• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ijtihad dalam Lintas Sejarah pemerintahan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Ijtihad dalam Lintas Sejarah pemerintahan "

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Poblematika Ijtihad dan Solusinya pada Zaman Modern

Paper Ini disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Perbandingan Mazhab

Dosen Pengampu: Drs. H. Rozihan, SH, M. Ag.

Disusun Oleh

Yahsyallah (31501301989)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

JURUSAN TARBIYYAH

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

SEMARANG

(2)

Ijtihad dalam Lintas Sejarah

Ijtihad pada Periode Nabi Muhammad SAW. (± 13 SH.-

11 H)

Menurut ajaran Islam, yang mempunyai otoritas tertinggi dalam menetapkan hokum, hanya Allah semata. Nabi Muhammad SAW. sebagai utusan Allah bertugas melaksanakan dan menyampaikan perintah-perintah Allah SWT. kepada semua lapisan masyarakat. Dengan demikian, semua ketentuan yang ersumber dari Allah SWT. yang disampaikan melalui wahyunya, berfungsi sebagai peraturan uang bersifat mengikat dan harus dilaksanakan.

Selain mempunyai wewenang menerima dan menyampaikan hokum-hukum Allah, Nabi Muhammmad SAW., juga berwenang memperjelas hokum-hukum Allah tersebut. Tugas Nabi Muhammad SAW. Itu dijelaskan Allah dalam firmanNya:

   

     

Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada merekadan supaya mereka memikirkan. (QS. An-Nahl-44).

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa selain berdasarkan wahyu, Nabi Muhammad SAW. juga berbicara berdasarkan kepada pendapat dan pertimbangan akalnya sendiri. Keputusan-keputusan yang diambil oleh beliau berdasarka akal (ra’yu) itulah yang disebut “Ijtihad”.

Nash al-Qur’an yang telah memerintahkan bermusyawarah dalam mengambil keputusan atau dalam menyelesaikan suatu masalah, tidak akan terjadi kecuali dengan cara ijtihad. Walaupun ijtihad Rasulullah sebagiannya ada yang mendapat penyempurnaan dari Allah, tetapi ia telah mempersiapkan suatu landasan hukumyang kuat dalam melaksanakan ijtihad.

Ijtihad pada Periode Sahabat (± 11 H. -101 H)

Pada masa sahabat, wilayah kekuasaan Islam bertambah luas. Seiring dengan ini, masalah social kemasyarakatan tumbuh sangat heterogen, sebagai dampak pembauran etnis dan berbagai macam kebudayaan. Dalam penyelesaian berbagai masalah yang kctual pada saat itu, peranan ijtihad dirasa semakin penting, karena tanpa ijtihad akan banyak masalah yang tidak diketahui setatus hukumnya, sementara wahyu dan hadits sudah terhenti.

(3)

Para ulama sepakatvtentang adanya ijtihad setelah Rasulullah wafat, bahkan pada masa ini ijtihad merupakan suatu keharusan bagi sahabat yang mampu berijtihad, karena tidak semua sahabat mampu melaksanakan ijtihad. Dalam hal ini, Ibnu Khaldun mengatakan, bahwa tidak semua sahabat mampu untuk berfatwa dan tidak semua dapat dijadikan panutan dalam agama.

Ijtihad sahabat itu sudah ada pada saat Rasulullah masih hidup, walaupun ijtihad sahabat itu baru dianggap dalil atau hujjah setelah mendapat ketetapan dari Rasulullah. Sebelum dikembangkan, ijtihad sahabat harus mendapat legalisasi dari Rasulullah. Karena itu ada sebagian ijtihad sahabat yang dipandang sudah benar dan sesuai dengan jiwa nash,dan ada pula yang dipandang belum atau tidak benar, karena etode yang mereka pakai tidak tepat. Setelah Rasulullah wafat, hasil ijtihad sahabat itu setelah rasulullah wafat, langsung diamalkan dan dikembangkan. Jadi, ijtihad Sahabat pada masa Rasulullah belum dianggap sebagai “alat menggali” hokum, karena ketentuan akhir masih berada di tangan Rasulullah. Tetapi setelah Rasulullah wafat sudah dapat dijadikan alat untuk menggali hokum, karena tidak lagi menunggu ketetapan dari Rasulullah.

Ijtihad pada Periode Tabi’in dan Tabi’tabi’in (Imam-imam

Mazhab) ± Abad II H.- Pertengahan Abad IV H.

Setelah berakhir masa sahabat,muncul masa Tabi’in. Ijtihad para sahabat dijadikan suri tauladan oleh generasi penerusnya yang tersebar di berbagai daerah wilayah dan kekuasaan Islam pada waktu itu. Generasi kedua ini terdiri dari murid-murid sahabat yang dikenal dengan Tabi’in. Menurut Abu Zahrah, nama itu berdasarkan nama yang diberikan oleh al-Qur’an, sebagaimana tersebut dalam surah al-Taubah: 100.

Dalam berijtihad, para Tabi’in mendasarkan pendidrian mereka kepada pendapat para sahabat. Mereka pelihara Sunnah Rasulullah dan pendapat para sahabat, bahkan mereka berusaha untuk mengkompromikan pendapat-pendapat para sahabat yang saling bertentangan dalam banyak masalah. Para Tabi’in melakukan ijtihad dengan dua cara:

a. Mereka mengutamakan pendapat seorang sahabat dari pendapat sahabat yang lain, bahkan kadang mengutamakan pendapat seorang Tabi’in dari pendapat seorang sahabat (kalau pendapat yang diutamakannya itu menurut ijtihadnya lebih dekat dengan Al-Qur’an dan Sunnah)

b. Mereka sendiri berijtihad.Bahkan menurut Ahmad Hasan bahwa pembentukan hokum Islam, sesungguhnya secara professional dimulai para periode Tabi’in ini.

(4)

sehingga menimbulkan daerah-daerah loakal dan regional, yang pada gilirannya melahirkan tokoh-tokoh besar dengan munculnya mzhab-mazhab.

Pada masa Tabi’in ada tiga pembagian geografis yang besar dala dunia Islam tempat kegiatan ijtihad yang bebas terjadi, yaitu: Irak, Hijaz, dan Syiria. Irakmemiliki dua mazhab, yaitu Bashrah dan Kuffah. Hijaz juga memiliki dua pusat kegiatan ijtihad dan fiqh, yaitu Madinah dan Makkah. Sementara mazhab Syiria kurang tercatat dalam literature hokum Islam. Mesir tidak dimasukkan dalam peta mazhab, karena ia tidak mengembangkan pemikiran hukumnya sendiri, mereka mengikuti mazhab Irak dan yang lainnya bermazhab Madinah.

Setiap kota yang penting memiliki tokoh mujtahidin yang menjadi panutan dan memberikan sumbangan pada perkembangan ijtihad di daerah yang bersangkutan. Tokoh di Makkah yang terkenal yaitu: ‘Atho’ Ibnu Abi Rabah (W. 114 H) dan ‘Amr Ibnu Dinar (W. 126 H).

Di Madinah muncul tokoh-tokoh: Sa’ad Ibnu Musaiyyab (W. 94 H), ‘Urwah Ibnu Zubair (W. 94 H), Abu Bakar Ibnu Abd Rahman (W. 95 H), Ubaidah Ibnu Abdullah (W. 98 H), Kharijah Ibnu Zaid (W. 99 H), Sulaiman Ibnu Yasar (W. 107 H), dan Al-qasim Ibnu Muhammad (mereka dikenal dengan sebutan fuqoh’dan Sab’ah dan Madinah), Salim Ibnu Abdillah Ibnu Umar (W. 107), Ibnu Syihab al-Zuhry (W. 124 H), Rabi’ah Ibnu Abd Rahman (W. 136 H), Yahya Ibnu Sa’id (W.143 H), serta Malik (W. 179 H) dan lain-lain.

Di bashrah muncul tokoh-tokoh: Muslim Ibnu Yasar (W. 108 H), Al-Hasan Ibnu Yasar (W. 110 H), dan Muhammad Ibnu Sirin (W. 110 H).

Di kuffah tampil: Alqamahn Ibnu Qaiys (W. 62 H), Masruq Ibnu Ajda’(W. 63 H), Al-Aswad Ibnu Yazid (W.75 H), Syuraih Ibnu Harits (W. 78 H), Ibrahim Al-Nakha’iy (w. 96 H), Al-Sya’by (W. 103 H), Hammad Ibnu Abi Sulaiman Al-Asy’ary (W. 120 H), Abu Hanifah (W. 150 H),dan lain-lain.

Di syiria tokoh yang terkenal adalah Qabisah Ibnu Zuwaib (W. 86 H), Umar Ibnu Abd al-Aziz (W. 11 H), Makhul (W. 113 H), dan lain sebagainya.

Fuqoha (ahli-ahli hokum) yang berasal dari berbagai daerah atau negeri yang telah disebutkan tadi, dalam berijtihad, biasanya berlandaskan pada pendapat dan ketetapan para sahabat yang tinggal di daerah mereka masing-masing. Fuqoha di Madinah cenderung dipengaruhi oleh ijtihad Umar Ibnu al-Khaththab, ‘aisyah, dan Ibnu Umar, yang banyak menggunakan al-Mashlahah. Fuqoha Kuffah banyak dipengaruhi oleh pendapat dan pertimbangan Ali ibnu Abi Thalib, dan Abdullah Ibnu Mas’ud, yang di dalam ijtihad pada umumnya memakai metode qiyas.Di samping kecenderungan tersebut, setiap mazhab mengutip pula pandangan sejumlah sahabat lainnya untuk mendukung ijtihad mereka.

(5)

misalnya, mereka berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar hukumnya kafir, sementara golongan yang lainnya tidak berpendapat demikian. Demikian halnya golongan Syi’ah dalam menetapkan hokum yang berbeda dengan golongan Khawarij: contoh dalam masalah: Hadits dipegang golongan Syi’ah dalam menetapkan hokum adalah hadits yang diriwayatkan Ahlul al-Bait dan mereka tidak menerima qiyas sebagai dalil hokum, karena qiyas didasarkan kepada pemikiran manusia.

Golongan Jumhur dalam menetapkan hokum terbagi kepada dua golongan:

a. Ahli Hadits

Golongan ini berkembang di Hijaz. Dalam menetapkan hokum, mazhab ini pertama-tama sangat terikat pada teks-teks al-Qur’an dan Sunnah. Bila dalam menetapkan hokum suatu masalah tidak ditemukan hukumnya dalam nash Qur’an dan al-Sunnah, mereka berpaling kepada praktek dan pendapat para sahabat. Mereka menggunakan ra’yu hanya dalam keadaan yang terpaksa. Namun dalam hal-hal yang tidak ditemukan nashnya dan tidak ada pula pendapat serta praktek sahabat, mereka sepakat untuk menggunakan ijtihad dengan metode dan proporsi yang berbeda. Took-tokoh aliran ini yang termashur adalah Sa’id Ibnu al-Musaiyyab al-Mahzumy. Ia diikuti oleh Zuhry, Tsaury, Malik, Syafi’I, Ahmad Ibnu Hanbal dan Dawud al-Zahiry.

b. Ahl al-Ra’yi

Golongan ini berkembang di Kufah (Irak). Dalam menetapkan hokum, mazhab ini banyak terpengaruh dengan cara berfikir ulam-ulama Irak. Mereka mengikuti pola pikir ‘Umar Ibnu Khaththab, Ali Ibnu Abi Thalib, dan Ibnu Mas’ud. Ketiganya adalah sahabat Nabi yang banyak menggunakan ra’yu dalam menetapkan hokum. Pola pikir mereka inilah yang dikembangkan oleh Alqamah Ibnu Qa’is, Al-Aswad Ibnu ‘Amr, Syraikh Ibnu Harits, Harits al-A’war dan Abu Hanifah. Dalam menetapkan hokum, mazhab ahli ra’yi ini berlandaskan pada beberapa asumsi dasar yaitu:

1. Nash-nash syari’ah sifatnya terbatas, sedangkan peristiwa-peristiwa hkum selalu baru dan senantiasa berkembang. Oleh sebab itu, terhadap peristiwa-peristiwa yang tidak ada nashnya, ijtihad didasarkan pada ra’yu sesuai dengan ucapan Mu’adz bin Jabal ketika diutus Rasulullah ke Yaman, bahwa beliau tidak menemukan nash dari al-Qur’an dan al-Sunnah, ia akan berijtihad dengan ra’yunya.

2. Setipap hokum syara dikaitkan dengan illat tertentu dan ditujukan untuk tujuan tertentu. Tugas utama seorang faqih ialah menemukan illat ini. Oleh sebab itu, ijtihad merupakan upaya menghubungkan suatu kasus dengan kasus lain karena illatnya, atau membatalkan berlakunya satu hokum karena diduga tiada illatnya.

(6)

M). Keempat tokoh tersebut dikenal dengan sebutan al-‘A’immah al-Arba’ah dari kalangan mazhab Ahl Sunnah wal Jama’ah (mazhab Sunny).

Selain para mujtahid dari kalangan Sunny, juga muncul para mujtahid dari kalangan Syi’ah, seperti: Imam Zaid Ibnu Aly Ibnu al-Husain (80 H-122 H), dan Imam Ja’far Shadiq (80 H-146 H).

Ijtihad pada Generasi Setelah Para Imam Mazhab (±

Pertengahan Abad IV H. –Akhir Abad XIII H.)

Pada masa ini, kegiatan ijtihad mengalami kemunduran, akibatnya fiqih Islam pun menjadi mundur dan lamban, bahkan dapat dikatakan beku. Semangat ijtihad para mujahid lambat laun menjadi lesu, kualitas serta kuantitasnya pun semakin berkurang sebagaimana digambarkan dalam berbagai kitab sejarah fiqh Islam.

Masa-masa kemunduran fiqh Islam yang berlangsung sejak pertengahan abad IV sampai abad XIII Hijriyah adalah masa-masa titik terendahnya yang dijuluki oleh sejarahwan sebagai “Periode Taqlid” dan “Penutupan Pintu Ijtihad”. Disebut demikian, karena paham dan sikapmengikuti pendapat-pendapat para ulama mujtahid dianggap sebagai tindakan yang tepat. Bahkan lebih dari itu, diberitakan bahwa sebagian fuqoha’ ada yang merasa tidak keberatan dan seolah-olah merestui pintu ijtihad ditutup rapat.

Adapun faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran dan kebekuan berijtihad pada periode ini antara lain:

a. Pergolakan politik yang menyebabkan terjadinya perpecahan dan peperangan di kalangan umat Islam, sehingga perhatian terhadap kemajuan ilmu dan berijtihad menjadi berkurang, bahkan nyaris hilang.

b. Munculnya mazhab-mazhab yang mempunyai metode dan cara berijtihad sendiri diwilayah seorang mujtahid.

c. Pembukuan terhadap pendapat-pendapat mujtahid sebelumnya menyebabkan orang dengan mudah mencari jawaban terhadap permasalahan yang timbul. Akibatnya, kurang atau tidak ada dorongan yang kuat untuk lebih maju dalam berijtihad.

d. Terjadinya penyimpangan dalam berijtihad. Orang yang tidak berhak pun ikut mengeluarkan pendapat dengan dasar ijtihad, sehingga timbulah kekacauan dalam masalah ijtihad dan menyatakan pendapat.

e. Melebar dan meluasnya lapangan ijma’ dan munculnya pandangan bahwa suatu keputusan hokum berdasarkan ijma’ yang datang kemudian.

(7)

Ijtihad pada Masa Modern (± Awal Abad XIV H –

Sekarang)

Yang dimaksud dengan masa modern di sisni ialah masa setelah terjadinya kontak barat dan Islam pada abad XVIII M, ketika Napoleon berhasil menduduki Mesir pada tahun 1798 M sampai sekarang.

Ekspedisi Napoleon ke Mesir yang berakhir pada tahun 1801 M. telah membuka mata dunia Islam dan menyadarkan para pengusa dan tokoh-tokoh Islam akan kemajuan dan kekuatan Barat. Para pemuka Islam mulai berfikir dan mencari jalan untuk mengembalikan pertimbangan kekuasaan dan kekuatan yang telah pincang dan membahayakan bagi umat Islam itu. Kontak dengan Barat itulah yang menimbulkan pemikiran dan faham “pembaharuan” dan “modernism” di kalangan umat Islam.

Adapu tokoh-tokoh yang paling gigih dan berjasa dalam membangkitkan kembali gerakan ijtihad ini, antara lain: Jamal al-Din al-Afghany (1839- 1897 M), Muhammad Abduh (1849-1905 M), Rasyid Ridha (1865-1935 M), Al-Thahthawy (1801-1873 M), dan lain-lain di Mesir. Sedangkan Syah Waliullah (1703-1762 M), Syayyid Ahmad Khan (1817-1898 M), Syayyid Amir Aly (1849-1928 M) dan lain-lain.

Referensi

Dokumen terkait

Adapaun faktor pengering yang digunakan di pabrik pengolahan PTPN XII kebun Kotta Blater ialah faktor pengering superior yakni sebesar 78% dan proses pembekuan

Persentase komponen tertinggi yaitu karbohidrat dalam tepung kacang merah berhubungan dengan kadar pati resisten, pati, dan amilosa tertinggi pada Tabel 1. Pada Gambar 1

pengetahuan tentang penulisan huruf braille dan juga meningkatkan kepekaan jari tangan dalam meraba format huruf braille. Dalam produk ini dilengkapi juga dengan contoh-contoh

Ampas tebu merupakan residu yang dihasilkan dari proses penggilingan tebu yang telah di peras atau di ekstrak untuk diambil niranya guna dimanfaatkan sebagai bahan

Hasil analisis menggunakan uji t independent menunjukkan terdapat pengaruh yang signifikan antara temperatur pembakaran 950 °C dan 975 °C dengan jumlah pembakaran 1

Penciptaan tugas akhir ini penulis mengangkat senjata tradisional dari Sumatera Barat bernama Karambit/ Kurambik yang dikombinasikan dengan motif Mega Mendung, senjata

Dari hasil penelitian didapatkan taman di sektor dua dapat disiram setiap dua hari sekali dengan jumlah rute sebanyak sepuluh rute, yang dibagi menjadi lima

Dari uraian diatas dapat dikatakan terjadinya morfologi pola mukiman adati Bali dimulai semenjak adanya perkembangan kemampuan, dan keinginan masyarakat untuk merubah diri