• Tidak ada hasil yang ditemukan

istilah tersebut karena perseroan merupakan badan hukum yang diatur dalam UU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "istilah tersebut karena perseroan merupakan badan hukum yang diatur dalam UU"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

istilah tersebut karena perseroan merupakan badan hukum yang diatur dalam UU PT.

Ketika perseroan tidak melakukan TJSL sesuai dengan ketentuan UU PT dan UU TJSL sudah selayaknya diberikan sanksi.Akan tetapi dalam peraturan ini belum dijelaskan secara jelas mengenai sanksi terkait perseroan yang tidak melaksanakan TJSL. Sehinggga harus mempertimbangkan perundang-undangan yang terkait dengan TJSL. Sehingga analisis terkait pengaturan TJSL dalam UU PT, UU TJSL, UU PM dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan sumber daya alam untuk mencapai kepastian hukum dalam penegakannya dan dapat mencegah kerusakan lingkungan dan sekitarnya.

3.2 Ketentuan Yang mengatur Sanksi Kepada Perusahaan Yang Tidak Melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan

Pengaturan sanksi yang diberikan kepada peraturan yang terkait, ternyata masih ada peraturan yang belum mengatur tentang sanksi, yang tidak melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan dalam peraturan tersebut. Kepastian hukum terkait pemberian sanksi terkait tidak dilaksanakan TJSL oleh perusahaan, sangatlah penting sehingga perlunya bentuk sanksi yang tepat untuk mengaturnya.

Selanjutnya, akibat tidak diatur secara jelas tentang sanksi hukum perusahaan yang tidak melaksankan tanggung jawab sosial perusahaan , maka sebagai dasar hukum dalam pemberian sanksi terhadap tidak dilaksanakannya Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah sebagai berikut :

(2)

1. Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas 2. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Pasar Modal

3. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pelindungan dan Pengelolaan lingkungan Hidup

4. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan Hidup

Secara konseptual, CSR merupakan sebuah pendekatan dimana perusahaan mengintegrasikan kepedulian operasi bisnis mereka dan juga interaksi mereka dengan para pemangku kepentingan (stakeholder) berdasarkan prinsip kemitraan dan sukarela. Sehingga ketika perusahaan tidak melaksanakan CSR tidak akan mendapat sanksi hukum melainkan hanya sanksi moral saja yang diberikan kepada perusahaan.

Konsep yang dilakukan pelaku usaha lain di Indonesia, menjadi permasalahan yang sangat besar ketika Pemerintah mengimplementasikan CSR menjadi TJSL sesuai dengan regulasi di indonesia. Pembentukan undang-undang yang melibatkan regulasi terkait TJSL dalam UU PT dan juga PP TJSL tidak lagi menggunakan CSR melainkan TJSL ini disesuaikan dengan bisnis yang berlaku dinegara indonesia. Sehingga hal ini membuat perdebatan para pelaku usaha di indonesia dengan Pemerintah, karena memberlakukan CSR menjadi TJSL yang artinya bukan lagi hanya sekedar sumbangan sukarela (voluntary) dalam melaksanakan CSR, melainkan suatu kewajiban setiap perusahaan.

(3)

Penerapan TJSL merupakan tanggung jawab dengan dasar hukum yang tercantum dalam UU PT yaitu pasal 74 dan diperjelas di dalam PP TJSL .Sehingga penerapan TJSL merupakan kebijakan hukum dalam pembentukan perundang-perundangan yang mengatur dan menerapkan TJSL yang disertai sanksi hukum. Sehingga pengaturan TJSL merupakan suatu kewajiban hukum di indonesia yang lebih memilki kepastian hukum daripada CSR yang hanya bersifat sukarela.32 Karena selama ini masyarakat mengalami kerugian dan perusakan lingkungan oleh perusahaan terutama dalam pengelolaan sumber daya alam, tanpa ada upaya hukum yang mengatur pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan yang berada dilingkungan masyarakat.

3.2.1 Bentuk Sanksi Terkait Tidak Dilaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan oleh Perseroan Terbatas

Secara teoritis pemerintah seharusnya menciptakan prakondisi yang memadai agar perusahaan dapat beroperasi dengan kepastian hukum yang benar. sehingga dalam hal ini, berbagi regulasi yang ada tidak hanya memberi batasan kinerja minimal bagi perseroan, melainkan juga harus memberikan perlindungan kepada perseroan yang telah melakukan TJSL. Sehingga dalam hal ini, ketika regulasi yang dibuat oleh pemerintah itu telah melindungi kepentingan perseroan, maka dengan itu pemerintah juga harus memberikan kewajiban kepada perseroan untuk memperhatikan keadaan sosial dan lingkungan yang ada disekitar

32 Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 53/PUU-VI/2008 tentang judicial

(4)

perseroan.Sehingga perseroan yang tidak melaksanakan kewajibannya maka sudah seharusnya dikenakan sanksi.

Pengaturan sanksi tidak dilaksanakannya TJSL oleh perseroan khususnya yang bergerak dibidang sumber daya alam di indonesia tidak diatur secara lengkap dan jelas. Dalam UU PT dan juga PP TJSL yang mengatur tentang sistem pelaksanaan TJSL di indonesia masih melimpahkan ketentuan sanksi berdasarkan dengan peraturan perundang-undangan. Karena perusahaan yang tidak melaksanakan CSR yang tidak mengelola sumber daya alam hanya dikenai sanksi administratif, sehingga tidak ada alasan pemberat untuk memberikan sanksi pidana atau juga perdata.

Peraturan undangan yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan sumber daya alam dan juga etika dalam kegiatan usaha.Ternyata masih ada peraturan yang lain yang mengatur sanksi tidak dilaksanakannya TJSL yang telah memberikan efek jera kepada perusahaan yang bergerak dibidang sumber daya alam seperti yang telah terjadi pada perusahaan.

Pengertian sanksi adalah suatu tanggungan (hukuman, tindakan) untuk memaksa orang menepati perjanjian atau menaati ketentuan undang-undang (anggran dasar, perkumpulan). Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia membedakan sanksi itu menjadi dua, yaitu imbalan negatif dan juga imbalan positif.Selanjutnya sanksi dalam imbalan positif dapat diberikan kepada perseroan yang bergerak dibidang sumber daya alam yang telah melaksanakan TJSL.Sedangkan imbalan negatif berupa pembebasan atau penderitaan yang

(5)

ditentukan dalam hukum, sedangkan imbalan positif berupa hadiah atau anugrah yang ditemukan dalam hukum.

Dalam imbalan postif tersebut berupa penghargaan yang diwujudkan dengan pemberian intensif pajak.Sehingga dengan adanya intensif pajak bagi perseroan yang telah melakukan TJSL maka dapat memotivasi perseroan untuk melakukan TJSL dengan mengurangi pajak yang dibebankan kepada perseroan.Selain itu, imbalan negatif yaitu berupa pembebasan dan penderitaan hukum yang telah dtentukan oleh hukum.Penentuan sanksi yang tepat terkait tidak dilaksnakannya TJSL oleh perusahaan terutama yang bergerak dibidang sumber daya alam harus memperhatikan jenis-jenis pertanggungjawaban hukum yang diterapkan diindonesia agar memperoleh sanksi yang tepat.

Pertanggungjawaban hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang Nomor 40 tahun 2007 Tentang tanggung sosial dan lingkungan pasal 74 UU PT yang baru, diundang-undang tersebut tidak tercantum secara spesifik pertanggungjawaban hukum yang seperti apa yang akan dibebankan kepada perusahaan. Namun demikian, dalam undang-undang itu pula dijelaskan bahwa perusahaan dapat dipertanggungjawbakan secara hukum melalui peraturan perundang-undangan terkait, seperti : undang-undang pasar modal , Undang-undang Pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup, Undang-undang-Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Seperti halnya, pemberian sanksi pidana, perdata dan juga administrasi.

(6)

3.3 Sarana Penerapan Sanksi

Negara hukum merupakan istilah yang meskipun kelihatannya sederhana namun megandung muatan sejarah pemikiran yang relatif panjang. Negara hukum adalah negara yang berbentuk dari (2) suku kata yaitu negara dan hukum. Padahal kata ini menunjukkkan bentuk dan sifat yang saling mengisi antar negara disuatu pihak dan hukum dipihak lain. 33

Sehinggga dari peraturan tersebut pertanggungjawaban hukum yang tidak melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan dapat digolongkan kedalam 3 sanksi hukum yaitu :

3.3.1 Sanksi Pidana

Moeljadno dalam bukunya tentang azas-azas hukum pidana memberikan defenisi tindak pidana sebagai berikut :

“ perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barangsiapa yang melanggar larangan tersebut. 34

Berdasarkan pengertian yang disampaikan oleh M.sudrajat Basir juga memberikan komentar bahwa wujud atau sifat perbuatan-perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan yang dimaksud adalah perbuatan yang telah merugikan masyarakat. Sehingga perbuatan akan menjadi suatu tindak pidana apabila perbuatan tersebut:

33

Majda El Muthaj, dimensi-dimensi HAM mengurai HAK ekonomi Sosial dan Budaya, Raja Grafindo Persada,jakarta,2008, hal 46-47

34

(7)

a. Melawan hukum b. Merugikan masyarakat c. Dilarang oleh aturan pidana

d. Pelakunya diancam dengan pidana 35

Pertanggungjawaban pidana dimaksud untuk menentukan seorang terdakwa dipertangungjawbakan atas suatu tindak pidana terjadi atau tidak.Terkait dengan pertanggungjawaban pidana dengan TJSL dengan tidak dilaksanakannya TJSL oleh perseroan, haruslah memenuhi unsur tindak pidana. Dalam hal ini sesuai dengan pasal 1 KUHP menjelaskan bahwa “ setiap perbuatan pidana mengharuskan adanya aturan hukum yang mengatur terlebih dahulu. Dalam hukum pidana, tidak mengenal perseroan melainkan korporasi. Korporasi yang saat ini telah memilik kekuatan besar dalam produksi mampu dan dapat menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya.

Sanksi yang tidak dilaksanakannya TJSL pada pasal 74 ayat (3) UU PT dan juga pasal 7 PP TJSL, dalam pasal 74 ayat (3) UU PT dan pasal 7 PP TJSL yang menyatakan “ bahwa sanksi diatur dalam peraturan perundang-undangan” merupakan suatu rumusan yang tidak pasti atau masih umum dan tidak diatur secara tegas peraturan yang ditunjuk dari ketentuan perundang-undangan yang sudah dijelaskan. Sehingga dalam penerapan hukumnya bisa dilakukan dengan sewenang-wenang oleh para penegak hukum.36

35

Sudrajad Basir M, Tindak-Tindak Pidana Tertentu dalam KUHP, remadja karya, Bandung, 1986,hal 2

36 Pasal 74 ayat (3) undang-undang perseroan terbatas tentang tannggung jawab sosial dan

(8)

Selanjutnya, pengaturan sanksi yang diberikan kepada peraturan yang terkait harus memiliki kesamaan dalam subyek norma, perilaku yang sama dan sanksi hukum yang sama. Apabila ketiga faktor tesebut sudah terpenuhi dan ada kesamaan dengan UU PT dan UU TJSL maka implementasi sanksi dapat dilkasanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya Istilah TJSL tidak dikenal didalam UUPM tetapi dalam pengimplementasiannya dikenal sebagai tangunggung jawab sosial Perusahaan.( selanjutnya disebut TJSP ) Ketentuan TJSP dalam UU PM menjelaskan TJSP merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh para penanam modal. Ketika para penanam modal tidak melaksanakan kewajibannya maka akan dikenai sanksi, tetapi dalam UU PM mengenai sanksi Pidana tidak diatur secara jelas ketika tidak melakukan tanggung jawab sosial Perusahaan.

Perusahaan selama ini awal dari perusakan lingkungan, mengelola sumber daya alam hanya dengan kepentingan sendiri dan mencari keuntungan yang sebanyak-banyaknya tanpa memikirkan lingkungan disekitar perusahaan itu berdiri.Selama ini perusahaan melibatkan masyarakat hanya untuk mencari simpatik dari masyarakat.Perusahaan hanya memberikan sumbangan, santunan, pemeberian sembako. Padahal hal ini tidak akan merubah dan mengembalikan kondisi lingkungan seperti semula sebelum perusahaan itu didirikan. Tanggung jawab perusahaan memberikan konsep yang sangat berbeda dengan hanya memberikan sumbangan kepada masyarakat dengan hanya sukarela (voluntary) demi masyarakat yang lebih baik dan lingkungan yang bersih. Sebagaimana dalam pasal 68 Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dijelaskan:

(9)

Berdasarkan pasal 68 undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menjelaskan bahwa , setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban:

a. memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu;

b.menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan

c.menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.37

Perusahaan sebagai salah satu pelaku dari kegiatan bisnis adalah sebagai badan hukum.Artinya perusahaan dibentuk berdasarkan undang-undang tertentu, disahkan dengan aturan hukum atau aturan legal. Karena itu keberadaannya dijamin dan sah demi hukum. Itu berarti perusahaan bentukan manusia, yang eksistensinya diatur undang-undang yang sah.

Penerapan jalur Pidana dengan sanksi pidana diterapkan apabila ternyata perusahaan yang bersangkutan melakukan perbuatan melawan hukum dengan sengaja karena kealpaannya melakukan pencemaran perusakan lingkungan hidup dan dengan sengaja melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, seperti halnya membuang zat,energi dan komponen yang lain yang berbahaya

37 Pasal 68 undang-undang perlindungan dan pengeloalaan , tentang kewajiban dari perseroan

(10)

sehingga menimbulkan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum dan nyawa orang lain.

Berdasarkan ketentuan pasal 74 ayat (3) yang menjelaskan bahwa “ perseroan yang yang tidak melaksanakan kewajban dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Sehingga dengan adanya ketentuan pasal 74 ayat (3) ini perusahaan khususnya yang bergerak di bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam harus melaksanakan tangggung jawab sosialnya kepada masyarakat. Sehingga mengenai pelangggaran CSR pun mengacu kepada undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan Hidup ( UUPLH ) yaitu pada pasal 41 ayat (1) yang menyatakan “ barang siapa yang melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan Hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan denda paling banyak lima ratus juta rupiah.dan selanjutnya, pasal 42 ayat (1) menyatakan “ barang siapa yang karena kealpaannya melakukan perbuatan yang melakukan pencemaran da/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak seratus juta rupiah. Hal ini di ketahui, karena perusahaan yang mengelola sumber daya alam akan kemungkinan besar merusak lingkungan. Hal ini menjadi alasan sebagai dasar hukum untuk memberi sanksi pidana terhadap perusahaan yang tidak melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.

Mengacu pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengeloaan lingkungan hidup yang tertulis dalam pasal 116 ayat (1) dan (2) dan

(11)

pasal 117 dan pasal 118 menyebutkan : “ apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada :

a. Badan usaha, dan atau

b. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut. Dan ayat (2) menjelaskan apabila dtindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan oleh orang,yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama. Selanjutnya pada pasal 117 juga menjelaskan jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana dan denda diperberat dengan sepertiga, dan pasal 118 menjelaskan bahwa terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili didalam dan diluar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional. 38

Selanjutnya juga dijelaskan masalah saksi pidana yang didapatkan oleh perusahaan yang tidak melakukan TJSL seperti halnya perseroan yang sudah

38 Pasal 117,116,118 , undang-undang perlindungan pengelolaan lingkungan hidup tentang sanksi

(12)

merusak lingkungan masyarakat dan juga tidak melaksanakan TJSL sesuai dengan ketentuan UUPT dan PP TJSL. Pada pasal 114 undang-undang perlindungan dan pengelolaan lingkungan Hidup menjelaskan bahwa” setiap penanggung jawab usaha dan/ atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 1(satu) tahun dan denda paling banyak Rp 1000.000.000,00 ( satu miliiar rupiah ). 39

Dari penjelasan diatas pemidanaan perusahaan dengan alasan pemberat dengan dasar perusakan lingkungan sangat jelas siapa dan sanksi apa yang di dapat oleh perseroan terutama yang mengelola sumber daya alam yang sampai merusak lingkungan masyarakat dan mengalami kerugian. Sehingga perseroan dapat dikenakan sanksi yang telah dijelaskan sebelumnya dan siapa penanggung jawab perusahaan yang akan bertanggung jawab atas kejadian perusakan lingkungan sebagaimana dijelaskan dalam pasal 116 ayat (1) a. Maka dari itu perseroan dapat dikenakan sanksi pidana dengan dasar hukum pasal 116,117 dan 118 siapa dan apa sanksi yang didapat oleh perseroan terhadap tidak dialksanakannya TJSL. Kegiatan penegak hukum pidana terhadap suatu tindak Pidana lingkungan hidup baru dapat dimulai apabila : aparat yang berwenang telah menjatuhkan sanksi administrasi dan telah menindak pelanggar dengan menjatuhkan suatu sanksi administrasi tersebut. Namun ternyata tidak mampu menghentikan pelanggaran yang terjadi, atau antara perusahaan yang melakukan pelanggaran dengan pihak masyarakat yang menjadi korban akibat terjadi pelanggaran.

39

(13)

3.3.2 Sanksi Perdata

Dalam undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah diatur berbagai penyelesaian sengketa lingkungan Hidup. Sengketa lingkungan hidup yang dilakukan antar pihak dapat diselesaikan melalui dua jalur yaitu penyelesaian sengketa diluar pengadilan dan penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Sebagaimana diatur dalam pasal 74 ayat ( 3) bahwa dalam penerapan sanksi diatur dalam perundang-undangan, karena dalam undang-undang nomor 40 Tahun 2007 tentang perseroan terbatas yang mengacu kepada pasal 74.

Sebagaimana diatur dalam pasal 84 ayat (3) undang-undang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup mengatakan “ gugatan pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesain sengketa diluar pengadilan yang dipilih diinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa 40.

Penyelesaian sengketa diluar pengadilan pada dasarnya tidak berlaku untuk tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam undang-undang. Dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 pasal 85 ayat (1) undang-undang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup mengatakan “ penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai :

a. Bentuk dan besarnya ganti rugi

40 Pasal 84 ayat (1) undang-undang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tentang

(14)

b. Tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau perusakan

c. Tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran dan/atau perusakan dan/atau

d. Tindakan untuk mencegah timbulnya dampak nnegatif terhadap lingkungan hidup41

Penyelesaian sengketa lingkungan hidup ini melalui perundingan antara pihak yang berkepentingan yaitu yang merugikan dan yang dirugikan. Dalam hal ini lebih dikenal dengan istilah negosiasi yaitu para pihak dapat berunding secara langsung tanpa dibantu pihak ketiga

Selain negoisasi adalah mediasi, dimana dalam hal penyelesaian sengketa melibatkan orang ketiga yaitu mediator, baik yang memiliki kewenangan mengambil keputusan maupun yang tidak memiliki kewenangan mengambil keputusan. Sebagaimana diatur dalam undang-undang nomor 32 tahun 2008 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pasal 85 ayat ( 3) bahhwa “ dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar pengadilan dapat digunakan jasa mediator atau arbiter dalam menyelesaikan sengketa lingkungan hidup.

Dari penjelasan diatas, bahwa dalam ketentuan pasal 85 ayat (1) mengenai ganti rugi, Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia yang dimaksud Kerugian adalah kondisi di mana sesorang tidak mendapatkan keuntungan dari apa yang telah mereka keluarkan (modal). Kerugian dalam hukum dapat dipisahkan menjadi dua (2) bagian yaitu :

41 Pasal 85 ayat (1) undang-undang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, tentang ganti

(15)

1. Kerugian materil yaitu kerugian yang nyata-nyata diderita oleh pemohon

2. Kerugian immateril yaitu kerugian atas mamnfaat yang kemungkinan akan diterima olleh pemohon dikemudian hari atau kerugian dari kehilangan keuntungan yang mungkin diterima oleh pemohon dikemudian hari.

Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1365 KUHPerdata, dalam hal seseorang melakukan suatu Perbuatan Melawan Hukum maka dia berkewajiban membayar ganti rugi akan perbuatannya tersebut. Pedoman selanjutnya mengenai ganti kerugian dalam PMH kita bisa dalam Pasal 1372 ayat (2) KUHPerdata yang isinya: “Dalam menilai suatu dan lain, Hakim harus memperhatikan berat ringannya penghinaan, begitu pula pangkat, kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak, dan pada keadaan.

Kemudian, dalam buku yang sama Prof. Rosa Agustina juga menerangkan bahwa kerugian dalam Perbuatan Melawan Hukum menurut KUHPerdata, Pemohon dapat meminta kepada si pelaku untuk mengganti kerugian yang nyata telah dideritanya (Materil) maupun keuntungan yang akan diperoleh di kemudian hari (Immateril).42 Dalam menetukan kerugian immateril ini akan ditentukan oleh hakim.. Karena dalam hal ini sangat sulit menentukan kerugian immateril seperti dalam penetapan kerugian materil yang nyata dan bisa dihitung berapa yang harus dikeluarkan piihak yang merugikan salah satu pihak. Karena kerugian materil masih akan terjadi dikemudian hari yang kita tahu kapan akan terjjadi, tepai sudah ahrus dianggarkan para pihak yang bersangkutan. Namun guna memberikan suatu pedoman dalam pemenuhan gugatan Immateril maka Mahkamah Agung dalam

42

(16)

Putusan perkara Peninjauan Kembali No. 650/PK/Pdt/1994 menerbikan pedoman yang isinya “Berdasarkan Pasal 1370, 1371, 1372 KUHPerdata ganti kerugian immateril hanya dapat diberikan dalam hal-hal tertentu saja seperti perkara Kematian, luka berat dan penghinaan”.

3.3.3 Sanksi Administrasi

Sanksi administrasi adalah sanksi-sanksi hukum yang dapat dijatuhkan oleh pejabat pemerintah tanpa melalui pengadilan terhadap seserorang atau kegiatan usaha yang melanggar ketentuan hukum yang tidak melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.

Contoh dari pelanggaran hukum yang tidak melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungan adalah menjalankan kegiatan usahanya tanpa izin usaha yang diperlukan, kegiatan usaha misalkan industri.

Pertanggungjawaban administrasi merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban hukum. selain pertanggungjawaban pidana dan perdata. Karena hukum administrasi merupakan instrumen yuridis yang memungkinkan pemerintah dapat mengendalikan kehidupan masyarakat dan memungkinkan masyarakat berpartisipasi dalam pengendalian tersebut dengan tujuan terdapatnya suatu perlindungan hukum.43 Pengendalian yang dilakukan oleh pemerintah tersebut untuk melarang tindakan-tindakan yang dilakukan tanpa izin. Sehingga sangat perlu pengendalian terhadap tindakan yang sangat bertentangan dengan peraturan

43

(17)

perundang-undangan yang terkait dengan izin. Sehingga sebelum pemerintah memberikan izin tersebut , seharusnya perseroan harus mematuhi syarat-syarat yang diberikan oleh pemerintah kepada perseroan.salah satunya yaitu persyaratan untuk mencegah bahaya lingkungan yang termasuk dalam tujuan sistem perizinanan sebagaimana diatur dalam pasal 22 ayat (1) undang-undang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bahwa “ setiap usaha dan atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal. 44Selain itu, perseroan juga harus menaati ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dalam hubungannya dengan TJSL maka ketentuan yang dimaksud dalam UU PT dan PP TJSL.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan Hidup memuat empat jenis sanksi hukum administrasi sebagaimana tercantum dalam pasal 76 ayat (2) yaitu teguran tertulis, paksaan Pemerintah,, pembekuan ijin lingkungan dan pencabutan ijin lingkungan45. Sedangkan dalam ketentuan undang-undang nomor 25 tahun 2009 Tentang Pasar modal memuat tiga jenis sanksi hukum administrasi sebagaimana tercantum dalam pasal 34 ayat (1) yaitu peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, dan pembekuan atau pencabutan kegiatan usaha dan/atau pasilitas penanam modal. 46

44 Pasal 22 ayat (1) undang-undang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, perseroan harus

memiliki amdal

45

Pasal 76 ayat (2) undang-undang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup tentang sanksi hukum administrasi

46

Referensi

Dokumen terkait

Pada semua kontrol negatif terjadi penurunan berat badan seiring dengan meningkatnya angka parasitemia, sedangkan pada kelompok perlakuan semakin tinggi dosis ekstrak tidak

Apabila dosen pengasuh mata kuliah tidak menyerahkan nilai sesuai dengan batas waktu yang ditentukan setelah Ujian Akhir Semester (UAS), maka keputusan Nilai Akhir akan ditentukan

o Asesmen awal medis dilaksanakan dalam 24 jam pertama sejak rawat inap atau lebih dini/cepat sesuai kondisi pasien atau kebijakan rumah sakit.. o Asesmen awal keperawatan

Pendayagunaan harta benda wakaf di wilayah Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Trenggalek yang berbentuk sarana kegiatan ibadah, sarana kegiatan pendidikan, sarana

Cu dapat ditukar & mudah larut Cu terjerap Cu terikat

Dari hasil penelitian ini menunjukan bahwa pemberdayaan yang dilakukan oleh kelompok Maju Pemuda Makmur sudah terlaksana dengan baik dan salah satu diantara pemberdayaan

Masyarakat saat ini mengalami banyak peningkatan terhadap kebutuhan konsumsi energi listrik, namun ada kalanya dilakukan pemeliharaan trafo distribusi tersebut artinya

Kantor Camat Cakranegara Kota Mataram mempunyai tugas pokok melaksanakan kewenangan Pemerintah Daerah yang dilimpahkan oleh Walikota kepada Camat sebagai Perangkat