• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONDISI TERUMBU KARANG DI PERAIRAN PULAU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KONDISI TERUMBU KARANG DI PERAIRAN PULAU"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR ISI

2.4. Reproduksi dan Pertumbuhan Terumbu Karang... 10

2.5. Cara Makan Terumbu Karang... 11

2.6. Bentuk Pertumbuhan Terumbu Karang... 12

2.7. Tipe Formasi Terumbu Karang... 13

2.8. Peranan Terumbu Karang... 15

2.9. Faktor Pembatas Pertumbuhan Terumbu Karang... 16

2.10. Penyebab Kerusakan Terumbu Karang... 20

2.11. Klasifikasi Terumbu Karang... 22

3.4.3. Pengukuran Faktor Pembatas Pertumbuhan Terumbu Karang... 26

3.4.3.1. Suhu... 26

3.4.3.2. Kecerahan... 26

3.4.3.3. Salinitas... 26

(2)

3.4.3.5. Oksigen Terlarut... 27

4.1.2. Persentase Tutupan Komponen Biotik dan Abiotik... 32

(3)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Klasifikasi Karang Menurut Veron dan Terence (1979)... 22

2. Alat Yang Digunakan... 23

3. Titik Stasiun Penelitian... 24

4. Persentase Tutupan Komponen Biotik dan Abiotik... 32

5. Persentase Tutupan Terumbu Karang Hidup... 33

6. Persentase Tutupan Terumbu Karang Mati... 34

7. Faktor Pembatas Pertumbuhan Terumbu Karang... 34

8. Indeks Keanekaragaman (H’), Indeks Keseragaman (E) dan Indeks Dominansi (C)... 35

(4)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Anatomi Terumbu Karang... 9

2. Reproduksi Hewan Karang... 11

3. Grafik indeks keanekaragaman (H’)... 35

4. Grafik indeks keseragaman (E)... 36

(5)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman 1. Peta Lokasi Penelitian dan Stasiun Pengamatan... 48 2. Kondisi Umum Perairan pada Masing-Masing Stasiun Pengamatan. .

...49 3. Kondisi Ekosistem Terumbu Karang pada Masing-Masing Stasiun

Pengamatan... ...50

4. Alat-Alat yang Digunakan Selama Penelitian... 53 5. Jenis Lifeform Terumbu Karang yang Ditemukan pada

Masing-Masing Stasiun Pengamatan... ...55 6. Persentase Tutupan Ekosistem Terumbu Karang pada Masing-Masing

Stasiun Pengamatan... ...56

(6)

THE CORAL REEF CONDITION IN BERALAS PASIR ISLAND WATERS OF GUNUNG KIJANG SUB-DISTRICT BINTAN REGENCY

KEPULAUAN RIAU PROVINCE By :

Fajar Sidik1), Afrizal Tanjung2), Elizal2)

ABSTRACT

This study has been done on the reefs in the coastal waters of Beralas Pasir Island. It was carried out in May 2013 by deploying LIT method. The aim of this study was to find out the condition of the reefs based on the percentage of Hard Living Coral Cover (HLCC) in the area. Three stations as representatives were chosen purposively. As a result, the type of reefs in the area under study was fringing reef with different condition on each station. The station 1 and 2 showed good condition with more than 50 % of HLCC coverage. Yet, it was in moderate condition for the third station, i.e. it was about 29.10 %. There was no dominant life form that found in terms of both dominancy index and diversity.

Keywords : Beralas Pasir Island, Coral Reef, Hard Living Coral Cover

(7)

KONDISI TERUMBU KARANG DI PERAIRAN PULAU BERALAS PASIR

KECAMATAN GUNUNG KIJANG KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU

By :

Fajar Sidik1), Afrizal Tanjung2), Elizal2)

ABSTRAK

Penelitian dilakukan di perairan Pulau Beralas Pasir pada bulan Mei 2013 dengan menggunakan metode LIT. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi terumbu karang hidup di Perairan Pulau Beralas Pasir yang mengacu kepada bentuk pertumbuhan terumbu karang dengan menghitung tingkat persentase tutupan terumbu karang hidup. Tiga stasiun yang mewakili ditentukan dengan Purpossive Sampling. Berdasarkan hasil dari penelitian ini, Pulau ini memiliki tipe formasi terumbu karang tepi (fringing reef) dengan kondisi yang berbeda pada setiap stasiun. Pada stasiun 1 dan 2 menunjukan kondisi yang baik dengan persentase tutupan terumbu karang hidup lebih dari 50 %. Akan tetapi, berbeda dengan kondisi stasiun 3 yaitu 29,10 %. Tidak ada bentuk kehidupan yang dominan yang ditemukan baik dari segi indeks dominansi dan keragaman. Kata kunci : Pulau Beralas Pasir, Terumbu Karang , Tutupan Terumbu Karang Hidup

(8)

I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang mempunyai luas laut sekitar 3,1 juta km2 dengan kawasan pesisir menempati garis

pantai sepanjang 81.000 km. Kawasan pesisir ini memiliki berbagai ekosistem pendukung yang sangat beragam, seperti ekosistem hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, serta keanekaragaman hayati lainnya terutama bagi potensi perikanan. Salah satu ekosistem pesisir yang khas di perairan tropis dan sangat penting bagi kehidupan biota lainnya adalah terumbu karang (coral reef) (Savitri, 2000).

(9)

Terumbu karang juga merupakan sumber makanan dan bahan baku substansi bioaktif yang berguna dalam farmasi dan kedokteran. Selain itu terumbu karang berfungsi sebagai pelindung pantai dari degradasi dan abrasi.

Provinsi Kepulauan Riau terdiri dari banyak pulau dan memiliki wilayah perairan yang mempunyai sumberdaya yang baik, apabila dikelola dengan optimal salah satunya dijadikan objek wisata bahari. Kabupaten Bintan yang terletak di Pulau Bintan merupakan salah satu daerah wisata bahari yang ada di Provinsi Kepulauan Riau dengan luas wilayah 88.038,54 km2 yang terdiri dari lautan

86.092,41 km2 dan daratan 1.946,13 km2. Sumberdaya perairan di wilayah

tersebut lebih banyak dimanfaatkan untuk berbagai macam tujuan, salah satunya dijadikan tempat wisata bahari. Kabupaten Bintan mempunyai 240 pulau besar dan kecil, sedangkan pulau yang sudah berpenghuni hanya sebanyak 39 pulau (BPS Kab. Bintan, 2012). Di pulau - pulau tersebut terdapat bermacam - macam kegiatan untuk memanfaatkan wilayah perairan karena terdapat ekosistem perairan dangkal, salah satunya ekosistem terumbu karang di perairan Pulau Beralas Pasir sebagai tempat penyelaman bagi para pengunjung.

(10)

karang. Selain itu, berhubungan dengan kawasan pantai trikora sebagai kawasan wisata akan mempengaruhi adanya dampak tersendiri terhadap perairan yang berbatasan dengan Pulau Beralas Pasir. Kondisi ini secara tidak langsung akan mengakibatkan terjadinya perubahan kondisi terumbu karang pada perairan yang berdampak pada kerusakan kualitas terumbu karang.

I.2. Perumusan Masalah

Terumbu karang merupakan ekosistem yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan memiliki kaitan yang erat dengan manusia. Keberadaan terumbu karang saat ini banyak mengalami degradasi yang disebabkan oleh faktor alam maupun aktivitas manusia.

Pulau Beralas Pasir merupakan salah satu tempat ekowisata yang sering dikunjungi wisatawan saat ini. Di pulau ini terdapat terumbu karang yang dapat dinikmati dengan melakukan snorkeling dan penyelaman, sehingga dikhawatirkan aktivitas ini dapat merusak ekosistem terumbu karang ditambah pula adanya aktivitas penangkapan dan lalu lintas kapal nelayan, dimana aktivitas ini memberikan dampak kerusakan pada terumbu karang karena nelayan secara sengaja ataupun tidak melemparkan jangkar pada daerah yang terdapat terumbu karang.

(11)

berkelanjutan. Untuk itu perlu dilakukan penelitian untuk melihat kondisi terumbu karang di perairan Pulau Beralas Pasir.

I.3. Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi terumbu karang hidup di Perairan Pulau Beralas Pasir yang mengacu kepada bentuk pertumbuhan terumbu karang dengan menghitung tingkat persentase tutupan terumbu karang hidup, dan juga menghitung nilai indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E), dan indeks dominansi (C) agar dapat dimanfaatkan dalam mengelola potensi terumbu karang.

(12)

II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1.Biologi Terumbu Karang

Terumbu karang (coral reef) berasal dari kata terumbu (reef) dan karang (coral), adalah suatu ekosistem bawah laut yang sangat subur dengan keanekaragaman hayati yang berlimpah, terdapat pada perairan tropis dan subtropis, serta tumbuh berkembang di zona photic dan perairan yang jernih (Tanjung, 2013). Terumbu karang (coral reef) merupakan kumpulan binatang karang (reef coral), yang hidup di dasar perairan dan menghasilkan bahan kapur CaCO3. Zooxanthellae menerima nutrien penting dari karang dan memberikan

sebanyak 95% dari hasil fotosintesisnya (energi dan nutrisi) kepada karang (Supriharyono, 2000a).

Karang merupakan hewan yang hidup di terumbu yang bersimbiosis dengan alga zooxanthellae yang mensekresikan kalsium karbonat (CaCO3).

Terumbu merupakan endapan massive CaCO3 (kalsium karbonat) yang dihasilkan

(13)

merupakan alga yang menempel pada terumbu karang yang berfungsi memberikan nutrien dan memberikan warna pada karang. Koloni karang dibentuk oleh ribuan hewan kecil yang disebut Polip. Dalam bentuk sederhananya, karang terdiri dari satu polip saja yang mempunyai bentuk tubuh seperti tabung dengan mulut yang terletak dibagian atas dan dikelilingi oleh tentakel. Namun pada kebanyakan spesies, satu individu polip karang yang hidup berkoloni dan membentuk terumbu, mereka mendapatkan makanannya melalui dua cara, pertama menggunakan tentakel mereka untuk menangkap plankton, dan kedua melalui alga kecil (disebut zooxanthellae) yang hidup dijaringan karang. Beberapa jenis zooxanthellae dapat hidup disatu jenis karang, biasanya mereka ditemukan dalam jumlah besar dalam setiap polip, hidup bersimbiosis, memberikan warna pada polip, energi dari fotosintesa dan 90% kebutuhan karbon polip (Westmacott dalam Haiyi, 2013).

Karang merupakan kumpulan dari berjuta - juta hewan polip yang menghasilkan bahan kapur (CaCO3). Sebagian besar karang adalah

(14)

fotosintesis, hasil metabolisme dan O2 (oksigen) akan diberikan kepada polip

karang. Sedangkan polip karang memberikan tempat hidup dan hasil respirasi CO2

kepada alga zooxanthellae (Ditjen PHPA, dalam Febrianto 2012).

Zooxanthellae adalah alga dari kelompok Dinoflagellata yang

bersimbiosis pada hewan, seperti karang, anemon, moluska dan lainnya. Sebagian besar zooxanthellae berasal dari genus Symbiodinium. Jumlah zooxanthellae pada karang diperkirakan > 1 juta sel/cm2 permukaan karang, ada yang mengatakan

antara 1 - 5 juta sel/cm2. Meski dapat hidup tidak terikat induk, sebagian besar

zooxanthellae melakukan simbiosis dalam asosiasi ini, karang mendapatkan

sejumlah keuntungan berupa:

1) Hasil fotosintesis, seperti gula, asam amino dan oksigen,

2) Mempercepat proses kalsifikasi melalui skema fotosintesis akan menaikkan pH dan menyediakan ion karbonat lebih banyak kemudian dengan pengambilan ion P untuk fotosintesis, berarti zooxanthellae telah menyingkirkan inhibitor kalsifikasi. Bagi zooxanthellae, karang adalah habitat yang baik karena merupakan pensuplai terbesar zat anorganik untuk fotosintesis. Sebagai contoh Bytell menemukan bahwa untuk zooxanthellae dalam Acropora palmata suplai nitrogen anorganik 70% didapat dari karang (Nybakken,1992).

Bahan anorganik tersebut merupakan sisa metabolisme karang dan hanya sebagian kecil anorganik diambil dari perairan. Karang merupakan pembangunan utama dalam ekosistem terumbu karang. Terumbu karang adalah endapan -endapan massive yang penting dari kalsium karbonat (CaCO3) yang terutama

(15)

Scleractinia) dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme -organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat (Nybakken,1992).

Komunitas karang terbatas keberadaan pada perairan dangkal, karena ganggang simbiotik membutuhkan sinar matahari untuk fotosintesis. Kebutuhan dan adaptasi sinar dalam koral seperti untuk kepentingan memelihara laju maksimum dari pengkapuran dan fotosintesis dapat dipertahankan hingga dibawah kedalaman 20 meter dalam kondisi perairan bersih (Falkowski et al., 1990). Penetrasi cahaya matahari dalam badan air dapat dihambat oleh tingkat turbiditas, sehingga laju sedimentasi yang tinggi dapat berpengaruh buruk pada koral dan karang, diantaranya adalah menurunnya kecepatan tumbuh dan menghambat pembentukan koloni - koloni baru (Brown and Howard, 1985; Babcock and Davies, 1991; Wilkinson and Buddemeier, 1994).

II.2.Ekologi Terumbu Karang

Ekosistem terumbu karang merupakan suatu kumpulan dari tumbuhan dan hewan yang saling bersimbiosis serta berada didaerah perairan laut dangkal. Kumpulan tersebut menghasilkan zat kapur yang diendapkan melalui proses ratusan tahun yang membentuk struktur terumbu karang. Komponen terpenting suatu terumbu karang adalah hewan karang (Kimball, 1999).

(16)

organisme atau komponen dari masyarakat dan terumbu karang sebagai suatu ekosistem (Suharsono, 1996).

Supriharyono (2000a) mengatakan bahwa terumbu karang hidup dengan baik di daerah tropis. Ekosistem terumbu karang dunia diperkirakan meliputi luas 600.000 km2, dengan batas sebaran disekitar perairan dangkal laut tropis, antara

30o LU dan 30o LS. Terumbu karang dapat ditemukan di 109 negara di seluruh

dunia, namun diduga sebagian besar dari ekosistem ini telah mengalami keruskan. Akan tetapi pada kedalaman 15 m sering terdapat teras terumbu atau reef front yang memiliki kelimpahan karang keras yang cukup tinggi dan karang tumbuh dengan subur.

Koloni koral berbentuk kubah atau datar dapat menimbun lapisan CaCO3

(17)

II.3.Anatomi Terumbu Karang

Anatomi terumbu karang memiliki bagian – bagian sebagai berikut :

Gambar 1. Anatomi terumbu karang (Veron, 1995).

a. Mulut dikelilingi oleh tentakel yang berfungsi untuk menangkap mangsa dari perairan serta sebagai alat pertahanan diri.

b. Rongga tubuh (Coelenteron) yang juga merupakan saluran pencernaan (Gastrovascular).

c. Du

a

(18)

karang. Material tersebut berupa kalsium karbonat (kapur). Bertempat digastrodermis, hidup zooxanthellae yaitu alga uniseluler dari kelompok dinoflagelata, dengan warna coklat atau coklat kekuning – kuningan (Hafiluddin, 2007).

II.4.Reproduksi dan Pertumbuhan Terumbu Karang

Karang berkembang biak secara seksual maupun aseksual. Pembiakan secara seksual terjadi melalui penyatuan gamet jantan dan betina untuk membentuk larva bersilia yang disebut dengan planula. Planula akan menyebar kemudian akan menempel disubstrat yang keras dan mampu tumbuh menjadi polip (Suwignyo et al, 2005).

(19)

Reproduksi aseksual karang dilakukan dengan cara membentuk tunas. Tunas baru biasanya tumbuh dipermukaan bagian bawah atau pada bagian pinggir. Tunas baru akan melekat sampai ukuran tertentu, kemudian akan melepaskan diri dan tumbuh menjadi individu baru. Pembentukan tunas pada organisme karang dapat dilakukan dengan cara pertunasan intratentakular. Pertunasan intratentakular merupakan pembentukan individu baru didalam individu lama, sedangkan pertunasan ekstratentakular merupakan pembentukan individu baru diluar individu lama (Suharsono, 1996).

Gambar 2. Reproduksi Hewan Karang (Nyabaken, 1992).

(A) Polip dewasa, (B) Larva Planula, (C) Planula stadium akhir dengan septa yang berkembang, (D) Polip muda setelah pelekatan.

II.5.Cara Makan Terumbu Karang

Muller – Parker dan D’Elia (2001) karang memiliki dua cara untuk mendapatkan makan, yaitu dengan menangkap zooplankton yang melayang dalam air dan menerima hasil fotosintesis zooxanthellae .

(20)

kebutuhan proses respirasi karang tersebut. Sebagian ahli lagi mengatakan sumber makanan karang 75 – 99% berasal dari alga zooxanthellae (Tomascik et al, 1997).

II.6.Bentuk Pertumbuhan Terumbu Karang

a. Coral Branching (CB), memiliki cabang lebih panjang dari pada diameter yang dimiliki, banyak terdapat disepanjang tepi terumbu dan bagian atas lereng, memberikan tempat perlindungan bagi ikan dan invertebrata tertentu. b. Coral Massive (CM), berbentuk padat dengan ukuran bervariasi serta

beberapa bentuk seperti bongkahan batu. Permukaan karang ini halus dan padat.

c. Coral Encrusting (CE), bentuknya seperti kerak, tubuhnya menyerupai dasar terumbu dengan permukaan yang kasar dan keras serta berlubang – lubang kecil, banyak terdapat pada lokasi yang terbuka dan berbatu.

d. Coral Submassive (CS), cendrung untuk membentuk kolom kecil, dengan kokoh.

e. Coral Foliose (CF), tumbuh dalam bentuk lembaran – lembaran yang menonjol pada dasar terumbu, berukuran kecil dan membentuk lipatan atau melingkar.

f. Coral Mushroom (CMR), berbentuk oval dan nampak seperti jamur, memiliki banyak tonjolan seperti punggung bukit beralur dari tepi hingga pusat mulut. g. Coral Millepora (CME), yaitu karang api, dapat dikenali dengan adanya

warna kuning diujung koloni dan rasa panas seperti terbakar bila disentuh. h. Coral Heliopora (CHL), yaitu karang biru, dapat dikenali dengan adanya

(21)

Bentuk pertumbuhan karang jenis Acropora adalah karang yang memiliki axial coralit dan radial coralit. English et al, (1994) menggolongkannya sebagai

berikut :

a. Acropora Branching (ACB), berbentuk bercabang seperti ranting pohon. b. Acropora Encrusting (ACE), bentuk merayap, biasanya terjadi pada acropora

yang belum sempurna.

c. Acropora Tabulate (ACT), bentuk bercabang dengan arah mendatar dan rata seperti meja, karang ini dengan batang yang berpusat atau bertumpu pada satu sisi membentuk sudut atau datar.

d. Acropora Submassive (ACS), percabangan bentuk gada/lempeng dan kokoh. e. Acropora Digitate (ACD), bentuk percabangan rapat dengan cabang seperti

jari – jari tangan.

II.7.Tipe Formasi Terumbu Karang

Tipe formasi terumbu karang berdasarkan struktur geomorfologi dan proses pembentukannya, terumbu karang terdiri dari empat tipe terumbu (DKTNL, 2006) yaitu:

1. Terumbu karang Tepi (Fringing Reef)

Terumbu karang ini berkembang di sepanjang pantai dan mencapai kedalaman tidak lebih dari 40 m. Terumbu karang ini tumbuh keatas dan kearah laut. Pertumbuhan terbaik biasanya terdapat dibagian yang cukup arus. Sedangkan diantara pantai dan tepi luar terumbu, karang batu cenderung mempunyai pertumbuhan yang kurang baik. Contohnya adalah Pulau Panaitan Banten.

2. Terumbu karang gundukan (Patch reef)

(22)

perairan lepas atau dipinggir lempeng benua yang agak dalam. Contoh adalah terumbu karang di Kepulauan Seribu.

3. Terumbu karang Penghalang (Barrier Reef)

Terumbu karang penghalang berakar pada kedalaman yang melebihi kedalaman maksimum. Umumnya terumbu karang penghalang memanjang menyusuri pantai dan biasanya berputar seakan-akan merupakan panghalang bagi pendatang yang datang dari luar. Contohnya adalah seperti terumbu karang di Kepulauan Spermonde Sulawesi Selatan.

4. Terumbu karang cincin ( Atoll)

Kedalaman goba didalam atol sekitar 45 m jarang sampai 100 m seperti terumbu karang penghalang. Contohnya adalah atol di Pulau Taka Bone Rate di Sulawesi Selatan.

II.8.Peranan Terumbu Karang

Terumbu karang memiliki berbagai peran penting, baik secara ekologi maupun ekonomi. Di Indonesia terumbu karang memiliki potensi yang sangat besar, yaitu sebagai berikut :

a. Pelindung ekosistem pantai, terumbu karang akan menahan dan memecah energi gelombang sehingga mencegah terjadinya abrasi dan kerusakan disekitarnya.

(23)

makanan maupun mata pencaharian mereka. Diperkirakan terumbu karang yang sehat dapat menghasilkan 25 ton ikan pertahunnya.

c. Sumber obat – obatan, pada terumbu karang banyak terdapat bahan – bahan kimia yang diperkirakan bisa menjadi obat bagi manusia. Saat ini banyak penelitian mengenai bahan – bahan kima tersebut untuk dipergunakan mengobati penyakit manusia.

d. Objek wisata, terumbu karang yang bagus akan menarik minat wisatawan sehingga menyediakan alternatif pendapatan bagi masyarakat sekitar. Diperkirakan sekitar 20 juta penyelam, menyelam dan menikmati terumbu karang pertahun.

II.9.Faktor Pembatas Pertumbuhan Terumbu Karang

Kelestarian terumbu karang akan tetap terpelihara apabila kondisi lingkungan tetap mendukung keberadaannya terjaga dari berbagai ancaman. Terumbu karang sangat peka terhadap kondisi lingkungan diperairan, diantaranya ialah :

a. Cahaya

Pengaruh cahaya sangat penting bagi pertumbuhan terumbu karang dikarenakan pada terumbu karang hidup zooxanthellae yang melakukan fotosintesis dimana hewan karang memperoleh nutrisi dari hasil fotosintesis tersebut. Mengingat hewan karang (hermatypic) hidup bersimbiosis dengan alga tersebut. Titik kompensasi hewan karang terhadap cahaya antara 200 – 700 fc (foot candela). Sedangkan intensitas cahaya di permukaan laut secara umum antara 2500 – 5000 fc mengingat kebutuhan tersebut, hewan karang umumya tersebar di daerah tropis (Supriharyono, 2000a).

(24)

Berkaitan dengan pengaruh cahaya (illumination) terhadap pertumbuhan karang maka faktor kedalaman juga sangat membatasi keberadaan terumbu karang. Kebanyakan terumbu karang hidup di bawah 25 meter. Hewan karang tidak dapat berkembang diperairan yang lebih dalam dari 50 – 70 meter. Semakin dalam lautan maka semakin berkurang cahaya yang dapat masuk ke dalam lautan tersebut, sehingga akan mempengaruhi laju fotosintesis. Sehingga terumbu karang hidup dengan baik pada kedalaman kurang dari 20 meter. Cahaya dan kedalaman berperan penting untuk kelangsungan proses fotosintesis oleh alga zooxanthellae yang terdapat di jaringan karang. Terumbu yang dibangun karang hermatipik dapat hidup di perairan dengan kedalaman maksimal 50 - 70 meter, dan umumnya berkembang di kedalaman 25 meter atau kurang. Titik kompensasi untuk karang hermatipik berkembang menjadi terumbu adalah dengan intensitas cahaya 15 - 20% dari intensitas dipermukaan (Supriharyono, 2000a).

c. Sedimentasi

Terumbu karang sangat sensitif terhadap sedimentasi, akibatnya terumbu karang tidak ditemukan pada daerah yang terlalu banyak pemasukan air tawar yang membawa banyak endapan lumpur meskipun keadaan lingkungannya cukup baik. Kebanyakan hewan karang tidak dapat bertahan karena adanya endapan yang menutupinya, sehingga menyumbat struktur pemberian makannya. Endapan juga menyababkan kurangnya cahaya matahari yang dibutuhkan untuk fotosintesis, sehingga akan menyebabkan kematian bagi karang (Supriharyono, 2000a).

(25)

karang. Ada kecendrungan bahwa karang yang tumbuh atau teradaptasi diperairan yang sedimennya tinggi, berbentuk foliate, branching dan ramose. Sedangkan diperairan yang jernih atau sedimentasinya rendah lebih banyak dihuni oleh karang yang berbentuk piring (plate dan digitate plate).

d. Salinitas

Salinitas di ketahui juga merupakan faktor pembatas kehidupan binatang karang. Salinitas air laut didaerah tropis adalah sekitar 35%. Pengaruh salinitas terhadap kehidupan hewan karang sangat bervariasi tergantung pada kondisi perairan laut setempat atau pengaruh alam, seperti run off, badai, hujan, sehingga salinitas akan berubah. Salinitas optimum bagi kehidupan karang berkisar antara 30-33‰ (Supriharyono, 2000a).

e. Substrat

Hewan karang membutuhkan substrat yang keras dan kompak untuk menempel. Terutama larva planula dalam pembentukan koloni barn dari karang yang mencari substrat keras. Substrat keras ini dapat berupa benda keras yang ada didasar laut, seperti batu, cangkang moluska, potongan – potongan kayu, bahkan besi yang terbenam, namu setiap jenis karang tertentu juga memiliki juga memiliki daya tahan yang bebeda pada benda – benda tersebut. Karang mati yang tenggelam didasar laut juga dapat ditumbuhi berbagai jenis karang (Tomascik et al, 1997).

f. Oksigen Terlarut (Dissolved Oxygen)

(26)

tumbuhan – tumbuhan air dan intensitas cahaya yang sampai ke badan air tersebut. Kenaikan suhu pada perairan dapat menyebabkan penurunan kadar oksigen terlarut (Barus, 2004).

Hubungan yang erat (simbiosis) antara hewan karang dan alga zooxanthellae dapat dikategorikan sebagai simbiosis mutualisme, karena hewan

karang menyediakan tempat berlindung bagi alga zooxanthellae dan memasok secara rutin kebutuhan bahan – bahan anorganik yang diperlukan untuk fotosintesis, sedangkan hewan karang diuntungkan dengan tersedianya oksigen dan bahan – bahan organik dari alga zooxanthellae (Tomascik et al, 1997).

g. Derajat Keasaman (pH)

Nilai pH adalah banyaknya ion hidrogen dalam mol perliter larutan. Kemampuan air untuk melepaskan atau mengikat sejumlah ion hidrogen akan menunjukan larutan tersebut asam atau basa. Nilai pH yang ideal bagi organisme air pada umumnya terdapat antara 7 – 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun sangat basa, akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi (Barus, 2004).

Stress berupa panas, dingin, terang dan gelap, terutamanya meningginya suhu air laut menyebabkan keruskan simbiosis antara karang dengan alga pada karang tersebut. Semakin banyak karbondioksida yang di lepas ke atmosfir, semakin banyak pula yang kembali ke laut melalui air hujan dan mengubah pH air laut menjadi lebih rendah atau lebih asam. Turunnya pH air laut ini menyebabkan karang menjadi keropos (coral osteoporosis). Karang keropos ini jika dikembailkan ke air laut semula tidak dapat membuat memperbaiki terumbu kembali (Barus, 2004).

(27)

Karang pembentuk terumbu sangat peka terhadap suhu bahkan terbatas keberadaannya diperairan hangat karena mereka tumbuh pada temperatur antara 18 – 27o C (Romimohtarto dan Juawana, 2001). Suhu yang baik bagi terumbu

karang berkisar 18o C, dimana masih terdapat sinar matahari, namun pada suhu

antara 18o C sampai 29o C terumbu karang masih dapat bertahan (Supriharyono,

2000b). Terumbu karang pada umumnya ditemukan pada perairan dengan suhu 18 - 36o C, dengan suhu optimum 26 – 28o C (Birkeland, 1997).

i. Arus

Arus berperan penting dalam transportasi zat hara, larva, bahan sedimen dan oksigen yang dibutuhkan oleh karang. Pergerakan air atau arus diperlukan untuk tersedianya aliran suplai makanan jasad renik dan oksigen maupun terhindarnya karang dari timbunan endapan sedimen. Selain itu arus juga berfungsi untuk membersihkan polip karang dari kotoran yang menempel (Haiyi, 2013).

II.10.Penyebab Kerusakan Terumbu Karang

Kerusakan ekosistem terumbu karang dapat digolongkan menjadi 4 faktor menurut DKTNL (2006) yakni :

a. Akibat faktor biologis dimana meliputi predasi, penyakit dan bioerosi.

b. Akibat Faktor Fisik yaitu dengan adanya kenaikan suhu air laut dan pasang surut, radiasi sinar ultraviolet, penurunan salinitas, gunung berapi, gempa bumi dan tsunami, taifun atau badai.

c. Akibat aktivitas manusia secara langsung seperti penambangan karang dan pasir, pengeboman karang, penggunaan sianida, penangkapan ikan dengan bubu dan angkar perahu, kegiatan pariwisata.

(28)

Wibisono (2005) menyatakan bahwa bentuk - bentuk kerusakan/dampak negatif dari kegiatan manusia bisa berupa antara lain :

1. Berbagai bentuk pencemaran perairan karena peningkatan suhu, logam berat, minyak bumi bisa mengakibatkan kematian terumbu karang.

2. Membuang saung/jangkar di lokasi terumbu (anchoraging). Jangkar perahu yang diturunkan di lokasi terumbu bisa berakibat karang menjadi retak atau patah karena tertimpa besi jangkar.

3. Rusak karena terinjak oleh wisatawan (trampling). 4. Pencungkilan karang.

5. Penangkapan ikan karang dengan dinamit. 6. Over eksploitasi produksi karang.

7. Pembangunan di wilayah pesisir tanpa kearifan lingkungan.

Supriharyono (2000a) untuk mencegah semakin rusaknya sumberdaya laut, khususnya ekosistem terumbu karang, di samping menerapkan peraturan dan perundangan, pemerintah Republik Indonesia, melalui Departemen Kehutanan, juga telah menetapkan kawasan konservasi lautan. Inti dari kosevasi terumbu karang tersebut ada tiga, yaitu :

1. Perlindungan terhadap kelangsungan proses ekologis beserta sistem-sistem penyangga kehidupan.

2. Pengawetan keanekaragaman sumber plasma nutfah, yang dilakukan di dalam dan di luar kawasan, serta pengaturan tingkat pemanfaatan jenisjenis yang terancam punah dengan memberikan status perlindungan ; dan

3. Pelestarian pemanfaatan jenis dan ekosistemnya, melalui:

i) Pengendalian eksploitasi/pemanfaatan sesuai dengan prinsip-prinsip pelestarian.

ii) Memajukan usaha-usaha penelitian, pendidikan dan pariwisata dan iii) Pengaturan perdagangan flora dan fauna.

II.11.Klasifikasi Terumbu Karang

(29)

Tabel 1. Klasifikasi karang menurut Veron dan Terence (1979)

NO FAMILI GENUS

1. Acroporidae Acropora, Anacropora, MontiporaAstreopora 2. Agraciidae Gardineroseris, Pavona, Leptoseris, Ceoloseris,Pachyceris.

3. Astrococoeniidae Stylocoeniella

4. Caryophyllidae Euphyllia, Catalaphyllia, Plerogyra, Physogyra,Montigyra. 5. Dendrophyllidae Turbinaria, Duncanopsammia

9. Mussidae Acanthastrea, Symphyllia, Lobophyllia, Cynarina, Blastomusa, Australomussa, Scolymia.

10. Oculinidae Archelia, Galaxea.

11. Pectinidae Pectinia, Echinophyllia, Oxypora, Mycedium,Physophyllia. 12. Pocilloporidae Pocillopora, Madracis, Seriatopora, Stylophora,Palauastrea. 13. Portidae Porites, Stylaraea, Alveopora, Goniophora. 14. Siderastreidae Pseudosiderastrea, Coscinaraea, Psammocora.

(30)

III. METODE PENELITIAN

III.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2013 di Pulau Beralas Pasir Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau (Lampiran 1).

III.2. Bahan dan Alat

Alat yang digunakan selama pelaksanaan penelitian ini terdiri dari alat – alat pengambilan data tutupan terumbu karang dan alat – alat yang digunakan dalam proses pengamatan kualitas perairan (Tabel 2 dan Lampiran 4).

Tabel 2. Alat yang digunakan No

. Pengambilan Data Karang Fungsi

1 GPS Menentukan titik koordinat

2 Meteran Pembuatan transek

3 SCUBA Alat bantu pernapasan di dalam

perairan

4 Underwater Sledge dan Pensil Mencatatat data tutupan karang

5 Underwater Camera Dokumentasi

(31)

No .

Pengamatan Kualitas

Perairan Fungsi

7 Handheld-refractometer Mengukur salinitas perairan

8 Secchi Disk Mengukur kecerahan perairan

9 Thermometer Mengukur suhu perairan

10 pH Indikator Mengukur pH perairan

11 DO meter Mengukur DO perairan

12 Current droug Mengukur kecepatan arus

13 Stopwatch Menghitung waktu

III.3. Metode

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode survey yang dilakukan secara langsung di lapangan, kemudian dilakukan pengukuran dan pengumpulan informasi/data situasi dan kondisi di lapangan pada beberapa stasiun yang ditentukan pada lokasi penelitian yang di mana penentuan stasiun ditentukan berdasarkan Purpossive Sampling, selanjutnya data tersebut dianalisis dengan menggunakan program Microsoft Excel untuk dijadikan data primer yang disajikan secara deskriptif.

III.4. Prosedur Penelitian

III.4.1.Penentuan Stasiun Penelitian

Pada penelitian ini ditentukan tiga titik stasiun pengamatan untuk melihat keadaan kondisi terumbu karang yang mana sebelumnya dilakukan survey awal atau orientasi dengan cara snorkeling terlebih dahulu. Setiap Stasiun pengamatan ditentukan dengan Purpossive Sampling, yakni menetapkan stasiun berdasarkan karakter lingkungan dan melihat keterwakilan terumbu karang yang diharapkan mewakili karakter lingkungan yang ada (Tanjung, 2013) dan kemudian ditandai dengan Global Positioning System (GPS).

(32)

aktivitas manusia yang rutin, stasiun II ditempatkan pada perairan yang menghadap Laut Cina Selatan dan stasiun III ditempatkan pada perairan yang dijadikan tempat aktivitas nelayan dalam mencari dan menangkap ikan, sehingga didapatkan 3 titik stasiun yang akan diteliti yang diharapkan mewakili kondisi terumbu karang di perairan Pulau Beralas Pasir. Titik stasiun pengamatan dapat dilihat pada Tabel 3.

Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer yang meliputi pengamatan terumbu karang berdasarkan bentuk pertumbuhan (lifeform) yang kemudian disajikan secara deskriptif dan data sekunder dari pihak terkait.

Pengambilan data primer terumbu karang dilakukan dengan mengunakan metode transek garis menyinggung (Line Intercept Transect) yang dibentangkan sepanjang 50 meter sejajar dengan garis pantai (English et al, 1994). Transek garis dipasang sejajar dengan garis pantai mengikuti kontur kedalaman. Pemasangan transek dilakukan pada kedalaman 5 meter yang mana kedalaman tersebut merupakan daerah reef slope dan akhir dari topografi terumbu karang di Pulau Beralas Pasir.

(33)

tercantum pada meteran. Pencatatan dilakukan dengan menggunakan Underwater Sledge dan pensil.

Pengambilan data dilakukan oleh 3 orang penyelam (Diver). Diver 1 bertugas membentangkan meteran sepanjang 50 meter, diver 2 melakukan pencatatan panjang jenis karang yang terukur tepat dibawah bentangan meteran berdasarkan bentuk pertumbuhannya (life form), dan diver 3 bertugas dalam pengambilan dokumentasi. Pengambilan data sekunder diperoleh dari CRITC-COREMAP II – LIPI.

3.4.3. Pengukuran Faktor Pembatas Pertumbuhan Terumbu Karang

3.4.3.1. Suhu

Suhu yang diukur adalah suhu permukaan perairan dengan menggunakan Thermometer. Cara kerja pengukuran suhu adalah sebagai berikut :

1. Thermometer dicelupkan pada badan air dan diamkan ± 1 menit sampai angka yang ditunjukkan konstan.

2. Skala yang dicapai menunjukkan suhu perairan tersebut.

3.4.3.2. Kecerahan

Pengukuran kecerahan dilakukan dengan menggunakan Secchi Disk dengan cara sebagai berikut :

1. Secchi Disk ditenggelamkan pada badan air yang akan diteliti.

2. Kedalaman air pada awal mula Secchi Disk hilang dari pandangan dicatat. 3. Secchi Disk ditarik ke atas, kemudian dicatat pada meter ke berapa Secchi

Disk tersebut mulai tampak.

(34)

3.4.3.3. Salinitas

Pengukuran salinitas dilakukan dengan menggunakan Handheld-refractometer dengan cara :

1. Handheld-refractometer terlebih dahulu dikalibrasi dengan air tawar dan dikeringkan dengan tisu hingga garis biru yang tampak pada lensa okuler tepat pada posisi 0 0/

00.

2. Prisma diteteskan air laut yang diambil dilokasi penelitian.

3. Handheld-refractometer dihadapkan ke arah cahaya, lalu peneliti mengamati dari lensa okuler.

Nilai salinitas ditunjukkan oleh garis biru horizontal yang akan menunjuk pada suatu nilai dalam satuan permil (‰).

3.4.3.4. Derajat Keasaman

Derajat keasaman diukur dengan menggunakan kertas pH. 1. Kertas pH dicelupkan pada perairan ± 5 detik.

2. Kertas pH yang telah dicelupkan dicocokkan dengan pH indicator untuk mendapatkan pH perairan.

3.4.3.5. Oksigen Terlarut

Oksigen terlarut diukur dengan menggunakan DO meter Lutron YK2005WA yang penggunaanya dilakukan sesuai dengan panduan manual.

3.4.3.6. Arus

(35)

III.5. Analisis Data

Analisis data yang digunakan untuk persen tutupan adalah mengacu pada bentuk pertumbuhan karang (Lifeform) English et al., (1997). Data yang didapatkan diolah melalui program Microsoft Excel dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.

3.5.1. Persentase Tutupan Terumbu Karang

Kondisi terumbu karang diobservasi melalui pendekatan persentase tutupan karang dengan kategori kondisi dari English et al, (1997), yaitu :

L=Li n x100

Keterangan : L = Persentase tutupan karang % Li = Panjang lifeform jenis ke-i n = Panjang transek (cm)

Klasifikasi kondisi terumbu karang berdasarkan persentase penutupannya, menurut Gomez dan Yap, dalam Lalamentik 1999, sebagai berikut :

Sangat bagus : 75% - 100% Bagus : 50% - 74.9% Sedang : 25% - 49.9% Buruk : 0% - 24.9%

3.5.2. Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C) 3.5.2.1. Indeks Keanekaragaman

(36)

menggunakan persamaan sebagai berikut (Shannon dan Wiener, 1949 in Krebs,

Keterangan : H’ = Indeks keanekaragaman

Pi = Perbandingan proporsi bentuk pertumbuhan ke I (ni/N) S = Jumlah kategori bentuk pertumbuhan karang

Log 2 Pi = 3, 321928 log pi

Selanjutnya nilai indeks keanekaragaman digolongkan dalam kriteria sebagai berikut : indikator dalam menentukan dominansi dari biota bentuk pertumbuhan karang.

Indeks keseragaman (Pilou dalam Krebs, 1985) dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :

E

=

H '

H

maks

Keterangan : E = indeks keseragaman H mak = Log2 S (3, 321928 log S)

S = Jumlah kategori bentuk pertumbuhan karang

Nilai indeks keseragaman berkisar antara 0 – 1. Kriteria nilai indeks keseragaman berdasarkan kriteria adalah sebagai berikut :

(37)

E > 0,6 = Keseragaman populasi tinggi 3.5.2.3. Indeks Dominansi

Indeks dominansi berdasarkan persentase penutupan bentuk pertumbuhan karang digunakan untuk melihat tingkat dominansi kelompok biota tertentu. Persamaan yang digunakan adalah Indeks Dominansi (Simpson, 1949 in Odum, 1971) yaitu :

C=

i=1

S

(pi)2

Keterangan : C = indeks dominansi

Pi = Proporsi jumlah kategori bentuk pertumbuhan karang ke i S = Jumlah bentuk pertumbuhan karang

Nilai indeks dominansi berkisar antara 1 – 0. Semakin tinggi nilai indeks tersebut, maka akan terlihat suatu biota mendominasi. Jika nilai indeks dominansi (C) mendekati nol, maka hal ini menunjukkan pada perairan tersebut tidak ada biota yang mendominasi dan biasanya diikuti oleh nilai keseragaman (E) yang tinggi. Sebaliknya, jika nilai indeks dominansi (C) mendekati satu, maka hal ini menggambarkan pada perairan tersebut ada salah satu biota yang mendominasi dan biasanya diikuti oleh nilai keseragaman yang rendah. Adapun Kriteria nilai indeks dominansi adalah sebagai berikut :

C = 0 - 0.5 : Dominansi rendah C > 0,5 - 0.75 : Dominansi sedang C > 0,75 – 1 : Dominansi tinggi

III.6. Asumsi

Asumsi yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

(38)

2. Faktor – faktor yang tidak diukur dianggap memberikan pengaruh yang sama.

3. Ketelitian dan kemampuan peneliti dianggap sama.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1. Hasil

IV.1.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Pulau Beralas Pasir adalah salah satu pulau yang termasuk dalam wilayah perairan Desa Teluk Bakau Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Secara geografis Pulau Beralas Pasir terletak pada 104° 40' 31.8” BT dan 1° 2' 48.1"LU. Sebelah Utara berbatasan dengan Pulau Beralas Bakau, sebelah Timur berbatasan dengan Laut Cina Selatan, sebelah Barat berbatasan dengan Pulau Bintan (Desa Teluk Bakau). Jarak dari Desa Teluk Bakau ke Pulau Beralas Pasir ± 2 km dan dapat ditempuh ± 15 menit dengan menggunakan speed boat.

(39)

pulau ini memiliki tipe formasi terumbu karang tepi (fringing reef) dengan tingkat kemiringan (reef slope) < 25o.

Pulau Beralas Pasir terdapat beberapa pondok kecil yang digunakan nelayan maupun wisatawan yang berkunjung ke pulau tersebut untuk beristirahat. Pulau Beralas Pasir dimanfaatkan masyarakat sekitar sebagai tempat menangkap ikan dan sebagai salah satu spot penyelaman bagi beberapa wisatawan yang berlibur di resort - resort yang ada disekitar perairan pulau tersebut.

IV.1.2. Persentase Tutupan Komponen Biotik dan Abiotik

Persentase tutupan komponen abiotik terdiri dari karang mati dan pasir sedangkan persentase tutupan komponen biotik daerah pengamatan terdiri atas Acropora, Non Acropora dan biota lain. Persentase tutupan komponen abiotik dan

biotik dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Persentase Tutupan Komponen Biotik dan Abiotik.

Komponen Stasiun

Karang Mati (DCA) 39.22 22.10 27.00

Pasir 3.10 4.00 3.60

Lumpur 0.00 0.00 0.00

(40)

RCK 0.00 0.00 0.00

Jumlah 42.32 26.10 30.60

Persentase tutupan komponen biotik berkisar antara 57,68 – 73,90 % dimana tutupan komponen biotik tertinggi adalah Non Acropora pada stasiun II dengan tutupan sebesar 41,10 % dan persentase tutupan komponen biotik tertinggi adalah 73,90 % yang terdapat pada stasiun II.

Persentase tutupan komponen abiotik berkisar antara 26,10 – 42,32 % dimana tutupan komponen abiotik yang tetinggi adalah karang mati dengan persentase 39,22 % yang terdapat pada stasiun I dan persentase tutupan komponen abiotik tertinggi adalah 42,32 % yang terdapat pada stasiun I.

IV.1.3. Persentase Tutupan Terumbu Karang Hidup

Persentase tutupan terumbu karang hidup terdiri dari tutupan bentuk pertumbuhan (lifeform) karang yaitu Acropora branching (ACB), Acropora Digitate (ACD), Acropora Tabulate (ACT), Coral Branching (CB), Coral

Submassive (CS), Coral massive (CM), Coral Encrusting (CE), Coral Foliose

(CF), Coral Mushroom (CMR). Persentase tutupan terumbu karang hidup dapat dilihat pada Tabel 5.

(41)

tutupan terumbu karang terendah terdapat pada stasiun III dengan persentase tutupan 29,10 % yang dimana stasiun ini termasuk dalam kategori sedang dan pada stasiun I persentase tutupan terumbu karang sebesar 53,38 % termasuk dalam kategori bagus.

IV.1.4. Persentase Tutupan Terumbu Karang Mati

Persentase tutupan terumbu karang mati adalah Dead Coral Algae (DCA). Persentase tutupan terumbu karang mati dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Persentase Tutupan Terumbu Karang Mati.

Dead Sclerectania I StasiunII III

Dead Coral DC 0.00 0.00 0.00

Dead Coral with Algae DCA 39.22 22.10 27.00

Jumlah 39.22 22.10 27.00

Persentase tutupan terumbu karang mati dengan alga adalah berkisar antara 22,10 – 39,22 %. Persentase tutupan terumbu karang mati dengan alga tertinggi terdapat pada stasiun I dengan persentase 39,22 %, persentase tutupan terumbu karang mati dengan alga terendah terdapat pada stasiun II yaitu sebesar 22,10 %.

IV.1.5. Pengukuran Faktor Pembatas Pertumbuhan Terumbu Karang

Nilai rata – rata dari hasil pengukuran fakor pembatas pertumbuhan terumbu karang yang dilakukan pada setiap stasiun pengamatan disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Faktor Pembatas Pertumbuhan Terumbu Karang.

Parameter Stasiun

I II III

Kecerahan (m) 5 5 4

Kecepatan Arus (cm/detik) 20 33.33 9.1

Suhu (°C) 29 29 28

Salinitas (‰) 35 35 35

Kedalaman (m) 5 5 4

(42)

DO (ml/L) 6.8 6.8 6.8 Hasil dari data kualitas perairan pada setiap stasiun penelitian tidak terdapat perbedaan yang begitu jauh, hanya saja kecepatan arus yang memiliki perbedaan yang besar. Kualitas perairan yang terdapat di lokasi penelitian merupakan kualitas perairan yang mendukung untuk kehidupan terumbu karang.

Pengukuran faktor pembatas pertumbuhan terumbu karang seperti kecerahan yaitu 5 meter pada stasiun I dan II, 4 meter pada stasiun III, kecepatan arus tertinggi terdapat pada stasiun II yaitu 33,33 cm/detik, suhu terendah pada stasiun III dengan nilai 28o C, salinitas pada setiap stasiun sama, kedalaman rata –

rata adalah 4,66 m, pH pada setiap stasiun sama, dan DO pada setiap stasiun sama.

IV.1.6. Analisis Indeks Keanekaragaman (H’), Keseragaman (E) dan Dominansi (C)

Hasil perhitungan nilai indeks keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E), dan indeks dominansi (C) pada setiap stasiun dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Indeks Keanekaragaman (H’), Indeks Keseragaman (E) dan Indeks Dominansi (C).

Indeks Stasiun

I II III

Keanekaragaman (H') 2.23 2.18 2.03

Keseragaman (E) 0.79 0.78 0.87

(43)

1.9 1.95 2 2.05 2.1 2.15 2.2 2.25 2.3

Keanekaragaman (H')

Keanekaragaman (H')

Indeks keanekaragaman berkisar antara 2.03 - 2.23 yang menyatakan bahwa sebaran jenis karang yang terdapat di daerah ini adalah sedang. Nilai indeks keanekaragaman tertingi terdapat pada stasiun I dan yang terendah terdapat pada stasiun III. Grafik nilai indeks keanekaragaman dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Grafik indeks keanekaragaman (H’)

(44)

0.72

Gambar 4. Grafik indeks keseragaman (E)

Indeks dominansi berkisar antara 0.26 - 0.28 yang berarti tidak ada jenis karang yang mendominan. Nilai indek dominansi tertinggi terdapat pada stasiun II, dan terendah terdapat pada stasiun I. Grafik indeks dominansi dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Grafik indeks dominansi (C)

IV.2. Pembahasan

IV.2.1. Persentase Tutupan Komponen Biotik dan Abiotik

(45)

bahwa pada daerah ini masih tergolong kedalam perairan yang baik. Akan tetapi, dilihat dari hasil yang didapat bahwa persen tutupan komponen biotik tertinggi adalah 73,90 % dan persen tutupan komponen abiotik tertinggi adalah 42,32 % bukan tidak mungkin nantinya daerah perairan ini akan berubah menjadi kurang baik apabila tidak adanya kesadaran oleh masyarakat untuk menjaga kondisi sekitar perairan dan juga adanya perubahan kondisi alam.

IV.2.2. Persentase Tutupan Terumbu Karang Hidup dan Terumbu Karang Mati Ekosistem terumbu karang yang dibangun terutama oleh hewan karang yang bersifat hermatifik (mampu membentuk kerangka kapur) bersama organisme lain yang berasosiasi didalamnya yang dicirikan dengan bentuk pertumbuhan koloni yang bervariasi.

Suatu ekosistem terumbu karang dikatakan bagus kondisinya apabila persentase tutupan terumbu karang hidup pada ekosistem tersebut lebih besar dari pada persentase tutupan abiotiknya. Klasifikasi kondisi terumbu karang berdasarkan persentase penutupannya, menurut Gomez dan Yap, dalam Lalamentik 1999, bahwa pesentase tutupan terumbu karang dikatakan sangat bagus berkisar antara 75 – 100 % , persentase tutupan terumbu karang dikatakan bagus antara 50 - 74.9 %, dikatakan sedang berkisar antara 25 - 49.9 % dan dikatakan buruk apabila nilai persentasenya antara 0 - 24.9 %.

(46)

Persentase tutupan terumbu karang dengan kategori sedang terdapat pada stasiun III yang didapatkan persentase tutupannya sebesar 29,10 % ini dikarenakan adanya aktivitas nelayan yang cukup tinggi terhadap lokasi ini, seperti tempat nelayan melemparkan jangkar, mencari ikan, dll, sedangkan persentase tutupan terumbu karang dengan kategori bagus terdapat pada stasiun I dan II yang masing – masing persentase tutupannya adalah 53,38 % dan 57,60 % yang dimana di stasiun ini sedikit pengaruh dari aktivitas manusia. Perbedaan persentase tutupan terumbu karang pada setiap stasiun disebabkan karena adanya perbedaan faktor pengaruh pertumbuhan terumbu karang seperti arus, kecerahan, suhu dan lain – lain serta adanya karakteristik yang berbeda pada setiap stasiun seperti adanya aktifitas manusia dan pengaruh limbah masyarakat.

Secara umum, persentase tutupan terumbu karang di perairan Pulau Beralas Pasir ini adalah 46,69 % di mana menurut Gomez dan Yap, dalam Lalamentik (1999) daerah perairan ini termasuk kedalam kategori sedang. Hal ini menunjukan bahwa terjadi peningkatan persen tutupan terumbu karang di Pulau Beralas Pasir berdasarkan data yang didapatkan dari monitoring kesehatan terumbu karang yang dilakukan oleh CRITC-COREMAP II – LIPI pada tahun 2009 dan 2010 di mana masing – masing memiliki persentase sebesar 27,50 % dan 36,03 %. Persentase tutupan terumbu karang dari tahun 2006 – 2010 dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Persentase Tutupan Terumbu Karang di Pulau Beralas Pasir tahun 2006 – 2010.

No Lokasi Tahun Tutupan karang (%) Kategori

1 Pulau.Beralas Pasir 2006 30.17 Sedang

2 Pulau.Beralas Pasir 2007 31.12 Sedang

3 Pulau.Beralas Pasir 2008 37.07 Sedang

4 Pulau.Beralas Pasir 2009 27.50 Sedang

(47)

Sumber : data sekunder, CRITC-COREMAP II - LIPI, 2010

Persentase tutupan terumbu karang mati dengan alga (DCA) pada setiap stasiun tergolong sedang, dimana persentase tutupan tertinggi terdapat pada stasiun I yaitu sebesar 39,22 % dan yang terendah terdapat pada stasiun II yaitu 22.10 %, pada stasiun III memiliki persentase tutupan sebesar 27 %. Persentase rata - rata tutupan terumbu karang mati dengan alga di Pulau Beralas Pasir adalah 29,44 %. Penyebab utama kematian karang di Perairan Pulau Beralas Pasir dikarenakan adanya aktivitas manusia seperti penangkapan ikan oleh nelayan, yang pada saat menangkap ikan mereka melabuh jangkar ke daerah yang terdapat terumbu karang hingga menyebabkan patahan karang dan kemudian mati.

Hasil monitoring kesehatan terumbu karang yang dilakukan oleh CRITC-COREMAP II – LIPI pada tahun 2010 menunjukan bahwa persentase tutupan terumbu karang mati dengan alga (DCA) adalah 32,20 %.

IV.2.3. Pengukuran Faktor Pembatas Pertumbuhan Terumbu Karang

Siagian dalam Haiyi (2013), menyatakan bahwa faktor pembatas pertumbuhan terumbu karang adalah arus, suhu, salinitas, pH, kecerahan, kedalaman dapat mempengaruhi pertumbuhan terumbu karang. Pengukuran dilakukan pada pukul 11:00 – 16:00.

(48)

Suhu di perairan Pulau Beralas Pasir berksar antara 28 – 29o C, dimana

suhu optimal untuk pertumbuhan terumbu karang berkisar antara 18o C sampai 29o

C (Supriharyono, 2000b). Suhu merupakan faktor pembatas yang penting dalam pertumbuhan terumbu karang, karena perubahan suhu dapat mempengaruhi laju fotosintesis dan respirasi.

Salinitas pada perairan Pulau Beralas Pasir ini adalah 35 ‰, salinitas diketahui juga merupakan faktor pembatas kehidupan binatang karang. Salinitas air laut didaerah tropis adalah sekitar 35%. Pengaruh salinitas terhadap kehidupan hewan karang sangat bervariasi tergantung pada kondisi perairan laut setempat atau pengaruh alam, seperti run off, badai, hujan, sehingga salinitas akan berubah. Salinitas optimum bagi kehidupan karang berkisar antara 30-33‰ (Supriharyono, 2000a).

Cahaya sangat mempengaruhi kehidupan karang yaitu dalam proses fotosintesis oleh zooxhanthellae. Kecerahan perairan di Pulau Beralas Pasir adalah 5 meter. Hal ini menyatakan bahwa pada perairan ini memiliki perairan yang jernih dan mendekati dari data sekunder dimana berdasarkan BME Ekologi Bintan tahun 2010 bahwa kecerahan di Pulau Beralas Pasir adalah ± 6 m. Sedangkan nilai derajat keasaman (pH) perairan Pulau Beralas Pasir pada masing-masing stasiun pengamatan adalah 8 dimana perairan tersebut dikatakan basa. Nilai pH yang didapat masih tergolong baik untuk perairan dan untuk pertumbuhan terumbu karang.

(49)

didapatkan nilai dari DO (Dissolved Oxygen) adalah 6,8 mg/L hal ini menunjukan bahwa oksigen terlarut pada Pulau Beralas Pasir cukup baik.

IV.2.4. Analisis Indeks Keanekaragaman (H’) Keseragaman (E) dan Dominansi (C) Perairan Pulau Beralas Pasir berkisar antara 2,03 – 2,23 (H’ 1 – 3) yang artinya indeks keanekaragaman sedang dengan jumlah individu seragam dan tidak ada bentuk pertumbuhan yang mendominansi.

Indeks keseragaman merupakan pendugaan yang baik untuk menentukan dominansi suatu daerah. Apabila satu atau beberapa jenis melimpah dari yang lainnya, maka indeks keseragaman akan rendah. Berdasarkan dari hasil pengamatan nilai indeks keseragaman terumbu karang di perairan Pulau Beralas Pasir berkisar antara 0,78 – 0,87 (E > 0,6). Pada stasiun I nilai indeks keseragaman adalah 0.79, pada stasiun II adalah 0.78 dan pada stasiun III adalah 0.87 yang mana hasil dari pengukuran ini menyatakan bahwa keseragaman populasi terumbu karang di perairan Pulau Beralas Pasir adalah tinggi yang mana tidak ada terumbu karang tertentu yang mendominansi pada perairan ini.

(50)

0.28 dan pada stasiun III adalah sebesar 0.27. Pada setiap stasiun terlihat bahwa indeks dominansi tidak lebih dari 0,5, hal ini menunjukan bahwa pada perairan ini keseragaman terumbu karang tinggi yang berarti tidak terdapat kelompok terumbu karang yang mendominasi.

Tinggi dan rendahnya nilai indeks keanekaragaman, keseragaman dan dominansi pada lokasi penelitian dapat ditentukan berdasarkan pada persentase tutupan terumbu karang dan bentuk pertumbuhan terumbu karang yang dijumpai di lokasi penelitian.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

V.1.Kesimpulan

(51)

pertumbuhan yaitu Acropora branching (ACB), Acropora Digitate (ACD), Acropora Tabulate (ACT), Coral Branching (CB), Coral Submassive (CS), Coral

Massive (CM), Coral Enrusting (CE), Coral Foliose (CF), Coral Mushroom

(CMR).

Kondisi persentase tutupan terumbu karang telah mengalami peningkatan menjadi baik dengan perubahan dari 36,03 % yang telah dilakukan oleh CRITC-COREMAP II – LIPI pada tahun 2010 menjadi 46,69 % pada tahun 2013. Keanekaragaman jenis terumbu karang di perairan Pulau Beralas Pasir termasuk kedalam keanekaragaman yang sedang dengan keseragaman tinggi dan tidak ada bentuk pertumbuhan yang mendominansi.

V.2.Saran

(52)

DAFTAR PUSTAKA

Babcock, R. & P. Davis. 1991. Effects of Sedimentation on Settlement of Acropora Millepora. Coral Reefs 9 : 205-208.

Badan Pusat Statistik. 2012. Bintan Dalam Angka 2012. Bintan. Hal. 9.

Barus, T. A. 2004. Pengantar Limnologi Studi Tentang Ekosistem Sungai dan Danau. Program Studi Biologi. Medan : Fakultas MIPA USU.

Bikerland, C. 1997. Life and Death of Coral Reefs. International Thomson Publishing. New York, NY. 536+Xiv.

Brown, B. E. & L. S. Howard. 1985. Assessing The Effect of Stress on Reefs Corals. Adv. Mar. Biol. 22:1-63.

CRITC-COREMAP II-LIPI. 2009. Monitoring Terumbu Karang Bintan (Bintan Timur dan Pulau - Pulau Numbing). CRITC-COREMAP II Kabupaten Bintan.

Dahuri, R. 2000. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan Untuk Kesejahteraan Masyarakat. LISPI. Jakarta.

Direktorat Konservasi Dan Taman Nasional Laut. 2006. Pedoman Pelaksanaan Transplantasi Karang. DKP. 36 P.

English, C. Wilkinson dan V. Baker. 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Asustralian Institute of Marine Sciene. Townsville

English, S., C. Wilkinson dan V. Baker. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Recourses.Australian Institute of Marine Science. Townsville. Falkowski, P. G., P. L. Jokiel & R. A. Kinzie III. 1990. Irradiance and Corals. In :

Coral Reefs : Ecosystem of The World 25. Z. Dubinski (Ed), Ellsevier, Amsterdam, Pp.89-107.

Febrianto, T. 2012. Tingkat Tutupan Ekosistem Terumbu Karang di Perairan Pulau Nikoi. Skripsi Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Maritim Raja Ali Haji. Tanjung Pinang.

Haiyi, A. 2013. Kondisi Terumbu Karang di Perairan Pulau Sikuai Kota Padang Provinsi Sumatra Barat.

Hafiluddin Unijoyo (

(53)

Kimbal. J. W. 1999. Biologi. Jilid 3. Edisi V. Jakarta. Erlangga. Hlm: 898-899. Kristanto, P.

Krebs, C.J. 1972. Ecology, The Experimental Analisys of Distribution and Abudance. Harper and Row Publ. New York

Lalamentik, L, T, X. 1999. Survei Kondisi Terumbu Karang, Mangrove dan Rumput Laut di Daerah Pesisir Pantai Desa Airbuana, Kahuku, Rumbia, Minanga, Sapa dan Boyong Pante Kabupaten Minahasa – Sulawesi Utara. University of Rhode Isaland. Jakarta. 91 hal.

Muller-Parker, G. Dan C.F. D'Elia. 2001.Interaction Between Corals and Their Symbiotic Algae. Dalam: Birkeland, C. (Ed.) 2001. Life and Death of Coral Reefs. Chapman & Hall, New York.Hlm : 96 - 113.

Nyabaken, J.W. 1992. Bioligi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis (Alih Bahasa Oleh: Muh.Eidman, Koesoebiono, Dietriech G.B., M. Hutomo, S. Sukardjo). Penerbit PT. Gramedia. Jakarta. 459 Hal

Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology, 3 rd Edition. W.B. Sounders Co. Philadelphia and London. 564 P.

Romimohtarto, K. & S. Juwana. 2001.Biologi Laut : Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut.Jakarta.Djambatan.Hlm : 323, 404 - 406.

Savitri, L. A. 2000.Berkolaborasi Dalam Pengelolaan Pesisir.Bogor.Warta Konservasi Lahan Basah.Hlm : 6 - 8, 127.

Suharsono. 1996.Jenis - Jenis Karang Yang Umum Dijumpai di Perairan Indonesia.P3O - LIPI.Jakarta.2 - 13.

Supriharyono, M. S. 2000a. Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang. Djambatan. Jakarta. Hlm : X, 20 - 29.

. 2000b. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama.Jakarta.Hlm : 71 – 74.

Suwignyo, S., Widigdo, B., Wardiatno, Y., Kristanti, M., 2005.Avertebrata Air.Jilid 1.Jakarta : Penebar Swadaya.Hlm : 8 - 12.

Tanjung, A. 2013. Metoda Ekologi Muara dan Pantai. Pekanbaru. hlm. 32-42.

Tomascik, T., A. J. Mah. A., Nontji., M.K. Moosa. 1997.The Ecology of The Indonesian Seas.Part I.Singapore.Periplus Editions.Hlm : 233 - 255.

(54)

Veron, J.E.N.,J.D. Terence. 1979. Coral and Coral Communities of Lord Howe Island Part. Australian Institute of Marine Science. Townsville.

Wibisono. M. S. 2005. Pengantar Ilmu Kelautan. PT Gramedia Widiasarana

(55)
(56)

Lampiran 1. Peta lokasi penelitian dan stasiun pengamatan

(57)

Stasiun II

Stasiun III

Lampiran 3. Kondisi ekosistem terumbu karang pada masing – masing stasiun Pengamatan

Stasiun I

(58)

Coral Mushroom (CMR) Acropora Tabulate (ACT)

Other Fauna (Bulu Babi)

Peneliti

Lampiran 3 : Lanjutan Stasiun II

Acropora Digitate (ACD) Acropora Tabulate (ACT)

(59)

Coral Breanching (CB) Zoanthids (ZO)

Coral Massive (CM) Peneliti

Lampiran 3 : Lanjutan Stasiun III

(60)

Zoanthids (ZO) Other Fauna (Anemon)

Croal Massive (CM) Peneliti

Lampiran 4. Alat – alat yang digunakan selama penelitian

SCUBA set Sabak

(61)

Underwater Camera Stopwatch

Lampiran 4 : Lanjutan

GPS Secchi Disc

Hand-refractometer Current Drouge

Thermometer DO Meter Lutron YK2500W

Lampiran 5. Jenis Lifeform Terumbu Karang yang Ditemukan pada Masing-Masing Stasiun Pengamatan

Jenis Lifeform Kode St. I St. II St. III

Hard Coral (Acropora)

Branching ACB + +

-Tabulate ACT + +

-Encrusting ACE - -

-Submassive ACS - -

-Digitate ACD - +

-Hard Coral (Non Acropora)

Branching CB + + +

(62)

Encrusting CE + + +

(63)

Encrusting CE 2,30 1,00 5,30

Submassive CS 0,00 0,00 1,00

Foliose CF 16,00 9,10 12,10

Mushroom CMR 0,44 0,00 0,00

Millepora CME 0,00 0,00 0,00

Heliopora CHL 0,00 0,00 0,00

Jumlah 29,78 41,10 29,10

Dead Sclerectania

Dead Coral DC 0,00 0,00 0,00

Dead Coral with Algae DCA 39,22 22,10 27,00

Jumlah 39,22 22,10 27,00

Algae

Macro MA 0,00 0,00 0,00

Turf TA 0,00 0,00 0,00

Coraline CA 0,00 0,80 1,80

Halimeda HA 0,00 0,00 0,00

Algae Assemblage AA 0,00 0,00 0,00

Jumlah 0,00 0,80 1,80

Other Fauna

Soft Coral SC 0,00 0,00 0,00

Sponge SP 0,00 0,00 0,00

Zoanthids ZO 0,00 2,70 26,40

Others OT 4,30 12,80 12,10

(64)

Lampiran 6 : Lanjutan Abiotic

Sand S 3,10 4,00 3,60

Rubble R 0,00 0,00 0,00

Silt SI 0,00 0,00 0,00

Water W 0,00 0,00 0,00

Rock RCK 0,00 0,00 0,00

Jumlah 3,10 4,00 3,60

Komponen Stasiun

I II III

Biotik

Acropora 23,60 16,50 0,00

Non-Acropora 29,78 41,10 29,10

Biota Lain 4,30 16,30 40,30

Jumlah 57,68 73,90 69,40

Abiotik

Karang Mati 0,00 0,00 0,00

Pasir 3,10 4,00 3,60

Lumpur 0,00 0,00 0,00

W 0,00 0,00 0,00

RCK 0,00 0,00 0,00

(65)

Lampiran 7. Kategori Bentuk Pertumbuhan (Lifeform) Terumbu Karang

Kategori Kode Keterangan

Karang Batu

Dead Coral DC Baru saja mati, warna putih sampai putihkotor Dead Coral with Algae DCA Karang mati yang masih tampakbentuknya tetapi sudah ditumbuhi Algae Acropora

Branching ACB Sedikitnya 2 cabang, contoh: Acroporapalmata, Acropora formosa Encrusting ACE Biasanya berupa pelat dasar dari bentuk

Acropora

Submassive ACS Kokoh berbentuk bonggol Digitate ACD

Percabangan tidak sampai 20, contoh: Acropora humilis, Acropora digitifera, Acropora gemmifera

Tabular ACT Pelat datar seperti meja Non-Acropora

Branching CB Percabangan ± 20

Encrusting CE Sebagian besar menempel pada substrat sebagai pelat laminar

Foliose CF Karang menempel pada satu atau lebihtitik, bentuk menyerupai daun Massive CM Berbentuk bola atau batu besar

Submassive CS Membentuk kolom kecil

Others OT Ascidians, anemon, gorgonia, kima raksasa, timun laut, bulu babi, dll. Algae

Algae Algal

AA Terdiri lebih dari satu spesies Assemblage

Coraline Algae CA

Halimeda HA

Macro Algae MA Warna merah, cokelat, dll.

(66)

Lampiran 7 : Lanjutan Abiotik

Sand S Pasir

Rubble R Pecahan karang tak beraturan

Silt SI Lumpur

Water WA Celah lebih dari 50 cm

Gambar

Gambar 1. Anatomi terumbu karang (Veron, 1995).
Gambar 2.  Reproduksi Hewan Karang (Nyabaken, 1992).
Tabel 1. Klasifikasi karang menurut Veron dan Terence (1979)
Tabel 2. Alat yang digunakan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Adanya habitat penyusun ekosistem terumbu karang di daerah I (Utara Fulau Batam) lebih rendah nilai penutupan karang batunya jika dibandingkan dengan daerah I1 (Selatan

Penelitian dilakukan untuk menentukan kondisi tutupan terumbu karang dan bentuk pertumbuhan terumbu karang pada tipe substrat yang berbeda, mengukur laju

Oleh karena itu, penelitian ini akan mengkaji struktur komunitas karang dan kompoisis ikan terumbu yang terdapat pada dua lokasi yang berbeda di dua titik di

Berdasarkan hasil penelitian dari 6 stasiun pengamatan secara umum kondisi terumbu karang di perairan Pulau Tegal dan Sidodadi dikategorikan kondisi sedang..

Stasiun Angsana house reef yang memiliki tutupan terumbu karang paling baik saat pengambilan data, kematian karang karena tidak mampu untuk pulih juga cukup

Tidak ditemukan kerusakan yang serius akibat bencana tsunami terhadap ekosistem terumbu karang diperairan Pulau Weh diperkirakan berhubungan dengan tipe pantai yang pada

Berdasarkan nilai tutupan karang hidup kondisi terumbu karang pada setiap Stasiun di perairan Pulau Karammasang berada dalam kategori “rusak” sampai “sedang”

Untuk mengetahui sejauh mana dampak pencemaran minyak yang terjadi di perairan Pulau Pari terhadap ekosistem terumbu karang, menjadikan hal tersebut sebagai alasan perlunya dilakukan