1
TIKUS KRITIKUS DALAM GEGURITANYADNYA RING KURUKSETRA
KARYA DOKTER IDA BAGUS RAI
I Wayan Juliana1, I Wayan Cika2, dan I.G.A.A. Mas Triadnyani3 Program Magister Linguistik
Program Pascasarjana Universitas Udayana Jalan Nias No. 13, Denpasar, Bali, Telepon (0361) 250033
1 Ponsel 081999481843 1 Email: Wayanjuliana66@yahoo.com 2 Email: wyn_cika@unud.com 3 Email: mtriadnyani@yahoo.co.id Abstrak
Geguritan Yadnya Ring Kuruksetra (GYRK) karya Dokter Ida Bagus Rai merupakan karya abad ke-20. Tulisan ini menerapkan teori naratif Tzvetan Todorov yang menekankan pragmatika khususnya isotopi. Gagasan sebuah cerita tersebar dalam teks dan muncul secara berulang-ulang. Pengulangan dimaksudkan untuk menekankan gagasan yang terdapat di dalam karya. Sebab makna karya sastra dapat diperkuat dengan menelisik redundansi kata yang kerap muncul dalam karya. Studi ini menggambarkan isotopi penyadaran dan isotopi perasaan. Penyadaran dalam GYRK diungkapkan melalui kritikan oleh tokoh tikus, sedangkan isotopi perasaan termanifestasikan dalam rasa sedih, senang, bahagia, dll. Dengan melihat tingkat
kehadiran kata dalam isotopi makna GYRK adalah penyadaran perasaan dalam
pelaksanaan upacara keagamaan.
Kata kunci: naratif, isotopi, penyadaran, kritik, perasaan dan yadnya Abstract
Geguritan Yadnya Ring Kuruksetra (GYRK) by Doctor Ida Bagus Rai is literary work of 20th century. This research applies the narrative theory of Tzetevan Todorov which focuses on pragmatic especially isotopy. The concept of story is propagated in the text and appears repeatedly. The repetition is tended to concern the concepts found in the text. The meaning of literary work can be certainned by analyzing redundancy of words which appears frequently in the text. Awareness in GYRK is expressed through critics that delivered by mouse. While isotopy of feeling
2
is manifested by the feelings of sad, happy, comfortable, etc. Investigating the level of words appearing in the isotopy of GYRK meaning is awareness feeling in implementation of ritual ceremony.
Keywords: narrative, isotopy, awareness, critic, feeling, and yadnya Pendahuluan
Geguritan Yadnya Ring Kuruksetra (selanjutnya disebut GYRK) merupakan salah satu karya sastra Bali tradisional yang lahir pada abad ke-20. GYRK disusun oleh Dokter Ida Bagus Rai dengan menyadur kisah Aswamedha Parwa bagian ke-90
yang menceritakan empat Brahmana miskin yang senantiasa melaksanakan Uncca
wretti Brata.4 Dalam menjalankan kehidupannya yang sederhana, Brahmana ini tidak pernah mengeluh dengan keadaannya namun senantiasa melaksanakan penyucian diri dengan melaksanakan brata. Hal penting yang dapat dipetik dari kisah ini adalah sikap ikhlas (lascarya) yang diperlihatkan ke- 4 brahmana ini.
Dokter Ida Bagus Rai (selanjutnya disebut Dokter Rai) yang lahir dan dibesarkan pada lingkungan brahmana tentunya melihat dan mengamati secara serius
dinamika sosial mengenai pelaksanaan yadnya dan praktik agama di dalam gria
maupun di luar lingkungan gria. Pelaksanaan yadnya di dalam masyarakat dewasa ini lebih didominasi oleh adanya pemewahan dan pemeriahan. Sebagian besar dari mereka tidak mengetahui dan belum memahami hakikat pelaksanaan yadnya.
Di tengah situasi masyarakat yang semakin meriah dan mewah melaksanakan yadnya, kiranya perlu diingatkan kembali akan ajaran atau konsep keikhlasan
4 Uccha Wretti Brata adalah brata yang meniru laku hidup burung merpati, mencari makan dengan memungut padi-padi dari sawah atau umbi-umbian setelah pemiliknya selesai memanennya.
3
(lascarya) dalam melaksanakan yadnya. Menurut Agastia (2006:11), apa yang
dilaksanakan Dokter Rai dalam menyusun GYRK, merupakan sebuah kesadaran dan
tanggung jawab seorang intelektual atau cendekiawan yang melihat terjadinya perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat. Kemampuan intelektual yang dimiliki Dokter Rai kemudian diabdikan kepada masyarakat agar senantiasa meningkatkan kualitas pemikiran masyarakat. Lebih jauh lagi, penciptaan karya sastra mengandung gagasan yang bisa dimanfaatkan untuk menumbuhkan sikap sosial tertentu atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu (Damono, 2013: 2).
GYRK merupakan karya visioner, sebab karya itu tidak saja mampu memberikan kritik pada masanya tetapi masih relevan hingga saat ini. Masyarakat Bali yang cenderung melaksanakan banyak yadnya tentu perlu diberikan penyegaran
mengenai hakikat yadnya, agar dalam pelaksanaannya tidak terkesan
menghambur-hamburkan uang. Dalam GYRK dijelaskan sesungguhnya yadnya kecil dapat berarti
besar apabila mampu melaksanakannya dengan tulus ikhlas (Lascarya). Bukan pula
berarti bahwa yadnya yang kecil itu sudah cukup. Pada kurun waktu tertentu yadnya
besar sangat diperlukan, akan tetapi kembali pada hakikat yadnya yaitu kurban suci tulus ikhlas.
Selain untuk revitalisasi pengetahuan terhadap cerita lama, GYRK juga
merupakan karya yang mengandung otokritik untuk diri penulis maupun untuk masyarakat. GYRK merupakan karya penting karena mampu memberikan kritik pada saat karya itu ditulis namun hingga kini pun masih relevan. Meskipun mengandung kritik, GYRK dikemas dalam bentuk tembang dan bahasa Bali yang santun, sehingga
4
tidak menimbulkan gejolak perseteruan, tidak memicu curiga, tidak mengundang ketersinggungan, apalagi cemooh.
Kehadiran GYRK yang terlahir dari seorang dokter merupakan suatu
fenomena yang unik dan menarik. Pada masa itu Dokter Rai berusaha memberikan
penyegaran terhadap pelaksanaan yadnya dan pemahaman hakikat yadnya kepada
pembacanya, agar senantiasa bares dan jauh dari maksud pamerih saat ber-yadnya.
Dari kelascaryan dalam beryadnya akan tampak secara transparan, mana yadnya yang mulia dan mana yadnya yang hanya menampilkan ego.
Pembahasan isotopi akan dilakukan dengan menggunakan telaah semantik untuk mengungkapkan apa yang dibicarakan sepanjang naratif GYRK. Dalam rangka mempertajam makna, langkah yang dapat ditempuh adalah dengan melakukan analisis isotopi dan motif dalam cerita. Isotopi menurut Greimas yang membentuk konsep ini adalah sebagai berikut.
Suatu kesatuan kategori semantis yang timbul dari redundansi dan yang memungkinkan pembacaan cerita secara seragam sebagaimana yang dihasilkan dari pembacaan ujaran itu bagian demi bagian, dan dari pemecahan ambiguitas yang dituntun oleh upaya pembacaan senada (dalam Zaimar, 1991: 113).
Menurut Zaimar, konsep isotopi ini sangat diperlukan dalam analisis struktur wacana, karena hal itu memungkinkan untuk memahami suatu wacana dengan utuh. Dikatakannya bahwa dalam isotopilah makna mencapai keutuhannya, tempat terciptanya tingkatan makna yang homogen (1991: 113). Karena isotopi termasuk kategori semantis, maka yang akan dianalisis adalah tataran isi atau makna leksikal.
5 2. Pembahasan
Teks GYRK menampilkan tokoh tikus dan menceritakan kehidupan brahmana miskin. Ada suatu pesan substansial yang ingin disampaikan melalui ujaran si pencerita bahwa situasi sulit tidak dapat membendung keinginan keluarga brahmana untuk berbuat baik kepada sesama. Ketika membaca GYRK dapat ditemukan berbagai perasaan, seperti rasa gembira, kecewa, penderitaan, kesusahan, ketulusan hati, kebahagiaan, keharuan dan kesenangan manusia yang dilukiskan dalam rangkaian ruang dan waktu. Pembuktian ketulusan dalam pelaksanaan suatu upacara menjadi
hal penting yang ingin disampaikan pengarang dalam GYRK. Perbandingan
pelaksanaan yadnya antara kaum ksatria dengan kaum brahmana pertapa menjadi
menarik untuk dipahami sehingga akan menimbulkan pembaharuan pola pikir masyarakat, khususnya masyarakat Bali yang senantiasa melaksanakan upacara yadnya yang sudah tidak dapat dilepaskan dari kehidupannya. GYRK bila dibaca dan dipahami lebih mendalam, merupakan karya yang memuat tentang pandangan dan dasar-dasar harmonisasi dalam keluarga. Berdasarkan uraian tersebut, maka satuan
semantis atau isotopi dalam GYRK dapat dibicarakan melalui dua isotopi yaitu: a)
Isotopi penyadaran, b) Isotopi perasaan. a) Isotopi Penyadaran
Isotopi penyadaran dalam analisis ini termanifestasi ke dalam kritik sosial.
Teks GYRK bercerita tentang seekor tikus yang hendak menyempurnakan warna
bulunya. Tikus mengalami perubahan warna bulu akibat berguling pada secercah tepung yang jatuh dari persembahan brahmana. Dalam rangka menyempurnakan
6
bulunya dia mendatangi berbagai tempat dengan persembahan besar-besaran namun belum serupa persembahan brahmana yang mampu mengubah bulunya. Oleh karena
sempat melihat yadnya yang lebih mulia, tikus memberikan semacam
penyadaran/mengingatkan masyarakat yang ada dalam yadnya aswameda agar tidak
menyombongkan persembahan tersebut. Perbandingan persembahan antara brahmana miskin dan Yudistira sang Raja, begitu jelas ada perbedaan yang mencolok antara persembahan dengan jagung dan acara semeriah-meriahnya.
Kecenderungan yang terjadi pada masyarakat Bali, kurangnya rasa sadar ataupun paham terhadap sesuatu hal yang esensi, terkadang justru harus didahului hal yang menyakitkan seperti kritik. Ketika kritik diucapkan, tujuannya sangat jelas sebagai bahan pertimbangan sehingga pola pikir menjadi sadar akan hakikat suatu persembahan (yadnya).
Kritik sebagai sebuah penilaian khususnya dalam konteks ini menjadi penilaian terhadap fenomena yang terjadi di masyarakat. Di dalam masyarakat, kecenderungan penilaian jarang dilontarkan ke hadapan orang yang memiliki status sosial yang lebih tinggi. Dalam masyarakat Bali ada istilah Koh Ngomong yaitu sikap enggan berbicara untuk mengkritik suatu hal, sebab sering tidak mendapat tanggapan. Bila dilihat dari tujuannya, kritik itu sesungguhnya merupakan hal yang sangat mulia bila dilakukan dengan santun dan yang dikritik pun tidak akan alergi dengan kritik dari pihak lain. Sejatinya, kritik merupakan upaya untuk membenahi kekeliruan sehingga tatanan masyarakat akan semakin baik pula. Oleh karena itu, bidang
7
kehidupan yang mana saja sesungguhnya tidak tabu untuk dikritik, namun tetap dengan santun agar tidak menimbulkan gejolak di tengah masyarakat.
Pelontaran kritik terhadap zamannya, dilakukan dengan menjadikan karya sastra sebagai medianya. Semisal di Bali, kritikus terkenal bernama I Ketut
Bungkling yang terdapat dalam Geguritan I Ketut Bungkling karya Ki Dalang
Tangsub. Tokoh I Bungkling mengkritisi tokoh sikap masyarakat elite di sekitar tempatnya, sikapnya yang frontal mengkritik prilaku pendeta-pendeta yang mengaku pintar dan memiliki sikap rakus terhadap harta.
Dalam Geguritan I Ketut Bungkling tokoh yang menyampaikan kritik adalah I Bungkling yang berwujud manusia, jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh si tikus
dalam GYRK. Meskipun dalam wujud binatang, tokoh ini diberikan tugas untuk
mengkritisi pelaksanaan yadnya dengan lebih santun. Persamaannya, kedua tokoh ini adalah sama-sama melakukan kritik di dalam teks, bukan melakukan kritik sebagaimana politik praktis sehingga tidak menimbulkan gejolak di masyarakat. Dalam pemaknaan teks secara intrinsik (khususnya aspek psikologis tokoh si Tikus) tampak nyata peran tokoh si tikus dalam meluruskan perilaku-perilaku yang
menyimpang yang dijalankan oleh kebanyakan orang dalam melaksanakan yadnya.
Tentunya sikap ini akan memberikan dampak positif untuk mengingatkan masyarakat sehingga terwujud semacam kesadaran dan menuju masyarakat yang lebih beradab dan berbudaya sesuai norma agama dan norma masyarakat.
Sikap kritis si tikus pada dasarnya bukan tanpa alasan. Keberaniannya
8
namun tetap dalam ranah kesantunan. Setelah bulunya berubah menjadi kuning, tikus
tidak hentinya mencari yadnya agung untuk mengubah bulunya agar menjadi utuh
kuning keemasan. Ketika mendengar kabar bahwa Prabu Yudistira melaksanakan yadnya agung, tikus datang ke pelaksanaan yadnya agung tersebut. Kegirangan
masyarakat dengan pelaksanaan yadnya yang mewah dan meriah tak dapat
terbendung. Masyarakat menganggap bahwa yadnya yang besar dan meriah seperti
yadnya aswamedha sangat utama karena semua dapat merasakan kebahagiaan. Berbeda dengan apa yang pernah disaksikan oleh si tikus, langsung saja dia mengatakan bahwa yadnya aswamedha kalah agung dengan yadnya brahmana. Tikus mengkritik bahwa yadnya sekelas aswamedha kalah dengan yadnya tepung jagung.
Bila dilihat dari penggunaan materi, jumlah orang yang melaksanakan dan sarana yang digunakan, secara kuantitas yadnya aswamedha tidak dapat dihitung jika
dibandingkan dengan yadnya empat brahmana yang hanya menghandalkan tepung
jagung. Namun bila dibandingkan secara kualitas, yadnya aswameda belum tentu
lebih utama dari yadnya empat brahmana. Tikus melontarkan kritik secara nyata
sesuai dengan kondisi masyarakat. Kritik itu tidak hanya relevan saat karya ini ditulis, tetapi mampu menerobos batas ruang dan waktu dari pertama ditulis pertengahan abad ke-19.
Ada alasan mengapa situasi yang ditulis pertengahan abad ke-19 tersebut tetap
relevan hingga saat ini karena persoalan yang diangkat di dalam GYRK sangat dekat
9
6. Inggih sampun lawas pisan, yen entenang saking mangkin, taler iriki magenah, ring tegal kuru puniki, wenten anak langkung miskin, ngaturang yadnya ne agung, doh wyakti agengan, ring yadnyane kadi mangkin, mlakar tepung, tepung jagung akedik pisan.
7. Sampunang pisan ngangobang, yadnyane kadi puniki, yadian prabeyane katah, akueh nelasang wiakti, yan boya saking sujati, wenten kanirmalan kayun, nirgawe yadnya punika, tan pa aji nyang akedik, titiang sanggup, ngaturang bukti ne sinah.
Terjemahan:
6. Memang sudah lama sekali, jika diingat dari sekarang, juga bertempat di sini, di tegal kuru ini, ada orang yang teramat miskin, menghaturkan yadnya yang agung, jauh lebih agung, dibanding yadnya seperti sekarang ini, dengan sarana tepung, tepung jagung sedikit sekali.
7. Jangan sekali membanggakan, yadnya seperti ini, meskipun dengan banyak biaya, benar-benar menghabiskan banyak, jika bukan karena kesungguhan, ada kesucian hati, percuma saja yadnya ini, tidak berharga yadnya ini sedikit pun, saya sanggup, memberikan bukti nyata.
Dapat dipahami bahwa keberadaan yadnya yang utama tidak dapat ditolok
ukur berdasarkan kuantitas materi yang dihabiskan. Bilamana tolok ukurnya adalah
materi, kualitas yadnya perlu dipertanyakan. Apakah pelaksanaan yadnya hanya
untuk menunjukkan kemeriahan? Lantas di manakah letak dari esensi sebuah yadnya, bila terjadi kecenderungan demikian? Sadar dengan kondisi masyarakat yang
berubah, kehadiran GYRK tentu menjadi angin segar di tengah merebaknya
pemeriahan dalam pelaksanaan yadnya. Tegas dan jelas hakikat yadnya adalah
kesungguhan dan kesucian hati dari pelaksananya.
Kondisi kesemarakan aktivitas keagamaan yang terjadi berhubungan dengan internalisasi dan obyektivasi nilai keagamaan yang dianut masyarakat. Situasi ini perlu mendapatkan perhatian serius kaum agamawan. Ada pesan kuat bahwa
10
keagamaan sekarang ini sebenarnya sangat bersifat formalistis bukan substansial. Kegiatannya beragama tetapi kurang menghayati nilai substansial agama itu sendiri. Sistem keagamaan masyarakat sekarang adalah keagamaan yang simbolis bukan yang esensialistis. Tampaknya kaum beragama telah terpuaskan dengan apa yang telah dikerjakan sekalipun tak berdampak sosial apa pun. Kaum beragama puas dengan artikulasi kebaikan personal yang dikerjakan setiap hari menjadi bagian dari hidup religius sehari-hari. Kondisi kegiatan beragama di Bali banyak yang hanya dilakukan begitu saja namun tidak dimaknai, situasi seperti inilah yang akan menerbitkan ucapan Mula Keto memang begitu. Akan berbeda keadaannya ketika ada pemahaman makna dan esensi dari yadnya, maka pertanyaan mengapa melaksanakan yadnya tidak ada lagi.
Di akhir kisah, si tikus membuktikan yadnya yang digelar oleh Raja Yudistira
belum dilakukan dengan kelascaryan (keikhlasan) dan kanirmalan kayun (kesucian
pikiran). Secara implisit, pesan ini dapat ditarik ketika sebagian warna bulu si tikus tidak berubah, sebab pada peristiwa sebelumnya, meski hanya sebentar berguling diatas sedikit tepung jagung bulunya dapat berubah, sedangkan kini, tikus berguling-guling hingga 2 hari lamanya warnanya tidak ada berubah sedikit pun.
44. Inggih mangda awak tiang, ne bin asibak puniki, nyidayang jua marobah, marupa emas masangling, nanging nyantos rauh mangkin, tuara nahenin kacunduk, ring yadnya kadi punika, ne pangguh tiang ne riyin, buktin ipun, mangkin sampun sinah.
45. Tiang maan ningeh orta, yen kone dinane jani, pacang kawentenang yadnya, agengnya wiyakti tan kadi, antuk putran dewi Kunti, sang Yudistira puniku, tiang suba uli puan, dini ngrayang glalang-gliling, taler durung, awak tiange mas sinamian.
11 Terjemahan
44. Tentunya agar tubuh saya, yang sebagian lagi, dapat juga berubah, bagaikan kemilau emas, namun hingga kini, tiada pernah bertemu, dengan
yadnya seperti itu, sebagai yang saya temui dahulu, adapun buktinya, sekarang sudah nyata.
45. Saya sempat mendengar kabar, katanya hari ini, akan dilaksanakan upacara, besar-besaran tak tertandingi, oleh putra dewi Kunti, yaitu sang Yudistira, saya sudah sejak dua hari, di sini merayap dan berguling-guling, belum juga, tubuh saya emas semua.
Upacara besar-besaran yang tak tertandingi oleh upacara manapun ini secara tak langsung mendapat tandingan dan kalah. Peristiwa ini menjadi substansial untuk
merefleksi keadaaan masyarakat yang terlalu memewahkan keberadaan yadnya yang
esensinya adalah korban suci yang tulus ikhlas. Keberadaan yadnya aswamedha yang digelar oleh raja Yudistira memiliki motif untuk pengakuan dirinya sebagai raja
diraja. Dalam yadnya Aswamedha semua orang yang hadir diberikan kesenangan
berupa materi dan sebagainya. Ada semacam unsur kepentingan dalam pelaksanaan yadnya yang dilakukan. Sedangkan dalam GYRK, empat brahmana memberikan seseorang tamu yang sedang kelaparan dan memang sangat membutuhkan makanan. Pada dasarnya, meskipun pemberian tersebut tidak berharga walaupun hanya sekeping uang, apabila dipersembahkan dengan penuh keikhlasan dan kejujuran tanpa kepentingan untuk mendapat pahala, maka persembahan semacam itu merupakan persembahan yang mendatangkan berkah.
Persembahan empat brahmana ini dapat berpahala besar disebabkan karena dapat melakukan sedekah ketika musim paceklik dan saat mereka mengalami puncak kesusahan. Hal yang menyebabkan tikus berubah warna adalah karena tepung jagung
12
yang telah didoakan oleh empat brahmana, selain itu juga tepung tersebut merupakan bentuk ketulusan empat brahmana dalam memberi tamu yang sedang kesusahan, serta cara untuk mendapatkan jagung tersebut adalah dengan jalan brata yang sulit. Sehingga secara tidak langsung, segala kebaikan terkandung di dalam tepung jagung yang sempat tersecer.
Yadnya yang dilakukan brahmana secara kuantitas tergolong nista (kecil),
namum secara kualitas (kasukman)-nya justru utama (besar). Hal ini bisa terjadi
karena tingkatan kuantitas yang nista itu justru didukung sepenuhnya dengan
pemenuhan syarat-syarat keutamaan yadnya. Demikian sebaliknya, yadnya utama
bisa menjadi nista bahkan tidak berarti bila tidak terpenuhinya syarat-syarat keutamaan upacara. Sangat diperlukan kebaikan dan rasa tulus dari dalam diri dalam
proses yadnya hingga dilaksanakannya sebuah upacara yadnya. Dalam kakawin
Ramāyana disebutkan sebab bukan harta dan bukan kesenangan yang diutamakan namun kebaikan (dharma)-lah yang diutamakan.
b) Isotopi Perasaan
Perasaan tertegun, kasihan, iba, kecewa mendapatkan porsi penggambaran yang cukup intens dalam GYRK, seperti yang tampak pada kutipan-kutipan berikut.
5. […], sayuwakti angob pisan, sebet manahe tan kadi, bikule raris katampekin, […].
6. […], aukud tuara ada luput, makejang lega, […].
18. Ngandika brahmana lanang, tiwas titiange tan sipi, durus puniki
unggahang, kanggeang wantah akedik, sampunang sangsaya malih,[…] 20. Duman titiange picayang, sampunang suwe ngantosin, manah titiange
lega pisan, yen sampun katrima becik, antuk tamiune puniki
25. […], brahmana lanang tan kodag, meweh kayune ngaksinin, langkung sungsut, engsek tan dados ngandika.
13
26. Antuk putrane kacingak, raris ida katampekin, gelisan ratu picayang,
duman titiange puniki, suarga manahe tan kadi, […]
31. Nngih mangkin giliran titiang, ngaturang ring ratu aji, puniki eduman titiang, […]
33. […], nangingke ulian ngendepin cening ne jani, naanang basang seduk, sing nyandang cening nyebetang, […].
Terjemahan
5. […], Luar biasa takjub sekali, sungguh kecewa berat perasaannya, si tikus lalu didekati, […].
6. […], seorang pun tiada ketinggalan, semuanya bahagia, […].
18. Berkata brahmana yang lelaki (ayah), miskin hamba tak terperikan, silakan ini dinikmati, maklum hanya seadanya, janganlah ragu lagi, […] 20. Bagian hamba saja berikan, jangan menunggu lama lagi, perasaan
hamba senang sekali, apabila sudah diterima baik, oleh sang tamu ini, 25. […], Brahmana lanang tak kuasa, berat hatinya melihat, terlalu sedih,
tersenak hingga tak dapat bicara, […].
26. Oleh putranya diperhatikan, lantas beliau didekati, cepatlah tuan berikan, bagian hamba ini, senang hati hamba bagai di surga, […]
31. Baiklah sekaranglah giliran hamba, menghaturkan kepada tuan junjungan, silakan ini bagian saya, […].
33. […], karena membiarkan ananda seperti ini, menahan rasa lapar, tidak usah engkau kesedihan, […].
Kata-kata yang dicetak tebal di atas membentuk suatu medan leksikal yang mengarah pada satu kesatuan makna isotopi perasaan. Rangkaian isotopi ini dibangun berdasarkan perasaan kecewa yang dialami masyarakat ketika upacara sang Yudistira direndahkan oleh si tikus, namun masyarakat memberikan pembelaan bahwa seluruh masyarakat yang hadir mengalami perasaan bahagia serta perasaan ketulusan hati dari empat brahmana yang melihat keadaan tamu tua renta.
Berdasarkan isotopi penyadaran yang dibentuk oleh kritik dan isotopi perasaan yang dibentuk oleh perasaaan kecewa, sedih, ketulusan hati dapatlah disimpulkan bahwa teks GYRK merupakan karya yang bertujuan untuk menyadarkan masyarakat bahwa kemeriahan persembahan bukanlah prioritas namun ketulusan hati
14
dari pelaku adalah kuncinya. Bedasarkan pada kedua isotopi tersebut, dapat dikatakan
bahwa karya GYRK yang memberikan penyadaran perasaan agar senantiasa tulus
dalam berkorban (yadnya).
3. Simpulan
Gagasan sebuah cerita tersebar dalam teks dan muncul secara berulang-ulang. Pengulangan dimaksudkan untuk menekankan gagasan yang terdapat di dalam karya.
Penyadaran perasaan merupakan hal yang substansial dalam pelaksanaan yadnya.
Kecenderungan situasi sosial masyarakat Bali terdistorsi kedalam pemeriahan dan pemewahan dalam ber-yadnya. Kritik akan fenomena ini memang diperlukan untuk memberikan penyegaran hakikat dan esensi dari yadnya.
Daftar Pustaka
Agastia, IBG. 2006(b). Dokter Ida Bagus Rai dan Karya Sastranya. Denpasar:
Yayasan Dharma Sastra.
Ashcroft, Bill. Dkk. 2003. Menelanjangi Kuasa Bahasa, Teori dan Praktik Sastra
Poskolonial. Yogyakarta: Qalam
Atmaja, Jiwa.2015. “Wacana Sastra dan Bukan Wacana Sastra dalam Perspektif Naratologi(Pustaka: jurnal-jurnal ilmu budaya vol. XV, no. 1. Februari 2015). Denpasar: Fakultas Sastra Unud.
Damono, Sapardi Djoko. 2013. Sosiologi Sastra Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Goris, R. 2012. Sifat Religiusitas Masyarakat Pedesaan di Bali. Denpasar: Udayana University Press.
15
Hoed, Benny H. 1994. “Wacana, Teks dan Kalimat”. Dalam Liberty P. Sihombing dkk. (editor). Bahasawan Cendekia. Jakarta: Intermasa.
Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Lubis, Akhyar Yusuf. 2014. Postmodernisme Teori dan Metode. Jakarta: Rajawali
Press.
Parmini,Ni Putu. 2015. “Upaya Menuju Kelepasan dalam Geguritan Yadnya Ring
Kuruksetra” (Jurnal Kajian Bali Volume 05, nomor 01, April 2015). Denpasar. Universitas Udayana.
Todorov, Tzvetan. 1985. Tata Sastra. Jakarta: Djambatan.
Triadnyani, I Gusti Ayu Agung Mas. 2014. “Fenomena Rangda dan Pemaknaanya:
Kajian Hermeneutika Ricoeur dalam Teks Calon Arang dan Novel Janda
dari Jirah”. Jakarta: Universitas Indonesia.
Wellek, Rene dan Austin Werren.1989. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia. Westa, I Wayan. 2001. “Sang Pengkritik Zaman Yang Santun”. Denpasar. Majalah
Sarad, No. 18 Juni 2001.
Zaimar, Okke K.S.1991. Menelusuri Makna Ziarah karya Iwan Simatupang.
Jakarta:Intermasa.
Zaimar, Okke K.S. 2013. Semiotika Dalam Analisis Karya Sastra. Depok: Komodo