Jurnal
ISSN 1907-0799Sumberdaya
Lahan
Indonesian Journal of Land Resources
Vol. 4 No. 2
Desember 2010
Hal. 69-78
Hal. 79-92
Hal. 57-68
Hal. 93-102
Peranan Biologi Tanah dalam Evaluasi Kesesuaian Lahan Pertanian
Kawasan Megabiodiversity Tropika Basah
Subowo G., Edi Santosa, dan I. AnasLand Capability Classification for Land Evaluation: A Review
Santun R.P. SItorusFarm Scale Nitrogen Balances for Terraced Paddy Field Systems
Sukristiyonubowo and Gijs Du LiangPeranan Cacing Tanah Dalam Meningkatkan Kesuburan dan Aktivitas
Hayati Tanah
Ea Kosman dan Subowo G.
BALAI BESAR PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN SUMBERDAYA LAHAN PERTANIAN
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
KEMENTERIAN PERTANIAN
J. SDL Vol. 4 No. 2 Hal. 57-102 Bogor, Desember 2010 ISSN 1907-0799 Terakreditasi C Nomor 139/Akred-LIPI/P2MBI/03/2009
Jurnal
ISSN 1907-0799Indonesian Journal of Land Resources
Sumberday
Lahan
a
Terakreditasi dengan Predikat C Nomor : 139/Akred-LIPI/P2MBI/03/2009 Diterbitkan oleh :
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian
Jl. Ir. H. Juanda 98, Bogor 16123 Tlp. 0251 8323012 Fax 0251 8311256
e-mail : [email protected] http://bbsdlp.litbang.deptan.go.id
DEWAN PENYUNTING
Penanggungjawab : Prof. Dr. Ir. Irsal Las, MS (Kepala Balai Besar Litbang SDLP) Ketua Dewan Penyunting : Dr. Ir. Achmad Hidayat, MSc
(Pemetaan dan Evaluasi Lahan/BB Litbang SDLP)
Anggota : Dr. Ir. Undang Kurnia, MSc (Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan/Balittanah)
Prof. Dr. Ir. Didi Ardi Suriadikarta, MSc (Kesuburan Tanah/Balittanah) Bambang Hendro Prasetyo, MSc (Genesa dan Mineralogi Tanah/BB
Litbang SDLP)
Dr. Ir. Ai Dariah (Konservasi, Reklamasi, dan Rehabilitasi Lahan/ Balittanah)
Dr. Dra. Eleonora Runtunuwu, MS (Agroklimatologi/Balitklimat) Dr. Ir. Nono Sutrisno, MS (Konservasi Tanah dan Air/Puslitbang
Hortikultura)
Prof. Dr. Ir. Santun R.P. Sitorus (Tanah dan Pengembangan SDL/ IPB)
Penyunting Pelaksana : Karmini Gandasasmita, Widhya Adhy, Sukmara
Mitra Bestari : Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabiham (Institut Pertanian Bogor) Prof. Dr. Ir. Sumarno (Puslitbang Tanaman Pangan) Dr. Ir. A.M. Fagi (Badan Litbang Pertanian)
Jurnal Sumberdaya Lahan (J. SDL) menerima naskah yang berisi suatu tinjauan terhadap hasil-hasil penelitian
atau terhadap suatu topik yang berkaitan dengan aspek tanah, air, iklim, dan lingkungan. Jurnal Sumberdaya Lahan terbit dua nomor dalam setahun.
Terhadap naskah yang masuk, penyunting dapat melakukan perbaikan serta merubah format, sesuai dengan sifat jurnal yang informatif, tanpa mengubah arti yang dimaksud di dalam naskah. Penyunting akan mengembalikan naskah kepada penulis, untuk diperbaiki sesuai dengan hasil suntingan jika diterima untuk
dimuat, atau tidak diterima untuk dimuat sesuai dengan keputusan rapat Dewan Penyunting. Penulis diharapkan segera mengembalikan perbaikan naskah agar jurnal diterbitkan tepat waktu.
PEDOMAN BAGI PENULIS
Ruang Lingkup: Jurnal Sumberdaya Lahan
(J. SDL) terbit dua kali dalam setahun, memuat suatu tinjauan terhadap hasil-hasil penelitian atau terhadap suatu topik yang berkaitan dengan aspek tanah, air, iklim, dan lingkungan. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, belum pernah diterbitkan atau tidak sedang dalam penyuntingan di publikasi lainnya.
Bentuk Naskah: Naskah diketik pada kertas
ukuran A4 (21,0 X 29,7 cm) dengan jarak ketikan dua spasi, dengan huruf Times
New Roman 12 point, pada satu
permukaan saja dan maksimum 15 halaman termasuk gambar dan tabel. Jarak ketikan dari tepi kiri 3,0 cm, sedangkan kanan, atas dan bawah 2,5 cm. Naskah disusun dalam urutan sebagai berikut: judul tulisan (dalam bahasa Indonesia dan Inggris), nama dan alamat penulis, abstrak dalam bahasa Indonesia dan Inggris (200-300 kata) dan kata kunci (3-4 kata), pendahuluan, pokok masalah, kesimpulan/ penutup, daftar pustaka.
Judul Naskah: Terdiri atas suatu ungkapan
yang dengan tepat mencerminkan isi naskah. Nama serta instansi tempat kerja penulis dicantumkan di bawah judul. Bila penulis lebih dari satu orang, maka perlu menuliskan namanya sesuai aturan penulisan. Kalau dirasa perlu, judul naskah dapat dilengkapi dengan sub judul untuk mempertegas maksud tulisan.
Teks Naskah: Sitasi literatur di dalam teks
menggunakan nama penulis, bukan nomor, dan harus tercantum dalam daftar pustaka. Satuan ukuran dalam teks dan grafik memakai sistem metrik.
Tabel: Hendaknya diberi judul yang singkat
tetapi jelas, dengan catatan bawah secu-kupnya, termasuk sumbernya, sedemikian rupa sehingga setiap tabel mampu menjelaskan secara mandiri.
Gambar dan Grafik: Dibuat dengan garis
cukup tebal, sehingga memungkinkan pen-ciutan dalam proses cetak. Keterangan grafik dan gambar jangan pada gambar/ grafik itu, tetapi diketik dua spasi pada kertas tersendiri sebagai suatu legenda. Nama penulis serta nomor gambar/grafik dengan disertai sumbernya, ditulis dengan pensil lunak dibalik gambar itu. Seperti halnya tabel, keterangan gambar/grafik harus cukup lengkap, agar dapat disajikan secara mandiri. Foto hitam putih atau berwarna, dicetak pada kertas mengkilap, dan dipilih yang memiliki kotras yang baik. Slide berwarna atau yang berujud data digital lebih diharapkan.
Daftar Pustaka: Semua pustaka yang disitir
di dalam teks hendaknya disusun menurut abjad, sesuai nama penulisnya, dengan sistem nama tahun. Jangan masukkan pustaka yang tidak disitir dalam teks ke dalam daftar pustaka. Pustaka primer diharapkan lebih banyak (80%) dan penga-cuan pustaka 80% merupakan terbitan 10 tahun terakhir.
Penyunting melakukan perbaikan serta me-rubah format, sesuai dengan sifat jurnal yang informatif, tanpa mengubah arti yang dimaksud di dalam naskah. Penyunting akan mengembalikan naskah kepada penu-lis, untuk diperbaiki sesuai dengan hasil suntingan redaksi jika diterima untuk dimuat, atau tidak diterima untuk dimuat sesuai dengan keputusan rapat Dewan Penyunting. Penulis diharapkan segera mengembalikan perbaikan naskah agar jurnal dapat diterbitkan tepat waktu. Kepada setiap penulis diberikan dua eksemplar jurnal.
Surat Menyurat: Naskah tulisan dikirim
rangkap dua ke alamat Redaksi Jurnal Sumberdaya Lahan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, Jl. Ir. H. Juanda 98, Bogor 16123. Tlp. 8323012. fax. 0251-8311256. e-mail: [email protected]. id.
ISSN 1907-0799
PERANAN BIOLOGI TANAH DALAM EVALUASI KESESUAIAN LAHAN PERTANIAN
KAWASAN MEGABIODIVERSITY TROPIKA BASAH
Soil Biology Contribution on Agricultural Land Suitability Evaluation
of Wet Tropical Megabiodiversity Regions
Subowo G1., Edi Santosa1, dan I. Anas2
1 Balai Penelitian Tanah, Jl. Ir. H. Juanda 98, Bogor 16123 2 Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Jl. Raya Darmaga, Bogor
ABSTRAK
Indonesia berada di wilayah ”megabiodiversity tropika basah” perlu kiranya melengkapi sistem evaluasi kesesuaian lahan pertanian agar sesuai dengan kondisi riil, sehingga meningkatkan nilai tambah sumberdaya secara optimal dan jaminan investasi produksi aman dan terukur. Organisme tanah sebagai salah satu komponen pendukung produksi dapat berperan sebagai agen daur energi dan hara di dalam tanah, perbaikan sifat fisik tanah, dan pengendali serangan hama-penyakit. Untuk itu parameter biologi tanah yang perlu diperhatikan dalam evaluasi kesesuaian lahan yang telah ada antara lain adalah: kelompok bakteri penambat N ataupun pemasok P yang hidup bersimbiose maupun hidup bebas, kelompok fungi pelarut P dan pengurai bahan organik tanah, kelompok BGA penambat N yang hidup bebas maupun simbiotik, kelompok fauna tanah yang mampu mengkonservasi bahan organik dan memperbaiki sifat fisik tanah. Langkah-langkah penting yang perlu dilakukan dalam evaluasi lahan meliputi inventarisasi populasi biologi tanah dan peranannya terhadap pertumbuhan tanaman, dan evaluasi kesesuaian nilai fungsional parameter biologi tanah terhadap pilihan komoditas.
Kata kunci : Megabiodiversity tropika basah, evaluasi kesesuaian lahan, parameter biologi tanah, efisiensi sumberdaya lahan
ABSTRACT
Indonesia is in the region "wet tropical megabiodiversity" it would need to complete the system for agricultural land suitability evaluation in accordance with real conditions, thus increasing the value-added resources optimally and sustainable and accountable production investment. Soil organisms as a component of production support can act as an agent of energy and nutrient cycling in the soil, improving soil physical properties, and controlling pests and disease. For that soil, biological parameters that need to be considered in evaluating the suitability of land that already exist include: N-fixing or P-solubilizing bacteria groups that live symbiosis and free-living, the fungi solubilizing P and soil organic matter decomposition groups, BGA fixing and free-living N symbiotic groups, fauna groups are able to conserve soil organic matter and improve soil physical properties. Important steps that need to be done in the evaluation of land cover inventory of soil biological populations and its role on the growth of crops, and evaluate the suitability of the soil biological parameters of the functional value of commodity options.
Keywords : Wet tropical megabiodiversity, evaluation of land suitability, soil biological parameters, land resource efficiencies
D
alam upaya memaksimalkan nilai gunasumberdaya tanah/lahan diperlukan upaya pemanfaatan yang selaras dengan daya dukung terhadap target kebutuhan yang diharapkan. Pemanfaatan lahan sesuai dengan dinamika daya dukung akan memberikan kemudahan dalam pengelolaan dan aman bagi lingkungan. Efektivitas pilihan parameter sumberdaya lahan sesuai jenis penggunaan yang akan diterapkan merupakan titik kunci keberhasilan dalam menentukan pilihan penggunaan lahan. Biaya produksi menjadi
murah dan tidak mengganggu subsistem yang ada di sekitarnya serta menjamin kesinambungan sistem produksi. Keselarasan peruntukan antar unit satuan lahan dalam satu-kesatuan sistem produksi akan memperkuat nilai tambah dan daya saing wilayah secara maksimal dan kondusif. Komponen sumberdaya alam/lahan pada prinsipnya terdiri dari komponen iklim, biofisik tanah, dan sosio kultural masyarakat. Seluruh komponen sumberdaya alam ini menyatu dan berinteraksi secara holistik saling pengaruh mempengaruhi untuk selanjutnya
menghasilkan output sesuai dengan dinamika interaksi yang terjadi. Pengaturan manusia sebagai salah satu faktor penggerak ekosistem sangat mempengaruhi dinamika perubahan ekosistem. Namun dinamika faktor alam yang belum mampu dikuasai manusia sering kali dapat mengakibatkan terjadinya gangguan ekosistem yang ekstrim dan mengganggu kepentingan manusia, seperti banjir, peledakan serangan hama-penyakit, penurunan produktivitas, kontaminasi produk oleh pestisida/logam berat, dan lain-lain. Agar dapat dihindari, identifikasi parameter sumberdaya dalam evaluasi kesesuaian lahan hendaknya dilakukan secara cermat sesuai kondisi alami dari masing-masing wilayah. Demikian juga Indonesia yang berada pada 6oLU-11oLS dan 95o-141oBT, nilai indeks
erupsi 99% (Munir, 1996) merupakan wilayah vulkan tropika basah. Intensitas pasokan sinar matahari, curah hujan dan laju penyegaran mineral yang tinggi sepanjang tahun, sehingga memiliki energi fotosintesis, pasokan hara dan keanekaragaman hayati tanah yang tinggi (megabiodiversity).
Tingginya dinamika perubahan lingkungan ini pada prinsipnya juga akan mempengaruhi keseimbangan ekosistem lahan. Pilihan pemanfaatan lahan hendaknya disesuaikan dengan dinamika daya dukung lahan, sehingga dapat memberikan hasil optimal dan terhindar dari gangguan ekosistem, seperti banjir, peledakan hama-penyakit, pencemaran produk, dan lain-lain. Perlu kiranya melengkapi sistem evaluasi kesesuaian lahan dengan memasukkan parameter biologi tanah agar hasil evaluasi lahan sesuai dengan kondisi riil yang ada, sehingga produksi aman dan terukur.
Evaluasi lahan adalah upaya manusia untuk dapat mentafsirkan peluang pemanfaatan dari suatu lahan untuk dapat memenuhi kebutuhan: pertanian, pemukiman, kehutanan, pertanian, bangunan, dan lain-lain. Daya dukung sumberdaya lahan/tanah yang banyak berperan dalam produksi tanaman pertanian antara lain: kondisi iklim, ketersediaan air dan hara, dan serangan hama-penyakit. Faktor-faktor ini saling pengaruh mempengaruhi terhadap kemampuan
tumbuh tanaman yang selanjutnya akan dihasilkan produk. Semakin rendah daya dukung suatu lahan memiliki nilai kesesuaian rendah/ tidak sesuai (N), sebaliknya makin tinggi daya dukung suatu lahan semakin tinggi nilai kesesuaiannya (S1). Agar penilaian ini dapat dilakukan secara mudah dan cepat, maka parameter karakterisasi lahan hendaknya dapat komprehensif dan terukur sesuai kebutuhan tanaman.
Beberapa parameter sifat lahan yang digunakan dalam evaluasi lahan untuk komoditas pertanian meliputi: temperatur udara, curah hujan, lamanya masa kering, kelembaban udara, drainase, tekstur, bahan kasar, kedalaman tanah, ketebalan gambut, kematangan gambut, kapasitas tukar kation tanah, kejenuhan basa, pH H2O, C-organik, genangan, batuan di
permukaan, dan singkapan batu (Djaenudin et al., 2003). Parameter-parameter ini terutama merupakan sifat tanah yang memiliki pengaruh langsung dan sulit/mahal untuk diperbaiki sesuai kebutuhan fisiologi tanaman. Sementara populasi organisme tanah yang merupakan sumberdaya penting dan berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman di kawasan vulkanik tropika basah belum terakomodir sacara langsung. Seperti kriteria kesesuaian lahan untuk kedelai (Glycine max) terlihat bahwa parameter yang digunakan lebih ditujukan pada indikator statis yang berpengaruh langsung terhadap produksi tanaman. Indikator/parameter dinamis yang merupakan permasalahan penting untuk tanah di kawasan megabiodiversity tropika basah yang banyak diperankan oleh aktivitas populasi biologi tanah belum banyak dilibatkan. Sementara tanaman kedelai memerlukan pasokan N yang tinggi untuk mendukung produksi dan tanah tropika basah banyak mengalami kekurangan N akibat pencucian. Tanpa bersimbiose secara mutualistik dengan bakteri Rhizobium yang mampu menambat N2
-bebas dengan membentuk bintil akar, tanaman legume akan mengalami defisiensi N. Pada kondisi yang baik, simbiose antara tanaman kedelai dengan Bradyrhizobium mampu menambat N sebanyak ±300 kg/ha (Keyser and Li, 1992).
Subowo G. et al. : Peranan Biologi Tanah dalam Evaluasi Kesesuaian Lahan Pertanian
Untuk itu parameter dasar yang penting dilakukan dalam upaya melakukan evaluasi kesesuaian lahan untuk pertanian selain faktor mineral/ketersediaan hara dan sifat fisik lahan perlu kiranya dilengkapi dengan faktor biologi tanah. Peranan biologi tanah terhadap pertumbuhan tanaman dapat berlangsung dalam membantu meningkatkan ketersediaan hara, mencegah kehilangan hara dan memperbaiki sifat fisik tanah, serta sebagai agen pengendali hama-penyakit. Namun juga dapat menjadi pengganggu tanaman sebagai hama ataupun penyakit tanaman.
Pengaruh biologi tanah untuk penilaian kesesuaian lahan
Laju degradasi tanah di kawasan tropika basah berlangsung intensif akibat tingginya laju pelapukan mineral/bahan organik dan pencucian hara. Tanah didominasi oleh Oxisols, Ultisols, dan Alfisols (Lal, 1995). Pendauran untuk mencegah kehilangan hara dan energi serta pengkayaan hara merupakan strategi penting dalam upaya kelestarian sistem produksi. Sifat dasar organisme tanah yang mampu berkembangbiak, beradaptasi serta memiliki kemampuan mobilisasi sesuai kondisi habitatnya (niche) akan mampu mengimbangi dinamika perubahan ekosistem yang ada di sekitarnya. Untuk itu dalam evaluasi kesesuaian lahan hendaknya mempertimbangkan komponen biologi tanah ini, sehingga seluruh parameter-parameter tanah yang mempengaruhi sistem produksi tanaman dapat terekam secara jelas dalam sistem evaluasi kesesuaian lahan. Selanjutnya nilai besaran dari masing-masing parameter dipilahkan sesuai dengan tingkat daya dukungnya. Nilai besaran yang mempunyai nilai hubungan terbaik terhadap produksi tanaman mendapatkan nilai tertinggi (S1), selanjutnya berturut-turut mempunyai nilai lebih rendah (S2, S3 atau N).
Peranan populasi biologi tanah terhadap pertumbuhan tanaman dapat berlangsung melalui peningkatan daur dan ketersediaan hara
tanaman, memperbaiki sifat fisik tanah, sebagai predator ataupun sebagai hama-penyakit tanaman. Aktivitas organisme tanah yang merupakan organisme heterotrof akan berlangsung apabila tersedia bahan organik sebagai sumber energi. Vidyarthy dan Misra (1982) mengatakan pemberian bahan organik ke dalam tanah meningkatkan aktivitas biologi tanah, selanjutnya mengurangi erosi, memper-tahankan kelembaban tanah, mengendalikan pH tanah, memperbaiki drainase, mencegah pengerasan dan retakan, dan meningkatkan kapasitas pertukaran ion. Tanpa adanya aktivitas organisme tanah, bahan organik tersebut akan tetap utuh di dalam tanah dan bahkan dapat mengganggu sistem produksi tanaman. Lal (1995) menyatakan penurunan jumlah dan kualitas bahan organik serta aktivitas biologi maupun keanekaragaman spesies fauna tanah merupakan bentuk degradasi tanah yang penting untuk tanah tropika basah. Fauna tanah adalah hewan yang secara permanen merupakan komponen ekosistem tanah yang salah satu atau lebih phase dalam siklus hidupnya berada dalam tanah atau serasah tanah (Richards, 1978).
Peranan penting organisme tanah untuk diperhatikan dalam evaluasi kesesuaian lahan pertanian agar sistem produksi efektif dan aman bagi lingkungan diuraikan sebagai berikut.
Peranan organisme tanah mengendalikan daur energi dan hara di dalam tanah
Tanah di kawasan tropika basah didominasi oleh tanah-tanah tua yang memiliki kondisi fisika cukup baik: stabilitas, struktur, hidrolik konduktivitas, dan aerasi. Namun kondisi kimia kurang baik: kekahatan hara, kapasitas tukar kation (KTK) rendah, kapasitas tanah menahan air rendah, sematan P tinggi, dan Al/Fe dapat meracun tanaman (Lal, 1995). Perpanjangan daur energi dan hara merupakan langkah yang penting untuk mengurangi laju penyusutan bahan organik tanah dan juga menahan kehilangan hara/pupuk dalam ekosistem tanah (Gambar 1).
Sinar matahari (Energi fotosintesis) Pelepasan energi (respirasi)
Organisme tanah autotrof seperti alga dan sebagian bakteri tanah dapat memanfaatkan hara bebas yang tidak dimanfaatkan oleh akar tanaman, sehingga dapat terhindar dari pencucian. Demikian pula organisme tanah heterotrof seperti fauna, fungi dan sebagian bakteri tanah dapat memperpanjang daur energi dan hara dari bahan organik, sehingga dapat secara bertahap dilepaskan kembali ke dalam tanah untuk dimanfaatkan oleh organisme lainnya. Ketersediaan hara P dalam tanah tanpa dukungan organisme tanah akan sangat sulit untuk dapat tersedia bagi tanaman (Gambar 2).
Usahatani di kawasan tropika basah masalah yang penting adalah mengenai kandungan hara tanah, ketersediaan bahan organik tanah, dan kemampuan tanah menahan air (William dan Joseph, 1976). Faktor utama yang mempengaruhi kesuburan tanah tersebut adalah akibat tingginya laju dekomposisi, erosi dan pencucian hara. Upaya menurunkan kehilangan bahan organik tanah dengan melibatkan fauna tanah akan menekan
percepatan kehilangan hara dan bahan organik dari subsistem tanah. Meningkatnya aktivitas fauna tanah juga dapat mengkonservasi air melalui perbaikan aerasi, perkolasi dan infiltrasi. Bahkan fungi tanah dapat mengendalikan C-organik tanah, karena dalam proses dekomposisi bahan organik pelepasan C sebagai CO2 sangat
rendah dan 30-40% C-organik tersimpan sebagai meselium (Alexander, 1977). Pada saatnya setelah organisme tanah mati juga merupakan salah satu sumber bahan organik tanah.
Hasil penelitian Subowo et al. (2002) didapatkan bahwa dinamika pengaruh populasi cacing tanah endogaesis Pheretima hupiensis terhadap sifat fisik dan kimia tanah Ultisols Rangkasbitung, Banten tergantung pada musim (Tabel 1). Cacing tanah mampu menurunkan ketahanan tanah dan meningkatkan daur bahan organik, sehingga berkorelasi negatif nyata dengan nisbah C:N dan ketahanan tanah dan mampu meningkatkan kapasitas tanah menahan air (air tersedia) serta meningkatkan P-HCl pada musim hujan. Sementara di musim peralihan MK Hara bebas dalam tanah
Daur energi Daur hara Sumber : Deshmukh (1986)
Gambar 1. Daur energi dan hara dalam ekosistem Produsen (flora) Konsumen (fauna) Pengurai (mikro organisme) Bahan organik (fisik-kimia) Limbah organik
Subowo G. et al. : Peranan Biologi Tanah dalam Evaluasi Kesesuaian Lahan Pertanian
Tanaman
ke MH cacing tanah mengkonsumsi P untuk melindungi diri dari tekanan dehidrasi, sehingga cenderung berkorelasi negatif dengan P-HCl. Di kawasan tropika cacing tanah berperanan dalam menekan kecepatan dekomposisi bahan organik yang sangat penting untuk menghambat kehilangan humus dari lahan pertanian (Martin, 1991 dalam Stork and Eggleton, 1992). Selanjutnya dikatakan bahwa cacing tanah merupakan indikator yang penting bagi kualitas tanah kawasan tropika basah, selain mudah juga murah dalam melakukan determinasi/identifikasi. Dari hasil ini nampak bahwa sebagai wilayah megabiodiversity layak memberdayakan potensi sumberdaya hayati tanah sebagai agen untuk mencegah kehilangan hara tanah melalui peranannya dalam memperpanjang daur energi dan hara di dalam subsistem tanah.
Peranan organisme tanah meningkatkan ketersediaan hara tanaman
Tanaman merupakan organisme autotrof yang dalam pertumbuhannya memerlukan hara dalam bentuk ion (anorganik). Pelepasan hara tanaman yang berasal dari bahan induk tanah ataupun dari bahan organik diawali oleh proses mineralisasi. Proses mineralisasi ini berlangsung secara fisiko-kimia ataupun oleh aktivitas biologis yang dalam kenyataan di lapangan kedua proses ini selalu berlangsung bersama-sama saling melengkapi satu dengan yang lain. Tanpa adanya peran organisme tanah mineralisasi/dekomposisi mineral ataupun bahan organik tanah berlangsung lambat. Adanya aktivitas perombakan bahan organik, hara-hara yang terkandung di dalamnya dilepaskan dalam
Tabel 1. Dinamika nilai indeks korelasi antara populasi Pheretima hupiensis terhadap sifat fisik dan kimia tanah Ultisols Rangkasbitung
No. Parameter tanah Dinamika indeks korelasi dengan populasi P. hupiensis Musim Kemarau (MK) Peralihan MK ke MH Musim Hujan (MH) 1.
2.
Sifat fisik tanah : • Ketahanan tanah • Air tersedia Sifat kimia tanah:
• P2O5 - HCl 25% • Nisbah C:N -0,33 0,48 0,26 -0,40 -0,44 0,16 -0,12 -0,41 -0,48 0,30 0,68 -0,16 Batas nyata 5% ±0,34 ±0,36 ±0,38
Sumber : Subowo et al. (2002) Sumber : Rao (1994)
Gambar 2. Daur hara P dalam tanah untuk tanaman
Mineralisasi/dekomposer Immobilisasi Hewan Mikoriza Bahan organik tanah Bakteri pelarut P P-anorganik Ortofosfat
bentuk tersedia bagi tanaman, baik hara makro maupun mikro. Edwards and Lofty (1977) menyatakan bahwa bahan tanah mineral maupun bahan organik yang dicerna cacing tanah dikembalikan ke dalam tanah dalam bentuk kotoran dan hara yang lebih tersedia bagi tanaman. Elliot et al. (1991) juga mendapatkan bahwa kotoran cacing tanah secara umum mengandung NO3-, NH4+ dan kelembaban yang
tinggi dibanding dengan tanah di sekitarnya. Selain itu beberapa organisme tanah mampu memanfaatkan hara dari udara seperti N2-bebas yang hidup bebas ataupun bersimbiose
dengan tanaman dan selanjutnya dapat tersedia bagi tanaman. Organisme tanah yang mampu menambat N2-udara melalui simbiose mutualistik
dengan tanaman antara lain adalah bakteri Rhizobium dengan tanaman kacang-kacangan (legume) dan kelompok blue green algae (BGA) dengan Azolla. Organisme penambat N2-udara
yang hidup bebas (soliter) antara lain dari kelompok BGA yang hidup di lahan basah. Selain itu juga terdapat fungi Mikoriza yang dapat hidup di dalam akar tanaman hidup (endotropik) ataupun hidup bebas di tanah (ektotropik) dapat meningkatkan serapan dan ketersediaan P untuk tanaman serta melindungi akar dari serangan patogen (Alexander, 1977). Keberadaan organisme tanah ini mampu memperkaya hara tanah untuk meningkatkan kesuburan dan produktivitas tanah.
Penelitian Yusnaini et al. (2004), pemberian pupuk organik (20 ton/ha) dan pupuk buatan/inorganik serta kombinasinya pada tanah lahan kering masam di Taman Bogo (Lampung) tidak berpengaruh nyata terhadap sifat kimia tanah termasuk C-organik tanah. Namun populasi cacing tanah berbeda nyata dengan populasi tertinggi pada perlakuan pemberian kotoran ayam, populasi Mikoriza Vesikular Arboskular (MVA) dapat dijumpai pada seluruh perlakuan, dan produksi jagung terdapat beda nyata dengan produksi tertinggi pada perlakuan kotoran ayam 50% + pupuk NPK 50%. Keadaan ini menunjukkan bahwa pengaruh pemberian bahan organik ataupun pupuk buatan dalam tanah terhadap produksi tanaman tidak
berpengaruh langsung terhadap pertumbuhan tanaman. Adanya bantuan dari organisme tanah kandungan hara dalam pupuk dan bahan organik dirombak dan dilepaskan kembali sebagai hara tersedia bagi tanaman.
Organisme tanah memiliki peranan yang sangat penting dalam mengatasi permasalahan peningkatan ketersediaan hara sebagai akibat tingginya laju pencucian hara pada tanah tropika basah. Anas (2010) mengelompokan jenis pupuk hayati meliputi: (1) Mikroba penambat N2-udara
baik secara simbiotik maupun non simbiotik, (2) Mikroba pelarut fosfat (bakteri maupun fungi), (3) Mikroba pengahasil senyawa pengatur tumbuh, (4) Mikroba yang dapat memperluas permukaan akar, (5) Mikroba perombak bahan organik (dekomposer), dan (6) Mikroba pelindung tanaman terhadap hama-penyakit.
Peranan organisme tanah terhadap sifat fisik tanah untuk tanaman
Tanah vulkan tropika basah memiliki laju pelapukan, erosi dan iluviasi liat cukup tinggi. Tanah lapisan atas memiliki struktur lepas, kandungan bahan organik rendah, pH masam, dan lapisan bawah padat akibat akumulasi liat. Tanpa adanya perlakuan pemupukan yang cukup jelajah akar tanaman semusim yang berakar dangkal akan banyak mengalami hambatan dan pertumbuhan tanaman menjadi merana. Demikian juga jelajah akar tanaman tahunan yang berakar dalam pada tahap awal pertumbuhan mengalami hambatan akibat tertahan oleh lapisan padat di subsoil. Untuk memperbaiki kondisi fisik tanah ini dapat diupayakan dengan perbaikan stabilitas agregat tanah, perbaikan aerasi tanah di lapisan argilik dan pencampuran kembali tanah lapisan bawah dengan lapisan atas. Perbaikan sifat fisik secara mekanik bersamaan adanya tanaman akan merusak perakaran tanam. Pemanfaatan aktivitas biologi tanah merupakan langkah yang aman untuk dilakukan.
Pemberdayaan organisme tanah dengan diikuti pemberian bahan organik dapat menurunkan berat isi dan meningkatkan pori aerasi, air tersedia, serta stabilitas agregat
Subowo G. et al. : Peranan Biologi Tanah dalam Evaluasi Kesesuaian Lahan Pertanian
tanah. Lee (1985) menyatakan bahwa cacing tanah merupakan kelompok fauna tanah yang penting dan mempunyai peranan dalam memperbaiki produktivitas tanah melalui perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Adanya lubang-lubang cacing tanah dapat meningkatkan laju infiltrasi dan perkolasi air, tempat menembus akar tanaman, sehingga dapat meningkatkan jelajah akar tanaman dan mengurangi aliran permukaan dan erosi.
Cacing tanah geofagus dengan kemampuan mencerna tanah dan melepaskan kembali dalam bentuk cascing yang memiliki stabilitas agregat tinggi, selain dapat mengembalikan kandungan liat dari lapisan bawah ke lapisan atas juga dapat menahan kehilangan hara oleh pencucian. Kascing merupakan makroagregat yang stabil dan dapat bertahan lebih dari 1 tahun (Blanchart et al., 1991 dalam Martin, 1991). Marinissen and Dexter (1990) juga menyatakan bahwa kotoran cacing tanah (kascing) lebih stabil dibanding agregat alami dari tanah. Demikian juga dengan aktivitas pencernaannya yang mampu mencampur bahan organik dan mineral tanah, cacing tanah dapat mencegah kehilangan bahan organik dari erosi dan pencucian. Hasil penelitian Anwar (2007) didapatkan bahwa perlakuan inokulasi cacing tanah pada tanah Ultisols mampu meningkatkan ruang pori dan menurunkan berat isi tanah (Tabel 2).
Benang-benang hifa dari jamur benang (fungi) juga dapat menghaluskan fragmentasi bahan organik tanah dan memperkuat ikatan antar partikel tanah. Pemecahan fragmentasi bahan organik akan menurunkan ketahanan bahan organik tanah dan meningkatkan ketersediaan hara untuk tanaman. Berkembangnya hifa sebagai jaring untuk
memperkuat stabilitas agregat tanah akan menjaga stabilitas sifat fisik tanah terhadap kerusakan fisik dan tahan terhadap gerusan erosi ataupun tekanan fisik lainnya.
Untuk itu dalam evaluasi kesesuaian lahan organisme tanah yang memiliki peranan penting dalam memperbaiki sifat fisik tanah terutama peningkatan stabilitas agregat, aerasi tanah, dan pencampuran tanah yang merupakan kendala tanah tropika basah untuk mendukung produksi tanaman penting untuk dipertimbangkan.
Peranan organisme tanah sebagai predator hama-penyakit bawaan tanah
Kasus peledakan hama-penyakit bawaan tanah belakangan ini sering terjadi sebagai akibat parameter populasi organisme hama-penyakit tanah belum digunakan sebagai parameter dalam kriteria evaluasi kesesuaian lahan untuk pertanian. Pada kondisi ekosistem klimaks, populasi masing-masing komunitas pada prinsipnya berada pada posisi saling mengendalikan dan berada pada keseimbangan (stabil). Namun apabila terjadi goncangan/ perubahan lingkungan akan mengalami perubahan untuk menuju kesetimbangan baru. Menurunnya populasi predator dapat menyebabkan terjadinya peledakan hama-penyakit, seperti akibat penggunaan pestisida ataupun sistem pengelolaan lahan yang kurang selektif, sehingga organisme hama-penyakit berkembang dan menurunkan produksi pertanian. Bahkan serangan jamur Fusarium moniliformis pada akar tanaman tomat meningkat seiring meningkatnya kandungan NO3-
dan serangan blast (Piricularia oryzae) pada padi sawah juga meningkat akibat pemberian N yang berlebihan. Serangan Streptomycetes scabies
Tabel 2. Pengaruh cacing tanah terhadap sifat fisik tanah Ultisols Perlakuan Ruang pori
tanah Berat Isi
Pori drainase cepat Pori drainase lambat Permeabilitas Tanpa cacing Dengan cacing % vol g/cc 0,75 0,67 ... %vol ... m/jam 72,6 32,4 4,4 12,4 17,0 74,9 37,4 4,6 Sumber : Anwar (2007)
pada tanaman kentang meningkat pada kondisi tanah pH tinggi, sebaliknya serangan Fusarium roseum justru meningkat pada pH rendah (masam). Weber (1973) menyatakan di kawasan tropika yang lembab dan panas, potensial untuk berkembangnya hama-penyakit tanaman. Ber-kembangnya populasi hama-penyakit tanaman sering terjadi akibat hilangnya organisme predator alami.
Beberapa predator yang hidup di dalam tanah dan mampu menekan perkembangan populasi organisme hama-penyakit ini antara lain dari kelompok insekta tanah (Collembola, Coleoptera, dan lain-lain). Fungi tanah Arthro-botrys, Dactylaria, Dactylella, dan Harpospo-rium, dengan aerasi tanah yang baik mampu
hidup di tanah masam lahan kering serta mampu mematikan Nematoda ataupun Protozoa yang banyak berperan sebagai penyakit pada akar tanaman (Alexander, 1977). Selain itu fungi berperan dalam dekomposisi selulosa, hemiselulosa, pektin, dan lignin, sehingga dapat menekan populasi hama-penyakit yang banyak memiliki dinding sel dari bahan-bahan ini. Untuk itu dalam melakukan evaluasi kesesuaian lahan faktor populasi organisme tanah yang memiliki potensi sebagai predator ataupun sebagai hama-penyakit hendaknya dimasukkan sebagai salah satu parameter kesesuaian lahan. Identifikasi jenis, jumlah populasi, sebaran, dan kemampuan sebagai predator ataupun sebagai hama-penyakit penting untuk diketahui.
Tabel 3. Beberapa organisme tanah penting dalam evaluasi kesesuaian lahan pertanian
No. Jenis organisme tanah Peranan dalam kesuburan tanah Tanaman sasaran/target Indikator populasi 1. 2. 3. Bakteri : • Rhizobium • Azotobacter sp. • Azospirilum sp. 4. • Nitrosomonas sp. • Nitrococcus sp. • Bacillus sp. • Pseudomonas sp. Fungi : • Endomikoriza(VMA) • Ectomikoriza • Aspergillus niger • Trichoderma
Blue Green Algae :
• Nostoc • Anabaena • Oscilatoria Fauna tanah : • Cacing tanah • Rayap • Collembola • Penambat N-simbiotik • Penambat N hidup bebas • Penambat N hidup bebas • Penambat N hidup bebas • Penambat N hidup bebas • Pelarut fosfat hidup bebas • Pelarut fosfat hidup bebas • Pemasok fosfat tanaman
lahan kering
• Pemasok fosfat tanaman lahan kering
• Pelarut fosfat tanah kering • Perombak bahan organik
• Penambat N (bebas/simbiotk) • Penambat N (bebas/simbiotk) • Penambat N (bebas/simbiotk) • Perbaikan fisik dan perombak
bahan organik tanah kering • Perombak bahan organik
tanah kering
• Perombak bahan organik tanah kering • Tanaman kacang-kacangan • Aneka tanaman • Aneka tanaman • Aneka tanaman • Aneka tanaman • Aneka tanaman • Aneka tanaman
• Aneka tanaman semusim lahan kering (jagung, kopi, sorgum, dan lain-lain). • Aneka tanaman tahunan
lahan kering.
• Aneka tanaman lahan kering (tanaman pangan,
hortikultura, perkebunan, hutan, dan pekarangan) Aneka tanaman lahan basah dan sebagai sumber pupuk organik
Aneka tanaman (tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, hutan, dan pekarangan) >103 cfu/g tnh >103 cfu/g tnh >103 cfu/g tnh >103 cfu/g tnh >103 cfu/g tnh >103 cfu/g tnh >103 cfu/g tnh Ditemukan Ditemukan Ditemukan Ditemukan Ditemukan Ditemukan Ditemukan >10 ekor/m2 Ditemukan Ditemukan
Subowo G. et al. : Peranan Biologi Tanah dalam Evaluasi Kesesuaian Lahan Pertanian
Implementasi peranan organisme tanah untuk evaluasi kesesuaian lahan pertanian
Dari gambaran di atas menunjukkan bahwa beberapa organisme tanah memiliki peranan penting dan spesifik dalam mendukung kesuburan tanah secara alami, baik dalam memperbaiki sifat fisik tanah, meningkatkan kesuburan tanah, memasok hara bagi tanaman, maupun melindungi kehilangan bahan organik tanah. Beberapa organisme tanah yang untuk sementara ini dapat dimanfaatkan sebagai parameter pelengkap dalam evaluasi kesesuaian lahan antara lain sepeti pada Tabel 3.
Dalam melakukan evaluasi kesesuaian lahan untuk pertanian perlu mempertimbangkan indikator biologi tanah pada saat melakukan kegiatan survei dan pemetaan tanah. Indikator biologi tanah hendaknya dapat disampaikan kondisi riil saat itu dan juga prediksi ke depan akibat penggunaan yang akan dilakukan. Melalui hasil evaluasi ini para pemangku kepentingan dapat memanfaatkan sumberdaya lahan yang ada untuk penggunaan yang tepat, murah dan lestari sesuai dengan realita dinamika yang terjadi. Sehubungan dengan jenis interaksi antara biologi tanah dengan tanaman berlangsung sangat kompleks dan spesifik, maka penetapan indikator kuantitatif masih sulit untuk ditetapkan. Sebagian besar hanya dapat ditetapkan secara kualitatif dengan kriteria: ditemukan ataupun tidak ditemukan.
Permasalahan yang dihadapi dalam kegiatan usahatani di kawasan megabiodiversity tropika basah yang kaya keanekaragaman hayati, deposit mineral, sinar matahari, dan curah hujan adalah tingginya laju pelapukan, pencucian hara, erosi tanah, dan serangan hama-penyakit. Peningkatan pendauran hara, peningkatan perkolasi dan infiltrasi serta pencegahan serangan hama-penyakit tanaman merupakan langkah yang tepat untuk mendukung sistem produksi pertanian yang efektif dan efisien. Bakteri penambat N, fungi Mikoriza, cacing tanah dan rayap merupakan kelompok biota tanah yang penting dalam pengaturan daur hara tanah, dekomposisi dan penyusun bahan organik tanah serta menjaga
stabilitas struktur tanah di tropika (Anonim, 1997). Lal (1995) juga menyatakan bahwa pendauran hara merupakan strategi yang penting dalam upaya kelestarian sistem produksi pertanian di kawasan tropika basah. Fauna tanah (cacing dan rayap) berperan penting dalam daur hara C, N, P, S, B, Cu, Zn, dan Mo. Selanjutnya dikatakan bahwa pasokan N dari hasil penambatan organisme tanah penambat N sangat penting untuk mendukung produksi pertanian tropika basah. Pertumbuhan tanaman kacang-kacangan semusim di tropika basah tanpa bersimbiose dengan bakteri Rhizobium akan mengalami kekahatan N yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhannya. Rao (1994) menyatakan tanah yang subur terdapat 10-100 juta bakteri/gram tanah. Untuk itu parameter biologi tanah penting untuk dimanfaatkan sebagai bagian dari kriteria kesesuaian lahan untuk pertanian di kawasan vulkanik tropika basah.
Sehubungan dengan tingginya keaneka-ragaman jenis, sifat dan perilaku organisme tanah, maka metode sampling dan analisis data penting untuk dipertimbangkan secara tepat dan bernilai guna sesuai dengan nilai fungsionalnya. Kualitas interpretasi sangat ditentukan oleh ketepatan pemilihan keragaman jenis data, keakuratan/validitas nilai data, dan ketepatan analisis. Masing-masing data dilakukan rating/ penilaian secara parsial terhadap persyaratan tumbuh dari masing-masing target komoditas pertanian yang akan dikembangkan. Untuk itu parameter biologi tanah penting untuk dimanfaatkan sebagai bagian dari kriteria kesesuaian lahan untuk pertanian di kawasan megabiodiversity tropika basah. Dalam pelaksanaannya parameter biologi tanah ini dapat dimanfaatkan sebagai parameter tambahan/pelengkap dari parameter evaluasi kesesuaian lahan yang telah ada, sehingga pemberdayaan sumberdaya lahan yang ada dapat optimal dan efisien dalam usahatani.
Dalam upaya memanfaatkan data dukung populasi biologi tanah untuk kelengkapan evaluasi kesesuaian lahan yang tepat dan searah dengan permasalahan yang ada, maka langkah-langkah penting yang perlu dilakukan antara lain:
Inventarisasi populasi biologi tanah dan peranannya terhadap tanaman
Inventarisasi data biologi dilakukan mengikuti skala pengamatan yang dilakukan untuk pengamatan data tanah lainnya. Pengamatan organisme tanah meliputi jenis, jumlah, dan sebaran vertikal maupun horizontal. Selanjutnya masing-masing jenis dikelompokan ke dalam kelompok fungsional terhadap kepentingan pertumbuhan tanaman. Kelompok fungsional positif merupakan jenis organisme tanah yang dapat mendukung perbaikan pertumbuhan tanaman target yang meliputi fungsi daur hara, penyediaan hara, dan pengendali hama-penyakit (predator). Sedang kelompok fungsional negatif merupakan kelompok yang mempunyai potensi merugikan tanaman, seperti sebagai hama-penyakit ataupun sebagai perantara berkembangnya hama-penyakit (host).
Evaluasi kesesuaian nilai fungsional biologi tanah terhadap pilihan komoditas
Hasil inventarisasi kelompok fungsional organisme tanah di atas selanjutnya dipadukan dengan komoditas pertanian yang layak untuk dikembangkan. Pilihan komoditas yang akan dikembangkan hendaknya dapat meningkatkan kelompok fungsional positif dan menekan kelompok fungsional negatif dengan memper-timbangkan kondisi aktual alami yang ada. Analisis nilai fungsional penting ini dapat dilakukan dengan menghitung data populasi yang ada yang meliputi nilai kompatibilitas (keeratan hubungan), dominansi dan sebaran/ agihan terhadap masing-masing target komoditas yang akan dikembangkan.
• Nilai kompatibilitas : ditentukan berdasarkan peluang tingkat keeratan hubungan antara suatu jenis organisme tanah yang ditemukan dengan parameter-parameter kesuburan tanah dengan uji korelasi-regresi. Selain itu juga dikaitkan keeratan hubungannya dengan tanaman target yang akan dikembang berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya ataupun dengan pemahaman lain yang dapat dipertanggung jawabkan
(expert judgment). Semakin tinggi tingkat keeratan hubungan memperoleh nilai kompatibilitas paling tinggi (1,0). Organisme yang memiliki fungsional kompatibilitas positif diberi nilai/simbol positif (+), sebaliknya yang negatif diberi nilai/simbol negatif (-).
• Nilai dominansi : dihitung dengan melihat perbandingan nilai fungsional dari suatu jenis organisme tanah terhadap nilai fungsional dari organisme lainnya. Hal ini dapat dilihat dengan berdasarkan pada data hasil analisa kesuburan tanah yang mencerminkan besarnya pengaruh dari organisme tanah yang ada. Semakin tinggi peranannya dalam mempengaruhi kesuburan tanah semakin tinggi nilai dominansinya (1,0).
• Nilai sebaran/agian : dihitung berdasarkan nilai peluang ditemukannya suatu organisme pada data sampling masing-masing satuan peta tanah (SPT) yang dilakukan di lapangan. Semakin tinggi nilai peluangnya semakin besar nilai indeks sebarannya (1,0). • Nilai fungsional organisme = nilai
kompatibilitas x nilai dominansi x nilai sebaran.
Jenis organisme yang memiliki nilai fungsional tinggi memperoleh nilai tinggi dalam menentukan nilai kesesuaian lahan (diutamakan), selanjutnya secara bertahap pada jenis yang memiliki nilai penting rendah.
Penerapan kelengkapan data biologi tanah dalam sistem evaluasi kesesuaian lahan
Untuk melengkapi parameter evaluasi kesesuaian lahan pertanian parameter organisme tanah seperti pada Tabel 3 untuk sementara ini penting untuk dipertimbangkan. Dengan memasukkan parameter biologi tanah ini, maka hasil evaluasi lahan dapat ditulis sebagai berikut: ”misal tanah berliat terdapat populasi bakteri Rhizobium, Fungi Pelarut Fosfat, dan Agromixa memiliki kesesuaian lahan untuk kedelai S1”. Sehubungan bakteri Rhizobium dan Fungi Pelarut P memiliki fungsional positif untuk kedelai, maka diberi simbol positif (+). Sebaliknya Agromixa
Subowo G. et al. : Peranan Biologi Tanah dalam Evaluasi Kesesuaian Lahan Pertanian
memiliki fungsional negatif sebagai hama/ penyakit kedelai, maka diberi simbol negatif (-). Berdasarkan tambahan data biologi tanah tersebut, maka simbol kesesuaian lahan pada tanah berliat tersebut dapat ditulis :
Kedelai S1, Rhizobium+, Fungi Pelarut P+,
Agromixa-
Agar nilai fungsi parameter biologi tanah untuk masing-masing unit kesesuaian lahan dapat berpengaruh nyata, maka perlu dilengkapi 2-5 indikator biologi tanah dengan sekurang-kurangnya 1 (satu) indikator biologi tanah yang berpengaruh positif (+) dan 1 (satu) indikator biologi tanah negatif (-). Semakin lengkap indikator biologi tanah pendekatan evaluasi kesesuaian lahan semakin sempurna. Berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan ini, langkah-langkah teknologi pengelolaan lahan dilakukan dengan mengembangkan peranan organisme tanah positif dan menekan organisme tanah negatif.
KESIMPULAN
Indonesia yang berada di wilayah ”megabiodiversity” vulkan tropika basah, peranan biologi tanah sangat penting dalam menentukan kualitas pertumbuhan tanaman pertanian. Peranan organisme dapat berfungsi sebagai agen daur dan penyediaan hara, perbaikan sifat fisik tanah, dan pengendali serangan hama-penyakit. Untuk itu parameter biologi tanah perlu diperhatikan untuk melengkapi evaluasi kesesuaian lahan yang telah ada antara lain adalah: kelompok bakteri penambat N ataupun P yang hidup bersimbiose maupun hidup bebas, kelompok fungi pelarut P dan pengurai bahan organik tanah, kelompok BGA penambat N yang hidup bebas maupun simbiotik, kelompok fauna tanah yang mampu mengkonservasi bahan organik dan memperbaiki sifat fisik tanah. Langkah-langkah penting yang perlu dilakukan dalam evaluasi lahan meliputi inventarisasi populasi biologi tanah dan peranannya terhadap pertumbuhan tanaman, serta evaluasi kesesuaian nilai fungsional parameter biologi tanah terhadap pilihan komoditas.
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, M. 1977. Introduction of Soil Microbiology. John Wiley and Sons, New York-Chichester-Brisbane-Toronto-Singapore. P 467.
Anas, I. 2010. Peranan Pupuk Organik dan Pupuk Hayati dalam Peningkatan Produktivitas Beras Berkelanjutan. Seminar Nasional Peranan Pupuk NPK dan Organik dalam Meningkatkan Produktivitas dan Swasembada Beras Berkelanjutan, BBSDLP, 24 Februari 2010. Hlm 20.
Anonim. 1997. The Biology and Fertility of Tropical Soils: Report of the Tropical Soil Biology and Fertility Programme (TSBF) (Swift, J.M. Ed.), c/o UNESCO, UN Complex, P.O. Box 30592, Nairobi, Kenya. P 9.
Anwar, E.K. 2007. Pengaruh inokulan cacing tanah dan pemberian bahan organik terhadap kesuburan dan produktivitas tanah Ultisols. Jurnal Tanah Tropika 12(2):121-130.
Deshmukh, I. 1986. Ecology and Tropical Biology. Blackwell Scientific Publications, Palo Alto, Oxford, London, Edinburgh, Boston, Victoria. P 6.
Djaenudin, D., M. Hendrisman, H. Subagjo, dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk Teknis Evaluasi Lahan untuk Komoditas Pertanian. Balai Penelitian Tanah, Puslitbangtanak, Badan Litbang Pertanian. Hlm 154.
Edwards, C.A. and J.R. Lofty. 1977. Biology of Earthworms. A Halsted Press Boo, John Wiley & Sons, New York. P 333.
Elliot, P.W., D. Knight, and J.M. Anderson. 1991. Variables Controlling Denitrification from Earthworm Cast and Soil in Permanent Pastures. Biol. Fertil. Soils 11:24-29.
Freire, J.R.J. 1984. Important limiting factors in soil for the rhizobium-legume symbiosis. Pp 51-74. In Biological Nitrogen Fixation: Ecology, Technology, and Physiology (Alexander, M. Edt.). Plenum Press. New York and London.
Keyser, H.H. and F. Li. 1992. Potential for increasing biological nitrogen fixation in soybean. Pp 119-135. In Biological Nitrogen Fixation for Sustainable Agricul-ture (J.K. Ladha, T. George, and B.B. Bohlool (Eds.). Plant and Soil 141, Kluwer Academic Publishers.
Lal, R. 1995. Sustainable Management of Soil Resources in the Humic Tropics. United nations University Press, Tokio-New York-Paris. Pp 25-29.
Lee, K.E. 1985. Earthworms, Their Ecology and Relationships with Soils and Land Use. Academic Press (Harcourt Brace Jova-novich, Publishers), Sydney. Orlando. San Diego. New York. London. Toronto. Montreal. Tokyo. P 411.
Marinissen, J.C.Y. and A.R. Dexter. 1990. Mechanism of stabilization of earthworm cast and artificial cast. Biol. Fertil. Soils 11:234-238.
Martin, A. 1991. Short and long-term effects of endogeic earthworm Milsonia anomala (Omodeo) (Megascolecidae, Oligochaeta) of tropical savanna, on soil organic matter. Biol. Fertil. Soils 11:234-238. Munir. 1996. Geologi dan Mineralogi Tanah.
Pustaka Jaya. Hlm 290.
Rao, S. 1994. Mikroorganisme Tanah dan pertumbuhan Tanaman. Penerbit Univer-sitas Indonesia. Hlm 354.
Richard, B.N. 1978. Introduction to the Soil Ecosystem. Longman, London and New York. Pp 43-50.
Stork, N.E. and P. Eggleton. 1992. Invertebrates as determinants and indicators of soil quality. American Journal of Alternative Agriculture 7(1 & 2):38-47.
Subowo, I. Anas, G. Djajakirana, A. Abdurachman, dan S. Hardjowigeno. 2002. Pemanfaatan cacing tanah untuk meningkatkan produktivitas Ultisols lahan Kering. Jurnal Tanah dan Iklim (20):35-46.
Vidyarthy, G.S. and R.V. Misra. 1982. the role and importance of organic materials and biological nitrogen fixation in rational improvement of agricultural production. FAO Soils Bulletine No. 45.
Weber, G.F. 1973. Bacterial and Fungal Diseases of Plants in Tropics. University of Florida Press. Gainesville. P xv-xvii. Williams, C.N. and K.T. Joseph. 1976. Climate
Soil and Crop Production in Humic-tropics. Kualalumpur, Oxford University Press. London.
Yusnaini, M.A.S. Arif, J. Lumbanraja, S.G. Nugroho, dan M. Monaha. 2004. Pengaruh jangka panjang pemberian pupuk organik dan inorganik serta kombinasinya terhadap perbaikan kualitas tanah masam Taman Bogo. Hlm 283-293. Dalam Prosiding Seminar Nasional Pendayagunaan Tanah masam, Buku II, Puslitbang Tanah dan Agroklimat.
ISSN 1907-0799
LAND CAPABILITY CLASSIFICATION FOR LAND EVALUATION : A REVIEW
Klasifikasi Kemampuan Lahan untuk Evaluasi Lahan : Suatu Tinjauan
Santun R.P. Sitorus
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Jl. Raya Darmaga, Bogor
ABSTRACT
Land capability classification has been used for land evaluation for various purposes in many countries in the world. Since developed by the United States Department of Agriculture as a part of the programme to control soil erosion, the land capability classification has been further developed by a number of authors in many countries to suit their requirements. Of the numerous land capability classification have been published, fourteen are selected to be reviewed. The results shows that the aims of the various land capability classification schemes are generally similar: to evolve methodology whereby land may be evaluated for a particular land use purposes. Most of the methodologies were designed mainly for evaluating the capability of land for agriculture, either in narrow (specific) or in broad terms (including forestry, pasture, etc). Three methods of evaluation of data can be identified: Firstly, descriptive methods whereby capability classes or other categories are descriptive solely in words. Secondly, rating, grading or indexing system whereby each attribute is assigned a rate, grade or index and the capability class or other category is defined in terms of the sum of the weighted scores. Thirdly, quantitative methods whereby the relationships between variables are defined in terms of an equation used to obtain a score or index which defines the capability class or other categories. The capability methods also vary both as hierarchical systems and in terms of the number of categories used. They are also vary in terms of scale, and some do not even specify the scales used. Although substantial differences are found among the methodologies in terms of their purposes and detailed procedures, these are all broadly similar in terms of the general approach and activities involved.
Keywords : Land classification, land capability assessment, land capability methodology, land evaluation
ABSTRAK
Klasifikasi kemampuan lahan telah digunakan untuk evaluasi lahan untuk berbagai keperluan di berbagai negara di dunia. Sejak dikembangkan oleh Departemen Pertanian Amerika Serikat sebagai bagian dari program untuk mengendalikan erosi tanah, sistem klasifikasi kemampuan lahan telah dikembangkan lebih lanjut oleh banyak ahli di berbagai negara sesuai dengan keperluannya. Dari sekian banyak klasifikasi kemampuan lahan yang sudah dipublikasikan, 14 klasifikasi dipilih untuk ditinjau. Hasil menunjukkan bahwa tujuan dari berbagai sistem klasifikasi kemampuan lahan yang ada pada umumnya sama yaitu melibatkan metodologi dimana lahan dievaluasi untuk keperluan penggunaan lahan tertentu. Sebagian besar metodologi dirancang utamanya untuk mengevaluasi kemampuan lahan untuk pertanian, baik dalam arti sempit maupun dalam arti luas (termasuk kehutanan, padang penggembalaan, dan sebagainya). Tiga metode evaluasi data dapat diidentifikasikan. Pertama, metode deskriptif dimana kelas kemampuan atau kategori lainnya dideskripsikan hanya dalam bentuk kalimat saja. Kedua, sistem nilai, angka, indeks dimana masing-masing atribut diberi nilai, angka atau indeks dan kelas kemampuan atau kategori lainnya ditentukan berdasarkan jumlah skornya. Ketiga, metode kuantitatif dimana hubungan antara variabel ditentukan dalam bentuk persamaan yang digunakan untuk memperoleh skor atau indeks yang menentukan kelas kemampuan atau kategori lainnya. Metode kemampuan juga beragam, baik dalam sistem hirarki maupun dalam jumlah kategori yang digunakan. Klasifikasi kemampuan juga beragam dalam skala, dan beberapa bahkan tidak mencantumkan skala yang digunakan. Meskipun beberapa perbedaan dijumpai dalam metodologi dalam kaitan dengan kegunaan dan prosedur terincinya, tetapi semuanya secara umum sama dalam pendekatan umum dan jenis kegiatannya.
Kata kunci : Klasifikasi lahan, penilaian kemampuan lahan, metodologi kemampuan lahan, evaluasi lahan
L
and capability assessment forms part ofthe board field of ‘land evaluation’ defined as: “the process of assessment of land performance when used for specified purposes, involving the execution and interpretation and surveys and studies of land-forms, soil,
vegetation, climate and other aspects of land in order to identify and make a comparison of promising kinds of land use in terms of applicable to the objective of the evaluation” (FAO, 1976). Land evaluation requires consideration of not only soil characteristics but
of all natural conditions such as relief, hydrologic conditions, etc., which influence the utilization of land, application of techniques and crop yields (Blagovidov, 1960).
Land evaluation is a relatively new concept whose methodologies are contentious due mainly to the complexity of the problem, the multitude of disciplines involved, and the lack of precise definitions and associated misuse of terminology. For instance, the same features of land are sometimes described by different terms, and the same terms may be applied with numerous meanings. For the purpose of this paper, therefore, it is important that terminology and definitions are examined explicitly, including such terms as ‘land’, ‘capability’, and ‘classification’ which can all be interpreted differently.
The word ‘land’ can have numerous meanings. One that corresponds to common usages, and is most appropriate to the context of this paper is ‘the entire complex of surface and near-surface attributes of the solid portions of the surface of the earth which are significant to man; water bodies recurring within land masses are included in some land classification systems’ (Soil Conservation Society of America, 1982). Land in its physical aspects may be subdivided into several principal components, notably soil, climate, topography and relief, vegetation and geographic location (Lacate, 1961). Through the principles of land evaluation, however, land as the complex of many interrelated and integrated parts must be viewed as a combined entity and not separately in terms of its components.
The present review has revealed that the concept of ‘capability’ has not been clearly distinguished from all other related terms. There is a lack of international standardization of terms which refer, or are related, to capability (see for instance, Smyth, 1974) particularly concerning the distinction between ‘capability’ and ‘suitability’.
‘Capability’ is viewed by some as the inherent capacity of land to support a generally defined land use (Klingebiel and Montgomery,
1961; FAO, 1976), or refers to a range of uses, e.g. for agricultural, forestry, or recreational development (McRae and Burnham, 1981). ‘Suitability’, on the other hand, refers to the fitness of a given type of land for a particular use, for example, suitability for sugar cane or rice, etc. (Brinkman and Smyth, 1973; FAO, 1976; McRae and Burnham, 1981). However, some authors consider that the two terms are interchangeable, with no essential difference between them (e.g. Vink, 1975). For the purpose of this paper ‘capability’ is used to refer to “the potential of the land for use in specified ways, or with specified management practices” as defined by Dent and Young (1981). This means capability is more simply an assessment of the relative suitability of the land for a particular use.
‘Classification’ means ordering or arranging objects into groups or classes on the basis of their similarities or relationships. The product of this process is a classification system, and subsequent placement of objects into the system is called identification (Sokal, 1974). Such identification of objects and their subsequent delineation over an area of land becomes mapping or regionalization. The science of classification is called taxonomy (Bailey et al., 1978).
Classification has been applied somewhat loosely in most resource survey fields under all of these meanings. As the term is commonly used in a broad sense, the present author will include all of these related aspects of the classification process, identification and regionalization under ‘classification’. It is important to emphasize that classifications are man-made rather than natural, and that a set of objects can be arranged in many different ways according to the classification procedure applied to the data. Although the classification procedure can be carried out in many ways, most writers agree on the fundamental purposes of classification: to provide a grouping which is valid for the scientific activity being undertaken and to allow generalizations to be made about the object classified (e.g. Grigg, 1965; Sokal, 1974; Johnston, 1976).
Santun R.P. Sitorus : Land Capability Classification for Land Evaluation: A Review
LAND CLASSIFICATION
The term ‘land classification’ has been used widely in many different fields of study and hence has some differences in meaning. In this paper, ‘land classification’ is defined as “the arrangement of land units into various categories based on the properties of land or its suitability for some particular purposes” (Soil Conservation Society of America, 1982).
Land classification implies the development of a logical system for the arrangement of different kinds of land into defined categories, according to the characteristics of the land itself. These characteristics may include those that are directly observable, such as slope gradient, or those that may be ascertained only by inference, such as soil fertility. The systems are often designed to serve very restricted purposes and may stress only certain attributes of land. As land units with similar properties and environmental settings should respond similarly to the same management practices, or to a particular crop, a suitable classification system can increase our ability to generalize, to extrapolate research results, and to transfer management experience.
A comprehensive system of land classification that would serve all purposes can only be developed if our knowledge of all science were, complete and properly integrated. This stage of perfection has not been reached, and may never be. Therefore, several more-or-less pragmatic or ‘technical’ systems have been developed, based on the fundamental concepts.
Numerous approaches to land classification have been postulated, as reviewed, for example, by Lacate (1961), Mabbutt (1968), Wright (1972), Mitchell (1973), Olson (1974), Whyte (1976), Higgins (1977), Zonneveld (1979), McRae and Burnham (1981), Dent and Young (1981) and Sitorus (1983). This paper is not intended to consider the diversity of these schemes, but selected classification systems are reviewed.
The procedure of land classification varies from one system to another due to differences in principles, assumptions and purposes. Moreover, to achieve the same purposes, the same attributes of land may be integrated differently, being given different weights within unlike combinations (Kellogg, 1951). Most schemes, however, are intended as aids to planning whether to ensure the range of alternatives for selected uses is considered on its merits, or to minimize the harmful consequences of changing from existing uses and to maximize its usefulness.
Most systems achieve a land classification by dividing the land into smaller, more homogeneous units to achieve a simpler and more precise description (Beckett and Webster, 1965). In this ‘divisive’ procedure the problem is to find a consistent method of delimiting the units on the ground and ultimately on maps.
Two considerations are commonly used for delineating units: recognisability and reproducibility (Beckett and Webster, 1965). Recognisability refers to establishing the identify of the units and requires differentiating characteristics to be selected (Cline, 1949; Beckett and Webster, 1965). The differentiating characteristics should be intrinsic properties of the land to be classified (Wright, 1972). There is an infinite number of land properties which could be selected as differentiating characteristics to be selected (Cline, 1949; Beckett and Webster, 1965). The common approach is to select properties which are visible and measurable, to facilitate field delimitation of units.
Reproducibility appears to be subjectively recognized in many systems and when defined is usually considered in relative terms. According to Beckett and Webster (1965) and Sitorus (2001), reproducibility refers to how similar in their attributes are different occurrences of the same unit. Of special interest in Sitorus (2001) research is whether different occurrences of the same unit are similar and also relatively homogeneous in terms of properties which are related to plant growth, so
that they can provide a solid basis for the evaluation of land use potential.
Many boundaries for land classification mapping can be identified from remote sensing imagery particularly the conventional panchromatic aerial photographs. These latter are widely uses in soil and other land surveys, to provide a stereoscopic model of the terrain from which boundaries can be drawn for subsequent checking in the field (Thomas, 1980). Moreover, aerial photography and remote sensing imagery constitute valuable field tools for the acquisition of observable land use data and other land attributes. Air-photos may be employed as base maps and, depending on the scale, the images contain an infinite number of control points allowing extremely accurate location of various field phenomena (Aldrich, 1981).
Conventional land classification has developed in the main in association with soil surveys, and land classification is often used to represent a second phase of mapping based on the interpretation of the soil survey results or soil mapping units. In Canada, this is called soil capability classification (Canada Land Inventory, 1965). Many such second-phase mappings deal with the potential for land uses. However, Zonneveld (1979) objects to the use of the term land classification for those activities which involve evaluation, instead he proposes the use of the term ‘pragmatic land classification’.
Land classification poses various difficulties. Most systems of land classification imply that specific bodies of land in the different categories will be shown to scale on maps. Mapping is sometimes very costly and time-consuming, especially if boundaries are drawn with reasonable accuracy in respect of local detail. Thus, for the purpose of mapping, particularly at a small scale, unlike bodies of land sometimes must be grouped into geographic associations or ‘complexes’, defined in terms of the taxonomic units in the system of classification. In this sense, land classification is an integrative process (Nelson et al., 1978). One of the function of any land classification system
is to permit inferences about the objects being classified. In most applications, classification provides a framework for interdisciplinary inventory of the land controlling its capability (Nelson et al., 1978).
At least three fundamental problems in classifying land have been identified (Mabbutt, 1968; Zonneveld, 1979). Firstly, there is the problem of the complexity of land attributes, their spatial variations and the intricacy of these relationships which have to be simplified. Secondly, there is the problem of defining the ‘extent’, and hence location, of boundaries of land areas possessing a large number of attributes varying in different spatial expression, and for which the unit limits may be sharply defined or gradational, forming part of a continuum. Thirdly, there is the problem of association resulting from the interrelationships of adjoining areas, which means that each area is an open rather than a closed system.
THE METHODOLOGY OF CAPABILITY ASSESSMENT
The capability scheme for evaluating agricultural land has been developed by the United States Department of Agriculture (USDA) since half a century ago as part of the programme to control soil erosion (Hockensmith and Steele, 1943; 1949; Hockensmith, 1950; 1953). Capability as a methodology for land use planning, however, was first made explicit in the land capability classification system by the USDA (Klingebiel and Montgomery 1961). This classification system is one of a number of interpretative groupings made primarily for agricultural purposes. One of its aims is to group arable lands according to their potentialities and limitations for sustained production of the common cultivated land. The system involves the application to a land classification of accepted limiting factors and hazard potentials (Klingebiel and Montgomery, 1961; Canada Land Inventory, 1967; Bibby and Mackney, 1969).
Santun R.P. Sitorus : Land Capability Classification for Land Evaluation: A Review
The USDA System divides land into a small number of ranked categories according to the number and extent of its physical limitations to crop growth, from the highest category ‘class’ to ‘sub class’ and ‘capability units’. The capability classes range from Class I, in which soils have no major limitations to crop growth, to class VIII in which soils have limitations which preclude their use for commercial crop production.
The grouping of soils into capability units, sub-classes, and classes is done primarily on the basis of their capability to produce common cultivated crops and pasture plants without deterioration over a long period of time. In short, agricultural capability is defined in terms of the relationship between land properties and known crop requirements, with the overall aim of maximizing sustained crop yield over a period of time, which is a readily measurable variable.
This system is, in fact, derived from an assessment of inherent land qualities based on conventional soil and physiographic data (Thomas, 1976). Although designed for detailed classification of land in a highly developed area, the system has several advantages that make it also suitable for use in a first, broad assessment of the resources of undeveloped areas, as follows. Firstly, as it is based on the evaluation of the nature and degree of limiting physical characteristics, it is conducive to objective, comparative assessment, avoiding personal or regional bias in classification. Secondly, it is based almost entirely on physical land characteristics, and economics are not considered except for an assumption for certain management practices applied. Thirdly, the system indicates the kind of land uses that are adapted in both developed and developing countries, sometimes with modifications to suit local conditions and the availability of data, as discussed by McRae and Burnham (1981). For reconnaissance survey purposes, the system has been used successfully for land capability
classification as demonstrated, for example, by Haantjens (1963) in a survey of Papua and New Guinea.
Translated into general terms, the concept behind the USDA approach is that capability classes can be defined for a particular land-use based on the degree of correlation between the physical characteristics of the land and the land-requirement of the use in question.
Whilst the process of land classification is complex, Kellogg (1961) explained that it involved two main stages: firstly, analysis, requiring a study of individual land charac-teristics (for example, allocating land into slope groups as nearly level, sloping and hilly); secondly, synthesis, in which all the essential date are combined according to the classification desired. This second stage also entails interpretation, whereby predictions are made about each unit of land as an entity, and the assessment of qualities like productivity and fertility.
REVIEW OF LAND CAPABILITY METHODOLOGY
The physical factors affecting land use are generally grouped under three broad headings: climate, relief and soils. In reality, however, there is no clear-cut three-fold division, the interactions between the three phenomena being very important in determining land use possibilities (Bibby, 1973). Of the numerous capability methodologies which have been published, fourteen are selected and summarized in comparative form in Table 1, on which the following review is largely based. The aims of the various schemes are generally similar: to evolve a methodology whereby land may be evaluated for a particular land use purpose. It is notable, however, that in the description of capability classes, most of these classification systems also include the ability of the resource to sustain the productivity of the land use.
Jurnal Sumberda
ya Lahan Vol. 4
No. 2, Desembe
r 2010
Author (s) Study area Study aims Data sources Method of data evaluation
Categories or land units (in order of
decreasing generalisation)
Assumptions Mapping scales Klingebiel & Montgomery (1961)/Haatjens (1963)/Oyama (1965) USA/Papua New Guinea/ Japan
To group (1) arable soils according to their potentialities and limitations for sustained production of the common cultivated crops; (2) non arable soils for the production of permanent vegetation
Soil-Survey maps Descriptive
interpretation based on known or inferred relationships between land factors and the growth and management of crops
8 capability classes (I to VIII); capability sub-class; capability units
14 assumptions, including moderately high level of management; ignores location and land-ownership patterns Small to large
Hills (1961) Canada To rate the potential of land units for the purpose of agriculture, forestry, etc.
Physiographic/ landscape unit maps
Rating system applied to land factors based on known and inferred relationships with crop productivity
7 classes (A to G) defined by rating. Class A: the highest, Class G: the lowest potentially
--- Small to large
1:253, 433, landscape unit
Canada Land
Inventory (1965) Canada To group mineral soils according to their potentialities and limitations for agricultural use
Soil maps Descriptive
interpretation based on known relationships between land factors and crop production
7 capability classes (1 to 7); capability sub-class 7 assumptions, included good soil management practices; ignores location, access, and land-owner-ship patterns 1:63, 360
Bibby and Mackney (1969)
Great Britain To present the result of soil surveys in a form which may be of more use to agricultural advisers, farmers, planners and other land users
Soil maps Descriptive
interpretation based on known relationships between the growth and management of crops and physical factors of soil, site and climate
7 capability classes (1 to 7); capability sub-class; capability units
10 assumptions, including moderately high-level of management; ignores location and access Small to large; 1:25,000 and larger for unit
United States Department of Interior (1953)
USA To group soils according to physical and economic attributes which affect their suitability for irrigated agriculture
Survey data: field and laboratory
Descriptive classes defined according to known or inferred relationships between land factors, productive capacity, cost, and their payment capacity under irrigation system
6 classes (1 to 6); sub classes. Classes 1,2,3 arable; Class 4 limited arable; Class 5,6 non-arable
--- 1:24,000 1:12,000