• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keberhasilan Pengobatan Deksametason pada Nekrolisis Epidermal Toksik yang Diinduksi Obat Pada Anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Keberhasilan Pengobatan Deksametason pada Nekrolisis Epidermal Toksik yang Diinduksi Obat Pada Anak"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Keberhasilan Pengobatan Deksametason pada Nekrolisis Epidermal Toksik

yang Diinduksi Obat Pada Anak

Inez Saraswati

Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung

Abstrak Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) adalah penyakit yang mengancam kehidupan akibat reaksi mukokutaneus. Penyakit ini ditandai oleh nekrosis luas dan kerusakan jaringan epidermis. Pada penyakit ini ditemukan kelainan di kulit, mata, dan lebih dari satu mukosa. Seorang anak perempuan, 4 tahun, mengeluhkan lepuhan pada kulit yang muncul sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Penyebarannya dari bibir, anggota gerak, punggung, dan leher. Pasien juga mengeluhkan sulit menelan dan nyeri pada mata. Pada pemeriksaan fisik didapatkan luas permukaan tubuh yang terkena sebesar 38%. Pasien diterapi dengan terapi cairan, antibiotik topikal asam fusidat, dan kortikosteroid sistemik deksamethason. Terdapat perbaikan pada pasien selama perawatan. NET adalah kasus emergensi pada kulit. Penilaian klinis dan terapi yang cepat dapat memberikan prognosis yang lebih baik. Kata kunci : emergensi, kortikosteroid, NET, reaksi kulit akibat obat

Successful Dexamethasone Treatment of Drug-Induced Toxic Epidermal

Necrolysis in Chidren

Abstract Toxic epidermal necrolysis (TEN) is a life-threatening illness due to mucocutaneous reactions. This disease characterized by extensive necrosis and tissue damage to the epidermis. In this disease is found abnormalities in the skin, eyes, and more than one mucosa. A girl, 4 years old, complained blisters on the skin that appear since 3 days before admission. The spread of this disease include lips, limbs, back, and neck. The patient also complained difficulty in swallowing, and pain in the eyes. On physical examination found body surface area of 38%. Patients treated with fluid therapy, antibiotic fusidic acid topical and systemic corticosteroid dexamethasone. There is improvement in patients during treatment. TEN is a life-threatening condition in dermatology. Early clinical assesment and treatment will lead into better prognosis. Keywords : corticosteroid, drug-induced cutaneous reactions, emergency, TEN

Korespondensi : Inez Saraswati, M.Kes., alamat Jl. Abdul Muis VII No. 41 Gedung Meneng, HP 081318268888, e-mail inezsaraswati92@gmail.com

Pendahuluan

Nekrolisis Epidermal Toksik (NET) adalah penyakit yang mengancam kehidupan akibat reaksi mukokutaneus. Penyakit ini ditandai oleh nekrosis luas dan kerusakan jaringan epidermis. Pada penyakit ini ditemukan kelainan di kulit, mata, dan lebih dari satu mukosa. Kelainan kulit yang sering ditemukan biasanya berbentuk lesi target. Gejala konstitusi sering ditemukan pada penderita NET dan pada kasus berat dapat mengancam kehidupan. 1-4

NET pertama kali dikemukakan pada tahun 1956, merupakan varian Eritema Multiforme Mayor (EMM) tetapi beberapa penulis telah memisahkan NET sebagai suatu penyakit tersendiri. Insidensi NET diperkirakan 1-6 kasus/1 juta orang/tahun di Eropa dan Amerika. Terdapat 3 penderita NET yang tercatat di Bagian Rawat Inap Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Rumah Sakit

Abdul Moeloek (RSAM) Lampung sejak bulan Maret 2010 sampai Maret 2015.1-6

Etiologi NET belum diketahui, diduga

penyebabnya adalah alergi obat, infeksi, keganasan, atau idiopatik. Obat-obatan merupakan penyebab yang paling sering ditemukan. Kelainan kulit dapat timbul beberapa hari pertama sampai dengan delapan minggu setelah penggunaan obat.1-5

Patogenesis NET belum diketahui secara pasti, diduga merupakan reaksi alergi tipe III dan IV. Diagnosis NET ditegakkan atas dasar anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium. Penatalaksanaan utama NET adalah menyelamatkan jiwa penderita, salah satunya dengan segera mengidentifikasi dan menghentikan obat yang dicurigai sebagai penyebab timbulnya kelainan. Penatalaksanaan yang baik akan memberikan prognosis yang baik dan dapat sembuh sempurna dalam waktu 2-3 minggu.

(2)

Kasus berat dengan komplikasi atau penatalaksanaan yang terlambat dan tidak adekuat, dapat menyebabkan kematian. 1,3

Kasus

An. M berusia 4 tahun, datang ke rumah sakit diantar oleh orangtuanya dengan keluhan kulit lepuh hampir di seluruh bagian tubuh sejak tiga hari sebelum masuk rumah sakit. Lepuh-lepuh ini berisi cairan bening yang kemudian pecah, lecet, dan terasa nyeri terutama di daerah mulut, sehingga terasa sakit kalau menelan. Pasien juga mengeluh bibir bengkak, berdarah, dan ditutupi kerak berwarna hitam. Pasien mengalami demam dan terasa sakit saat buang air kecil. Mata pasien menjadi bengkak, disertai cairan lengket berwarna kuning, sehingga pasien sulit untuk membuka matanya. Pasien tidak berobat ke dokter dan tidak mengonsumsi obat minum maupun menggunakan obat oles tradisional.

Sebelumnya, satu setengah bulan yang lalu, pasien berobat ke bidan di kecamatan Sukau dengan keluhan demam dan kembung, kemudian diberi tiga macam obat minum yaitu sirup sulfametoksazol 1x1 cth, sirup parasetamol 3x1 cth dan sirup antasida 2x½ cth. Pasien rutin mengonsumsi obat tersebut selama seminggu.

Sepuluh hari yang lalu, pasien mengeluh timbul bercak merah di kulit disertai rasa gatal. Awalnya terasa gatal di wajah, lalu dalam waktu sehari meluas ke dada, perut, punggung, dan kaki. Pasien tidak berobat ke dokter, tidak memakan obat tradisional apapun dan tidak mengoleskan obat apapun pada bercak merah tersebut.

Lima hari yang lalu, bercak merah dan rasa gatal berkurang, namun timbul bintil-bintil berisi air. Awalnya bintil-bintil terdapat di sekitar mulut dan mata, lama-kelamaan semakin banyak dan menyebar di seluruh tubuh. Kemudian pasien dibawa berobat ke puskesmas dan diberikan obat sirup amoksisilin, sirup parasetamol, salep mata gentamicin, dan salep asiklovir. Setelah diminum selama 2 hari, keluhan tidak berkurang. Bintil-bintil semakin membesar hingga menjadi lepuh-lepuh di seluruh tubuh.

Riwayat keluarga dengan penyakit yang sama disangkal oleh ibu pasien. Riwayat penyakit keluarga yang lainnya seperti hipertensi disangkal oleh orangtua pasien.

Riwayat penyakit asma atau kencing manis disangkal. Riwayat sering bersin pagi hari dan gatal disangkal.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit berat. Hasil pemeriksaan suhu 36,2 oC, nadi 150 x/menit,

napas 40 x/menit, berat badan 11 kg, dan tinggi badan 115 cm.

Pada status dermatologis, di regio labialis superior dan inferior terdapat edema dan krusta sanguinolenta yang tebal dengan dasar erosif. Di regio coli anterior dan posterior, trunkus anterior dan posterior, ekstremitas superior dan inferior dextra dan sinistra, terdapat makula eritema, multipel, berbentuk bulat sampai tidak tidak teratur dengan diameter 0,1–0,5 cm. Sebagian konfluen disertaierosi, multipel, berbentuk tidak teratur dengan diameter 0,3–50 cm, beberapa diantaranya ditutupi krusta warna merah kehitaman. Body Surface Area ±38 %.

Gambar 1. Status dermatologis perawatan hari ke-4

Konjuntiva tidak pucat, sklera tidak ikterik. Telinga, hidung, dan mulut dalam batas normal. Leher tidak ada pembesaran kelenjar getah bening (KGB). Suara paru vesikular kanan dan kiri. Bunyi jantung pada pemeriksaan auskultasi reguler. Abdomen dalam batas normal. Ekstremitas superior dan inferior dalam batas normal, tidak edema dan akral hangat. Status neurologis dalam batas normal. Hasil pemeriksaan laboratorium dalam batas normal untuk darah rutin. Hasil Scorten pada pasien ini adalah ≥2 dengan tes Nicolsky positif.

Penatalaksanaan pada pasien terbagi menjadi tatalaksana umum dan khusus. Tatalaksana umum meliputi penjelasan kepada pasien dan keluarga tentang penyakit

(3)

dan pengobatannya, penghentian konsumsi obat yang dicurigai sebagai penyebab, serta pengawasan fungsi vital, keseimbangan cairan tubuh, dan elektrolit. Pasien mendapat diet cair (susu) via NGT dan dilakukan pemasangan kateter Foley.

Tatalaksana khusus dengan cara memberikan kompres terbuka NaCl 0,9% sebanyak 3xsehari, selama setengah jam. Kompres terbuka diberikan sebagai pengobatan topikal. Pengobatan sistemik diberikan IVFD RL:D5:NaCl 0,9% = 1:1:1 sebanyak 30 tetes/menit (makrodrip), injeksi intravena deksametason 2,5 mgsebanyak 2x½ ampul (setara prednison 2 mg/kgBB) dengan tappering off cepat sesuai kondisi pasien, injeksi intravena ranitidin 25 mg sebanyak 2x½ ampul, dan injeksi intravena gentamisin 28 mg sebanyak 3x0,7 ml ampul.

Setelah sepuluh hari mendapatkan perawatan di ruang inap anak, pasien mengalami perbaikan. Pasien diperbolehkan pulang dengan diberikan kartu alergi dan disarankan kontrol ke poli kulit dan kelamin. Gambar 2. Status dermatologis perawatan hari ke-10 Pembahasan

Pada kasus ini, diagnosis banding dengan keluhan kulit lepuh-lepuh hampir di seluruh badan adalah Sindroma Steven Johnson (SSJ), SSJ Overlap NET, dan NET. Dari anamnesis, diketahui adanya faktor risiko yang berhubungan, yaitu riwayat konsumsi obat sebagai kemungkinan pencetus timbulnya NET. Berdasarkan anamnesis dari ibu pasien, pasien mendapat dua macam obat

makan, yaitu sulfametoksazol dan

parasetamol. Penelitian dari berbagai negara menyebutkan bermacam jenis obat yang dapat menyebabkan NET, namun berdasarkan

survei dan review, terdapat 2 kelompok obat yang paling sering yaitu (1) golongan sulfa yaitu kotrimoksazol, sulfamethoksazol, sulfakoksin, sulfasalazin, (2) golongan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) yaitu piroksikam, ibuprofen, parasetamol, naprosin, naproksen infliximab, oksikam, rofecoxib.1,5,13

Dari pemeriksaan fisik tampak gambaran kelainan kulit spesifik NET dengan pola distribusi yang simetris. Onset penyakit biasanya mendadak. Waktu antara ekspos obat-obatan dan timbulnya erupsi bervariasi. Perkembangan penyakit, luasnya permukaan tubuh yang terkena, dan tingkat keparahan bervariasi antara pasien yang satu dengan yang lain.1,14

Sebagian penderita NET mengalami gejala prodromal nonspesifik selama 1-14 hari. Gejala yang timbul menyerupai infeksi saluran pernafasan, meliputi demam, malaise, sakit kepala, rinitis, batuk, sakit tenggorokan, nyeri dada, muntah, diare, mialgia, dan artralgia. Karena keluhan-keluhan tersebut pasien sering mengonsumsi obat-obat antimikroba dan analgetik, yang kemudian dapat menyulitkan penentuan faktor penyebab.1,5

Manifestasi klinis berupa gambaran lesi yang bermacam-macam. Lesi dapat diawali dengan eritem, papul, vesikel, atau bula dalam berbagai ukuran. Penyebaran dapat dimulai pada wajah, leher, dan batang tubuh yang kemudian menyebar ke ekstremitas hingga akhirnya ke seluruh tubuh. Gambaran lesinya khas yaitulesi berwarna kehitaman di bagian tengah, yang dikelilingi lingkaran konsentris kemerahan (lesi target, iris atau bull eye`s), yang terasa gatal. Bentuk lesi kadang bulat atau ireguler yang berbatas tegas. Sering terdapat lesi yang lebih besar dari lesi target, lebih mendatar,dan lunak dengan tes Nicolsky positif. Vesikel hemoragik kadang dapat terjadi. Lesi biasanya berkelompok, sebagian konfluens pada tempat-tempat predileksi (wajah, leher dan batang tubuh). Lesi di mukosa membran dapat timbul sebelum atau bersamaan dengan lesi kulit.1-2,13,14

Kriteria diagnosis NET adalah ditemukan kelainan di kulit, mata, dan lebih dari satu mukosa. SSJ dan TEN hanya dibedakan atas dasar luasnya permukaan tubuh (Body Surface Area (BSA) ) yang terkena. Pada SSJ BSA yang terlibat <10 %, SSJ overlap NET 10-30% dan NET >30 %. Cara

(4)

mengukurnya dengan formulasi Rule of Nine atau permukaan dari satu tangan pasien (telapak dan jari-jari). Pada kasus ini, pasien memenuhi trias diagnosis NET dan berdasarkan kriteria formulasi Rule of Nine, diketahui luasnya permukaan tubuh yang terkena >30 % (±38 %).1,3,11

Pasien mengalami gejala prodromal berupa keluhan demam. Keluhan berupa vesikel dan bula, multipel, di kulit hampir seluruh tubuh, terjadi mendadak bersamaan dengan gejala prodromal. Gejala tersebut muncul setelah tiga hari mengonsumsi obat yang termasuk sering menimbulkan NET. Pada pasien ditemukan gambaran lesi di kulit berupa makula eritema, purpura, dan bula. Saat penderita datang, didapatkan hasil positif pada tes Nicolsky pada lesi di regio abdominalis. Terlibatnya mukosa labialis ditandai dengan mukosa labialis yang edema, sebagian permukaan ditutupi krusta sanguinolenta yang tebal dengan dasar yang erosif. Terlibatnya mukosa konjungtiva ditandai dengan edema palpebra superior dan inferior, serta konjungtivitis dengan sekret purulen di kedua mata.1,2,5

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik pada NET. Umumnya terjadi peningkatan eosinofil jika penyebabnya adalah alergi obat. Biakan bakteri dari darah, urin, dan lesi dilakukan bila terdapat tanda infeksi. Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk studi diagnostik. Tes tempel, tes tusuk, dan tes provokasi untuk memastikan obat penyebab tidak dianjurkan karena pada kasus NET dapat membahayakan penderita.7

Penatalaksanaan NET terutama ditujukan untuk menyelamatkan jiwa dan mencegah komplikasi melalui tatalaksana umum dan khusus. Tata laksana umum berupa identifikasi segera dan penghentian obat-obatan yang dicurigai menjadi sebuah penyebab timbulnya kelainan. Penderita sebaiknya dirawat di ruang khusus dan diberikan perawatan suportif yang aseptis dan simtomatis. Cairan pengganti diberikan untuk keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh yang terganggu. Dilakukan perawatan terhadap lesi mukosa oral serta daerah erosi dengan kompres terbuka dengan cairan salin atau burowi. Obat kumur antiseptik juga diberikan untuk membersihkan krusta dan kotoran yang dapat menyebabkan infeksi rongga mulut.1,7,8-13

Tata laksana khusus berupa pemberian medikamentosa sesuai dengan kondisi penderita. Pemberian kortikosteroid pada NET masih diperdebatkan. Beberapa penulis menyatakan sebagai kontraindikasi, karena dapat meningkatkan kemungkinan komplikasi. Pemberian kortikosteroid biasanya diberikan dalam dosis tinggi (1-2 mg/kgBB tablet prednison) dan bila terdapat perbaikan klinis secepatnya dosis diturunkan. Pada kasus ini dilakukan penatalaksanaan umum dan khusus. Berdasarkan anamnesis diketahui adanya pemakaian obat yang diduga penyebab timbulnya kelainan, tetapi penggunaan obat telah dihentikan.9,11-14

Pemberian cairan intravena dan pengawasan cairan bertujuan untuk menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit. Pada pasien ini administrasi obat diberikan secara intravena karena kondisi pasien tidak memungkinkan diberikan secara peroral. Maka dipertimbangkan pemberian steroid sistemik injeksi intravena deksametason sebanyak 2x2,5 mg, sesuai perhitungan konversi dosis prednison dengan dosis ekuivalennya. Setelah keadaan klinis membaik, secepatnya dilakukan pengurangan dosis dan dikonversi menjadi tablet metilprednisolon. Dilakukan kompres terbuka

dengan larutan NaCl 0,9% untuk

mempermudah pelepasan krusta yang mengering. Pada pasien terjadi konjungtivitis, sehingga dilakukan perawatan bersama dengan Departemen Ilmu Kesehatan Mata, dan diberikan tetes mata yang berisi natrium klorida 8,64 mg dan kalium klorida 1,32 mg, untuk perawatan mata. Tata laksana selanjutnya setelah lesi kering diberikan salep triamsinolon asetonida pada lesi di regio labialis serta krim asam fusidat di kulit tubuh.

9-12

NET dapat menyebabkan berbagai komplikasi. Kasus tanpa komplikasi NET dapat sembuh setelah 2-3 minggu. Dengan penatalaksanaan yang cepat dan tepat angka kematian rendah. Kasus berat dengan berbagai komplikasi atau dengan pengobatan terlambat dan tidak adekuat, angka kematian cukup tinggi. Komplikasi yang paling sering dan dapat mengakibatkan kematian adalah bronkopneumonia dan sepsis. Selain itu, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dapat menyebabkan syok. Komplikasi pada mata dapat berupa konjungtivitis,

(5)

blefarokonjungtivitis, iritis, dan iridosiklitis yang menyebabkan kelopak mata biasanya edema dan sulit dibuka. Pada kasus berat dapat terjadi erosi dan perforasi kornea sampai kebutaan.8-9

Prognosis pada pasien ini quo ad vitam adalah dubia ad bonam karena body surface area yang terlibat ±38%. Selain itu, sesuai dengan skor prognosis Scorten ≥2, angka kematian rata-rata adalah 12,1%. Selanjutnya, quo ad functionam adalah dubia ad bonam karena belum ditemukannya kelainan organ yang menetap yang disebabkan oleh NET tersebut. Sedangkan quo ad sanationam adalah dubia ad bonam karena keluhan yang sama akan timbul kembali, tergantung pasien mengonsumsi kembali atau tidak obat sebelumnya yang diduga menjadi penyebab NET. Untuk mencegah pemakaian obat yang dicurigai sebagai penyebab timbulnya NET, pada waktu pulang penderita diberikan kartu alergi.

Simpulan

Telah dilaporkan kasus NET pada seorang anak perempuan berusia 4 tahun. Pada kasus ini, diduga penyebab timbulnya NET adalah sulfametoksazol dan parasetamol. Pasien diberikan terapi suportif dan simtomatis. Walaupun masih diperdebatkan, terapi kortikosteroid yang diberikan pada pasien ini menunjukkan hasil yang efektif. Hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium pada hari ke-10 perawatan pasien menunjukkan perbaikan.

Daftar Pustaka

1. Fritsch OP, Maldonado RR. Stevens johnson syndrome-toxic epidermal necrolysis. Dalam: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, editors. Fitzpatrick`s Dermatology in general medicine. Edisi ke-6. New York: McGraw-Hill; 2008. hlm. 548-57.

2. Paller SA, Mancini JA. Stevens-johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis. Dalam: Paller SA, Mancini JA, editors. Hurwitz clinical pediatric dermatology : A textbook of skin disorders of childhood and adolescence. Edisi ke-3. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2006. hlm. 533-38.

3. Weston WL. Erythema multiforme and stevens johnson syndrome. Dalam: Bolognia JL, Jorizzo J, Rapini RP, editors. Dermatology. Edisi ke-2. Edinburg: Mosby; 2007. hlm. 313-22. 4. Breathnach SM. Erythema multiforme,

Stevens-johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis. Dalam: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook`s textbook of dermatology. Edisi ke-7. USA: Blackwell Science; 2006. hlm. 3945-64.

5. Schachner LA. Stevens-johnson

syndrome/toxic epidermal necrolysis. Dalam: Schachner LA, Hansen RC, editors. Pediatric dermatology. Edisi ke-3. London: Mosby Elsevier; 2007. hlm. 711-2.

6. Data pasien rawat inap Departemen IKKK periode Maret 2010 sampai Maret 2015. Lampung: RSUDAM. 2015.

7. Moenadjat Y, editor. Luka Bakar Pengetahuan Klinis Praktis. Edisi ke-2. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2003.

8. Nugroho SA. Penelitian 40 kasus Sindroma Stevens Johnson di Departemen Penyakit Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Dr. Mohammad Hoesin Palembang. Palembang: Bagian Dermatologik; 2003.

9. Ghislain PD, Roujeau JC. Treatment of Severe Drug Reaction: Stevens-Johnson Syndrome, Toxic Epidermal Necrolysis and Hypersensitivity Syndrome. Dermatol Online J [internet]. 2002 [diakses tanggal 14 Maret 2015]; 8(1):5. Tersedia dari: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed /12165215.

10. Labreze CL, Lamireau T, Chawki D, Malleville J, Taieb A. Diagnosis, classification, and management of erythema multiforme and Stevens-Johnson syndrome. Arch Dis Child. 2000; 83(4):347-52.

11. Roujeau JC. Treatment of SJS and TEN. Dalam: Kauppinen K, Alanko K, Hannuksela M, Maibach HI, editors. Skin Reaction To Drug. Florida: Taylor & Francis; 2010. hlm. 141-50.

(6)

12. Kotturesha HV. Images in Clinical Practice, Stevens-Johnson Syndrome. Indian Pediatric. 2005; 42:487-8.

13. Kardaun SH, Jonkman MF.

Dexamethasone pulse therapy for Stevens-Johnson syndrome/toxic epidermal necrolysis. Acta Derm Venereol. 2007; 87(2):144-8.

14. Delpozzo BR, Carleton B, Riedder MJ. A systematic review of treatment of

drug-induced Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis in children. J Popul Ther Clin Pharmacol [internet]. 2011 [diakses tanggal 19 Maret 2015]. Tersedia

dari: http:

//www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/214 67603.

Gambar

Gambar	1.	Status	dermatologis	perawatan	hari	 ke-4
Gambar	2.	Status	dermatologis	perawatan	hari	 	 ke-10

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis kesiapan sekolah dalam implementasi Kurikulum 2013 di sekolah dasar di Kota Palu. Jenis penelitian ini adalah

Pada penelitian yang dilakukan, diperoleh hubungan antara kekuatan otot lengan dengan kecepatan renang, artinya semakin tinggi nilai kekuatan otot lengan semakin cepat

Diisi dengan tanggal, bulan, tahun dan nomor surat perintah perjalanan dinas yang dikeluarkan oleh instansi atau surat keterangan perjalanan oleh Pemerintah Desa /

Matakuliah ini merupakan matakuliah dasar yang membahas tentang ruang lingkup genetika, genom organisme, pewarisan mendel, pembelahan sel, gametogenesis,

Pernyataan di atas beririsan dengan hal berikut: (1) beras menjadi bahan pokok utama lebih dari 95% penduduk Indonesia (Sudaryanto 2013); (2) tingkat konsumsi per kapita per

Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa dengan menerapkan strategi pembelajaran bermain jawaban pada kelas V SD Inpres Bangkala III Kecamatan Manggala Kota

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas berkat, rahmat, taufik dan hidayahNya penulis panjatkan, sehingga skripsi yang berjudul laporan penelitian pengembangan berjudul

Ada hubungan kejadian anemia saat kehamilan trimester IIIdengan kejadian perdarahan postpartum primer,dimana kejadian perdarahan postpartum primer 3,03 kali lebih