• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PENDAHULUAN TEMUAN STRUKTUR BATA DI SAMBIMAYA, INDRAMAYU The Introduction Study of Brick Structural Found in Sambimaya, Indramayu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN PENDAHULUAN TEMUAN STRUKTUR BATA DI SAMBIMAYA, INDRAMAYU The Introduction Study of Brick Structural Found in Sambimaya, Indramayu"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

66 Kajian Pendahuluan Temuan Struktur Bata di

Sambimaya, Indramayu - Nanang Saptono et al

KAJIAN PENDAHULUAN TEMUAN STRUKTUR BATA DI

SAMBIMAYA, INDRAMAYU

The Introduction Study of Brick Structural Found in Sambimaya,

Indramayu

Nanang Saptono,1 Endang Widyastuti,1 dan Pandu Radea2

1 Balai Arkeologi Jawa Barat, 2 Yayasan Tapak Karuhun Nusantara 1Jalan Raya Cinunuk Km. 17, Cileunyi, Bandung 40623

1Surel: nanangsaptono@gmail.com

Naskah diterima: 24/08/2020; direvisi: 28/11/2020; disetujui: 28/11/2020 publikasi ejurnal: 18/12/2020

Abstract

Brick has been used for buildings for a long time. In the area of Sambimaya Village, Juntinyuat District, Indramayu, a brick structure has been found. Based on these findings, a preliminary study is needed for identification. The problem discussed is regarding the type of building, function, and timeframe. The brick structure in Sambimaya is located in several dunes which are located in a southwest-northeastern line. The technique of laying bricks in a stack without using an adhesive layer. Through the method of comparison with other objects that have been found, it was concluded that the brick structure in Sambimaya was a former profane building dating from the early days of the spread of Islam in Indramayu around the 13th - 14th century AD.

Keywords: Brick, structure, orientation, profane Abstrak

Bata sudah digunakan untuk bangunan sejak lama. Sebaran struktur bata telah ditemukan di kawasan Desa Sambimaya, Kecamatan Juntinyuat, Indramayu. Berdasarkan temuan itu perlu kajian pendahuluan untuk identifikasi. Permasalahan yang dibahas adalah mengenai jenis bangunan, fungsi, dan kurun waktu. Struktur bata di Sambimaya berada pada beberapa gumuk yang keletakannya berada pada satu garis berorientasi barat daya – timur laut. Teknik pemasangan bata secara ditumpuk tanpa menggunakan lapisan perekat. Melalui metode perbandingan dengan objek-objek lain yang pernah ditemukan disimpulkan bahwa struktur bata di Sambimaya merupakan bekas bangunan profan yang berasal dari awal masa penyebaran Islam di Indramayu sekitar abad ke-13 – 14 M.

Kata kunci: Bata, struktur, orientasi, profan

PENDAHULUAN

Arsitektur merupakan salah satu bentuk budaya yang termasuk di dalam unsur kesenian. Berbicara tentang arsitektur dapat menyangkut berbagai hal seperti misalnya seni, teknik, ruang, serta geografi dan sejarah. Ditinjau dari aspek seni, arsitektur merupakan seni bangunan termasuk di dalamnya bentuk dan ragam hias. Ditinjau dari sisi teknik, arsitektur menyangkut sistem mendirikan bangunan yang meliputi proses perancangan, konstruksi, struktur, dan hal lain termasuk aspek dekorasi dan keindahan. Pada aspek ruang menyangkut

kebutuhan ruang untuk aktivitas individu maupun kelompok. Pembicaraan arsitektur pada aspek geografi dan sejarah diantaranya menyangkut ungkapan fisik tinggalan budaya dari suatu masyarakat dalam batasan tempat dan waktu tertentu (Sumalyo, 2005). Melalui tinggalan sisa-sisa bangunan dapat terlacak keadaan masyarakat pada waktu bangunan berdiri dan difungsikan.

Arsitektur muncul sejak manusia ada. Salah satu aktivitas sederhana manusia dalam melindungi diri menghasilkan budaya arsitektur. Tempat untuk berlindung yang

(2)

67 Tumotowa Volume 3 No. 2, Desember 2020: 66 - 77 semula sekedar kecocokan sesuai kebutuhan

selanjutnya berkembang dengan modifikasi menghasilkan karya arsitektur. Salah satu bentuk arsitektur paling sederhana yang masih ada hingga kini adalah bentuk gundukan. Kegiatan menciptakan bentuk gundukan berupa aktivitas menumpuk material tertentu misalnya pasir, tanah, batu, batang kayu, hingga material yang sudah mengalami proses pembuatan seperti bata dan batu yang sudah dibentuk sehingga mendapatkan ketinggian tertentu. Seringkali menciptakan bentuk gundukan tidak sekedar menumpuk tetapi juga menggali untuk mendapatkan material di tempat tertentu untuk menambah volume material di tempat lain (Sopandi, 2013). Bentuk gundukan kemudian berkembang hingga menghasilkan karya arsitektur yang sangat kompleks. Bahan untuk menghasilkan karya arsitektur bermacam-macam mulai dari bahan alam seperti batu dan kayu, hingga bahan hasil olahan seperti bata. Hasil budaya arsitektural masa lampau seringkali hanya berupa sisa-sisa atau reruntuhan.

Reruntuhan bangunan berbahan bata banyak ditemukan di kawasan pantai utara Jawa Barat dari Karawang hingga Cirebon. Beberapa temuan reruntuhan struktur bata kuna belum teridentifikasi kecuali yang berada di kawasan situs Batujaya, Karawang. Reruntuhan bangunan berbahan bata pada akhir tahun 2019 telah ditemukan di Indramayu.

Indramayu merupakan kawasan yang sudah lama dikenal masyarakat internasional. Perdagangan dunia yang pernah berlangsung di Indramayu disebut dalam berbagai sumber sejarah. Armando Cortesao dalam Suma Oriental of Tomé Pires menyebutkan bahwa Kerajaan Sunda memiliki enam pelabuhan dagang di pantai utara Laut Jawa. Pelabuhan yang berada di ujung paling timur wilayah Kerajaan Sunda yaitu pelabuhan Chemano.

Tomé Pires memberikan gambaran kondisi pelabuhan Chemano bahwa kapal besar tidak dapat berlabuh di bibir pantai pelabuhan karena dangkal, meskipun demikian, aktivitas perdagangan yang berlangsung cukup ramai. Warga yang beragama Islam sudah banyak dijumpai di kota ini. Cherimon berada di sebelah timur Chemano. Penguasa Cherimon

disebut Lebe Uca yang merupakan vasal Pate Rodim, penguasa Demak yang menganut Islam.

Cherimon merupakan pelabuhan yang bagus.

Tiga atau empat junk (perahu besar) dan beberapa lancharas (perahu kecil) terdapat di pelabuhan ini. Istana penguasa berada sekitar tiga league dari muara sungai (Cortesao, 1967). Kata Chemano mengalami perubahan pengucapan hingga menjadi Cimanuk. Nama Cimanuk pada masa sekarang ini tidak lagi merujuk pada nama kawasan melainkan merujuk pada sungai terbesar yang berhulu di daerah Garut dan bermuara di Indramayu. Menurut Babad Dermayu, perubahan nama dari Cimanuk menjadi Indramayu berkaitan erat dengan cerita wakil Kerajaan Sunda (Galuh) bernama Wiralodra yang menjadi penguasa di Indramayu. Pada tanggal 7 Oktober 1527, Cimanuk melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Sunda dan namanya diubah menjadi Indramayu (Dasuki, 1977).

Permukiman di Indramayu berkembang pada masa Islam. Bukti-bukti adanya masyarakat yang bermukim di Indramayu pada masa sebelumnya hanya sedikit. Artefak dari masa pra-Islam yang tercatat di dalam laporan Dinas Purbakala hanya menyebut adanya arca Laksmi yang sekarang tersimpan di Museum Leiden (Krom, 1915). Penelitian di Indramayu yang dilakukan Balai Arkeologi Bandung pada 1994 banyak mencatat tinggalan-tinggalan purbakala dari masa Islam (Saptono, 1994). Penelitian yang difokuskan pada aspek permukiman ini telah mengungkap jejak-jejak permukiman lama di Indramayu yang banyak dijumpai di sepanjang Ci Manuk. Toponimi Pabean berada di ujung utara berdekatan dengan bekas muara Ci Manuk. Pabean merupakan lokasi bekas tempat pemungutan pajak bagi para pedagang yang memasuki Indramayu. Petilasan salah satu tokoh penyebar Islam di Indramayu yaitu Syekh Datuk Khapi juga ditemukan di Kampung Pabean ini. Jejak-jejak kejayaan masa lalu Indramayu seperti toponimi Kampung Paomahan yang sekarang menjadi sentra pengrajin batik berada di pusat kota.

Bangunan-bangunan lama yang didominasi bangunan berarsitektur Cina masih banyak dapat dijumpai di Karang Anyar dan Karang Malang. Vihara Dharma Rahayu atau Vihara An Tjeng Bio masih aktif digunakan hingga sekarang. Bangunan bekas gedung Asisten Residen di Desa Penganjang juga masih kokoh berdiri (Saptono, 1995).

(3)

68 Kajian Pendahuluan Temuan Struktur Bata di

Sambimaya, Indramayu - Nanang Saptono et al

Tinggalan arkeologis di Indramayu tidak hanya terpusat di kawasan pusat kota saja, namun juga ditemukan di wilayah sekitarnya. Tinggalan-tinggalan arkeologis di kawasan timur Indramayu pada akhir 2019 ditemukan kembali di Desa Sambimaya, Kecamatan Juntinyuat. Yayasan Tapak Karuhun Nusantara menindaklanjuti informasi dari Brigadir Rusmanto, pada 25-27 Oktober 2019 telah menemukan sebaran struktur bata kuno. Menindaklanjuti penemuan itu, pada tanggal 9-10 November Yayasan Tapak Karuhun Nusantara dan Balai Arkeologi Jawa Barat melakukan eksplorasi pada kawasan yang lebih luas lagi.

Eksplorasi tinggalan arkeologis di Desa Sambimaya bertujuan untuk melakukan identifikasi awal. Berdasarkan hasil identifikasi awal tersebut diharapkan dapat mengungkap permasalahan mengenai jenis, fungsi serta kapan struktur bata tersebut difungsikan.

METODE

Metode pengumpulan data berupa observasi langsung di lapangan yang terdiri dari pendeskripsian, pengukuran, dan perekaman melalui foto. Untuk melengkapi data juga dilakukan wawancara dengan para tokoh dan masyarakat setempat yang mengetahui latar belakang temuan sebaran bata. Pengungkapan permasalahan dilakukan melalui kajian dari aspek keletakan, teknologi, dan kontekstual.

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi

Desa Sambimaya secara administratif termasuk wilayah Kecamatan Juntinyuat, berada di sebelah tenggara Indramayu berjarak lurus sekitar 14 km. Lokasi ini dapat dicapai dari Indramayu melalui Balongan kemudian melewati jalan alternatif menuju Segeran. Desa Sambimaya berada di sebelah barat Juntinyuat berjarak lurus sekitar 6 km.

Secara geologis, batuan di kawasan Juntinyuat merupakan endapan dataran banjir (flood plain deposits) yang terbentuk dari batuan lempung pasiran-humusan, pasir lempungan, dan sebagian tufan (Achdan dan Sudana, 1992). Topografi kawasan Juntinyuat merupakan pedataran pantai dengan kemiringan 1-3 %, dengan ketinggian berkisar 3 – 12 m dpl.

Luas wilayah Desa Sambimaya adalah 314 ha terdiri lahan darat 50,9 ha dan lahan sawah 263,1 ha. Sungai yang mengalir di Desa Sambimaya merupakan sungai-sungai kecil. Sungai Gunda yang berada di bagian selatan desa bermuara di Sungai Gabus di tenggara desa dan selanjutnya mengalir ke utara hingga bermuara di Laut Jawa. Muara Sungai Gabus dinamakan muara Limbangan. Sungai lain yang mengalir di wilayah ini adalah Sungai Genggong dan Sungai Glayem yang berada di sebelah timur Sungai Gabus. Kedua sungai ini juga bermuara di Laut Jawa.

Lahan di kawasan Desa Sambimaya pada umumnya dimanfaatkan untuk pertanian sawah, yang sudah dilengkapi irigasi teknis. Lahan kering yang digunakan untuk kebun mangga juga dijumpai di antara lahan sawah. Permukiman berpola mengelompok dikelilingi lahan sawah. Tinggalan arkeologis yang terdapat di Desa Sambimaya pada umumnya berada di area pesawahan (Gambar 1).

Gambar 1. Peta topografi kawasan Juntinyuwat

(Sumber: Peta topografi Blad Ia. A en 47 B Java. Res. Cheribon. Opgenomen in de jaren 1914-1915).

Topographische Inrichting. Batavia 1920. Dutch Colonial maps. Leiden University Library).

Berdasarkan jejak tinggalan arkeologis, kawasan Indramayu bagian pantai timur pesisir utara Laut Jawa merupakan kawasan yang sudah dihuni sejak lama. Salah satu buktinya adalah adanya temuan bangkai perahu di Desa Lombang, Kecamatan Juntinyuat pada sekitar bulan November 1991. Ekskavasi penyelamatan yang dilakukan oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (sekarang Balai Pelestarian Cagar Budaya Banten) berhasil menampakkan secara keseluruhan bangkai perahu. Perahu yang ditemukan menunjukkan fungsinya sebagai sarana angkut

(4)

69 Tumotowa Volume 3 No. 2, Desember 2020: 66 - 77 pada jarak yang tidak begitu jauh, dalam arti

tidak untuk mengarungi samudra (Michrob, 1992).

Jejak struktur bata dan beberapa bata utuh pernah ditemukan di Blok Tamanan, Desa Dadap (Saptono, 2008). Jejak struktur yang teramati sepanjang sekitar 12 m dengan ketebalan 5 – 6 cm. Jejak struktur bata juga dijumpai pada dinding sumur pada lahan kebun sebelah selatan bibir pantai. Bata dijumpai pada kedalaman sekitar 1,5 m dari permukaan tanah sekitar. Bata utuh dari situs Tamanan berukuran 30 cm x 18 cm x 6 cm.

Jejak kepurbakalaan lain di daerah Juntinyuat adalah Sambi Watu (Tim Penelitian, 2011; Saptono, 2013). Sambi Watu merupakan istilah yang umum di masyarakat Desa Benda untuk menyebut tinggalan arkeologis berupa batu yang tersimpan di rumah Awiyah, Blok Karang Taruna, Desa Benda. Sambi Watu

merupakan dua buah batu andesit yang bentuknya hampir sama, yaitu segi empat pipih berukuran panjang 130 cm, lebar 66 cm, dan tebal 66 cm. Pada bagian bawah terdapat

takikan dengan lebar 16 cm. Di atas takikan terdapat dua lubang tembus berdiameter 8 cm. Dilihat dari bentuknya, batu ini merupakan bagian dari ambang pintu. Kedua lubang merupakan tempat meletakkan kayu penyangga daun pintu. Selain dua buah batu tersebut juga terdapat beberapa batu polos yang dulunya berada di bawah batu yang berlobang tersebut.

Struktur Bata di Desa Sambimaya

Struktur bata di Desa Sambimaya tersebar di beberapa lokasi yaitu di Blok Buyut

Mawur, Dingkel, Randu, dan Sambilawang (Gambar 2). Struktur bata berada pada gumuk

(gundukan tanah) di tengah sawah atau pada ujung lahan perkampungan. Keletakan masing-masing gumuk berjajar berorientasi barat daya – timur laut. Sawah di sekitar gumuk ditanami padi atau palawija, dan ada juga yang berupa kebun dengan tanaman keras seperti mangga dan turi.

Blok Buyut Mawur

Blok Buyut Mawur berada di ujung barat daya pada posisi 6° 26' 34.49" LS dan 108° 22' 56.92" BT. Sebuah sungai kecil mengalir di sebelah barat lahan. Sisa struktur yang terdapat pada gumuk tidak begitu tampak karena tertutup tanah yang ditumbuhi pisang (Musaceae). Beberapa bata tersingkap akibat aktivitas masyarakat dalam mengolah lahan pertanian. Bata yang terlihat dalam kondisi bertumpukan tidak beraturan, berjumlah lima ada yang masih utuh ada pula yang berupa patahan.

Blok Dingkel

Blok Dingkel berada di sebelah timur laut Blok Buyut Mawur berjarak lurus sekitar 485 m. Objek yang diamati di Blok Dingkel ini adalah dua gumuk yang berdekatan dengan jarak sekitar 30 m. Gumuk Dingkel I (D I) tepatnya berada pada posisi 6° 26' 28.97" LS dan 108° 23' 01.67" BT. Gumuk D I berukuran panjang sisi utara 10,5 m, sisi timur 9,5 m, sisi selatan 10,5 m dan panjang sisi barat 7,5 m. Tinggi lahan dari permukaan sawah adalah 0,5 m. Lahan gumuk D I merupakan milik Gambar 2. Persebaran struktur bata di Desa Sambimaya

(5)

70 Kajian Pendahuluan Temuan Struktur Bata di

Sambimaya, Indramayu - Nanang Saptono et al

Tayim, warga RT. 02, RW. 03, Blok Dingkel, Desa Sambimaya (Gambar 3).

Gambar 3: Sebaran singkapan bata di Blok Dingkel

(Sumber: Dokumen Yayasan Tapak Karuhun Nusantara, 2019).

Objek pada gumuk D I dan sekitarnya berupa beberapa sebaran singkapan struktur bata. Pengamatan pada permukaan gumuk

terdapat beberapa sebaran bata baik utuh maupun pecahan. Bata utuh berukuran panjang 36 cm, lebar 20 cm, dan tebal 6 cm. Salah satu bata kuno yang ditemukan di permukaanya terdapat jejak kaki anjing (Gambar 4).

Gambar 4: Situasi gumuk D I dan salah satu bata utuh yang ditemukan di gumuk D I. Pada permukaan bata terdapat jejak kaki anjing

(Sumber: Dokumen Yayasan Tapak Karuhun Nusantara, 2019).

Singkapan struktur bata (b1 dan b6) terdapat di sebelah utara gumuk pada parit di

sisi pematang dan pada lahan sawah. Singkapan bata juga terlihat di bagian barat daya gumuk, masih dalam kondisi terstruktur terdiri dari dua jajar dan lima lapis. Bata yang masih utuh berukuran panjang 36 cm, lebar 20 cm dan tebal 6 cm. Antara lapisan bata tidak terdapat bahan perekat (spesi). Struktur ini berorientasi barat-timur. Struktur bata berorientasi utara-selatan juga ditemukan pada lahan sawah di sebelah barat struktur yang berorientasi barat-timur ini. Struktur ini terdiri dua jajar dan dua lapis. Jarak antar bata sangat rapat dan tidak terdapat lapisan spesi. Struktur bata ini pada sisi luar (barat) terdapat bagian yang berprofil persegi berundak. Berdasarkan dua singkapan struktur yang tampak, bagian ini (b3) merupakan sudut barat daya (Gambar 5). Singkapan bata ditemukan lagi di sebelah selatan struktur sudut. Struktur lain terdapat di sisi sebelah utara

gumuk berupa dua singkapan di bagian barat (b2) dan bagian timur (b5). Singkapan ini menunjukkan orientasi barat-timur, dengan demikian kedua singkapan ini merupakan bagian sisi utara.

Gambar 5: Struktur bata yang terdapat di gumuk D

(Sumber: Dokumen Yayasan Tapak Karuhun Nusantara, 2019).

Gumuk D II berada di sebelah timur laut

gumuk D I berjarak sekitar 16 m, tepatnya berada pada posisi 6° 26' 28.50" LS dan 108° 23' 12.68" BT. Lahan gumuk D II seluas sekitar 140 m2 (10 bata) dimanfaatkan untuk makam

(6)

71 Tumotowa Volume 3 No. 2, Desember 2020: 66 - 77 Bakri, Buyut Aswen, dan Buyut Waslim. Buyut

Aswen adalah istri Buyut Bakri sedangkan Buyut Waslim adalah kerabat Buyut Bakri. Makam Buyut Bakri dan Buyut Aswen berada dalam satu komplek pemakaman yang telah ditembok dan dikelilingi pagar besi, sedangkan makam Buyut Waslim berada di bagian timur laut dari makam Buyut Bakri. Lahan di sekeliling Gumuk D II merupakan area persawahan.

Tumbuhan yang terdapat di lahan D II adalah asam jawa (Tamarindus indica) di bagian sudut timur laut dan barat daya serta pohon mangga cengkir (Mangifera indika) di bagian selatan. Lahan milik Tayim yang berada di dekat gumuk D II ditanami oyong (Luffa acutangula). Lahan lain di sekitar gumuk D II ditanami semangka (Citrullus lanatus).

Jejak kekunoan di gumuk D II berupa sebaran bata berukuran sama dengan bata yang ditemukan di gumuk D I maupun di area sawah sekitarnya. Pecahan bata-bata kuno tersebut menumpuk di bawah pohon asem yang sengaja disimpan masyarakat akibat terkena cangkul atau traktor petani. Demikian pula saat warga membuat parit-parit penampung air sering menemukan struktur bata. Benda arkeologis lain yang ditemukan adalah bata berbentuk persegi berukuran 20 x 20 cm dengan ketebalan 6 cm. Bata-bata ini ditemukan sudah terkumpul di pekarangan penduduk. Menurut keterangan Tayim, warga setempat, bata-bata itu diambil dari lahan di sekitar gumuk.

Blok Randu

Blok Randu berada di sebelah timur laut Blok Dingkel berjarak lurus sekitar 315 m, tepatnya berada pada posisi 6° 26' 21.15" LS dan 108° 23' 18.87" BT. Penyebutan Blok Randu merupakan penyebutan masyarakat karena di lokasi itu terdapat tumbuhan kapuk randu (Ceiba pentandra). Lahan di Blok Randu berupa lahan datar di ujung perkampungan yang dimanfaatkan untuk menanam turi (Sesbania

grandiflora). Sejumlah potongan bata

ditemukan tersebar di permukaan lahan. Selain potongan bata terdapat sebaran pecahan keramik asing (Gambar 6). Salah satu pecahan keramik merupakan mangkuk berwarna biru putih berhias motif flora. Berdasarkan ciri permukaan keramik ini berasal dari Thailand yang diproduksi pada sekitar abad ke-13 – 14.

Gambar 6: Pecahan keramik yang ditemukan di Blok Randu

(Sumber: Dokumen Yayasan Tapak Karuhun Nusantara, 2019).

Blok Sambilawang

Blok Sambilawang berada di sebelah timur laut Blok Randu berjarak sekitar 140 m. Lokasi ini secara geografis berada pada posisi 6° 26' 19.19" LS dan 108° 23' 22.77" BT. Lahan situs berupa gumuk berukuran 8 x 10 m yang berada di area persawahan. Tinggi gumuk dari permukaan sawah sekitar 1 – 1,5 m. Pohon asam jawa (Tamarindus indica) yang cukup besar tumbuh di tengah gumuk. Pecahan bata banyak ditemukan di permukaan lahan gumuk. Struktur bata terdapat pada dinding sisi timur

gumuk. Struktur terdiri 2 jajar masing-masing 6 lapis bata, berorientasi barat – timur. Lapisan-lapisan di antara bata tidak terlihat adanya lapisan spesi (Gambar 7). Ukuran bata yang dapat diketahui yaitu lebar 19 cm dan tebal 6 cm.

Gambar 7: Singkapan struktur bata yang ditemukan di Blok Sambilawang

(Sumber: Dokumen Yayasan Tapak Karuhun Nusantara, 2019).

Struktur bata memanjang berorientasi utara – selatan juga ditemukan di sisi barat lahan yang ditanami mangga di sebelah timur

(7)

72 Kajian Pendahuluan Temuan Struktur Bata di

Sambimaya, Indramayu - Nanang Saptono et al

struktur berukuran lebar 56 cm panjang 5,10 m. Struktur yang teramati terdiri 4 lapis tanpa spesi. Menurut keterangan masyarakat di sebelah utara gumuk berjarak sekitar 60 m, dahulu terdapat kubangan seperti sumur. Kondisi yang terlihat sekarang berupa lahan sawah.

Identifikasi Struktur Bata

Bata dalam berbagai ukuran, warna, kualitas dan tekstur sudah digunakan untuk komponen bangunan sejak sekitar 6000 tahun yang lalu. Material ini tahan lama, tahan cuaca dan merupakan bahan untuk struktur pembatas yang baik misalnya untuk dinding dan talud. Selain untuk material struktur yang bersifat konstruktif, bata juga dapat digunakan untuk fungsi dekoratif (Yarwood, 1986). Struktur bata pernah ditemukan di beberapa lokasi di sepanjang kawasan pantai utara Jawa Barat. Selain di kawasan percandian Batujaya dan Cibuaya, Karawang, struktur bata antara lain pernah ditemukan di Subang dan Indramayu.

Struktur bata yang ditemukan di Batujaya dan Cibuaya, Karawang diketahui merupakan peninggalan masyarakat berlatarkan Hindu-Buddhis, sedangkan temuan struktur bata lainnya belum dapat dipastikan peninggalan masyarakat mana dan apa latar belakang budayanya. Beberapa monumen berbahan bata banyak ditemukan di Cirebon yang merupakan tinggalan dari masa lebih muda. Berdasarkan beberapa tinggalan tersebut dapat diperoleh keterangan bahwa struktur bata merupakan tinggalan dari masa klasik (Hindu-Buddha) hingga masa Islam. Berdasarkan watak fungsi bangunannya dapat berupa bangunan sakral maupun profan. Identifikasi struktur bata di Sambimaya akan dibahas berdasarkan parameter keletakan, material dan teknik pemasangan, serta aspek kontekstualnya. Keletakan

Struktur bata di kawasan Sambimaya ditemukan di beberapa lokasi. Mengingat Sambimaya berada di kawasan pantai utara Jawa Barat, maka keletakan beberapa struktur bata di Sambimaya akan diperbandingkan dengan keletakan sebaran struktur bata di Kompleks percandian Batujaya, Karawang dan beberapa objek bangunan suci di tempat lainnya.

Kompleks percandian Batujaya, berada pada area pedataran pantai. Beberapa bangunan candi tersebar di beberapa lokasi. Salah satu alasan pemilihan lokasi adalah unsur air. Kawasan kompleks percandian Batujaya juga merupakan hulu sungai kecil yang dinamakan Kali Asin, yang bermuara di Laut Jawa. Kawasan percandian dari masa klasik awal juga dapat dijumpai di pantai utara Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Beberapa situs yang terdapat di daerah ini antara lain Situs Grumbul, Boto Tumpang, Kalioso, Pojok Sari, Watu Tapak, dan Kebon Sari. Seluruh objek pada situs-situs tersebut berupa sisa struktur bata, kecuali di situs Watu Tapak juga ditemukan lingga batu setinggi 60 cm. Kawasan ini diapit oleh dua aliran sungai yaitu Kali Kuto dan Kali Blukar (Indradjaja, 2020).

Candi berupa struktur bata juga ditemukan di daerah Pati, Jawa Tengah. Candi ini dikenal dengan nama Candi Kayen karena berada di Desa Kayen, Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati. Sebagaimana kawasan percandian Batujaya dan kawasan percandian di Kendal, situs Candi Kayen berada di dekat aliran sungai yaitu Sungai Sombron. Aliran sungai ini berhulu di Pegunungan Kendeng kemudian menyatu dengan aliran Sungai Tanjung Pati dan selanjutnya bermuara di Laut Jawa (Priswanto, 2012). Temuan struktur bata di Sambimaya berada pada lahan pesawahan yang terletak agak jauh dari aliran sungai. Sungai di daerah itu adalah Kali Glayem yang mengalir di sebelah timur.

Secara tata letak, candi-candi di Batujaya tersebar pada area yang sangat luas. Reruntuhan bangunan bata di daerah Batujaya berjumlah lebih dari 36 titik yang tersebar di kawasan lahan persawahan seluas 5 km2. Seluruh

reruntuhan bangunan tersebut pada mulanya ditemukan dalam kondisi tertimbun tanah dan sebagian tampak berbentuk gundukan seperti bukit kecil yang disebut unur (Djafar, 2010). Objek runtuhan struktur bata di daerah Kendal keletakannya juga dalam posisi tersebar (Indradjaja, 2020). Struktur candi bata di situs Kayen hanya berada di satu lokasi. Namun demikian, Candi Kayen terdiri dua unit yaitu candi induk dan candi perwara. Candi induk berdenah bujursangkar berukuran 5.9 m x 5,9 m, dan candi perwara berdenah persegi panjang berukuran 4,6 m x 2,7 m. Candi induk berada di bagian timur menghadap ke barat. Candi

(8)

73 Tumotowa Volume 3 No. 2, Desember 2020: 66 - 77 perwara berada di depan candi induk. Kedua

bangunan ini hanya tersisa bagian kaki, sedangkan tubuh dan atapnya sudah runtuh sehingga bentuk secara vertikal tidak dapat diketahui (Istari, 2012).

Tata letak struktur bata di Sambimaya terlihat teratur yaitu berorientasi relatif ke arah barat daya – timur laut. Keteraturan keletakan bangunan suci mengandung makna tertentu. Konstelasi bangunan suci berupa candi dapat dilihat pada posisi antara Candi Borobudur, Pawon, dan Mendut di Jawa Tengah. Ketiga candi tersebut berada pada satu garis lurus dengan orientasi barat – timur, membentuk kesatuan rangkaian perlambang yang mengacu pada makna simbolis berdasarkan konsep ajaran agama Buddha pada masa Mataram Kuna abad ke-9 Masehi (Wirasanti, Haryono, & Sutikno, 2015).

Material dan Teknik Pemasangan

Bahan atau material bangunan candi berupa bata ternyata banyak dijumpai di sepanjang pantai utara Jawa. Bahan bata tidak hanya digunakan pada bangunan candi tetapi juga pada bangunan-bangunan lain baik yang bersifat sakral, semi sakral, maupun profan. Material bata yang ditemukan di Sambimaya terdiri dua macam yaitu bata berbentuk segi empat panjang dan bujur sangkar. Bata segi empat panjang yang ditemukan di Blok Dingkel berukuran panjang 36 cm, lebar 20 cm, tebal 6 cm dan di Blok Sambilawang berukuran lebar 19 cm dan tebal 6 cm. Bata bujur sangkar yang berasal dari Blok Dingkel berukuran panjang 20 cm, lebar 20 cm, dan tebal 6 cm. Teknik pemasangan pada struktur bata di Sambimaya secara menumpuk tanpa menggunakan lapisan perekat (spesi).

Material bata pernah ditemukan di beberapa lokasi di kawasan pantai utara. Tinggalan struktur bata terdapat di situs Tamanan yang berlokasi di pinggir pantai Desa Dadap sebelah timur Sambilawang, berjarak lurus sekitar 9 km. Bata utuh dari situs Tamanan berukuran 30x18x6 cm (Saptono, 2008). Struktur bata juga ditemukan di situs Talun, Desa Telaga Sari, Kecamatan Sagalaherang, Kabupaten Subang. Struktur bata yang ditemukan di lokasi ini terdiri dua bagian. Bagian pertama berupa lantai bangunan semacam batur berukuran 7x7 m dan di sebelah timur bangunan ini terdapat struktur lagi yang

belum diketahui bentuknya. Bata utuh berukuran panjang 31 cm, lebar 22 cm, dan tebal 8 cm. Teknik pemasangan secara ditumpuk tanpa lapisan perekat. Posisi bata ada yang mendatar ada juga yang tegak (Saptono, 2007).

Kawasan yang banyak mengandung tinggalan arkeologi berupa bangunan bata adalah kompleks percandian Batujaya. Beberapa bangunan di Batujaya hanya menyisakan bagian kaki. Denah candi-candi di Batujaya ada yang bujur sangkar ada pula yang empat persegi panjang. Beberapa candi yang berdenah bujur sangkar adalah Candi Jiwa berukuran 19x19 m, Candi Blandongan berukuran 25x25 m, Candi SEG IV berukuran 6,5x6,5 m, dan Candi TLJ V (unur asem) berukuran 10x10 m. Bata yang digunakan untuk membangun candi di Batujaya berukuran tidak sama. Bata Candi Jiwa berukuran panjang 36 cm, lebar 21 cm dan tebal 9 cm. Bata Candi Blandongan berukuran panjang 45 cm, lebar 22 cm, dan tebal 10 cm. Bata Candi Serut berukuran panjang 46 cm, lebar 22 cm, dan tebal 9 cm. Teknik pemasangan yang terlihat pada Candi Jiwa dengan menggunakan lapisan perekat sangat tipis, sedangkan pada Candi Serut hanya ditumpuk tanpa lapisan perekat (Djafar, 2010; Saptono, 2007).

Struktur bangunan dengan menggunakan material bata banyak terdapat di Trowulan, bekas kota Majapahit. Situs Candi Kedaton yang berada di pusat dikelilingi kanal-kanal kuno yang berpotongan. Lahan seluas 700x500 m yang dikelilingi kanal-kanal kuno tersebut di dalamnya terdapat peninggalan-peninggalan arkeologis beraneka ragam. Selain Candi Kedaton banyak terdapat struktur bangunan bata, lantai bata segi enam, lantai bata segi empat, dan sumur-sumur kuno (Rangkuti, 2012). Beberapa objek seperti Candi Brahu, Wringin Lawang, Bajang Ratu, dan Candi Tikus juga dibangun dengan menggunakan material bata. Teknik pemasangan dengan cara teknik kosod, yaitu bata ditumpuk dengan digosokkan hingga memperoleh posisi melekat antar bata. Selain di pusat Kerajaan Majapahit, bangunan candi pada masa Majapahit yang menggunakan material bata ditemukan di situs Semarum, Desa Semarum, Kecamatan Durenan, Kabupaten Trenggalek. Objek berupa bangunan candi yang dilengkapi dengan pagar keliling. Struktur menggunakan material bata

(9)

74 Kajian Pendahuluan Temuan Struktur Bata di

Sambimaya, Indramayu - Nanang Saptono et al

dengan teknik pemasangan secara kosod

sehingga tidak memerlukan lapisan perekat (Priswanto, 2015).

Material bata untuk bangunan juga banyak diterapkan pada beberapa macam bangunan pada masa Islam. Pembangunan Keraton Plered pada masa Mataram Islam juga banyak menggunakan material bata. Dalam

Serat Kanda disebutkan Sunan Amangkurat memerintahkan kepada rakyatnya untuk membakar bata dalam jumlah banyak sekali. Perintah ini juga disebutkan dalam Babad Meinsma. Rakyat diperintahkan membuat bata karena Sunan Amangkurat akan memindahkan keraton dari Kerta ke Plered (Graaf, 1987). Sesuai dengan apa yang diceritakan di dalam

Serat Kanda dan Babad Meinsma, ekskavasi yang dilakukan di Situs Kedaton telah menemukan struktur tembok pagar dan struktur bangunan berbahan bata (Pratama & Priswanto, 2013).

Selain pada bangunan-bangunan di Keraton Mataram, penggunaan material bata juga banyak dipakai pada bangunan-bangunan Kesultanan Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan di Cirebon. Beberapa bangunan di kompleks Keraton Kasepuhan menggunakan material bata. Bangunan-bangunan tersebut adalah Dalem Agung Pakungwati, tembok pagar Siti Hinggil, Mande Pandawa Lima, Mande Malang Sumirang, Mande Semar Tinandu, dan beberapa bangunan lagi (Dewi & Anisa, 2009). Penggunaan material bata juga banyak dijumpai pada bangunan yang berada di luar kompleks keraton. Masjid merah Panjunan yang dibangun pada abad ke-14 menampilkan ciri gaya arsitektur gabungan Jawa-Hindu. Gaya arsitektur Jawa terlihat pada bangunan masjid yang terbuat dari kayu dan beratapkan tumpang, sedangkan gaya arsitektur Hindu terlihat pada dinding keliling masjid, pintu gerbang, dan pintu yang terdapat di dalam bangunan masjid. Desain dinding dan pagar luar membentuk semacam benteng, dibuat dari batu bata merah, pintu gerbang menyerupai candi bentar Wringin Lawang di Trowulan dan gerbang pura di Bali. Teknik penyusunan material bata dengan cara digosokkan tanpa lapisan perekat yang dikenal dengan sebutan kuta kosod (Murdhihastomo & Bauty, 2020; Hermana, 2012). Beberapa bangunan kuno berupa cungkup makam dan jirat yang berada di luar kota juga banyak yang menggunakan

material bata. Cungkup dan makam Pangeran Pasarean, keramat Ki Buyut Tambak, keramat Ki Buyut Sena, keramat Ki Buyut Timbang, keramat Ki Buyut Srana, keramat Ki Buyut Truna, dan keramat Ki Buyut Klaya yang berada di Desa Gegunung, Kecamatan Sumber, Kabupaten Cirebon menggunakan material bata. Teknik pemasangan bata pada jirat hanya ditumpuk tanpa menggunakan lapisan perekat (Saptono & Widyastuti, 2019).

Kontekstual

Objek arkeologis seringkali dapat diungkap karena adanya temuan atau keterangan lain yang berada pada objek tersebut. Kaitan antara objek dengan objek lainnya dapat dijadikan petunjuk mengenai berbagai hal tentang objek utama itu sendiri. Seringkali dalam satu temuan objek arkeologis ditemukan objek lain seperti misalnya artefak atau jejak-jejak lainnya

Salah satu temuan penting yaitu berupa pecahan keramik asing yang terdapat di Blok Randu. Temuan keramik asing yang menyertai objek berupa struktur bata juga terdapat di Situs Talun, Subang. Pecahan keramik asing ditemukan pada kedalaman 60 cm di bawah struktur bata. Keramik dengan bahan berwarna putih, butiran halus padat. Hiasan berwarna biru di bawah glasir tipis. Ciri demikian menunjukkan bahwa keramik tersebut berasal dari Cina masa Dinasti Ming abad 14–17 M. Selain itu juga pada kedalaman 77 cm ditemukan pecahan keramik dengan bahan berwarna putih kecoklatan, butiran agak kasar dan rapuh. Warna dasar putih kecoklatan dengan glasir mudah lepas. Keramik ini berasal dari Cina masa Dinasti T’ang abad 7–10 M (Saptono, 2007). Temuan keramik asing yang berasosiasi dengan struktur bata di Sambimaya berasal dari Thailand abad 13 – 14 M.

Temuan struktur bata yang berada satu konteks dengan pecahan keramik juga ditemukan di situs Tamanan. Fragmen keramik asing yang ditemukan berupa keramik biru putih dengan hiasan bermotif flora. Keramik-keramik tersebut berasal dari bentuk mangkuk dan piring. Keramik yang ditemukan antara lain berasal dari Cina yang diproduksi pada masa Dinasti Ming (abad ke-14 – 17 M) dan Dinasti Qing (abad ke-17 – 20 M), Thailand (sekitar abad 13 – 18 M), dan Eropa (sekitar abad ke-19 – 20 M).

(10)

75 Tumotowa Volume 3 No. 2, Desember 2020: 66 - 77 Salah satu temuan yang cukup menarik

yaitu adanya bata yang pada permukaannya terdapat jejak kaki anjing. Temuan seperti ini juga pernah ditemukan pada bangunan suci lain misalnya di Candi Bojongmenje, Desa Cangkuang, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung dan di Candi 1 Bumiayu, di Desa Bumiayu, Kecamatan Tanahabang, Kabupaten Muaraenim, Propinsi Sumatera Selatan. Jejak kaki binatang yang tertera pada bata di Candi Bojongmenje hanya jejak kaki anjing, sedang di Candi 1 Bumiayu selain jejak anjing juga ada jejak ayam dan kucing. Jejak anjing bukan merupakan simbol dalam agama melainkan tanda bahwa anjing pada waktu itu sudah didomestikasi (Saptono, 2012; Purwanti, 2014).

Diskusi

Berdasarkan perbandingan dengan objek lain dari berbagai lokasi dan masa, terlihat bahwa secara keletakan objek struktur bata di daerah Sambimaya tidak berada di dekat aliran sungai, meskipun di sebelah selatan kawasan Sambimaya terdapat aliran Sungai Gabus. Keletakan masing-masing objek struktur bata di Sambimaya berada pada satu garis dengan orientasi baratdaya – timurlaut. Dengan demikian keletakan dan orientasi sebaran struktur bata di Sambimaya tidak menunjukkan sebagai bangunan suci.

Pengkajian pada parameter ukuran, bata dari Sambimaya hampir sama dengan bata dari Candi Jiwa hanya ketebalannya lebih tipis. Jika dibandingkan dengan bata yang dipakai pada bangunan di kawasan percandian Batujaya lainnya yaitu Candi Blandongan dan Serut, bata dari Sambimaya lebih kecil. Demikian juga bila dibandingkan dengan bata yang ditemukan di Situs Talun, Subang, bata dari Sambimaya lebih kecil. Jika dibandingkan dengan bata dari situs Tamanan, Desa Dadap maka ukurannya hampir sama (Tabel 1). Teknik penyusunan terlihat hanya ditumpuk tanpa menggunakan lapisan perekat (spesi). Teknik demikian juga dipakai pada beberapa bangunan lama di Cirebon.

Tabel 1. Ukuran bata yang ditemukan di kawasan pantai utara Jawa Barat

Situs P (cm) L (cm) T (cm) Blok Dingkel 36 20 6 20 20 6 Situs Tamanan 30 18 6 Situs Talun 31 22 8 Unur Jiwa 36 21 9 Unur Blandongan 45 22 10 Unur Serut 46 22 9

Konteks struktur bata dengan temuan keramik asing di Sambimaya khususnya di Blok Randu temuan bata berasosiasi dengan keramik dari Thailand abad 13–14 M. Sementara, struktur bata di situs Talun berasosiasi dengan keramik Cina masa dinasti Tang dan Ming (abad 7–10 dan abad 14–17 M). Struktur bata di Situs Tamanan, berasosiasi dengan keramik Cina masa Dinasti Ming (abad 14–17 M) dan Dinasti Qing (abad 17–20 M), Thailand (sekitar abad 13–18 M), dan Eropa (sekitar abad 19–20 M). Dengan demikian terdapat gambaran bahwa struktur bata di Sambimaya berada pada era yang sama dengan bata di Situs Tamanan.

Secara historis, kawasan pantai utara Indramayu lebih dikaitkan dengan masa Islam dan kolonial. Tinggalan arkeologis dari masa klasik awal (abad 4–8 M) dan klasik pertengahan (abad 9–12 M) hingga sekarang belum ditemukan. Sumber sejarah mengenai kawasan itu terdapat pada naskah berupa babad. Cerita yang berkembang di masyarakat mengenai awal mula kawasan Juntinyuat cenderung bersifat legenda yang bercampur dengan cerita sejarah. Babad Cirebon, menceritakan seputar tokoh Dampu Awang yang ingin mempersunting putri Ki Gedeng Junti (Dasuki, 1977). Ki Gedeng Junti mempersilahkan tetapi dengan syarat Dampu Awang harus sanggup membongkar benteng pekarangan Ki Gedeng Junti yang tersusun dari pohon bambu duri selebar 1,5 m dalam waktu semalam.

Strategi Dampu Awang dalam membongkar benteng bambu berduri adalah dengan mengadakan “tawur mas picis raja-brana”. Penduduk Desa Junti berbondong-bondong menuju alun-alun di depan rumah Ki Gedeng Junti. Dampu Awang kemudian menabur emas pada rumpun bambu yang memagari pekarangan Ki Gedeng Junti. Rakyat berebut emas dengan cara membongkar benteng bambu. Ki Gedeng Junti dan puterinya

(11)

76 Kajian Pendahuluan Temuan Struktur Bata di

Sambimaya, Indramayu - Nanang Saptono et al

melarikan diri menuju Gunung Sembung menemui Syekh Bentong untuk mohon perlindungan dari kecurangan Dampu Awang. Dampu Awang mengejar keduanya hingga di Gunung Sembung dan bertemu dengan Syekh Bentong, sehingga terjadi perselisihan yang dimenangkan Syekh Bentong. Akhirnya Syekh Bentong memperisteri puteri Ki Gedeng Junti.

Berdasarkan cerita di dalam Babad Cirebon tergambarkan bahwa di kawasan Juntinyuat pada masa awal masuknya Islam sudah menjadi permukiman. Kondisi sosial masyarakat sudah berada pada stratified society

yang ditunjukkan dengan adanya tokoh pemimpin Ki Gedeng Junti. Adanya temuan perahu niaga di daerah Lombang juga menunjukkan kawasan tersebut sudah menjadi area aktivitas perdagangan. Aliran Sungai Gabus mungkin berperan sebagai prasarana transportasi dari wilayah hulu di Sambimaya ke wilayah hilir di Lombang.

KESIMPULAN

Bata merupakan material bangunan yang sudah digunakan sejak sekitar 6000 tahun yang lalu. Bangunan dan struktur kuno di Indonesia sejak sekitar abad ke-2 M sudah ada yang menggunakan bata. Bata antara lain digunakan pada pembangunan candi, keraton, gapura, pagar, dan jirat makam. Struktur bata di Sambimaya berdasarkan keletakan, material, teknik pemasangan, dan aspek kontektual menunjukkan merupakan bekas bangunan yang bersifat profan. Struktur bata tersebut secara relatif diperkirakan berasal dari masa awal pernyebaran Islam di wilayah Sambimaya sekitar abad ke-13–14 M. Adanya struktur bata dan cerita sejarah menunjukkan bahwa kawasan Sambimaya khususnya dan Indramayu pada umumnya pernah menjadi pusat aktivitas perdagangan.

Ucapan Terima Kasih:

Terima kasih kami haturkan kepada Bapak Brigadir Rusmanto (anggota Polsek Lelea, Indramayu) yang telah memberi dukungan dan fasilitas selama penelitian di lapangan, Bapak Deni Sutrisno (Kepala Balai Arkeologi Jawa Barat) yang telah memberi kesempatan dan pendampingan dalam penelitian, Kepala Desa dan Masyarakat

Sambimaya, Toto, Tarka Sutarahardja dan Kardono (Sanggar Aksara Jawa Cikedung), serta Dedy Mushasi dan Agustinus (TACB Kabupaten Indramayu) yang telah membantu dalam pengumpulan data.

DAFTAR PUSTAKA

Achdan, A., & Sudana, D. (1992). Peta Geologi Lembar Indramayu, Jawa. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Cortesao, A. (1967). The Suma Oriental of Tomé

Pires. London: The Hakluyt Society.

Dasuki. (1977). Sejarah Indramayu. Indramayu: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Indramayu.

Dewi, H. I., & Anisa. (2009). Akulturasi Budaya Pada Perkembangan Kraton Kasepuhan. In

Prosiding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitektur, dan Sipil) (pp. 55–66). Depok: Universitas Gunadarma.

Djafar, H. (2010). Kompleks Percandian Batujaya: Rekonstruksi Sejarah Kebudayaan Daerah Pantai Utara Jawa Barat. Bandung: Kiblat Buku Utama.

Graaf, H. J. de. (1987). Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I. Jakarta: Pustaka Grafitipers dan KITLV.

Hermana. (2012). Arsitektur Masjid Merah Panjunan Kota Cirebon. Patanjala, Vol. 4 (2), 151–167.

Indradjaja, A. (2020). Awal Pengaruh Hindu-Buddha di Pantai Utara Jawa Tengah.

Purbawidya: Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Arkeologi, Vol. 9 (1), 79–94. https://doi.org/10.24164/pw.v9i1.333

Istari, T. M. R. (2012). Penemuan Sebuah Candi Bata di Daerah Pantura Jawa Tengah. Berkala Arkeologi, Vol. 32 (1, 27–38.

Krom, N. J. (1915). Rapporten van de Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indie (ROD) 1914. Uitgegeven door het Bataviasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Batavia: Albrecht & Co. Michrob, H. (1992). Temuan Perahu Kuno Tradisi

Jawa Barat di Kabupaten Indramayu. Serang: Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Barat, DKI Jaya, dan Lampung.

Murdhihastomo, A., & Bauty, I. (2020). Konstruksi Sosial Masyarakat Terhadap Keramik Asing di Bangunan Masjid Panjunan, Cirebon.

PURBAWIDYA: Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Arkeologi, Vol. 9 (1), 63–78. https://doi.org/10.24164/pw.v9i1.334

Pratama, H. R., & Priswanto, H. (2013). Sebuah Informasi Mutakhir Hasil Penelitian Tahun 2013 di Situs Kedaton Pleret, Kabupaten

(12)

77 Tumotowa Volume 3 No. 2, Desember 2020: 66 - 77 Bantul, D.I. Yogyakarta. Berkala Arkeologi,

Vol. 33 (2, 239–252.

Priswanto, H. (2012). Situs Candi Kayen: Data Baru Candi Berbahan Bata di Pantai Utara Jawa. In Irmayanti Meliono (Ed.), Prosiding The 4th International Conference on Indonesian Studies: “Unity, Diversity, and Future” (pp. 381–392). Sanur, Bali.

Priswanto, H. (2015). Hasil Penelitian Terbaru: Bentuk dan Karakter Situs Semarum. Berkala Arkeologi, Vol. 35 (2, 95–115.

Purwanti, R. (2014). Bata Bertanda di Candi 1 Bumiayu. Siddhayatra, Vo. 19 (1).

Rangkuti, N. (2012). Batas Kota Majapahit. In I. Adrisijanti (Ed.), Majapahit: Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota (pp. 4–21). Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta. Saptono, N. (1994). Laporan Hasil Penelitian

Arkeologi di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat. Bandung.

Saptono, N. (1995). Perkembangan Pemukiman di Daerah Indramayu. Berkala Arkeologi, Edisi Khus(Manusia Dalam Ruang: Studi Kawasan Dalam Arkeologi), 60–64.

Saptono, N. (2007). Struktur Bata di Situs Talun, Data Permukiman di Kawasan Subang. In S. Admosudiro (Ed.), Selisik Masa Lalu (pp. 17– 26). Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.

Saptono, N. (2008). Situs Tamanan di Indramayu: Permasalahan dan Penanganannya. In Hari Untoro Drajat (Ed.), Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Arkeologi XI (pp. 352– 358). Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia.

Saptono, N. (2012). Peranan Anjing Pada Masyarakat Yang Bermukim di Sekitar Candi Bojongmenje Abad VIII-IX. In H. O. Untoro (Ed.), Arkeologi Ruang: Lintas Waktu Sejak Prasejarah Hingga Kolonial di Situs-situs Jawa Barat dan Lampung (pp. 93–112). Jatinangor: Alqaprint.

Saptono, N. (2013). Perubahan Budaya Masyarakat Pesisir Indramayu. In E. Saringendyanti & Y. I. Syarief (Eds.), Potensi Arkeologi dan Pemanfaatannya Untuk Masyarakat Luas. Prosiding Seminar Nasional Dalam Rangka 100 Tahun Purbakala (pp. 163–180). Jatinangor: Alqaprint.

Saptono, N., & Widyastuti, E. (2019). Situs-Situs Arkeologi Di Daerah Gegunung Sebagai Jejak Permukiman Awal Di Cirebon. Panalungtik,

Vol. 2 (2), 109–126.

https://doi.org/10.24164/pnk.v2i2.22

Sopandi, S. (2013). Sejarah Arsitektur: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Sumalyo, Y. (2005). Arsitektur Modern Akhir Abad XIX dan Abad XX (2nd ed.). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Tim Penelitian. (2011). Persebaran Tinggalan Arkeologis di Indramayu. Jakarta.

Wirasanti, N., Haryono, T., & Sutikno. (2015). The Significance of Sacred Places from “The Triad” of Mendut Temple – Pawon Temple – Borobudurtemple : Perspective of Environmental Semiotic. Jurnal Bumi Lestari,

Vol. 15 (1, 71–78.

Yarwood, D. (1986). Encyclopedia of Architecture. Great Britain: Fact File Publications.

Gambar

Gambar 1. Peta topografi kawasan Juntinyuwat   (Sumber: Peta topografi Blad Ia. A en 47 B Java
Gambar 5: Struktur bata yang terdapat di gumuk D    (Sumber: Dokumen Yayasan Tapak Karuhun
Gambar 7: Singkapan struktur bata yang  ditemukan di Blok Sambilawang   (Sumber: Dokumen Yayasan Tapak Karuhun
Tabel 1. Ukuran bata yang ditemukan di kawasan  pantai utara Jawa Barat

Referensi

Dokumen terkait

Adanya perubahan terhadap pola sistem pemerintahan yang dipicu oleh Revolusi Perancis dianggap sebagai revolusi rakyat karena banyak menciptakan berbagaii bentuk tatanan

Prof.Dr.Koentjoroningrat (1985: 180): Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik

usia taman kanak-kanak yang diperoleh melalui media gambar, pola kalimat majemuk bertingkat bahasa Indonesia yang digunakan anak dalam memahami media gambar dan faktor-faktor

1) Berdasarkan observasi tingkat kebersihan yang terdapat di SMP Negeri 10 Magelang sudah relatif bersih karena para siswa di sekolah tersebut sudah dibiasakan

huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya. Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman,

Metode yang digunakan dalam pengabdian masyarakat ini ceramah dan diskusi, simulasi dan kegiatan jalan kaki serta pendampingan terapi jalan kali seminggu tiga kali

Upaya-upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kecamatan Cigugur dalam menghadapi hambatan-hambatan yaitu, terus melakukan sosialisasi terhadap pengusaha sehingga kejelasan

Analisis deskriptif pada penelitian ini mengkaji persepsi mahasiswa BK Universitas Mahadewa Indonesia mengenai model pembelajaran daring terkait pemanfaatan media,