• Tidak ada hasil yang ditemukan

Qiyas sebagai Teori Dinamika Hukum dalam Islam Oleh: Bunyana Sholihin * Kata kunci: qiyas, 'illat, teori pengembangan hukum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Qiyas sebagai Teori Dinamika Hukum dalam Islam Oleh: Bunyana Sholihin * Kata kunci: qiyas, 'illat, teori pengembangan hukum"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

Qiyas sebagai Teori Dinamika Hukum dalam Islam

Oleh: Bunyana Sholihin* Abstrak

Dalam upaya pengembangan hukum, ulama dalam Islam umumnya sepakat menggunakan qiyas, walaupun pada tingkat penggunaannya terdapat perbedaan. ulama Hanafiyah untuk masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan qiyas masih menggunakan dalil lain, yaitu istihsan. Begitu juga ulama Malikiyah, untuk kasus serupa mereka beralih ke istishlah. Lain halnya dengan ulama Syafi‘iyah, bagi mereka tidak masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan qiyas. Qiyas bagi mereka merupakan teori pengembangan hukum terakhir, tidak ada lagi teori hukum setelah qiyas.

Perbedaan yang terjadi disebabkan perbedaan pada batasan “‘illat”. Bagi ulama Hanafiah yang membatasi ‘illat dengan sifat masalah, masih menemukan sifat-sifat yang tidak bisa dijadikan ‘illat karena kesamaran antara sesama sifat-sifat, sehingga banyak masalah yang tidak bisa ditemukan hukumnya dengan qiyas. Demikian juga ulama Malikiyah yang menambahkan kemaslahatan sebagai tujuan hukum pada cakupan ‘illat, sehingga untuk masalah yang tidak bisa diketahui hukumnya dengan qiyas, mereka beralih menggunakan teori istishlah. Berbeda dengan ulama Syafi‘iyah yang menetapkan substansi masalah sebagai ‘illat, bagi mereka tidak ada lagi ‘illat yang samar sehingga tidak ada masalah yang tidak bisa diqiyaskan. Qiyas bagi mereka adalah teori pengembangan hukum terakhir yang mempunyai daya solusi yang luas dan mencakup semua permasalahan hukum.

Kata kunci: qiyas, 'illat, teori pengembangan hukum

A. Pendahuluan: Pro-Kontra Aplikasi Qiyas

Qiyas adalah salah satu landasan pengembangan hukum dalam Islam yang dianut oleh sebagian besar ulama. Namun demikian, tampaknya terjadi perbedaan ulama dalam penerapannya terhadap kasus yang dihadapi. Ulama Hanafiyah dan Malikiyah misalnya, mereka menganut qiyas sebagai teori pengembangan hukum, tetapi mereka membatasinya pada masalah-masalah yang illatnya jelas. Adapun untuk masalah-masalah yang ‘illatnya samar kelompok ulama Hanafi dan Maliki menggunakan landasan lain seperti istihsan dan istishlah. Berbeda dengan ulama Syafi‘iyah, bagi mereka tidak ada lagi ‘illat yang samar, sehingga tidak ada lagi masalah yang tidak bisa ditetapkan hukumnya dengan qiyas. Beranjak dari itu semua, maka yang menjadi permasalahan pokok di sini

(2)

adalah sejauhmana keberadaan qiyas sebagai teori dinamika hukum dalam Islam?.

Kajian tentang qiyas dalam kaitannya dengan teori hukum tidak lepas dari uraian mengenai seluk beluk qiyas sebagai dasar dan pijakan hukum serta prinsip-prinsip dasar tentang kebenaran dan keadilan hukum. Oleh karena itu, sifat penelitian ini adalah penelitian normatif yang akan mengurai qiyas dan seluk-beluk unsur-unsur pokoknya sehingga layak diakui dan diyakini sebagai sandaran penetapan kebenaran hukum serta dapat menjamin keadilan hukum dengan merujuk kepada sumber-sumber kepustakaan klasik dengan menggunakan pendekatan sejarah.

Selanjutnya data mengenai qiyas dan unsur-unsur pokoknya itu akan dianalisa dengan teknik analisis komparatif, yaitu analisis perbandingan antar teori qiyas masing-masing ulama penganutnya sehingga dapat ditawarkan kesimpulan yang menjawab permasalahan.

B. Pengertian Qiyas

Untuk jelasnya apa yang dimaksudkan dengan qiyas perlu disajikan terlebih dahulu beberapa batasan qiyas yang dinyatakan oleh para ahli hukum dari masing-masing alirannya.

Menurut ahli hukum dari kalangan ulama Hanafi sebagai berikut: Abu al-Hasan al-Bishri mengatakan:

ﺱﺎﻴﻘﻟﺍ

ﻞﻴﺼﲢ

ﻢﻜﺣ

ﻞﺻﻷﺍ

ﻉﺮﻔﻟﺍ

ﺎﻤﻬﻫﺎﺒﺘﺷﻻ

ﺔﹼﻠﻋ

ﻢﻜﳊﺍ

ﺪﻨﻋ

ﺪﻬﺘﺍ

.

Qiyas adalah menerapkan hukum asal pada cabang karena keserupaan ‘illat keduanya menurut seorang mujtahid.1

Al-Qadli Abdul Jabbar mengatakan:

ﺱﺎﻴﻘﻟﺍ

ﻮﻫ

ﻞﲪ

ﺊﺸﻟﺍ

ﻰﻠﻋ

ﺊﺸﻟﺍ

ﺾﻌﺑ

ﻪﻣﺎﻜﺣﺃ

ﺏﺮﻀﺑ

ﻦﻣ

ﻪﺒﺸﻟﺍ

.

Qiyas itu adalah memberlakukan hukum sesuatu atas sesuatu karena sejumlah kemiripan.2 Al-Bazdawi mengatakan:

ﺔﻧﺎﺑﺍ

ﻞﺜﻣ

ﻢﻜﺣ

ﺪﺣﺃ

ﻦﻳﺭﻮﻛﺬﳌﺍ

ﻞﺜﲟ

ﺔﹼﻠﻋ

ﺮﺧﻵﺍ

.

1Al-Amidi, Al-Ihkam Fi Ushul al-Ahkam, Juz III., (Bairut: Dar Kutub

al-Islamiyah, t.t.), p. 169.

(3)

Menetapkan hukum seperti salah-satu dari yang disebutkan berdasarkan kemiripan ‘illat dengan yang lainnya.3

Dari masing-masing batasan tersebut menunjukkan bahwa qiyas itu adalah cakupan makna umum suatu dalil, sebagaimana juga ditegaskan oleh Muhammad Mushthafa Syalabi bahwa:

ﺱﺎﻴﻘﻟﺍ

ﻮﻫ

ﺓﺪﻋﺎﻘﻟﺍ

ﺔﻣﺎﻌﻟﺍ

ﺓﺫﻮﺧﺄﳌﺍ

ﻦﻣ

ﻮﻤﳎ

ﺔﹼﻟﺩﻷﺍ

ﺓﺩﺭﺍﻮﻟﺍ

ﻉﻮﻧ

ﺪﺣﺍﻭ

.

Qiyas itu adalah kaedah umum yang disarikan dari sejumlah dalil mengenai suatu masalah tertentu.4

Pengertian qiyas demikian itu sesuai menurut pernyataan imam Abu Hanifah r.a sebagai berikut:

ﹼﻥﺇ

ﺔﻳﻵﺍ

ﱴﹼﻟﺍ

ﺕﺩﺭﻭ

ﺪﺣ

ﺎﻧﺰﻟﺍ

ﺔﻣﺎﻋ

ﺎﻬﻈﻔﻠﺑ

ﻯﻮﻄﻨﻴﻓ

ﺎﻬﺘﲢ

ﻦﺼﶈﺍ

ﻩﲑﻏ

ﺍﺬﻫﻭ

ﻮﻫ

ﺱﺎﻴﻘﻟﺍ

.

Sesungguhnya lafaz ayat mengenai zina adalah umum, yang mencakup arti muhshan dan yang lainnya, dan inilah yang dimaksudkan dengan istilah qiyas.5

Dari itu semua semakin jelas bahwa pengertian qiyas menurut ulama Hanafi adalah cakupan makna umum dari suatu dalil atau kaedah.

Menurut ahli hukum dari kalangan ulama Maliki sebagai berikut: Abu Bakar al-Baqilani menyatakan:

ﺱﺎﻴﻘﻟﺍ

ﻞﲪ

ﻡﻮﻠﻌﻣ

ﻰﻠﻋ

ﻡﻮﻠﻌﻣ

ﺕﺎﺒﺛﺍ

ﻢﻜﺣ

ﺎﻤﳍ

ﻭﺃ

ﻪﻴﻔﻧ

ﺎﻤﻬﻨﻋ

ﺮﻣﺄﺑ

ﻊﻣﺎﺟ

ﺎﻤﻬﻨﻴﺑ

.

Qiyas itu adalah menetapkan hukum dua masalah yang diketahui atau menolaknya karena cakupan antara keduanya.6

Ibnu al-‘Arabi menyatakan sebagai berikut:

ﹼﻥﺃ

ﻡﻮﻤﻌﻟﺍ

ﺍﺫﺇ

ﺮﻤﺘﺳﺍ

ﺱﺎﻴﻘﻟﺍﻭ

ﺍﺫﺇ

ﺩﺮﹼﻃﺍ

.

Sesungguhnya yang umum itu apabila artinya mencakup dan Qiyas itu yang artinya mengikuti.7

3Ibid., p. 173.

4 Muhammad Mushthafa Syalabi, Ta‘lil al-Ahkam, (Bairut: Dar al-Nahdlah, 1981),

p. 337.

5Ibid., p. 347. 6Ibid., p. 170.

7 Abdul Hakim Abdurrahman As‘ad As-Sa‘di, Mabahits ‘Illat Fi Qiyas ‘Inda

(4)

Berdasarkan kedua batasan ulama Maliki tersebut Ibnu al-Hajib menyatakan bahwa qiyas itu adalah:

ﺕﺍﻭﺎﺴﻣ

ﻉﺮﻓ

ﻞﺻﻷ

ﺔﹼﻠﻋ

ﻪﻤﻜﺣ

.

Persamaan ‘illat hukum antara ashal dan fara‘.8

Dari ketiga batasan di atas maka qiyas menurut ulama Maliki adalah hukum yang termasuk dalam cakupan keumuman hukum yang berlaku.

Menurut ahli hukum dari kalangan ulama Syafi‘iyyah sebagai berikut: Al-Ghazali menyatakan:

ﺱﺎﻴﻘﻟﺍ

ﺓﺭﺎﺒﻋ

ﻦﻋ

ﺕﺎﺒﺛﺍ

ﻢﻜﺣ

ﻞﺻﻷﺍ

ﻉﺮﻔﻟﺍ

ﺎﻤﻬﻛﺍﺮﺘﺷﻻ

ﺔﹼﻠﻋ

ﻢﻜﳊﺍ

.

Qiyas itu adalah menerapkan hukum asal pada fara‘ karena bersatu ‘illat hukum keduanya.9

Al-Amidi menyatakan bahwa qiyas itu adalah:

ﺓﺭﺎﺒﻋ

ﻦﻋ

ﺀﺍﻮﺘﺳﻻﺍ

ﲔﺑ

ﻉﺮﻔﻟ

ﻞﺻﻷﺍﻭ

ﺔﹼﻠﻋ

ﺔﻄﺒﻨﺘﺴﳌﺍ

ﻦﻣ

ﻢﻜﺣ

ﻞﺻﻷﺍ

.

Penyamaan ‘illat fara‘ dan asal yang diistimbatkan dari hukum asal.10

Al-Baidlawi menyatakan:

ﺱﺎﻴﻘﻟﺍ

ﺕﺎﺒﺛﺍ

ﻞﺜﻣ

ﻢﻜﺣ

ﻡﻮﻠﻌﻣ

ﻡﻮﻠﻌﻣ

ﺮﺧﺁ

ﺎﻤﻬﻛﺍﺮﺘﺷﻻ

ﺔﹼﻠﻋ

ﻢﻜﳊﺍ

ﺪﻨﻋ

ﺖﺒﺜﻟﺍ

.

Qiyas adalah menetapkan hukum seperti yang diketahui pada selainnya karena bersatunya ‘illat hukum keduanya ketika ditetapkan.11

Ibnu as-Sabki menyatakan bahwa qiyas itu adalah:

ﻞﲪ

ﻡﻮﻠﻌﻣ

ﻰﻠﻋ

ﻡﻮﻠﻌﻣ

ﻪﺗﺍﻭﺎﺴ

ﺔﹼﻠﻋ

ﻢﻜﳊﺍ

ﺪﻨﻋ

ﻞﻣﺎﳊﺍ

.

Menerapkan hukum yang diketahui atas suatu kasus tertentu karena kesamaan ‘illat hukum menurut yang menetapkan.12

Berdasarkan sejumlah batasan qiyas tersebut, maka qiyas menurut ulama Syafi‘i adalah penerapan makna ashal dan fara‘ dengan makna yang dicakup oleh dalil nash. Pengertian ini sesuai dengan penegasan Muhammad bin Idris Asy-Syafi‘i r.a., bahwa qiyas itu adalah penetapan

8 Muhammad Mushthafa Syalabi, Ta‘lil al-Ahkam...,p. 346. 9 Al-Ghazali, Syifā`u al-Ghalil, (Baghdad: Al-Irsyād, 1971), p. 18. 10 Al-Amidi, Al-Ihkam..., p. 174.

11 Abdul Hakim Abdurrahman As‘ad Al-Sa‘di, Mabahits..., p. 25. 12Ibid., p. 33.

(5)

hukum berdasarkan pada kriteria makna yang ditunjukkan oleh dalil nash.13

Dari uraian pengertian qiyas menurut masing-masing golongan ulama ini, maka tampak pengertian menurut masing-masing golongan itu berbeda satu sama lainnya. Jelasnya ulama Hanafi mengartikan qiyas dengan makna nash atau kaedah, sedangkan ulama Maliki mengartikannya dengan cakupan nash yang berlaku secara umum dan ulama Syafi‘i mengartikannya dengan metode menyamakan hukum dengan kriteria makna yang sesuai.

Untuk mendudukkan pengertian qiyas menurut masing-masing golongan ulama perlu disajikan beberapa contoh kasus ijtihad masing-masing golongan ulama jumhur, antara lain:

1. Kasus perempuan yang berkhianat di medan peperangan.

2. kasus pemeriksaan seorang yang dituduh melakukan pencurian.

Mengenai kasus yang pertama, yaitu mengenai hukum perempuan yang berkhianat di medan perang, menurut ulama Hanafi berdasarkan pengertian qiyas menurut mereka, yaitu menerapkan dalil umum atas segala cakupan maknanya dengan acuan kriteria ‘illat

ﺐﺳﺎﻨﳌﺍ

ﺮﻫ

ﺎﹼﻈﻟﺍ

ﻒﺻﻮﻟﺍ

(kesesuaian sifat yang nyata), maka qiyas dalam hal ini adalah menerapkan cakupan makna nash tentang perbuatan khianat, maka dihukumkan ingkar wajib kaffarat sebagaimana ingkar sumpah. Namun karena ‘illatnya yaitu dalam peperangan yang dianggap tidak sesuai dengan ‘illat ingkar janji, sedangkan sehubungan dengan kondisi peperangan terdapat nash Sunnah yang melarang pembunuhan atas wanita dalam peperangan, maka mereka beralih meninggalkan ketentuan qiyas ingkar janji atau sumpah kepada cakupan nash Sunnah yaitu larangan pembunuhan wanita di medan perang. Dengan demikian, menurut mereka wanita berkhianat di medan perang tidak dihukum kafarat karena ‘illatnya tidak sesuai dan tidak juga dihukum bunuh karena larangan nash Sunnah. Cara penetapan hukum seperti ini menurut mereka disebut istihsan.14

Mengenai kasus yang kedua, yaitu mengenai terdakwa pencurian yang tidak mengakui. Menurut ulama Maliki berdasarkan qiyas menurut pengertian mereka, yaitu hukum yang tercakup ke dalam keumuman hukum yang berlaku, sehingga menurut mereka qiyas dalam hal ini adalah si terdakwa bebas dari tuntutan hukuman pencuri. Tetapi karena ‘illat pengqiyasannya tidak sesuai dengan ‘illat hukum atas harta, yaitu pemeliharaan harta, maka ketetapan bebasnya si terdakwa dari hukuman

13 Muhammad bin Idris Asy-Syafi‘i, Ar-Risālah, (Mesir : Mushthafa al-Halabi,

1940), p. 40.

(6)

mereka abaikan demi kemaslahatan harta orang yang kehilangan, sehingga seorang Sahnun, yaitu salah seorang pengikut Malik bin Anas menetapkan kebolehan memukul si terdakwa sehingga mengakui pencurian yang

didakwakan.15 Cara penetapan hukum seperti ini mereka sebut penetapan

hukum dengan Mashlahah al-Mursalah.

Lain halnya imam Asy-Syafi`i r.a dalam hal kedua kasus di atas, yaitu kasus perempuan berkhianat di medan perang dan kasus proses penyidikan terdakwa. Menurut Asy-Syafi‘i, berdasarkan dalil qiyas maka perempuan yang berkhianat di medan perang ditetapkan hukumannya dengan dibunuh sebagai qiyas kepada hukum asal perempuan berzina dengan ‘illat hukum sama-sama berkhianat.16 Demikian juga pada kasus

seorang terdakwa yang tidak mengakui perbuatan mencuri, tidak dibolehkan pemukulan atas dirinya berdasarkan qiyas kepada kasus li‘an.17

Dari masing-masing ijtihad ulama mengenai kedua kasus tersebut, maka ijtihad qiyas imam Asy-Syafi‘i tampak lebih akurat dan teruji keberannya. Karena qiyas Abu Hanifah r.a dan para pengikutnya mengenai kasus perempuan berkhianat di medan perang itu tampaknya terasa tidak mampu menyajikan hukum yang adil dan maslahat, sehingga masih memerlukan bantuan dalil lain yang lebih lemah. Sebab apa yang dianggap baik itu justru tidak baik dan tidak maslahat, karena perempuan yang berkhianat di medan perang itu justru akan menimbulkan mudlarat yang lebih besar bagi umat Islam, yaitu kehancuran dan kekalahan. Begitu juga qiyas ulama Maliki mengenai terdakwa sebagai pencuri yang tidak mengakui perbuatan yang didakwakan, juga dirasakan masih belum mampu menawarkan keadilan dan kemaslahatan, sehingga dirasakan masih sangat memerlukan bantuan dalil lainnya, yaitu mashlahat al-mursalat

yang juga lebih lemah. Sebab apa yang dianggap maslahat dengan keputusannya, justru tidak adil dan tidak maslahat, karena hanya mengutamakan kemaslahatan sepihak, yaitu mengutamakan kemaslahatan si pendakwa yang belum pasti kebenaran dakwaannya dan mengabaikan kemaslahatan si terdakwa yang masih mungkin bebas dari tuduhan yang didakwakan.

Dari uraian mengenai dua contoh ijtihad masing-masing golongan ahli hukum di atas, maka dapat dipahami pengertian qiyas yang dimaksudkan oleh masing-masing aliran ahli hukum sebagaimana berikut:

15 Abu Hamid Al-Ghazali, Syifa`u al-Ghalil, (Baghdad: Mathba‘ah al-Irsyad, 1971),

p. 228.

16 Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad...

17 Abdul Qadir Audah, At-Tasyri‘ al-Jina`i al-Islami, Juz II, (Bairut: Dar al-Kitab,

(7)

1) Masing-masing golongan ulama berbeda dalam mengartiakan dalil

qiyas, yaitu ulama golongan Hanafi mengartikan qiyas dengan makna

umum nash atau kaedah, dan ulama golongan Maliki mengartikan qiyas dengan cakupan nash yang berlaku secara umum, sedangkan ulama golongan Syafi‘i mengartikan dalil qiyas dengan suatu metode penyamaan hukum dengan kriteria makna yang sesuai.

2) Masing-masing golongan ulama berbeda dalam menetapkan ‘illat

hukum, yaitu ulama golongan Hanafi menentukan ‘illat dengan sifat-sifat nyata yang berkesesuaian, dan ulama golongan Maliki menentukan ‘illat itu adalah di samping sifat-sifat yang nyata juga tujuan hukum (maslahat) sebagai ‘illat, sedangkan ulama golongan Syafi‘i menetapkan ‘illat itu adalah makna atau substansi masalah yang sesuai.

C. Sejarah Muncul dan Perkembangan Qiyas sebagai Metode Hukum

1. Munculnya Qiyas sebagai Metode Hukum

Munculnya qiyas sebagai metode ijtihad hukum dalam Islam merupakan jawaban atas kebutuhan sejarah perkembangan kasus hukum di tengah kemajuan budaya umat Islam itu sendiri. Pada masa permulaan Islam belum terdengar istilah qiyas terucap dan terungkap dalam sebutan bahasa hukum dalam Islam. Segala kebutuhan hukum masyarakat Islam ketika itu masih dijawab lansung oleh wahyu yang turun secara bertahap sejalan dengan kebutuhan, atau dijawab lansung oleh rasul sebagai interpretasi dari beberapa bagian wahyu yang bersifat umum.

Masyarakat Islam ketika itu masih merupakan suatu masyarakat yang homogen, terdiri dari homogenitas Arab Makkah, Madinah dan sekitarnya yang masih hidup dalam satu rumpun budaya yang sama. Kebutuhan ijtihad hukum ketika itu masih bisa dijawab oleh wahyu yang masih selalu turun dan sunnah yang langsung dapat didengar dari rasul. Sebab bagi mereka yang berada dekat dengan rasul, untuk mengetahui hukum masalah yang dihadapi masih dapat menanyakannya lansung kepada rasul s.a.w. Bagi mereka yang berjauhan dan tidak mungkin dapat segera bertemu dengannya mereka hanya berijtihad menetapkan hukum dengan kebijaksanaan analisa akal secara umum, tanpa membatasinya dengan sebutan metode ijtihad tertentu. Sebagaimana diriwayatkan bahwa ketika Mu`az bin Jabal akan diutus ke daerah Yaman, rasulullah bertanya kepadanya:

(8)

ﻒﻴﹶﻛ

ﻰِﻀﹾﻘﺗ

ﺍﹶﺫِﺇ

ﺽﺮﻋ

ﻚﹶﻟ

؟ٌﺀﺎﻀﹶﻗ

.

ﹶﻝﺎﹶﻗ

:

ﻰِﻀﹾﻗﹶﺃ

ِﺏﺎﺘِﻜِﺑ

،ِ

ﹾﻥِﺈﹶﻓ

ﻢﹶﻟ

ﺪِﺟﹶﺃ

ِﺔﻨﺴِﺒﹶﻓ

،ِﻝﻮﺳﺮﻟﺍ

ﹾﻥِﺈﹶﻓ

ﻢﹶﻟ

ﺪِﺟﹶﺃ

ﺪِﻬﺘﺟﹶﺃ

ﻰِﻳﹾﺃﺭ

ﹶﻻﻭ

ﻮﹸﻟﺁ

.

ﺏﺮﻀﹶﻓ

ﹸﻝﻮﺳﺭ

ﷲِ

ﻰﹶﻠﻋ

ِﻩِﺭﺪﺻ

ﹶﻝﺎﹶﻗﻭ

:

ﹾﻟﹶﺍ

ﺪﻤﺤ

ِ

ﷲِِ

ﻯِﺬﱠﻟﺍ

ﻖﱠﻓﻭ

ﹶﻝﻮﺳﺭ

ِﻝﻮﺳﺭ

ﷲِ

ﺎﻤِﻟ

ﻰﺿﺮﻳ

ﹸﻝﻮﺳﺭ

ﷲِ

.

Bagaimana engkau akan memberi keputusan bila dihadapkan kepadamu suatu perkara?. Ia (Mu`az) menjawab: Akan aku tetapkan dengan kitabullah, bila belum aku dapatkan maka akan aku tetapkan dengan sunnah rasul-Nya, bila masih belum juga aku dapatkan aku akan berijtihad dengan analisa akalku dan aku tidak akan berlebihan. Maka serta merta rasulullah menepuk dadanya, seraya mengatakan: Segala puji bagi Allah yang telah menetapkan utusan rasul-Nya dengan orang yang diridlai rasul-Nya.18

Demikianlah tuntutan ijtihad dan jawaban atas kebutuhan hukum masyarakat Islam yang hanya mendiami kota Madinah, Makkah dan sekitarnya sampai rasul wafat pada tahun 632 M. Ijtihad ketika itu belum mengenal qiyas, baik secara istilah maupun pengertiannya.

Baru pada masa sahabat, yaitu setelah meluasnya wilayah kekuasaan Islam yang meliputi beberapa kota besar yang dihuni oleh beberapa suku bangsa dengan berbagai tingkat kemajuan budaya, permasalahan hukum mulai terasa semakin kompleks dan tuntutan berijtihadpun semakin mendesak, barulah istilah qiyas mulai terdengar dan terpakai sebagai penentu hukum masalah yang tidak terdapat nash yang menentukan hukumnya. Oleh karena itu, para sahabat di masing-masing daerah pendudukan ketika itu mulai berijtihad dengan mengerahkan kemampuan analisa akal sesuai dengan prinsip-prinsip syari‘at, yaitu menegakkan keadilan dan memelihara kemaslahatan. Para sahabat ketika itu terkadang menyebut praktik penetapan hukum yang mereka lakukan dengan sebutan

ra`yu dan terkadang menyebutnya dengan sebutan qiyas, misalnya Umar bin Khaththab r.a., ketika mengangkat Syuraeh sebagai qadli Kufah menasehatkan kepadanya sebagai berikut:

ﺮﹸﻈﻧﹸﺍ

ﺎﻣ

ﻦﻴﺒﺘﻳ

ﻚﹶﻟ

ﻰِﻓ

ِﺏﺎﺘِﻛ

ﷲِ

ﹶﻼﹶﻓ

ﹾﻝﹶﺄﺴﺗ

ﻪﻨﻋ

ﺍﺪﺣﹶﺃ

ﺎﻣﻭ

ﻢﹶﻟ

ﻦﻴﺒﺘﻳ

ﻚﹶﻟ

ﻊِﺒﺗﺎﹶﻓ

ِﻪﻴِﻓ

ﹶﺔﻨﺳ

ِﻝﻮﺳﺭ

،ِ

ﺎﻣﻭ

ﹶﻟ

ﻢ

ﻦﻴﺒﺘﻳ

ﻚﹶﻟ

ﻰِﻓ

ِﺔﻨﺴﻟﺍ

ﺪِﻬﺘﺟﺎﹶﻓ

ِﻪﻴِﻓ

ﻚِﻳﹾﺃﺮِﺑ

.

Perhatikan apa yang telah jelas (nyata) kau lihat dalam kitabullah dan janganlah kamu menanyakan kepada seseorang, dan apa yang tidak jelas bagimu dalam kitabullah maka tetapkanlah dengan mengikuti sunnah rasul-Nya, dan apa-apa yang

(9)

tidak jelas bagimu pada sunnah maka berijtihādlah dengan menggunakan analisa akalmu.19

Tapi Umar r.a menyatakan dalam suratnya kepada Abu Musa al-Asy‘ari sebagai berikut:

ﻢﻬﹶﻔﹾﻟﹶﺍ

ﻢﻬﹶﻔﹾﻟﹶﺍ

ﺎﻤﻴِﻓ

ﺞﹶﻠﺠﹶﻠﺗ

ِﰱ

ﻙِﺭﺪﺻ

ﺎﻣ

ﺲﻴﹶﻟ

ِﰱ

ٍﺏﺎﺘِﻛ

ﹶﻻﻭ

،ٍﺔﻨﺳ

ِﻑِﺮﻋﹶﺍ

ﻩﺎﺒﺷَﻷﹾﺍ

ﻭ

ﹶﻝﺎﹶﺜﻣَﻷﹾﺍ

ِﺲِﻗﻭ

ﺭﻮﻣُﻷﹾﺍ

ﺪﻨِﻋ

ٰﺫ

ﻚِﻟ

.

Pahami, pahami, segala yang meragukanmu tentang masalah yang tidak tercakup dalam Kitab dan Sunnah. Tentukan unsur-unsur kemiripannya dan qiyaskanlah perkara yang ada padamu.20

Demikianlah qiyas mulai diperkenalkan dan dipergunakan di kalangan para sahabat dalam menetapkan hukum masalah yang tidak didapatkan ketentuan nash mengenai hukumnya. Namun demikian, qiyas ketika itu belum mempunyai batasan unsur tertentu. Qiyas baru merupakan pensejajaran masalah tanpa batasan unsur dan syarat tertentu. Sebagaimana pada surat Umar r.a., bahwa anjuran menentukan kemiripan berarti belum ada batas kriteria pengqiasan (‘illat), dan anjuran pensejajaran tanpa menyebutkan batasan unsur premis mayor dan premis minor berarti belum ada batasan mengenai asal dan far‘. Dengan demikian, qiyas pada masa sahabat tidak lebih dari sekedar teori penetapan hukum dengan penerapan logika kaedah umum nash (

ﺔﻣﺎﻌﻟﺍ

ﺪﻋﺍﻮﻘﻟﺍ

) secara bebas, sehingga terdapat banyak ijtihad sahabat yang berbeda satu dari yang lainnya. Misalnya ijtihad sahabat mengenai hak waris seorang isteri yang ditalak tiga oleh suaminya yang sedang sakit. Menurut Umar r.a., hak waris isteri adalah selama dalam masa ‘iddah, sedangkan menurut Utsman r.a. hak waris isteri tidak dibatasi oleh masa ‘iddah.21 Perbedaan hasil ijtihad kedua sahabat ini disebabkan belum adanya batasan tertentu mengenai unsur-unsur qiyas dan ‘illat. Sebagai konsekuensi logis dari kondisi demikian, maka masing-masing merasa bebas menentukan sandaran pengqiasan (asal masalah/premis mayor). Dengan demikian, qiyas pada masa sahabat belumlah merupakan suatu teori ilmiah, karena belum tampak sistematika dan batasan-batasan logikanya.

19 Muhammad Al-Khudlori, Tarikh at-Tasyri‘ al-Islami, (ttp.: Dar al-Fikr, 1981), p.

115.

20Ibid., p. 116.

21Muhammad Sa‘id Ali Rabbah, Buhuts Fi Adillah Mukhtalafatu Fiha ‘Inda

(10)

Selanjutnya, pada masa tabi`in perkembangan ijtihad ulama hukum di masing-masing daerah mengikuti metode ijtihad para sahabat yang dikenal di daerah masing-masing. Ditegaskan bahwa penyebaran hukum di daerah Iraq melalui pengikut Ibnu Mas‘ud r.a., di Madinah melalui para pengikut Zaid bin Tsabit r.a. dan di di Makkah melalui para pengikut Ibu Abbas r.a.22

Sehubungan dengan itu, di samping berbedanya latar belakang sosial dan budaya, di Madinah banyak terdapat riwayat hadits dan koleksi atsar

serta putusan hakim, sementara di Iraq hadits yang beredar sangat terbatas jumlahnya, maka muncullah pada periode ini dua aliran hukum yang berbeda. Para mujtahid Madinah merasa tidak perlu menggunakan analisa akal atas segala masalah hukum yang muncul, karena seluruh masalah yang muncul masih dapat dicarikan jawabannya melalui hadits yang tersebar

atau atsar atau kumpulan putusan hakim yang sudah ada. Akhirnya

muncullah di daerah ini suatu aliran hukum yang dikenal dengan julukan

ahl al-hadits dengan tokoh peletak dasar aliran adalah Sa‘id ibn

al-Musayyab.23 Aliran ini mencukupkan dalil hukum sampai pada hadits yang

pengertiannya mencakup atsar dan ijma‘ sahabat.24

Di pihak lain Iraq, karena pesatnya kemajuan, beragamnya alur pemikiran, beranekanya adat budaya serta sedikitnya riwayat hadits yang beredar, maka ahli hukum kota ini dalam menentukan masalah yang tidak tercakup dalam kandungan nash, mereka beralih menggunakan analisa akal, dalam arti menerapkan qiyas, sehingga muncullah di kota ini suatu aliran hukum yang dikenal dengan julukan ahl ar-ra`y dengan tokoh peletak dasar aliran adalah Ibrahim an-Nakha‘i.25

Masing-masing kedua aliran hukum ini mengalami perkembangan dan pengaruh yang sama pesatnya. Di samping berkembang dan berpengaruh pada kota pusat alirannya, masing-masing aliran hukum saling intevensi pengaruh penganut pada dan dari ahli hukum di masing-masing kedua kota. Aliran ahl al-hadits di samping mempunyai pengaruh besar di Madinah dan sekitarnya sehingga menjelma menjadi aliran hukum yang umum dianut oleh ahli hukum Hijaz, juga mendapat dukungan penganut dari ahli hukum Iraq, seperti Amir bin Syurahil asy-Syi‘bi yang

dikenal dengan panggilan Asy-Syi‘bi adalah ahli hukum Iraq penganut ahl

al-hadits yang banyak mengkritik ijtihad aliran ahl ar-ra`y. Begitu juga

22 Ibnu Al-Qayyim, I‘lam al-Muwaqi‘in, Juz I.,(Beirut: Dar al-Jeil, 1873), p. 23. 23 Muhammad Ali As-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islami, (Mesir: Mathba‘ah

Muhammad Ali ash-Shabih, 1957), p. 73.

24 Mushthafa Ahmad Zarqa‘, Al-Madkhal al-Fiqh al-‘Am, Juz I., (Damaskus:

Mathba‘ah Alif Ba` al-Adib, 1968), p. 167.

(11)

halnya aliran ahl ar-ra`y, di samping menjadi aliran hukum yang umum dianut oleh para ahli hukum kota Iraq, juga mendapat penganut dari sebagian ahli hukum wilayah Hijaz, seperti Rabi‘ah bin Abdurrahman ahli hukum kota Madinah yang dikenal sebagai guru Malik bin Anas adalah penganut aliran ahl ar-ra`y yang banyak mengkritik ijtihad aliran ahl al-hadits.26

Demikian perkembangan pemikiran hukum periode tabi`in yang akhirnya menjelma menjadi saling kritik dan saling koreksi antar dan inter ahli hukum masing-masing kota. Aliran ahl ar-ra`y berpandangan bahwa hukum Islam adalah hukum yang logis, memiliki prinsip-prinsip kebijaksanaan berupa latar-belakang dan tujuan hukum, yaitu ‘illat hukum dan pemeliharaan keadilan dan kemaslahatan. Oleh karena itu, mereka banyak menggunakan analisa akal dalam hal tidak didapatkannya nash,

sedangkan ahl al-hadits mengecam dan menuduh bahwa penetapan hukum

dengan menggunakan analisa akal banyak meninggalkan nash hadits. Pada hakekatnya perbedaan dan pertentangan alur pemikiran hukum periode ini disebabkan belum terdapatnya koleksi hadits rasulullah secara utuh dan menyeluruh tersebar di seluruh wilayah. Akibatnya hadits yang dikenal di suatu daerah belum tentu dikenal di daerah lainnya. Diriwayatkan bahwa di Madinah ketika itu banyak terdapat koleksi hadits menurut sistematika sanad tertentu, seperti Musnad Abi Hurairah terkumpul dalam 313 halaman, Musnad Abdullah bin Amr tertuang dalam 156 halaman, Musnad Abu Bakar Ash-Shiddiq terhimpun dalam 84 halaman, Musnad Umar bin Khaththab tertulis dalam 41 halaman, Musnad Ali bin Abi Thalib terdiri dari 85 halaman, dan masing-masing koleksi sanad tersebut tidak terdapat di daerah lainnya.27 Dengan

demikian, kondisi hadits serupa itu sangat mendukung perbedaan alur pemikiran hukum antara ahli hukum antar kota.

Dilatarbelakangi kondisi hadits sebagaimana telah diuraikan, ditopang oleh kemajuan tingkat pemikiran, dan dilandasi dengan i‘tikad merealisasikan hukum Allah Yang Maha Benar dan Bijaksana serta Maha Adil, maka aliran ahl ar-ra`y di bawah bimbingan tokoh peletak dasar aliran, yaitu Ibrahim al-Nakha‘i mengadakan reformulasi terhadap teori ijtihad aliran hukumnya. Akhirnya diakui dan disadari juga perlunya diadakan perumusan qiyas. yaitu harus dipelihara agar tetap berlandaskan pada hukum al-Qur`an dan Sunnah. Sebagai realisasi pengakuan tersebut, mereka mengadakan pengkajian sebab hukum dan alasan hukum yang mereka tentukan sebagai tolok ukur pengqiasan hukum masalah dengan

26Ibid., p. 75.

(12)

hukum al-Qur`an dan Sunnah. Sebab hukum dan alasan hukum yang selanjutnya disebut ‘illat hukum itu ditentukan dari sifat-sifat yang terdapat pada masalah, yaitu sifat-sifat yang sesuai dengan hukum.28

Memperhatikan gerak perjalanan sejarah teori hukum dalam Islam yang sarat dengan pertentangan dan tarik-menarik antar para pelakunya dalam lingkaran arena taqwa, maka muncullah teori qiyas yang sistematis lengkap dengan batasan unsur dan syarat, yaitu asl yang disyaratkan dengan suatu masalah yang ternashkan, i‘llat yang dibatasi dengan syarat yaitu sifat-sifat masalah yang sesuai dengan hukum yang ternashkan. Dengan demikian, lengkaplah teori qiyas dengan sistematika dan batasan ilmiah di tangan seorang tokoh peletak dasar aliran ahl ar-ra`y, Ibrahim an-Nakha‘i.

Selanjutnya qiyas yang telah dibatasi dengan unsur dan syarat ilmiah tersebut berfungsi sebagai metode hukum dalam Islam dan berperan sebagai alat penentu hukum masalah yang tidak ternashkan, dengan batasan peran menyamakan hukum suatu masalah yang tidak ditetapkan hukumnya oleh nash dengan hukum masalah yang ternashkan karena kesamaan ‘illat. Akhirnya qiyas resmi menjadi metode hukum Islam dalam urutan ketiga setelah al-Qur`an dan Sunnah di kalangan ulama ahl ar-ra`y

dengan sebutan dalil qiyas.29 Demikian selanjutnya qiyas berlaku dan

dianut secara bertahap mengalami penyempurnaan oleh ulama besar kemudian.

2. Perkembangan Qiyas sebagai Metode Hukum dalam Islam

Teori qiyas sebagai metode hukum ahl ar-ra`y yang menekankan pada ‘illat sebagai parameter paralelitas hukum dengan sifat-sifat masalah,

menurut ahli hukum Iraq periode Atba‘ at-Tabi‘in, yaitu imam Abu

Hanifah an-Nu‘man bin Tsabit r.a. dinilainya masih belum mampu

memberikan jawaban atas segala permasalahan hukum yang muncul.

Muhammad bin Hasan asy-Syaibani meriwayatkan bahwa ulama Iraq

banyak mendiskusikan permasalahan hukum yang ‘illlatnya samar bersama Abu Hanifah r.a. Mereka berdiskusi panjang mengenai sifat-sifat masalah yang samar untuk ditetapkan sebagai ‘illat, namun tetap terkurung dalam kesamaran, terkadang samar karena banyaknya sifat pada satu masalah atau sebaliknya samar karena satu sifat terdapat pada beberapa masalah. Oleh karena itu, Abu Hanifah r.a. merumuskan teori hukum baru setelah qiyas, yaitu istihsan.30

28 Muhammad Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyah, (Kairo: tp., t.t.), p. 148. 29 Muhammad Al-Khudlari, Tarikh..., p. 200.

(13)

Istihsan Abu Hanifah r.a. menurut As-Sarakhsi adalah qiyas khafi, yaitu qiyas yang ‘illatnya berupa sifat yang dianggap baik menurut pertimbangan akal dari sifat-sifat yang samar pada fara‘ atau yang tidak terdapat pada fara‘.31 Misalnya bagi perempuan yang berkhianat dalam

peperangan terdapat kesamaran ‘illat hukumnya. Abu Hanifah r.a. dalam kasus tersebut menentukan perempuan itu tidak dihukum bunuh atas dasar istihsan, yaitu karena kesamaran ‘illat. Untuk menentukan ‘illat hukum bagi seorang perempuan yang berkhianat dalam peperangan terdapat kesamaran, karena dalam kasus itu terdapat beberapa sifat, yaitu pelakunya wanita, lemah, terpaksa dan membelot. Sifat-sifat itu semua terdapat pada dua asal masalah, yaitu membunuh wanita dalam medan perang dan wanita berzina.

Dengan demikian, kasus ini bisa diqiyaskan pada masing-masing kedua asal masalah tersebut. Atas dasar pertimbangan baik menurut akal, imam Abu Hanifah r.a. mengqiyaskannya dengan asal masalah yang

pertama, yaitu: membunuh wanita dalam peperangan. Demikian juga Abu

Hanifah r.a. dalam menghadapi kasus-kasus yang samar ‘illatnya untuk diqiyaskan, ia tetapkan hukumnya dengan istihsan.

Selanjutnya praktik istihsan ini meluas dan banyak mendapat

pengikut dari kalangan ahl ar-ra`y Iraq maupun Madinah. Malik bin Anas,

yang dikenal sebagai imam mujtahid besar kota Madinah diriwayatkan

banyak menggunakan istihsan dalam ijtihadnya. Misalnya dalam

menetapkan hukum seorang yang memakan ikan setelah bersumpah tidak akan memakan daging, menurut Malik orang tersebut tidak melanggar sumpah dan tidak wajib kafarat, karena berdasarkan ‘urf masyarakat ikan tidaklah termasuk kategori daging.32 Di samping itu diriwayatkan bahwa

Malik bin Anas sendiri pernah mengatakan :

ﺔﻌﺴﺗ

ﺭﺎﺸﻋﺃ

ﻢﻠﻌﻟﺍ

ﻥﺎﺴﺤﺘﺳﻻﺍ

Sembilan puluh persen ilmu–dimaksud dengan ilmu di sini adalah syari‘ah–adalah istihsan.33

Uraian di atas mempertegas bahwa teori dan praktek istihsan banyak

digunakan oleh ahli hukum ahl ar-ra`y, baik oleh imam Abu Hanifah dan

para pengikutnya maupun Malik bin Anas dan para pengikutnya. Mereka banyak meninggalkan qiyas dan beralih ke istihsan dalam berijtihad.

31 Muhammad Mushthafa Syalabi, Ta‘lil al-Ahkam, (t.tp.: Dar an-Nahdlah

al-Arabiyyah, 1981), p. 335.

32 Abu Ishaq Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat Fi Ushul asy-Syari‘ah, Juz IV,(t.tp.: Dar

al-Fikr al-‘Arabi, t.t.) p. 208.

(14)

Namun demikian, kedua metode ijtihad tersebut masih dinilai belum mampu menyelesaikan segala kesamaran masalah hukum. Metode qiyas masih gagal menawarkan hukum yang ‘illatnya samar, sehingga masih memerlukan bantuan qiyas khafi (istihsan) yang juga sering gagal menawarkan kemaslahatan sebagai tujuan hukum. Kegagalan qiyas dan istihsan untuk selalu aktif menampakkan kebijaksanaan hukum Islam, yaitu menegakkan keadilan, mencegah kemudaratan dan memelihara kemaslahatan pribadi dan masyarakat pada hakekatnya menurut imam Malik disebabkan al-Qur`an dan Sunnah hanya membicarakan kemaslahatan dlaruriyah, menunjukkan kemashlahatan hajiyah dan tahsiniyah

serta pasif terhadap kemaslahatan duniawiyah. Oleh karena itu, untuk mengetahui ‘illat hukum masalah yang berkaitan dengan kemaslahatan

dlaruriyah hanya bisa didengarkan dari nash, sedang untuk mengetahui ‘illat hukum masalah yang berkaitan dengan kemaslahatan hajiyah hanya dapat dilaihat melalui qiyas, namun untuk mengetahui ‘illat hukum masalah yang berkaitan dengan kemaslahatan tahsiniyah hanya dapat dimintakan dari istihsan, sedangkan untuk mengetahui ‘illat hukum yang berkaitan dengan kemaslahatan duniawiyah masih dipertanyakan ke mana ‘illat dapat dicari.34

Dalam upaya melestarikan kebijaksanaan hukum Islam, yaitu hukum yang menegakkan keadilan dan kemaslahatan serta menolak kerusakan dan kemudlaratan, imam Malik menetapkan kemaslahatan yang tidak ditolak oleh nash (al-mashlahah al-mursalah) sebagai alternatif ‘illat hukum. Menurutnya al-maslahah al-mursalah dapat diterima sebagai ‘illat hukum dalam arti bahwa sifat yang sesuai dengan tujuan hukum dengan syarat selaras (

ﺐﺳﺎﻨﻣ

) dengan kemaslahatan dharuriyah, seimbang (

ﻢﺋﻼﻣ

) dengan kemaslahatan hajiyah dan serasi (

ﻝﻮﺒﻘﻣ

)dengan kemaslahatan tahsiniyah.35

Ketetapan imam Malik ini merupakan pelengkap bagi istihsan imam

Abu Hanifah yang gagal bertindak konsisten dengan sifat yang sesuai (

ﺐﺳﺎﻨﳌﺍ

ﻒﺻﻮﻟﺍ

) sebagai ‘illat hukum. Sebab dengan istishlah segala masalah hukum yang ‘illatnya secara zhair tidak sesuai dengan tujuan hukum nash, tetap dapat diputuskan hukumnya dengan menetapkan kemaslahatan yang sesuai dengan tujuan hukum sebagai ‘illat hukum. Di samping itu, istishlah

tetap konsisten dengan nash.

Selanjutnya metode istishlah menjadi populer dan banyak mendapat

penganut, baik dari kalangan pengikut Malik bin Anas r.a. maupun dari

34Muhammad Al-Bajiqani, Al-Madkhal Ila ushul al-Fiqh al-Maliki, (Beirut: Dar

Lubnan, 1968), p. 134.

(15)

pengikut Abu Hanifah r.a. Dengan demikian, istishlah dimasukkan ke

dalam pengertian istihsan oleh para pengikut Abu Hanifah dengan sebutan

istihsan bil mashlahah, sedangkan dari pengikut imam Malik istishlah adalah dalil tersendiri terpisah dari dalil istihsan, dan resmi menjadi metode ijtihad dengan sebutan al-mashlahah al-mursalah dan berada pada urutan ke tujuh sebelum istihsan.

Demikian istihsan dan al-mashlahah al-mursalah seiring sejalan meluas penggunaannya di kalangan sebagian besar ahl ar-ra`y. Dalam berijtihad mereka banyak menggunakan istihsan dan/atau al-mashlahah al-mursalah

dengan meninggalkan qiyas. Sedangkan sebagian ahl ar-ra`y lainnya tetap bertahan pada qiyas. Demikianlah aliran pemikiran hukum semakin beragam tediri dari ahl ar-ra`y yang menggunakan istihsan dan istishlah di samping qiyas dan aliran ahl ar-ra`y yang hanya menggunakan qiyas, serta aliran ahl al-hadits.36

Sebagai konsekuensi dari beragamnya aliran pemikiran hukum ketika itu, maka semakin gencar tuduhan baik dari ahl al-hadits maupun dari ahl al-qiyas, bahwa ahl al-istihsan dan istishlah berdalil pada akal yang dikuasai emosi nafsu serta sekaligus membatalkannya sebagai dalil hukum.37

Di antara tuduhan dan pembatalan itu datang dari Muhammad bin Idris Asy-Syafi‘i yang dikenal sebagai imam madzhab Syafi‘i. Ia menolak

istihsan dan istishlah sebagai dalil hukum melalui tulisan dalam kitab fiqhnya

Al-Umm dengan judul:

ﻥﺎﺴﺤﺘﺳﻻﺍ

ﻝﺎﻄﺑﺍ

38 dan dalam kitab ushulnya Ar-Risalah dengan judul:

ﻥﺎﺴﺤﺘﺳﻻﺍ

ﺏﺎﺑ

.39 Diriwayatkan bahwa Asy-Syafi‘i r.a. menolak apa yang dikatakan istihsan oleh pengikut Abu Hanifah r.a. dan apa yang dikatakan istishlah oleh para pengikut imam Malik r.a.40

Asy-Syafi‘i menolak keabsahan dalil istihsan dan istishlah, karena menurutnya istihsan dan istishlah masih membuka peluang munculnya hukum-hukum yang tidak efektif dalam mewujudkan tujuan hukum, yaitu keadilan dan kemaslahatan. Sebagai contoh dalam menetapkan hukum perempuan yang berkhianat di medan perang, Abu Hanifah menetapkan hukumnya tidak dibunuh atas dasar pertimbangan istihsan. Ketetapan hukum ini ditolak secara keras oleh Asy-Syafi‘i, menurutnya bahwa

36 Muhammad Al-Khudlari, Tarikh..., p. 201. 37 Muhammad Mushthafa Syalabi, Ta’lil..., p. 332.

38 Muhammad bin Idris Asy-Syafi‘i, Al-Umm, Juz VII, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983),

p. 309.

39 Asy-Syafi‘i, Ar-Risalah..., p. 508.

(16)

perempuan berkhianat harus dibunuh atas dasar qiyas kepada hukum asal

perempuan yang berzina.41 Demikian juga ketetapan Malik bin Anas yang

membolehkan pemukulan atas seorang terdakwa sebagai upaya penyidikan atas dasar istishlah yang juga ditolak oleh jumhur ulama karena lebih mementingkan kemaslahatan penuntut yang belum pasti kebenaran tuntutannya dan mengabaikan kemaslahatan terdakwa yang masih mungkin bebas dari tuntutan.42

Sehubungan dengan istihsan dan istishlah yang masih membuka peluang bagi kegagalan hukum merealisasikan tujuannya, maka Asy-Syafi‘i mengadakan penyempurnaan terhadap teori qiyas yang sempit dan kaku karena kekakuan ‘illat sebagai kriteria pengqiyasan hukum yang hanya

dibatasi pada sifat-sifat yang sesuai (

ﺐﺳﺎﻨﳌﺍ

ﻑﺎﺻﻭﻻﺍ

).43 Untuk

menghindarkan qiyas dari kekakuannya ia menetapkan "makna yang

sesuai"

(

ﺐﺳﺎﻨﳌﺍ

ﲎﻌﳌﺍ

)

sebagai kriteria pengqiyasan hukum

(

ﺔﹼﻠﻌﻟﺍ

)44, bukan

"sifat yang sesuai"

(

ﺐﺳﺎﻨﳌﺍ

ﻒﺻﻮﻟﺍ

).

Asy-Syafi‘i dalam penetapan ‘illat hukum pada "makna yang sesuai"

(

ﺐﺳﺎﻨﳌﺍ

ﲎﻌﳌﺍ

),

di samping karena masih seringnya jalan keluar yang ditawarkan Abu Hanifah melalui istihsan mengalami kegagalan mencapai

tujuan hukum, juga karena makna yang sesuai

(

ﺐﺳﺎﻨﳌﺍ

ﲎﻌﳌﺍ

)

lebih

menjamin konsistensi qiyas tetap bersandar pada nash (al-Qur`an dan Sunnah), dalam artian qiyas dengan ‘illat makna yang sesuai lebih mencakup dan lebih mampu memberikan ketetapan hukum yang sesuai dengan tujuan hukum, sebab segala kesamaran dapat dicarikan maknanya yang sesuai dengan tunjukkan dalil nash.45

Asy-Syafi‘i berdasarkan makna yang sesuai sebagai ‘illat hukum membagi qiyas menjadi 2 macam, yaitu qiyas al-makna dan qiyas asy-syabah

dengan pengertian dan uraiannya masing-masing sebagai berikut:

1) qiyas al-makna, yaitu menyamakan hukum fara‘ dengan hukum asal karena ‘illat kesamaan makna.46 Melalui analisa terhadap kitab ushul

Asy-Syafi‘i dapat dipahami bahwa qiyas al-makna mencakup 2 jenis qiyas, yaitu:

41 Ahmad Hasan, Pintu..., p. 134.

42 Muhammad Al-Khudlari, Tarikh..., p. 241. 43 Ahmad Hasan, Pintu..., p. 50.

44 Muhammad bin Idris Asy-Syafi‘i, Ar-Risalah, p. 508. 45Ibid.

(17)

a) qiyas aulawi, yaitu qiyas dengan ‘illat makna fara‘ lebih sesuai dengan ketetapan hukum asal dari pada makna asal.47 Misalnya

mengqiyaskan hukum memukul orang tua dengan hukum

mengucapkan ungkapan kata-kata “ah” kepada salah-satu keduanya

yang telah ditegaskan oleh nash al-Qur`an:

ﹶﻻﻭ

ﹾﻞﹸﻘﺗ

ﺎﻤﻬﹶﻟ

ﻑﹸﺃ

Dan janganlah engkau mengungkapkan kata-kata “ah” kepada salah-satu keduanya48

Berdasarkan nash al-Qur`an tersebut maka ditetapkan bahwa

mengucapkan kata-kata ah terhadap salah-satu keduanya adalah haram,

karena kata-kata tersebut menyakitkan hati keduanya, sedangkan memukul salah satu keduanya lebih menyakitkan, yaitu menyakitkan hati dan badan. Maka hukum memukul salah-satu keduanya diqiyaskan kepada hukum

mengucapkan kata-kata “ah”,yaitu haram karena makna menyakitkan pada

fara‘ lebih sesuai dengan ketetapan haram dari pada makna menyakitkan pada asal.

b) qiyas musawi, yaitu qiyas dengan makna fara‘ dan makna asal

sebagai ‘illat kesesuaiannya dengan hukum asal sebanding.49

Sebagai misal, dalam menetapkan hukum menjual harta anak yatim yang diqiyaskan dengan hukum memakan harta anak yatim yang telah ditegaskan dalam nash al-Qur`an sebagai berikut:

ﱠﻥِﺇ

ﻦﻳِﺬﱠﻟﺍ

ﹶﻥﻮﹸﻠﹸﻛﹾﺄﻳ

ﹶﻝﺍﻮﻣﹶﺃ

ﻰﻣﺎﺘﻴﹾﻟﺍ

ﺎﻤﹾﻠﹸﻇ

ﺎﻤﻧِﺇ

ﹶﻥﻮﹸﻠﹸﻛﹾﺄﻳ

ﻰِﻓ

ﻢِﻬِﻧﻮﹸﻄﺑ

ﺍﺭﺎﻧ

.

Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniayai itu, tidak lain hanyalah menelan api ke dalam perut mereka.50

Berdasarkan nash al-Qur`an tersebut maka hukum memakan harta anak yatim adalah haram, karena dengan memakannya bermakna menghabiskannya, sedangkan dengan menjualnya juga bermakna menghabiskannya, maka hukum menjualnya itu diqiyaskan dengan hukum memakannya, yaitu haram, karena makna fara‘ dan makna asal mempunyai tingkat kesesuaian yang sama dan sebanding untuk ditetapkan haram. 2) qiyas asy-syabah, yaitu qiyas yang fara‘nya dapat diqiyaskan kepada

beberapa asal.51 Disebut

qiyas syabah karena kesamarannya kepada asal

47Ibid., p. 513. 48 Q.S. Al-Isra`: 23.

49 Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, (t.tp.: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.), p. 247. 50 Q.S. An-Nisa`: 10.

(18)

yang mana fara‘ akan diqiyaskan. Kesamaran itu disebabkan karena adanya satu makna yang terdapat pada beberapa masalah, atau banyak makna pada satu masalah, atau juga sejumlah makna terdapat pada sejumlah masalah. Dari itu dapat dipahami bahwa fara‘ dapat diqiyaskan kepada dua asal atau lebih. Karena kesamaran semacam inilah maka qiyas model ini disebut qiyas syabah (qiyas yang samar).

Asy-Syafi‘i pada kasus fara‘ semacam ini berhasil mengeluarkan fara‘ dari kesamarannya, yaitu menentukan masalah mana yang akan dijadikan asal sandaran qiyas dengan menerapkan teori istidlal (teori penentuan makna yang sesuai dengan tujuan hukum). Teori istidlal dimaksud adalah:

ﺭﺎﺒﺘﻋﺍ

ﺮﺜﻛﺄﺑ

ﺎﻬﺒﺷ

ﺎﻬﻴﻓ

ﺏﺮﻗﺃ

ﺲﻨﳉﺍ

ﱃﺇ

ﻢﻜﺣ

ﺲﻨﳉﺍ

ﺐﻳﺮﻘﻟﺍ

.

Mengambil masalah yang paling banyak kemiripannya dan paling dekat jenisnya dengan fara‘.52

Dengan penerapan teori istidlal inilah Asy-Syafi‘i mampu

menghilangkan kesamaran dan dapat dengan mudah memastikan asal mana yang dapat dijadikan sandaran qiyas.

Memperhatikan teori istidlal tersebut dapat difahami bahwa Asy-Syafi‘i dalam menentukan asal sandaran qiyas bagi fara‘ yang samar menempuh dua alternatif jalan keluar, yaitu dengan memfokuskan pada asal yang paling banyak mengandung keserupaan makna dengan fara‘, atau dengan memfokuskan pada asal yang paling berdekatan jenisnya dengan fara‘. Untuk lebih jelasnya dapat diikuti dua contoh masing-masing sebagai berikut:

Untuk menetapkan hukuman seorang yang telah membunuh seorang hamba, ini dapat diqiyaskan kepada dua asal yaitu kepada hukuman seorang yang membunuh orang merdeka dan dapat juga diqiyaskan kepada hukuman seorang yang telah merusak barang milik orang lain. Kalau diqiyaskan pada asal yang disebut pertama maka hukuman seorang pembunuh seorang hamba adalah dibunuh pula, tetapi kalau diqiyaskan pada hukuman orang yang merusak barang orang lain

maka hukumannya adalah diyat (ganti rugi) bukan hukuman bunuh. Dalam

hal ini Asy-Syafi‘i mengqiyaskannya pada hukuman orang yang telah merusak barang orang lain, karena makna merusak barang lebih banyak yang sama dengan membunuh seorang hamba daripada makna membunuh orang merdeka, yaitu dapat diperjual-belikan, dapat

dihadiahkan, dan dapat dipinjamkan terhadap para hamba dan pada

barang. Makna hamba yang mirip dengan makna merdeka hanya makna

51 Muhammad bin Idris Asy-Syafi‘i, Ar-Risalah, p. 479. 52 Muhammad Mushthafa Syalabi, Ta’lil..., p. 224.

(19)

adami. Karena keserupaan makna yang lebih banyak inilah Asy-Syafi‘i mengqiyaskan hukuman bagi pembunuh seorang hamba dengan hukuman orang yang merusak barang orang lain.

Contoh lain adalah dalam hal menetapkan hukum niat pada wudlu`, apakah wajib niat pada wudlu` ataukah tidak wajib? Hukum wajib atau tidak wajib ini masing-masing bisa diterapkan pada wudlu`, sebab wudlu` sebagai fara‘ bisa diqiyaskan pada masing-masing salah satu antara tayamum dan istinja`, karena wudlu` mempunyai makna-makna yang sama dengan makna masing-masing tayamum dan istinja`, yaitu bersuci. Dalam hal ini Asy-Syafi‘i mengqiyaskan pada tayamum, karena tayamum dan wudlu` berdekatan jenis makna yang dikandungnya, yaitu bersuci untuk ibadah, sedangkan istinja` adalah bersuci sebagai adat kebersihan, yaitu membersihkan kotoran dari badan. Karena kedekatan makna antara tayamum dan wudlu` ini, maka Asy-Syafi‘i mengqiyaskan wudlu` dengan tayamum, maka ditetapkan hukum niat pada wudlu` adalah wajib

sebagaimana hukum niat pada tayamum yaitu wajib berdarkan nash.53

Dengan uraian dan contoh-contoh tersebut, maka dapatlah dikatakan bahwa qiyas syabah dalam teori Asy-Syafi‘i terbagi dua, yaitu qiyas syabah al-makna dan qiyas syabah al-jinsi.54 Ilustrasi yang pertama tersebut adalah sebagai contoh qiyas syabah al-makna dan yang kedua adalah contoh

qiyas syabah al-jinsi.

Demikian selanjutnya teori qiyas asy-Syafi‘i dengan menunjuk makna yang sesuai sebagai ‘illat hukum menjadi teori hukum yang luwes dan elastis serta mampu menyelesaikan segala masalah hukum yang tidak didapatkan nash yang qath‘i dari al-Qur`an dan Sunnah. Dari itu, Asy-Syafi‘i menyimpulkan bahwa tidak ada masalah yang tidak bisa dicarikan hukumnya dengan qiyas sebagai jawaban terhadap kebijakan hukum Abu

Hanifah yang meninggalkan qiyas mengambil istihsan dan Malik bin Anas

meninggalkan qiyas mengambil istishlah ketika qiyas dianggap tidak mampu lagi berperan sebagai metode penetapan hukum bagi masalah yang tidak terdapat ketentuan nash tentang hukumnya. Di samping Asy-Syafi‘i memberlakukan teori qiyasnya dalam lingkup kewenangan yang lebih luas, yaitu berlaku untuk segala cabang hukum mencakup cabang ibadah dan jinayah, sementara Abu Hanifah dan Malik beserta pengikutnya masing-masing tidak memberlakukan qiyas pada penetapan hukum-hukum yang berkaitan dengan jinayah.55 Misalnya dalam menentukan hukuman bagi

53Ibid.

54 Muhammad Al-Ghazali, Al-Mankul Min Ta‘liqat al Ushul, (t.tp.: Dar al-Fikr, t.t.),

p. 354.

55 Mushthafa Sa‘id Al-Khinna, Atsar al-Ikhtilaf Fi al-Qawa‘id al-Ushuliyah Fi Ikhtilaf

(20)

perempuan yang berkhianat pada contoh terdahulu. Abu Hanifah

menetapkan hukum dengan istihsan, sedangkan Asy-Syafi‘i menetapkan

hukumnya dengan qiyas. Malik bin Anas dalam menetapkan hukum bolehnya melakukan pemukulan atas seorang terdakwa yang tidak mengaku sebagai pelaku pencurian dengan istishlah,56 sedangkan Asy-Syafi‘i r.a. tidak membolehkannya karena ia mengqiyaskannya kepada kasus li‘an.

Dari contoh-contoh di atas tampaknya teori qiyas Asy-Syafi‘i lebih luwes, luas dan elastis dari teori qiyas Abu Hanifah dan Malik bin Anas. Namun perkembangan selanjutnya teori qiyas Abu Hanifah dan Malik bin Anas lebih banyak mendapat penganut, bahkan dianut oleh kebanyakan ahli hukum dunia dengan sebutan analogi, sehingga kebanyakan aturan hukum pidana negara-negara di dunia sekarang menganut teori Abu Hanifah dan Malik bin Anas dalam penafsirannya, yaitu menganut teori tidak berlaku qiyas pada hukum pidana (

ﺔﳝﺮﳉﺍ

ﺱﺎﻴﻗ

).57

Namun demikian, objektifitas tidak berlakunya qiyas dalam interpretasi aturan hukum pidana ini masih perlu ditinjau kembali. Sebab sampai sekarangpun tampaknya masih terjadi tarik menarik antara memberlakukan teori qiyas dan tidak memberlakukannya dalam interpretasi aturan-aturan hukum pidana tersebut. Teori tidak berlakunya telah mendapat kesempatan dianut dalam sebagian aturan hukum pidana banyak negara, karena mendapat kesempatan publikasi lebih luas yang dilakukan oleh para ahli hukum Prancis dan Belanda pada daerah jajahan masing-masing kedua bangsa, sementara teori Asy-Syafi‘i, yaitu berlakunya qiyas dalam interpretasi aturan-aturan hukum pidana telah mendapat dukungan dari bukti-bukti ketidak efektifan teori qiyas Abu Hanifah dan Malik, yaitu semakin banyaknya modus tindak pidana yang tidak dapat diberikan ketetapan hukum karena tidak didapatkan pasal tertentu yang mengaturnya, atau berakhir dengan ketetapan hukum atas dasar pertimbangan kebijaksanaan hakim yang sering menimbulkan keresahan pada masyarakat.

Pada dasarnya prinsip hukum

ﺔﳝﺮﳉﺍ

ﺱﺎﻴﻗ

bertujuan agar tetap

konsistennya ketetapan hukum setiap kasus pidana pada aturan hukum pidana yang ditetapkan dan tujuannya, yaitu menegakkan keadilan dan memelihara kemaslahatan umat manusia. Namun demikian, para ulama penganut prinsip tersebut dalam kenyataannya meninggalkan ketetapan hukum hasil qiyas dan beralih menggunakan istihsan dan istishlah secara mutlak. Dengan demikian, mereka sering terjebak pada kasus-kasus tindak

56 Muhammad Al-Khudlari, Tarikh, p. 241. 57 Abdul Qadir ‘Audah, At-Tasyri’..., p. 184.

(21)

pidana yang tidak didapatkan ketentuan yang mengaturnya, baik pada al-Qur`an maupun Sunnah. Mereka sering terjebak menetapkan keputusan hukum berdasarkan istihsan tau istishlah (dalil-dalil yang lebih lemah daripada qiyas), sehingga hukum yang ditetapkan sering tidak adil dan tidak menjamin kemaslahatan umat.

D. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Secara teknis para imam mujtahid berbeda pada penerapan teori qiyas

yang disebabkan perbedaan mereka pada penetapan apa yang disebut ‘illat.

2. Teori qiyas mencapai keutuhannya sebagai teori ilmu hukum yang

sempurna dan baku adalah di tangan imam Asy-Syafi‘i yang

memperluas ‘illat dengan substansi masalah yang mencakup pengertian

latar belakang dan tujuan hukum.

3. Qiyas dengan ‘illat substansi masalah lebih lues dan luas sebagai teori dinamika hukum dibanding dengan sifat dan tujuan hukum sebagai ‘illat qiyas.

(22)

Daftar Pustaka

‘Audah, Abdul Qadir, At-Tasyri‘ al-Jina`i al-Islami, Juz II, Bairut: Dar al-Kitab, t.t.

Al-Amidi, Al-Ihkam Fi Ushul al-Ahkam, Juz III., Bairut: Dar Kutub al-Islāmiyah, t.t.

Al-Bajiqani, Muhammad, Al-Madkhal Ila ushul al-Fiqh al-Maliki, Bairut: Dar Lubnan, 1968.

Al-Ghazali, Muhammad Abu Hamid, Al-Mankhul Min Ta‘liqat al Ushul,

Dar al-Fikr, t.t.

_______, Syifa`u al-Ghalil, Baghdad: Mathba‘ah al-Irsyad, 1971.

Al-Khan, Mushthafa Sa‘id, Atsar al-Ikhtilaf Fi al-Qawa‘id al-Ushuliyah Fi Ikhtilaf al-Fuqaha`, Kairo: Mu`assasah, 1969.

Al-Khudlori, Muhammad, Tarikh at-Tasyri‘ al-Islami, t.tp.: Dar al-Fikr, 1981.

Al-Qayim, Ibnu, I‘lam al-Muwaqi‘in, Juz I,Beirut: Dar al-Jeil, 1873.

As-Sa‘di, Abdul Hakim Abdurrahman As‘ad, Mabahits al-‘Illat Fi al-Qiyas ‘Inda al-Ushuliyin, Beirut: Dar al-Basya`ir al-Islamiyah, t.t.

As-Sayis, Muhammad Ali, Tarikh al-Fiqh al-Islami, Mesir: Mathba‘ah Muhammad Ali ash-Shabīh, 1957.

Asy-Syafi‘i, Muhammad bin Idris, Al-Umm, Juz VII, Beirut: Dar al-Fikr, 1983.

_______, Ar-Risalah, Mesir: Mshthafa al-Hilabi, 1940.

Asy-Syatibi, Abu Ishaq, Al-Muwafaqat Fi Ushul asy-Syari‘ah, Juz IV, t.tp.: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.

Hasan, Muhammad, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, Bandung: Pustaka, 1984. Khallaf, Abdul Wahhab, Ilmu Ushul al-Fiqh, Beirut: Dar al-Qalam, 1977. Rabbah, Muhammad Sa‘id Ali, Buhuts Fi al-Adillah al-Mukhtalafatu Fiha

‘Inda al-Ushuliyin, Mathba‘ah as-Sa‘adah, t.t.

Syalabi, Muhammad Mushthafa, Ta‘lil al-Ahkam, t.tp.: Dar an-Nahdlah

al-Arabiyyah, 1981.

Zahrah, Muhammad Abu, Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyah, Kairo, t.t. _______, Ushul al-Fiqh, t.tp.: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.t.

Zarqa‘, Mushthafa Ahmad, Al-Madkhal al-Fiqh al-‘Am, Juz I, Damaskus: Mathba‘ah Alif Ba` al-Adib, 1968.

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan pemeriksaan adalah menentukan tingkat intensitas terendah dalam dB dari tiap frekuensi yang masih dapat terdengar pada telinga seseorang, dengan kata lain ambang

Tindakan penyelidikan dan penyidikan yang merupakan tugas aparat Kepolisian Negara Republik Indonesia itu juga diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara

Seperti kawin usia dini ini memang betul banyak sudah yang terjadi di Desa Kekayap ini, melihat dari tanggapan masyarakat kami ada juga yang peduli dengan adanya perkawinan

Di dalam: Laporan diskusi kemungkinan penggunaan kumbang moncong (Neochetina eichhorniae) bagi pengendalian hayati Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) di Indonesia.. Kasno,

Panduan ini berisi metode-metode untuk membantu pengembangan dan evaluasi kriteria dan indikator (K&I) yang selanjutnya dapat digunakan untuk menilai kelestarian pengelolaan

Seterusnya, Mohd Haidi (2016), pula telah meneliti pengungkapan peribahasa Melayu dan fungsi peribahasa yang terdapat dalam buku teks Bahasa Melayu sekolah rendah

Penelitan ini dengan Judul Analisis Biaya dan Pendapatan Industri Rumah Tangga Usaha Jamur Tiram Putih (Studi Kasus di Desa Noelbaki Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang),

Semakin tinggi konsentrasi Na-CMC yang ditambahkan maka semakin tinggi pula overrun es krim sari biji nangka yang dihasilkan namun overrun es krim sari biji