• Tidak ada hasil yang ditemukan

TESIS KOMBINASI NEURO DEVELOPMENTAL TREATMENT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TESIS KOMBINASI NEURO DEVELOPMENTAL TREATMENT"

Copied!
132
0
0

Teks penuh

(1)

LEBIH BAIK DARIPADA HANYA

NEURO

DEVELOPMENTAL TREATMENT

UNTUK

MENINGKATKAN KESEIMBANGAN

BERDIRI ANAK

DOWN SYNDROME

DHOFIRUL FADHIL DZIL IKROM AL HAZMI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2013

(2)

LEBIH BAIK DARIPADA HANYA

NEURO

DEVELOPMENTAL TREATMENT

UNTUK

MENINGKATKAN KESEIMBANGAN

BERDIRI ANAK

DOWN SYNDROME

DHOFIRUL FADHIL DZIL IKROM AL HAZMI NIM 1190361010

PROGRAM PASCASARJANA

PROGRAM STUDI FISIOLOGI OLAHRAGA

KONSENTRASI FISIOTERAPI

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(3)

ii

MENINGKATKAN KESEIMBANGAN

BERDIRI ANAK

DOWN SYNDROME

Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister

pada Program Magister, Program Studi Fisiologi Olah Raga – Konsentrasi Fisioterapi, Program Pascasarjana Universitas Udayana

DHOFIRUL FADHIL DZIL IKROM AL HAZMI NIM 1190361010

PROGRAM PASCASARJANA

PROGRAM STUDI FISIOLOGI OLAHRAGA

KONSENTRASI FISIOTERAPI

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

(4)

iii

TANGGAL 2 OKTOBER 2013

Mengetahui, Pembimbing I,

Prof. dr. Ketut Tirtayasa, MS. AIF NIP. 19501231 1980031 015

Pembimbing II,

Muh. Irfan, SKM, SSt.FT, M.Fis NIP. 0302037701

Ketua Program Studi Fisiologi Olahraga – Fisioterapi Program Pascasarjana

Universitas Udayana,

Prof. Dr. dr. Alex Pangkahila, M.sc, SP.And NIP. 19440201 196409 1 001 Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi, Sp.S(K) NIP. 195902151985102001

(5)

iv

Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor

Universitas Udayana, No.: 1815/UN.14.4/HK/2013, Tanggal 25 September 2013

Ketua : Prof. dr. Ketut Tirtayasa, MS. AIF Sekretaris : Muh. Irfan, SKM, SSt.FT, M.Fis 1. Dr. dr. I Ketut Wijaya, M.Erg

2. S. Indra Lesmana, SKM, SSt.FT, M.Or 3. Dr. dr. I Made Jawi, M.Kes

(6)

v

Laman: www.unud.ac.id

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Dhofirul Fadhil Dzil Ikrom Al Hazmi

Nim : 1190361010

Program Studi : Magister Fisiologi Olahraga Konsentrasi Fisioterapi

Judul Tesis : Kombinasi Neuro Developmental Treatment Dan Sensory Integration Lebih Baik Daripada Hanya Neuro Developmental Treatment Untuk Meningkatkan Keseimbangan Berdiri Anak Down Syndrome

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 02 Oktober 2013 Pembuat Pernyataan

(Dhofirul Fadhil Dzil Ikrom Al Hazmi) NIM: 1090361010

(7)

vi

kesehatan serta kemampuan untuk menyelesaikan tesis ini.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. dr. Ketut Tirtayasa, MS. AIF, pembimbing-1 yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti program magister, khususnya dalam menyelesaikan tesis ini. Terima kasih sebesar-besarnya pula penulis sampaikan kepada Muh. Irfan, SKM, SSt.FT, M.Fis, pembimbing-2 yang dengan penuh perhatian dan kesabaran telah memberikan bimbingan dan saran kepada penulis.

Ucapan yang sama juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana Prof.Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD, KEMD yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana. Ucapan terima kasih ini juga ditujukan kepada Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana yang dijabat oleh Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi, Sp.S(K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan rasa terima kasih yang tulus disertai penghargaan kepada seluruh dosen yang telah mengajar dan membimbing penulis selama menempuh pendidikan di Program Pascasarjana. Juga penulis ucapkan terima kasih kepada :

1. Umi dan Abi yang telah mengasuh, membesarkan penulis, memberikan motivasi dan didikan agama untuk bekal dunia akhirat. Selalu menjadi Umi dan Abi yang terus menjadi kebanggaan kami. Karena doa Umi dan Abi jua lah Fadhil bisa sampai di tahap ini. Dedikasi Tesis ini ku persembahkan buat Umi dan Abi tercinta dan tersayang.

2. Adik-adikku Fahrusy, Zati, Fildzah dan Zafirah yang selalu memberikan semangat pada penulis untuk menyelesaikan tesis ini.

(8)

vii

Fisioterapi Angkatan 3 (2011) Rasyid, Pak Anto, dan teman-teman semua yang belum disebutkan namanya telah membantu dan membuat penulis menyelesaikan tesis ini.

5. Untuk Keluarga Besar dan orang-orang yang telah membantu penulis untuk menyelesaikan tesis ini, penulis ucapkan terima kasih banyak. Semoga Alloh SWT selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini.

Denpasar, 07 Oktober 2013 Hormat Saya,

(9)

x

LEMBAR PENETAPAN PENGUJI...iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v

UCAPAN TERIMA KASIH... vi

ABSTRAK... viii

ABSTRACT... ix

DAFTAR ISI... x

DAFTAR GAMBAR... xiii

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR LAMPIRAN... xv BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Rumusan Masalah... 6 1.3 Tujuan Penelitian... 6 1.3.1 Tujuan umum... 6 1.3.2 Tujuan khusus... 6 1.4 Manfaat Penelitian... 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA... 8

2.1 Down Syndrome... 8

2.1.1 Pengertian... 8

2.1.2 Patofisiologi down syndrome... 9

2.1.3 Ciri-ciri umum down syndrome... 12

2.2 Keseimbangan berdiri... 13

2.2.1 Keseimbangan statis... 15

2.2.2 Keseimbangan dinamis... 15

2.2.3 Reseptor-reseptor utama untuk keseimbangan... 18

2.2.3.1 Reseptor somatosensoris... 18

2.2.3.2 Input visual... 19

2.2.3.3 Vestibular... 19

2.2.4 Komponen motoris keseimbangan... 21

2.2.4.1 Reflek... 21

2.2.4.2 Strategi pergelangan kaki (ankel strategy)... 22

2.2.4.3 Strategi pinggul (hip strategy)... 22

2.2.4.4 Strategi melangkah (straping strategy) dan menjangkau... 23

2.2.4.5 Strategi menunda (suspensory strategy)... 23

2.3 Neuro Development Treatment... 23

2.3.1 Pengertian... 23

2.3.2 Dasar pemikiran neuro development treatment... 24

2.3.3 Perkembangan konsep neuro development treatment dan aplikasinya... 25

(10)

xi

2.4.2.3 Sensory discrimination disorder (SDD)... 32

2.3.3 Prinsip terapi... 32

2.3.3.1 Sistem taktil... 34

2.3.3.2 Sistem vestibular... 34

2.3.3.3 Sistem propioseptif... 36

2.5 Sixteen Balance Test... 39

2.5.1 Berdiri pada permukaan keras... 40

2.5.2 Berdiri pada permukaan keras dengan mata tertutup... 40

2.5.3 Berdiri pada permukaan lunak... 40

2.5.4 Berdiri pada permukaan lunak dengan mata tertutup... 41

2.5.5 Berdiri dengan 1 tungkai... 41

2.5.6 Berdiri dengan 1 tungkai diatas balok keseimbangan... 41

2.5.7 Berdiri dengan 1 tungkai diatas balok keseimbangan dengan mata tertutup... 42

2.5.8 Time up and go test... 42

2.5.9 Berjalan maju pada garis... 42

2.5.10 Berjalan maju diatas balok keseimbangan... 43

2.5.11 Berjalan maju “heel-to-toe” pada garis... 43

2.5.12 Berjalan maju “heel-to-toe” pada balok keseimbangan... 43

2.5.13 Berdiri ke duduk... 43

2.5.14 Melangkahi balok keseimbangan... 44

2.5.15 Maju menggapai benda... 44

2.5.16 Berputar 360°... 44

BAB III KERANGKA BERFIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN... 45

3.1 Kerangka Berfikir... 45

3.2 Kerangka Konsep Penelitian... 46

3.3 Hipotesis... 47

BAB IV METODE PENELITIAN... 48

4.1 Rancangan Penelitian... 48

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian... 49

4.3 Penentuan Sumber Data... 49

4.3.1 Populasi... 49

4.3.2 Sampel... 49

4.3.2.1 Kriteria inklusi... 49

4.3.2.2 Kriteria eksklusi... 50

4.3.3 Besar sampel... 50

4.3.4 Tehnik pengambilan sampel... 51

4.4 Variabel Penelitian... 52

(11)

xii

4.7.4 Tahap pelaksanaan penelitian... 61

4.7.5 Alur penelitian... 62

4.8 Analisis Data... 63

BAB V HASIL PENELITIAN... 66

5.1 Karakteristik Subjek Penelitian... 66

5.2 Uji Homogenitas Data... 67

5.3 Uji Normalitas Data... 68

5.4 Pengujian Peningkatan Skor Sixteen Balance Test Kelompok-1 Neuro Developmental Treatment... 68

5.5 Pengujian Peningkatan Skor Sixteen Balance Test Kelompok-2 Kombinasi Neuro Developmental Treatment dan Sensory Integration... 69

5.6 Uji Perbedaan Skor Sixteen Balance Test Sebelum Perlakuan Kelompok-1 dan Sebelum Perlakuan Kelompok-2... 70

5.7 Uji Perbedaan Skor Sixteen Balance Test Setelah Perlakuan Kelompok-1 dan Setelah Perlakuan Kelompok-2... 71

BAB VI PEMBAHASAN PENELITIAN... 72

6.1 Kondisi Subjek Penelitian... 72

6.2 Distribusi dan Varians Subjek Penelitian... 75

6.3 Pengujian Keseimbangan Berdiri dengan Skor Sixteen Balance Test Sebelum Perlakuan Kedua Kelompok... 76

6.4 Pengujian Metode Neuro Develompental Treatment dapat Meningkatkan Keseimbangan Berdiri Anak Down Syndrome... 77

6.5 Pengujian Kombinasi Metode Neuro Develompental Treatment dan Sensory Integration dapat Meningkatkan Keseimbangan Berdiri Anak Down Syndrome... 78

6.6 Kombinasi Metode Neuro Develompental Treatment dan Sensory Integration Lebih Baik Daripada Hanya Metode Neuro Develompental Treatment Untuk Meningkatkan Keseimbangan Berdiri Anak Down Syndrome... 81

6.7 Keterbatasan Penelitian... 82

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN... 83

7.1 Simpulan... 83

7.2 Saran... 83

DAFTAR PUSTAKA...84 LAMPIRAN-LAMPIRAN

(12)

xiii

2.4 Area Sensory di Otak... 33

3.1 Bagan Kerangka Konsep... 46

4.1 Rancangan Penelitian... 48 4.2 Tehnik Inhibisi... 53 4.3 Tehnik Fasilitasi... 54 4.4 Tehnik Stimulasi... 55 4.5 Input Taktil... 55 4.6 Input Propioseptif... 56 4.7 Input Vestibular... 56

4.8 Down Syndrome with Balance Standing Deficit... 57

4.9 Pelatihan Sixteen Balance Test... 59

(13)

xiv

5.2 Hasil Uji Homogenitas Varian Subjek Kedua Kelompok... 67 5.3 Hasil Uji Normalitas Skor Sixteen Balance Test Sebelum dan Setelah

Perlakuan... 68 5.4 Uji Hipotesis Peningkatan Skor Sixteen Balance Test pada Kelompok-1 Sebelum dan Setelah Perlakuan... 69 5.5 Uji Hipotesis Peningkatan Skor Sixteen Balance Test pada Kelompok-2 Sebelum dan Setelah Perlakuan...69 5.6 Rerata Skor Sixteen Balance Test Sebelum Perlakuan pada Kelompok-1 dan

Kelompok-2... 70 5.7 Rerata Skor Sixteen Balance Test Setelah Perlakuan pada Kelompok-1 dan

(14)

xv

Lampiran 4 16 Rangkaian Test Sixteen Balance Test Lampiran 5 Alat Instrument Sixteen Balance Test

Lampiran 6 Data Kelompok-1 dan Kelompok-2 Lampiran 7 Data Statistik

(15)

viii

MENINGKATKAN KESEIMBANGAN BERDIRI ANAK DOWN SYNDROME

Masalah kesehatan pada anak berkebutuhan khusus ada yang dibawa sejak lahir atau kongenital seperti down syndrome. Pada anak down syndrome sering ditemukan adanya gangguan keseimbangan berdiri yang menyebabkan ia tidak dapat mempertahankan postur tubuh terhadap gangguan yang datang. Jika ini dibiarkan tentu akan menimbulkan permasalahan perkembangan motorik selanjutnya. Fisioterapi mempunyai metode neuro developmental treatment dan sensory integration. Dalam hal ini penulis ingin membandingkan kombinasi neuro developmental treatment dan sensory integration dengan neuro developmental treatment pada anak down syndrome dengan permasalahan keseimbangan berdiri.

Metode penelitian ini eksperimental dengan rancangan penelitian randomized pre and post test group design. Sampel pada penelitian ini sebanyak 18 anak down syndrome yang mengalami permasalahan keseimbangan berdiri dan waktu penelitian selama dua bulan. Kelompok dibagi menjadi dua, yaitu kelompok-1 (neuro developmental treatment) dan kelompok-2 (neuro developmental treatment dan

sensory integration). Instrumen pengukuran yang digunakan adalah sixteen balance test yang di ukur sebelum perlakuan (0-session) dan sesudah perlakuan (6-session) pada masing-masing subjek.

Hasil pada penelitian ini didapatkan data deskriptif sampel pada kedua kelompok dengan usia 2-4 tahun, jenis kelamin laki-laki dan perempuan, tinggi badan 70-85 cm dan berat badan 8-13 kg. Data sebelum dan setelah perlakuan kelompok-1 berdistribusi normal. Kemudian data sebelum dan setelah perlakuan kelompok-2 berdistribusi normal. Berdasarkan uji kompabilitas kedua variabel pada kedua kelompok, pengujian hipotesis menggunakan data setelah perlakuan. Variabel

sixteen balance test pada kedua kelompok menggunakan uji hipotesis independent sample t-test didapatkan nilai p = 0,034.

Kesimpulan yang didapatkan nilai p<0,05. Nilai tersebut menjelaskan kombinasi

neuro developmental treatment dan sensory integration lebih baik daripada hanya

neuro developmental treatment untuk meningkatkan keseimbangan berdiri anak

down syndrome.

Kata kunci : neuro developmental treatment, sensory integration, down syndrome, keseimbangan berdiri, sixteen balance test.

(16)

ix

THE BALANCE OF STAND IN CHILDREN WITH DOWN SYNDROME

One of health problem in child with special need is existed at birth (congenital), such as Down Syndrome. Child with down syndrome often get balance disturbance in stand which causes he cannot keep the body posture from the disturbance. This condition may causes the problem with his further motor development. There is neuro developmental treatment and sensory integration method in physiotherapy. The study aims to compare the combination of neuro developmental treatment and sensory integration with neuro developmental treatment in child with down syndrome who get balance disturbance in stand.

The study is an experimental research using randomized pre and post-test group design. The samples were 18 children with down syndrome which got balance disorder in stand. The study spent two months. There were two groups. The group one was treated using neuro developmental treatment and group two was used neuro developmental treatment and sensory integration. The Measuring instrument used sixteen balance test which was included pre (0-session) and post (6-session) test for each subject.

The descriptive data for both of groups are age: 2-4 years old children with down syndrome, sex: male and female, height: 70-85 cm and weight: 8-13 kg. The pre-test data of group one does not show normal distribution, but the post-test data shows normal distribution. Both of pre-test and post-test data of group two show normal distribution. According to compatibility test to both of groups, the hypothesis test used post-test data. The variable of sixteen balance test that used independent sample t-test both of groups which p value= 0,034.

This study has two conclusions. First conclusion is got from the percentage of static sixteen balance test variable which shows p value < 0,05. The value illustrates that the using the combination of neuro developmental treatment and sensory integration is better than just using neuro developmental treatment to improve the balance of stand.

Key words: neuro developmental treatment, sensory integration, down syndrome, the balance of stand, sixteen balance test.

(17)

1 1.1Latar Belakang Masalah

Anak mengalami proses tumbuh kembang yang dimulai sejak dari dalam kandungan, masa bayi, dan balita. Setiap tahapan proses tumbuh kembang anak mempunyai ciri khas tersendiri, sehingga jika terjadi masalah pada salah satu tahapan tumbuh kembang tersebut akan berdampak pada kehidupan selanjutnya. Tidak semua anak mengalami proses tumbuh kembang secara wajar sehingga terdapat anak yang memerlukan penanganan secara khusus.

Masalah kesehatan pada anak berkebutuhan khusus ada yang dibawa sejak lahir atau kongenital seperti down syndrome. Pada anak down syndrome sering ditemukan adanya gangguan keseimbangan berdiri yang menyebabkan ia tidak dapat mempertahankan postur tubuh terhadap gangguan yang datang. Jika ini dibiarkan tentu akan menimbulkan permasalahan perkembangan motorik selanjutnya.

Penelitian yang dilakukan oleh Harris (2008) tentang Effects of Neurodevelopmental Therapy on Motor Performance of Infants with Down's

Syndrome. Tujuan dari penelitian tersebut adalah melihat perkembangan gerak pada bayi down syndrome dengan diberikan neurodevelopmental therapy selama 2 bulan didapatkan hasil yang signifikan.

Sensory integration (SI) adalah sebuah proses otak alamiah yang tidak disadari. Dalam proses ini informasi dari seluruh indera akan dikelola kemudian diberi arti lalu disaring, mana yang penting dan mana yang diacuhkan. Proses ini

(18)

memungkinkan kita untuk berprilaku sesuai dengan pengalaman dan merupakan dasar bagi kemampuan akademik dan prilaku sosial (Nanaholic, 2012).

Sensory integration adalah pengorganisasian sensasi untuk penggunaan sebuah proses yang berlangsung di dalam otak yang memungkinkan kita memahami dunia kita dengan menerima, mengenali, mengatur, menyusun dan menafsirkan informasi yang masuk ke otak melalui indra kita. Pengintegrasian sensoris adalah dasar untuk memberikan respon adaptif terhadap tantangan yang ditimbulkan oleh lingkungan dan pembelajaran (Waluyo dan Surachman, 2012).

Sensory integration adalah proses pengorganisasian masukan sensorik. Fungsi pembelajaran tergantung pada kemampuan anak untuk memanfaatkan informasi sensorik yang di dapat dari lingkungannya. Mengintegrasikan informasi kemudian menjadi rencana adalah sebuah bentuk tujuan perilaku. Intervensi integratif sensorik, stimulasi vestibular, pendekatan terapi perkembangan saraf merupakan metode yang efektif digunakan sebagai terapi okupasi / fisioterapi (Uyanik and Kayihan, 2013).

Neuro developmental treatment (NDT) merupakan salah satu pendekatan yang paling umum digunakan untuk intervensi anak-anak dengan gangguan perkembangan. Metode ini pertama kali digunakan untuk terapi anak-anak pada kondisi cerebral palsy. Kemudian metode ini digunakan juga untuk kondisi gangguan perkembangan pada anak lainnya. Pendekatan NDT berfokus pada normalisasi otot hypertone atau hypotone. Intervensi penanganan NDT melatih reaksi keseimbangan, gerakan anak, dan fasilitasi. NDT adalah metode terapi yang populer dalam pendekatan intervensi pada bayi dan anak-anak dengan disfungsi neuromotor (Uyanik and Kayihan, 2013).

(19)

Neuro developmental treatment, pertama kali dikenalkan dengan istilah Pendekatan Bobath yang dikembangkan oleh Berta Bobath seorang fisioterapis, dan dr. Karel Bobath di akhir 1940-an, untuk memenuhi kebutuhan orang-orang dengan gangguan gerak. NDT dianggap sebagai pendekatan management terapi yang komprehensif diarahkan ke fungsi motor sehari-hari yang relevan. NDT biasanya dipakai untuk rehabilitasi pada bayi, cerebral palsy, down syndrome dan gangguan perkembangan motorik lainnya (Degangi and Royyen, 1994).

Down syndrome (DS) adalah suatu kondisi keterbelakangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromosom. Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan (Judarwanto, 2012). Kromosom merupakan serat-serat khusus yang terdapat di dalam setiap sel di dalam badan manusia dimana terdapat bahan-bagan genetik yang menentukan sifat-sifat seseorang (Miftah, 2013). DS adalah ketidakmampuan yang ditandai dengan keterbatasan yang signifikan baik dari fungsi intelektual dan prilaku adaptif seperti yang diungkapkan dalam keterampilan adaptif konseptual, sosial, dan praktis (Uyanik and Kayihan, 2013).

Disfungsi integrasi sensorik mempunyai berbagai tingkatan pada anak-anak DS. Anak dengan DS memiliki masalah untuk menjaga keseimbangan mereka, baik sambil berdiri dan berjalan. Gangguan fungsi pada extremitas bawah membuat dirinya berbeda dari orang normal. Kompensasi dari gangguan tersebut menyebabkan berlebihnya usaha / upaya untuk mempertahankan agar tubuh mampu menjaga keseimbangan (Marchewka and Chwala, 2008).

(20)

Down syndrome seringkali mengalami keterbelakangan kemampuan motorik, seperti terlambat berdiri dan berlari. Miftah (2013) mengatakan bahwa 73% dari anak-anak DS baru mampu berdiri pada usia 24 bulan, dan 40% bisa berjalan pada usia 24 bulan.

Pada penelitian Ulrich et al (2001) mengemukakan bayi dengan DS mulai berdiri rata-rata sekitar 1 tahun dibandingkan bayi yang normal. Ini merupakan bagian dari kemampuan motorik yang tertunda antara bayi DS dan bayi normal yang dapat dilihat dari usia nya. Berdiri adalah keterampilan yang sangat penting untuk anak-anak karena dampaknya bersifat multidimensi, mempengaruhi kognitif, sosial, serta perkembangan motorik selanjutnya.

Motorik adalah semua gerakan yang mungkin dilakukan oleh seluruh tubuh, sedangkan perkembangan motorik sebagai perkembangan dari unsur kematangan dan pengendalian gerak tubuh. Perkembangan motorik erat kaitannya dengan perkembangan pusat motorik di otak (Lifya, 2012).

Perkembangan motorik yaitu perkembangan pengendalian gerakan tubuh melalui kegiatan yang terkoordinir antara saraf dan otak. Perkembangan motorik meliputi motorik kasar dan halus. Motorik kasar adalah gerakan tubuh menggunakan otot-otot besar atau seluruh anggota tubuh yang dipengaruhi oleh kematangan anak itu sendiri. Misalnya merayap, merangkak dan berjalan (Wulan, 2012).

Pada penelitian Galli et al. (2008) mengatakan bahwa anak dengan DS memiliki keterlambatan perkembangan motorik terkait oleh adanya hipotonus otot dan kelenturan sendi (laxity) yang menjadi karakteristik pada DS. Peran fisioterapi sedini

(21)

mungkin harus fokus pada kontrol gerak dan koordinasi untuk mencapai tahap perkembangan.

Ketika berdiri tentu harus mempunyai basic yang baik dari segi kematangan keseluruhan otot, propioseptif, taktil dan vestibular. Pada anak DS memiliki masalah dengan menjaga keseimbangan mereka baik sambil berdiri dan berjalan yang disebabkan oleh hypotone dan mobilitas sendi yang berlebihan. Selain terganggu pada keseimbangan, pengembangan reaksi postural dari pola postur dan gerak juga tidak cukup baik pada anak dengan DS (Marchewka and Chwala 2008).

Penelitian terdahulu yang dikembangkan oleh Alireza (2010) tentang

comparison beetwen the effect of neuro developmental treatment and sensory

integration therapy on gross motor function in children with cerebral palsy. Tujuan dari penelitian tersebut adalah memperbaiki gross motor function pada anak cerebral palsy. Dari dua alternatif metode yang telah di teliti oleh Harris 2008 dan Alireza 2010 membuat penulis tertarik untuk meneliti bagaimana jika motode sensory integration dan neuro developmental treatment digunakan untuk kasus down syndrome dengan permasalahan keseimbangan berdiri.

Melihat dari latar belakang tersebut diatas peneliti mengambil judul tentang Kombinasi Neuro Developmental Treatment Dan Sensory Integration Lebih Baik Daripada Hanya Neuro Developmental Treatment Untuk Meningkatkan Keseimbangan Berdiri Anak Down Syndrome.

(22)

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah diatas maka rumusan masalah yang disampaikan sebagai berikut :

1 Apakah neuro developmental treatment meningkatkan keseimbangan berdiri pada anak down syndrome di Klinik Griya Fisio Bunda Novy Yogyakarta ? 2 Apakah kombinasi neuro developmental treatment dan sensory integration

meningkatkan keseimbangan berdiri pada anak down syndrome di Klinik Griya Fisio Bunda Novy Yogyakarta ?

3 Apakah kombinasi neuro developmental treatment dan sensory integration lebih baik daripada hanya neuro developmental treatment untuk meningkatkan keseimbangan berdiri anak down syndrome di Klinik Griya Fisio Bunda Novy Yogyakarta ?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini ialah : 1.3.1 Tujuan umum

Kombinasi neuro developmental treatment dan sensory integration lebih baik daripada hanya diberikan neuro developmental treatment untuk meningkatkan keseimbangan berdiri anak down syndrome di Klinik Griya Fisio Bunda Novy Yogyakarta.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui neuro developmental treatment dapat meningkatkan keseimbangan berdiri pada anak down syndrome di Klinik Griya Fisio Bunda Novy Yogyakarta.

(23)

2. Untuk mengetahui kombinasi neuro developmental treatment dan sensory integration dapat meningkatkan keseimbangan berdiri pada anak down syndrome di Klinik Griya Fisio Bunda Novy Yogyakarta.

3. Untuk mengetahui kombinasi neuro developmental treatment dan sensory integration lebih baik daripada neuro developmental treatment untuk meningkatkan keseimbangan berdiri anak down syndrome di Klinik Griya Fisio Bunda Novy Yogyakarta.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan pada penelitian ini adalah:

1. Memperoleh data yang empirik tentang penggabungan dua metode yaitu neuro developmental treatment dan sensory integration dalam meningkatkan keseimbangan berdiri anak down syndrome di Klinik Griya Fisio Bunda Novy Yogyakarta.

2. Sebagai pedoman bagi Fisioterapis untuk upaya meningkatkan pelayanan fisioterapi paripurna khususnya pada intervensi pediatri.

(24)

8 2.1 Down Syndrome

2.1.1 Pengertian

Down syndrome (DS) adalah suatu kondisi keterbelakangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas kromosom. Kromosom ini terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadi pembelahan (Judarwanto, 2012). DS adalah ketidakmampuan yang ditandai dengan keterbatasan yang signifikan baik dari fungsi intelektual dan prilaku adaptif seperti yang diungkapkan dalam keterampilan adaptif konseptual, sosial, dan praktis (Uyanik and Kayihan, 2013).

Down syndrome dinamai sesuai nama dokter berkebangsaan Inggris bernama Langdon Down, yang pertama kali menemukan tanda-tanda klinisnya pada tahun 1866. Pada tahun 1959 seorang ahli genetika Perancis Jerome Lejeune dan para koleganya, mengidentifikasi basis genetiknya. Manusia secara normal memiliki 46 kromosom, sejumlah 23 diturunkan oleh ayah dan 23 lainnya diturunkan oleh ibu. Para individu yang mengalami DS hampir selalu memiliki 47 kromosom bukan 46. Ketika terjadi pematangan telur, 2 kromosom pada pasangan kromosom 21, yaitu kromosom terkecil gagal membelah diri. Jika telur bertemu dengan sperma akan terdapat kromosom 21 yang istilah teknisnya adalah trisomi 21. DS bukanlah suatu penyakit maka tidak menular, karena sudah terjadi sejak dalam kandungan (Ardiansyah, t.t).

(25)

Down syndrome adalah gangguan yang terdiri dari beberapa kelainan kongenital kira-kira 93% yang muncul extra kromosom 21 dari kasus DS. Cacat mental yang paling menonjol tingkatnya dapat bervariasi dari keterbelakangan mental berat dan keterbelakangan mental ringan. Perkembangan motorik DS umumnya ditandai dengan keterbelakangan mental dan itu akan berlangsung dalam waktu yang lama sehingga dapat menjadi suatu kecacatan. DS telah dikenal lama sebagai gangguan cacat mental. Kenyataannya bahwa masalah-masalah pengembangan motorik seperti pola gerak abnormal, gangguan keseimbangan juga muncul sebagai gangguan lain dari cacat mental, hal ini nampaknya tidak diperhatikan (Lauteslager, 2004).

2.1.2 Patofisiologi down syndrome

Tubuh manusia memiliki sel di dalamnya terdapat nukleus, dimana materi genetik disimpan dalam gen. Gen membawa kode yang bertanggung jawab atas semua sifat yang diwarisi oleh orangtua kemudian dikelompokkan bersama batang seperti struktur yang disebut kromosom. Biasanya, inti dari setiap sel mengandung 23 pasang kromosom. DS terjadi ketika seorang individu memiliki salinan ekstra yang terjadi pada kromosom 21 (Anonim, t.t).

Down syndrome biasanya memiliki 47 kromosom bukan 46 kromosom. Pada DS memiliki kromosom extra atau tambahan gen yang terdapat pada kromosom 21. Untuk mengetahui atau mendeteksi terjadinya DS harus melalui prosedur yang disebut kariotipe. Kariotipe adalah suatu visual yang menampilkan kromosom lalu dikelompokkan menurut ukuran, jumlah dan bentuk. Kromosom dapat diketahui dengan memeriksa darah atau sel-sel jaringan. Masing-masing kromosom diidentifikasi mulai dari yang terbesar sampai terkecil, 95% dari kejadian DS

(26)

mempunyai kromosom ke 3 (tambahan) yang disebut juga dengan trisomi 21 (Anonim, t.t).

Down syndrome terjadi karena kelainan susunan kromosom ke-21, dari 23 kromosom manusia. Pada manusia normal, 23 kromosom tersebut berpasang-pasangan hingga jumlahnya menjadi 46. Pada penderita DS, kromosom nomor 21 tersebut berjumlah tiga (trisomi), sehingga totalnya menjadi 47 kromosom. Jumlah yang berlebihan tersebut mengakibatkan ketidakstabilan pada sistem metabolisme sel, yang akhirnya memunculkan DS. Hingga saat ini, penyebab terjadinya DS dikaitkan dengan hubungan antara usia sang ibu ketika mengandung dengan kondisi bayi. Yaitu semakin tua usia ibu, maka semakin tinggi pula risiko melahirkan anak DS (Miftah, 2013).

Selama masa pembuahan, cedera otak bisa terjadi bila ada faktor genetik yang memengaruhi, seperti kelainan kromosom yang menyebabkan kelainan otak pada anak down syndrome. Anak yang mengalami cedera otak kehilangan kemampuan untuk menyerap informasi (sensorik) dan merespons informasi (motorik) (Indriasari, 2011).

Kromosom dapat dianggap sebagai pengaruh penting untuk perkembangan otak, dan karena kelainan kromosom dapat mengganggu perkembangan otak pada semua tahap. Seperti perkembangan otak di ganglia basal, hipotalamus mengalami gangguan neurologis (Bremner and Wachs, 2010).

Irfan (2010) mengakatakan bahwa ganglia basal memiliki peran kompleks dalam mengontrol gerakan selain memiliki fungsi-fungsi non-motorik yang masih belum diketahui. Secara khusus, ganglia basal penting dalam perkembangan tonus otot di

(27)

seluruh tubuh. Pada down syndrome ganglia basal tidak berkembang dengan baik untuk melaksanakan peran-peran integratif yang kompleks.

Kelebihan kromosom menyebabkan perubahan dalam proses normal yang mengatur embriogenesis. Materi genetik yang berlebih tersebut terletak pada bagian lengan bawah dari kromosom 21 dan interaksinya dengan fungsi gen lainnya menghasilkan suatu perubahan homeostasis yang memungkinkan terjadinya penyimpangan perkembangan fisik (kelainan otot), SSP (penglihatan, pendengaran, keseimbangan) dan kecerdasan yang terbatas (Ratna, t.t).

Lauteslager (2004) menyatakan bahwa otak anak-anak DS menunjukkan karakteristik dari ketidakdewasaan neurologis dalam hal convolutions

(penggabungan) yang lebih kecil dari korteks serebral dan mengurangi mielinasi

misalnya, lobus frontal dan cerebellum. Neuron di korteks terlalu sedikit, terutama dari lobus temporal, tetapi juga di lobus frontal, parietal, dan oksipital. Pada anak DS menunjukkan penurunan di korteks oksipital sekitar 50% dan peningkatan dari satu setengah kali dalam ukuran inti sel dalam neuron yang tersisa, dalam hal ini gangguan koneksi dalam proses diferensiasi sel. Hal lain menggambarkan ada gangguan dalam struktur dendrit neuron piramidal di korteks motorik. Irfan (2010) mengatakan area kortek motorik merupakan tempat asal kortikospinalis dan

kortikobulbaris, umumnya dianggap daerah yang perangsangannya cepat menghasilkan gerakan tersendiri. Kortek yang paling dikenal adalah korteks motorik di girus prasentralis. Namun terdapat daerah motorik suplementer diatas tepi superior sulkus singulatum disisi medial hemisfer yang mencapai korteks pramotorik di permukaan lateral otak. Selain gangguan struktural, pengembangan neuron tampak

(28)

normal selama kehamilan, namun setelah kehamilan jumlah dendrit berkurang dibandingkan dengan anak normal.

Keterlambatan mengidentifikasi atlantoaxial dan atlanto-occipital yang tidak stabil dapat mengakibatkan kerusakan pada saraf spinal yang irreversibel. Gangguan pendengaran, visus, retardasi mental dan defek yang lain akan menyebabkan keterbatasan kepada anak–anak dengan down syndrome dalam meneruskan kelangsungan hidup. Mereka juga akan menghadapi masalah dalam pembelajaran, proses membangunkan upaya berbahasa, kemampuan interpersonal, dan kemampuan motorik (Villarroya et al, 2012).

2.1.3 Ciri-ciri umum down syndrome

Down syndrome memiliki ciri yang khas yaitu : tonus otot rendah, wajah datar, hidung pesek, hypermobilitas sendi, ruas pada jari-jari memiliki space yang lebih luas, ukuran lidah cendrung lebih panjang dari ukuran normal. Anak DS akan mengalami gangguan kognitif (ringan sampai sedang), dan akan mengalami keterlambatan perkembangan motorik seperti merangkak, duduk, berdiri dan berjalan (Anonim, t.t).

Down syndrome mempunyai wajah yang khas, misalnya karena ada gangguan pada pertumbuhan tulang, maka tulang dahinya lebih datar, mata kiri dan mata kanan agak berjauhan, posisi daun telinganya lebih rendah. Yang jelas, wajahnya sangat spesifik mongolism dan mengalami retardasi mental (An, 2010).

(29)

2.2 Keseimbangan Berdiri

Banyak penulis mengasumsikan hubungan antara karakteristik neuro-anatomi DS dan anak normal dari kemampuan motorik mereka, seperti kurangnya keseimbangan, koordinasi gerakan dan tonus otot yang lemah pada anak DS (Lauteslager, 2004).

Keseimbangan adalah kemampuan tubuh untuk mempertahankan keseimbangan dan kestabilan postur oleh aktivitas motorik tidak dapat dipisahkan dari faktor lingkungan dan sistem regulasi yang berperan dalam pembentukan keseimbangan. Tujuan tubuh mempertahankan keseimbangan adalah menyanggah tubuh melawan gravitasi dan faktor eksternal lain, untuk mempertahankan pusat massa tubuh agar sejajar dan seimbang dengan bidang tumpu, serta menstabilisasi bagian tubuh ketika bagian tubuh lain bergerak (Irfan, 2010).

Keseimbangan juga bisa diartikan sebagai kemampuan relatif untuk mengontrol pusat massa tubuh (center of mass) atau pusat gravitasi (center of gravity) terhadap bidang tumpu (base of support). Keseimbangan melibatkan berbagai gerakan di setiap segmen tubuh dengan di dukung oleh sistem muskuloskeletal dan bidang tumpu. Kemampuan untuk menyeimbangkan massa tubuh dengan bidang tumpu akan membuat manusia mampu untuk beraktifitas secara efektif dan efesien (Indriaf, 2010).

Pada penelitian Jalalin (2000) mengatakan kemampuan keseimbangan pada manusia secara kasar dipengaruhi oleh sirkuit saraf tingkat tinggi dan juga sistem lainnya (kognitif dan muskuloskeletal). Pada sistem model equilibrium dinamik

(30)

dikatakan bahwa keseimbangan adalah hasil dari interaksi individu, lingkungan dimana kegiatan dilakukan. Interaksinya dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Sumber: Jalalin (2000)

Gambar 2.1 Sistem Model Dynamic Equilibrium

Keterangan: Sistem model kontrol postural yang menggambarkan siklus konstan yang terjadi secara simultan pada beberapa level. Input sensory dan sistem pemrosesan (gambar pada sisi kiri) dan perencanaan motorik dan pelaksanaan pada sisi kanan.

Kemampuan manusia untuk mempertahankan posisi tegak berdiri tergantung pada integritas sistem visual, vestibular, propioseptif, taktil dan juga integrasi

sensory, sistem saraf pusat, tonus otot yang efektif yang mengadaptasi secara cepat perubahan kekuatan otot dan fleksibilitas sendi. Berdiri adalah posisi tak stabil yang membutuhkan regulasi yang konstan dari kontraksi antara anggota gerak atas dan bawah (Jalalin, 2000).

Mengenai hal tersebut terdapat dua macam keseimbangan menurut Permana (2012) yaitu :

(31)

2.2.1 Keseimbangan statis

Dalam keseimbangan statis, ruang geraknya sangat kecil, misalnya berdiri di atas dasar yang sempit (balok keseimbangan, rel kereta api), melakukan hand stand, mempertahankan keseimbangan setelah berputar-putar di tempat.

2.2.2 Keseimbangan dinamis

Kemampuan orang untuk bergerak dari satu titik atau ruang ke lain titik dengan mempertahankan keseimbangan, misalnya menari, berjalan, duduk ke berdiri, mengambil benda di bawah dengan posisi berdiri dan sebagainya.

Permasalahan yang terjadi pada anak DS yang salah satunya adalah gangguan keseimbangan berdiri, pada posisi berdiri seimbang susunan saraf pusat berfungsi untuk menjaga pusat massa tubuh (center of body mass) dalam keadaan stabil dengan batas bidang tumpu tidak berubah kecuali tubuh membentuk batas bidang tumpu lain (misalnya melangkah). Selain itu masukan (input) visual berfungsi sebagai kontrol keseimbangan, pemberi informasi, serta memprediksi datangnya gangguan. Masukan (input) dari kulit di telapak kaki juga merupakan hal penting untuk mengatur keseimbangan saat berdiri dan saat ingin melangkah (Irfan, 2010).

Irfan (2010) mengatakan bahwa kontrol postur dan gerakan terjadi karena aktivitas motorik somatik sangat bergantung pada pola dan kecepatan lepas muatan saraf motorik spinalis dan saraf homolog yang terdapat di nukleus motorik saraf kranialis. Saraf ini, merupakan jalur terakhir ke otot rangka, yang dibawa oleh impuls dari berbagai jalur.

Berbagai masukan supra segmental juga bertemu di sel saraf ini, yaitu dari segmen spinal lain, batang otak, dan korteks serebrum. Sebagian masukan ini

(32)

berakhir langsung ke saraf motorik, tetapi banyak yang efeknya dilanjutkan melalui neuron antara (interneuron) atau sistem saraf afferen γ ke kumparan otot dan kembali melalui serat afferent lalu ke medulla spinalis. Aktifitas terintegrasi dari tingkat spinal, medulla oblongata, otak tengah dan korteks inilah yang mengatur postur tubuh dan memungkinkan terjadinya gerakan terkoordinasi (Irfan, 2010).

Masukan-masukan yang bertemu di neuron motorik mengatur tiga fungsi yang berbeda antara lain : menimbulkan aktivitas volunter, menyesuaikan postur tubuh untuk menghasilkan landasan yang kuat bagi gerakan dan mengkoordinasikan kerja berbagai otot agar gerakan yang dihasilkan teratur dan tepat. Pola aktivitas volunter direncanakan di otak, kemudian perintah tersebut dikirim ke otot terutama melalui sistem kortikospinalis dan kortikobulbaris (Irfan, 2010).

Postur tubuh secara terus menerus disesuaikan, tidak saja sebelum tetapi juga sewaktu melakukan gerakan oleh sistem pengatur postur. Gerakan diperhalus dan dikoordinasikan oleh serebellum bagian medial dan intermedial (spinoserebellum) dan hubungan-hubungannya. Ganglia basal dan serebellum bagian lateral (neoserebellum) merupakan bagian dari sirkuit umpan balik ke korteks pramotorik dan motorik yang berkaitan dengan perencanaan dan pengaturan gerakan volunter (Irfan, 2010).

Otak kecil memainkan peran sentral terhadap koordinasi gerak dan postur, informasi itu diterima oleh vestibulum dan traktus spinocerebellar. Neokorteks

berinteraksi dari perintah gerakan volunter berasal. Informasi tentang dunia luar diperoleh melalui indra yang lebih tinggi. Selain itu, penyesuaian konstan berlangsung dari korteks cerebellar melalui inti cerebellar untuk ekstra-piramidal

(33)

sirkuit motor di batang otak dan melalui thalamus kembali ke korteks otak. Ketika ada kerusakan cerebellum gangguan yang terlibat adanya masalah koordinasi, keseimbangan, dan hypotonia. penting untuk mengontrol postur, dimana postur di fasilitasi melalui gamma-motor neuron yang diatur pada tingkat batang otak. Tanpa kegiatan dasar fasilitasi dari alpha motor neuron keluar melalui lingkaran gamma. Khususnya ekstensor yang terlibat dalam pemeliharaan postur tubuh, extensor tersebut harus memiliki tonus otot yang cukup dalam sistem ini (Lauteslager, 2004).

Sistem pengatur postur terdapat beberapa mekanisme pengaturan postur. Mekanisme ini mencakup serangkaian nukleus dan banyak struktur, termasuk

medula spinalis, batang otak dan korteks serebrum. Sistem ini tidak hanya berperan dalam postur statik, tetapi juga bersama sistem kortikospinalis dan kortikobulbaris, berperan dalam pencetus dan pengendalian gerakan (Irfan, 2010).

Penyesuaian postur dan gerakan volunter tidak mungkin dipisahkan secara tegas, tetapi dapat diketahui dengan adanya serangkaian reflek postur yang tidak hanya mempertahankan posisi tegak dan seimbang, tetapi terus menerus melakukan penyesuaian untuk mempertahankan latar belakang postur yang stabil untuk aktivitas volunter. Penyesuaian ini mencakup refleks statik dan refleks fasik jangka pendek yang dinamik. Pertama mencakup kontraksi menetap otot-otot, sedangkan yang terakhir melibatkan gerakan-gerakan sesaat. Kedua terintegrasi di berbagai tingkat dalam susunan saraf pusat, dari medula spinalis sampai korteks serebrum dan sebagian besar dipengaruhi melalui berbagai jalur motorik (Irfan, 2010).

Faktor utama kontrol postur adalah variasi ambang refleks regang spinal, yang pada akhirnya disebabkan oleh perubahan tingkat rangsangan neuron motorik dan

(34)

secara tidak langsung oleh perubahan kecepatan lepas muatan oleh neuron afferen γ ke kumparan otot (Irfan, 2010).

Postur adalah posisi atau sikap tubuh dimana tubuh dapat membentuk banyak bentuk yang memungkinkan tubuh dalam posisi yang nyaman selama mungkin. Pada saat berdiri tegak, hanya terdapat gerakan kecil yang muncul dari tubuh, yang biasa disebut dengan ayunan tubuh. Luas dan arah ayunan diukur dari permukaan tumpuan dengan menghitung gerakan yang menekan di bawah telapak kaki, yang disebut pusat tekanan (center of preassure). Jumlah ayunan tubuh ketika berdiri tegak dipengaruhi oleh faktor posisi kaki dan lebar dari bidang tumpu (Irfan, 2010).

Posisi tubuh ketika berdiri dapat dilihat kesimetrisannya dengan kaki selebar sendi panggul, lengan di sisi tubuh, dan mata menatap ke depan. Walaupun posisi ini dapat dikatakan sebagai posisi yang paling nyaman, tetapi tidak dapat bertahan lama karena seseorang akan berganti posisi untuk mencegah kelelahan (Irfan, 2010). 2.2.3 Reseptor-reseptor utama untuk keseimbangan

2.2.3.1 Reseptor somatosensoris

Berlokasi di sendi, kapsula sendi, ligamentum otot, dan kulit memberikan informasi tentang panjang otot, renggangan, tekanan, kontraksi, nyeri, tempratur, tekanan, dan posisi sendi. Kaki, pergelangan kaki, lutut, pinggul, leher, otot, semuanya memperoleh informasi yang lengkap guna memelihara keseimbangan. Di bawah kondisi permukaan penyangga tertentu input somatosensoris memperoleh kontak gaya dan gerakan antara kaki dan permukaan penyangga menguasai kontrol keseimbangan. Bila orang berdiri tetap tegap level permukaan, luas goyangan pusat gravitasi relatif lebih kecil terhadap batas stabil (limit of stability) (Jalalin, 2000).

(35)

2.2.3.2 Input visual

Dalam keadaan permukaan penyangga tidak stabil, input visual berperan penting untuk keseimbangan. Sebagai contoh, bila berjinjit dan berdiri dengan tumpuan pada tumit dalam hubungan langsung terhadap gangguan goyangan anteroposterior input sensoris berguna untuk keseimbangan, goyangan pusat gravitasi secara bermakna berkurang bila mata terbuka dibandingkan dengan mata tertutup.

Input visual mengukur orientasi mata dan kepala dalam hubungan terhadap obyek sekitar. Sentral : memberikan orientasi lingkungan, berperan terhadap persepsi vertikal, dan gerakan obyek dan juga mengidentifikasi risiko dan kesempatan yang ada pada lingkungan. Perifer : mendeteksi gerakan diri sendiri dan hubungannya terhadap lingkungan termasuk gerakan kepala dan goyangan postural (Jalalin, 2000). 2.2.3.3 Vestibular

Bila secara fungsional manfaat input somatosensoris dan visual terdapat dibawah penyangga dan kondisi sekitar visual tertentu, input vestibular memainkan peran mengontrol langsung pusat gravitasi. Hal ini mungkin karena input somatosensoris dan visual lebih peka terhadap goyangan tubuh dibanding sistem vestibular. Peran utama input vestibular dibawah kondisi tersebut mampu berdiri dalam mengontrol gerakan kepala dan mata yang tepat (Jalalin, 2000).

Persepsi sensoris sentral, semua informasi sensoris yang ada di lingkungan yang dikumpulkan oleh reseptor perifer diproses dalam berbagai derajat di otak. Proses ini biasanya merujuk pada integrasi sensoris atau organisasi sensoris. Fungsi struktur sensoris sentral antara lain membandingkan input yang tersedia antara kedua

(36)

sisi dari 3 sistem sensoris bila kedua sisi dari ketiga sistem memberikan input yang cocok, proses organisasi disederhanakan (Jalalin, 2000).

Konflik sensoris, dapat terjadi bila informasi atau kedua sistem tidak sinkron, pemrosesan organisasi sensoris menjadi lebih kompleks, seperti otak harus mempertimbangkan beberapa ketidaksesuaian dan memilih input yang benar mendasari respon motoris (Jalalin, 2000).

Perencanaan motoris sentral, mengingat pemrosesan sensoris memberikan interaksi seseorang dan lingkungannya. Tahap perencanaan motoris berikutnya menentukan bagaimana menyelesaikan sasaran dengan baik dari banyak pilihan yang tersedia. Perencanaan motoris ini harus dikirimkan ke sistem motoris perifer untuk dilaksanakan. Selama pengiriman rekaman dan perencanaan gerakan yang dimaksudkan disampaikan ke serebelum. Bilamana gerakan dimulai, masukan input sensoris (umpan balik) tentang gerakan yang yang dimaksudkan. Kesalahan gerakan (perbedaan antara gerakan yang dimaksud dan gerakan yang sedang berlangsung) dan pola yang salah (sasaran yang diinginkan tidak dapat dicapai) dideteksi dan direncakan untuk dikoreksi lalu dibentuk dan dikirim. Proses kesalahan deteksi dan kesalahan koreksi ini adalah yang mendasari belajar motoris (Jalalin, 2000).

Motoris perifer pelaksana, gerakan dilaksanakan melalui sendi dan otot-ototnya. Lingkup gerak sendi yang normal, kekuatan dan ketahanan normal dari kaki, pergelangan kaki, lutut, pinggul, punggung, leher dan mata harus tersedia untuk melaksanakan lingkup gerakan penuh dari keseimbangan yang normal. Sistem lain yang berpengaruh adalah perhatian, kognitif dan memori, emosi yang stabil, agitasi atau denial terhadap lingkungan (Jalalin, 2000).

(37)

2.2.4 Komponen motoris keseimbangan 2.2.4.1 Reflek

Untuk memelihara keseimbangan dan melakukan aktivitas yang bertujuan saat berdiri dan berjalan, seseorang harus mampu untuk secara aktif mengontrol gerakan pusat gravitasi dibagian bawah abdomen, terdapat 3 sendi. Luasnya variasi pola gerakan dari sudut tersebut (sendi panggul, sendi lutut dan sendi pergelangan kaki) berguna untuk menggerakan pusat gravitasi. Pola gerakan fungsional yang efektif dari sendi pergelangan kaki, sendi lutut dan sendi panggul mengarah pada beberapa pola relatif yang secara umum dikenal dengan strategi gerakan postural (Jalalin, 2000).

Dengan metodologi platform yang bergerak, telah dapat diidentifikasi paling sedikit 3 jenis strategi respon postural reaktif yang digunakan untuk memulihkan keseimbangan.

Sumber: (Jalalin, 2000)

Gambar 2.2 Strategi postural reaktif A. Strategi pergelangan kaki, B. Strategi pinggul, C. Strategi menunda, D. Strategi melangkah.

(38)

2.2.4.2 Strategi pergelangan kaki (ankel strategy)

Menggambarkan kontrol goyangan postural dari pergelangan kaki dan kaki. Gerakan pusat gravitasi tubuh pada strategi pergelangan kaki dengan membangkitkan putaran pergelangan kaki terhadap permukaan penyangga dan menetralkan sendi lutut dan sendi panggul untuk menstabilkan sendi proksimal tersebut. Pada strategi ini kepala dan panggul bergerak dengan arah dan waktu yang sama dengan gerakan bagian tubuh lainnya diatas kaki. Pada respon goyangan ke belakang, respon sinergis otot normal pada strategi ini mengaktivasi otot tibialis anterior, otot quadrisep diikuti otot abdominal. Pada goyangan kedepan, mengaktifkan otot gastroknemius, hamstring dan otot-otot ekstensor batang tubuh (Jalalin, 2000).

Strategi ini berguna apabila goyangan kecil, lambat dan dekat dengan garis tengah. Strategi ini terjadi pada permukaan luas dan stabil. Cukup untuk memberikan tekanan melawannya untuk menghasilkan gaya yang dapat mengimbangi goyangan untuk stabilisasi tubuh (Jalalin, 2000).

2.2.4.3 Strategi pinggul (hip strategy)

Menggambarkan kontrol goyangan postural dari pelvis dan trunkus. Kepala dan pinggul melalui arah yang berlawanan. Strategi pinggul, mengandalkan inertia dan gerakan batang tubuh yang cepat untuk membangkitkan gaya gesek / gerakan horizontal melawan landasan penyangga untuk menggerakkan pusat gravitasi. Pada keadaan ini bila permukaan landasan penyangga digerakkan kebelakang, subyek miring kedepan pada sendi panggul dengan mengaktifkan otot-otot abdominal dan otot quadrisep, tibialis anterior. Strategi ini di observasi bila goyangan besar, cepat

(39)

dan mendekati batas stabilitas, atau jika berdiri pada permukaan sempit dan tak stabil untuk memberikan pengimbangan tekanan (Jalalin, 2000).

2.2.4.4 Strategi melangkah (straping strategy) dan menjangkau

Menggambarkan tahap dengan kaki atau menjangkau dengan lengan dalam mencoba untuk memperbaiki landasan penyangga baru dengan mengaktifkan anggota gerak bila titik berat melampaui landasan penyangga semula.

Strategi melangkah digunakan dalam respon terhadap gangguan yang menyebabkan subyek goyang melebihi batas stabilitas. Dalam keadaan demikian melangkah yang harus diambil untuk mendapatkan kembali keseimbangan (Jalalin, 2000).

2.2.4.5 Strategi menunda (suspensory strategy)

Menggambarkan keadaan menurunkan pusat gravitasi kearah dasar landasan penyangga melalui gerakan flexi anggota gerak bawah secara bilateral, atau gerakan berjongkok ringan. Dengan memperpendek jarak antara pusat gravitasi dan landasan penyangga yang diperlukan agar dapat mengontrol kegiatan kombinasi stabilisasi dan mobilisasi seperti pada saat menggapai benda dengan posisi berdiri (Jalalin, 2000).

2.3 Neuro Developmental Treatment

2.3.1 Pengertian

Neuro developmental treatment (NDT) merupakan salah satu pendekatan yang paling umum digunakan untuk intervensi anak-anak dengan gangguan perkembangan. Metode ini pertama kali digunakan untuk terapi anak-anak pada kondisi cerebral palsy. Kemudian metode ini digunakan juga untuk kondisi

(40)

gangguan perkembangan pada anak lainnya. Pendekatan NDT berfokus pada normalisasi otot hypertone atau hypotone. Intervensi penanganan NDT melatih reaksi keseimbangan, gerakan, dan fasilitasi. NDT adalah metode terapi yang populer dalam pendekatan intervensi pada bayi dan anak-anak dengan disfungsi neuromotor (Uyanik and Kayihan, 2013).

Neuro development treatment pertama kali dikenalkan dengan istilah pendekatan Bobath yang dikembangkan oleh Berta Bobath seorang fisioterapis, dan dr. Karel Bobath di akhir 1940-an, untuk memenuhi kebutuhan orang-orang dengan gangguan gerak. NDT dianggap sebagai pendekatan management terapi yang komprehensif karena di dalam metode latihannya mengajarkan ke fungsi motor sehari-hari yang relevan. NDT biasanya dipakai untuk rehabilitasi pada bayi, cerebral palsy, DS dan gangguan perkembangan motorik lainnya (Degangi and Royyen, 1994).

2.3.2 Dasar pemikiran neuro development treatment

Konsep dari metode neuro development treatment telah berkembang secara empiris oleh Mrs. Bertha Bobath dari tahun 1942, dari pengamatan klinis yang cermat pada kasus hemiplegi, cerebral palsy, DS dan gangguan perkembangan motorik lainnya ia mengamati reaksi mereka saat sedang ditangani. dr. Karel Bobat h suaminya dan ahli saraf mencoba menemukan penjelasan teoritis dengan mempelajari literatur neurofisiologis (Velickovic and Perat, 2004). NDT adalah motode yang membangun kembali perkembangan otak, ini merupakan proses berkesinambungan yang dipengaruhi oleh genetika, struktur dan fungsi otak maupun dari interaksi lingkungan (Mayston, 2008).

(41)

Neuro develompent treatment merupakan pendekatan holistik yang berkaitan dengan kualitas pola koordinasi dan tidak hanya permasalahan pada fungsi otot. Tidak hanya permasalahan sensory-motorik, tetapi juga masalah-masalah perkembangan, persepsi-kognitif, emosional, masalah sosial dan fungsi dari kehidupan sehari-hari juga. Perkembangan sensorik-motorik abnormal mengganggu seluruh perkembangan anak (sensorik, persepsi-kognitif, psikologis). Kurangnya masukan sensorik atau persepsi dapat bersifat primer (karena kerusakan otak). Gangguan pengalaman sensorik-motor akan memperngaruhi postur kontrol dan body awareness yang jelek (Velickovic and Perat, 2004).

Prinsip-prinsip NDT ialah dengan mengontrol dan menghambat gerakan abnormal dan memberikan fasilitasi dan stimulasi untuk membentuk automatik postural reactions. Terapis mengkombinasikan berbagai tehnik stumulasi untuk mengurangi kelainan postural dan fasilitasi gerak dengan tujuan mengirimkan berbagai pengalaman sensori-motor untuk melatih gerakan fungsional (Velickovic and Perat, 2004).

2.3.3 Perkembangan konsep neuro develompent treatment dan aplikasinya

Pada tahun 1942, ketika dia sedang menangani pasien dengan hemiplegia, Mrs Bobath menemukan bahwa dengan mencegah pola abnormal dapat mengurangi spastisitas yang terjadi, membuat gerakan menjadi normal dan aktivitas fungsional lebih baik pada pasien yang melalui penanganannya (Velickovic and Perat, 2004).

Perlu koordinasi untuk memperbaiki pola abnormal yang ditekankan pada gerakan yang diinginkan dan dikendalikan. Mengoptimalkan kerja otot dalam kegiatan sehari-hari dengan menggunakan tehnik fasilitasi yang diperlukan. Aktifitas

(42)

tersebut mengakibatkan berkurangnya pola abnormal pada gangguan motorik. Untuk menghambat pola postural dan gerakan abnormal pertama kita harus menggunakan pola berlawanan dari pola pasien yang kemudian di modifikasi menjadi pola campuran kemudian di adaptasi oleh gerakan tersebut. Misalnya dari pola flexi karena koordinasi yang baik maka pola berubah menjadi extensi. Adaptasi aktif ini mengakibatkan perubahan aktifitas seluruh tubuh ke pola yang lebih baik (Velickovic and Perat, 2004).

2.3.4 Inhibisi, stimulasi dan fasilitasi

Setelah mendapatkan tonus postur yang baik, pasien perlu belajar untuk bergerak dalam berbagai kombinasi ke pola gerakan normal. Mrs. Bobath mencari cara yang memungkinkan agar pasien mendapatkan sensasi normal yang mana gerakan fungsional meraka tidak pernah dikembangkan. Hanya dengan rasa mendekati pola yang normal dengan gerakan aktif dan sedikit usaha pasien akan belajar untuk merasakan itu (Velickovic and Perat, 2004).

Bobath mengakui pentingnya reaksi postural (righting dan equilibrium reactions), berbagai reaksi postural dikoordinasikan pada pola tertentu untuk upaya menimbulkan gerakan yang aktif atau otomatis. Metode ini dilakukan atas dasar reaksi postural akan berkembang pada anak normal secara bertahap, selama beberapa tahun pertama pertumbuhannya (Velickovic and Perat, 2004).

Bobath mengatakan bahwa selama perkembangan normal anak, pada awalnya ada pengaruh refleks tonik yang kemudian menghilang dan ditekan oleh pengembangan righting reactions. Kemudian di integrasikan ke dalam reaksi keseimbangan dan voluntary movements. Pengetahuan ini membantu mereka

(43)

melakukan latihan yang lebih dinamis fasilitasi urutan righting reactions, reaksi keseimbangan dan reaksi otomatis lainnya (Velickovic and Perat, 2004).

Mrs. Bobath menemukan cara menggunakan key point of control (proximal, kepala, bahu dan panggul) dimana pola abnormal dapat dikendalikan (dihambat), saat itu terjadi distribusi tonus postural yang dapat dipengaruhi sementara, diwaktu yang sama dapat diberikan fasilitasi pola gerakan normal dan tehnik stimulasi dapat digunakan. Dari titik key point of control terapis dapat membimbing dan mengontrol gerakan seluruh tubuh (Velickovic and Perat, 2004).

Fasilitasi adalah proses intervensi yang menggunakan tehnik perbaikan tonus postural dalam aktifitas tujuan yang terarah. Pasien aktif dan terapis membimbing dan mengendalikan kegiatan. Fasilitasi membuat gerakan lebih mudah “membuatnya jadi mungkin” dan “membuatnya harus terjadi”. Terapis harus membuat gerakan yang mudah bagi anak, menyenangkan dan aman, sehingga ia suka bergerak dan termotivasi untuk melakukannya (Velickovic and Perat, 2004).

Kontrol inhibisi digunakan bersamaan dengan tehnik fasilitasi. Tehnik ini digunakan untuk mengurangi disfungsional tonus, membuat pasien adaptasi dengan gerakan yang efisien. Hal ini terjadi secara spontan karena pasien secara aktif terlibat dalam gerakan fungsional dan otomatis terjadi reaksi postural. Pengobatan ini dilakukan dengan "penanganan" dan didasarkan pada interaksi antara pasien dan terapis (Velickovic and Perat, 2004).

Salah satu masalah terbesar dalam pengobatan anak-anak dengan DS adalah untuk mendapatkan reaksi keseimbangan yang baik. Ini memiliki efek yang merugikan pada saat mereka bergerak seperti mudah terjatuh jika mengalami

(44)

gangguan gerak dari luar, merasa takut jika melewati undakan atau anak tangga. Hal ini dapat diperbaiki atau dioptimalkan dengan lebih mudah jika anak mendapatkan pengobatan / treatment lebih dini, karena dinilai lebih dapat mengikuti perkembangan anak yang menyangkut banyaknya perubahan perkembangan yang terjadi. Selama pengobatan / treatment itu terapis mengurangi bantuan dan membiarkan anak aktif melakukan gerakan. Hal ini diperlukan untuk membentuk kemandirian anak yang akhirnya memungkinkan ia mengontrol gerakan-gerakan sendiri (Velickovic and Perat, 2004).

2.4 Sensory Integration

2.4.1 Pengertian

Sensory integration (SI) adalah sebuah proses otak alamiah yang tidak disadari. Dalam proses ini informasi dari seluruh indera akan dikelola kemudian diberi arti lalu disaring, mana yang penting dan mana yang diacuhkan. Proses ini memungkinkan kita untuk berprilaku sesuai dengan pengalaman dan merupakan dasar bagi kemampuan akademik dan prilaku sosial (Nanaholic, 2012).

Sensory integration adalah pengorganisasian sensasi untuk penggunaan sebuah proses yang berlangsung di dalam otak yang memungkinkan kita memahami dunia kita dengan menerima, mengenali, mengatur, menyusun dan menafsirkan informasi yang masuk ke otak melalui indra kita. Pengintegrasian sensoris adalah dasar untuk memberikan respon adaptif terhadap tantangan yang ditimbulkan oleh lingkungan dan pembelajaran (Waluyo dan Surachman, 2012).

(45)

Sensory integration adalah proses pengorganisasian masukan sensorik. Fungsi pembelajaran tergantung pada kemampuan anak untuk memanfaatkan informasi sensorik yang di dapat dari lingkungannya. Mengintegrasikan informasi kemudian menjadi rencana adalah sebuah bentuk tujuan perilaku. Intervensi integratif sensorik, stimulasi vestibular, pendekatan terapi perkembangan saraf merupakan metode yang efektif digunakan sebagai terapi okupasi / fisioterapi (Uyanik and Kayihan, 2013).

Sensory integration merupakan proses mengenal, mengubah, dan membedakan sensasi dari sistem sensory untuk menghasilkan suatu respons berupa “perilaku adaptif bertujuan”. Pada tahun 1972, A. Jean Ayres memperkenalkan suatu model perkembangan manusia yang dikenal dengan teori SI. Menurut teori Ayres, SI terjadi akibat pengaruh input sensory, antara lain sensasi melihat, mendengar, taktil, vestibular dan proprioseptif. Proses ini berawal dari dalam kandungan dan memungkinkan perkembangan respons adaptif, yang merupakan dasar berkembangnya ketrampilan yang lebih kompleks, seperti bahasa, pengendalian emosi, dan berhitung. Adanya gangguan pada ketrampilan dasar menimbulkan kesulitan mencapai ketrampilan yang lebih tinggi. Gangguan dalam pemrosesan

sensory ini menimbulkan berbagai masalah fungsional dan perkembangan, yang dikenal sebagai disfungsi SI (Waiman dkk. 2011).

Dasar teori SI adalah adanya plastisitas sistem saraf pusat, perkembangan yang bersifat progresif, teori sistem dan organisasi sistem saraf pusat, respons adaptif, serta dorongan dari dalam diri (Waiman dkk. 2011).

Dasar rasional intervensi SI adalah konsep neuroplasitistas atau kemampuan sistem saraf untuk beradaptasi dengan input sensori yang lebih banyak. Pengalaman

(46)

Gambar 2.3 Pemrosesan Sensory

dan input sensory yang kaya akan memfasitasi perkembangan sinaptogenesis di otak. Berdasarkan konsep progresi perkembangan, SI terjadi saat anak yang berkembang mulai mengerti dan menguasai input sensory yang ia alami. Fungsi vestibular muncul pada usia perkembangan 9 minggu dan membentuk refleks moro, sedangkan input taktil mulai berkembang pada usia perkembangan 12 minggu untuk ekplorasi tangan dan mulut. Sistem sensory akan terus mengalami perkembangan sejalan dengan bertambahnya usia anak. Pada teori sistem dan organisasi sistem saraf pusat, proses SI diyakini terjadi pada tingkat batang otak dan subkortikal. Proses yang lebih tinggi di tingkat kortikal diperlukan untuk perkembangan praksis dan produksi respons adaptif. Proses pada tingkat kortikal bergantung pada adekuat tidaknya fungsi dan organisasi pusat otak yang lebih rendah (Waiman dkk. 2011).

Teori SI menekankan bahwa taktil, propioseptif, dan sistem vestibular memberikan kontribusi pada perkembangan otot, reaksi otomatis dan emosional yang menjadi baik. Pada saat bayi lahir muncul reflek-reflek premitif yang ditimbulkan oleh pengolahan taktil, propioseptif dan sistem vestibular misalnya : rooting, grasp, labirin reflek (Anonim, t.t).

2.4.2 Gangguan pemrosesan sensory

(47)

2.4.2.1 Sensory modulation disorder (SMD)

Modulasi sensory terjadi ketika susunan saraf pusat mengatur pesan saraf yang timbul akibat rangsangan sensory. Pada SMD, anak mengalami kesulitan merespon input sensory sehingga memberikan respon perilaku yang tidak sesuai. SMD terbagi menjadi tiga subtipe, yaitu sensory overresponsive (SOR), sensory underresponsive

(SUR), dan sensory seeking/craving (SS) (Waiman dkk. 2011).

Anak dengan SOR berespons terhadap sensasi dengan lebih cepat, lebih intens, atau lebih lama daripada yang sewajarnya. Sedangkan anak dengan SUR kurang berespons atau tidak memperhatikan rangsangan sensory dari lingkungan. Hal ini menyebabkan anak menjadi apatis atau tidak memiliki dorongan untuk memulai sosialisasi dan eksplorasi. Pada tipe SS, anak seringkali merasa tidak puas dengan rangsangan sensory yang ada dan cenderung mencari aktivitas yang menimbulkan sensasi yang lebih intens terhadap tubuh, misalnya memakan makanan yang pedas, bersuara yang keras, menstimulasi objek tertentu, atau memutar-mutar tubuhnya (Waiman dkk. 2011).

2.4.2.2 Sensory-based motor disorder (SBMD)

Anak dengan SBMD memiliki gerakan postural yang buruk. Pada disfungsi ini, anak mengalami kesalahan dalam menginterpretasikan input sensory yang berasal dari sistem proprioseptif dan vestibular (Waiman dkk. 2011).

SBMD mempunyai dua subtipe, yaitu dispraksia dan gangguan postural. Pada dispraksia, anak mengalami gangguan dalam menerima dan melakukan perilaku baru. Anak dengan dispraksia memiliki koordinasi yang buruk pada motorik kasar, dan motorik halus. Sedangkan pada gangguan postural, anak mengalami kesulitan

(48)

untuk menstabilkan tubuh saat bergerak maupun saat beristirahat. Anak dengan gangguan postural biasanya tampak lemah, mudah lelah, dan cenderung tidak menggunakan tangan yang dominan secara konsisten (Waiman dkk. 2011).

2.4.2.3 Sensory discrimination disorder (SDD)

Anak dengan SDD mengalami kesulitan dalam menginterpretasi kualitas rangsangan, sehingga anak tidak dapat membedakan sensasi yang serupa. Diskriminasi sensori memungkinkan untuk mengetahui apa yang dipegang tangan tanpa melihat, menemukan benda tertentu dengan hanya memegang, membedakan tekstur atau bau-bauan tertentu atau mendengarkan sesuatu meskipun terdapat suara lain di sekitarnya. SDD pada sistem penglihatan dan pendengaran dapat menyebabkan gangguan belajar atau bahasa, sedangkan SDD pada sistem taktil, proprioseptif dan vestibular menyebabkan gangguan kemampuan motorik (Waiman dkk. 2011).

2.4.3 Prinsip terapi

Terapi SI bertujuan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengolahan dan koordinasi masukan informasi sensorik dari sistem taktil (sentuhan), vestibular (rasa gerakan), proprioseptif (perasaan posisi tubuh), visual (penglihatan), auditori (pendengaran), penciuman (bau), dan gustatory (rasa). Beberapa area otak berkaitan dengan pengolahan informasi dari panca indera (Wright, 2010).

Para ahli terapi SI dari Amerika Serikat telah menyusun konsensus tentang elemen inti terapi SI. Waiman dkk. (2010) menganalisis apakah berbagai penelitian yang menggunakan pendekatan terapi SI telah menerapkan elemen inti secara konsisten. Dari 34 penelitian yang dianalisis, memperlihatkan bahwa sebagian besar

(49)

peneliti secara eksplisit mendeskripsikan strategi intervensi yang tidak konsisten dengan elemen inti terapi SI. Dari sepuluh elemen proses, hanya satu elemen yang digunakan oleh semua studi, yaitu memberikan rangsangan sensory. Peneliti menyatakan bahwa hal ini wajar karena memang semua penelitian yang menggunakan prinsip SI akan memberikan rangsangan sensory yang sebesar-besarnya.

Sumber: (Wright, 2010)

Gambar 2.4 Area Sensory di Otak

Setiap anak memiliki kemampuan yang unik, cara anak mengelola reaksi dari lingkungan dan memilah informasi yang datang. Informasi sensory terus memasuki otak dari 7 indera yang saling berkaitan. Terapi ini dirancang untuk kebutuhan anak dan melibatkan intensif latihan fisik dan mental (Wright, 2010). Waiman dkk. (2011) mengatakan terapi SI menekankan stimulasi pada tiga indera utama, yaitu taktil, vestibular, dan proprioseptif. Ketiga sistem sensory ini memang tidak terlalu familiar dibandingkan indera penglihatan dan pendengaran, namun sistem sensory ini sangat penting karena membantu interpretasi dan respons anak terhadap lingkungan.

Gambar

Gambar 2.1 Sistem Model Dynamic Equilibrium
Gambar  2.2  Strategi  postural  reaktif  A.  Strategi  pergelangan  kaki,  B.  Strategi  pinggul, C
Gambar 2.3 Pemrosesan Sensory
Gambar 2.4 Area Sensory di Otak
+7

Referensi

Dokumen terkait