• Tidak ada hasil yang ditemukan

SUMBER PENDAPATAN KERAJAAN BALI KUNA PADA MASA RAJA JAYAPANGUS BERDASARKAN DATA PRASASTI. Aditya Revianur

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SUMBER PENDAPATAN KERAJAAN BALI KUNA PADA MASA RAJA JAYAPANGUS BERDASARKAN DATA PRASASTI. Aditya Revianur"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

Aditya Revianur

Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, Kampus UI, Depok 16424 aditya.revianur@ui.ac.id

Abstrak

Sumber pendapatan kerajaan Bali Kuna pada masa pemerintahan Raja Jayapangus didapatkan dari sumber data berupa prasasti. Pada prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Jayapangus dijumpai bermacam-macam sumber pendapatan kerajaan yang disebut dengan dṛwya haji. Bermacam- macam dṛwya haji tersebut dibayarkan pada bulan-bulan tertentu dengan disertai besaran nilai pembayaran dṛwya haji.

ANCIENT BALINESE ROYAL REVENUE SOURCES DURING THE REIGN OF KING JAYAPANGUS FROM DATA SOURCES SUCH AS INSCRIPTIONS

Ancient Balinese royal revenue sources during the reign of King Jayapangus is obtained from data sources such as inscriptions. In the inscriptions issued by King Jayapangus, it‟s found various sources of kingdom income called dṛwya haji. The assortment of the dṛwya haji paid in certain months, accompanied by payment of the value of dṛwya haji. From the King Jayapangus inscriptions, we know that there are various sources of kingdom income.

Keywords: dṛwya haji, King Jayapangus, ancient Bali.

Latar Belakang

Bukti mengenai kehidupan masa silam salah satunya bisa ditelusuri dari bukti tertulis yang disebut prasasti 1 . Sebuah prasasti yang lengkap terdiri atas bagian seruan pembukaan berupa seruan hormat untuk dewa, unsur penanggalan, nama raja atau pejabat yang memberikan perintah, nama pejabat tinggi yang mengiringi, meneruskan, dan menerima perintah, peristiwa pokok, sambhandha, alasan atau sebab musabab suatu desa atau daerah dijadikan sima, upacara penetapan sima,

1  

Prasasti  adalah  sumber  kesejarahan  dari  masa  lampau   yang  tertulis  pada  batu  atau  logam  dan  sebagian  besar   prasasti  yang  terdapat  di  Indonesia  dan  dikeluarkan  oleh   raja  yang  memerintah  di  kepulauan  nusantara  sejak   abad  ke  5  Masehi  (Boechari,  2007:  48-­‐49).  

daftar para saksi atau pejabat tinggi yang menghadiri upacara penetapan sima, sumpah atau kutukan bagi yang melanggar ketentuan yang ditetapkan dan penutup (Djafar, 1991: 46). Struktur dalam prasasti lengkap tersebut dapat dijadikan rujukan bagi temuan prasasti yang ditemukan dalam keadaan tidak lengkap.

Prasasti sebagai sumber kesejarahan pada masa lampau merupakan bukti tertulis yang dapat menggambarkan berbagai aspek masyarakat kehidupan masa lampau seperti keadaan sosial, ekonomi, politik dan budaya. Dalam bagian isi prasasti terkadang disebutkan mengenai sumber pendapatan kerajaan. Sumber pendapatan suatu pemerintah antara lain dapat berupa kekayaan alam, retribusi, kontribusi, bea, cukai, denda

(2)

dan pajak (Nurmantu, 2005: 4). Sumber pendapatan pada masa lalu yang dapat disebut sebagai kekayaan alam adalah berupa pajak tanah/hasil bumi. Bea dan cukai merujuk pada keterkaitan dalam unsur perdagangan, dan usaha kerajinan serta denda-denda atas segala pidana yang dijatuhkan di dalam sidang pengadilan termasuk pada retribusi, denda, pajak, dan kontribusi. Sumber pendapatan kerajaan yang diperoleh dari partisipasi masyarakat tersebut ditujukan untuk mendukung distribusi fungsi suatu pemerintahan sebagai pihak yang mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.

Pada masa lalu, semua sumber pendapatan kerajaan itu disebut dengan istilah dṛwya haji yang secara harfiah memiliki pengertian milik raja, keterangan mengenai sumber pendapatan kerajaan atau dṛwya haji dapat dijumpai dalam prasasti yang menyebutkan status daerah sima 2

(Boechari, 1981: 67). Petugas penarik pajak pada masa jawa kuna disebut dengan maǹīlāla dṛwya haji. Peristilahan maǹīlāla dṛwya haji merujuk pada petugas yang mendapatkan upah dari raja atau mengabdikan diri kepada raja. Hubungan yang dekat tersebut membuat maǹīlāla dṛwya haji kemungkinan besar tinggal di lingkungan tempat tinggal raja atau rajyan atau kraton (Sedyawati, 1985: 342).

Pada prasasti dari masa Bali kuna dapat dijumpai penyebutan mengenai dṛwya haji yang bermacam-macam jumlahnya.

2  Anugerah  raja  kepada  seseorang  yang  telah  berjasa  

dalam  bentuk  tanah  perdikan,  atau  untuk  pemeliharaan   suatu  bangunan  suci  (Boechari,  2007;  57)  

Berbagai jenis sumber pendapatan kerajaan tersebut diatur oleh raja dengan sedemikian rupa sehingga tidak memberatkan penduduk. Selain itu juga disebutkan bahwa pada masa Bali kuna raja berhak atas tanah dan ladang begitu pula hutan (Goris, 1948: 17). Berbagai macam dṛwya haji tersebut dapat digolongkan menjadi kekayaan alam, retribusi, kontribusi, bea, cukai, denda dan pajak.

Dalam dṛwya haji turut pula disertai perbedaan dalam satuan nilai pembayarannya. Jumlah dṛwya haji yang harus dibayarkan oleh masyarakat kerajaan Bali kuna tersebut dapat terlihat dari bagian isi prasasti yang menyebutkan dṛwya haji disertai oleh satuan māšāka, suwarna, sāga, kūpang, 3 dan sakat

jaga4. Selain satuan tersebut juga terdapat rot

yang berarti sejumlah uang pembelian untuk membebaskan pajak yang harus dibayarkan kepada pejabat pemungut pajak (Goris, 1954: 298). Satuan nilai tersebut sangat berguna dalam perkiraan besaran pendapatan kerajaan yang akan didapatkan setiap tahunnya.

Salah satu raja di kepulauan Nusantara yang banyak mengeluarkan

3  Māšāka  merupakan  satuan  ukuran  mata  uang  emas  

yang  digunakan  sebagai  alat  pertukaran  pada  masa  Bali   dan  Jawa  kuna.  Selain  māšāka  terdapat  juga  satuan  lain   yang  kerap  kali  dijumpai  dalam  prasasti  yaitu  suwarna,   sāga,  dan  kūpang.  Setiap  satuan  ukuran  mata  uang   tersebut  antara  lain,  kati=16  suwarna,  1  suwarna=16   masaka,  1  masaka=  4  kupang,  1  kupang=4  piling.  Ukuran   berat  dari  masing-­‐masing  satuan  tersebut  meliputi  1   kati=  2,60207  kg.  1  suwarna=0,38601  kg,  1   masaka=0,002412  kg,  1  kupang=0,000603  kg,  1   piling=0,00015075  kg  (Stutterheim,  1940:  31).  

4  Sakat  jaga  dapat  diartikan  sebagai  sukat  yang  

merupakan  ukuran  kapasitas  seperti  beras,  minyak,   bawang  merah,  dll  atau  pajak/restribusi  (Zoetmulder,   1995:  1137).  Sedangkan  jaga  bisa  diartikan  juga  sebagai   siap,  berjaga-­‐jaga,  persediaan  cadangan  (Mardiwarsito,   1981:  246).  Dalam  konteks  ini  dapat  dijelaskan  bahwa   sakat  jaga  kemungkinan  merupakan  sejenis  ukuran   untuk  pembayaran  pajak  (Tarawiguna,  2008:  263).  

(3)

 

prasasti adalah Raja Jayapangus. Raja Jayapangus merupakan salah satu raja yang memegang kekuasaan di kerajaan Balidwipamandala dengan tujuh negara bawahan atau sapta nagara. Berita mengenai raja Jayapangus didapatkan dari data prasasti Mantring A berangka tahun 1099 Śaka/1177 Masehi yang merupakan prasasti tertua yang menyebutkan perihal raja Jayapangus. Dari prasasti Mantring A yang telah disebutkan di awal, dapat diketahui bahwa pemerintahan Raja Jayapangus merupakan kelanjutan dari Raja Ragajaya yang terakhir kali mengeluarkan prasasti pada 1077 Saka/1155 Masehi. Jarak rentang waktu antara pemerintahan raja Ragajaya dan Jayapangus sekitar dua puluh dua tahun. Selain berita mengenai raja Jayapangus yang tercantum dalam prasasti juga disebutkan berita mengenainya dalam kitab lontar Usana Bali. Dalam kitab Usana Bali yang ditulis pada abad ke-16 Masehi disebutkan bahwa Raja Jayapangus merupakan penerus tahta Raja Jayakasunu yang beristana di Balingkang (Tarawiguna, 2008: 13-15).

Berdasarkan bukti prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Jayapangus didapatkan informasi jika dia memerintah selama empat tahun yaitu dari tahun 1099 Śaka/1177 Masehi hingga 1103 Śaka/ 1181 Masehi. Sampai saat ini telah ditemukan tidak kurang dari empat puluh empat prasasti yang dikeluarkan oleh raja Jayapangus, namun dua prasasti lainnya yaitu prasasti no. 641 Batur, Pura Desa dan no. 665 Dausa, Bukit Indrakila sampai kini belum ditemukan bukti teks transliterasinya (Tarawiguna, 2004: 33). Prasasti-prasasti raja Jayapangus pada

umumnya ditulis menjadi enam baris setiap lembar logam, tetapi hanya prasasti dari Mantring yang ditulis sampai 7 baris setiap lembar logam (Goris, 1948: 11). Prasasti- prasasti yang dikeluarkan oleh raja Jayapangus memiliki keunikan tersendiri yang membedakannya dengan prasasti- prasasti yang dikeluarkan oleh raja lainnya.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dari jumlah empat puluh dua prasasti yang dikeluarkan oleh raja Jayapangus diketahui ada sembilan prasasti yang lengkap memuat bagian pembukaan, bagian isi dan penutup, kemudian delapan belas prasasti hanya berisi bagian pembukaan dan bagian isi atau sebagian dari isi karena lempengan prasasti yang memuat bagian lainnya hilang. Pada tiga prasasti lainnya hanya mencantumkan bagian sebagian dari isi dan bagian penutup, dan dua belas lainnya hanya terdiri dari bagian atau sebagian dari daftar isi dan bagian penutup atau bahkan tanpa penutup dari prasasti. Hal yang terakhir lebih disebabkan karena lempengan prasasti tersebut hilang dan belum diketemukan kembali pada masa sekarang. Adapun lima belas prasasti lainnya yang tidak memuat bagian pembukaan tersebut diperkirakan berasal dari pemerintahan raja Jayapangus dengan menimbang pada kesamaan atau kemiripan bentuk aksara, bahasa yang dipergunakan, dan kesamaan nama-nama jabatan (Tarawiguna, 2004: 38).

Dalam prasasti yang dikeluarkan oleh raja Jayapangus, terdapat keistimewaan tersendiri pada bagian isi yang menyebutkan mengenai dṛwya haji jika dibandingkan dengan prasasti yang berasal dari raja-raja

(4)

Bali lainnya. Hal tersebut lebih dikarenakan undang-undang mengenai penetapan dṛwya haji pada prasasti-prasasti masa raja Jayapangus terjadi pada hari, bulan dan tahun yang bersamaan yaitu hari rabu, bulan Srawana, dan tahun 1103 Śaka. Prasasti raja Jayapangus yang memiliki kesamaan hari, bulan dan tahun tersebut dikarenakan undang-undang penetapan pendapatan kerajaan wajib ditaati oleh rakyat pada hari, bulan, dan tahun yang sama tersebut.

Alasan dari diterbitkannya prasasti raja Jayapangus adalah perselisihan antara sebuah desa dengan petugas kerajaan yang bertugas memungut pajak terlalu keras, atau melebihi dari yang telah ditetapkan sebelumnya (Goris, 1948: 15). Pada prasasti sima, biasanya setelah penduduk desa melapor kepada raja, desa tersebut dibebaskan dari kewajiban membayar pajak- pajak tertentu dan para petugas pajak tertentu dilarang memasuki desa swatantra tersebut (Hardiati, Endang Sri, 2009: 377). Jika mencermati alasan dari raja Jayapangus menerbitkan kembali prasasti mengenai penghasilan kerajaan dan usaha mengakhiri konflik antara pejabat penarik pajak dan rakyat maka dapat terlihat jika raja memiliki kemauan keras dalam membina keharmonisan antara kawula atau rakyat dan gusti atau pejabat kerajaan.

Berdasarkan empat puluh dua prasasti yang dikeluarkan oleh raja Jayapangus didapatkan dua puluh satu prasasti yang menyebutkan dṛwya haji. Menurut penelitian awal yang dilakukan, prasasti-prasasti Jayapangus yang mencantumkan dṛwya haji tersebut

dikeluarkan dalam hari, tanggal dan tahun yang sama. Prasasti sebanyak itu tentu tidak mungkin ditulis dalam waktu satu hari. Pendapat awal yang diajukan adalah sangat mungkin sekali jika penetapan prasasti Jayapangus tersebut penetapannya dimulai pada tanggal dan tahun yang sama. Hal tersebut kemungkinan merupakan sebuah keputusan Raja Jayapangus bahwa dṛwya haji mulai berlaku sejak tanggal dan tahun tersebut.

Keterangan-keterangan di dalam bagian prasasti jika diteliti dengan seksama dapat memberikan gambaran mengenai kondisi dari struktur kerajaan, birokrasi, kemasyarakatan, perekonomian, agama, dan adat istiadat masyarakat Indonesia kuna (Boechari, 2007: 69). Hal tersebut diharapkan juga terjadi dalam prasasti yang dikeluarkan Jayapangus. Sehingga dari penelitian ketentuan dṛwya haji yang ada dalam dua puluh satu prasasti masa pemerintahan Raja Jayapangus diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai keadaan perekonomian maupun kemasyarakatan pada zaman Bali Kuna abad ke-12 Masehi.

Rumusan Masalah

§ Apa saja sumber pendapatan kerajaan Bali Kuna zaman raja Jayapangus

§ Siapa pejabat yang berkenaan dengan mekanisme penarikan pajak tersebut?

§ Bagaimana mekanisme sistem perpajakan di masa Bali Kuno zaman raja Jayapangus?

(5)

Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menginformasikan hasil pendapatan kerajaan Bali kuna masa pemerintahan raja Jayapangus. Hal tersebut sangat penting dilakukan karena raja Jayapangus mengeluarkan prasasti dalam waktu yang bersamaan dengan disertai oleh dṛwya haji yang harus dibayarkan oleh masyarakatnya. Manfaat dari penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai sistem pajak di Bali Kuna zaman raja Jayapangus berdasarkan sumber data prasasti berjumlah dua puluh satu prasasti yang mencantumkan dṛwya haji pada bagian isi.

Riwayat Penelitian

Penelitian yang pernah dilakukan mengenai prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Jayapangus diantaranya dilakukan oleh I.G.N Tarawiguna dalam Himpunan Prasasti- Prasasti Bali Masa Pemerintahan Raja Jayapangus, I.G.N. Tarawiguna dkk dalam Terjemahan Prasasti-Prasasti Bali Abad XII Ke Dalam Bahasa Indonesia, R. Goris dalam Prasasti Bali I dan II, Semadi Astra dalam Jaman Pemerintahan Maharaja Jayapangus di Bali (1178 M-1184 M) dan Ni Ketut Puji Astiti dalam Upaya Penanggulangan

Penyelewengan Pajak Pada Masa

Pemerintahan Raja Jayapangus: Sebuah Kajian Epigrafis. Hal yang membedakan penelitian ini dengan sebelumnya yang dilakukan oleh Ni Ketut Puji Astiti Laksmi adalah dalam penelitian ini akan dilakukan penelitian yang menghasilkan penggolongan dṛwya haji pada masa pemerintahan raja

Jayapangus dengan berdasarkan kajian terhadap bukti tertulis berupa prasasti. Ruang Lingkup Penelitian

Untuk lebih memfokuskan penelitian, pembatasan mengenai objek yang akan dibahas yaitu berdasarkan data tekstual sebagai data utama yaitu hasil alih aksara dari prasasti-prasasti masa raja Jayapangus yang dilakukan oleh I.G.N Tarawiguna. Pembacaan ulang terhadap prasasti tidak mungkin dilakukan karena dalam membaca ulang prasasti, hal tersebut terkendala oleh upacara-upacara yang menjadi hambatan utama dalam penelitian karena menguras ruang, waktu dan pendanaan. Data tekstual yang berupa hasil alih aksara tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sesuai ejaan yang disempurnakan pada bagian isi prasasti yang menyebutkan dan menjelaskan dṛwya haji kerajaan Bali Kuna masa pemerintahan raja Jayapangus. Metode Penelitian

Penelitian dṛwya haji atau sumber pendapatan kerajaan Bali masa raja Jayapangus berdasarkan kajian arkeologi sejarah karena sumber utama dari penelitian ini adalah data prasasti. Pendekatan sejarah digunakan untuk mengetahui isi dari data prasasti yang telah dialihaksarakan untuk kemudian dilakukan analisis teks. Hasil alih aksara dari prasasti-prasasti yang dikeluarkan oleh raja Jayapangus yang mencantumkan sumber pendapatan kerajaan atau dṛwya haji digunakan sebagai data primer. Data primer berupa prasasti Bali masa raja Jayapangus yang dijadikan acuan dalam penelitian telah dialihaksarakan terlebih dahulu oleh

(6)

Tarawiguna. Pembacaan ulang terhadap prasasti Bali masa raja Jayapangus tidak dilakukan karena mengalami kendala seperti membutuhkan upacara keagamaan terlebih dahulu yang dapat mengganggu penelitian dalam ruang lingkup waktu dan biaya.

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap yang antara lain meliputi tahapan observasi atau pengumpulan data, analisis atau pengolahan data, dan interpretasi atau penafsiran data. Pada tahapan observasi atau pengumpulan data, penelitian dikhususkan pada prasasti masa raja Jayapangus yang menyebutkan dṛwya haji. Pada tahapan pengumpulan data juga dilakukan inventarisasi prasasti raja Jayapangus yang memuat bagian angka tahun dan bagian prasasti yang memuat mengenai pendapatan kerajaan. Inventarisasi tersebut dimaksudkan untuk mencatat dan mengetahui keberadaan prasasti pada masa sekarang dan bagian dalam prasasti yang menyebutkan dṛwya haji. Selain itu, pada tahapan inventarisasi prasasti juga dilakukan pencatatan terhadap nomor kode prasasti, nama prasasti, angka tahun dan nama karaman atau desa yang termuat dalam prasasti tersebut.

Setelah data terkumpul maka tahapan selanjutnya adalah analisis atau pengolahan data. Pada tahapan analisis data, cara yang digunakan adalah dengan melakukan klasifikasi. Klasifikasi bukanlah tahapan akhir tetapi suatu teknik atau cara untuk mencapai ketepatan dari hasil data yang dikumpulkan dan harus didukung oleh data yang berbeda-beda. Hal utama dari perbedaan tersebut diperoleh dalam kriteria

yang telah dipilih berdasarkan pertimbangan penggolongan tertentu (Rouse, 1960: 313).

Pada penelitian ini untuk memudahkan analisis terhadap dṛwya haji akan dilakukan juga proses klasifikasi. Klasifikasi dilakukan dengan cara membagi jenis dṛwya haji menjadi bagian golongan kekayaan alam, pajak, iuran, ahli waris, buathaji atau restribusi dan denda. Setelah itu akan dilakukan penggolongan serupa dengan melakukan pemilahan atas bagian kekayaan alam, pajak, iuran, ahli waris, buathaji atau restribusi dan denda yang disebutkan dalam prasasti.

Setelah tahapan analisis atau pengolahan data selesai dilakukan, maka tahapan yang selanjutnya dilakukan adalah penafsiran terhadap data-data dalam prasasti yang telah diklasifikasikan. Dari dua puluh satu prasasti yang dikeluarkan oleh raja Jayapangus diharapkan banyak didapatkan keterangan mengenai penggolongan, waktu penarikan, tempat pernarikan dan pejabat penarik dṛwya haji pada masa zaman pemerintahan Raja Jayapangus.

Selain itu diharapkan pula diperoleh keterangan mengenai mekanisme penarikan dṛwya haji yang akhirnya dapat menambah pendapatan Kerajaan Bali Kuna di masa pemerintahan Raja Jayapangus. Pada dua puluh satu prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Jayapangus juga disebutkan mengenai nama tempat-tempat tertentu yang menjadi lokasi pembayaran dṛwya haji. Nama-nama tempat tertentu tersebut juga akan ditelusuri keberadaannya untuk mengetahui jangkauan pembayaran dṛwya haji oleh penduduk Bali

(7)

kuna masa pemerintahan Raja Jayapangus. Kemungkinan besar toponimi nama tempat- tempat tersebut dapat ditelusuri keberadaannya pada masa kini.

Setelah dilakukan penafsiran data, bagian selanjutnya adalah kesimpulan. Data yang telah diteliti pada tahapan-tahapan Sumber Data Penelitian

Sumber data penelitian yang digunakan adalah hasil alih aksara dari prasasti-prasasti raja Jayapangus yang memuat dṛwya haji dan bagian lain yang memuat ketentuan pendapatan kerajaan yang berjumlah dua puluh satu prasasti. Sebanyak dua puluh satu prasasti tersebut dikeluarkan pada tahun yang sama atau 1103 Saka/1181

sebelumnya yang berawal dari tahapan observasi atau pengumpulan data, untuk kemudian disarikan menjadi kesimpulan akhir. Hal tersebut diharapkan dapat memberikan jawaban mengenai permasalahan penelitian yang menyangkut dṛwya haji pada masa raja Jayapangus.

Masehi. Berikut dua puluh satu prasasti tersebut; Prasasti Kediri, Batunya B, Prasasti Dalung, Tonja, Batur Pura Abang, Bwahan D, Sukawana B, Pengotan C.I, Cempaga A, Serai B, Malat Gede, Selat A, Penida Kaja, Nongan B = Landih B, Bugbug, Sembiran, Bulian A, Kerobokan, Bengkala, Mayungan, Bwahan E.

Konsep Pendapatan Pemerintah

Negara dapat membangun wilayah dan mengusahakan kesejahteraan rakyat salah satunya berdasarkan pendapatan yang dikumpulkan dari rakyatnya. Pendapatan yang berasal dari rakyat tersebut dapat dipergunakan untuk menunjang kepentingan negara. Berdasarkan jenisnya terdapat delapan macam sumber pendapatan pemerintah atau negara yang berasal dari kekayaan alam, retribusi, royalti, kontribusi, bea, cukai, denda dan pajak (Nurmantu, 2005: 4).

Pendapatan negara yang berasal dari kekayaan alam merupakan hasil penjualan produk alam suatu daerah ke daerah lain. Hasil penjualan tersebut dapat menjadi pemasukan bagi suatu daerah. Selanjutnya yang dimaksud dengan retribusi adalah pungutan yang dilakukan pemerintah atas

rakyat. Kontribusi juga merupakan bentuk pungutan yang dilakukan pemerintah kepada sejumlah penduduk yang telah menggunakan fasilitas milik pemerintah. Denda merupakan ketentuan pemerintah bagi anggota masyarakat yang terbukti melakukan pelanggaran hukum dalam undang-undang (Nurmantu, 2005: 5). Pada masa lalu masyarakat yang hidup di Indonesia masa sekarang telah mengenal adanya denda. Hal tersebut ditemukan dari data epigrafi yang menjelaskan mengenai ketentuan denda.

Prasasti yang pertama kali menyebutkan denda adalah prasasti Sangsang di zaman Jawa kuno. Prasasti tersebut berangka tahun 829 Saka/907 Masehi. Pada masa tersebut denda dijatuhkan atas segala tindak pidana dan perdata yang merupakan sumber pemasukan kerajaan. Istilah untuk menyebut hal ini pada masa tersebut adalah sukhadukha (Boechari, 1986: 161). Denda

(8)

pada masa lalu dibayarkan dengan besaran nilai alat tukar berupa uang. Sementara itu, pajak jika dilihat dari arah arusnya, ketika arah datangnya pajak berasal dari wajib pajak maka disebut dengan iuran. Jika pajak berasal dari arah kegiatan yang dilakukan pemerintah maka pajak tersebut disebut dengan pungutan. Dalam berbagai literatur penyebutan pajak sebagai pungutan lebih ditekankan kepada pajak sebagai bentuk iuran (Nurmantu, 2005: 14).

Pajak sebagai iuran adalah iuran rakyat kepada kas negara yang dapat dipaksakan berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan jasa timbal atau tegen prestasi, yang langsung dapat ditunjukkan dan dirasakan serta digunakan untuk membiayai pengeluaran umum yang berkaitan dengan tugas negara menyelenggarakan pemerintahan (Brotodihardjo, 1989: 2). Terkait penggolongannya, pajak dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu pajak langsung dan tidak langung. Secara ekonomis suatu pajak disebut sebagai pajak langsung apabila beban pajaknya tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain misalnya pajak profesi seseorang. Sementara pajak dapat disebut sebagai pajak tidak langung jika beban pajaknya dapat dilimpahkan, baik seluruhnya atau sebagian kepada pihak lain misalnya pajak penjualan atau pertambahan nilai (Nurmantu, 2005: 58- 59).

Mengenai pemungutan sumber penghasilan pemerintah termasuk pajak, pada mulanya dipungut berdasarkan kepentingan individu dalam hal ini penduduk terhadap negara. Individu tersebut membutuhkan atau

memiliki kepentingan tertentu terhadap adanya perlindungan dan keamanan dari negara. Terkait hal itu maka individu tersebut harus membayarkan sesuatu dalam bentuk hasil kekayaan alam atau uang kepada negara (Brotodihardjo, 1989: 30). Negara sendiri memiliki kewenangan untuk memungut pajak karena penduduk mendapatkan manfaat tertentu dari adanya negara.

Negara memiliki kewenangan untuk memaksakan pembayaran pajak karena setiap masyarakat memiliki kontribusi untuk menunjang pemerintahan sebagai bentuk tanggung jawab. Secara berturut-turut proporsi dari pendapatan masyarakat berasal dari perlindungan negara (Smith, 1977: 1103). Selain itu, pajak yang dibayarkan seseorang juga harus jelas dan tidak dapat ditawar oleh pembayarnya. Ketentuan tersebut jika diperhatikan lebih lanjut akan meliputi empat hal yaitu kepastian siapa wajib pajak, kepastian tentang objek pajak sampai pada besaran nilai yang harus dibayarkan, kepastian tentang waktu pajak tersebut harus dibayar dan kepastian tentang ke mana pajak tersebut harus dibayar (Nurmantu, 2005:83, Smith, 1977: 1104). Sehingga dapat dikatakan jika tata cara pembayaran pajak setidaknya harus mencantumkan ketentuan mengenai pembayar pajak, objek pajak, waktu pembayarannya pajak dan petugas yang berkepentingan menerima pajak.

Negara, dalam kaitan ini pemerintah untuk mendapatkan penghasilan dari rakyatnya dituntut memperhatikan saat-saat yang paling baik pembayar pajak agar memenuhi kewajibannya (Smith, 1977: 1104). Contoh klasik mengenai hal ini ialah

(9)

ketentuan pajak atas sawah hendaknya disebutkan saat petani baru saja memanen hasil sawahnya. Pasalnya saat waktu tersebut petani memiliki kemapuan untuk membayarkan pajak dari hasil penjualan panen.

Selain itu, negara dalam memungut pajak juga ditekankan untuk bersifat efisien. Hal ini berkaitan dengan pemungutan pajak dilakukan dengan sehemat-hematnya, jangan sampai mengeluarkan biaya yang justru lebih tinggi dari pajak yang dipungut (Smith, 1977: 1105-1106). Pajak merupakan unsur penting dalam pembiayaan negara selain pendapatan melalui ekspor. Hal tersebut lebih dikarenakan pajak berfungsi sebagai budgetair yaitu fungsi di mana pajak dipergunakan sebagai alat untuk memasukkan dana secara optimal ke dalam kas pemerintah berdasarkan perundang- undangan yang berlaku.

Penghasilan kerajaan-kerajaan kuna di Jawa dan Bali pada masa lalu salah satunya berasal dari pajak. Pajak yang menjadi sumber pendapatan kerajaan kuna tersebut meliputi pajak tanah atau hasil bumi, pajak perdagangan atau penjualan dan pajak usaha kerajinan serta denda-denda yang dijatuhkan dalam setiap pengadilan (Boechari, 1981: 67). Pada masa Bali Kuna zaman pemerintahan Raja Jayapangus, sebanyak dua puluh satu prasasti Raja Jayapangus menyebutkan mengenai ketentuan pembayaran pajak atau dṛwya haji. Pada masa Bali kuna raja berhak atas tanah dan ladang begitu pula hutan (Goris, 1948: 17).

Dalam dṛwya haji turut pula disertai perbedaan dalam satuan nilai pembayarannya. Jumlah dṛwya haji yang harus dibayarkan oleh masyarakat kerajaan Bali kuna tersebut dapat terlihat dari bagian isi prasasti yang menyebutkan dṛwya haji disertai oleh satuan māšāka, suwarna, sāga, kūpang, dan sakat jaga. Selain satuan tersebut juga terdapat rot yang berarti sejumlah uang pembelian untuk membebaskan pajak yang harus dibayarkan kepada pejabat pemungut pajak (Goris, 1954: 298). Satuan nilai tersebut sangat berguna dalam perkiraan besaran pendapatan kerajaan yang akan didapatkan setiap tahunnya. Pemerintahan Raja Jayapangus

Keberadaan Raja Jayapangus sebagai salah satu penguasa dalam kronologi sejarah Bali kuna dapat ditelusuri dari dua jenis sumber tertulis yaitu prasasti dan kitab Usana Bali. Raja Jayapangus sampai kini mengeluarkan prasasti sebayak 44 buah yang 43 diantaranya berangka tahun 1103 Śaka/1181 Masehi. Prasasti Raja Jayapangus yang dikeluarkan pada 1103 Śaka/1181 Masehi memiliki sistem unsur pertanggalan yang sama yaitu 1103 srawanamasa, tithi nawami, suklapaksa, mawulu pahing, hari Buda, wuku wayang (Goris, 1948: 11). Prasasti tertua yang menyebutkan Raja Jayapangus adalah Mantring A yang berangka tahun 1099 Śaka/1177 Masehi dengan unsur pertanggalan bulan Posya, hari ke-13 Krsnapaksa, wurukung, Umanis, hari Buda dan wuku Prangbakat.

Prasasti-prasasti tersebut menjelaskan jika Raja Jayapangus adalah penguasa tunggal seluruh wilayah Bali yang

(10)

terdiri atas tujuh negara bawahan. Pada masa Raja Jayapangus berkuasa, terlihat bahwa di wilayah Bali Kuna terdiri dari tujuh kerajaan kecil yang dipersatukannya (Astra, 1977: 76). Selain itu, data prasasti yang dikeluarkan oleh raja Jayapangus menunjukkan bahwa dirinya memerintah setelah Raja Ragajaya yang hanya mengeluarkan satu prasasti berangka tahun 1077 Śaka/1155 Masehi. Jika ditilik dari jarak antara Raja Ragajaya dan Raja Jayapangus terdapat masa kosong selama 22 tahun. Masa kosong tersebut berarti belum ditemukan prasasti lainnya yang dapat menjelaskan keadaan Bali Kuna sejak prasasti terakhir Ragajaya dikeluarkan hingga Jayapangus menerbitkan prasasti Mantring A.

Rujukan lain yang menyebut keberadaan Raja Jayapangus adalah uraian kitab lontar Usana Bali yang ditulis tiga abad setelah masa kekuasaannya. Kitab Usana Bali itu menyebutkan bahwa Raja Jayapangus merupakan pengganti Raja Jayakasunu yang bertahta di Balingkang (Tarawiguna, 2008:14). Sumber kitab Usana Bali juga menjelaskan Raja Jayapangus memerintah paling dahulu. Raja Jayapangus menurut Usana Bali digantikan oleh beberapa raja yaitu Raja Daitya, Raja Mayadanawa, Raja Ken Angrok, Baginda Dalem Mur, Sang Ratu jumheng ring Batu Henggong dan Sang Ratu jumheng ring Sagading. Pusat kerajaan dalam kitab tersebut diketahui telah mengalami setidaknya tiga kali pergantian secara berturut-turut yaitu di Balingkang, Bedahulu dan Samplangan (Astra, 1977: 31). Hal yang diungkapkan oleh kitab tersebut terkait Raja Jayapangus berbeda dengan yang terdapat dalam data epirafi. Pada data epigrafi jika

ditilik dari kronologi raja yang mengeluarkan prasasti disebutkan bahwa Raja Jayapangus merupakan kelanjutan dari Raja Ragajaya, bukan Raja Jayakasunu atau raja yang paling terdahulu.

Menurut data prasasti, setelah tahun 1103 Śaka/1181 Masehi belum ditemukan prasasti yang menyebutkan kembali raja Jayapangus. Hal tersebut bertahan hingga Raja Eka Jaya Lancana yang bergelar Sri Maharaja Haji Ekajaya Lancana naik tahta didampingi ibunya Sri Maharaja Arjayadengjaya Ketana pada tahun 1122 Śaka/1200 Masehi. Naik tahtanya Raja Eka Jaya Lancana ditandai dengan diterbitkannya prasasti Kintamani E dan terakhir Kintamani F. Diterbitkannya kedua prasasti yang berangka tahun 1122 Śaka/1200 Masehi ini berselang sekitar 19 tahun dengan Prasasti Raja Jayapangus terahir yang berangka tahun 1103 Śaka/1181 Masehi (Tarawiguna, 2008: 15). Raja Eka Jaya Lancana melalui data prasasti tersebut diketahui sebagai pengganti Raja Jayapangus meskipun terdapat waktu kosong selama 17 tahun.

Menurut data prasasti yang dikeluarkannya Raja Jayapangus diketahui dirinya memerintah hanya selama empat tahun yaitu mulai diterbitkannya prasasti Mantring A di tahun 1099 Śaka/1177 Masehi sampai 1103 Śaka/1181 Masehi. Selama kurun waktu tersebut, terdapat empat variasi abhiseka Jayapangus atau gelar seseorang diangkat sebagai raja yaitu Śri Maharaja Haji Jayapangus, Śri Maharaja Haji Jayapangus Arkajalancana, Sri Maharaja Jayapangus Arkajacihna, dan Śri Maharaja Haji Jayapangus

(11)

Arkajacihnarddhanariswarisanasni (Astra, 1977: 52). Variasi dalam hal abhiseka dapat dikatakan legalisasi raja Jayapangus dalam pucuk pemerintahan mengalami perkembangan.

Pada prasasti Mantring A berangka tahun 1099 Śaka/1177 Masehi disebutkan abhiseka Jayapangus adalah Śri Maharaja Haji Jayapangus yang tidak mengandung unsur Arkaja, Lancana dan Cihna. Prasasti Mantring A juga menyebutkan raja Jayapangus dalam memerintah tidak disertai oleh kedua permasurinya yaitu Śri Paramesywari Induja Ketana dan Śri Mahadewi Sasangkaja Lancana/Cihna. Sementara dalam prasasti lainnya yang berangka tahun 1103 Śaka/1181 Masehi menyebutkan Jayapangus memerintah didampingi kedua permaisurinya dan abhisekanya bertambah dengan unsur Arkajalancana, Arkajacihna atau Arkajacihnarddhanariswari (Astra, 1977: 52, Tarawiguna, 2008: 14-15). Adanya variasi tersebut membuka beberapa kemungkinan yang salah satunya adalah pada saat awal memerintah kedudukan Jayapangus sebagai penguasa kerajaan Bali Kuna belum kuat sehingga tidak mencantumkan unsur Arkaja, Lancana dan Cihna.

Raja Jayapangus untuk menguatkan kedudukannya di mata masyarakat Bali kuna tentu mencurahkan segala kemampuannya. Kedudukan Jayapangus mulai kuat setidaknya baru tercapai pada tahun 1103 Śaka/1181 Masehi saat memerintah bersama kedua ratunya. Terlebih lagi, abhhiseka Raja Jayapangus diketahui mengandung unsur Lancana/Cihna yang merupakan penggalan

nama permaisurinya yaitu Śri Mahadewi Sasangkaja Lancana/Cihna. Abhiseka raja Jayapangus tersebut juga membuktikan bahwa dirinya adalah titisan dewa. Penambahan abhiseka dengan unsur arkaja memiliki pengertian titisan Surya atau dewa matahari. Penyebutan gelar arkaja dengan disertai gelar kedua permaisurinya berunsur induja/sasangkaja yang berarti putri bulan maka dapat dikatakan bahwa pasangan tersebut adalah suami istri ideal. Pasalnya, hal itu dapat ditafsirkan melambangkan Surya atau dewa matahari disertai dengan Ratih atau dewi bulan. Penyebutan gelar sebagai titisan dewa matahari tersebut dimaksudkan Raja Jayapangus mewakili sifat Surya yang dapat menjadi pelindung rakyatnya (Tarawiguna, 2004: 20).

Sementara, penyebutan gelar induja tersebut bukan hal baru dari periode kekuasaan penguasa kerajaan bali kuna. Pada masa 70 tahun sebelum Raja Jayapangus memerintah terdapat seorang ratu yang bergelar Sakala Indukirana Isana Gunadharma Laksmdara Wijayottunggadewi. Unsur kata Indukirana berarti cahaya bulan purnama, sementara sakala adalah titisan. Sehingga ratu tersebut dapat diartikan sebagai titisan sinar bulan purnama. Masyarakat Bali sejak dahulu hingga kini mempercayai bahwa gelar indu adalah Ratih dan hal tersebut dimaksudkan bahwa ratu atau permaisuri yang bergelar tersebut diharapkan membawa kedamaian di kehidupan masyarakat (Goris, 1948: 9-10, Tarawiguna, 2008: 23).

Hal tersebut didukung pula oleh sambhandha prasasti yang dikeluarkan oleh raja Jayapangus. Secara keseluruhan

(12)

sambhandha prasasti itu menyebut adanya penyelesaian secara menyeluruh mengenai persoalan masyarakat Kerajaan Bali Kuna. Pada semua sambhandha prasasti di tahun 1103 Śaka/1181 Masehi itu terlihat raja Jayapangus menyelesaikan persoalan konflik pungutan dṛwya haji atau sumber pendapatan kerajaan antara rakyat, terutama golongan waisya atau pedagang dan pejabat sang admak akmitan apigajih. Usaha dari Raja Jayapangus untuk menyelesaikan masalah dṛwya haji antara masyarakat dan pejabat pemungut pajak sudah telihat dari prasasti Mantring A yang hanya ditemukan bagian sambhandha-nya. Pada bagian sambhandha prasasti Mantring A tersebut Raja Jayapangus mengatur kembali permasalahan dṛwya haji di desa Katulikup dan membebaskan aturan yang diberikan oleh raja terdahulu untuk memberikan kemakmuran. Raja Jayapangus dalam prasasti Mantring A tersebut juga mulai menyelidiki permasalahan antara masyarakat dan petugas pemungut pajak (Tarawiguna, 2008: 137).

Maka kalau memang demikian adanya berarti Raja Jayapangus setidaknya selama empat tahun terhitung dari dikeluarkannya prasasti Mantring A bekerja keras menyelesaikan permasalahan pajak di kerajaannya. Selain itu, dapat dikatakan di saat prasasti Manring A dikeluarkan belum beristri sehingga sebagai raja yang masih muda memerintah mengalami tantangan dalam pemerintahan. Terlebih lagi kalau persoalan tersebut merupakan warisan dari raja sebelumnya (Astra, 1977: 54-55). Selisih antara Raja Jayapangus dan pemimpin

sebelumnya yaitu Raja Ragajaya jika ditilik dari data epigrafi adalah selama 22 tahun.

Raja Jayapangus dalam menyelesaikan masalah dṛwya haji tersebut diketahui meninjau ulang keputusan yang telah ditetapkan raja sebelumnya, Ragajaya. Raja Jayapangus dalam prasastinya juga memberikan keringanan pembayaran dṛwya haji. Keringanan tersebut adalah memberikan hak swatantra atau lebih dikenal dengan sima pada prasasti Jawa Kuna. Pada umumnya prasasti yang menetapkan suatu daerah sebagai sima berisi anugerah raja kepada seseorang yang telah berjasa kepada kerajaan atau anugerah untuk suatu bangunan suci (Boechari, 2007: 51). Hasil pungutan drwya haji di cakupan wilayah swatantra tersebut tidak lagi dibayarkan kepada pemerintah pusat melainkan dikelola secara mandiri oleh daerah. Akan tetapi, Raja Jayapangus membatasi ketentuan drwya haji yang dikelola oleh daerah dan mewajibkannya tetap diserahkan kepada pemerintah pusat.

Hal tersebut disebabkan dṛwya haji merupakan salah satu pendapatan kerajaan yang cukup besar bagi kas kerajaan. Sehingga, ketentuan dengan pembatasan dṛwya haji yang diserahkan ke kerajaan dan dikelola secara mandiri lebih dimaksudkan untuk menjaga kestabilan pemasukan kerajaan, meskipun daerah tersebut telah ditetapkan sebagai sima (Astiti Laksmi, 2012: 730). Selain itu, raja Jayapangus juga menetapkan kembali dṛwya haji yang telah disahkan di masa pemerintahan raja sebelumnya. Penetapan kembali itu difungsikan untuk mengukuhkan kembali kewajiban masyarakat dalam hal pembayaran dṛwya haji kepada

(13)

kerajaan. Dalam menetapkan kembali dṛwya haji tersebut, Raja Jayapangus berpedoman pada kitab hukum Hindu Manawakamandaka. Sementara pemerintahan kerajaan Bali Kuna sebelum masa Raja Jayapangus yaitu Ratu Sakalendukirana (1010-1023 Saka), Raja Jayasakti (1053-1072 Saka), dan Raja Ragajaya (1077 Saka) berpedoman pada kitab hukum Hindu Uttara Widdhi Balawan dan Rajawacana atau Raja Niti (Ginarsa, 1974: 1).

Kitab hukum Hindu Bhatara Widdhi

Balawan, Rajawacana, dan

Manawakamandaka kemungkinan besar

mempunyai sumber yang sama yaitu kitab Manawadharmasastra yang berasal dari India. Kitab Manawadharmasastra memiliki pengaruh yang sangat besar bagi kitab-kitab yang berbahasa Jawa Kuna hingga masa Kerajaan Majapahit. Kenyataan dari pengaruh Manawakamandaka di masa Kerajaan Majapahit terlihat dari dua versi kitab tersebut yaitu Manudharmasastra atau

Manupadesa dan Usana. Kitab

Manadharmasastra tersebut sudah tentu sangat berpengaruh di masa Kerajaan Bali Kuna termasuk bagi Raja Jayapangus dalam menjalankan roda pemerintahannya (Semadi Astra, 1977: 86).

Selain kitab hukum Hindu

manawakamandaka, Raja Jayapangus

menerapkan pula ajaran Buddha yaitu dasasila dan pancasiksa. Dasasila adalah sepuluh perbuatan yang harus dilaksanakan

ikut campur dalam masalah perdagangan, astainya atau tidak mencuri, krodha atau tidak sewenang-wenang, gurusususa atau patuh pada guru, sosa atau menjaga jasmani dan rohani, aharalaghawa atau tidak berlebihan dalam makanan dan apramada atau tidak lalai dalam tugas, selalu memperhatikan kepentingan negara dan tidak mabuk (Tarawiguna, 2008: 32-33)

Sementara pancasiksa adalah raja sebagai pemimpin memiliki lima jenis keterampilan untuk melaksanakan tugasnya yaitu terampil dalam bidang militer, kesenian, pertanian, perekonomian dan pengobatan. Penerapan kitab hukum manawakamandaka, dasasila, dan pancasiksa tersebut dalam prakteknya sudah tentu disesuaikan dengan tradisi atau adat istiadat yang telah mengakar pada saat itu (Tarawiguna, 2004: 31-32). Penyelesaian konflik antara masyarakat dan pejabat pemungut pajak dalam hal dṛwya haji dengan mengacu kitab hukum

manawakamandaka, dasasila, dan

pancasiksa tentu diharapkan Raja Jayapangus tidak merugikan rakyatnya dan memenuhi asas keadilan.

Sumber Pendapatan Kerajaan Bali Kuna Masa Raja Jayapangus dan Pengelolanya

Pada masa pemerintahan Raja Jayapangus dṛwya haji dapat digolongkan dalam bentuk pajak, denda, iuran, buat haji5

dan kekayaan alam. Pajak dapat digolongkan oleh segenap pejabat di cakupan wilayah

5  Persembahan  kepada  raja  dapat  berupa  tenaga  kerja  

kerajaannya yaitu ahimsa atau tidak membunuh, brahmacarya atau mempratikkan ajaran suci, satya atau jujur dalam menjalankan tugas, awyawajarika atau tidak

atau  persembahan  yang  lain,  disebut  juga  dengan  gawai.   Gawai  ini  sering  dinyatakan  dengan  jumlah  orang   namun  ada  kalanya  dengan  sejumlah  uang  (Boechari,   2012:  292).  Buat  Haji  atau  Gawai  pada  masa   pemerintahan  Raja  Jayapangus  dinilai  dari  sejumlah   uang  yang  harus  dibayarkan  oleh  penduduk  desa.  

(14)

 

lagi menjadi jenis pajak profesi dan pajak kepemilikan. Profesi yang dikenai pajak pada masa pemerintahan Jayapangus terdapat 12 yaitu dukun, pemburu, peternak unggas, penjual tali, pengurus padi-padian, pengurus gunung, tukang atau pengrajin, pemimpin para saksi, petugas pemelihara unggas, pengrajin besi, pengrajin besi yang membuat senjata, penyayi dan penabuh gamelan. Profesi yang dikenai pajak tersebut tentunya merupakan profesi yang memiliki peranan di tengah masyarakat. Sehingga, ketentuan perbaikan drwya haji juga mencantumkan pajak 12 profesi tersebut.

Pajak kepemilikan pada masa pemerintahan Raja Jayapangus dapat digolongkan menjadi pajak kepemilikan benda bergerak dan tidak bergerak. Pada prasasti yang dikeluarkan oleh raja Jayapangus terdapat enam macam pajak kepemilikan barang bergerak yaitu emas, kain, alat musik, binatang ternak, dan batu mulia. Pada prasasti yang dikeluarkan oleh raja Jayapangus terdapat tiga macam pajak kepemilikan tidak bergerak yaitu sawah dan sewa tanah, sewa tempat di pasar dan sewa di tempat tertentu. Selanjutnya, pajak kepemilikan tidak bergerak tersebut dapat digolongkan lagi menjadi kepemilikan tetap dan sewa/sementara. Pajak kepemilikan tetap mengatur penduduk yang memiliki sawah. Sementara, pajak kepemilikan sewa mengatur bagi penduduk yang menyewa sawah, lapak di pasar dan tempat di daerah lain desa.

Pemasukan kas kerajaan yang berasal dari iuran dan denda didapatkan dari ketentuan pungutan peraturan pernikahan, kependudukan, transportasi dan

kemasyarakatan. Sementara itu pendapatan yang berasal dari buat haji digolongkan menjadi jenis pekerjaan untuk raja atau membayar uang dalam jumlah tertentu sebagai pengganti pekerjaan tersebut. Sedangkan pendapatan yang khusus seputar denda dapat dibagi lagi menjadi dua jenis yaitu denda kelalaian dan pidana. Sementara itu pendapatan kerajaan yang berasal dari hasil alam bertujuan untuk mengumpulkan hasil bumi yang didapatkan oleh penduduk di wilayah kerajaan. Pembayar pajak, denda, iuran, buat haji, ahli waris dan kekayaan alam adalah penduduk desa. Selain penduduk desa pada buat haji disebutkan golongan bangsawan, tentara atau rakryan juga membayarkan pungutan karena bertugas menjaga tempat perburuan milik raja. Pada bagian denda disebutkan bahwa pejabat Caksu Wruh wajib membayarkan sejumlah uang jika terbukti lalai dalam tugasnya.

Pejabat penarik dan/atau pengelola dṛwya haji pada prasasti raja Jayapangus tercatat sebanyak dua puluh satu. Para pejabat pemungut atau pengelola drwya haji tersebut adalah Sang Admakakmitanapigajih, Samgat, Nayaka, Kahulu Kasuwakan, Kabayan Gosti, Sang Atunasan Pasinjang, Senapati Danda, Caksu Wruh, Paramadhyastha, Sang Anumpwani, Batara Hanar, Mapanji Hariprabhu, Hulu Wunkukan, Sanghyang Silihdiri, Sang Manangkalik, Manumbul, Rakryan Amali, Tandaga wilang, Patata, Pasanggayebus, dan Lapuhan. Pejabat tersebut sebagian adalah pejabat birokrasi yang berada di tingkat pusat dan daerah atau desa.

(15)

Mekanisme pembayaran dṛwya haji saat Raja Jayapangus memerintah dilakukan setiap waktu-waktu tertentu. Waktu pembayaran dṛwya haji dapat digolongkan menjadi dua yaitu periodik dan insidental. Pembayaran dṛwya haji yang dilaksanakan pada waktu periodik terjadi setiap bulan cetra, magha, jyesta, wesaka, phalguna, kartika, dan asuji yang kadang disertai hari pembayaran dṛwya haji. Waktu dṛwya haji periodik lainnya dibayarkan setiap tahun berkaitan dengan pembayaran dṛwya haji hanya dibayarkan sekali setiap tahun tanpa disebut bulannya. Sedangkan, waktu pembayaran dṛwya haji yang dilakukan insidental terjadi saat adanya momentum kejadian tertentu seperti panen, bencana, upacara suci tertentu dan orang meninggal.

Adanya perbedaan waktu yang terdapat dalam ketentuan dṛwya haji pada masa prasasti raja Jayapangus berdasarkan penggolongan penarikan dṛwya haji secara periodik dan insidental memperlihatkan bahwa proses penarikan dṛwya haji dilakukan pada waktu yang berbeda di setiap jenisnya. Perbedaan tersebut dapat disebabkan oleh empat sebab yang bersumber dari penelitian terhadap dua puluh satu prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Jayapangus, yaitu;

1. Raja Jayapangus membagi jumlah dṛwya haji yang banyak berdasarkan waktu penarikan. 2. Pembiayaan keperluan

menjalankan roda

pemerintahan setiap bulan. 3. Efisiensi penarikan dṛwya haji.

4. Manifestasi Raja Jayapangus sebagai titisan dewa Surya. Sebab dari kebijakan Raja Jayapangus untuk mensiasati penarikan dṛwya haji karena dalam prasastinya ada banyak jenis dṛwya haji yang wajib dibayarkan penduduk. Sehingga, Jayapangus terlihat berusaha membagi jumlah dṛwya haji tersebut berdasarkan waktu penarikan. Sebagai contoh adalah penarikan dṛwya haji jenis pajak kepemilikan emas yang dibayarkan setiap hari atau tanggal tertentu di bulan Magha. Hal tersebut juga ditemukan pada pajak profesi dukun yang wajib dibayarkan setiap hari ketiga di bulan Cetra. Hal tersebut sekaligus menjadi bagian dari kontrol kekuasaan raja atas rakyatnya. Sebab pendapatan kerajaan pada masa tersebut berasal dari segala sesuatu yang menjadi milik raja sehingga penduduk diwajibkan membayarkan dṛwya haji di waktu-waktu tertentu.

Penyebab kedua yaitu perbedaan waktu penarikan dṛwya haji untuk terus membiayai keperluan menjalankan roda pemerintahan di setiap tahunnya karena dalam setahun terdapat tujuh bulan masa penarikan dṛwya haji dari penduduk. Hal tersebut ditambah dengan penarikan dṛwya haji yang dilakukan setiap tahun atau dalam peristiwa tertentu. Kemungkinan besar penarikan dṛwya haji berdasarkan dengan adanya peristiwa tertentu dimaksudkan sebagai cadangan pemasukan kerajaan dari sektor dṛwya haji. Hal tersebut diperkuat dengan penarikan dṛwya haji pada peristiwa tertentu tidak disertai dengan waktu yang pasti. Sehingga tidak dapat digambarkan

(16)

perkiraan dalam setahun sebuah kerajaan akan mendapatkan jumlah nominal tertentu dari hasil pemasukan penarikan dṛwya haji dari penduduknya.

Penyebab ketiga adalah perbedaan penarikan dṛwya haji sebagai bentuk efisiensi karena ketentuan dṛwya haji itu memuat batas waktu penarikannya. Efisiensi tersebut bertujuan untuk meminimalisir pengeluaran yang dikeluarkan oleh kas kerajaan dalam membiayai penarikan dṛwya haji. Perbedaan waktu penarikan dṛwya haji tersebut sudah tentu memperhatikan aspek efisiensi agar pengeluaran dalam penarikan dṛwya haji tidak lebih besar dari penarikan dṛwya haji dari penduduk. Raja Jayapangus untuk mensiasati efisiensi tersebut menggunakan pola setiap bulan terdapat dua sampai tiga waktu sekaligus untuk menarik drwya haji dari rakyatnya. Hal tersebut juga untuk memperingan kewajiban rakyat dalam pembayar dṛwya haji.

Terakhir, manifestasi Raja Jayapangus sebagai dewa Surya merujuk pada nama abhiseka atau gelar raja yang digunakan dalam dua puluh satu prasastinya yang memuat ketentuan dṛwya haji. Pada dua puluh satu prasastinya terdapat tiga variasi abhiseka Sri Maharaja Haji Jayapangus yang mengandung unsur arkaja yang dapat diartikan sebagai titisan Surya atau dewa matahari (Astra, 1977: 52). Penyebutan gelar sebagai titisan dewa matahari tersebut dimaksudkan Raja Jayapangus mewakili sifat Surya yang dapat setiap saat dapat menyinari kehidupan rakyatnya baik lahir maupun batin (Tarawiguna, 2008: 22).

Selain hal tersebut, abhiseka Raja Jayapangus merujuk pada konsep astabrata yang berasal dari India yang menjelaskan raja harus memiliki sifat delapan orang penjaga mata angin yang pada intinya menjelaskan seorang raja wajib berbudi luhur, adil, bijaksana dan pemurah (Boechari, 2012: 270). Konsep astabrata yang mewakili Raja Jayapangus adalah sifat dewa Surya yang menurut Kakawin Ramayana disebutkan selalu mengisap air tiada hentinya dengan perlahan-lahan. Hal tersebut merujuk pada sikap seorang raja dalam mengambil sesuatu „hasil‟ tidak diperbolehkan tergesa-gesa (Boechari, 2012: 537). Hasil tersebut yang ditarik dengan perlahan-lahan dan tidak tergesa-gesa adalah setiap jenis dṛwya haji yang diperoleh dari penduduk kerajaan.

Sehingga dapat dikatakan adanya perbedaan dalam pembagian waktu penarikan dṛwya haji tersebut memperlihatkan bahwa raja Jayapangus berusaha untuk melaksanakan konsep astabrata dengan baik dan bijaksana agar rakyat yang dipimpinnya tidak menanggung penderitaan. Hal tersebut dikarenakan jumlah jenis dṛwya haji yang wajib dipenuhi oleh penduduk yang berdiam di wilayah kerajaannya sangatlah banyak.

Besaran nominal pembayaran dṛwya haji mengacu pada satuan mata uang masaka, suwarna, saga dan kupang. Sementara satuan untuk mengukur hasil bumi adalah le, kisa dan sukat untuk beras, panggangang untuk udang, pepes dan periuk untuk ikan tawar, gunja untuk ikan asin, pikul untuk bawang merah dan butir untuk telur itik.

(17)

No. Jenis Dṛwya haji Jumlah Variasi Perbedaan Besaran Nominal 1. Pernikahan 5

2. Pajak Profesi Dukun 2

3. Pajak Kepemilikan Emas 6 4. Pajak Kepemilikan Kain 6

Adanya ketentuan tersebut memperlihatkan bahwa dṛwya haji yang wajib dibayarkan penduduk Bali kuna masa pemerintahan raja Jayapangus berbentuk mata uang dan kekayaan alam. Hal tersebut memperlihatkan bahwa alat tukar berupa mata uang telah lazim digunakan pada masa Bali kuna zaman pemerintahan Raja Jayapangus.

Pada ketentuan dṛwya haji yang dikeluarkan oleh Raja Jayapangus terdapat perbedaan besaran nominal setiap jenis dṛwya haji. Pada dṛwya haji yang berkaitan dengan pernikahan terdapat lima variasi dalam hal besaran nominal yang harus dibayarkan penduduk. Sementara itu pada ketentuan pajak profesi permasalahan ketidaksamaan besaran nominal dṛwya haji yang dibayarkan oleh penduduk kembali muncul. Pajak profesi dukun di desa Landih memiliki perbedaan besaran nominal dṛwya haji yang harus dibayarkan dengan profesi serupa di desa Batwan.

Perbedaan dalam hal besaran nominal dṛwya haji juga ditemui kembali pada pajak kepemilikan emas. Pada pajak kepemilikan emas tersebut terdapat enam variasi besaran nominal dṛwya haji yang harus dibayarkan oleh pemilik emas. Hal tersebut juga berlaku pada pajak kepemilikan kain yang mencantumkan ketidaksamaan dalam setiap besaran nominal dṛwya haji yang dibayarakan oleh pemilik kain. Pemilik kain di desa Banu Bwah dikenai besaran nominal pajak kepemilikan tertinggi jika dibandingkan dengan pemilik kain di desa Jhuharan, Kintamani, Bugbug, Buyan Sanding Tamblingan, dan Buwahan.

Besaran nominal dṛwya haji yang berkaitan dengan pajak kepemilikan alat musik diketahui juga terdapat variasinya. Pada pajak kepemilikan alat musik gamelan terdapat enam variasi besaran nominal dṛwya haji. Hal tersebut juga berlaku pada kepemilikan alat musik calung yang memuat perbedaan besaran nominal yang harus dibayarkan pemilik calung di desa Buwahan dan Buru Sri Mukha, Buru Bayung Tngah Padang dan Bunar.

Perbedaan besaran nominal drwya haji tidak hanya ditemukan hal pernikahan, pajak profesi dan kepemilikan. Namun juga ditemukan perbedaan besaran nominal dalam dṛwya haji terkait dengan peraturan kependudukan penduduk desa yang meninggal dunia. Pada peraturan kependudukan penduduk desa yang meninggal dunia terdapat tiga besaran nominal yang berbeda. Besaran nominal dṛwya haji yang ditemukan dalam buat haji juga memuat hal yang saling berbeda satu sama lain. Pada jenis buat haji ditemukan enam besaran nominal yang berbeda.

Tabel 1.26 Variasi Perbedaan Besaran Nominal Pembayaran Dṛwya haji

(18)

5. Pajak Kepemilikan Alat Musik Gamelan dan Calung

8

6. Kependudukan 3

7. Buat Haji atau Gotong Royong

6

Berdasarkan tabel variasi perbedaan besaran nominal pembayaran dṛwya haji diketahui bahwa jenis dṛwya haji yang menyebutkan mengenai ketentuan pernikahan terdapat lima variasi perbedaan besaran nominal. Dṛwya haji yang menyebutkan mengenai ketentuan pernikahan terdapat dalam sebelas prasasti yaitu Bwahan D, Sukawana B, Bugbug, Dalung, Bengkala, Mayungan, Penida Kaja, Selat A, Bulian A, Krobokan dan Bwahan E. Sementara variasi perbedaan besaran nominal pembayaran dṛwya haji pajak profesi dukun berjumlah dua yang terdapat dalam prasasti Landih B- Nongan B dan Batunya.

Variasi perbedaan besaran nominal pembayaran dṛwya haji paling banyak ditemui pada jenis pajak kepemilikan yang terdapat dalam prasasti Prasasti Sukawana B, Bwahan D, Sukawana B, Landih B-Nongan B, Bugbug, Cempaga A, Dalung, Bengkala, Batur Pura Abang, Kediri, Selat A, Batunya, Bulian A, Krobokan, Serai B, dan Bwahan E. Pajak kepemilikan tersebut dapat digolongkan lagi menjadi pajak pemilikan emas, kain dan alat musik. Pajak kepemilikan emas diatur dalam prasasti Sembiran C, Bwahan D, Sukawana B, Bugbug, Dalung, Bengkala, Kediri, Selat A, Batunya dan Bwahan E.

Pada pajak kepemilikan emas tersebut terdapat enam variasi besaran nominal pembayaran dṛwya haji. Pajak kepemilikan kain diatur dalam prasasti Bwahan D, Sukawana B, Bugbug, Bulian A, Krobokan dan Bwahan E. Terdapat enam variasi perbedaan besaran nominal pada kategori pajak kepemilikan jenis kain. Sementara, pajak kepemilikan alat musik mencatat adanya delapan variasi perbedaan besaran nominal. Pajak kepemilikan alat musik disebut dalam prasasti Landih B- Nongan B, Bugbug, Cempaga A, Bulian A, Serai B dan Bwahan E.

Pada tabel juga dapat dilihat bahwa dṛwya haji terkait kependudukan menyebutkan adanya tiga variasi perbedaan besaran nominal pembayaran drwya haji. Ketentuan dṛwya haji kependudukan disebutkan dalam prasasti Bugbug, Bengkala, Selat A, Batunya, Pengotan C1, Bulian A, Krobokan, Bwahan E dan Malat Gede. Sedangkan, berdasarkan tabel tersebut juga dapat diketahui adanya variasi perbedaan besaran nominal dṛwya haji yang termasuk dalam buat haji. Pada buat haji tersebut terdapat enam variasi perbedaan besaran nominal dṛwya haji yang wajib dibayarkan dari sejumlah sepuluh prasasti yaitu Sukawana B, Landih B-Nongan B, Bugbug, Cempaga A, Penida Kaja, Batur Pura Abang, Serai B, Tonja dan Bwahan E. Perbedaan besaran nominal dṛwya haji yang ditetapkan oleh Raja Jayapangus bukannya tanpa sebab. Perbedaan tersebut dapat dijelaskan dalam tiga sebab yang menjadi latar belakang adanya perbedaan besaran nominal dṛwya

(19)

haji. Ketiga sebab tersebut adalah sebagai berikut;

1. Adanya daerah yang dianugerahkan hak swatantra. 2. Adanya daerah yang ketetapan

dṛwya haji dimohonkan oleh sesepuh desa.

3. Kedudukan status sosial pembayar dṛwya haji dalam masyarakat suatu desa tertentu. Perbedaan besaran nominal dṛwya haji karena adanya daerah yang dianugerahkan hak swatantra terljadi karena desa tersebut diberikan otonomi oleh raja dalam mengelola pajak. Sebab khusus dari hal itu karena adanya bangunan suci di desa yang harus dirawat dan dikelola oleh penduduk dan pejabat tertentu. Pembayaran dṛwya haji di daerah swatantra pada masa pemerintahan Raja Jayapangus diketahui lebih ringan dari daerah lainnya. Jumlah jenis dṛwya haji dalam prasasti tersebut juga relatif sedikit jika dibandingkan dengan kawasan lainnya yang juga diwajibkan menyetorkan dṛwya haji. Pada dṛwya haji dalam prasasti yang memuat sambhandha mengenai hak swatantra diketahui adanya keringanan yang harus dibayarkan oleh penduduk. Keringanan tersebut sudah barang tentu berkaitan dengan besaran nominal dṛwya haji yang wajib dibayarkan. Salah satu contohnya adalah pajak profesi dukun di prasasti Landih B- Nongan B yang berstatus swatantra dengan prasasti Batunya yang tidak menyebutkan hak swatantra. Besaran nominal profesi dukun

dalam prasasti Landih B-Nongan B diketahui lebih ringan daripada prasasti Batunya.

Penyebab kedua yang ditemukan adalah adanya perbedaan besaran nominal dṛwya haji yang disebabkan oleh prasasti dimohonkan oleh sesepuh atau tokoh desa. Pada bagian sambhanda prasasti Dalung disebutkan bahwa perbaikan ketentuan drwya haji dimohonkan oleh sesepuh desa Buduk. Adanya hal tersebut memperlihatkan bahwa penetapan dṛwya haji di desa Buduk tidak dapat dilepaskan oleh campur tangan sesepuh desa setempat yang lebih mengetahui keadaan desanya daripada raja. Penyebab tersebut hanya ditemukan dari prasasti Dalung, akan tetapi kemungkinan besar hal serupa juga terjadi dalam prasasti lainnya. Sebab sebanyak empat belas prasasti lainnya dikeluarkan karena adanya perselisihan antara penduduk dan petugas penarik drwya haji. Adanya perselisihan tersebut diketahui oleh raja dari laporan penduduk. Jika hal tersebut benar, maka penduduk desa atau perwakilannya turut berperan dalam penetapan besaran nominal drwya haji yang dibebankan kepadanya.

Terakhir, kedudukan sosial pembayar dṛwya haji memperngaruhi perbedaan besaran nominal jenis drwya haji. Hal tersebut ditemukan pada dṛwya haji jenis pajak profesi dan kepemilikan. Kedudukan sosial pembayar pajak profesi dukun di wilayah desa Landih berbeda dengan Batwan. Pajak profesi dukun di desa Batwan dikenai besaran nominal yang lebih mahal dari desa Landih. Hal tersebut dapat terjadi selain adanya ketetapan desa Landih sebagai desa swatantra juga karena posisi dukun

(20)

memegang peranan penting di masyarakat sehingga dikenai besaran nominal dṛwya haji yang berbeda. Semakin besar nominal dṛwya haji yang harus dibayarkan maka diketahui bahwa profesi dukun di desa tersebut memiliki peranan penting dalam kehidupan bermasyarakat.

Sementara itu, perbedaan besaran nominal dṛwya haji juga terjadi dalam jenis pajak kepemilikan ditinjau dari kedudukan sosial pembayarnya. Perbedaan besaran nominal tersebut terjadi pada pajak kepemilikan emas, kain dan alat musik yang harus dibayarkan setiap pemilik barang tersebut di suatu wilayah. Pada pajak kepemilikan emas terdapat enam variasi besaran nominal yang wajib dibayarkan. Variasi tersebut memperlihatkan bahwa keadaan sosial pemilik emas di suatu desa mempengaruhi besaran nominal pembayaran pajak. Ketentuan besaran nominal pembayaran pajak kepemilikan emas secara umum diketahui dibayarkan sebesar 3 saga oleh pemilik emas. Namun diwilayah desa Julah dan Buduk jumlah besaran nominal yang wajib dibayarkan sebesar 12 saga dan 13 saga. Adanya perbedaan tersebut memperlihatkan bahwa kedudukan sosial pemilik emas di kedua desa tersebut memiliki strata yang berbeda dengan penduduk kebanyakan. Hal tersebut juga berlaku pada pajak profesi kepemilikan kain dan alat musik. Semakin tinggi besaran nominal pajak kepemilikan kain atau alat musik di suatu wilayah maka dapat diketahui bahwa pembayarnya adalah golongan berada di masyarakat.

Pembayaran dṛwya haji tersebut disertai dengan besaran nominal tertentu yang pada setiap jenis pajaknya ditemui variasi besaran nominal dṛwya haji. Sejumlah besaran dṛwya haji yang wajib dibayarkan penduduk tersebut kemudian diserahkan pada pemungut dṛwya haji. Petugas pemungut dṛwya haji tersebut kemudian mengelolanya dan memberikannya pada kas Kerajaan.

Bagan 1.1. Proses Penarikan Dṛwya haji Periodik atau Insidental

Raja (Pusat)

Pejabat Penarik atau Pengelola dṛwya haji Desa

Berdasarkan bagan 1.1 dapat dijelaskan bahwa proses penarikan dṛwya haji dilakukan dengan jalan satu arah yaitu dari desa langsung ke pusat. Proses penarikan dṛwya haji tersebut dibagi menjadi dua wilayah kerja yaitu dipungut pejabat penarik pajak di desa tempat pembayar dṛwya haji berada dan atau penduduk membayarkan dṛwya haji kepada pejabat penarik dṛwya haji di tempat tertentu yang terpisah dengan desanya.

Pada masa pemerintahan Raja Jayapangus terdapat dua jenis lokasi yang menjadi tempat penarikan dṛwya haji. Lokasi jenis pertama adalah wilayah yang secara khusus menjadi tempat penduduk desa menyerahkan atau membayarkan dṛwya haji. Sebagai contoh adalah tempat pengumpulan dṛwya haji jenis pajak kepemilikan kain yang harus diserahkan penduduk di Tlas Gaduh. Sementara itu, lokasi jenis kedua adalah tempat pejabat penarik dṛwya haji

(21)

melaksanakan tugasnya dengan memungut dṛwya haji dari penduduk desa. Lokasi jenis pertama dapat dikatakan sebagai pusat dari dṛwya haji dibayarkan oleh penduduk desa. Sedangkan lokasi jenis kedua adalah nama- nama desa di kerajaan Bali kuna masa pemerintahan Raja Jayapangus. Pada lokasi jenis kedua dapat dijelaskan bahwa dṛwya haji ditarik di desa tempat pembayar dṛwya haji berdomisili. Pejabat pemungut dṛwya haji secara langsung menarik dṛwya haji pada setiap desa tersebut.

Bagan 1.2. Penarikan Dṛwya Haji Berdasarkan Lokasi Pertama dan Kedua

Lokasi pertama = Penduduk desa Pusat pembayaran dṛwya haji

Lokasi kedua = Desa penduduk Pejabat penarik drwya haji

Lokasi jenis pertama tersebut berjumlah dua puluh tujuh tempat. Tempat- tempat tersebut diantaranya adalah Hyang Api, Hari Tanten, Banuwka, Tlas Gaduh, Rggap Sumbat, Bhatari Ganapati di Tampu Hyang, Adikara Hyang Bapa Hyang Mami, Wijayapura, Manasa, Babut, Bhatara ri Talamuka, Sambar, Bhatara Silidiri, Bhatara Tuluk Byu, Pangurwan, Tuga Bikin, Bhatara Punta Hyang, daerah Perburuan, Kahirwan, Sarbwan, Banu Bwah, Perak, Kasban/ Kasabwan, Kembangan, Bayung Tengah, Palahatan dan Turunan. Lokasi yang menyebutkan Hyang Api, Adikara Hyang Bapa Hyang Mami, Bhatara ri Talamuka, Bhatara Silihdiri, Bhatara Tuluk Byu, dan Bhatara Punta Hyang kemungkinan besar merujuk pada nama bangunan suci di masa pemerintahan Raja Jayapangus.

Sementara lokasi jenis kedua berjumlah dua puluh lima tempat yang diantaranya adalah desa Julah, Jhuharan, Kintamani, Landih, Bugbug, Campaga, Buduk, Bengkala, Mayungan, Halang Batwan, Air Abang, Paskan, Kanuruhan, Batwan, Basangkasa, Buyan Sanding Tamblingan, Buru Sri Mukha, Buru Bayung Tngah Padang, Bunar, Talujun, Alas, Bon Tbu, Sakar, Buwahan dan Air Malat. Nama desa itu disebut dalam dua puluh satu prasasti Bali kuna masa pemerintahan Raja Jayapangus yang memuat tentang ketentuan dṛwya haji yang dibayarkan oleh penduduk.

Perkiraan Luas Kerajaan Bali Kuna Lokasi dalam prasasti yang memuat perbaikan ketentuan dṛwya haji di masa Bali Kuna masa pemerintahan Raja Jayapangus, secara tidak langsung merujuk pada luas kerajaan Bali Kuna masa Jayapangus memerintah. Pada bagian sambhandha prasastinya disebutkan Raja Jayapangus sebagai penguasa tunggal pulau Bali yang terdiri atas tujuh negara bawahan. Berdasarkan bukti toponimi lokasi penarikan dṛwya haji dalam dua puluh prasasti yang dikeluarkan Raja Jayapangus diketahui wilayah kerajaannya pada masa sekarang. Wilayah kekuasaan Jayapangus pada masa sekarang meliputi daerah di Kabupaten Buleleng, Klungkung, Bangli, Tabanan, Badung, Gianyar dan Karangasem.

Tabel 1.27 Kabupaten dan jumlah desanya yang ada dalam dua puluh satu prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Jayapangus.

No Nama Jumlah desa/banjar yang ada dalam Prasasti Bali Kuna

(22)

Kabupaten Masa Raja Jayapangus 1. Bangli 7 2. Buleleng 4 3. Tabanan 2 4. Badung 3 5. Gianyar 2 6. Klungkung 1 7. Karangasem 1

Konsentrasi desa zaman Bali kuna ketika Raja Jayapangus berkuasa berada di wilayah Kabupaten Bangli pada masa sekarang. Selain itu, terlihat bahwa daerah pesisir utara Bali memiliki peran penting saat raja Jayapangus berkuasa. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya tiga desa yang berada di pesisir utara pulau Bali. Selain di pesisir utara pulau Bali, pesisir selatan juga mempunyai peran yang tidak kalah penting. Terdapat empat desa yang berada di pesisir selatan pulau Bali. Sementara itu, pada bagian barat pulau Bali tidak dijumpai nama desa yang disebut dalam prasasti masa pemerintahan Jayapangus. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Raja Jayapangus tidak pernah memperluas daerahnya hingga ke bagian barat pulau Bali.

Dari wilayah tersebut diketahui bahwa orientasi daerah kekuasaan Raja Jayapangus menuju ke arah timur, bukan barat. Pada dua puluh satu prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Jayapangus, terlihat bahwa mayoritas tempat berada di timur pulau Bali, atau Bangli pada masa sekarang.

Selain itu, dapat dilihat bahwa wilayah Bali Kuna pada masa tersebut membentang dari utara dan selatan. Hal ini kemungkinan besar karena daerah utara atau selatan pulau Bali adalah daerah pesisir yang memiliki koneksi dengan jalur perdagangan maritim. Hal tersebut diperkuat dengan ketentuan dṛwya haji yang terdapat dalam prasasti Sembiran C yang menyebutkan adanya ketentuan pajak transportasi bagi perahu yang berlabuh di desa Julah. Desa Julah sendiri terletak di pesisir utara Pulau Bali atau tepatnya kini berada di Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng.

Kesimpulan

Raja Jayapangus merupakan salah satu penguasa Bali Kuna yang banyak meninggalkan prasasti. Semasa memerintah sebagai raja, Jayapangus telah mengeluarkan prasasti sebanyak empat puluh empat prasasti. Sebanyak dua puluh satu diantaranya berangka tahun 1103 Śaka/1181 Masehi dan satu lainnya 1099 Śaka/1177 Masehi. Prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Jayapangus sebanyak 21 yang berangka tahun 1103 Śaka/1181 Masehi tersebut memuat tentang ketentuan dṛwya haji. Persamaan tahun dalam 21 prasasti yang dikeluarkannya tersebut karena Raja Jayapangus menetapkan kembali ketentuan dṛwya haji pada para penduduknya. Pada bagian sambhandha 21 prasasti yang berangka tahun 1103 Saka/1181 Masehi dapat dijelaskan jika raja Jayapangus menyelesaikan persoalan konflik pungutan dṛwya haji yang melibatkan penduduk desa dengan dan petugas pemungut pajak atau sang admak akmitan apigajih.

Referensi

Dokumen terkait