• Tidak ada hasil yang ditemukan

SISTEM KONVERSI DAYA TERPILIH UNTUK PEMBANGKIT PASANG SURUT DI INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SISTEM KONVERSI DAYA TERPILIH UNTUK PEMBANGKIT PASANG SURUT DI INDONESIA"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

SISTEM KONVERSI DAYA TERPILIH UNTUK PEMBANGKIT PASANG

SURUT DI INDONESIA

Albertus Endry Putranto Program Studi Magister Teknik Elektro Universitas Kristen Indonesia, Jakarta, Indonesia

ABSTRACT

Design of electrical transmission for tidal arrays should meet the specification, technology and architectural from full electrical test to building the tidal power system. This research consider to requirements of tidal power which built in Indonesia consist of components, typology and cost development and also reviewing of levelized cost of energy of the system. The most important things of this development is reduce cost installation and maintenance with power design 7.5 kV DC and floating hubs which can be power converter from 6.6kV AC up to 33kV AC with switchgear grid-tie applied. Keywords: Tidal, Turbine,

I. PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang Masalah

Pemenuhan kebutuhan manusia terhadap energi semakin hari semakin betrambah. Energi yang di gunakan saat ini berasal dari fosil (minyak bumi, batu bara dan gas) namun eksploitasi yang berlebihan mengakibatkan persediaannya semakin menipis dan tidak dapat diperbaharui. Penggunaan energi konvensional tidak hanya berdampak pada krisis kekurangan energi tetapi juga berdampak pada krisis lingkungan hidup karena sifatnya tidak dapat diperbaharui. Untuk mengatasi masalah tersebut maka perlu dipikirkan untuk mencari energi alternative sebagai pengganti sumber energi fosil sebagai sumber penghasil tenaga listrik.

Salah satu sumber energi alternative yang dapat diaplikasikan di Indonesia adalah energi pasang surut. Energi tersebut dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif dengan cara pemanfaatan energi potensial yang tersimpan pada setiap aliran air (Manuaba, 2008).

Indonesia dengan luas perairan hampir 60% dari total luas wilayah sebesar 1.929.317 km2, Indonesia seharus Pantai merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan lautan dan merupakan negara kepulauan yang dikelilingi oleh dua lautan samudera, yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Indonesia berada di garis katulistiwa, sehingga menyebabkan kondisi pasang surut, angin, gelombang dan arus laut yang terjadi di perairan ini sangat kuat (Sumotarto, 2003).

Perairan Indonesia terdapat keberadaan potensi energi pasang surut yang telah diketahui, antara lain perairan Tanjung Priok di Jakarta kisarannya sekitar 1m, di perairan Ambon sekitar 2m, Bagan Siapi-api sekitar 4 m, sedangkan yang tertinggi ditemukan di Sungai Digul dan Selat Muli papua bagian selatan dengan kisaran pasang-surutnya dapat mencapai sekitar 7 sampai dengan 8 m (Dahuri, 2001).

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa potensi energi pasang surut di Indonesia sesungguhnya lebih besar, karena energi pasang surut bersifat terbaharukan (renewable) dan tidak menimbulkan pencemaran (pollution-free), maka perlu adanya pengembangan dan pemanfaatan energi pasang surut untuk menunjang pembangunan ekonomi secara berkelanjutan (Sumotarto, 2008).

Secara garis besar terdapat 2 kelompok energi yang bekerja di pantai. Kelompok pertama adalah kekuatan erosif dari badai, angin dan gelombang, sedangkan kelompok kedua adalah kekuatan restoratif dari pasang-surut dan arus (Rositari, 2002). Beberapa wilayah pesisir di Indonesia yang memiliki wilayah estuaria cukup luas, yaitu di Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Irian Jaya (Spriadi, 2001). Estuaria merupakan wilayah pesisir yang memiliki tingkat kesuburan tinggi, karena masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut, (misalnya pasang surut) dan karena dipengaruhi oleh adanya kegiatan yang ada di darat, (misalnya pemukiman, industri, pertanian dalam bentuk sedimentasi dan debit aliran sungai). Seluruh kegiatan tersebut sangat membutuhkan

(2)

energinya bisa menerapkan teknologi alternatif ini [3]. Apalagi dengan bentangan Timur ke Barat sepanjang 5.150 km dan bentangan Utara ke Selatan 1.930 km telah mendudukkan Indonesia. sebagai negara dengan garis pantai terpanjang di dunia. Pada musim hujan, angin umumnya bergerak dari Utara Barat Laut dengan kandungan uap air dari Laut Cina Selatan dan Teluk Benggala. Di musim Barat, gelombang air laut naik dari biasanya di sekitar Pulau Jawa. Fenomena alamiah ini mempermudah pembuatan teknik pasang surut tersebut [4].

I.2 Identifikasi Masalah

• Pengertian dari sumber energy pasang surut air. • Manfaat, keuntungan dan kerugian dari sumber

energy pasang surut air.

• Prinsip kerja dari sumber energy pasang surut air.

I.3 Tujuan Penelitian

• Bagaimana merancang konversi daya dan sistem pengumpulan daya pasang surut yang sesuai diaplikasikan di Indonesia.

II. KEBUTUHAN TEKNOLOGI PEMBANGKIT PASANG SURUT II.1 Pasang Surut

Menurut Pariwono (1989), fenomena pasang surut diartikan sebagai naik turunnya permukaan laut secara berkala akibat adanya gaya tarik benda-benda angkasa terutama matahari dan bulan terhadap massa air di bumi. Demikian juga menurut Dronkers (1964) pasang surut laut merupakan suatufenomena pergerakan naik turunnya permukaan air laut secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi gaya gravitasi dan gaya tarik menarik dari benda-benda astronomi terutama oleh matahari, bumi, dan bulan. Pengaruh benda angkasa lainnya dapat diabaikan karena jaraknya lebih jauh, dan ukurannya lebih kecil.

Pasang surut laut merupakan hasil dari gaya tarik gravitasi dan efek sentrifugal. Efek sentrifugal adalah dorongan kearah luar pusat rotasi. Gravitasi berbanding lurus dengan massa, tetapi berbanding terbalik dengan jarak. Meskipun ukuran bulan lebih kecil dari pada matahari, gaya tarik gravitasi bulan dua kali lebih besar daripada gaya tarik matahari dalam membangkitkan pasang surut laut.

Hal ini karena jarak bulan lebih dekat daripada jarak matahari ke bumi. Gaya tarik gravitasi menarik air laut ke arah bulan dan matahari dan menghasilkan dua tonjolan (bulge)

pasang surut gravitasional di laut. Lintang dari tonjolan pasang surut ditentukan oleh deklinasi, sudut antara sumbu rotasi bumi dan bidang orbital bulan dan matahari (Gross, 1990).

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pasang surut berdasarkan teori kesetimbangan adalah rotasi bumi pada sumbunya, dan revolusi bulan terhadap matahari, revolusi bumi terhadap matahari. Sedangkan berdasarkan teori dinamis adalah kedalaman dan keluasan perairan, pengaruh rotasi bumi (gaya coriolis), dan gesekan dasar. Selain itu juga terdapat beberapa faktor lokal yang dapat mempengaruhi pasang surut disuatu perairan seperti, topogafi dasar laut, lebar elat, bentuk teluk, dan sebagainya, sehingga berbagai lokasi memiliki ciri pasang surut yang berlainan (Wyrtki, 1961). Menurut Wyrtki (1961), pasang surut di Indonesia dibagi menjadi 4 yaitu: pasang surut harian tunggal (Diurnal Tide), pasang surut harian ganda (Semi Diurnal Tide), pasang surut campuran condong harian tunggal (Mixed Tide, Prevailing Diurnal), dan pasang surut campuran condong harian ganda (Mixed Tide, Prevailing Semi Diurnal). Pasang surut harian tunggal (Diurnal Tide) Merupakan pasang surut yang hanya terjadi satu kali pasang dan satu kali surut dalam satu hari, ini terdapat di Selat Karimata. Pasang surut harian ganda (Semi Diurnal Tide) merupakan pasang surut yang terjadi dua kali pasang dan dua kali surut yang tingginya hampir sama dalam satu hari, ini terdapat di Selat Malaka hingga laut Andaman. Pasang surut campuran condong harian tunggal (Mixed Tide, Prevailing Diurnal) merupakan pasang surut yang tiap harinya terjadi satu kali pasang dan satu kali surut tetapi terkadang dengan dua kali pasang dan dua kali surut yang sangat berbeda dalam tinggi dan waktu, ini terdapat di Pantai Selatan Kalimantan dan Pantai Utara Jawa Barat. Pasang surut campuran condong harian ganda (Mixed Tide, Prevailing Semi Diurnal) merupakan pasang surut yang terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam sehari tetapi terkadang terjadi satu kali pasang dan satu kali surut dengan memiliki tinggi dan waktu yang berbeda, ini terdapat di Pantai Selatan Jawa dan Indonesia Bagian Timur. Pasang surut laut adalah gerak relatif dari materi suatu planet, bintang dan benda angkasa lainnya yang disebabkan gaya gravitasi benda angkasa dari luar materi itu berada, sehingga terjadi peristiwa naik turun permukaan air laut disertai gerakan horizontal massa air. Faktor-faktor nonAstronomis yang mempengaruhi tinggi gelombang pasang surut adalah kedalaman

(3)

perairan dan keadaan meteorologi serta faktor hidrografis lainnya. Pasang surut tidak hanya fenomena naik turunnya air laut secara vertikal tetapi juga merupakan fenomena gerakan air laut secara horizontal (Haryono, dkk., 2007:10–11). Pasang surut menggerakkan air dalam jumlah besar setiap harinya dan pemanfaatannya dapat menghasilkan energi dalam jumlah yang relatif besar. Dalam sehari bisa terjadi hingga dua kali siklus pasang surut. Oleh karena waktu siklus bisa diperkirakan (kurang lebih setiap 12,5 jam sekali), maka suplai listriknya pun lebih dapat diandalkan daripada pembangkit listrik bertenaga ombak. Prinsip dasar pembangkit listrik pasang surut adalah dinamika pergerakan turbin yang dipasang secara teknis pada pertemuan muara sungai dan laut, pemanfaatan energi potensial dari pasang ke surut dan sebaliknya dipakai menggerakkan turbin tersebut, yang diperlihatkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Prinsip pembangkit listrik pasang surut

Listrik tenaga pasang surut memiliki beberapa keunggulan. Diantaranya adalah bahwa tenaga pasang surut merupakan sumber energi terbarukan karena pasang surut di planet kita disebabkan oleh interaksi gaya gravitasi antara Bulan dan Matahari, serta rotasi bumi, yang berarti bahwa listrik tenaga pasang surut tidak akan habis [2].

Satu keunggulan besar yang dimiliki tenaga pasang surut dibandingkan beberapa sumber energi terbarukan lainnya (terutama energi angin) adalah bahwa tenaga pasang surut merupakan sumber energi yang sangat handal. Hal ini dapat dipahami karena kita bisa memprediksi kapan air pasang akan naik dan kemudian surut, karena pasang-surutnya air laut jauh lebih siklik daripada pola cuaca yang acak. Dan juga, listrik

tenaga pasang surut tidak menghasilkan gas rumah kaca seperti bahan bakar fosil. Limbah berbahaya seperti ini juga dikhawatirkan terjadi pada penggunaan energy nuklir.

Waduk dan bendungan kecil yang diperlukan untuk memanfaatkan tenaga pasang surut juga dapat memainkan peran yang sangat penting dalam melindungi kota-kota terdekat atau pelabuhan dari gelombang berbahaya pada saat terjadi badai. Listrik tenaga pasang surut merupakan sumber energi yang sangat efisien, dengan efisiensi 80,00%, ini berarti bahwa efisiensi energi pasang surut hampir tiga kali lebih besar dari batubara dan minyak bumi yang memiliki efisiensi 30,00%. Demikian juga secara signifikan lebih tinggi dari efisiensi energi surya dan angin.

Kelemahan utama energi pasang surut adalah pembangkit listrik pasang surut sangat mahal untuk dibangun. Listrik tenaga pasang surut jika dibandingkan dengan pembangunan listrik pembangkit/bahan bakar fosil biayanya lebih mahal. Namun begitu, pembangkit listrik pasang surut dibangun hanya sekali dan biaya pemeliharaannya relatif rendah. Begitu pula di kehidupan nyata, energi pasang surut hanya dapat dilakukan di pantai dengan diferensial pasang surut yang baik, artinya tidak banyak lokasi yang benar-benar cocok untuk jenis pembangkit listrik tenaga pasang surut, dan hanya menghasilkan listrik selama ada gelombang pasang yang rerata terjadi sekitar 10 jam setiap hari (Sumotarto, 2012).

III. METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode kuantitatif. Data dikumpulkan dari pengamatan secara tidak langsung di lapangan. Berdasarkan tujuannya, penelitian ini dikategorikan sebagai metode penelitian terapan. III.1. Area penelitian

Lokasi pembangkit pasang surut akan menentukan operasi keadaan lingkungan. Lokasi juga menentukan bagaimana energi dapat digunakan atau ditransmisikan. Beberapa wilayah di Indonesia dengan potensi sumber daya pasang surut terbaik termasuk Sumatra, Kalimantan, Nusa Tenggara dan Papua. Dari jumlah tersebut, Nusa Tenggara dan Papua dipandang paling menjanjikan untuk pengembangan pembangkit pasang surut. Ukuran gelembung mewakili produksi energi potensial tahunan. Papua bagian selatan, yang memiliki sumber daya terbesar, memiliki kedalaman air rata-rata lebih dari 60 m

(4)

dan kurang dari 8 km dari daratan terdekat. Lebih dari 85% dari area potensial (26 dari 30) berjarak 10 km dari pantai di perairan yang rata-rata kurang dari 80 m.

Gambar 2. Potensi Energi Pasang Surut di Indonesia

III.2. Turbin pasang surut, tataletak dan interkoneksi

Desain turbin mempengaruhi pilihan komponen yang digunakan di sistem kelistrikan, desain array mempengaruhi pilihan rancangan listrik. Dalam generasi pertama dari array daya pasang surut komersial, diharapkan turbin memiliki daya output 1 MW per rotor turbin dan dapat ditingkatkan teknologi bilahnya dimasa depan. Meskipun merencanakan pembangkit array hingga 200 MW, pembangkit seperti itu kemungkinan dibangun dalam fase sekitar 30 MW.

Dalam semua desain turbin, terlepas dari kedalaman air rata-rata, sumbu rotasi dari turbin biasanya terletak di bawah permukaan air, dan rumah turbin terendam air selama bekerja. Rumah turbin biasanya rumah generator, dan kedalaman rumah turbin mempengaruhi tekanan yang ditimbulkannya kira-kira 1 bar di atas tekanan atmosfer untuk setiap kedalaman 10 m. Kemungkinan untuk mendesain rumah turbin untuk menahan 10 bar, dan biasanya setiap peralatan di dalam rumah turbin hanya perlu beroperasi pada tekanan atmosfer.

Arus pasang surut sangat variable, tetapi dapat diprediksi. Setiap lokasi dan waktu, besar dan arah aliran pasang surut dapat diprediksi cukup akurat. Jadi memungkinkan untuk meletakan turbin pada array sedemikian rupa sehingga gangguan antar-turbin karena efek pembangunan dapat diminimalkan. Sama seperti di susunan turbin angin, jarak antar turbin bergantung pada diameter rotor.

IV. PERANCANGAN KELISTRIKA PASANG SURUT

Bab ini menjelaskan cara menghubungkan komponen yang dipilih dengan cara menggabungkan 10 hingga 200 turbin dan menghubungkan ke jaringan 132 kV. Desain ini diasumsikan menggunakan generator tegangan rendah (690V) untuk turbin 1MW. Pembahasan berikutnya adalah perancangan jaringan single-line. Pemutus sirkuit dan interupsi tidak ditampilkan dalam diagram single-line. Agregasi diilustrasikan menggunakan input 'terbuka' ke bus bar. Poin ke poin pemasangan kabel dan cincin atau pengumpan jenis kabel ditunjukkan dengan simbol berbeda, arti simbol sebenarnya akan dijelaskan dari uraian yang dipakai. Setiap pengaturan yang ditampilkan diberi nama sesuai dengan jenis output dari rumah turbin dan jumlah komponen di hub.

Angka-angka juga menunjukkan tingkat daya per cincin atau pengumpan untuk setiap pengaturan, yang dapat digunakan untuk menghitung jumlah cincin atau pengumpan yang diperlukan dalam susunan total.

IV.1 Pengumpulan frekuensi variabel

Desain pertama [6], ditunjukan pada Gambar. 3 tidak memiliki konverter di rumah turbin sehingga output turbin memiliki tegangan variabel, frekuensi AC variabel. Agar biaya masuk akal untuk output rumah turbin tegangan menengah hingga 6,6 kV ac. Penggunaan generator 690 V akan membutuhkan trafo step-up, namun trafo ini mungkin tidak diperlukan jika generator itu menghasilkan tegangan menengah. Pengaturan VF-0 membutuhkan sisi mesin konverter minimal 6.6 kV ac. Pengaturan VF-3 membutuhkan mesin converter untuk meningkatkan tegangan ac ke dc yang cukup tinggi untuk mengaktifkan konverter sisi grid agar menghasilkan 6.6 kV ac.

Semua pengaturan ini dapat mengakomodasi semua jenis generator selama mesin di sisi konverter sepenuhnya aktif. Dalam pengaturan ini koneksi dari turbin ke hub adalah point-to-point, tetapi output dari hub dapat diagregasikan kedalam cincin atau pengumpan.

(5)

Gambar 3. Komponen yang menggunakan rumah turbin tanpa converter.

IV.2 Pengumpulan frekuensi tetap

Desain berikutnya [6], ditunjukkan pada Gambar. 4, memiliki konverter di rumah turbin maka, output dari turbin memiliki tegangan yang tetap, frekuensi AC tetap. Agar biaya system masuk akal, konverter berada pada tegangan rendah (690 V), dan output akan dinaikan pada turbin. Output turbin dapat mencapai 6,6 kV atau 11 kV ac. Pengaturan ini juga dapat mengakomodasi semua jenis generator seperti selama konverter sisi mesin sepenuhnya aktif.

Gambar 4. Komponen yang menggunakan rumah turbin dengan converter.

IV.3 Pengumpulan DC

Desain terakhir [6], pada Gambar. 5, memiliki konverter di rumah turbin maka, output dari turbin berupa tegangan dc. Agar biaya sistem

masuk akal, output turbin harus ± 5 kV atau ± 7,5 kV dc. Karena posisi konverter terendam, kehandalannya harus tinggi untuk meminimalkan perawatan. Mengingat keadaan konverter tegangan menengah, keandalan hanya dapat dipenuhi dengan menggunakan konverter pasif. Sebuah konverter pasif seperti bridge dioda dapat mengakomodasi medan generator sinkron, di mana control arus medan mengatur tegangan output bridge diode. Konsep tersebut dapat disesuaikan untuk kebutuhan susunan pembangkit pasang surut tegangan menengah. Jika konverter sisi pada jaringan dapat menerima input variabel dc dan masih menghasilkan output tegangan ac tetap, kemudian PMG bisa diakomodasi juga. Konsep itu berhasil baik jika output dari turbin yang diagregasikan pada dc bus kira-kira sama. Mengingat bahwa arus pasang surut dapat diprediksi, seharusnya perancang tata letak array dan interkoneksi harus dapat dipastikan kondisnya.

Gambar 5. Komponen yang menggunakan rumah turbin dengan keluaran DC

IV.4 Perbandingan antara pembangkit

Idealnya, untuk memilih rancangan desain standar dari banyak pilihan, perancang harus memperkirakan (levelized cost of energy) LCoE beberapa pembangkit pasang surut yang dibangun dengan masing-masing kemungkinan varian dan kemudian pilih opsi dengan biaya terendah. Dapat mengadopsi pendekatan dua tahap, tahap pertama, melakukan perhitungan untuk mengerucutkan rancangan dan mengidentifikasi lokasi komponen yang

(6)

diinginkan. Tahap kedua, melakukan desain rekayasa awal dari varian rancangan terpilih. Lalu membandingkan capex (modal) dan opex (biaya operasi) dari desain ini untuk mengidentifikasi rancangan yang diingikan.

Untuk tahap pertama, pendekatan perhitungan biaya secara sederhana dapat digunakan:

1. Identifikasi biaya masing-masing komponen, termasuk biaya mekanik dan sipil dari hub atau platform. Untuk menghitung biaya kabel, panjang kabel harus diperhitungkan, tetapi pada tahap ini cukup perkiraan kasar.

2. Untuk instalasi dan biaya pemeliharaan, menerapkan faktor penalti ke biaya komponen sesuai dengan tempat pemasangannya.

3. Efisiensi tidak perlu dicatat secara detail. 4. Setelah semua biaya ini dihitung, dapat

disimpulkan dan hasilnya dibandingkan untuk masing-masing pembangkit.

Setelah angka-angka dari masing-masing pembangkit dihitung, dapat dipilih rancangan pembangkit dengan biaya terendah. Karena perhitungan biaya hanya perkiraan, biaya rancangan yang disertakan harus 50% lebih tinggi daripada biaya rancangan terendah.

Hasil pilihan, harus mempertimbangkan semua opsi dan varian yang dipilih, dan bandingkan perkiraan LCoE untuk pembangkit pasang surut yang sesuai. Pilihan mempertimbangkan array 30 MW, 100 MW, dan 200 MW.

IV.5 Desain yang dipilih

Pada tahap pertama, rancangan DC-0 terpilih menjadi rancangan biaya terkecil, dan biaya rancangan pengaturan tertentu VF-0, VF-4, FF-2, DC-1, dan DC-3 dalam 50% dari biaya DC-0. Kecuali untuk rancangan DC-0, semua kasus "terbaik" menggunakan empat turbin per hub, pilihan ini yang paling praktis untuk diaplilkasi. Rancangan VF-0 menggabungkan hingga 16 turbin di gardu induk untuk jumlah turbin yang lebih tinggi beberapa gardu harus dibangun. Rancangan dc menggunakan dua cincin pada ± 7,5 kV dc, sedangkan rancangan ac menggunakan satu cincin pada 33 kV ac.

Hasil perhitungan LCoE secara lebih rinci untuk array 30 MW ditunjukkan pada Tabel 4.1. Perlu dicatat bahwa tabel ini menunjukkan pengeluaran modal ke belanja modal yang paling sedikit, dan belanja operasional yang paling sedikit. Di kata lain, "dasar" yang digunakan untuk normalisasi capex berbeda dari yang digunakan untuk opex.

Tabel 4.1. Modal biaya operasi untuk array 30MW untuk masing-masing perancangan.

Meskipun rancangan VF-0 memiliki biaya operasional paling rendah, tetapi biaya pemasangannya merupakan yang tertinggi. Secara keseluruhan, rancangannya dengan biaya instalasi paling rendah adalah FF-2, DC-1 dan VF-4; tetapi FF-2 tidak disukai karena biaya operasionalnya yang tinggi.

Jadi untuk array 30 MW, rancangan DC-1 dan VF-4 adalah yang disukai. Pembangkit pasang surut 30 MW dibangun dengan rancangan DC-1 tidak akan memiliki komponen lepas pantai di atas permukaan. Jika dibangun dengan rancangan VF-4, akan ada komponen lepas pantai di atas permukaan.

Rangkaian daya yang lebih tinggi dapat dikonstruksi sebagai kelipatan dari susunan daya yang lebih rendah pada tingkat yang lebih rendah. Daya dari 30 MW sub-unit akan digabungkan di gardu. Karena tegangan output yang lebih tinggi dari hub di VF-4, rancangan ini cenderung bekerja lebih baik pada daya yang lebih tinggi. Saat daya yang lebih tinggi, rancangan DC-1 perlu dibangun dengan gardu lepas pantai. Hasil ini diringkas dalam Gambar 6.

Gambar 6. Ringkasan perancangan pembangkit pasang surut.

(7)

V. KESIMPULAN

Desain pembangkit pasang surut 10 hingga 200 MW diharapkan dapat dipasang di masa mendatang di Indonesia. Untuk mengurangi biaya investasi energi pasang surut, yang paling penting adalah mengurangi biaya instalasi dan pemeliharaannya. Dalam desain, komponen dapat ditempatkan turbin rumah turbin, hub atau gardu. Untuk kemudahan instalasi, rumah turbin harus menggunakan konektor wet-mate.

Standarisasi rancangan akan membantu menurunkan biaya energi dari susunan daya pasang surut. Jadi satu rancangan hub bawah laut dapat menggabungkan turbin dengan output dc (pada ± 7,5 kV dc) tanpa konversi daya elemen dari power train utama yang terletak di hub itu sendiri. Inverter grid-tie, transformator step-up dan switchgear akan dipasang di gardu yang terletak di darat atau pada platform lepas pantai yang tetap (pada susunan yang lebih besar). Pada pilihan desain alternatif, hub yang mengambang dapat menjadi konverter daya hingga 6.6 kV ac dan meningkatkan tegangan hingga 33 kV ac; trafo dan switchgear grid-tie dapat diletakan di darat.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Edwin Maulani, Gentur Handoyo, Muhammad Helmi. “Kajian Potensi Energi Pasang Surut Di Perairan Kabupaten Cilacap Propinsi Jawa Tengah” Jurnal of Oceanography, Volume 1, Nomer 1, 2012, Halaman 78-86.

[2] Ferry Johnny Sangari, “Perancangan Pembngkit Litrik Pasang Surut Air Laut” Teknologi dan Kejujuran, Vol 37, No 1, 2014, Halaman 187-196.

[3] Dewi Surinati “Pasang Surut dan Energinya” Oseana Volume XXXII, Nomor 1, 2007 15-22

[4] Putu Nopa Gunawan “Pembangkit Listrik Energi Pasang Surut”, Makalah Sumber Energi Non Konvensional,

[5] Inovasita Alifdini, Adrian Bela Widodo “Indentifikasi Potensi Energi Pasang Surut Menggunakan Alat Floating DAM di Perairan Kalimantan Barat, Indonesia”, Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan XIII, 2016

[6] Sandeep Bala, Jiuping Pan, Graham Barlow, Geoff Brown, Stephan Ebner “Power Conversion System for Tidal Power Arrays” 2015

Gambar

Gambar 1. Prinsip pembangkit listrik pasang surut
Gambar 2. Potensi Energi Pasang Surut di Indonesia
Gambar 3. Komponen yang menggunakan rumah turbin tanpa converter.
Tabel 4.1. Modal biaya operasi untuk array 30MW untuk masing-masing perancangan.

Referensi

Dokumen terkait

adalah tipe pasang surut campuran condong ke harian ganda, yaitu dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut tetapi kadang-kadang terjadi satu

Pola arus harmonik di Teluk Awur disebabkan oleh komponen harmonik signifikan dari pasang surut tipe campuran cenderung tunggal (mixed tide prevailling diurnal),

adalah tipe pasang surut campuran condong ke harian ganda, yaitu dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut tetapi kadang-kadang terjadi satu

Dari nilai tersebut dapat dikatakan bahwa perairan Pantai Tanjung Mas Semarang memiliki tipe pasang surut campuran condong harian tunggal (Mixed Tide

Penjalaran gelombang pasang surut harian ganda/ semi - diurnal M 2 terdispersi dari arah selatan menuju utara melalui Selat Gaspar dengan pola dinamika skala

Tipe pasang surut hasil prediksi menggunakan MIKE 21 dengan periode 15 hari dan interval 1 jam, menunjukkan tipe pasang surut campuran condong harian ganda, sesuai

Dari hasil pengamatan pasut dapat diketahui tipe atau jenis pasut yang terdapat di Pulau Dutungan adalah pasang surut tipe campuran condong ke harian tunggal (mixed

Pasang surut campuran condong ke harian tunggal (mixed tide prevailling diurnal) Pada tipe ini dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut, tetapi