuskan.

Sistematika etika dapat digambarkan sebagai berikut:

MORAL

(15)

semua norma untuk kelakuan, perbuatan tingkah laku yang baik. Kata susila berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu kata su yang berarti lebih baik dan sila yang berarti dasar-dasar, prinsip-prinsip atau peraturan. Jadi susila berarti peraturan-peraturan hidup yang lebih baik.

Moral adalah keseluruhan aturan, kaidah atau hukum yang berbentuk perintah atau larangan yang mengatur perilaku manusia dan masyarakat dimana manusia itu berada. Dalam perkembangannya, kata moral ini menjadi ”moralis – moralitas”. Moralitas dipergunakan untuk menyebut perbutan yang memiliki makna lebih abstrak, dimana apabila dinyatakan moralitas suatu perbuatan berarti menunjuk baik buruknya suatu perbuatan. Bermoral atau tidaknya suatu perbuatan tergantung dari kesadaran dan kebebasan kehendak si pelaku (manusia itu sendiri).

Kesadaran dan kebebasan kehendak itu ada alam hati manusia, sedangkan makhluk primata lainnya tidak memiliki hal tersebut.

Moralitas adalah kualitas perbuatan manusiawi untuk berperilaku benar atau salah, baik atau buruk dan perbuatan yang demikian itu dikehendaki atau tidak (obyektif) serta perbuatan itu sesuai atau tidak dengan suara hati nuraninya (subyektif).

ETIKA = / MORAL

Etika  Ethikos (bahasa Yunani)  Adat istiadat / Kebiasaan Moral  Moralitas (bahasa Latin)  Adat istiadat / Kebiasaan Moral : tuntutan perilaku dan keharusan masyarakat, Etika : prinsip di belakang keharusan moral

(Thompson & Thompson, 1981) Etika : sistem dari prinsip prinsp moral atau aturan perilaku

Moral: prinsip-2 yg berkaitan dg perlaku baik dan buruk

(Priharjo, 1995)

ETIKET

Etiket  Etiqutte (bahasa Prancis)  Sopan santun

Etiket  Etiket (bahasa Belanda)  Secarik kertas yang ditempel di barang Etika (ethics) = moral

Etiket (etiqutte) = sopan santun Persamaan etika dan etiket: a. Menyangkut perilaku manusia

b. Atur prilaku manusia scr normatif artinya memberi norma pd manusia apa yg hrs

dilakukan dan tdk boleh dilakukan

(16)

Etika Etiket

1. Tdk terbatas cara, namun norma perilaku itu sendiri (dg tangan mana aja bila mencuri tetap salah)

1. Menyangkut cara perbuatan hrs dilakukan (memberidan menerimadg tangan kanan)

2. Tdk tergantung ada/tidak ada

orang lain 2. Berlaku dalam pergaulan,tp oranglain tidak ada etiket 3. Bersifat absolut 3. Bersifat relatif

4. Memandang manusia dari sisi

batiniah 4. Hanya memandang manusia darisisi lahiriah

Bertens, 2005 ETIKA PROFESI

Menurut Martin (1993), etika didefinisikan sebagai “the discpline which can act as the performance index or reference for our control system”. Dengan demikian, etika akan memberikan semacam batasan maupun standar yang akan mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok sosialnya. Dalam pengertiannya yang secara khusus dikaitkan dengan seni pergaulan manusia, etika ini kemudian dirupakan dalam bentuk aturan (code) tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada dan pada saat yang dibutuhkan akan bisa difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari kode etik. Dengan demikian etika adalah refleksi dari apa yang disebut dengan “self control”, karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok sosial (profesi) itu sendiri.

(17)

berakhir dengan tidak-adanya lagi respek maupun kepercayaan yang pantas diberikan kepada para elite profesional ini.

SISTEM PENILAIAN ETIKA

Titik berat penilaian etika sebagai suatu ilmu, adalah pada perbuatan baik atau jahat, susila atau tidak susila. Perbuatan atau kelakuan seseorang yang telah menjadi sifat baginya atau telah mendarah daging, itulah yang disebut akhlak atau budi pekerti. Budi tumbuhnya dalam jiwa, bila telah dilahirkan dalam bentuk perbuatan namanya pekerti. Jadi suatu budi pekerti, pangkal penilaiannya adalah dari dalam jiwa; dari semasih berupa angan-angan, cita-cita, niat hati, sampai ia lahir keluar berupa perbuatan nyata. Burhanuddin Salam, Drs. menjelaskan bahwa sesuatu perbuatan di nilai pada 3 (tiga) tingkat :

1. Tingkat pertama, semasih belum lahir menjadi perbuatan, jadi masih berupa rencana dalam hati, niat.

2. Tingkat kedua, setelah lahir menjadi perbuatan nyata, yaitu pekerti.

3. Tingkat ketiga, akibat atau hasil perbuatan tersebut, yaitu baik atau buruk. Dari sistematika di atas, kita bisa melihat bahwa ETIKA PROFESI merupakan bidang etika khusus atau terapan yang merupakan produk dari etika sosial. Kata hati atau niat biasa juga disebut karsa atau kehendak, kemauan, wil. Dan isi dari karsa inilah yang akan direalisasikan oleh perbuatan. Dalam hal merealisasikan ini ada (4 empat) variabel yang terjadi :

a. Tujuan baik, tetapi cara untuk mencapainya yang tidak baik. b. Tujuannya yang tidak baik, cara mencapainya ; kelihatannya baik. c. Tujuannya tidak baik, dan cara mencapainya juga tidak baik. d. Tujuannya baik, dan cara mencapainya juga terlihat baik.

PENGERTIAN PROFESI

Profesi adalah kelompok terbatas dari orang-orang yang mempunyai keahlian khusus yang diperoleh dari pendidikan tinggi atau pengalaman yang khusus dan dengan keahlian itu mereka dapat berfungsi dalam masyarakat untuk berperilaku atau pelayanan yang lebih baik dibandingkan dengan warga masyarakat lain pada umumnya.

(18)

penguasaan teori sistematis yang mendasari praktek pelaksanaan, dan hubungan antara teori dan penerapan dalam praktek. Kita tidak hanya mengenal istilah profesi untuk bidang-bidang pekerjaan seperti kedokteran, guru, militer, pengacara, dan semacamnya, tetapi meluas sampai mencakup pula bidang seperti manajer, wartawan, pelukis, penyanyi, artis, sekretaris dan sebagainya. Sejalan dengan itu, menurut DE GEORGE, timbul kebingungan mengenai pengertian profesi itu sendiri, sehubungan dengan istilah profesi dan profesional. Kebingungan ini timbul karena banyak orang yang profesional tidak atau belum tentu termasuk dalam pengertian profesi. Berikut pengertian profesi dan profesional menurut DE GEORGE :

PROFESI, adalah pekerjaan yang dilakukan sebagai kegiatan pokok untuk menghasilkan

nafkah hidup dan yang mengandalkan suatu keahlian.

PROFESIONAL, adalah orang yang mempunyai profesi atau pekerjaan purna waktu dan

hidup dari pekerjaan itu dengan mengandalkan suatu keahlian yang tinggi. Atau seorang profesional adalah seseorang yang hidup dengan mempraktekkan suatu keahlian tertentu atau dengan terlibat dalam suatu kegiatan tertentu yang menurut keahlian, sementara orang lain melakukan hal yang sama sebagai sekedar hobi, untuk senang-senang, atau untuk mengisi waktu luang. Profesional adalah bekerja dengan tujuan mulia untuk membuat orang lain menjadi sejahtera.

Yang harus kita ingat dan fahami betul bahwa “PEKERJAAN / PROFESI” dan “PROFESIONAL” terdapat beberapa perbedaan :

PROFESI:

- Mengandalkan suatu keterampilan atau keahlian khusus.

- Dilaksanakan sebagai suatu pekerjaan atau kegiatan utama (purna waktu). - Dilaksanakan sebagai sumber utama nafkah hidup.

- Dilaksanakan dengan keterlibatan pribadi yang mendalam.

PROFESIONAL:

- Orang yang tahu akan keahlian dan keterampilannya.

- Meluangkan seluruh waktunya untuk pekerjaan atau kegiatannya itu. - Hidup dari situ.

- Bangga akan pekerjaannya.

CIRI-CIRI PROFESI:

Secara umum ada beberapa ciri atau sifat yang selalu melekat pada profesi, yaitu : 1. Adanya pengetahuan khusus, yang biasanya keahlian dan keterampilan ini dimiliki

berkat pendidikan, pelatihan dan pengalaman yang bertahun-tahun.

2. Adanya kaidah dan standar moral yang sangat tinggi. Hal ini biasanya setiap pelaku

(19)

3. Mengabdi pada kepentingan masyarakat, artinya setiap pelaksana profesi harus meletakkan kepentingan pribadi di bawah kepentingan masyarakat.

4. Ada izin khusus untuk menjalankan suatu profesi. Setiap profesi akan selalu berkaitan dengan kepentingan masyarakat, dimana nilai-nilai kemanusiaan berupa keselamatan, keamanan, kelangsungan hidup dan sebagainya, maka untuk menjalankan suatu profesi harus terlebih dahulu ada izin khusus.

5. Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu profesi.

Dengan melihat ciri-ciri umum profesi di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa kaum

profesional adalah orang-orang yang memiliki tolak ukur perilaku yang berada di atas rata-rata.

CIRI-CIRI PROFESI:

1. Menjalankan pekerjaan yang memerlukan dasar dari pendidikan tinggi.

2. Bekerja berdasarkan perkembangan standar sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan.

3. Pekerjaan yang dilakukan untuk kepentingan kemanusiaan dan kemasyarakatan

4. Menaati kode etik profesi beserta kewenangan peradilannya dalam menjaga kualitas pekerjaan.

5. Menjalin hubungan baik dengan asosiasi/organisasi profesi yang berwenang norma disiplin di lingkungan intern para anggotanya.

Di satu pihak ada tuntutan dan tantangan yang sangat berat, tetapi di lain pihak ada suatu kejelasan mengenai pola perilaku yang baik dalam rangka kepentingan masyarakat. Seandainya semua bidang kehidupan dan bidang kegiatan menerapkan suatu standar profesional yang tinggi, bisa diharapkan akan tercipta suatu kualitas masyarakat yang semakin baik.

PRINSIP-PRINSIP ETIKA PROFESI:

1. Tanggung jawab

- Terhadap pelaksanaan pekerjaan itu dan terhadap hasilnya.

- Terhadap dampak dari profesi itu untuk kehidupan orang lain atau masyarakat pada umumnya.

(20)

3. Otonomi. Prinsip ini menuntut agar setiap kaum profesional memiliki dan di beri kebebasan dalam menjalankan profesinya.

SYARAT-SYARAT SUATU PROFESI :

- Melibatkan kegiatan intelektual.

- Menggeluti suatu batang tubuh ilmu yang khusus.

- Memerlukan persiapan profesional yang alam dan bukan sekedar latihan. - Memerlukan latihan dalam jabatan yang berkesinambungan.

- Menjanjikan karir hidup dan keanggotaan yang permanen. - Mementingkan layanan di atas keuntungan pribadi.

- Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat.

- Menentukan baku standarnya sendiri, dalam hal ini adalah kode etik.

Pekerjaan yang dapat kita sebut dengan profesi adalah yang mempunyai karakter sebagai berikut;

 bekerja penuh waktu,

 orientasi kerja lebih untuk melayani daripada sekedar mencari nafkah (komitmen

untuk membantu orang lain, bahkan di luar waktu kerja),

 bekerja berdasar ilmu dan keterampilan yang didapat dari pendidikan khusus,

 bekerja secara otonom (berdasar keputusannya sendiri),

 bekerja berdasarkan etika,

 mempunyai tanda atau simbol identitas

 terorganisir dalam asosiasi profesi

(Latham, 2002).

 Etika pokok profesional kesehatan adalah:

primum non nocere (Latin)

first, do no harm

primary rule, was to do no harm.

 Tenaga kesehatan yang profesional mengacu prima-facie, yaitu:

autonomy,

beneficence,

non-maleficence

justice

(Monagle & Thomasma, 1998).  Prinsip autonomy (self-governance):

 menghormati hak pasien dalam menentukan sikap dan dilindungi kerahasiaannya.

 mencerminkan konsep bahwa professional memberikan layanan mediknya

(pengobatan) berdasarkan kehendak pasiennya.

 mengikutsertakan pasien pada penentuan pengobatan dan tindakan medis,

 harus merahasiakan informasi medis pasiennya.

(21)

 meningkatkan kesejahteraan pasiennya.

 mencerminkan konsep bahwa profesional dalam pekerjaannya selalu memberikan

keuntungan bagi pasiennya.

 Prinsip non-maleficence (do no harm):

 menjauhi tindakan yang merugikan pasiennya.

 Kompetensinya harus selalu dijaga tetap tinggi dan selalu diperbarui (up-date), serta

menyadari keterbatasannya.  Prinsip justice (fairness):

 selalu adil dalam mengobati pasien-pasiennya,

 berusaha agar semua orang mudah mendapatkan pelayanannya

(Jonsen dkk, 1982).

PERANAN ETIKA DALAM PROFESI

Nilai-nilai etika itu tidak hanya milik satu atau dua orang, atau segolongan orang saja, tetapi milik setiap kelompok masyarakat, bahkan kelompok yang paling kecil yaitu keluarga sampai pada suatu bangsa. Dengan nilai-nilai etika tersebut, suatu kelompok diharapkan akan mempunyai tata nilai untuk mengatur kehidupan bersama.

Salah satu golongan masyarakat yang mempunyai nilai-nilai yang menjadi landasan dalam pergaulan baik dengan kelompok atau masyarakat umumnya maupun dengan sesama anggotanya, yaitu masyarakat profesional. Golongan ini sering menjadi pusat perhatian karena adanya tata nilai yang mengatur dan tertuang secara tertulis (yaitu kode etik profesi) dan diharapkan menjadi pegangan para anggotanya.

Sorotan masyarakat menjadi semakin tajam manakala perilaku-perilaku sebagian para anggota profesi yang tidak didasarkan pada nilai-nilai pergaulan yang telah disepakati bersama (tertuang dalam kode etik profesi), sehingga terjadi kemerosotan etik pada masyarakat profesi tersebut. Sebagai contohnya adalah pada profesi hukum dikenal adanya mafia peradilan, demikian juga pada profesi dokter dengan pendirian klinik super spesialis di daerah mewah, sehingga masyarakat miskin tidak mungkin menjamahnya.

KODE ETIK PROFESI

Kode; yaitu tanda-tanda atau simbol-simbol yang berupa kata-kata, tulisan atau benda yang disepakati untuk maksud-maksud tertentu, misalnya untuk menjamin suatu berita, keputusan atau suatu kesepakatan suatu organisasi. Kode juga dapat berarti kumpulan peraturan yang sistematis.

(22)

MENURUT UU NO. 8 (POKOK-POKOK KEPEGAWAIAN)

Kode etik profesi adalah pedoman sikap, tingkah laku dan perbuatan dalam melaksanakan tugas dan dalam kehidupan sehari-hari. Kode etik profesi sebetulnya tidak merupakan hal yang baru. Sudah lama diusahakan untuk mengatur tingkah laku moral suatu kelompok khusus dalam masyarakat melalui ketentuanketentuan tertulis yang diharapkan akan dipegang teguh oleh seluruh kelompok itu. Salah satu contoh tertua adalah ; SUMPAH HIPOKRATES, yang dipandang sebagai kode etik pertama untuk profesi dokter.

Hipokrates adalah doktren Yunani kuno yang digelari : BAPAK ILMU KEDOKTERAN. Beliau hidup dalam abad ke-5 SM. Menurut ahli-ahli sejarah belum tentu sumpah ini merupakan buah pena Hipokrates sendiri, tetapi setidaknya berasal dari kalangan murid-muridnya dan meneruskan semangat profesional yang diwariskan oleh dokter Yunani ini. Walaupun mempunyai riwayat eksistensi yang sudah-sudah panjang, namun belum pernah dalam sejarah kode etik menjadi fenomena yang begitu banyak dipraktekkan dan tersebar begitu luas seperti sekarang ini. Jika sungguh benar zaman kita di warnai suasana etis yang khusus, salah satu buktinya adalah peranan dan dampak kode-kode etik ini.

Profesi adalah suatu MORAL COMMUNITY (MASYARAKAT MORAL) yang memiliki cita-cita dan nilai-nilai bersama. Kode etik profesi dapat menjadi penyeimbang segi segi negative dari suatu profesi, sehingga kode etik ibarat kompas yang menunjukkan arah moral bagi suatu profesi dan sekaligus juga menjamin mutu moral profesi itu dimata masyarakatKode etik bisa dilihat sebagai produk dari etika terapan, seban dihasilkan berkat penerapan pemikiran etis atas suatu wilayah tertentu, yaitu profesi. Tetapi setelah kode etik ada, pemikiran etis tidak berhenti. Kode etik tidak menggantikan pemikiran etis, tapi sebaliknya selalu didampingi refleksi etis. Supaya kode etik dapat berfungsi dengan semestinya, salah satu syarat mutlak adalah bahwa kode etik itu dibuat oleh profesi sendiri. Kode etik tidak akan efektif kalau di drop begitu saja dari atas yaitu instansi pemerintah atau instansi-instansi lain; karena tidak akan dijiwai oleh cita-cita dan nilai-nilai yang hidup dalam kalangan profesi itu sendiri.

(23)

PERKEMBANGAN KODE ETIK

 Masyarakat primerbila terjadi pelanggaran moralpenyelesaian relatif lebih mudah

 Masyarakat sekunder berkembang masalah moral lebih komplekspenyelesaian

lebih sulit  menyadari pentingnya pembagian kerja dan upaya spesialisasi agar semakin terampil dan bermutu untuk pelayanan yang lebih baik bagi peningkatan kesejahteraan hidup bersama.

 Ada sebagian ahli ( spesialis) yang bekerja tidak profesional ( amatir).

 Garis batas demarkasi antara seorang yang profesional dengan yang tidak

profesional menjadi tidak jelas norma moral bagi pekerjaan profesi terancam.  Ancaman bagi pekerjaan profesi perlu diatasi dengan menyusun norma moral yang

mudah dan jelas bagi anggota kelompok spesialis seprofesi membedakan mana yang profesional dan mana yang tidak professional.

 Susunan moral yang normatif disebut etika/susiladirumuskan tertuliskode etik

profesi.

TUJUAN KODE ETIK PROFESI:

1. Untuk menjunjung tinggi martabat profesi.

2. Untuk menjaga dan memelihara kesejahteraan para anggota. 3. Untuk meningkatkan pengabdian para anggota profesi.

4. Untuk meningkatkan mutu profesi.

5. Untuk meningkatkan mutu organisasi profesi. 6. Meningkatkan layanan di atas keuntungan pribadi.

7. Mempunyai organisasi profesional yang kuat dan terjalin erat. 8. Menentukan baku standarnya sendiri.

TUJUAN KODE ETIK:

1. Melindungi anggota organisasi untuk menghadapi persaingan pekerjaan profesi yang tidak jujur dan untuk mengembangkan tugas profesi sesuai dengan kepentingan masyarakat.

2. Menjalin hubungan bagi anggota profesi satu sama lain dan menjaga nama baik profesi.

3. Merangsang pengembangan profesi  kualifikasi pendidikan yang memadai. 4. Mencerminkan hubungan antara pekerjaan profesi dengan pelayanan

masyarakat dan kesejahteraan social.

(24)

6. Membentuk ikatan yang kuat bagi seuma anggota dan melindungi profesi terhadap pemberlakuan norma hukum yang bersifat imperatif sebelum disesuaikan dengan saluran norma moral profesi.

FUNGSI KODE ETIK

1. Memberikan arahan bagi suatu pekerjaan profesi 2. Menjamin mutu moralitas profesi di mata masyarakat

Adapun fungsi dari kode etik profesi adalah:

1. Memberikan pedoman bagi setiap anggota profesi tentang prinsip profesionalitas yang digariskan.

2. Sebagai sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas profesi yang bersangkutan3. Mencegah campur tangan pihak di luar organisasi profesi tentang hubungan etika dalam keanggotaan profesi. Etika profesi sangatlah dibutuhkan dlam berbagai bidang.

Tuntutan bagi anggota profesi:

1. Keharusan menjalankan profesinya secara bertanggung jawab. 2. Keharusan untuk tidak melanggar hak-hak orang lain.

KARAKTERISTIK KODE ETIK BAGI PROFESI

1. Merupakan produk etika terapan yang dihasilkan berdasarkan konsep-konsep pemikiran etis atas suatu profesi tertentu

2. Merupakan hasil ‘self regulation’ dari profesi itu sendiri yang mewujudkan nilai-nilai moral yang dianggap hakiki dan pada prinsipnya tidak pernah dipaksakan dari luar.

3. Dijiwai nilai-nilai dan cita hidup dalam kalangan profesi itu sendiri maka tidak efektif apabila keberadaannya ditentukan dari pemerintah/instansi atasan. 4. Bertujuan mencegah terjadinya perilaku yang tidak etis.

(25)

Kode etik harus disosialisasikan:

1. Sebagai sarana kontrol sosial.

2. Mencegah campur tangan yang dilakukan oleh pihak luar yang bukan kalangan profesi.

3. Mengembangkan petunjuk baku dari kehendak manusia yang lebih tinggi berdasarkan moral.

PENYEBAB PELANGGARAN KODE ETIK:

1. Apoteker tidak faham/tidak mengetahui kode etik.

Misal: melaporkan teman sejawat sehingga mencoreng nama profesi, mengadu domba organisasi.

2. Persaingan kerja.

Misal: ingin mendapatkan status, sehingga menerima gaji tidak sesuai standar. 3. Lemahnya kinerja organisasi profesi dalam pembinaan anggotanya (kurang

komunikasi).

4. Peraturan perUUan dan sistem regulasi yang kurang kondusif (interpretasi ganda,

tumpang tindih).

5. Pekerjaan kefarmasian masih ditempatkan sebagai lahan komersial, bukan sebagai

pelayanan profesi.

Misal: Pada PBF dan industri farmasi, penanggung jawab memang apoteker namun tidak memahami fungsinya.

Tugas apoteker di PBF:

a. Pengawasan penyimpanan obat, quality control

b. Pengaturan FEFO dan FIFO

c. Pelayanan, memahami kriteria dari masing-masing obat

d. Pemusnahan obat

Tugas apoteker di industri farmasi, antara lain: a. Pembuatan obat yang baik dan benar

b. Pengawasan pembuatan obat.

SANKSI PELANGGARAN KODE ETIK:

a. Sanksi moral.

b. Sanksi dikeluarkan dari organisasi.

(26)

regulation yang terwujud dalam kode etik; seperti kode ituberasal dari niat profesi mengatur dirinya sendiri, demikian juga diharapkan kesediaan profesi untuk menjalankan kontrol terhadap pelanggar. Namun demikian, dalam praktek sehari-hari control ini tidak berjalan dengan mulus karena rasa solidaritas tertanam kuat dalam anggota-anggota profesi, seorang profesional mudah merasa segan melaporkan teman sejawat yang melakukan pelanggaran. Tetapi dengan perilaku semacam itu solidaritas antar kolega ditempatkan di atas kode etik profesi dan dengan demikian maka kode etik profesi itu tidak tercapai, karena tujuan yang sebenarnya adalah menempatkan etika profesi di atas pertimbangan-pertimbangan lain. Lebih lanjut masing-masing pelaksana profesi harus memahami betul tujuan kode etik profesi baru kemudian dapat melaksanakannya.

Kode Etik Profesi merupakan bagian dari etika profesi. Kode etik profesi merupakan lanjutan dari norma-norma yang lebih umum yang telah dibahas dan dirumuskan dalam etika profesi. Kode etik ini lebih memperjelas, mempertegas dan merinci norma ke bentuk yang lebih sempurna walaupun sebenarnya norma-norma tersebut sudah tersirat dalam etika profesi. Dengan demikian kode etik profesi adalah sistem norma atau aturan yang ditulis secara jelas dan tegas serta terperinci tentang apa yang baik dan tidak baik, apa yang benar dan apa yang salah dan perbuatan apa yang dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh seorang profesional.

Kode etik yang ada dalam masyarakat Indonesia cukup banyak dan bervariasi. Umumnya pemilik kode etik adalah organisasi kemasyarakatan yang bersifat nasional, misalnya Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), kode etik Ikatan Penasehat HUKUM Indonesia, Kode Etik Jurnalistik Indonesia, Kode Etik Advokasi Indonesia dan lain-lain. Ada sekitar tiga puluh organisasi kemasyarakatan yang telah memiliki kode etik.

Suatu gejala agak baru adalah bahwa sekarang ini perusahaan-perusahan swasta cenderung membuat kode etik sendiri. Rasanya dengan itu mereka ingin memamerkan mutu etisnya dan sekaligus meningkatkan kredibilitasnya dan karena itu pada prinsipnya patut dinilai positif.

PRAKTIK PELAKSANAAN “KODE ETIK”

1. Kewajiban Umum

a. Sumpah apoteker b. Kode etik

c. Menjalankan sesuai standar kompetensi.

d. Aktif mengikuti perkembangan dibidang kesehatan dan farmasi.

2. Di dalam melaksanakan praktik, apoteker menjauhkan diri dari usaha mencari keuntungan semata bertentangan dengan martabat dan tradisi luhur kefarmasian.

3. Apoteker harus berbudi luhur dan menjadi contoh baik bagi orang lain.

(27)

5. Apoteker menjadi sumber informasi.

SUMPAH APOTEKER

Nilai norma dari sumpah/janji seorang apoteker mengandung 5 substansi:

1. Tidak mempergunakan pengetahuan kefarmasian untuk sesuatu yang bertentangan dengan hukum dan perikemanusiaan.

2. Membaktikan hidup guna kepentingan kemanusiaan dalam bidang kesehatan.

3. Menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya sesuai dengan martabat dan tradisi luhur jabatan kefarmasian.

4. Merahasiakan segala sesuatu yang diketahui karena pekerjaan dan keilmuan.

(28)

KASUS DAN KODE ETIK SERTA IMPLEMENTASINYA-3

CONTOH PELANGGARAN ETIKA

DI APOTEK:

1.

Dokter menulis resep dengan kode, dan resep tersebut hanya bisa ditebus di apotek

yang ditunjuk dokter.

2.

PSA menjual psikotropika dan pada saat membuat laporan bekerja sama dengan

dokter untuk membuatkan resep.

3.

Krim malam, krim pagi buatan apotek sendiri, tidak diketahui formulanya.

DI PUSKESMAS ATAU KLINIK:

1.

Yang menyerahkan obat kepada pasien bukan apoteker, melainkan bidan, mantri,

perawat, karena puskesmas tidak memiliki apoteker.

DI RUMAH SAKIT:

1.

Apoteker membuat suatu obat yang isinya campuran dari beberapa obat (oplosan).

DI INDUSTRI:

1.

Klaim, saling mengklaim suatu produk

melanggar etika.

(29)

KASUS PRODUKSI

KASUS I: Kasus Ia

 Dalam FI IV disebutkan bahwa tablet efedrin memiliki kadar yang dapat diterima adalah 90-100%

efedrin anhydrat.

 Untuk memproduksi tablet efedrin 50 mg sebanyak 1.000.000 tab diperlukan 50 kg serbuk efedrin

anhydrat dengan penambahan berbagai bahan campuran lainnya.

 Hasil uji bagian QC didapat kadar efedrin 95,25%, KS/KB, WH memenuhi syarat sehingga barang

tersebut diluluskan.

 Tablet efedrin yang dibuat menjadi 1.047.500 tablet.  Hasil ini terjadi berulang-ulang.

 Telah dilakukan check proses, namun hasil sama.

Kasus Ib

Apoteker S, seorang Manajer roduksi suatu Industri farmasi diminta untuk memproduksi sediaan Tablet Captoprl 25 mg. Sesuai dengan syarat standard dalam Farmakope Indonesia edisi IV, syarat kadar Captopril tablet adalah 90 s.d. 110%. Guna memproduksi 100.000 tablet Captopril 25 mg, Apoteker S menimbang 2,300 kg sehingga tiap tablet mengandung rata-rata 96,00%. Obat dapat diproduksi dan secara peraturan perundang-undangan memenuhi syarat kadar. Apoteker S dibanggakan oleh pemilik industri dan mendapat bonus besar karena produksi Captopril tablet menghasilkan laba yang banyak.

Tindakan apa yang sebaiknya dilakukan oleh apoteker? • Cari komitmen pimpinan terhadap mutu.

• Lakukan validasi proses.

• Bobot keseragaman obat tablet efedrin 50 mg, walaupun range 95-110%, akan tetapi harus

ditimbang 50 mg jangan dikurangi.

KASUS II:

 Pemerintah telah menetapkan harga jual obat adalah 1- 3 kali harga obat generiknya. Seorang

apoteker yang menjabat sebagai Manajer Produksi di suatu industri farmasi mendapati bahwa harga bahan baku glibenclamide naik sehingga setelah diproduksi menjadi tablet glibenclamide juga harga tinggi

 Bila mengikuti harga yang ditetapkan pemerintah, pabrik mengalami kerugian. Diketahui bahwa

pabrik farmasi yang memproduksi glibenclamide tablet hanya oleh beberapa pabrik farmasi.

Tindakan apa yang sebaiknya dilakukan oleh apoteker?

 Tetap memproduksi Glibenclamide tablet karena sangat diperlukan oleh masyarakat. Tapi gemana

mengatasi kerugian perusahaan? So:

 Melakukan subsidi silang untuk menutup kerugian pabrik/jual neto aja.

 Efektivitas produksi/menekan biaya produksi. Ganti dengan bahan tambahan yang lebih murah

(30)

 Lakukan upaya diplomasi antara petinggi pabrik (pentingnya GP-Farmasi) dengan pemerintah

terkait regulasi.

KASUS III:

Sebuah pabrik obat tradisional Kec. Bumiayu Kab. Brebes Jawa Tengah memproduksi OT mengandung BKO tanpa hak dan kewenangan. Ruang produksi OT TIE dan mengandung BKO tersebut didesain seperti Bunker yang terletak dibawah tanah dan bertingkat 2 (dua).

Hasil pengujian PPOMN terhadap barang bukti yang ditemukan menunjukkan :

Kajian Pelanggaran Etika Dan Undang-Undang Kefarmasian

Persyaratan usaha industri obat tradisional dan usaha industri kecil obat tradisional (SK MENKES NO. 246/MENKES/SK/ V/1990 tentang izin usaha industri obat tradisional dan pendaftaran obat tradisional)

Pasal 3

1.

Obat tradisional yang diproduksi, diedarkan diwilayah Indonesia maupun dieksport

terlebih dahulu harus didaftarkan sebagai persetujuan menteri.

2.

Dikecualikan dari ketentuan ayat 1 adalah obat tradisional hasil poduksi:

a. Industri kecil obat tradisional dalam bentuk rajangan, pilis, tapel, dan parem.

b. Usaha jamu racikan.

c. Usaha jamu gendong.

Pasal 6

1.

Usaha industri obat tradisional wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Dilakukan oleh badan hukum berbentuk perseroan terbatas atau koperasi.

b. Memiliki nomor pokok wajib pajak.

Pasal 7

“Industri obat tradisional harus didirikan di tempat yang bebas pencemaran dan tidak mencemari lingkungan”.

Pasal 8

“Usaha industri obat tradisional harus mempekerjakan secara tetap sekurang-kurangnya seorang apoteker warga negara indonesia sebagai penanggung jawab teknis”.

Pasal 9

1.

Industri obat tradisional dan industri kecil obat tradisional wajib mengikuti pedoman

cara pembuatan obat tradisioanl yang baik (CPOTB).

2.

Pemenuhan persyaratan dimaksud ayat 1 dinyatakan oleh petugas yang berwenang

melalui pemeriksaan setempat.

(31)

Untuk pendaftaran obat tradisional dimaksud dalam pasal 3 obat tradisional harus memenuhi persyaratan:

a.

Secara empirik terbukti aman dan bermanfaat untuk digunakan manusia .

b.

Bahan obat tradisional dan proses produksi yang digunakan memenuhi prsyaratan

yang ditetapkan.

c.

Tidak mengandung bahan kimia sintetik atau hasil isolasi yang berkhasiat sebagai

obat.

d.

Tidak mengandung bahan yang tergolong obat keras atau narkotik.

UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 4a

Hak konsumen adalah :

Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa.

PP No. 51 Tahun 2009

tentang Pekerjaan Kefarmasian Bagian Ketiga mengenai pekerjaan kefarmasian dalam produksi sediaan farmasi

Pasal 7 (1)

“Pekerjaan kefarmasian dalam produksi sediaan farmasi harus memiliki apoteker penanggung jawab”.

Pasal 9 (2)

“Industri obat tradisional dan pabrik kosmetika harus memiliki sekurang-kurangnya 1 (satu) orang apoteker sebagai penanggung jawab”.

KASUS PENGADAAN

Apotek menerima tawaran PBF karena ada pelicin/bonus.

KASUS DISTRIBUSI

KASUS I:

Apotek panel  melanggar UU.

Untuk bersaing dengan apotek lain, sehingga apotek X mencari PBF yang menjual harga murah walaupun tidak legal dengan tujuan agar bisa menjual kembali dengan harga murah dengan diskon, sehingga mampu bersaing.

KASUS II:

(32)

Penyelesaian:

Pada prinsipnya yang penting (tolong menolong):

1.

Bagi yang nempil:

a. minta tolong dengan sopan dan cara yang baik, jangan hanya menggunakan kertas

sobekan untuk pemesanan.

b. Komunikasikan / telepon dulu, siapkan dokumen tertulis.

c. Kalimat terbaik: (1) SP; (2) Copi Resep; (3) Dengan kertas yang baik. 1 & 2 Untuk

nempil narkotik boleh tapi pake SP narkotik (baca UU Narkotika No.35/2009)

2.

Bagi yang ditempili:

a. Harga (pada umumnya HNA + PPN x index 1,3), namun untuk sejawat tidak sama

dengan harga pada umumnya, atau bukan juga harga netto, ini egois. Tapi index

misalnya 1,1. Tidak menarik biaya tueslag dan embalanse.

KASUS III:

Narkotik boleh didistribusikan dari apotek ke apotek, dari apotek ke RS. Masa sesama sejawat tidak saling percaya untuk nempil obat, percuma kuliah lama kata bu Bondan. Yang penting ada SP nya aja (kesepakatan di Yogya pake SP khusus, tapi berdasarkan undang-undang yang penting ada permintaan tertulis dari apoteker). UU Narkotik tahun 70an memang tidak diperbolehkan, namun UU Narkotik sekarang boleh. UU Narkotika No. 35/2009:

Pasal 43

(1) Penyerahan Narkotika hanya dapat dilakukan oleh: a. apotek;

b. rumah sakit;

c. pusat kesehatan masyarakat; d. balai pengobatan; dan e. dokter.

(2) Apotek hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada: a. rumah sakit;

b. pusat kesehatan masyarakat; c. apotek lainnya;

d. balai pengobatan; e. dokter; dan f. pasien.

(3) Rumah sakit, apotek, pusat kesehatan masyarakat, dan balai pengobatan hanya dapat menyerahkan Narkotika kepada pasien berdasarkan resep dokter.

(4) Penyerahan Narkotika oleh dokter hanya dapat dilaksanakan untuk:

a. menjalankan praktik dokter dengan memberikan Narkotika melalui suntikan;

b. menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan Narkotika melalui suntikan; atau

c. menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek.

(33)

KASUS PELAYANAN

PELAYANAN RESEP Definisi

Permenkes 922/Menkes/Per/X/1993–Pasal 1(h)

 Resep adalah permintaan tertulis dari Dokter, Dokter Gigi, Dokter Hewan kepada Apoteker

Pengelola Apotik untuk menyediakan dan menyerahkan obat bagi penderita sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku.

Resep yang baik adalah resep yang jelas dan dapat dibaca, resep harus memenuhi peraturan yang ditetapkan oleh SK. MENKES RI No. 26 MenKes/Per/1981, Bab III, pasal 10, yang memuat :

1.

Nama, alamat dan No Surat Ijin Praktek Dokter

2.

Tempat dan tanggal penulisan resep

3.

Tanda R/ pada bagian kiri setiap penulisan obat.

4.

Nama setiap obat/komponen resep (dengan Bentuk sediaan obat, Dosis, Jumlah dan

petunjuk pemakaian)

5.

Tanda tangan/ paraf dokter, alamat jelas rumah untuk obat narkotika

6.

Tanda seru/paraf dokter, pada obat yang melebihi dosis maksimum.

7.

Nama penderita

Bagian-bagian dari resep adalah :

a. Inscriptio (identitas dokter penulis resep, SIP, alamat, kota, tanggal dan R/

b. Praescriptio (Inti resep, terdiri dari nama obat, BSO, Dosis obat dan jumlah obat)

c. Signatura, tanda yang harus ditulis di etiket obat (nama pasien dan petunjuk pemakaian).

d. Subscriptio, tanda tangan atau paraf dokter.

Secara Teknis

 Resep artinya pemberian obat secara tidak langsung, ditulis jelas dengan tinta, tulisan tangan pada

kop resep resmi kepada pasien, format, dan kaedah penulisan sesuai dengan peraturan dan per Undang-Undangan yang berlaku.

Perundang-undangan:

Permenkes No.278/279/280/Menkes/SK/V/1981  Melayani resep dokter, dokter gigi dan dokter hewan

 Salinan resep harus ditanda-tangani atau diparaf oleh Apoteker

Kepmenkes No. 1027/Menkes/SK/IX/2004 Skrining resep : Persyaratan administratif resep, a.l:

 Nama, alamat dokter, tgl penulisan resep, paraf/td tangan dokter, Nama obat, potensi, dosis , juml

(34)

Faktanya

 Resep harus mudah dibaca dan mengungkapkan dengan jelas apa yang harus diberikan (Zunilda,

1998).

 Apabila apoteker menganggap pada resep tidak dapat dibaca dengan jelas atau tidak lengkap,

apoteker harus menanyakan kepada penulis resep (Hartono, 2003).

 Dalam resep harus memuat: nama dokter, nomor Surat Izin Praktek dokter, alamat dokter, tanggal

penulisan resep, tanda tangan dokter, nama pasien, alamat, umur, berat badan, nama obat, dosis, jumlah yang diminta, aturan pakai.

 Resep yang mengandung narkotika harus ditulis tersendiri yaitu tidak boleh ada iterasi (ulangan), ditulis dengan nama pasien tidak boleh m.i.=mihi ipsi=untuk dipakai sendiri, alamat pasien dan aturan pakai yang jelas, tidak boleh ditulis sudah tahu pakainya (Aniefa, 2000).

Kaidah Penulisan Resep

 Nama obat ditulis dengan jelas. Penulisan nama obat tidak jelas dapat menyebabkan obat yang

keliru diberikan kepada penderita.

 Kekuatan dan jumlah obat ditulis dalam resep dengan jelas

(Zaman, 2001).

 Pemberian obat yang terlalu banyak sebaiknya dihindari karena bisa bahaya.  Pemberian obat dalam jangka waktu yang terlalu lama sebaiknya dihindari.

(Joenes, 2001).

Pelayanan Resep Obat

 Dalam pelayanan resep ini, resep yang sudah diterima apoteker harus dibaca secara lengkap dan

hati-hati, sehingga tidak ada keraguan dalam resep tersebut

(Scott, 2000).

Skrining Resep

 Persyaratan administratif yaitu: nama, nomor Surat Izin Praktek dan alamat dokter, tanggal

penulisan resep, paraf dokter penulis resep, nama, alamat, umur, jenis kelamin, berat badan pasien, nama obat, dosis, dan jumlah yang diminta, dan cara pemakaian yang jelas.

 Jika terdapat sesuatu yang kurang jelas atau jika nampak telah terjadi kesalahan, apoteker harus

mengkonsultasikan kepada penulis resep. Hendaknya apoteker tidak mengartikan maksud dari kata yang tidak jelas atau singkatan yang tidak diketahui (Scott, 2000).

 Beberapa jenis kesalahan memang cukup banyak dijumpai dalam penulisan resep, misalnya

masih banyak resep obat yang ditulis tanpa ada penulisan signa atau aturan pakai, kadang kata signa yang dituliskan kurang jelas atau kurang lengkap (Zairina dan Himawati, 2003). Beberapa jenis kesalahan yang terjadi pada resep:

 Tidak ada umur pasien terutama untuk pasien anak.  Tidak ada tanda tangan dokter/prescriber

 Nama obat tidak jelas karena tulisan yang sulit dibaca.

 Penulisan obat dengan khasiat sama lebih dari 1 kali dalam 1 lembar resep, baik dengan nama

sama atau merk berbeda.

Referensi

Dokumen terkait