• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESULTANAN KUTAI KARTANEGARA: PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONEISA. Makalah Non-Seminar

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KESULTANAN KUTAI KARTANEGARA: PERKEMBANGAN ISLAM DI INDONEISA. Makalah Non-Seminar"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

KESULTANAN KUTAI KARTANEGARA: PERKEMBANGAN ISLAM

DI INDONEISA

Makalah Non-Seminar

Oleh:

Eki Putra Wiratama 1006714374

PROGRAM STUDI ARAB

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK 2014

(2)

HALAMAN PENGESAHAN

Karya ilmiah ini diajukan oleh:

Nama : Eki Putra Wiratama

NPM : 1006714374

Program Studi : Arab

Fakultas : Ilmu Pengetahuan Budaya

JenisKarya : Makalah Non-Seminar

Nama Mata Kuliah : Latar Belakang

Judul Karya Ilmiah :Kesultanan Kutai Kartanegara: Perkembangan Islam di Indonesia

Telah disetujui oleh dosen pembimbing akademis untuk diunggah di lib.ui.ac.id/unggah dan dipublikasikan sebagai karya ilmiah sivitas akademika Universitas Indonesia.

Ditetapkan di : Depok

Tanggal : 20 Januari 2014

Mengetahui, Dosen Pembimbing

Letmiros, M.Hum., M.A. NIP: 196309061990031002

(3)

FORMULIR PERSETUJUAN PUBLIKASI NASKAH RINGKAS

Yang bertanda tangan di bawah ini

Nama : Letmiros, M.Hum., M.A.

NIP/NUP : 196309061990031002

adalah pembimbing dari mahasiswa S1

Nama : Eki Putra Wiratama

NPM : 1006714374

Fakultas : Ilmu Pengetahuan Budaya

Program Studi : Arab

Judul Naskah Ringkas: Kesultanan Kutai Kartanegara: Perkembangan Islam di Indonesia menyatakan bahwa naskah ringkas ini telah diperiksa dan disetujui untuk:

X Dapat diakses di UIANA (lib.ui.ac.id) saja. Tidak dapat diakses di UIANA karena:

Data yang digunakan berasal dari instansi tertentu yang bersifat konfidensial. Akan ditunda publikasinya mengingat akan atau sedang dalam proses pengajuan Hak Paten/Hak Cipta hingga tahun

Akan dipresentasikan sebagai makalah pada Seminar Nasional yaitu: yang diprediksi akan dipublikasikan sebagai prosiding pada bulan

tahun

Akan ditulis dalam bahasa Inggris dan dipresentasikan sebagai makalah dalam Seminar Internasional

yaitu:

yang diprediksi akan dipublikasikan sebagai prosiding pada bulan tahun

Akan diterbitkan pada jurnal Program Studi/Departemen/Fakultas di UI yaitu:

yang diprediksi akan diterbitkan pada bulan tahun Akan diterbitkan pada Jurnal Nasional yaitu:

yang diprediksi akan diterbitkan pada bulan tahun

Akan ditulis dalam bahasa Inggris untuk dipersiapkan terbit pada Jurnal Internasional yaitu:

yang diprediksi akan diterbitkan pada bulan tahun

Depok, 20 Januari 2014

(Letmiros, M.Hum., M.A.) NIP: 196309061990031002

(4)

Kesultanan Kutai Kartanegara: Perkembangan Islam di Indonesia

Eki Putra Wiratama

Program Studi Arab, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok ekiputraw@gmail.com

Abstrak

Jurnal ilmiah ini membahas mengenai penyebaran Agama Islam di Indonesia, khususnya Kesultanan Kutai Kartanegara. Metodologi yang dipakai adalah berdasarkan metode sejarah dengan tinjauan pustaka. Kesultanan Kutai Kartanegara adalah sebuah Kerajaan tertua di Indonesia. Telah eksis dari abad ke 5, dan mempunyai cerita sejarah yang panjang, nilai historis yang tinggi dan sangat mempengaruhi perkembangan Islam di Negara Indonesia. Sebelum menganut Agama Islam, kerajaan Kutai bercorak agama Hindu dan Animisme. Berkat kerja keras Para Ulama lah raja dan masyarakat Kutai Kartanegara berubah menjadi penganut Islam.

Kata kunci: Kesultanan Kutai Kartanegara; Raja Mulawarman; Tuan Ri Tiro; Tuan Bandang; Aji Sultan Muhammad Idris.

Abstract

This scientific journal/paper discusses about the spread of Islam in Indonesia, particularly in the Kingdom of Kutai Kartanegara. The methodology used in this journal is based on the historical method with literature review. The Kingdom of Kutai Kartanegara is the oldest kingdom of Indonesia. It was established on the 5th century and had a long history background along with a high historical value, therefore giving a big influence on the Islam development in Indonesia. Before embracing islam, Kingdom of Kutai had Hinduism and Animism patterns in it. The Ulemas' hard work was the reason why the king and his subjects converted to Islam.

Keywords: Kingdom of Kutai Kartanegara; King Mulawarman; Tuan Ri Tiro; Tuan Bandang; Aji Sultan Muhammad Idris.

Pendahuluan

Salah satu yang melatarbelakangi penulisan ilmiah untuk menambah wawasan Saya dalam mendalami Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia khususnya Perkembangan Islam di Kalimantan Timur yang merupakan pokok bahasan Saya. Karena ilmu bersifat universal dan tidak terikat dengan waktu, sehingga kami menyadari bahwasanya ilmu terus berkembang termasuk juga ilmu mengenai Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia.

Paparan informasi yang akurat dalam sejarah bangsa akan menentukan keberlangsungan pewarisan nilai-nilai sejarah dan budaya bangsa yang penting untuk diketahui oleh generasi penerus. Dengan demikian urgensi penulisan tentang Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia khususnya Kesultanan Kutai Kartanegara adalah untuk memaparkan proses masuk

(5)

dan penyebaran nilai-nilai Islam, kemudian berdiri dan berkembangnya kerajaan Kutai hingga keruntuhannya sebagai salah satu bahan bacaan yang penting untuk diketahui.

Masalah yang saya angkat di dalam jurnal ilmiah ini adalah latar belakang sebelum masuknya Islam di Indonesia khususnya Kalimantan Timur, asal muasal masuknya Islam, dan bagaimana proses masuknya Islam dan proses terjadinya asimilasi akan budaya Islam terhadap budaya tradisional Indonesia. Banyak versi akan perkembangan Islam di Indonesia, perdebatan-perdebatan itu yang akan di kaji dan dibahas untuk didapatkan sebuah kesimpulan mengenai perkembangan Islam di Indonesia dari sejarahnya hingga sekarang.

Tujuan dalam menulis makalah ataupun jurnal ini ada beberapa, yang pertama yaitu untuk menjadikan tokoh-tokoh penyebaran nilai-nilai Islam sebagai suri tauladan. Lalu yang kedua untuk menambah dan memperluas wawasan Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia. Yang ketiga ialah agar dapat memperdalam bahasan perkembangan Islam khususnya di Kalimantan. Yang keempat tidak kalah pentingnya yaitu untuk mempelajari proses sejarah munculnya Islam di Indonesia dan gerakan-gerakan yang mendukung hal tersebut. Lalu kemudian tujuan yang terakhir yakni untuk mengenal sosok-sosok dan peran penting dalam Sejarah Perkembangan Islam di Indonesia.

Adapun sistematika kajian makalah ini berturut-turut meliputi abstraksi dan pendahuluan diikuti dengan topik-topik proses masuk dan perkembangannya Islam di Indonesia serta topik masa kejayaan, keruntuhan, dan yang terakhir peninggalan secara berurutan.

Metodologi dan Kerangka Teori

Penulisan makalah ini disusun dengan metode penelusuran literatur. Berbagai referensi atau pustaka sejarah menjadi acuan dan bahan analisis. Metode penulisan yang digunakan adalah: Metode Historis

.

Historis/Sejarah adalah studi tentang masa lalu dengan menggunakan paparan dan penjelasan. Metode Historis adalah metode yang bertujuan untuk merekonstruksi masa lalu secara sistematis dan obyektif dengan mengumpulkan, menilai, memverifikasi, dan mensintesis bukti (dalam hal ini: buku) untuk menetapkan fakta dan mencapai kesimpulan yang dapat dipertahankan dan dalam hubungan hipotesis tertentu. Lalu sumber yang penulis gunakan yakni 2 buku pokok bahasan, dan internet sebagai penunjang.

Agar penulisan ini tidak melebar dari topik, maka penulis melakukan pembatasan penulisan dari segi waktu dan tempat. Secara waktu, topik dibatasi dari masa Kerajaan Kutai sebelum

(6)

masuknya Islam hingga masa kemundurannya. Masa Kutai Kartanegara sebelum Islam tidak disinggung terlalu banyak mengingat yang menjadi inti penulisan adalah kerajaan Islamnya. Sedangkan secara tempat, topik dibatasi oleh wilayah kekuasaan Kesultanan Kutai Kartanegara sebelum dan setelah masuknya Islam, pada masa lampau baik sebelum ataupun setelah masuknya Islam tentunya berbeda dengan wilayah kekuasaan Kesultanan Kutai yang sekarang.

Pembahasan

a. Letak Geografis

Letak Geografis Kesultanan Kutai Kartanegara tepatnya di Pulau Kalimantan bagian timur. Wilayah Kesultanan ini berada di sepanjang aliran Sungai Mahakam yang melintang dari barat ke timur hingga Teluk Balikpapan di bagian selatan akan tetapi memiliki pusat kekuatan di Muara Sungai. Wilayah utara Kesultanan Kutai Kartanegara berbatasan dengan Kerajaan Bulungan dan Kerajaan Tidung.1

Kini Kesultanan Kutai Kartanegara berada di Provinsi Kalimantan Timur. Luas wilayahnya kini berada di 6 kabupaten/kotamadya di Kalimantan Timur, Yaitu: Kotamadya Balikpapan, Kotamadya Samarinda, Kotamadya Bontang, Kab. Kutai Kartanegara, Kab. Kutai Barat, dan Kab. Kutai Timur. Ibukota Kesultanan ini, Tenggarong kini berada di Kecamatan Tenggarong, Kabupaten Kutai Kartanegara. Luas dari wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara hingga tahun 1959 adalah seluas 94.700 km2.2

b. Berdirinya Kerajaan

Melihat dari sejarah-sejarah Indonesia kuno, Kerajaan Kutai adalah kerajaan tertua di Indonesia. Setelah dipelajari, hal ini terbukti dengan ditemukannya 7 buah prasasti. 7 buah prasasti tersebut dituliskan di atas tugu batu bernama Yupa, dan dituliskan dalam bahasa Sansekerta dengan menggunakan huruf Pallawa. Menurut Paleografi, atau ilmu yang mempelajari bentuk tulisan kuno, prasasti-prasasti tertulis ini diperkirakan sudah ada sejak awal abad ke-5 Masehi.3

Dari prasasti-prasasti tersebut dapat diketahui bahwa sebuah Kerajaan yang sudah eksis di abad ke-5 ini pertama kali dimpimpin oleh Sang Raja Mulawarman, seorang putera dari Raja

1

Syaukani HR, Kerajaan Kutai Kertanegara, Kutai: Pulau Kumala, 2002, hlm. 4. 2

Ibid., hlm 7. 3

(7)

Aswawarman, juga seorang cucu dari Maharaja Kudungga. Pemimpin Kerajaan, Mulawarman, menamakan Kerajaan ini dengan sebutan Kerajaan Kutai Martadipura. Kerajaan ini diketahui dipimpin oleh Raja Mulawarman karena dari salah satu tulisan yang terdapat di prasasti tersebut, tertulis bahwa pemimpin Kerajaan pada saat itu adalah Mulawarman, nama Mulawarman ditulis di Yupa atas kedermawanannya menyedekahkan 20.000 ekor sapi kepada kaum Brahmana, yaitu kaum-kaum pendeta atau orang-orang yang mengerti tentang Agama dalam ajaran Hindu. Jadi, atas kebaikan Raja Mulawarman kaum Brahmana menuliskan namanya di atas tugu batu bernama Yupa. 4 Kerajaan Kutai Martadipura letaknya sangat strategis, karena berada pada jalur perdagangan antara Cina dan India. Sehingga menunjang perkembangan ekonomi Kerajaan ini, dan menjadi pintu masuknya Agama Islam. Kerajaan ini terletak di tepi sungai Mahakam di Muarakaman, Kalimantan Timur dekat dengan kota Tenggarong.5

Dahulu terdapat dua Kerajaan, yaitu Kerajaan Kutai Martadipura yang mempunyai basis kekuatan di hulu Sungai Mahakam, dan yang kedua yaitu Kerajaan Kutai Kartanegara, yang mempunyai basis di muara Sungai Mahakam, Tepian Batu, Kutai Lama. Pemimpin pada saat itu Kerajaan Kutai Kartanegara adalah Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325). Terjadilah konflik antara kedua Kerajaan ini yang disebabkan oleh proses asimilasi yang gagal.6Konflik inilah yang menjadi pemicu perang antar kedua Kerajaan ini. Kekalahan pun harus diterima di pihak Kerajaan Kutai Martadipura. Sebagai pihak yang menang dalam perang, Kerajaan Kutai Kartanegara menggabungkan Kerajaannya dengan Kerajaan Kutai Martadipura. Lalu kemudian Aji Batara Agung Dewa Sakti mengubah nama Kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara ing Martadipura. Uniknya Kerajaan Kutai yang baru, mengumumkan bahwa Kutai Martadipura bukanlah sebuah jajahan dari Kerajaan Kutai Kartanegara, melainkan juga bagian dari Kerajaannya yang memiliki satu visi, misi dan pemikiran.7 Sekedar informasi sejak masa kepemimpinan Raja Aji Batara Agung Dewa Sakti, Kerajaan ini memiliki hubungan dengan Kerajaan Majapahit, karena Raja-Raja pada masa itu sering mengadakan perjalanan ke Kerajaan Majapahit. Hal ini membuktikan bahwa Kerajaan Kutai Kartanegara pada tahun 1380 masih menganut Agama Hindu atau juga masih bercorak

4

Ibid., hlm 3-6. 5

Syaukani HR, Kerajaan Kutai Kertanegara, Kutai: Pulau Kumala, 2002, hlm. 10. 6

Drs. BambangSuwondo dkk, Sejarah Daerah Kalimantan Timur, Jakarta: Depdiknud, hlm. 7. 7

(8)

Animisme (Sebuah kepercayaan kepada Roh yang mendiami semua benda, contoh: pohon, batu, sungai, gunung, dsb) dan belum masuknya Agama Islam.8

Aji Batara Agung Dewa Sakti memimpin hingga tahun 1320 M. Setelah itu Ia meninggal, lalu pemimpin Kerajaan Kutai Kartanegara selanjutnya adalah Aji Batara Agung Paduka Nira (1320-1370 M). Aji Batara Agung Nira diceritakan mempunyai 7 orang anak, 5 laki-laki dan 2 perempuan. Dari kelima anak laki-laki tersebut, hanya dua orang saja yang tampak paling menonjol atau berkualitas memimpin kerajaan dibandingkan dengan para saudaranya, yaitu Maharaja Sakti (anak sulung) dan Maharaja Sultan (anak kelima).9

Ketika Aji Batara Agung Paduka Nira meninggal, tampuk kepemimpinan Kerajaan Kutai Kartanegara tidak diserahkan kepada putra sulungnya, Maharaja Sakti, akan tetapi jatuh ke tangan Maharaja Sultan. Keputusan untuk menempatkan Maharaja Sultan sebagai pewaris tahta memang menjadi keputusan bersama di antara ketujuh bersaudara tersebut. Di sisi lain, para saudara Maharaja Sultan tetap mendampingi sebagai menteri, jadi tidak ada perselisihan disana.10Maharaja Sultan memimpin di Kerajaan Kutai Kartanegara antara tahun 1370-1420 Masehi. Pada masa pemerintahan Maharaja Sultan dijalin hubungan yang erat dengan Kerajaan Majapahit di Jawa. Salah satu bentuk hubungan tersebut adalah kunjungan Maharaja Sultan bersama dengan Maharaja Sakti ke Kerajaan Majapahit untuk belajar tentang adat istiadat dan tatacara pemerintahan.11

Kerajaan Majapahit yang waktu itu diperintah oleh Hayam Wuruk menyambut baik kedatangan Maharaja Sultan dan Maharaja Sakti. Kedua putra Borneo ini kemudian diperlakukan layaknya tamu dan diajarkan tentang adat istiadat dan tatacara mengelola sebuah pemerintahan kerajaan. Setelah selesai menimba ilmu di Kerajaan Majapahit, dua saudara kandung ini kembali ke Kerajaan Kutai Kartanegara untuk mengaplikasikan ilmu yang didapatkan dari Kerajaan Majapahit.12Interaksi antara dua kerajaan tersebut berujung pada hubungan saling mempengaruhi. Di satu sisi Kerajaan Kutai Kartanegara mendapat pengaruh Hindu dari Kerajaan Majapahit. Di sisi lain, Kerajaan Majapahit mendapatkan tempat tersendiri di Kerajaan Kutai Kartanegara, yaitu kedudukan Majapahit sebagai negara induk, sedangkan Kerajaan Kutai Kartanegara adalah negara taklukan. Sebagai cara untuk

8 Ibid. 9

Syaukani HR, Kerajaan Kutai Kertanegara, Kutai: Pulau Kumala, 2002, hlm. 9. 10 Ibid., hlm 9. 11 Ibid., hlm 9-10. 12 Ibid.

(9)

mempertegas pengakuan tersebut, maka Kerajaan Majapahit menempatkan seorang patih sebagai representasi pengakuan kekuasaan di Kerajaan Kutai Kartanegara.13

c. Masuknya Islam ke Kesultanan Kutai Kartanegara

Ajaran Islam dibawa masuk ke Kerajaan Kutai pada akhir abad ke-16 oleh Tuan Ri Tiro Pararang dari Aceh dan Tuan Ri Bandang, seorang Ulama dari Minangkabau. Kedatangan mereka menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan pejabat kerajaan, apakah kedua orang ini datang untuk menaklukkan Kutai atau punya maksud tujuan lain. Setelah mengetahui maksud tujuan kedua Ulama ini, ajakan ini ditolak oleh Aji Raja Mahkota dengan alasan bahwa Agama Negara di Kerajaan Kutai Kartanegara adalah Hindu, langkah diplomasi kedua ulama ini untuk mengajak Aji Raja Mahkota ditolak oleh sang Raja. Bahkan karena langkah diplomasi buntu, Tuan Ri Bandang akhirnya memutuskan kembali ke Makassar dan meninggalkan Ri Tiro Pararang di Kerajaan Kutai Kartanegara. Walau sendirian, Tuan Ri Tiro Pararang tetap mengajak Raja Makota untuk memeluk Islam, akan tetapi Ia terus mendapat penolakan dari Raja Makota. Kemudian, Sebagai jalan akhir, Tuan Ri Tiro Pararang menawarkan solusi kepada Aji Raja Mahkota untuk beradu ilmu dengan taruhan apabila Ia kalah maka Sang Raja harus memeluk Agama Islam. Benar saja, adu ilmu itu dimenangkan oleh Tuan Ri Tiro.14

Menyadari kekalahannya, Raja Makota meminta penundaan untuk memeluk Islam sampai ia menghabiskan dan menikmati semua babi yang dipeliharanya dulu, yang disanggupi Tuan Ri Tiro. Sementara itu Tuan Ri Tiro meminta kepada Raja Makota untuk dibangun sebuah langgar, yang juga disanggupi oleh Sang Raja. Setelah langgar tersebut selesai dibangun dan Raja Makota telah menghabiskan semua babinya, di hadapan rakyat Kutai dan pejabat Kerajaan, Raja Makota mengucapkan dua kalimat syahadat dan Kerajaan Kutai Kartanegara Menjadi Kerajaan Islam. Sistem Kerajaan sudah berubah menjadi Kesultanan pada saat zaman ini karena masuknya Islam. Setelah mengislamkan Ibukota Kutai Kartanegara, kedua ulama ini menyebarkan Islam di wilayah-wilayah Kutai yang lain. 15

Pada abad ke-17 Agama Islam mulai diterima dengan baik oleh Kerajaan Kutai Kartanegara dan rakyat-rakyatnya. Sebagian rakyat kecil yang masih memilih untuk memeluk agama Hindu kemudian tersisih dan berangsur-angsur pindah ke daerah pinggiran Kerajaan.

13 Ibid. 14

M. Nasir dkk, Perkembangan Islam di Kalimantan Timur; Samarinda: STAIN, 2004, hlm. 49-50. 15

(10)

Kemudian pengaruh Islam berikutnya yaitu sudah mulai banyak nama-nama Islami yang akhirnya digunakan pada nama-nama Raja dan keluarga Kerajaan Kutai Kartanegara. 16

d. Ulama Penyebar Islam di Kutai Kartanegara  Tuan Ri Tiro

Nama aslinya Sang Ulama adalah Syekh Abdul Jawad Khatib Bungsu, akan tetapi lebih terkenal dengan sebutan Tuan Ri Tiro. Ulama ini berasal dari Aceh, Sumatera Utara. Bersama temannya Tuan Ri Bandang, Mereka berniat meng-Islam-kan Kerajaan Kutai Kartanegara, yaitu dengan cara meng-Islam-kan Raja Kutai yang memimpin pada saat itu. Setelah berhasil meng-Islam-kan Raja Kutai Kartanegara dan masyarakat Kutai, beliau menetap sebentar di Kutai lalu melanjutkan dakwahnya ke daereah lain. Selama hidupnya di Kutai, beliau mendirikan banyak mesjid bersama masyarakat Kutai.17

Sang Ulama Tuan Ri Tiro juga dikenal dengan sebutan Tuan Tunggang Parangan. Mengapa? Karena menurut cerita legenda masyarakat Kutai, Tuan Ri Tiro dan Tuan Ri Bandang datang ke Kutai dengan menunggang hiu parangan. Sontak kedatangan keduanya membuat ramai masyarakat Kutai yang menyaksikan kedatangannya dengan cara yang luar biasa, hal itupun menjadi buah bibir pembicaraan masyarakat Kutai pada saat itu.18

 Tuan Ri Bandang

Sang Ulama yang kedua memiliki nama asli Syekh Abdul Qadir Khatib. Ulama ini berasal dari dareah Minangkabau. Beliau membantu Tuan Tunggang Parangan meng-Islam-kan Kutai dan daerah-daerah lain di Kalimantan. Setelah membantu Tuan Tunggang Parangan meng-Islam-kan Kutai, Sang Ulama melanjutkan dakwahnya seorang diri ke Gowa. Namun ada juga yang menceritakan Ulama ini, Tuan Ri Bandang balik ke daerah Makassar.19

e. Nama-Nama Raja Kesultanan Kutai Kartanegara

Kesultanan Kutai Kartanegara Sejak Awal berdirinya hingga saat ini diperintah oleh 23 sultan yang memerintah dari tahun 1380-1960 dan dilanjutkan kembali sejak 2001. Berikut ini merupakan urutan sultan-sultan Kutai Kartanegara menurut Drs. H. Ahmad Dahlan beserta masa pemerintahannya. Yang pertama berkuasa Ialah Sang Raja Aji Batara Agung Dewa Sakti, dan berkuasa pada tahun 1380 sampai 1410 Masehi. Lalu dilanjutkan oleh Anaknya

16 Ibid. 17 Ibid., hlm 76. 18 Ibid. 19 Ibid., hlm 78.

(11)

Raja Aji Batara Agung Paduka Nira pada tahun 1410 sampai 1450. Setelah Sang Raja Meninggal, Aji Batara Agung Paduka Nira mempunya 7 anak, 2 diantaranya menonjol untuk meneruskan kepemimpinan Sang Ayah, yaitu Maharaja Sakti anak sulungnya, dan Maharaja Sultan anak ke lima, akan tetapi dengan kesepakatan bersama, Mahara Sultan lah yang meneruskan kepemimpinan Ayahnya dari tahun 1450-1474. Lalu sepeninggalan Maharaja Sultan, diteruskan dengan Raja Mandarsyah pada tahun 1474-1525. Setelah itu Kesultanan Kutai Kartanegara dipimpin oleh puteranya yaitu Pangeran Tumenggung Baya-baya yang memimpin dari tahun 1525-1575 Masehi. Selanjutnya Raja Makota lah yang meneruskan kepemimpinan kesultanan ini, memegang peran penting dari tahun 1575-1610 Masehi. Lalu Sang Raja Aji Di Langgar menjadi Raja yang memimpin pada tahun 1610-1635. Aji Di Langgar memiliki beberapa putera atau biasa disebut pangeran, salah satunya Pangeran Sinum Panji Mendapa yang juga meneruskan kepemimpinan Kesultanan ini pada tahun 1635-1650. Sepeninggalan Pangeran Sinum Panji Mendapa, dilanjutkan oleh Pangeran yang lain yaitu Pangeran Dipati Agung Ing Martapura pada tahun 1650-1665. Lalu Pangeran lainnya, Pangeran Dipati Maja Kusuma ing Martapura juga ikut meneruskan kepemimpinan pada tahun 1665-1701. 20

Lalu pada Tahun 1701an Kesultanan Kutai Kartanegara di pimpin oleh Sang Raja Aji Ragi gelar Ratu Agung sampai tahun 1715. Lalu dilanjutkan oleh anak-anaknya, yang pertama bernama Pangeran Dipatu Tua Ing Martapura memimpin pada tahun 1715-1745 Masehi. Dilanjutkan oleh Pangeran yang kedua, Pangeran Anum Panji Mendapa Ing Martapura pada tahun 1745-1755. Pada Abad ke 17an, pengaruh Islam mulai masuk, dan nama-nama pemimpin kesultanan ini mulai memakai nama atau gelar Sultan, misalnya saja pada tahun 1755-1778 Masehi, dipimpin oleh Sultan Aji Muhammad Idris. Setelah itu nama Sultan kembali menghiasi kepemimpinan Kesultanan ini, yaitu Sultan Aji Muhammad Aliyeddin pada tahun 1778-1780, memang sangat sebentar Sultan Aji Muhammad Aliyeddin memimpin karena langsung diteruskan oleh Sultan Aji Muhammad Muslihuddin dari tahun 1780 sampai 1816. Setelah itu Sultan Aji Muhammad Salehuddin meneruskannya pada tahun 1816-1845 Masehi. Lalu pada tahun 1845-1850 sempat dipimpin hanya oleh dewan perwalian. Barulah pada tahun 1850-1899 kembali dipimpin oleh 1 orang, yaitu Sultan Aji Muhammad Sulaiman dan diteruskan oleh Sultan Aji Muhammad Alimuddin pada tahun 1899-1910. Selanjutnya belum jelas pada tahun 1910-1920 dipimpin oleh Pangeran Mangku Negoro atau kembali dipimpin Dewan perwalian. Yang terakhir yaitu Sultan Aji Muhammad Parikesit pada tahun

20

(12)

1920-1960. Lalu kursi kepemimpinan sempat kosong sampai tahun 2001, dan Kesultanan Kutai Kartanegara sempat tidak eksis, namun kembali eksis dan dilanjutkan oleh H. Aji Muhammad Salehuddin II.21

Berikut adalah silsilah raja-raja Kesultanan Kutai Kartanegara:  Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325)

 Aji Batara Agung Paduka Nira (1325-1360)  Aji Maharaja Sultan (1360-1420)

 Aji Raja Mandarsyah (1420-1475)

 Aji Pangeran Tumenggung Bayabaya (1475-1545)  Aji Raja Mahkota Mulia Alam (1545-1610)  Aji Dilanggar (1610-1635)

 Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa ing Martapura (1635-1650)  Aji pangeran Dipati Agung ing Martapura (1650-1665)

 Aji Pangeran Dipati Maja Kusuma ing Martapura (1665-1686)  Aji Ragi Gelar Ratu Agung (1686-1700)

 Aji Pangeran Dipati Tua (1700-1710)

 Aji Pangeran Anum Panji Mendapa ing Martapura (1710-1735)  Aji Muhammad Idris (1735-1778)

 Aji Muhammad Aliyeddin (1778-1780)  Aji Muhammad Muslihuddin (1780-1816)  Aji Muhammad Salehuddin (1816-1845)  Aji Muhammad Sulaiman (1850-1899)  Aji Muhammad Alimuddin (1899-1910)  Aji Muhammad Parikesit (1920-1960)

 Haji Aji Muhammad Salehuddin (1999-sekarang)22

21 Ibid. 22

(13)

f. Pengertian Nama Gelar di Kesultanan Kutai Kartanegara

Dalam Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, gelar kebangsawanan yang digunakan oleh keluarga kerajaan adalah Aji. Gelar Aji diletakkan didepan nama anggota keluarga kerajaan. Dalam gelar kebangsawanan Kutai Kartanegara dikenal penggunaan gelar sebagai berikut:

Aji Sultan

Digunakan untuk penyebutan nama Sultan bagi kerabat kerajaan  Aji Ratu

Gelar yang diberikan bagi permaisuri Sultan  Aji Pangeran

Gelar bagi putera Sultan.  Aji Puteri

Gelar bagi puteri Sultan. Gelar Aji Puteri setara dengan Aji Pangeran.  Aji Raden

Gelar yang setingkat diatas Aji Bambang.

Gelar ini diberikan oleh Sultan hanya kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji Bambang.

Aji Bambang

Gelar yang setingkat lebih tinggi dari Aji.

Gelar ini hanya dapat diberikan oleh Sultan kepada pria bangsawan Kutai yang sebelumnya menyandang gelar Aji saja.

Aji

Gelar bagi keturunan bangsawan Kutai. Gelar Aji hanya dapat diturunkan oleh pria bangsawan Kutai.

Wanita Aji yang menikah dengan pria biasa tidak dapat menurunkan gelar Aji kepada anak-anaknya.

Jika pria Aji menikah dengan wanita dari kalangan bangsawan Kutai sendiri atau dari kalangan rakyat biasa maupun suku lain, maka putra-putrinya berhak menyandang gelar Aji. Namun jika wanita Aji menikah dengan pria yang bukan keturunan bangsawan Kutai, maka putra-putrinya tidak dapat memperoleh gelar Aji, kecuali jika wanita Aji tersebut menikah dengan bangsawan keturunan Arab (Sayid).

(14)

Jika wanita Aji menikah dengan keturunan Arab (Sayid), maka putra gelar sebagai berikut:

Aji Sayid

Gelar ini diturunkan kepada putera dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.

Aji Syarifah

Gelar ini diturunkan kepada puteri dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan Arab.

Gelar Aji Sayid maupun Aji Syarifah tetap setara dengan gelar Aji biasa. Artinya gelar ini tetap dibawah Aji Bambang maupun Aji Raden.

Gambar f

g. Pasca Masuknya Islam

Setelah Islam sudah sangat berpengaruh pada sistem pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, Indikator atau penanda yang saya lihat disini adalah dari pemakaian Undang-Undang Dasar kerajaan yang dikenal dengan nama “Panji Salaten” yang terdiri dari 39 pasal dan juga memuat sebuah kitab peraturan yang bernama “Undang

23 http://kesultanan.kutaikartanegara.com Januari 2014 24 http://www.wikimu.com/News/Print.aspx?id=17871

Jika wanita Aji menikah dengan keturunan Arab (Sayid), maka putra-putrinya memperoleh

Gelar ini diturunkan kepada putera dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan

Gelar ini diturunkan kepada puteri dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan

Syarifah tetap setara dengan gelar Aji biasa. Artinya gelar ini ah Aji Bambang maupun Aji Raden.23

Gambar f.1 Singgasana Sultan Kutai Kartanegara24

Setelah Islam sudah sangat berpengaruh pada sistem pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, Indikator atau penanda yang saya lihat disini adalah dari Undang Dasar kerajaan yang dikenal dengan nama “Panji Salaten” yang diri dari 39 pasal dan juga memuat sebuah kitab peraturan yang bernama “Undang

http://kesultanan.kutaikartanegara.com.Sejarah Kesultanan Kutai Kartanegara.Di akses pada tanggal 2

http://www.wikimu.com/News/Print.aspx?id=17871. Diakses pada tanggal 18 Januari 2014

putrinya memperoleh

Gelar ini diturunkan kepada putera dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan

Gelar ini diturunkan kepada puteri dari wanita Aji yang menikah dengan pria keturunan

Syarifah tetap setara dengan gelar Aji biasa. Artinya gelar ini

Setelah Islam sudah sangat berpengaruh pada sistem pemerintahan Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, Indikator atau penanda yang saya lihat disini adalah dari Undang Dasar kerajaan yang dikenal dengan nama “Panji Salaten” yang diri dari 39 pasal dan juga memuat sebuah kitab peraturan yang bernama “Undang-Undang

(15)

Beraja Nanti” yang terdapat 164 pasal peraturan. Nah kedua undang-undang tersebut berisi tentang peraturan yang disandarkan pada Hukum Islam.25

Pemimpin pertama yang memakai gelar “sultan” adalah Aji Sultan Muhammad Idris. Beliau merupakan menantu dari Sultan Wajo La Madukelleng, seorang bangsawan Bugis di Sulawesi Selatan. Pada saat rakyat Bugis di Sulawesi Selatan sedang berperang melawan VOC (Vereenidge Oost Indische Compagnie), Sultan Wajo La Madukelleng meminta bantuan Aji Sultan Muhammad Idris. Lalu permintaan bantuan pun dipenuhi oleh Aji Sultan Muhammad Idris, berangkatlah rombongan pasukan Aji Sultan Muhammad Idris ke Sulawesi Selatan untuk membantu rakyat Bugis dan Wajo La Madukelleng memerangi VOC. Namun, dalam upaya memberikan bantuan tersebut, Aji Sultan Muhammad Idris meninggal dunia.26

Selama kepergian Aji Sultan Muhammad Idris ke Sulawesi, kursi Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura dipegang oleh dewan perwalian. Tetapi ketika Aji Sultan Muhammad Idris meninggal dunia dalam pertempuran di Sulawesi, timbulah perebutan tahta tentang pergantian Sultan. Perebutan tahta terjadi antara kedua anak Aji Sultan Muhammad Idris, yaitu Putera Mahkota Aji Imbut dan Aji Kado. Lalu pada awal perebutan tahta, Aji Imbut terdesak oleh Aji Kado dan lari ke Sulawesi, ke tanah kakeknya, yaitu Sultan Wajo La Madukelleng. Disana Aji Imbut kembali menggalang kekuatan untuk kembali menyerang Aji Kado yang kini menduduki Ibukota Kesultanan Kutai Kartanegara yang terletak di pemarangan. Aji Imbut akhirnya menyerang Aji Kado di pemarangan. Didukung oleh orang-orang Wajo dan Bugis, Aji Imbut berhasil mengalahkan Aji Kado dan menduduki singgasana Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura dengan gelar Aji Marhum Muhammad Mushlihuddin (1739-1782). Sedangkan Aji Kado dihukum mati dan dimakamkan di Pulau Jembayan.27

h. Masa Keemasan

Masa kejayaan atau biasa disebut zaman keemasan Kesultanan Kutai ialah pada masa pemerintahan atau kepemimpinan Sultan Muhammad Muslihuddin (1739-1782) dan pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Salihuddin (1782-1850). Mengapa pada masa itu bisa disebut sebagai masa keemasan Sultan Kartanegara? Karena pada masa itu, Kesultanan Kutai Kartanegara tampil sebagai sebuah daerah maritim yang besar dan kuat. Sebuah kerajaan yang memiliki armada pelayaran yang cukup maju pada masa itu, lalu selain itu daerah maritim ini juga meramaikan bahkan menguasai perdagangan laut. Hasil bumi yang dihasilkan dari

25

M. Nasir dkk, Perkembangan Islam di Kalimantan Timur; Samarinda: STAIN, 2004, hlm. 101. 26

Ibid. 27

(16)

daerah kekuasaan Kesultanan Kutai sangat banyak, terutama rempah-rempah. Kopi dan kopra terkenal sebagai rempah-rempah terbaik mereka. Sedangkan barang-barang yang masuk ke daerah Kutai Kartanegara yaitu sutra, porselin, dan lain-lain. Para petani semangat untuk bercocok tanam untuk memasok pedagang dari Kutai, para pedagang dari daerah Kesultanan Kutai ini sangat aktif berlayar di kepulauan Nusantara, bahkan sampai ke Singapura, Filipina, dan juga Cina. Hal ini tentunya didukung oleh daerah Kesultanan yang sangat strategis untuk sebuah pasar besar. Seperti yang kita ketahui letak Kesultanan Kutai berada pada jalur perdagangan Cina dan India, sehingga menunjang perkembangan ekonomi Kesultanan dan menjadikannya pada masa itu sebagai masa keemasan.28

i. Masa Keruntuhan

Masa keruntuhan atau mundurnya Kerajaan Kutai diawali dengan kontaknya dengan dua bangsa Eropa pada tahun 1844, ketika kapal Inggris dibawah pimpinan Erskine Murray datang ke wilyah ini. Rakyat Kutai merasa tidak senang dengan kesombongan orang-orang Inggris tersebut, sehingga rakyat Kutai melakukan perlawanan terhadap orang-orang Inggris. Dalam perlawanan itu rakyat Kutai mencapai kemenangan, bahkan Erskine Murray mati terbunuh dalam peristiwa ini.29

Ketika Belanda datang dari Makassar dan menyerang Tenggarong yang merupakan sebagai pusat Kesultanan Kutai, tidak seperti sebelumnya akhirnya dapat dikuasai oleh bangsa Eropa. Tenggarong berhasil dihancurkan Belanda pada tahun 1844. Sultan Muhammad Salihuddin terpaksa melakukan perjanjian damai, yang dikenal dengan perjanjian “Tepian Pandat Traktat”. Perjanjian ini merupakan akhir dari kemerdekaan Kutai, karena setelah perjanjian tersebut berarti otomatis Kesultanan Kutai tunduk dibawah residen Belanda.30 j. Peninggalan

Peninggalan sejarah yang membuktikan Kerajaan Kutai adalah Kerajaan Hindu pertama adalah ditemukannya prasasti berbentuk Yupa menggunakan bahasa sanskerta dan huruf Pallawa (Yupa adalah tiang batu pengikat hewan korban untuk dipersembahakan kepada dewa.) Beberapa ini adalah peninggalan kerajaan Kutai; yang pertama tujuh buah Yupa yang ditemukan di daerah sekitar Muarakaman, lalu yang kedua yaitu kalung Cina yang terbuat dari emas, yang ketiga yaitu satu arca bulus dan yang terakhir yaitu dua belas arca batu. Namun selain itu, peninggalan-peninggalan setelah masuknya Islam yaitu, masjid-masjid dan

28

Syaukani HR, Kerajaan Kutai Kertanegara, Kutai: Pulau Kumala, 2002, hlm. 89-93. 29

Ibid., hlm 96. 30

(17)

Keraton Kesultanan yang dibangun pada masa Sultan A.M. Alimuddin, lalu Keraton Kesultanan Kutai pada masa pemerintahan Sultan A.M. Parikesit, dan yang terakhir Istana baru Kesultanan Kutai yang dibangun Pemkab Kutai pada tahun 2001.31

Penutup

Sebelum hadirnya Islam, wilayah Kalimantan, khususnya Kalimantan Timur yang meliputi 6 kabupaten/kotamadya, Yaitu: Kotamadya Balikpapan, Kotamadya Samarinda, Kotamadya Bontang, Kab. Kutai Kartanegara, Kab. Kutai Barat, dan Kab. Kutai Timur berada di bawah kekuasaan Kerajaan Kutai Martadipura dan Kutai Kartanegara yang bercorak kental Hindu-Budha. Corak Hindu-Budha ini tidak lain dan tidak bukan karena andil alih dari Kerajaan Majapahit di Jawa. Karena, Setelah Kerajaan Kutai Martadipura dan Kutai Kartanegara bergabung (setelah selesei perang saudara) menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura, Kerajaan tersebut mempunyai hubungan yang sangat baik terhadap Kerajaan Majapahit. Lalu kemudian datanglah Islam, hadir di Kalimantan Timur pada abad ke 16 dan diajarkan oleh 2 orang ulama dari Aceh dan Minangkabau yang sudah melakukan perjalanan jauh mengelilingi Indonesia untuk mengislamkan, sebelum ke daereah Kalimantan Timur, beliau-beliau ini baru saja mengislamkan daerah Makassar. Dakwahnya tersebut yaitu dengan cara meng-Islam-kan Raja Kutai yang memimpin pada saat itu. Mendapat perhatian besar dari rakyat Kutai karena datang dari Makassar dengan cara yang tidak mainstream yaitu dengan cara menunggangi Hiu. Kedua orang itulah beserta Raja-Raja penganut Islam yang merupakan cikal bakal dari perkembangan Kesultanan Kutai. Lalu setelah Islam sudah sangat berpengaruh pada sistem pemerintahan Kesultanan Kutai (dilihat dari semua peraturan yang bersandar pada hukum Islam) dan diterima hampir seluruh rakyatnya, serta gelar-gelar Raja sudah berganti menjadi Sultan, daerah Makassar dan sekitarnya di serang oleh Belanda. Oleh karena itu, Aji Sultan Muhammad Idris sebagai Raja pertama yang memegang gelar Sultan membantu Sultan Wajo La Madukelleng di Makassar yang tidak lain adalah Mertuanya. Namun sayangnya, dalam usaha mengusir Belanda, Aji Sultan Muhammad Idris gugur dalam peperangan. Setelah terjadi perebutan kekuasaan oleh kedua anaknya, walau sempat tertekan, Aji Imbut dengan gelar Aji Marhum Muhammad Mushlihuddin (1739-1782) memegang kendali penuh kekuasaan. Dalam genggamannya Aji Marhum Muhammad Mushlihuddin, Kesultanan Kutai Kartanegara mencapai masa puncaknya dan masa keemasannya. Sebuah kerajaan yang memiliki armada pelayaran yang cukup maju pada masa itu, lalu selain itu

31

(18)

daerah maritim ini juga meramaikan bahkan menguasai perdagangan laut. Namun ketika Belanda datang dari Makassar dan menyerang Tenggarong yang merupakan sebagai pusat Kesultanan Kutai, Sultan Muhammad Salihuddin (Anak dari Aji Marhum Muhammad Mushlihuddin) terpaksa melakukan perjanjian damai, yang dikenal dengan perjanjian “Tepian Pandat Traktat”. Perjanjian ini merupakan akhir dari kemerdekaan Kutai, karena setelah perjanjian tersebut berarti otomatis Kesultanan Kutai tunduk dibawah residen Belanda.

Walaupun Kesultanan Kutai telah runtuh, tapi kita masih bisa melihat sisa-sisa kejayaannya dari bangunan-bangunan peninggalannya. Bangunan-bangunan tersebut di antaranya masjid-masjid dan Keraton Kesultanan yang dibangun pada masa Sultan A.M. Alimuddin, lalu Keraton Kesultanan Kutai pada masa pemerintahan Sultan A.M. Parikesit, dan yang terakhir Istana baru Kesultanan Kutai yang dibangun Pemkab Kutai pada tahun 2001. Yang menarik dari bangunan-bangunan tersebut yaitu adanya corak akulturasi budaya Hindu-Budha dengan Islam. Hal ini dilakukan demi proses penyebaran Islam kala itu dan menandakan Islam mudah berakulturasi serta memiliki toleransi beragama. Bangunan-bangunan tersebut juga tidak hanya digunakan sebagai fungsi mutlaknya saja, contohnya masjid tidak hanya digunakan sebagai sarana beribadah tetapi juga sebagai tempat berdiskusi untuk membahas perkembangan dan strategi perkembangan Islam. Semoga semua kekayaan history ini dan juga peninggalan-peninggalannya dapat terus diambil hikmahnya. Amin.

Daftar Pustaka

Syaukani, HR. Kerajaan Kutai Kertanegara. Kutai: Pulau Kumala, 2002.

Suwondo, Bambang. Drs., dkk, Sejarah Daerah Kalimantan Timur. Jakarta: Depdikbud, 2002.

Nasir, M. dkk. Perkembangan Islam di Kalimantan Timur. Samarinda: STAIN, 2004. Adham, D. Salasilah Kutai. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981.

Soetoen, A.Dari Swapraja ke Kabupaten Kutai. Kabupaten Kutai: Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai, 1975

http://kesultanan.kutaikartanegara.com.Sejarah Kesultanan Kutai Kartanegara.Di akses

pada tanggal 2 Januari 2014

Referensi

Dokumen terkait