Pertemuan 8 – Maqashid al-Syari’ah sebagai Tujuan Ekonomi Islam Definisi dan Ruang Lingkup Maqashid al-Syariah
Secara literal, Maqashid al-Shari’ah bermakna tujuan dari hukum Islam. Imam Al-Ghazali memaknai Maqashid al-Syariah sebagai “penjagaan terhadap maksud dan tujuan syariah adalah upaya mendasar untuk bertahan hidup, menahan faktor-faktor kerusakan dan mendorong terjadinya kesejahteraan.”
Para ulama sepakat bahwa setiap hukum syariah pasti memiliki illah dan maqashid. Ide sentral dari perlindungan terhadap tujuan-tujuan syariah atau maqashid al-Syariah adalah terciptanya maslahah. Maslahah adalah segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia yang dapat diraih oleh manusia dengan cara memperoleh maupun menghindarinya. Jadi menghindari terjadinya kerusakan (mafsadah) juga merupakan wujud mencapai maslahah.
Konsep Maqasid al-Syariah maslahah terdiri dari beberapa tingkatan:
1. Daruriyyah, penegakan kemaslahatan agama dan dunia. Jika daruriyah hilang maka kemaslahatan dunia dan akhirat juga hilang (terjadi kerusakan). Lima poin yang perlu dijaga agar kebutuhan dasar manusia tercapai: Dien, Nafs, ‘Aql, Nasl, dan Maal.
2. Hajiyyah, hal-hal yang dibutuhkan untuk mewujudkan kemudahan dan menghilangkan kesulitan yang dapat menyebabkan bahaya dan ancaman. Jika hajjiyah tidak ada maka tidak berdampak kepada kemaslahatan umum.
3. Tahsiniyyah, kebiasaan-kebiasaan yang baik dan menghindari yang buruk sesuai dengan apa yang telah diketahui oleh akal sehat.
Maqashid al-Shari’ah sebagai Tujuan Ekonomi Islam
Tujuan-tujuan syariah yang terangkum dalam konsep Maqashid al-Shari’ah bisa mempengaruhi aktivitas produksi maupun konsumsi. Dengan konsep Maqashid al Syariah yang berorientasikan maslahah maka arah pembangunan ekonomi dapat ditujukan pada satu titik yang sama sehingga menghindari konflik antara konsumen, produsen, dan distribusi pendapatan.
Peran dan Signifikansi Maqashid al-Shari’ah dalam Ekonomi Islam
Iman menjadi filter moral terhadap self-interest dalam batas-batas social-interest. Filter tersebut langsung menyerang pusat masalah dari ekonomi konvensional yakni unlimited wants dengan mengubah skala preferensinya agar selaras dengan tujuan normatif. Pemenuhan terhadap kebutuhan maqashid al-Shari’ah akan menciptakan pemenuhan kebutuhan yang seimbang terhadap semua kebutuhan hidup manusia yang berpengaruh terhadap signifikansi variabel-variabel ekonomi seperti konsumsi, tabungan dan investasi, lapangan kerja dan produksi, serta distribusi pendapatan. Maka dalam ekonomi Islam, seharusnya penjagaan terhadap lima unsur pokok tujuan syariah menjadi tujuan baik produsen maupun konsumen dalam melakukan aktivitas ekonominya. Ketika ingin memproduksi suatu barang dan jasa yang dibutuhkan oleh konsumen, sektor daruriyat harus lebih didahulukan dari sektor hajiyat dan tahsiniyat.
Unsur Maqashid Daruriyyat Hajiyyat Tahsiniyyat Agama
(Contoh: shalat)
Kewajiban pokok, yaitu sholat 5 waktu
Ketentuan agama yang bertujuan menghindari kesulitan, yaitu shalat jamak bagi musafir Mengikuti petunjuk agama yang bertujuan untuk melengkapi kewajiban, yaitu membersihkan badan, pakaian, dan tempat shalat Jiwa (Contoh: asupan makanan) Memenuhi kebutuhan untuk bertahan hidup, yaitu makan Memenuhi kebutuhan untuk menghindari kesulitan, yaitu makan makanan bergizi Mengikuti petunjuk agama yaitu mengikuti adab makan dan minum
Akal (Contoh: menggunakan otak) Diharamkan minuman keras karena mengancam eksistensi akal Perintah menuntut ilmu pengetahuan Menghindarkan diri dari berkhayal dan mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah Keturunan (Contoh: pernikahan) Disyariatkannya menikah dan diharamkannya zina Ditetapkannya ketentuan menyebutkan mahar pada waktu akad nikah
Disyaratkannya khitbah dan walimah dalam pernikahan
Harta
(Contoh: Perolehan harta)
Ketentuan tata cara pemilikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah
Ketentuan tentang jual beli dengan akad salam
Ketentuan
menghindarkan diri dari berbohong atau penipuan
Pertemuan 9 – Maslahah sebagai Ukuran Ilmu Ekonomi Maslahah sebagai Ukuran dalam Ekonomi Islam
Perbedaan mendasar antara individu yang diasumsikan dalam ekonomi Islam dan konvensional melahirkan dua konsep yang berbeda: economic man dan Islamic man. Kedua konsep ini pada ujungnya menciptakan perbedaan terhadap tujuan dan motivasi individu dalam melakukan aktivitas ekonomi.
Economic Man karakter self-interest Utility Maximization Islamic Man karakter huquq Maslahah Maximization
Maslahah dijadikan sebagai ukuran dalam Ekonomi Islam karena beberapa hal:
Utility Maslahah
Sulit diukur karena antarindividu berbeda yang didasarkan kepada keinginannya
Dapat diukur dan diperbandingkan
antarindividu karena ada kriteria yang jelas, yaitu adanya halal-haram
Keabstrakan utility untuk diperbandingkan membuat policymaker sulit membuat kebijakan makro yag berbasis pada utility
Berbasiskan kebutuhan individu dan bukan keinginan (wants) sehingga mudah diukur Contoh: nilai segelas air akan berbeda
antara individu yang sedang kehausan dengan yang tidak
Contoh: untuk bertahan hidup semua orang membutuhkan sejumlah kalori yang relatif sama antarindividu
Implikasi perbedaan motivasi antar individu yang bertujuan memaksimalkan maslahah dan utility dapat dibedakan menjadi beberapa hal:
1. Basis evaluasi
2. Subjektivitas utility dan objektivitas maslahah 3. Utilitas dan maslahah: individu dan sosial
Basis Evaluasi:
Ukuran Utility Maslahah
Basis Evaluasi - Preferensi terhadap sesuatu didasarkan pada evaluasi individu
- Mendahulukan kepentingan pribadi dalam pengambilan keputusan
- Basis evaluasi berdasarkan kriteria syariah
- Berbasiskan kebutuhan individu bukan wants sehingga mudah diukur Subjektivitas utility dan
objektivitas maslahah
- Bersifat subjektif karena diukur dari pengalaman individu
- Setiap individu memiliki interpretasi berbeda dalam pengambilan keputusan
- Setiap keputusan yang diambil dapat dievaluasi oleh prinsip-prinsip Islam - Setiap keputusan
Utilitas dan maslahah individu dan sosial
- Keputusan bersifat relatif dan inkonsisten
- Konflik antara social utility dan individual utility sangat mungkin terjadi
- Keputusan yang diambil akan meminimalkan konflik individu dan sosial
- Fungsi maslahah telah memperhitungkan fungsi individu lain dan lingkungan
Maslahah dalam Konsumsi dan Produksi
Preferensi konsumen dalam perspektif Islam terbagi menjadi beberapa tingkatan pilihan: First Level of Choice: Spending for worldly needs or Spending for the cause of Allah Second Level of Choice: Future Consumption or Present Consumption
Third Level of Choice: Dharruriyyat, Hajiyyat, Tahsiniyyat Forth Level of Choice: Choice between substitution
Perbedaan mendasar pola konsumsi ekonomi konvensional dan ekonomi Islam adalah dasar teori perilaku konsumen dalam konvensional adalah memuaskan keinginan dan dasar teori perilaku dalam ekonomi Islam adalah memenuhi kebutuhan (bukan keinginan).
Konsep maslahah dalam konsumsi:
1. Konsep maslahah dalam teori konsumsi sama-sama bersifat subjektif namun subjektifitas dalam maslahah tidak sesamar konsep utility karena maslahah memiliki kriteria-kriteria tertentu.
2.Maslahah individual akan sejalan dengan maslahah sosial. 3.Konsep maslahah mendasari aktivitas konsumsi dan produksi.
4.Maslahah dalam mengkonsumsi suatu barang dapat dibandingkan antar individu. Konsep maslahah dalam aktivitas produksi
1. Produksi barang-barang kebutuhan dasar dipandang sebagai kewajiban sosial (Al-Ghazali). 2. Tujuan-tujuan produksi berorientasikan maslahah.
3. Aspek sosial dalam produksi harus dilaksanakan.
4. Produksi harus memperhitungkan aspek lingkungan dan keberlanjutan produksi.
Implikasi Perwujudan Maslahah dalam Perekonomian
Implikasi dari Maslahah sebagai tujuan individu dalam melaksanakan aktivitas ekonominya pada akhirnya berdampak bagi perekonomian secara menyeluruh seperti: 1. Maslahah individu akan relatif konsisten degan maslahah sosial.
2. Maslahah relatif objektif dan memiliki kriteria-kriteria yang jelas sehingga mudah diperbandingkan dan disesuaikan antara satu orang dan yang lainya
3. Jika maslahah dijadikan tujuan bagi pelaku ekonomi maka arah pembangunan akan menuju titik yang sama yaitu kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat
karena maslahah dapat diperbandingkan maka akan mudah dalam menyiapkan alokasi anggaran untuk pemenuhan kebutuhan dan penentuan skala prioritas untuk memenuhi kebutuhan tiap level maslahah.
Pertemuan 10 – Empirisme Ilmu Pengetahuan Induktif dan Deduktif
Perbedaan deduktif dan induktif
Penggunaan metode deduktif dan induktif dalam Islam dan Sekuler Sekuler:
a. Metode saintifik: empirisme dan rasionalisme sekunder
b. Menjadi satu-satunya metode untuk mendapatkan pengetahuan (induktif) Islam:
a. Metode saintifik: sebab dihubungkan dengan wahyu
b. Deduktif sama pentingnya, bahkan terkadang lebih penting daripada induktif Sejarah Metodologi: Deduktif dan Induktif
Pada pertengahan abad 19, metode induktif digunakan dalam penelitian ilmiah. Hukum atau teori harus dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris dengan menggunakan data-data. Kemudian, pada akhir abad 19, ilmuwan-ilmuwan (Ernst Mach, Poincare, Duhem) lebih menekankan metode deduktif dalam dunia ilmiah. Metode ini lebih berkembang dengan pemikiran dari Vienna Circle. Metode ini merupakan cikal bakal positivisme dalam pengetahuan (termasuk ilmu ekonomi).
Penerapan dalam Ekonomi Islam: Deduktif atau Induktif?
Secara umum, Ilmu Ekonomi Islam adalah kombinasi antara deduktif dan induktif, tapi hal ini membutuhkan beberapa kualifikasi.
Verifikasi dan Falsifikasi
Deduktif Induktif
Jika semua premis benar maka kesimpulan pasti benar
Jika premis benar, kesimpulan mungkin benar, tapi tak pasti benar
Semua informasi atau fakta pada kesimpulan sudah ada, sekurangnya secara implisit, dalam premis
Kesimpulan memuat informasi yang tak ada, bahkan secara implisit, dalam premis
Logika
Induktif
Penarikan kesimpulan dari khusus keumum
Metode penalaran yang berproses dari fakta ke generalisasi
Deduktif
Penarikan kesimpulan dari umum ke khusus Proses penalaran dari asumsi-asumsi kepada kesimpulan dengan pengujian hipotesisVerifikasi digunakan untuk mencari kebenaran suatu teori. Apabila pernyataan tersebut dapat diverifikasi maka pernyataan tersebut bermakna (ilmiah), dan apabila pernyataan itu tidak dapat diverifikasi maka pernyataan itu tidak bermakna-non ilmiah (contoh: estetika, etika, agama, metafisika)
Falsifikasi digunakan untuk mencari suatu kesalahan teori. Suatu teori harus falsifiable yaitu berpeluang untuk disalahkan scara induktif (empiris) atau deduktif (rasional). Semakin besar peluang teori untuk disanggah maka akan semakin kuat teori tersebut karena teori tersebut akan terus memperbaiki diri.
Sejarah Verifikasi dan Falsifikasi
Verifikasi muncul sebelum abad 19, sedangkan falsifikasi muncul pada tahun 1934, dikemukakan oleh Karl Popper (dalam buku The Logic of Scientific Discovery) yang melakukan kritik terhadap kecenderungan metodologi sains di masa itu yang didominasi oleh positivisme. Menurutnya, proses verifikasi lemah karena hanya bekerja melalui logika induksi. Penerapan Verifikasi dan Falsifikasi dalam Ekonomi Islam
Ekonomi Islam men-set segala aturan (evaluasi) tersebut berdasarkan Wahyu (Alquran dan Hadits). Dengan kata lain, ekonomi Islam tidak menggunakan verifikasi saja ataupun falsifikasi saja. Ilmu ekonomi Islam menggunakan keduanya.
Pertemuan 11 – Pendekatan Islamisasi Ekonomi Latar Belakang Islamization of Knowledge
Islamisasi ilmu pengetahuan dipicu oleh pertemuan Muslim Scholars dalam “The First World Conference on Muslim Education” di Makkah tahun 1977. Alasannya karena telah berkembangnya sekularisasi. Bentuk nyatanya dari konsep IOK adalah pendirian ‘International Islamic Universities’, di Islamabad (1981) dan di Kuala Lumpur (1983).
Islamization of Knowledge
IOK adalah proses penyusunan kembali pengetahuan, yang berhubungan dengan Islam. (Faruqi 1982)
Perbedaan pendapat tentang IOK :
Tokoh-tokoh IOK
1. Seyyed Hossein Nasr, berbicara mengenai, eksploitasi alam sebagai sumber kekuatan dan dominasi.
2. Ismail Raji al-Faruqi, berbicara mengenai, akar dari kemunduran umat Islam dalam berbagai dimensi karena dualisme sistem pendidikan.
3. Syed Muhammad Naquib al-Attas “ilmu pengetahuan modern harus diislamkan”
Proses IOK
Traditional Muslim • Semua pengetahuan dan
ilmu pengetahuan berasal dari Allah SWT. • Sehingga tidak perlu
dilakukan re-Islamisasi.
The Secularist-Modernist • Ilmu pengetahuan
modern bersifat universal dan netral. • Sehingga tidak perlu
adanya sistem nilai dari budaya atau agama tertentu.
Contemporary Muslim Scientists
• Tidak ada istilahneutral or value free dalam ilmu pengetahuan modern. Pengaruhvalueini terlihat dari Berbagai metode, pendekatan, danworldview.
Islamization of Knowledge
Islamization of Economies (IOE) sebagai bagian agenda IOK
Ekonomi konvensional tidak bebas nilai juga tidak bebas bebas ideologi memiliki ’foundations' yang mewakili sejarah dan pengalaman Eropa (sekuler). Aspek ini tidak sejalan dengan worldview Islam.
Bidang Ekonomi menjadi prioritas, mengingat latar belakang keterbelakangan negara muslim dalam bidang ekonomi. Konferensi ekonomi pertama tahun 1976 , satu tahun sebelum konferensi pengetahuan secara umum tahun 1977.
Metode IOE yaitu, Membentuk kembali ekonomi modern dengan menghilangkan, mengubah, menafsirkan dan menyesuaikan komponen sesuai dengan pandangan Islam dan nilai-nilainya.
Proses IOE, para Islamizers harus ‘mastering’ pemikiran warisan Islam (heritage) dan ekonomi konvensional saat ini. Untuk mastering keduanya, ada dua jenis pengetahuan yaitu substantif (teori) dan metodologis. Saat ini Islamizers berfokus sebagian besar pada substantif.
Perbedaan pengetahuan substantive dan metodelogi dalam ekonomi konvensional dan heritage :
Ekonomi Konvensional
Apakah ekonomi neo-classical / keynesian cukup?
Sejauh mana teori yang ada tersedia untuk proses IOE?
Bagaimana dengan “school of thought” yang lain ?
Bagaimana dengan disiplin lain seperti sejarah, sosiologi, ilmu politik dll?
Ekonomi konvensional dikembangkan dengan menggunakan metode dan metodologi yang mungkin tidak “compatible” dengan ekonomi Islam karena sumber knowledge dan pengalaman sejarah mereka sendiri
Eksposure dalam kuliah juga lemah.
Heritage 1. Apa warisan sejarah Islam kita relevan untuk
mengembangk anekonomi Islam kontemporer? Bagaimana sejarah lokal Islam ?
2. Penekanan saat ini adalah pada fiqh? Apakah ini cukup?
3. Bagaimana dengan ilmu kalam, falsafah, sejarah, tasawuf ? Ulum al-Qur'an dan ulum al-hadits?
1. Terbatas fokus pada ushul fiqh.
2. Apakah pengetahuan Ushul al-Fiqh cukup untuk mengembangkan ekonomi Islam kontemporer?
3. Apakah perlu dikembangkan usul al-Iqtisad?
Akibat kurangnya pemahaman mengenai ekonomi konvensional dan warisan Islam sulit melakukan IOE yang mengintegrasikan antara ekonomi konvensional dan warisan Islam menyebabkan Islamisasi yang “patchwork”
Contoh Penerapan IOE
1. Asuransi konvensional dan takaful
Takaful dibuat karena adanya asuransi konvensional yang mengandung riba, gharar, dan maysir.
2. Faktor produksi dalam Islam
Faktor produksi dalam Islam dikembangkan dari teori produksi konvensional yang kemudian disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah.
Pertemuan 12 – Pendekatan Ushul Fiqh Pendekatan Legal/ Fiqh dalam Ekonomi Islam
Ushul al-fiqh, fiqh, dan Kaidah fiqh digunakan dalam diskusi ilmu ekonomi Islam untuk mengembangkan ekonomi Islam.
Ushul Fiqh Fiqh Kaidah Fiqh; Memahami Ushul fiqh dan metode untuk menggali hukum fiqh dan membuat kaidah untuk penyederhanaan dan kontekstualisasi aturan hokum.
Ushul Fiqh (Islamic Jurisprudence): Metodologi yang berkembang melalui usaha-usaha dari ahli hukum Islam. Sedangkan fiqh adalah “legal system” dari agama Islam. Dan kaidah fqh
adalah fondasi makro atau frekuentif yang mengatur persoalan-persoalan mikro fiqh yang serupa.
Beberapa Metode/Sumber Fiqh 1. Quran
2. Sunnah 3. Qiyas (Analogy)
4. Ijma’ (kesepakatan ahli hukum Islam terkait permasalahan hukum Islam) 5. Istihsan (Juristic preference) menganggap baik atau mencari yang baik 6. Maslaha al mursalah meraih manfaat dan menolak mudharat
7. Sadd al dharai’ (Blocking the means)
8. Istishab(Presumption of continuity) menetapkan sesuatu menurut keadaaan sebelumnya sampai terdapat dalil-dalil yang menunjukkan perubahan keadaan
Evaluasi Pendekatan Fiqh dalam Ekonomi Islam
Pada umumnya, ilmu ekonomi Islam dipandang seperti “fiqhnomics”, yang disamakan dengan fiqih atau cabang dari ilmu fiqih. Implikasinya mungkin menjadi tidak tepat dan terlalu sempit. Ada dua alasan:
1. The two subjects have difference subject-matter
- Fiqh mempelajari aturan dan hukum praktis yg attached pada prilaku manusia (ahkam al-shari’ah).
- Ekonomi islam mendiskusikan prilaku manusia secara jauh lebih luas mencari cara dan teknik yang tepat untuk menganalisa problem2 ekonomi (penyebab, konsekuensi, dan solusi dalam kehidupan praktis)
2. Secara tujuan filosofi juga berbeda sehingga menjadi tidak tepat.
- Usul al-fiqh secara metodologi bertujuan Memberikan standar dan kriteria dalam menurunkan aturan-aturan fiqih dari sumber-sumber ilmu syariah secara benar. - Ekonomi islam secara metodologi akan berinterkasi dengan tiga sumber pengetahuan
:
o doctrinal-revelation (ajaran wahyu) o intellectual-reasoning (penalaran akal)
o factual-observation thoroughly. (pengamatan berdasarkan fakta secara menyeluruh)