• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH Sistem Ekonomi Menurut Abu Ubaid

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH Sistem Ekonomi Menurut Abu Ubaid"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

SISTEM EKONOMI MENURUT

ABU UBAID

DISUSUN UNTUK TUGAS MATA KULIAH PENGANTAR ILMU EKONOMI MAKRO

Pengampu : M. Ridho.H, M.E.I.

Disusun Oleh:

Ferdiansyah

NIM : 01011141234

(2)

KATA PENGANTAR



Alhamdulillah puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada seluruh umat manusia khususnya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan Makalah ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa dikaruniakan kepada Nabi Muhammad SAW, penutup para Nabi dan Rasul yang telah membawa umat manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang, dan juga keluarga beliau, sahabat, serta para pengikutnya yang senantiasa istiqomah menjalankan syariat islam hingga akhir zaman. Adapun dengan terselesainya Tugas Makalah ini yang berjudul “SISTEM EKONOMI MENURUT ABU UBAID” dapat penulis selesaikan dengan baik. Tak lupa penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah turut membantu terselesainya tugas makalah ini.

Namun saya sebagai penulis makalah ini masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangannya. Oleh karena itu besar harapan penulis atas kritik dan saran yang membangun.

Akhir kata, saya berharap semoga tujuan pembuatan makalah ini dapat tercapai sesuai dengan yang diharapkan. Semoga juga pembahasan yang penulis buat ini bermanfaat bagi para pembaca dan mampu menambah wawasan untuk pengetahuan.

Bogor, 15 Desember 2014

(3)

KATA PENGANTAR... i

C.1. Filosofi Hukum Dari Sisi Ekonomi... 5

C.2. Sumber Penerimaan Keuangan Publik... 7

C.1.a. Shadaqoh/Zakat... 9

C.1.b. Fa’i... 10

C.3. Pembelanjaan Penerimaan Keuangan Publik... 12

C.4. Kepemilikan: Pandangan Kebijakan Perbaikan Pretanian... 14

C.4.a. Iqtha’... 15

C.6.a. Hubungan antara Zakat dan Politik... 24

C.6.b. Peran dan Fungsi Pemerintah terhadap Zakat... 27

C.6.c. Pola dan Sistem Pengelolaan Zakat... 30

C.6.d Pertimbangan Kebutuhan... 33

C.7. Ekspor Impor... 34

C.7.a. Tidak Adanya Nol Tarif... 34

C.7.b Cukai Bahan Makanan pokok... 36

C.7.c. Ada Batas Tertentu untuk Cukai... 36

BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN... 38

DAFTAR PUSTAKA

(4)

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Perekonomian merupakan salah satu hal yang penting untuk kehidupan manusia, dan perkembangan ekonomi pun sangat beragam dari zaman Rasulullah hingga sekarang, pada zaman Rasulullah perekonomian memegang teguh pada syariat Islam, segala sesuatunya di atur oleh Islam dengan landasannya adalah Al Qur’an dan As Sunnah yang di pimpin dan di awasi oleh seorang Kholifah. Pada zaman Daulah Khilafah perekonomian penduduk hingga Negara sangat sejahtera, makmur dan tentram dalam menjalani kehidupan, karena hukum-hukum islam benar-benar di tegakkan secara keseluruhan. Tentu hal ini sangat bertolak belakang dengan zaman modern yang sekarang ini sedang terjadi. Karena, pada masa sekarang ini perkenomian tidak lagi menggunakan sistem islam melainkan sistem ekonomi liberal-kapitalis yang dimana pemilik modal-lah yang menjadi penguasanya, sehingga aturan dan hukum pun tidak benar-benar di tegakkan karena landasan ekonomi liberal-kapitalis memberikan keleluasaan pada pemilik modal untuk mengelola barang public dan pelayanan umum sebagaimana mengelola perusahaan yang bertujuan mengejar dan menumpuk keuntungan sebanyak-banyaknya dan pemerintah pun tidak boleh ikut campur dalam urusan tersebut. Hal ini tentu sangat berdampak pada pertumbuhan perekonomian Negara bahkan masyarakat kecil pun terkena imbasnya. Dengan adanya hal ini penulis mencoba memberi gambaran bagaimana tentang aturan Islam dalam perekomonian, sehingga dapat mensejahterakan seluruh tatanan masyarakatnya, maka penulis mengambil tema

“SISTEM EKONOMI MENURUT ABU UBAID”

(5)

Berdasarkan uraian latarbelakang di atas dapat di munculkan beberapa hal menarik diantaranya bahwa tanpa aturan islam, perekonomian masyarakat tidak akan pernah sejahtera yang di akibatkan oleh tatanan ekonomi yang salah dan lebih cenderung individualisme karena faktor liberalism-kapitalism, dan bagaimana menurut pandangan islam tentang tatanan ekonomi yang benar dalam menjalani kehidupan di dunia ini.

C. TUJUAN PENULIS

Tujuan penulis mengenai makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu Tugas Mata Kuliah Pengantar Ilmu Ekonomi Makro dan untuk mengetahui tentang tatanan ekonomi dalam islam menurut salah satu tokoh islam yaitu Abu Ubaid.

(6)

PEMBAHASAN

A. BIOGRAFI ABU UBAID

Nama lengkap Abu Ubaid, yang dikenal sebagai bapak ekonomi islam pertama adalah al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid al-Harawi al-Azadi al-Baghdadi. dilahirkan pada 154 H di Harrah, Khurasan (disebelah barat Laut Afghanistan). setelah memperoleh ilmu yang memadai di kota kelahirannya karena perkembangan mazhab hanafi, pada usia 20 tahun, Abu Ubaid pergi untuk menuntut ilmu ke berbagai kota, seperti kufah, basrah, dan Baghdad. Ilmu-ilmu yang dipelajarinya, antara lain mencakup ilmu tata bahasa Arab, qira'ah, tafsir, hadis dan fiqih. Pada tahun 192 H, Thabit ibn Nasr ibn Malik, gubernur Thughur pada masa pemerintahan khalifah Harun al Rasyid, mengangkat Abu Ubaid sebagai qadi(hakim) di Tarsus hingga tahun 210 H. Setelah itu, penulis Kitab Al Amwal ini tinggal di Baghdad selama 10 tahun. Pada tahun 219 H setelah berhaji ia menetap di Mekkah sampai wafatnya pada tahun 224 H.

Abu Ubaid merupakan seorang ahli hadis (muhaddits) dan ahli fiqh (fuqaha) terkemuka pada masa hidupnya. Selama menjabat qadi di tarsus, ia sering menangani berbagai kasus pertanahan dan perpajakan serta menyelesaikannya dengan sangat baik. Alih bahasa yang dilakukan terhadap kata-kata dari bahasa Paris ke bahasa Arab juga menunjukkan bahwa Abu Ubaid sedikit banyak menguasai bahasa tersebut.

(7)

Karya Abu Ubaid yang fenomenal adalah, yang dianggap lebih kaya dibanding Kitab Al Kharaj karya Abu Yusuf, Kitab al-Amwal fokus pada masalah Keuangan Publik (Public Finance) meskipun mayoritas membahas permasalahan administrasi pemerintahan. Pada masa Abu Ubaid pertanian adalah sektor terbaik dan utama karena menyediakan kebutuhan dasar dan sumber utama pendapatan Negara.[1]

B. KARYA ABU UBAID

Dalam setiap harinya, Menurut Abû Bakar ibn Al-Anbari, Abu Ubaid membagi malamnya pada 3 bagian, 1/3 nya untuk tidur, 1/3 nya untuk shalat malam dan 1/3 nya untuk mengarang. Bagi Abu Ubaid satu hari mengarang itu lebih utama baginya dari pada menggoreskan pedang di jalan Allah. Hasil karyanya ada sekitar 20, baik dalam bidang ilmu nahwu, qira’ah, fikih, syair dan lain-lain. Yang terbesar dan terkenal adalah Kitab Al-Amwal dalam bidang fikih. Kitab al-Amwal dari Abu Ubaid merupakan suatu karya yang lengkap tentang keuangan negara dalam Islam. Buku ini sangat kaya dengan sejarah perekonomian dari paruh pertama abad kedua Hijrah. Buku ini juga merupakan rangkuman (compendium) tradisi asli (authentic) dari Nabi dan Atsar para sahabat dan tabi’in tentang masalah ekonomi[2]. Dalam bukunya tersebut Abu Ubaid tidak hanya

mengungkapkan pendapat orang lain tetapi juga mengemukakan pendapatnya sendiri.

Kitab al Amwal merupakan sebuah mahakarya tentang ekonomi yang dibuat oleh Abu Ubaid yang menekankan beberapa issu mengenai perpajakan, hukum, serta hukum administrasi dan hukum internasional. Kitab Al-Amwal secara komprehensif membahas tentang sistem keuangan publik islam terutama pada bidang administrasi pemerintahan. kitab ini juga memuat sejarah ekonomi Islam selama dua abad pertama hijriyah, dan merupakan sebuah ringkasan tradisi Islam asli dari Nabi, para sahabat dan para pengikutnya mengenai permasalahan ekonomi. Abu ubaid, dalam Kitab 1 Sukarno Wibowo, S.E., M.M dan Dedi Supriadi, M.Ag., Ekonomi Mikro Islam, hal 104

(8)

Al-Amwal, banyak mengutip pandangan dan perlakuan ekonomi dari imam dan ulama terdahulu. Ia sering mengutip pandangan Malik ibn Anas dan pandangan sebagian besar ulama madzhab Syafi’i lainnya, dan juga mengutip beberapa ijtihad Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani.[3]

C PANDANGAN EKONOMI ABU UBAID

C.1 Filosofi Hukum dari Sisi Ekonomi

Jika isi buku Abu Ubaid dievaluasi dari sisi filsafat hukum maka akan tampak bahwa Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Baginya, pengimplementasian dari prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan keselarasan sosial. Pada dasarnya ia memiliki pendekatan yang berimbang kepada hak-hak individual, publik dan Negara. Jika kepentingan individual berbenturan dengan kepentingan publik maka ia akan berpihak pada kepentingan publik.

Tulisan-tulisan Abu Ubaid lahir pada masa kuatnya Dinasti Abbasiyah dan tidak ada masalah legitimasi, sehingga pemikirannya sering kali menekankan pada kebijakan khalifah untuk membuat keputusan (dengan kehati-hatian). Khalifah diberikan kebebasan memilih di antara alternatif pandangannya asalkan dalam tindakannya itu berdasarkan pada ajaran Islam dan diarahkan pada kemanfaatan kaum Muslim, yang tidak berdasarkan pada kepentingan pribadi. Sebagai contoh, Abu Ubaid berpendapat bahwa zakat dari tabungan dapat diberikan pada negara ataupun penerimanya sendiri, sedangkan zakat komoditas harus diberikan kepada pemerintah, jika tidak maka kewajiban agama diasumsikan tidak ditunaikan.

Lebih jauh, pengakuannya terhadap otoritas Imam dalam memutuskan, untuk kepentingan publik, seperti membagi tanah taklukan pada para penakluk ataupun membiarkan 3 Adimarwan Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: PT RajaGrafndo Persada,

(9)

kepemilikannya pada penduduk setempat atau lokal adalah termasuk dalam hal tersebut. Mirip dengan itu setelah mengungkap alokasi dari khams, ia menyebutkan bahwa imam yang adil dapat memperluas batasan-batasan yang telah ditentukan apabila mendesaknya kepentingan publik. Akan tetapi di lain pihak, Abu Ubaid dalam pembahasannya secara tegas menekankan bahwa pembendaharaan negara tidak boleh disalahgunakan atau dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan pribadinya. Perbendaharaan negara harus digunakan untuk kepentingan atau kemanfaatan publik.[4]

Saat membahas tentang tarif atau persentase untuk pajak tanah dan poll-tax, ia menyinggung tentang pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial dari subyek non Muslim, dalam finansial modern disebut sebagai "capacity to pay" (kemampuan membayar) dan juga memperhatikan kepentingan para penerima Muslim. Pasukan Muslim yang lewat di atas tanah subjek non Muslim dilarang untuk ditarik uang atau biaya yang melebihi apa yang diperbolehkan oleh perjanjian perdamaian.

la membela pendapat bahwa tarif pajak kontraktual tidak dapat dinaikkan tapi dapat diturunkan jika terjadi ketidakmampuan membayar serius. Lebih jauh Abu Ubaid mengatakan jika permohonan pembebasan hutang disaksikan oleh saksi muslim, maka komoditas komersial subyek muslim setara dengan jumlah hutangnya itu akan dibebaskan dari cukai ia juga menjelaskan beberapa bab untuk menekankan, di satu sisi bahwa pengumpul kharaj, jizyah, zakat tidak boleh menyiksa subyeknya dan di sisi lain bahwa para subyek harus memenuhi kewajiban finansialnya secara teratur dan pantas (wajar).

Dengan perkataan lain, Abu Ubaid berupaya untuk menghentikan terjadinya diskriminasi atau penindasan dalam perpajakan serta terjadinya penghindaran terhadap pajak. Pada beberapa kasus ia tidak merujuk pada kharaj yang dipelopori oleh khalifah Umar ataupun ia melihat adanya permasalahan dalam meningkatkan ataupun menurunkannya berdasarkan situasi dan

(10)

kondisi membuat kita berpikir bahwa Abu Ubaid mengadopsi keberagaman aturan atau hukum karena perbedaan waktu atau periode tidak dapat dielakkan. Namun, betapapun keberagaman tersebut terjadi hanya sah apabila aturan atau hukum tersebut diputuskan melalui suatu ijtihad yang didasarkan pada nash.[5]

C.2 Sumber Penerimaan Keuangan Publik

Kitab al-Amwal secara khusus memusatkan perhatian sekitar keuangan publik (public finance), analisis yang ia titik beratkan adalah pada praktek yang dilakukan Rasulullah dan Khalifaur Rasyidin, terutama Umar bin Khattab sebagai contoh ideal dalam pengelolaan keuangan publik. Institusi yang mengelola disebut Baitul Mal. Baitul Mal setelah perang badar menurut pendapat yang diunggulkan (Qaul Rajih), karena pada waktu itu kaum muslimin mendapatkan harta rampasan perang (ghanimah) yang banyak dan pada waktu itu tempat penyimpanan kekayaan negara seperti ghanimah, shadaqah dan fa’i adalah mesjid.

Setelah melalui perkembangan beberapa saat kemudian sumber penerimaan keuangan publik pun bertambah, seperti kharaj, ‘ursy dan khumus. Mengenai hal ini akan dibahas secara mendalam, namun yang perlu diketahui bahwa dalam Kitab al-Amwal banyak harta yang diserahkan kepada Rasulullah yang berasal dari kaum musyrikin.

Pertama adalah fa’i, yaitu berupa harta benda dan tanah yang mereka serahkan tanpa melalui peperangan. Yang menjadi landasan adalah firman Allah dalam surah al-Hasyr : 6, yang artinya:

“Dan apa saja harta rampasan perang (fa’i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya

(dari harta benda) mereka, maka untuk mendapatkan itu kamu tidak mengerahkan seekor kuda

pun dan (tidak pula) seekor unta pun, tetapi Allah yang memberikan kekuasaan kepada

Rasul-Nya terhadap siapa yang dikehendaki-Rasul-Nya”.

(11)

Kedua adalah harta shafi yang Rasulullah saw pilih dari ghanimah yang diberikan kaum muslimin sebelum harta itu dibagikan. Sebagaimana riwayat Ibnu Abbas dari Rasulullah saw,“Berikanlah dari harta ghanimah bagian Rasulullah dan shafi”.

Ketiga, adalah harta 1/5 dari ghanimah yang telah dibagi. Menurut hadits yang diriwayatkan dari Abi ‘Aliyah, ia berkata: “Rasulullah saw mengumpulkan ghanimah dan beliau dibagi, ketika ada sesuatu yang jatuh Nabi menempatkannya bagian untuk Ka’bah,

bagian untuk Baitullah, kemudian membagi sisa 1/5, untuk Nabi satu bagian, ahli kerabat satu

bagian, anak yatim satu bagian, orang miskin satu bagian dan ibnu sabil satu bagian. Abi

‘Aliyah berkata yang Nabi jadikan satu bagian untuk Ka’bah adalah bagian Allah.”[6]

Namun yang perlu diketahui bahwa sebagaimana menurut takwil Umar bin-Khattab, ada tiga harta yang masuk dalam keuangan publik, yaitu: shadaqoh, fa’i dan khumus.

a. Shadaqoh/Zakat

Dalam hal ini, shadaqoh wajib yang disebut zakat harta seperti zakat emas, perniagaan, unta, sapi, kambing, biji-bijian dan buah-buahan. Di mana dari zakat harta ini dialokasikan untuk delapan golongan yang Allah sebutkan dalam Al-quran, tidak seorang pun berhak atas zakat tersebut kecuali mereka dan merupakan kewajiban pada setiap harta apabila telah mencapai nisab dan haul[7] untuk dikeluarkan zakatnya.

Mengenai shadaqoh wajib ini, mulai disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah, ayat-ayat Al-quran yang berhubungan dengan hal ini seperti:

“…… dan dirikanlah shalat serta tunaikan zakat ……” (Q.S. Al-Baqarah : 43)

(12)

“…… dan tunaikanlah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan

dan mensucikan mereka ……” (Q.S. At-Taubah : 103)

“…… dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (hendak dikeluarkan zakatnya) ……

(Q.S. Al- An’am : 141)

Abu Ubaid dalam mendeskripsikan permasalahan sekitar sumber keuangan publik memang begitu luas dan mendalam. Namun, penulis dalam hal ini hanya mengutip sebagaian kecil saja dari pemikiran beliau pada permasalahn sekitar penerimaan keuangan Negara.

Namun yang perlu diketahui, Abu Ubaid mengungkapkan ketentuan yang disepakati (tidak ada ikhtilaf), yaitu apabila seseorang memiliki harta yang wajib dizakati diantaranya 200 dirham, 20 dinar, 5 ekor unta, 30 ekor sapi, atau 40 ekor kambing. Konsekuensinya, bila seseorang memiliki salah satu di atas dari awal haul sampai akhir, maka ia wajib mengeluarkan zakatnya yang dinamakan nishab oleh Imam Malik dan penduduk Madinah sedangkan penduduk Iraq menyebutnya asal harta.[8]

b. Fa’i

Fa’i menurut bahasa adalah ar-Rujuu’ berarti kembali, sedang menurut istilah fiqh adalah sesuatu yang diambil dari harta ahli kitab dengan cara damai tanpa peperangan atau setelah peperangan itu berakhir, disebut fa’i karena Allah mengembalikan harta tersebut kepada kaum muslimin. Sedang menurut versi Abu Ubaid adalah sesuatu yang diambil dari harta dzimmah perdamaian atas jizyah dari mereka, yang sebab itu jiwa mereka dilindungi dan dihormati. Harta fa’i digunakan untuk kepentingan pemerintahan dan kesejahteraan umat. [9] Bagian-bagian fa’i adalah:

Kharaj

(13)

Kharaj menurut bahasa al-ghullah yaitu penghasilan atau tanah taklukan kaum muslimin dengan jalan damai yang pemilknya menawarkan untuk mengolah tanah itu sebagai pengganti sewa tanah dan bersedia memberikan sebagian dari hasil produksinya. Jumlah kharajnya setengah dari hasil produksi.

Jizyah

Jizyah adalah pajak tahunan yang wajib dibayarkan oleh seorang non-muslim khusunya ahli kitab, untuk jaminan perlindungan jiwa, properti, ibadah dan harta merdeka atau budak yang tinggal di wilayah pemerintahan Islam. Pada masa Rasullah, ketika memerintahkan kepada Muadz ibn Jabal atas ahli kitab di Yaman besarnya jizyah bagi masing-masing kepala adalah:

 1 dinar atau

 30 ekor sapi – jizyahnya 1 ekor tabi’ [sapi umur 1 tahun]  40 ekor sapi – jizyahnya 1 ekor musinah

 Penghasilan dari tanah 1/10 bila diairi dengan hujan dan 1/5 bila menggunakan biaya. [10]

Diantara ahli kitab yang membayar jizyah yaitu penduduk Najran yang beragama Kristen. Kewajiban membayar jizyah akan hilang setelah masuk Islam. Persamaan antara kharaj dan jizyah merupakan kewajiban atas ahli dzimmah dan dibelanjakan berdasarkan penggunaan harta fa’i, perbedaannya jizyah itu atas kepala dan kharaj atas tanah, jizyah gugur saat masuk Islam, dan kharaj tidak.

Khumus

Khumus menurut Abu Ubaid adalah 1/5 ghanimah dari ahli harbi, rikaz, dan luqathah. Dalam pembahasan khumus Abu Ubaid menyebutkan bahwa harta yang terkena khumus, pertama, beliau menafsirkan itu ghanimah, sesuai dengan firman Allah

(14)

surat Al-Anfal ayat 41. Kedua, khumus dari harta yang diperoleh melalui penambangan dan harta yang terpendam (rikaz). Ketiga, khumus pada harta yang dipendam hal, sebagaimana terjadi ketika mujahid dari as’sya’abi dimana seorang laki-laki menemukan 1000 dinar yang dipendam di luar kota, kemudian datang kepadanya Umar, dan Umar mengambil 1/5 dari harta itu sebesar 200 dinar dan sisanya diberikan pada orang yang menemukan. Kemudian 200 dinar itu dibagikan kepada kaum muslimin. Namun yang perlu diketahui bahwa Abu Ubaid menyatakan bahwa ada tiga hukum yang dilakukan Umar kepada harta benda yang dipendam. Pertama, bahwa harta itu diambil khumusnya dan sisanya diberikan kepada yang menemukannya. Kedua, yang menemukan tidak diberikan harta itu, namun diserahkan seluruhnya kepada Baitul Mal. Ketiga, harta itu seluruhnya diberikan kepada yang menemukan dan tidak diserahkan ke Baitul Mal.[11]

‘usyr

Al-‘usyr merupakan jama’ dari kata ‘usyrun yaitu satu bagian dari sepuluh. Sedangkan menurut fuqoha terdapat dua pengertian, pertama ‘usyr zakat yaitu sesuatu yang diambil pada zakat tanaman dan buah-buahan (Q.S. Al-An’am : 141).[12] Kedua,

usyr adalah sesuatu yang diambil dari harta kafir dzimmi yang melintas untuk perniagaan.[13]

C.3 Pembelanjaan Penerimaan Keuangan Publik

Dalam masalah distribusi pendapatan memegang erat kaitannya antara penerimaan dan pembelanjaan/pengalokasian untuk kepentingan publik. Begitu pula Abu Ubaid dalam Kitab

(15)

Amwal nya begitu jelas dan transparan dalam membahas masalah keuangan publik terkait sekitar masalah penerimaan dan pembelanjaan.

Abu Ubaid menyebutkan kaidah mendasar dalam membatasi orang yang berhak atas kekayaan publik. Dengan menukil pendapat Umar sebagaimana diriwayatkan dari Aslam, ia berkata,“Telah berkata Umar ra bahwa tidak seirang muslim kecuali hak atas harta menerima atau menolak, setelah itu Umar membacakan surah (al-Hasyr : 7-10) dan berkata Umar: ayat

ini memuat semuanya (manusia) dan tidak tersisa seorang muslim kecuali ia mendapat hak

akan harta itu (harta fa’i). Menurut riwayat Ibnu Syibah bahwa ketika Umar membentuk dewan membagi para istri Rasulullah saw yang dinikahi 12.000 dirham, bagian juwairiyah dan

shafiyah 6.000 dirham (karena keduanya fa’i dari Allah untuk Rasul-Nya) kaum muhajirin

syahid Badar masing-masing 5.000 dirham dan kaum anshar yang syahid 4.000 dirham.”[14]

Selanjutnya, bahwa zakat diambil dari mereka yang kaya dan dikembalikan kepada mereka yang membutuhkan, yaitu delapan golongan yang disebut dalam al-Qur’an. Bagaimanpun pendistribusian harta dalam Islam itu sangat penting dimana Rasulullah telah memberi batasan, yaitu seseorang yang memikul tanggungan (hidup) kaumnya, seseorang yang tertimpa musibah besar dan memusnahkan harta bendanya dan seseorang yang tertimpa kemiskinan.

Abu Ubaid pun mengkhususkan bab tersendiri mengenai persamaan manusia dalam kekayaan publik. Mengenai hal ini, diantaranya adalah komentar Abu Bakar ra, ketika datang kepadanya harta (fa’i/ghanimah) ia menjadikan (bagian) manusia sama, dan berkata: “Aku menginginkan terhindar dari meminta-minta dan memurnikan perjuangan (jihad) ku bersama Rasulullah saw, kelebihan mereka adalah di sisi Allah, adapun dalam hidup ini persamaan adalah hal yang baik.”[15]

(16)

Dalam pendistribusian pengeluaran dari penerimaan khumus (khumus ghanimah, khumus, barang tambang dan rikaz serta khumus lainnya) adalah ketentuan dari Rasulullah saw dan pendistribusiannya kapan dan untuk siapa tentu juga dengan ketentuan Rasulullah. Karena dana-dana publik merupakan kekayaan publik, maka dialokasikan untuk kesejahteraan publik seperti kesejahteraan anak-anak, korban bencana, santunan dan lainnya.

C.4 Kepemilikan : Pandangan Kebijakan Perbaikan Pertanian.[16]

Sesuatu yang baru dalam hubungan antara kepemilikan dengan kebijakan perbaikan pertanian ditemukan oleh Abu Ubaid secara implisit. Menurutnya, kebijakan pemerintahan seperti itu terhadap tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individual dari tanah tandus atau tanah yang sedang diusahakan kesuburannya atau diperbaiki sebagai insentif untuk meningkatkan produksi pertanian, maka tanah yang diberikan dengan persyaratan untuk ditanami dibebaskan dari kewajiban membayar pajak.

(17)

ditempati orang lain. Jadi, menurut Abu Ubaid sumber dari publik seperti sumber air, pada rumput penggembalaan dan tambang minyak tidak boleh pernah dimonopoli seperti pada hima (tanah pribadi). Semua ini hanya dapat dimasukkan ke dalam kepemilikan negara yang digunakan untuk pelayanan masyarakat.

Adapun hukum – hukum pertanahan yang dikemukakan oleh Abu Ubaid adalah terdiri dari :

a. Iqtha',

Yaitu tanah yang diberikan oleh kepala negara kepada seorang rakyat untuk menguasai sebidang tanah dengan mengabaikan yang lainnya. Dalam kitab Al-Amwal, Abu Ubaid menafsirkan tanah biasa yang bisa dijadikan iqtha’ dan yang tidak bisa. Dan biasanya setiap daerah/tanah yang dihuni pada masa yang lama, kemudian ditinggalkan penghuninya maka keputusan hukum tanah itu diserahkan kepada kepala negara.

Kepala Negara, begitu juga setiap tanah yang mati (tidak digarap) tidak ada seseorang yang mengelolanya dan tidak dimiliki orang Islam maupun kafir. Umar ra mengirim surat kepada Abu Musa,“Jika tanah itu bukan tanah yang dialiri air jizyah, maka aku akan meng-’iqtha tanah itu baginya”. Di sini jelas bahwa ‘iqtha itu terhadap tanah yang tidak dimiliki dan bukan tanah jizyah, jika keadaan tanah tersebut demikian maka pengaturannya diserahkan kepada kepala Negara.

Sementara pada kasus yang lain bahwa Rasulullah meng-’iqtha-kan tanah kepada Zubair yang ada pohon kurma dan pepohonan. Kami melihat tanah itu pernah Rasulullah ‘iqtha-kan kepada kaum Anshar untuk mengelola dan mendiaminya. Kemudian tanah itu ditinggalkan, maka Rasullah meng-’iqtha-kan kepada Zubair.

(18)

termasuk tanah kharaj dan tidak merugikan seseorang dari kaum muslimin. Jika engkau

memandang perlu meng-’iqtha-kan, maka aku lakukan, aku hanya mengambil satu petakan

untuk perlu meng-’iqtha-kan, maka lakukanlah, aku hanya mengambil satu petakan untuk

kudaku saja”. Lalu Umar menulis surat kepada Abu Musa al-Asy’ari, “Jika tanah itu seperti yang diceritakan maka petakanlah baginya.”

Dari penjelasan di atas, mengenai ‘iqtha hendaknya pemerintah menurut Abu Ubaid tidak meng-’iqtha tanah kharaj. Alasannya karena tanah kharaj adalah tanah yang produktif memberikan hasil dan menambah devisa negara. Dan di sisi lain dengan mempetakan tanah bukan kharaj dapat memberikan manfaat untuk bagi para pengembalaan hewan ternak, dimana hal ini dapat menambah pertambahan produksi hewan yang sama pentingnya dengan masalah pertanian.

b. Ihya' al-Mawat

Yaitu menghidupkan kembali tanah yang mati, tandus, tidak terurus, tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan dengan membersihkannya, mengairi, mendirikan bangunan dan menanam kembali benih-benih kehidupan pada tanah tersebut. Dalam hal ini negara berhak menguasai tanah tersebut dengan menjadikannya milik umum dan manfaatnya diserahkan untuk kemaslahatan umat.

Mengenai ihya al-Mawat ini, Abu Ubaid membagi menjadi tiga macam:

(19)

Hisyam, Rasullah saw bersabda, “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya dan tidak ada hak bagi irqi zhalim”.

 Kepala negara meng-’iqtha-kan kepada seseorang tanah mati dan tanah itu menjadi milik penerima iqtha’, kemudian orang itu menyia-nyiakan dengan tidak mengelola dan mendiaminya sehingga datang orang lain lalu mengelola dan mendiami serta menyangka tanah ini tidak ada yang mengurusi. Dalam hal ini, pendapat Abu Ubaid merujuk pada yang dilakukan Umar ra, terhadap orang yang telah memperoleh tanah iqtha’ pada masa Rasullah. Kemudian ditelantarkan sampai pada masa kekhalifahan Umar ra, dan tanah itu digarap oleh orang lain, dengan berkata: “Kalau bukan ‘iqtha dari Rasullah aku tidak akan memberimu sedikitpun”.

 Jika seseorang membangun tembok tanah apakah dengan ‘iqtha dari pemerintah atau tidak kemudian meninggalkannya pada waktu yang lama dengan tidak mendiaminya. Abu Ubaid berkata: “Pada sebagian hadist dari Umar; bahwa ia memberi batas tiga tahun dan melarang orang lain utnuk mendiami tempat tersebut”. Maka dari ketentuan Umar ini mengandung arti, jika telah melewati masa tiga tahun dan tidak menempatinya, kepala Negaralah yang memutuskan dan dibolehkan bagi kepala Negara untuk menyerahkan kepala yang lain, yang mampu dan bisa menempatinya.

c. Hima (perlindungan)

(20)

Rasulullah, “Orang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya, yang memberi mereka keleluasaan air dan rumput”.[17] .

C.5 Fungsi Uang.[18]

Abu Ubaid mengakui adanya dua fungsi uang –yang tidak mempunyai nilai intrinsik– sebagai standar dari nilai pertukaran (standard of exchange value) dan sebagai media pertukaran (medium of exchange). Tampak jelas bahwa pendekatan ini menunjukkan dukungan Abu Ubaid terhadap teori ekonomi mengenai yang logam. Ia merujuk pada kegunaan umum dan relatif konstannya nilai emas dan perak dibanding dengan komoditas yang lain. Jika kedua benda tersebut digunakan sebagian komoditas maka nilainya akan dapat berubah-ubah pula karena dalam hal tersebut keduanya akan memainkan peran yang berbeda sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari barang lainnya. Walaupun Abu Ubaid tidak menyebutkan fungsi penyimpanan nilai (store of 'value) dari emas dan perak, ia secara implisit mengakui adanya fungsi tersebut ketika membahas tentang jumlah tabungan minimum tahunan yang wajib terkena zakat dan jumlah zakatnya.

Abu Ubaid mengungkap sebuah bab terpisah untuk penimbangan dan pengukuran yang digunakan dalam menghitung beberapa kewajiban finansial dalam kaitannya memenuhi kewajiban agama atau benda, yang juga merupakan ciri khusus dari Kitab al Amwal di antara buku-buku lain sejenis ini. Dalam bab lain diceritakan usaha khalifah Abdul Malik bin Marwan dalam melakukan standarisasi dari berbagai mata uang yang ada dalam sirkulasi.

Penerapannya Saat ini

17 DR. Euis Amalia, M.Ag, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik Hingga Kontenporer, Jakarta : Gramata

Publishing, 2010, hal. 152-154

(21)

Ketika pemerintahan kita mengatakan bahwa negara sedang kekurangan dana. Sepintas penulis berpikir kasar mengapa pemerintah tidak mencetak uang sebanyak mungkin? Setelah menelaah, ternyata tentu tidak semudah itu. Inflasi akan menjadi alasan utama masalah ini. Lalu bagaimana sebenarnya mekanisme penerbitan uang? Kita tahu bahwa penerbit uang dilakukan oleh Bank Indonesia bukan pemerintah, lalu bagaimana mengontrolnya?

Kisah penerbitan uang memiliki sejarahnya sendiri. Sebelum sistem uang sebagai alat tukar menukar ini diberlakukan, kita mengenal sistem barter. Hanya pertukaran antara barang dengan barang. Asal saling menguntungkan, transaksi bisa dilakukan. Tak jarang nilai pertukaran yang terjadi sebenarnya tidak fair namun tetap dilaksanakan karena urgensi kebutuhan yang harus segera terpenuhi.

Setelah peradaban semakin maju, manusia mulai mengenal emas dan memanfaatkannya sebagai standar kekayaan. Emas juga kemudian menjadi alat tukar karena nilainya yang diakui secara global. Emas disini berupa perhiasan atau produk-produk lainnya hasil buatan dari emas. Semakin lama orang mulai menyadari perhiasan semacam ini tidak praktis digunakan dalam transaksi. Dari sini orang mulai berinisiatif membuat uang. Awalnya uang koin yang juga terbuat dari emas dan nilai nya bergantung pada nilai emas itu sendiri. Contohnya di Arab yang mengenal uang dinar. Kemudian untuk membentuk nilai uang dalam ukuran yang lebih kecil digunakanlah koin yang terbuat dari logam lain, semisal logam perak yang paling banyak digunakan.

(22)

oleh emas. Satu catatan yang menarik bahwa selama dunia menggunakan emas dan perak sebagai mata uang praktis tidak terjadi masalah moneter utamanya terkait inflasi.

Pada permulaan abad 20, ekonomi dunia semakin bertumbuh. Setiap negara memiliki mata uangnya masing-masing namun semuanya hampir seragam berpatokan pada emas. Amerika Serikat yang memiliki industri paling mapan sekaligus pemenang Perang Dunia menjadi acuan penetapan nilai tukar mata uang negara-negara di dunia.

Pada tahun 1944, ditahun dimana sistem Bretton Woods mulai disepakati, tercapai konsensus penetapan 35 dolar Amerika Serikat setara dengan satu ounce emas. Sehingga jika pemerintah ingin mencetak 35 dolar maka, pemerintah harus menyerahkan 1 troy ounce emas. Nilai mata uang sebenarnya cukup stabil pada era ini sampai pada tahun 1971 ketika Amerika mengalami masalah finansial yang serius. Saat itu, Amerika mengalami kekurangan uang karena harus menghadapi perang dingin, membiayai perang di Vietnam dan mendukung sekutunya Israel di Timur Tengah. Di tahun itu, harga resmi emas masih 38 dolar per ons.

Karena membutuhkan uang dalam jumlah besar, Presiden Nixon pun mengambil jalan pintas dengan keluar dari sistem Bretton Woods. Amerika Serikat pun tak lagi mematok dolarnya dengan emas. Kebijakan yang juga akhirnya diikuti oleh negara-negara lain di dunia.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Sebelumnya kita juga mematok rupiah dengan emas. Jadi jika ingin menerbitkan sejumlah uang maka pemerintah harus menyerahkan emas dengan nilai yang setara kepada Bank Indonesia.

(23)

yang baru ia terbitkan. Hanya saja surat utang tersebut tidak berisi kewajiban bagi pemerintah untuk memberikan pengembalian uang kepada BI. Surat utang itu hanya berisi komitmen bahwa pemerintah dapat menjaga stabilitas ekonomi sebagai akibat dari penerbitan uang tersebut.

Begitulah kira-kira mekanisme sederhana penerbitan uang baru di Indonesia dan negara-negara lain di dunia. Jika kita kaitkan dengan pemikiran Abu Ubaid tentang masalah uang, dimana ia merujuk pada kegunaan umum dan relatif konstannya nilai emas dan perak dibanding dengan komoditas yang lain. Jika kedua benda tersebut digunakan sebagian komoditas maka nilainya akan dapat berubah-ubah pula karena dalam hal tersebut keduanya akan memainkan peran yang berbeda sebagai barang yang harus dinilai atau sebagai standar penilaian dari barang lainnya. Sangat disayangkan karena untuk saat ini indonesia tidak menggunakan pemikiran tersebut. Penulis menganggap bahwa ini menunjukkan betapa masih rapuhnya keadaan ini, terlebih lagi karena negara kita masih harus mengikuti kebijakan dari Amerika terkait masalah ini.

Jika membahas masalah fungsi uang, Abu Ubaid mengatakan bahwa uang memiliki dua fungsi uang –yang tidak mempunyai nilai intrinsik– sebagai standar dari nilai pertukaran (standard of exchange value) dan sebagai media pertukaran (medium of exchange). Begitu pula di Indonesia, mengakui bahwa uang memiliki fungsi sebagai perantara untuk pertukaran barang dengan barang, juga untuk menghindarkan perdagangan dengan cara barter. Namun di Indonesia, lebih rincinya uang yang dibedakan dalam dua kategori fungsi, yaitu fungsi asli dan fungsi turunan.

a. Fungsi asli

(24)

• Sebagai Alat Tukar

Uang berfungsi sebagai alat tukar atau medium of exchange yang dapat mempermudah pertukaran. Orang yang akan melakukan pertukaran tidak perlu menukarkan dengan barang, tetapi cukup menggunakan uang sebagai alat tukar. Kesulitan-kesulitan pertukaran dengan cara barter dapat diatasi dengan pertukaran uang. • Sebagai Satuan Hitung

Uang juga berfungsi sebagai satuan hitung (unit of account) karena uang dapat digunakan untuk menunjukan nilai berbagai macam barang/jasa yang diperjualbelikan, menunjukkan besarnya kekayaan, dan menghitung besar kecilnya pinjaman. Uang juga dipakai untuk menentukan harga barang/jasa (alat penunjuk harga). Sebagai alat satuan hitung, uang berperan untuk memperlancar pertukaran.

• Sebagai Penyimpan Nilai

Uang berfungsi sebagai alat penyimpan nilai (valuta) karena dapat digunakan untuk mengalihkan daya beli dari masa sekarang ke masa mendatang. Ketika seorang penjual saat ini menerima sejumlah uang sebagai pembayaran atas barang dan jasa yang dijualnya, maka ia dapat menyimpan uang tersebut untuk digunakan membeli barang dan jasa di masa mendatang.

b. Fungsi Turunan

Selain ketiga hal di atas, uang juga memiliki fungsi lain yang disebut sebagai fungsi turunan. Fungsi turunan itu antara lain:

• Uang sebagai alat pembayaran yang sah

(25)

mendapatkan barang dan jasa yang diperlukan, manusia memerlukan alat pembayaran yang dapat diterima semua orang, yaitu uang.

• Uang sebagai alat pembayaran utang

Uang dapat digunakan untuk mengukur pembayaran pada masa yang akan datang.

• Uang sebagai alat penimbun kekayaan

Sebagian orang biasanya tidak menghabiskan semua uang yang dimilikinya untuk keperluan konsumsi. Ada sebagian uang yang disisihkan dan ditabung untuk keperluan di masa datang.

• Uang sebagai alat pemindah kekayaan

Seseorang yang hendak pindah dari suatu tempat ke tempat lain dapat memindahkan kekayaannya yang berupa tanah dan bangunan rumah ke dalam bentuk uang dengan cara menjualnya. Di tempat yang baru dia dapat membeli rumah yang baru dengan menggunakan uang hasil penjualan rumah yang lama.

• Uang sebagai alat pendorong kegiatan ekonomi

Apabila nilai uang stabil orang lebih bergairah dalam melakukan investasi. Dengan adanya kegiatan investasi, kegiatan ekonomi akan semakin meningkat.

C.6 Zakat

a. Hubungan antara Zakat dan Politik (Kekuasaan)[19]

(26)

Menurut Ugi (2004), karakter politis zakat adalah karakter yang menjadikan zakat sebagai institusi keuangan publik. Namun, ia merupakan institusi keuangan publik yang khas karena ia memiliki karakter religius. Meskipun pada masa Nabi, kedua karakteristik zakat itu disatukan, namun setelah Nabi wafat, ada fenomena di mana keduanya diperlakukan secara terpisah. Adalah peran Abu Bakar yang menjelaskan kedua karakteristik zakat dan meskipun melalui usahanya karakteristik religius dan polisi zakat ditetapkan.[20]

Masalah apakah zakat dibayarkan kepada pemerintah dan bukan kepada Nabi, muncul pada masa khalifah Abu Bakar ketika beberapa kabilah Arab menolak membayarkan zakatnya setelah wafatnya Nabi. Qardhawi (2004) menyebutkan bahwa alasan mereka menolak membayar zakat setelah Nabi wafat karena mereka menganggap perjanjian mereka dengan Nabi tentang kewajiban syahadat, shalat dan zakat telah batal dengan wafatnya orang yang dalam perjanjian. Hal itu disebabkan sikap kabilah-kabilah itu bermacam-macam. Di antaranya ada yang megakui nabi-nabi palsu, ada yang tidak mengakui syariat Islam dan menghindari kewajiban shalat dan zakat semuanya, ada pula yang mengakui shalat dan sayriat-syariat Islam lainnya tetapi masih ragu-ragu menerima zakat. Hal tersebut di atas dikarenakan mereka baru memeluk Islam dan masih terpengaruh oleh kehidupan badui mereka, bukan karena belum mengerti zakat. Atas dasar itu, Imam Abu Sulaiman Khattabi dan lainnya menggolongkan mereka “pembangkang” bukan “murtad”, walaupun mereka juga tidak mengakui zakat itu wajib setelah Nabi wafat.[21]

Ugi (2004) menyebutkan bahwa ketika Umar keberatan dengan keputusan Abu Bakar, dia tidak berdebat dengan Abu Bakar atas dasar kekaburan posisi zakat, karena karakter zakat, paling tidak sebagai institusi keagamaan, telah dipahami oleh mayoritas sahabat

20 Ugi Suharto. 2004. Keuangan Publik Islam: Reinterpretasi Zakat dan Pajak. Studi Kitab Al-Amwal Abu Ubayd. Cetakan

Pertama. Pusat Studi Zakat (PSZ).Yogyakarta.

21 Yusuf Qardhawi. 2004. Hukum Zakat (terjemahan dari buku Fiqhuz Zakat). Pustaka Litera AntarNusa.

(27)

selama masa kehidupan Nabi. Persoalan yang tidak disetujui Umar sesungguhnya adalah kebijakan Abu Bakar untuk memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat. Namun ketika Abu Bakar menjelaskan pandangannya, ketidaksetujuan Umar sebelumnya, kemudian sirna.

Abu Ubaid (Ugi, 2004) menjelaskan berkaitan dengan pengumpulan zakat, hak pemerintah untuk melaksanakan kekuatan politisnya, bagaimanapun juga, hanya terbatas pada bentuk kekayaan yang tampak (amwal zahiriyah) dan tidak pada kekayaan yang tidak tampak (amwal batiniyah). Selanjutnya Ugi (2004) menyebutkan bahwa bentuk harta yang tidak tampak (amwal batiniyah) merupakan jenis harta yang mudah disembunyikan oleh pemiliknya, yang pada masa Abu Bakar termasuk uang yakni emas dan perak. Sejauh berkaitan dengan harta yang tersembunyi, pemerintah tidak memiliki hak politik untuk memaksa orang membayar jenis kekayaan ini. Karena berkebalikan dengan harta yang tampak yang masuk dalam wilayah zakat berkarakter politis, harta tersembunyi masuk dalam wilayah zakat berkarakter religius.

Ugi (2004) mengutip pendapat Abu Ubaid berkaitan dengan harta tersembunyi, tidak ada riwayat apakah Nabi dan Khalifah setelahnya menerapkan kekuasaan politik terhadapnya atau tidak.

Sunnah telah membedakan antara keduanya. Tidaklah kalian melihat bahwa Nabi

kadang mengirim pengumpu zakat (mushaddiq) ke (para pemilik) binatang ternak dan

mengambil darinya baik dengan rela (rida) atau terpaksa (kurh). Hal yang sama juga

dilakukan oleh para pemimpin negara setelah beliau. Dan atas dasar ini, Abu Bakar

memerangi mereka yang tidak mau (membayar) zakat binatang ternak. Tidak ada pentunjuk

bahwa Nabi dan khalifah-khalifah setelahnya memaksa orang membayar zakat uang

(sadaqat al-samit). Sebaliknya, mereka (masyarakat muslim) lebih membayarnya tanpa

(28)

Berdasarkan hal-hal di atas, dapat dipahami dengan cukup jelas bahwa zakat memiliki 2 (dua) karakter yang berbeda. Karakter politis zakat, menjadi alasan pemerintah atau penguasa politik dalam melakukan upaya untuk menjamin zakat dapat dijalankan dengan baik, khususnya pada harta yang tampak (amwal zahiriyah). Sedangkan karakter religius zakat lebih memberikan penekanan kepada kesadaran dari masing-masing individu muslim untuk membayar zakat dari hartanya yang tidak tampak (amwal batiniyah).

Pemerintah tidak memiliki otoritas untuk memaksa para muzakki agar membayar zakat atas segala jenis harta yang tidak tampak (amwal batihiyah). Abu Bakar dalam hal ini memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga karakter zakat, khususnya karakter politisnya. Abu Bakar telah mengambil keputusan yang tepat dalam hal memerangi para pembangkang zakat. Jika Abu Bakar tidak memerangi para pembangkang zakat, maka karakter politis zakat akan punah, sehingga zakat hanya dipandang sebagai sebuah kewajiban invidivu dan penyalurannya dapat dilakukan secara invidivu juga.

b. Peran dan Fungsi Pemerintah terhadap Zakat

(29)

Dalam bukunya Kitab Al-Amwal halaman 562, Abu Ubaid meriwayatkan:

Abu Ubaid menjelaskan bahwa pada zaman Nabi, sedekah (zakat) dibayarkan kepada

Nabi Muhammad SAW atau kepada orang yang beliau utus. Setelah beliau wafat, zakat

dibayarkan kepada Abu Bakar atau kepada orang yang diutusnya. Kemudian, kepada Umar

bin Khattab atau kepada orang yang diutusnya. Lalu, pembayaran zakat setelah wafatnya

Umar bin Khattab dibayarkan kepada khalifat penggantinya Ustman bin Affan atau kepada

orang yang diutusnya. Namun, setelah wafatnya Utsman dengan dibunuh oleh para

pemberontak, terjadi perselisihan diantara umat Islam antara tetap membayarkannya

kepada pemerintah atau tidak menyalurkannya sendiri. Diantara mereka yang tetap

membayarkan zakatnya kepada pemerintah adalah Ibn Umar.

Adiwarman (2004) meyebutkan bahwa dalam karyanya Kitab al-Amwal, Abu Ubaid membahas tiga sumber utama penerimaan negara (pemerintah), yakni fa’i, khums dan shadaqah, termasuk zakat yang merupakan kewajiban pemerintah untuk mengurus dan mendistribusikannya kepada masyarakat.

Ugi (2004) menyebutkan bahwa setelah khalifah keempat, situasi diperburuk oleh berkembangnya persepsi masyarakat bahwa pemerintah sekarang tidak memiliki komitmen secara keagamaan. Oleh karena itu, berkaitan dengan masalah pembayaran zakat kepada pemerintah, Abu Ubaid memerikan satu bab khusus dalam bukunya Kitab Al-Amwal dengan judul “Pembayaran Zakat kepada Pemerintah dan Perbedaan Pendapat di Kalangan Ulama tentang Masalah ini.”

(30)

memperebutkan kepemimpinan antara Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah terpilih dan Mu’awiyah sebagai pihak yang tidak puas atas kepemimpinan Ali bin Abi Thalib telah mejadikan sebagian umat Muslim dalam kebingungan dalam menentukan kepada siapa mereka membayarkan zakatnya.

Ugi (2004) mengutip pendapat Abu Ubaid dalam Kitab Al-Amwal perihal jawaban Ibn Umar perihal kepada siapa zakat dibayarkan:

Anshar bertanya kepada Ibn Umar tentang (pembayaran) zakat. Dia menjawab,

“Bayarkan kepada pengumpul zakat (‘umal)”, tetapi mereka menjawab “Kadang

orang-orang Syam (yakni pendukung Mua’wiyah) berkuasa, dan kadang yang lainnya (yakni

pendukung Ali) berkuasa.” Dia (yakni Ibn Umar) menjawab: “Bayarkan kepada

mayoritasnya”.

Namun dalam kasus lain, Ugi (2004) mengutip pendapat Abu Ubaid dari Kitab Al-Amwal, Ibn Umar memberikan jawaban yang berbeda pula perihal kepada siapa zakat dibayarkan:

Saya berdekatan dengan Ibn Umar, seseorang bertanya kepadanya: “Apakah kami harus membayar zakat kepada kolektor yang ditunjuk untuk kami (‘ummalina). Dia (Ibn

Umar menjawab: “Ya”. Kemudian dia (orang yang bertanya itu) mengatakan: “Para

kolektor yang ditunjuk untuk kami itu non-Muslim (kuffar). Dia (rawi) mengatakan: “Ziyad

(bin Abihi, di antara penguasa Bani Umayyah) menggunakan non-Muslim (untuk

mengumpulkan zakat). Dia (Ibn Umar) kemudian menjawab: “Jangan membayarkan

zakatmu kepada non-Muslim”.

(31)

sebagai institusi keuangan publik sejak zaman Rasulullah. Namun, dengan situasi politik yang tidak menentu dan keputusan pemerintah pada masa kepemimpinan Ziyad dari Bani Umayyah, pemerintah pada waktu itu menetapkan petugas zakat dari non-muslim. Keputusan politis pada waktu itu mendorong Ibn Umar untuk mengungkapkan pendapatnya dengan melarang membayarkan zakat kepada para petugas non-muslim.

Keputusan Ibn Umar tersebut didasari oleh keadaan politik pada saat itu, akan tetapi pada dasarnya zakat tetaplah sebagai institusi keuangan publik. Meskipun pemerintah yang berkuasa menetapkan petugas yang non-muslim, ataupun umat muslim tinggal di tempat yang dipimpin bukan oleh pemerintahan Islam, karakter zakat sebagai institusi keuangan publik tidak dapat hilang begitu saja. Hal ini karena zakat berasal dari masyarakat (publik) dan didistribusikan kepada masyarakat (publik) pula. Umat Islam yang tinggal di pemerintahan non-muslim, dapat membentuk lembaga zakat yang bertugas sebagai pemegang otoritas untuk menarik zakat dan menyalurkannya kepada pihak yang membutuhkannya.

Tujuan akhir dari zakat adalah penyalurannya (distribusi) kepada sebagian masyarakat yang membutuhkannya (mustahiq) sehingga dapat memberikan distribusi pendapatan yang adil yang mana akan memberikan pengaruh pada tingkat kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan tujuan tersebut, pengelolaan zakat, dari penarikan hingga penyalurannya harus dilakukan oleh sebuah institusi khusus, sehingga zakat dapat dikelola dengan baik. Pembayaran zakat secara individual tentunya akan menjadikan pola distribusi zakat tidak terkontrol dan tidak merata, serta tujuan akhir dari zakat itu akan sulit untuk dicapai.

c. Pola dan Sistem Pengelolaan Zakat

(32)

suku atau daerah tertentu. Rasulullah SAW pernah mengutus Mu’az bin bin Jabal untuk berdakwah ke Yaman, dakwahnya yaitu dengan mengajak mereka untuk bersaksi (syahadat), menegakkan shalat dan membayar zakat. Posisi Mu’az disamping sebagai seorang da’i, dia juga bertugas sebagai seorang petugas, yang menarik dan menyalurkan zakat di Yaman.

Abu Ubaid dalam karyanya Kitab Al-Amwal halaman 493, menyebutkan sebuah hadits yang menerangkan praktek penarikan zakat pada masa Rasulullah saw. Abu Ubaid menyebutkan:

Sedangkan dalam riwayat lain, Abu Ubaid mengutip pada halaman 493:

ملعأف

Dalam hadits yang dikutip oleh Abu Ubaid di atas, Rasulullah saw mengutus Mu’az bin Jabal ke Yaman tidak hanya untuk berdakwah, akan tetapi ia (Mu’az) juga bertugas untuk mengambil zakat dari para penduduk Yaman yang telah memeluk agama Islam. Kemudian menyalurkannya kembali kepada penduduk Yaman yang berhak (mustahiq).

(33)

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penarikan dan penyaluran zakat didasari oleh wilayah di mana masyarakat berada. Penarikan zakat yang dilakukan pada suatu komunitas masyarakat tertentu, berarti penyalurannya dilakukan juga pada komunitas masyarakat di mana zakat tersebut diambil. Seperti halnya Mu’az yang mengambil zakat dari penduduk Yaman (yang mampu), kemudian menyalurkannya kembali kepada penduduk Yaman (yang berhak). Dengan pola distribusi yang menjadikan daerah penarikan sekaligus sebagai daerah penyaluran dapat memberikan pengaruh yang sangat besar dalam menjaga dan menumbuhkan ukhuwah dan solidaritas sosial dalam sebuah komunitis masyarakat. Pola ini juga dapat mengurangi beberapa penyakit hati yang berupa iri, dengki dan hasud dalam kehidupan bermasyarakat. Mengenai hal ini menuturkan dengan kisah yang dialami imam terdahulu, yaitu:

Al-Amwal hal. 596:

Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, Muadz terus bertugas di sana. Abu Ubaid

menuturkan dalam kitabnya, bahwa Muadz pada masa Umar pernah mengirimkan hasil

zakat yang dipungutnya di Yaman kepada Umar di Madinah, karena Muadz tidak

menjumpai orang yang berhak menerima zakat di Yaman. Namun, Umar

mengembalikannya. Ketika kemudian Muadz mengirimkan sepertiga hasil zakat itu, Umar

kembali menolaknya dan berkata, Saya tidak mengutusmu sebagai kolektor upeti, tetapi saya

mengutusmu untuk memungut zakat dari orang-orang kaya di sana dan membagikannya

kepada kaum miskin dari kalangan mereka juga. Muadz menjawab, “Kalau saya menjumpai

orang miskin di sana, tentu saya tidak akan mengirimkan apa pun kepadamu. Pada tahun

kedua, Muadz mengirimkan separuh hasil zakat yang dipungutnya kepada Umar, tetapi

Umar mengembalikannya. Pada tahun ketiga, Muadz mengirimkan semua hasil zakat yang

dipungutnya, yang juga dikembalikan Umar. Muadz berkata, Saya tidak menjumpai seorang

(34)

Prioritas penyaluran zakat diprioritaskan pada daerah di mana zakat tersebut diambil. Sedangkan penyaluran zakat ke daerah lain dapat dilakukan apabila suatu daerah mengalami kelebihan (surplus) zakat. Dalam hal ini diperlukan perhatian serius pemerintah dalam mengawasi daerah yang mengalami kelebihan (surplus) dan daerah yang mengalami kekurangan zakat.

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sistem dan pengelolaan zakat pada masa Rasulullah saw yang dipaparkan oleh Abu Ubaid dalam Kitab Al-Amwal mencakup 3 (tiga) hal, yaitu penarikan zakat dilakukan oleh pemerintah atau pihak yang mewakilinya dan pembagian wilayah dalam penarikan zakat dan penyalurannya, serta penyaluran silang (cross distribution) antara daerah yang kelebihan zakat dan daerah kekurangan zakat.

d. Pertimbangan Kebutuhan

(35)

Karenanya pendekatan ini mengindikasikan adanya tiga tingkatan sosio-ekonomi pengelompokan yang terkait dengan status zakat yaitu kalangan kaya yang terkena wajib zakat, kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat tetapi juga tidak berhak menerima zakat, kalangan penerima zakat (mustahik). Berkaitan dengan itu ia mengemukakan pentingnya distribusi kekayaan melalui zakat. Secara umum Abu Ubaid mengadopsi prinsip bagi setiap orang adalah menurut kebutuhannya masing-masing (likulli wahidin hasba hajatihi) dan ia secara mendasar lebih condong pada prinsip "bagi setiap orang adalah menurut haknya'", pada saat ia membahas jumlah zakat (pajak) yang dibagi kepada pengumpulnya (pengelola) atas kebijakan Imam.[22]

C.7 Ekspor Impor

Pemikiran Abu Ubaid tentang ekspor impor ini dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu tidak adanya nol tarif dalam perdagangan internasional, cukai bahan makanan pokok lebih murah, dan ada batas tertentu untuk dikenakan cukai.

a. Tidak Adanya Nol Tarif

Pengumpulan cukai merupakan kebiasaan pada zaman jahiliah dan telah dilakukan oleh para raja bangsa Arab dan non Arab tanpa pengecualian. Sebab, kebiasaan mereka adalah memungut cukai barang dagangan impor atas harta mereka, apabila masuk ke dalam negeri mereka. Dari Abdurrahman bin Maqil, ia berkata, “Saya pernah bertanya kepada Ziyad bin Hudair, Siapakah yang telah kalian pungut cukai barang impornya? Ia berkata,

“Kami tidak pernah mengenakan cukai atas Muslim dan Mua-hid. Saya bertanya, Lantas,

siapakah orang yang telah engkau kenakan cukai atasnya? Ia berkata, “Kami mengenakan

cukai atas para pedagang kafir harbi, sebagaimana mereka telah memungut barang impor

kami apabila kami masuk dan mendatangi negeri mereka”.

(36)

Hal tersebut diperjelas lagi dengan surat-surat Rasulullah, dimana beliau mengirimkannya kepada penduduk penjuru negeri seperti Tsaqif, Bahrain, Dawmatul Jandal dan lainnya yang telah memeluk agama Islam. Isi surat tersebut adalah “Binatang ternak mereka tidak boleh diambil dan barang dagangan impor mereka tidak boleh dipungut cukai

atasnya”.

Umar bin Abdul Aziz telah mengirim sepucuk surat kepada Adi bin Arthaah yang isinya adalah “Biarkanlah bayaran fidyah manusia. Biarkanlah bayaran makan kepada ummat manusia. Hilangkanlah bayaran cukai barang impor atas ummat manusia. Sebab, ia

bukanlah cukai barang impor. Akan tetapi ia merupakan salah satu bentuk merugikan orang

lain”. Sebagaimana firman Allah, “Dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap

hak-hak mereka dan jangan kamu membuat kejahatan di bumi dengan berbuat kerusakan.” (QS.

Hud:85)

Dari uraian di atas, Abu Ubaid mengambil kesimpulan bahwa cukai merupakan adat kebiasaan yang senantiasa diberlakukan pada zaman jahiliah. Kemudian Allah membatalkan sistem cukai tersebut dengan pengutusan Rasulullah dan agama Islam. Lalu, datanglah kewajiban membayar zakat sebanyak seperempat dari usyur (2.5%). Dari Ziyad bin Hudair, ia berkata, “Saya telah dilantik Umar menjadi petugas bea cukai. Lalu dia memerintahkanku supaya mengambil cukai barang impor dari para pedagang kafir harbi sebanyak usyur

(10%), barang impor pedagang ahli dzimmah sebanyak setengah dari usyur (5%), dan

barang impor pedagang kaum muslimin seperempat dari usyur (2.5%)”.

b. Cukai Bahan Makanan Pokok

(37)

Abdullah bin Umar dari ayahnya, ia berkata, “Umar telah memungut cukai dari kalangan pedagang luar; masing-masing dari minyak dan gandum dikenakan bayaran cukai sebanyak

setengah dari usyur (5%). Hal ini bertujuan supaya barang impor terus berdatangan ke

negeri madinah. Dan dia telah memungut cukai dari barang impor al-Qithniyyah sebanyak

usyur (10%)”.

c. Ada Batas Tertentu untuk Cukai

Yang menarik, tidak semua barang dagangan dipungut cukainya. Ada batas-batas tertentu dimana kalau kurang dari batas tersebut, maka cukai tidak akan dipungut. Dari Ruzaiq bin Hayyan ad-Damisyqi (dia adalah petugas cukai di perbatasan Mesir pada saat itu) bahwa Umar bin Abdul Aziz telah menulis surat kepadanya, yang isinya adalah:

“Barang siapa yang melewatimu dari kalangan ahli zimmah, maka pu-ngutlah barang

dagangan impor mereka. Yaitu, pada setiap dua puluh dinar mesti dikenakan cukai

sebanyak satu dinar. Apabila kadarnya kurang dari jumlah tersebut, maka hitunglah dengan

kadar kekurangannya, sehingga ia mencapai sepuluh dinar. Apabila barang dagangannya

kurang dari sepertiga dinar, maka janganlah engkau memungut apapun darinya. Kemudian

buatkanlah surat pembayaran cukai kepada mereka bahwa pengumpulan cukai akan tetap

diberlakukan sehingga sampai satu tahun”.

Jumlah sepuluh dinar adalah sama dengan jumlah seratus dirharn di dalam ketentuan pembayaran zakat. Seorang ulama Iraq, Sufyan telah menggugurkan kewajiban membayar cukai apabila barang impor ahli dzimmah tidak mencapai seratus dirharn. Menurut Abu Ubaid, seratus dirharn inilah ketentuan kadar terendah pengumpulan cukai atas harta impor ahli dzimmah dan kafir harbi.[23]

23 Hendri Tanjung, Dosen Pascasarjana UIKA Bogor dan Peneliti Tamu FEM IPBdalamshariaeconomicforum,

(38)

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat di simpulkan bahwa menurut Abu Ubaid fungsi uang tidak mempunyai nilai intrinsic sebagai standar dari nilai pertukaran (standard of exchange value) dan sebagai media pertukaran (medium of exchange). Ia merujuk pada kegunaan umum dan relative konstannya nilai emas dan perak dibanding dengan komoditas yang lain. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan keadaan sekarang yang dimana fungsi uang merupakan sebagai media pertukaran yang sah dan di terima oleh masyarakat.

(39)

kehidupan yang layak bagi setiap individu dalam sebuah masyarakat muslim. Abu Ubaid mengatakan bahwa penerimaan negara (fai', khumus, shadaqah dan zakat) wajib dikelola negara dan mengalokasikannya kepada masyarakat

DAFTAR PUSTAKA

Amalia, DR. Euis. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik Hingga Kontenporer. Jakarta:Gramata Publishing. 2010.

Al Qasim, Abu Ubaid. Kitab al Amwal, Beirut: Dar al Fikr. 1988.

Hendri Tanjung, Dosen Pascasarjana UIKA Bogor dan Peneliti Tamu FEM IPB dalamshariaeconomicforum, 2012.

Karim, Adiwarman. Ekonomi Islam: Suatu Kajian Ekonomi Makro. Jakarta:Karim Business Consulting. 2001.

Karim, Adiwarman. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: Rajawali Pers. 2004, 2006, 2008. Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UIN Jogja, Ekonomi Islam, Jakarta: RajaWali Press. 2009.

Qardhawi, Yusuf. Hukum Zakat (terjemahan dari buku Fiqhuz Zakat). Jakarta:Pustaka Litera AntarNusa. 2004.

Suharto, Ugi. Keuangan Publik Islam: Reinterpretasi Zakat dan Pajak. Studi Kitab Al-Amwal Abu Ubayd. Cetakan Pertama. Yogyakarta:Pusat Studi Zakat (PSZ). 2004

Referensi

Dokumen terkait

Oidalam data MPD, kebutuhan tenaga kerja / orang-jam (OJ) sangat penting, karena OJ paling banyak diterapkan untuk estimasi data lainnya seperti biaya dan dosis pekerja.

Abu Yusuf adalah orang yang pertama memperkenalkan konsep perpajakan di dalam karyanya al-Kharāj. Kitab tersebut ditulis atas permintaan Khalifah Harun alRashid, ketika beliau ingin mengatur sistem baitulmal, dan sumber pendapatan negara seperti al-kharāj, al-’ushr dan al-jizyah. Dengan demikian pula cara pendistribusian harta-harta tersebut dan cara menghindari manipulasi, kezaliman. Bahkan juga bagaimana mewujudkan harta-harta tersebut, untuk kepentingan