• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELESTARIAN DAN PENGELOLAAN GEREJA BLENDUK SEMARANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PELESTARIAN DAN PENGELOLAAN GEREJA BLENDUK SEMARANG"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PELESTARIAN DAN PENGELOLAAN GEREJA BLENDUK

SEMARANG

Irfanuddin Wahid Marzuki (Balai Arkeologi Manado)

Abstract

Dome church is the landmark of the old town in Semarang. Established in 1753, the building is still in a good shape now and even is used for Christians. The preservation and management program have been running very well. However, some matters are still not coherence with the Act No.11 of 2001 concerning Cultural Resources.

Keywords: preservation, management of cultural resources

Pendahuluan

Gereja Blenduk merupakan bangunan masa Kolonial yang menjadi land mark

kawasan Kota Lama Semarang. Menurut sejarah, bangunan gereja dibangun pada 1752 dan digunakan pada bulan November 1753 (Wawancara pengurus GPIB Immanuel Semarang, 8 Januari 2011).

Menurut Widiarto (2003) gereja Blenduk merupakan gereja tertua di Jawa Tengah yang dibangun pada abad XVII M dan sudah mengalami sedikitnya tiga kali renovasi. Setiap renovasi diperlukan waktu sekitar 1 tahun dan untuk memperingatinya dicatat dalam prasasti marmer yang ditempatkan di bawah altar gereja.

Pada awalnya bangunan gereja berupa rumah panggung Jawa, dengan atap yang sesuai dengan arsitektur Jawa yaitu atap tajuk. Selanjutnya pada tahun 1787 rumah panggung tersebut dirombak total, dan tujuh tahun berikutnya yaitu tahun 1794 diadakan perubahan kembali bentuk dan ukurannya. Pada tahun 1894-1895, gereja ini direnovasi oleh HPA de Wilde dan W. Westmaas dengan melakukan perubahan bentuk, namun tidak merubah desain secara secara keseluruhan. Bentuk akhirnya dapat kita lihat sampai sekarang dapat kita lihat sampai sekarang yang berupa bangunan induk dengan 2 buah

(2)

menara dan atap yang berbentuk kubah ( Anonim, tt). Nama Gereja Blendhuk merupakan pemberian istilah masyarakat setempat, dikarenakan bentuk atap yang berbentuk kubah dalam bahasa Jawa disebut dengan blendhuk. Menurut Eko Budiharjo, pemberian nama panggilan untuk suatu bangunan bernilai sejarah oleh masyarakat sekitar untuk memudahkan mengingat dan merupakan ciri khas atau landmark bangunan daerah tersebut (Budiharjo, 1997:133). Atap yang berbentuk kubah dengan penutup lapisan logam yang dibentuk oleh usuk jati. Pada bagian pengakhiran kubah terdapat lubang cahaya untuk sinar masuk. Sekarang ini Gereja Blendhuk bernama Gereja GPIB Immanuel dan masih digunakan untuk beribadah.

Foto 1. Bagian balkon gereja (dokumentasi Irfanuddin W. M.)

Berdasarkan inventarisasi Balai Arkeologi Yogyakarta, atap kubah Gereja Blenduk ditopang oleh jari-jari yang berjumlah 32 buah, dengan 8 buah berukuran besar, sedangkan sisanya berukuran kecil (Tim Penelitian, 2008:23). Bangunan gereja terdiri dari dua lantai, dengan arah hadap selatan. Pada bagian samping atas terdapat alat musik orgel tiup (pipe orgel), yang hanya terdapat dua buah di Indonesia yaitu Gereja Blenduk dan Gereja GPIB Immanuel Gambir, Jakarta. Untuk naik ke tempat orgel, terdapat tangga melingkar yang terbuat dari besi tempa. Pada bagian tangga terdapat tulisan plettriji den Hag. Kemungkinan tulisan itu merupakan merk label dari tangga tersebut. Namun sangat disayangkan saat ini sudah tidak ada lagi yang bisa memainkan alat musik orgel tersebut. Sebagian pipa-pipanya juga sudah disimpan dalam gudang gereja.

(3)

Secara rinci dapat dijelaskan lokasi dari Gereja Blenduk sebagai berikut: Nama sekarang : GPIB Immanuel

Alamat : Jl. Letjen Suprapto No. 32 Semarang Posisi geografi s : 06°58’06,2” LS dan 110°25’38,7” BT

Pemilik : GPIB Immanuel

Pembangunan : tahun 1753 dan direnovasi besar-besaran tahun 1894 Fungsi awal : Nederlandsche Indische Kerk

Fungsi : Gereja Protestan GPIB Immanuel (Tim, 2008 : 20).

Bangunan gereja bergaya pseudo baroque gaya arsitektur Eropa dari abad 17-19 M. Bangunan Gereja Blenduk memiliki keistimewaan yang unik, yaitu memiliki denah

octagonal (segi delapan) dengan ruang induk terletak di pusat.1 Bangunan sekarang berupa

bangunan setangkup dengan façade tunggal yang secara vertikal terbagi menjadi tiga bagian. Pada ketiga sisi bangunan di timur, barat, dan selatan terdapat portico bergaya

dorik romawi yang beratap pelana.

Pintu masuk berupa pintu ganda yang terbuat dari panel kayu, dengan bagian atas berbentuk lengkung. Demikian juga jendela bagian atasnya berbentuk lengkung, dan terdapat dua macam tipe jendela pada Gereja Blenduk, yaitu: jendela ganda berdaun krepyak dan jendela kaca warna-warni berbingkai. Hiasan pada bagian atas jendela kaca melambangkan sebagai matahari yang menyinari bumi (Anonimus, tt).

Pada bagian bawah altar terdapat prasasti marmer yang mencantumkan renovasi gereja tahun 1894-1895. Prasarti tersebut berbahasa Belanda yang berbunyi sebagai berikut.

Deze kerk is geheel verviewd in de jaren 1894-1895

Predikanten Ouderlingen Diakenen

Dr.W. Van Lingen J.Van Katwijk Sr A.C Van der Wilde C. Rogge W.F.L. Chasteau J.H. Harten A.S.Carpentier Alting J.C. Stravers H.H Moreu

C. Wegenaar W. Bickes

F.T Schroder

J.W Young Architecten : H.P.A de Wilde en W. Westmaas

(4)

Artinya:

Gereja ini dibangun pada tahun 1894-1895

Pendeta Pena Tua Diakona

Dr.W. Van Lingen J.Van Katwijk Sr A.C Van der Wilde

C. Rogge W.F.L. Chasteau J.H. Harten

A.S.Carpentier Alting J.C. Stravers H.H Moreu

C. Wegenaar W. Bickes

F.T Schroder

J.W Young

Arsitek: H.P.A de Wilde en W. Westmaas

Permasalahan

Pengelolaan benda cagar budaya tentunya berbeda dengan bangunan baru, agar bangunan tetap terjaga kelestariannya. Berdasarkan hal tersebut permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah bagaimana pengelolaan bangunan Gereja Blenduk yang dilakukan selama ini dalam menjaga kelestariannya.

Kerangka Teori

Bangunan cagar budaya merupakan bangunan yang dilindungi oleh pemerintah melalui Undang-Undang No.11 tahun 2010. Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa yang dimaksud dengan benda cagar budaya adalah

1. Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.

2. Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.

(5)

Oleh karena itu benda cagar budaya harus dilestarikan untuk warisan kepada generasi yang akan datang. Tujuan pelestarian benda cagar budaya, seperti yang tercantum dalam pasal 3 UUCB No.11 tahun 2010 adalah sebagai berikut.

a. melestarikan warisan budaya bangsa dan warisan umat manusia; b. meningkatkan harkat dan martabat bangsa melalui Cagar Budaya; c. memperkuat kepribadian bangsa;

d. meningkatkan kesejahteraan rakyat; dan

e. mempromosikan warisan budaya bangsa kepada masyarakat internasional.

Dalam kegiatan pengelolaan sumberdaya budaya, pembobotan merupakan langkah awal yang perlu dilakukan karena perumusan rancangan manajemen sumberdaya budaya bergantung dari bobot signifi kansi yang diberikan kepada sumberdaya budaya tersebut. Pentingnya pengelolaan sumber daya budaya supaya tetap terjaga kelestariannya dikarenakan sifat sumberdaya budaya yang terbatas, rapuh, tidak dapat diperbaharui (Pearson, 1995 : 11). Pada dasarnya pengelolaan sumber daya budaya merupakan keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya budaya dan tetap terjaga kelestariannya.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan berupa metode kualitatif yang terdiri dari tahap pengumpulan data, analisis, dan interpretasi data. Untuk mencapai tujuan penelitian di atas, maka diperlukan beberapa metode pengumpulan data yang dapat mengarahkan pelaksanaan kerja penelitian. Metode tersebut meliputi.

a. Studi Pustaka

Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai lokasi, obyek, serta hasil – hasil penelitian terdahulu yang dilakukan terhadap bangunan Gereja Blenduk dan juga lingkungan sekitarnya.

b. Deskripsi

Mengumpulkan data lengkap tentang tinggalan arkeologi di lapangan. Pengumpulan data deskripsi dilakukan dengan mengunjungi dan mengamati langsung bagaimana keadaan fi sik dari bangunan Gereja Blenduk saat ini.

(6)

c. Dokumentasi

Dilakukan dalam bentuk pengambilan gambar foto di lapangan. Pengambilan gambar dilakukan baik itu detail bangunan secara menyeluruh, ornament-ornamen bangunan ataupun penambahan bangunan baru atau penggunaan material baru yang berbeda dengan material aslinya.

d. Wawancara

Dilakukan terhadap narasumber yang dianggap sebagai sumber informasi, dalam hal ini adalah pengurus GPIB Gereja Immanuel selaku pemilik dari Gereja Blenduk. Wawancara dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam (indeept interview), yaitu menggali sebanyak-banyaknya informasi tentang sejarah dan juga pemeliharaan dan pelestarian yang telah dilakukan selama ini.

Setelah data terkumpul, kemudian dianalisis sesuai dengan metode tentang pelestarian cagar budaya yang digunakan, apakah sudah sesuai atau belum. Data pengamatan di lapangan menjadi bahan utama untuk menganalisis data.

Hasil Pembahasan

Berdasarkan dari hasil pengamatan di lapangan ada beberapa hal yang berkaitan dengan pelestarian bangunan Gereja Blenduk. Secara umum bangunan masih mempertahankan bangunan aslinya dengan tidak menambah bangunan baru yang berarti, walaupun sudah berkali-kali direnovasi. Bangunan masih dalam keadaan baik dan kuat. Fungsi dari awal sampai sekarang tidak mengalami perubahan, yaitu sebagai tempat peribadatan agama Kristen. Dalam memanfaatkan bangunan bersejarah, khususnya bangunan peribadatan terdapat tiga tipe pemanfaatan, yaitu:

a. Pemanfaatan satu ruang (Single vessel use)

Yaitu pemanfaatan salah satu ruang bangunan bersejarah, untuk fungsi tertentu seperti ruang pertemuan, ruang makan dan lain sebagainya.

b. Pemanfaatan dengan dampak rendah (Low impact use)

Yaitu pemanfaatan bangunan dengan dampak rendah, yang tidak menimbulkan kerusakan selama aktifi tas. Contohnya: penggunaan untuk museum, pusat kebudayaan, tempat ibadah dan lain sebagainya.

(7)

c. Pemanfaatan dengan dampak tinggi (High impact use)

Yaitu pemanfaatan bangunan dengan dampak yang besar, seperti pemanfaatan untuk rumah makan, toko, café, kantor atau fasilitas olahraga lainnya yang memerlukan perubahan dan perawatan yang besar untuk kelangsungannya (Chappel, 2010: 4-9).

Bangunan Gereja Blenduk mempunyai nilai penting sesuai dengan UU No.11 tahun 2010, yaitu nilai penting sejarah, ilmu pengetahuan, agama, dan/atau kebudayaan. - Nilai penting sejarah

Merupakan bangunan bersejarah persebaran agama Kristen di Semarang dan merupakan land mark dari Kota Semarang.

- Nilai penting ilmu pengetahuan

Dapat digunakan untuk studi beberapa ilmu seperti arkeologi, arsitektur, teknik sipil, tata kota dan lain sebagainya.

- Nilai penting agama

Merupakan pusat penyebaran dan perkembangan agama Kristen di Semarang dan Jawa Tengah sejak jaman Kolonial Belanda.

(8)

- Nilai penting kebudayaan

Merupakan hasil perpaduan antara kebudayaan lokal dengan barat yang bernilai tinggi dan hanya satu-satunya yang terdapat di Jawa Tengah.

Hampir semua ornamen dan perlengkapan masih menggunakan yang lama. Kursi, altar dan juga meja masih menggunakan yang asli yang terbuat dari kayu jati. Walaupun pada saat ibadah sudah tidak menampung lagi jemaat, namun pihak gereja tidak menambah atau merubah kursi jemaat secara permanen. Pengurus hanya menambah dengan menggunakan kursi lipat di samping ruangan. Mimbar masih mempertahankan yang lama yang terbuat dari kayu jati. Konstruksi mimbar menggantung dengan tiang penyangga yang berbentuk segi delapan beraturan

(octagonal). Sedangkan kursi untuk pendeta dan penatua berada di samping kiri mimbar dan masih mempertahankan kursi lama. Renovasi yang dilakukan selama ini hanya mengganti anyaman rotan pada kursi jemaat dan pendeta apabila telah rusak, selebihnya masih dipertahankan keasliannya. Hal ini sesuai dengan prinsip pemugaranan yang tercantum dalam pasal 27 ayat 2 PP No.10 tahun 1993, bahwa pemugaran dilakukan dengan memperhatikan bentuk, bahan, pengerjaan dan tata letak serta nilai sejarahnya.

(9)

Pemasangan pendingin ruangan hanya di ruang pengurus gereja, sedangkan di ruangan sudah tidak diperlukan lagi, karena ventilasi sudah lebih dari cukup. Menurut penuturan dari pengurus gereja, pernah ada dari Dinas Pariwisata Kota Semarang mengunjungi gereja dan memberitahu bahwa pemasangan paku pada dinding akan merusak struktur dinding.1 Berdasarkan hal tersebut, maka pengurus tidak menambah

atau memasang paku pada bagian dinding gereja. Paku-paku yang ada merupakan paku yang dipasang sebelum ada pemberitahuan dari Dinas Pariwisata.

Pada tahun 2010 dilakukan renovasi pada bagian tempat orgel, terjadi perubahan material, yaitu perubahan dari kayu diganti besi pada bagian bawah penyangga orgel. Bahan yang menggunakan kayu, karena sudah rapuh digantikan dengan material besi yang lebih kuat dan tahan lama. Penggantian yang dilakukan ini tidak sesuai dengan aturan yang tercantum dalam UU No. 11 tahun 2010. Tampaknya pemugaran ini tidak diawasi oleh pihak yang berwenang, terbukti adanya penggantian material yang tidak sesuai dengan aslinya. Menurut penuturan pihak gereja, penggantian dengan besi dikarenakan lebih tahan lama dan juga susahnya mencari bahan baku kayu yang sesuai atau mendekati unsur aslinya. Dalam pasal 77 UU No.11 tahun 2010 disebutkan:

(1) Pemugaran Bangunan Cagar Budaya dan Struktur Cagar Budaya yang rusak dilakukan untuk mengembalikan kondisi fi sik dengan cara memperbaiki, memperkuat, dan/atau mengawetkannya melalui pekerjaan rekonstruksi, konsolidasi, rehabilitasi, dan restorasi.

(2) Pemugaran Cagar Budaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harusmemperhatikan: a. keaslian bahan, bentuk, tata letak, gaya, dan/atau teknologi pengerjaan;

b. kondisi semula dengan tingkat perubahan sekecil mungkin;

c. penggunaan teknik, metode, dan bahan yang tidak bersifat merusak; dan d. kompetensi pelaksana di bidang pemugaran.

Renovasi yang dilaksanakan dari tahun lalu sebetulnya belum selesai, namun karena digunakan untuk peringatan Hari Raya Natal, maka untuk sementara dihentikan sampai sekarang. Rencananya akan dilanjutkan setelah tahun baru dengan membenahi semua rangka tempat alat musik orgel. Ada upaya untuk menghidupkan kembali fungsi orgel, namun sampai saat ini belum dapat terealisasi.

(10)

Sekeliling bangunan gereja terdapat pagar dari besi untuk membatasi halaman gereja dengan jalan. Lingkungan di sekitar bangunan gereja merupakan pemukiman dan perkantoran dari masa yang hampir sama. Kawasan Kota Lama sudah ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya oleh pemerintah Kota Semarang.

Foto 4. Papan Penetapan Kawasan BCB (dokumentasi Irfanuddin W.M.)

Kesimpulan

Pelestarian kawasan cagar budaya merupakan hal yang sangat penting untuk menjaga bangunan-bangunan cagar budaya dari kerusakan, baik itu dari luar maupun dari dalam. Pelestarian yang dilakukan sampai saat ini oleh pengelolaan Gereja Blenduk Semarang sudah dilakukan dengan baik, namun pada renovasi tahun 2010 ada penggantian unsur material dari kayu ke material besi pada tempat alat musik orgel. Penggantian ini tidak sesuai dengan UU No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Nampaknya renovasi ini tidak melibatkan tenaga ahli dariinstansi terkait, seperti BP3 ataupun Balai Arkeologi. Secara umum, unsur bangunan asli masih dipertahankan dengan tidak menambah bangunan lain yang tidak sesuai konteksnya, bahkan kursi-kursi jemaat yang dipergunakaan masih dipertahankan keasliannya.

(11)

Daftar Pustaka

Anonim. tt. Sekilas Blenduk, leafl et diterbitkan oleh pengurus GPIB Immanuel Semarang. Budihardjo, Eko (ed). 1997. Arsitek dan Arsitektur Indonesia Menyongsong Masa Depan

.Yogyakarta: Penerbit Andi.

Chappel, Nick. 2010. New Uses Former Places of Worshi. London: English Heritage. Pearson, Michael dan Sharon Sullivan. 1995. Looking After Heritage Places. Melbourne:

Melbourne University Press.

Tim Penelitian. 2008. Laporan Penelitian Identifi kasi Potensi dan Pengelolaan Sumberdaya Arkeologi di Kawasan Kota Lama Semarang tahap I. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.

Widiarto, Ari. 2003. “Melihat gereja-gereja tua di Semarang(2): butuh setahun untuk merenovasi Blenduk,” dalam Suara Merdeka tanggal 23 Desember 2003. Undang-undang No.11 tahun 2010 Tentang Cagar Budaya.

Gambar

Foto 1. Bagian balkon gereja (dokumentasi Irfanuddin W. M.)
Foto 2. kursi jemaat yang dipertahankan keasliannya(dokumentasi Irfanuddin W. M.)
Foto 3 . Mimbar gereja (dokumentasi Irfanuddin W. M.)
Foto 4. Papan Penetapan Kawasan BCB  (dokumentasi Irfanuddin W.M.)

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan informasi daya hidup spermatozoa dalam pengencer tris sitrat kuning telur 5% yang mengandung antimotilitas sementara formalin

(Ia kesal! Sejarah mencatat bahwa Herodes adalah seorang pesakitan... Ia sudah membunuh dua anak laki-lakinya sendiri. Itu tidak benar. Akan tetapi, sekalipun hanya

Tingkat Pengetahuan responden terhadap peran LKMD dalam rangka pengelolaan RTHIPertamanan, pada pengumpulan data lapangan yang dilakukan di Kecamatan Grogol Petamburan menunjukkan

Kegiatan insidentil adalah kegiatan yang tidak sering dilakukan atau tidak rutin dikerjakan selama melaksanakan praktek kerja lapangan di Pusat Penelitian

Inovasi lain yang dilakukan yakni upaya edukasi baik kepada pasien maupun masyarakat di wilayah puskesmas dengan berbagai metode yang dapat diterima oleh masyarakat.

Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan adanya pengaruh positif antara variabel e-WOM terhadap variabel brand love dengan nilai t- hitung sebesar

Berdasarkan hasil penelitian Agustus 2016 tabel 6 adapun daftar anak yang tidak melanjutkan pendidikan ke SMA, yaitu:1. Astimah adalah anak ketiga dari empat bersaudara,

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kualitas sifat fisik dan daya simpan wafer ransum komplit berbasis kulit buah kakao yang dibuat pada berbagai formulasi