• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI PASAL 40 AYAT (2) UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG PELAYARAN TERHADAP TANGGUNG JAWAB PENGIRIM BARANG (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 1128 K/Pdt/2015)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IMPLEMENTASI PASAL 40 AYAT (2) UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG PELAYARAN TERHADAP TANGGUNG JAWAB PENGIRIM BARANG (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 1128 K/Pdt/2015)"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI PASAL 40 AYAT (2) UNDANG-UNDANG

NOMOR 17 TAHUN 2008 TENTANG PELAYARAN

TERHADAP TANGGUNG JAWAB PENGIRIM

BARANG (Studi Kasus Putusan Mahkamah

Agung Nomor 1128 K/Pdt/2015)

Oleh:

Nama : I Gede Lanus Nananjaya NPM : 1541000002

ABSTRAK

Tesis ini meneliti tentang implementasi tanggung jawab pengirim barang berdasarkan Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1128 K/Pdt/2015, sehingga dengan judul tersebut, maka dapat menjawab permasalahan tentang penerapan Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran terkait dengan tanggung jawab pengangkut dan pengirim terhadap selisih antara pengiriman muatan kapal dengan pembayaran, dan juga masalah yang timbul dari adanya selisih antara pengiriman muatan kapal dengan pembayaran berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, dan bagaimana penyelesaiannya.

Metode Penelitian ini termasuk dalam bentuk penelitian yuridis normatif. Data yang digunakan yaitu data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Untuk analisis data dilakukan dengan metode analisis data deskriptif kualitatif.

Dari hasil penelitian dapat diperoleh bahwa penerapan Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran terkait dengan tanggung jawab pengangkut dan pengirim terhadap selisih antara pengiriman muatan kapal dengan pembayaran telah sesuai dengan prinsip keadilan. Selain daripada itu, masalah yang timbul dari adanya selisih antara pengiriman muatan kapal dengan pembayaran berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran terbagi menjadi 2 (dua), yaitu terhadap peraturan perundang-undangan dan bagi para pihak terjadi sengketa hukum antara PT.Djaya Kuslie Pratama dengan PT.Roda Jaya Sakti yang dapat diselesaikan melalui upaya hukum non yudisial atau upaya hukum yudisial.

(2)

pengiriman muatan kapal wajib dilakukan perjanjian secara tertulis, bila perlu dapat dibuat dihadapan Notaris. Hal tersebut perlu dilakukan agar perjanjian kerjasama bisnis tersebut menjadi akta otentik, sehingga tidak ada lagi celah hukum untuk menafsirkan apakah perjanjian tersebut sah atau tidak secara hukum.

(3)

A. Latar Belakang Masalah

Pengaturan tentang tanggung jawab pengangkutan muatan kapal telah diatur dalam Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran yang menyatakan:

Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab terhadap muatan kapal sesuai dengan jenis dan jumlah yang dinyatakan dalam dokumen muatan dan/atau perjanjian atau kontrak pengangkutan yang telah disepakati.

Berdasarkan hal tersebut, maka perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab terhadap muatan kapal dengan catatan disertai oleh dokumen muatan dan/atau perjanjian atau kontrak pengangkutan yang telah disepakati. Menurut Agus Yudha Hernoko, pada dasarnya kontrak berawal dari perbedaan atau ketidaksamaan kepentingan di antara para pihak. Perumusan hubungan kontraktual tersebut pada umumnya senantiasa diawali dengan proses negosiasi antara para pihak.1

Melalui negosiasi para pihak berupaya menciptakan bentuk-bentuk kesepakatan untuk saling mempertemukan sesuatu yang diinginkan (kepentingan) melalui proses tawar-menawar. Dengan demikian maka dapat disimpulkan, pada umumnya kontrak bisnis justru berawal dari perbedaan kepentingan yang ingin dipertemukan melalui kontrak. Melalui kontrak perbedaan tersebut diakomodasi dan selanjutnya dibingkai dengan perangkat hukum sehingga mengikat para pihak.

1Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Jakarta: Kencana Prenada Group, 2009, hal. 1.

(4)

Permasalahan timbul, ketika terjadi selisih antara jumlah pengangkutan muatan kapal dengan pembayaran atas pengangkutan tersebut, namun para pihak tidak melakukan perjanjian secara tertulis yang ditandatangani langsung oleh para pihak, sehingga ketika terjadi sengketa, dimanfaatkan oleh salah satu pihak agar terlepas dari tanggung jawabnya. Hal tersebut terjadi

pada kasus antara PT.Djaya Kuslie Pratama dengan PT.Roda Jaya Sakti.2 Dalam kasus tersebut, pada tanggal 15 Oktober 2012 antara PT.Djaya Kuslie Pratama dengan PT.Roda Jaya Sakti mengadakan pertemuan pertama di Mall MOI Jakarta Utara dan hasil pertemuan dan pembicaraan telah terjadi persetujuan lisan kerjasama transportasi kapal muatan tambang nikel yang terletak di Morowali Sulawesi Tenggara dengan ketentuan bahwa kapal muatan nikel diperhitungkan biayanya sesuai tonase yang dimuat dan menjadi tanggung jawab penyalur kapal, dalam hal ini adalah PT.Djaya Kuslie Pratama.

Pada tanggal 22 September 2012 PT.Djaya Kuslie Pratama mengirimkan lewat email draft kontrak kapal kepada Bapak Soerianto Soewardi alias Tony yakni PT.Roda Jaya Sakti. Setelah membaca draft

kontrak yang dibuat oleh PT.Djaya Kuslie Pratama, oleh PT.Roda Jaya Sakti melakukan revisi terhadap kontrak tersebut dan hasil yang dibuat oleh PT.Roda Jaya Sakti sendiri melalui email tanggal 31 Oktober 2012.

Dengan dasar draft yang dibuat oleh PT.Roda Jaya Sakti maka kami pihak PT.Djaya Kuslie Pratama tidak keberatan/menyetujui isi kontrak yang

(5)

telah direvisi oleh pihak PT.Roda Jaya Sakti atau PT.Raja dalam hal ini selaku Direktur Bapak Soerianto Soewardi alias Tony, dengan mengirimkan dana sebesar Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) sebagai uang muka pembayaran pemakaian kapal muatan, pembayaran tersebut dengan menggunakan cek Nomor BCA RJS 859599 pada tanggal 31 Oktober 2012 bersamaan dengandraftyang direvisi.

Berdasarkan kontrak yang disetujui bersama, maka pihak PT.Djaya Kuslie Pratama mengirimkan kapal muatan ke posisi yang disetujui pihak PT.Djaya Kuslie Pratama yakni daerah Morowali Sulawesi Tenggara dan pada tanggal 9 November 2012 armada PT.Djaya Kuslie Pratama tiba di daerah tambang nikel daerah Morowali Sulawesi Tenggara.

Setelah tiba armada kapal tertanggal 9 November 2012 PT.Roda Jaya Sakti atau PT.Raja melakukan penambahan pembayaran sebesar Rp. 573.500.000,00 (lima ratus tujuh puluh tiga juta lima ratus ribu rupiah) yang terbagi 2 kali pembayaran yakni tanggal 9 November 2012 sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan tanggal 14 November 2012 sebesar Rp. 37.500.000,00 (tiga puluh tujuh juta lima ratus ribu rupiah).3

Dasar draft kontrak yang direvisi oleh PT.Roda Jaya Sakti atau PT.Raja, dan dasar pengiriman panjar maupun penambahan bayaran pemakaian armada kapal tersebut diatas, maka PT.Djaya Kuslie Pratama setuju melakukan kegiatan pengerjaan pengangkutan nikel melalui armada kapal menjadi tanggung jawab PT.Djaya Kuslie Pratama. Sesuai dengan yang

(6)

tercantum kontrak yang dibuat oleh PT.Roda Jaya Sakti atau PT.Raja walaupun kontrak tersebut belum ditandatangani kedua belah pihak, dikarenakan kesibukan masing-masing pihak hanya berdasarkan asas kepercayaan dan mufakat dan tidak melanggar aturan kontrak yang telah disetujui bersama secara aklamasi.

Pada bulan November 2012 hingga Januari 2013, PT.Djaya Kuslie Pratama telah melakukan pengangkutan nikel, namun dalam hal pembayaran biaya pengangkutan tersebut tidak dibayarkan secara penuh oleh PT.Roda Jaya Sakti sesuai dengan kontraknya, sehingga pada tanggal 16 Januari 2012 PT.Roda Jaya Sakti secara sepihak telah memutuskan hubungan kerjasama tanpa ada persetujuan kedua belah pihak.

Hal ini tidak sesuai dengan isi kontrak kerjasama yang mewajibkan pemakaian kapal selama 3 (tiga) bulan, dimana pada kontrak tersebut pada Pasal 6 tercantum juga didalamnya pamakaian kapal angkutan minimal 3 bulan berturut-turut dan minimal tonase adalah 75.000 ton, bila tidak tercapai, maka pihak PT.Roda Jaya Sakti atau PT.Raja akan membayar

pertonasesebesar Rp21.000,00 (dua puluh satu ribu rupiah) dikali 75.000 ton dengan nilai sebesar Rp1.575.000.000,00 (satu miliar lima ratus tujuh puluh lima juta rupiah) akibat pemberhentian sepihak dan tidak sesuai dengan isi kesepakatan yang mana telah tercantum dengan jelas dalam kesepakatan tersebut.

Mengacu pada latar belakang permasalah yang telah diuraikan sebelumnya, pokok permasalahan yang akan dibahas ialah:

(7)

1. Bagaimana penerapan Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran terkait dengan tanggung jawab pengangkut dan pengirim terhadap selisih antara pengiriman muatan kapal dengan pembayaran?

2. Bagaimana masalah yang timbul dari adanya selisih antara pengiriman muatan kapal dengan pembayaran berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, dan bagaimana penyelesaiannya?

B. PEMBAHASAN

1. Penerapan Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran Terkait Dengan Tanggung Jawab Pengangkut dan Pengirim Terhadap Selisih Antara Pengiriman Muatan Kapal Dengan Pembayaran

Dalam pertimbangan yang dikemukakan oleh Majelis Hakim terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 1128 K/Pdt/2015, bahwa alasan kasasi Pemohon Kasasi tidak dapat dibenarkan oleh karena putusan

Judex Facti sudah tepat dan benar (tidak salah menerapkan hukum)

dengan pertimbangan sebagai berikut:

a. Sesuai dengan isi perjanjian, Penggugat akan menyediakan jasa angkutan kapal, sedangkan Tergugat menggunakan barang nikel, dengan jumlah minimumtonase75.000 ton;

(8)

b. Perjanjian terlaksana, pengangkutan pertama tonase 24.426 ton, kedua

tonase 28.888 ton, ketiga tonase 37.848 ton, keempat tonase 38.974

ton, kelimatonase40.908 ton dan keenamtonase32.160 ton;

c. Tergugat menaruh keberatan karena tonase kapal tidak sesuai dengan perjanjian yaitu setiap pengangkutan dengan minimum tonase 75.000 ton, tapi selalu dibawah perjanjian, maka untuk angkutan ketujuh, Tergugat menghentikan sepihak;

d. Tergugat sudah mengetahui angkutan ke I s/d ke VI adalah tidak mencapai 75.000 ton, maka seharusnya sejak awal Tergugat menaruh keberatan, tidak dibenarkan secara tiba-tiba menghentikan pemuatan barang ke kapal maka Tergugat harus membayar ganti rugi;

e. Besar ganti rugi bukantonase75.000 ton sesuai perjanjian, karena tidak pernah sebelumnya dimuat tonase 75.000 ton, justru hal itu sebagai penyebab Tergugat menghentikan pemuatan barang ke kapal, tapi yang benar adalah sejumlah muatan yang paling besar sebelumnya yaitu pada angkutan kelima yaitu 40.908 ton, sehingga Tergugat harus mengganti rugi 40.908 x Rp. 25.000,00 = Rp. 859.068.000,00 ditambah kekurangan angkutan sebelumnya Rp. 167.710.860,00 jumlah total Rp. 1.021.778.860,00 (satu miliar dua puluh satu juta tujuh ratus tujuh puluh delapan ribu delapan ratus enam puluh rupiah).

Berdasarkan ketentuan tersebut, terlihat bahwa pertimbangan Hakim Mahkamah Agung tersebut tentunya sesuai dengan prinsip keadilan yang

(9)

terdapat dalam Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, yaitu:

a. Equality atau kesamaan, mengandung arti bahwa keadaan yang sama

atau orang yang berada dalam keadaan yang sama

Penulis berpendapat, PT.Djaya Kuslie Pratama sebagai penyedia armada kapal pengangkutan nikel, mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dari PT.Roda Jaya Sakti, yaitu pemakaian kapal angkutan minimal 3 bulan berturut-turut dan minimal tonase adalah 75 ton, bila tidak tercapai, maka pihak PT.Roda Jaya Sakti atau PT.Raja akan membayar pertonase sebesar Rp. 21.000,00 (dua puluh satu ribu rupiah) dikali 75 ton dengan nilai sebesar Rp1.575.000.000,00 (satu miliar lima ratus tujuh puluh lima juta rupiah).

Kesepakatan tersebut tertuang dalam Pasal 6 perjanjian antara PT.Djaya Kuslie Pratama dengan PT.Roda Jaya Sakti, walaupun perjanjian tersebut belum ditandatangani oleh para pihak, namun telah disetujui secara lisan oleh para pihak. Oleh karena telah terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak, maka hal tersebut telah terjadi keseimbangan, yaitu keadaan, posisi, derajat, berat, dan lain-lainnya antara PT.Djaya Kuslie Pratama dengan PT.Roda Jaya Sakti haruslah sama.

Penulis berpendapat, perjanjian antara PT.Djaya Kuslie Pratama dengan PT.Roda Jaya Sakti telah terjadi dan sah menurut Pasal 1320 KUHPerdata. Hal tersebut dibuktikan dengan fakta hukum bahwa

(10)

perjanjian tersebut telah memenuhi baik syarat subjektif maupun syarat objektif, yaitu kesepakatan bagi para pihak, kemudian kecakapan para pihak untuk membuat suatu perikatan, dan suatu hal tertentu, yaitu obyek dari perjanjian kerjasama bisnis antara PT.Djaya Kuslie Pratama dengan PT.Roda Jaya Sakti yang akibat hukumnya melahirkan hak dan kewajiban para pihak, serta perjanjian kerjasama bisnis tersebut tidak bertentangan dengan hukum.

b. Certainty atau kepastian hukum, adalah tujuan setiap undang-undang.

Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran yang baik senantiasa dapat memberikan kepastian hukum kepada para pihak, apa hak-hak dan kewajiban mereka, siapa subjek dan objek pekerjaan

Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Makassar dan Pengadilan Tinggi Makassar, serta Hakim Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa perjanjian kerjasama pengangkutan muatan kapal antara PT.Djaya Kuslie Pratama dengan PT.Roda Jaya Sakti adalah perjanjian yang sah oleh karena adanya kesepakatan antara kedua belah pihak, maka menyebabkan kepastian hukum terhadap para pihak atas hak-hak dan kewajiban mereka.

Hal tersebut tentunya mengakibatkan kepastian hukum bagi PT.Djaya Kuslie Pratama sebagai penyedia armada kapal pengangkutan nikel, karena menurut Satjipto Rahardjo, kepastian hukum adalah bukan terletak kepada peraturan perundang-undangannya, melainkan kepada

(11)

pelaksanaan undang-undang itu sendiri, sehingga apabila Hakim Pengadilan Negeri Makassar dan Pengadilan Tinggi Makassar, serta Hakim Mahkamah Agung mengindahkan amanat dalam Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, maka menimbulkan kepastian hukum.

c. Arrangement atau pengaturan, mengandung arti bahwa Pasal 40 ayat

(2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran telah mengatur dengan baik kepada para pihak dalam penyelenggaraan perjanjian kerjasama pengangkutan muatan kapal

Ketentuan biaya pengangkutan muatan nikel yang telah disepakati oleh PT.Djaya Kuslie Pratama dengan PT.Roda Jaya Sakti telah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 35 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran yang menyatakan:

(3) Tarif angkutan penumpang nonekonomi ditetapkan oleh penyelenggara angkutan berdasarkan tingkat pelayanan yang diberikan.

(4) Tarif angkutan barang ditetapkan oleh penyedia jasa angkutan berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dan penyedia jasa angkutan sesuai dengan jenis, struktur, dan golongan yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Kesepakatan tersebut telah dilaksanakan dengan adanya fakta persidangan, yaitu pada bulan November 2012 hingga Januari 2013, PT.Djaya Kuslie Pratama telah melakukan pengangkutan nikel, namun dalam hal pembayaran biaya pengangkutan tersebut tidak dibayarkan secara penuh oleh PT.Roda Jaya Sakti sesuai dengan kontraknya, sehingga pada tanggal 16 Januari 2012 PT.Roda Jaya Sakti secara

(12)

sepihak telah memutuskan hubungan kerjasama tanpa ada persetujuan kedua belah pihak.

Berdasarkan fakta persidangan di atas, maka dapat Penulis nyatakan bahwa Pasal 35 ayat (3) dan (4) serta Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran telah mengatur dengan baik kepada para pihak dalam penyelenggaraan perjanjian kerjasama pengangkutan muatan kapal. Namun dalam praktiknya, perjanjian tersebut tidak dilakukan dengan baik, ketika pembayaran biaya pengangkutan tersebut tidak dibayarkan secara penuh oleh PT.Roda Jaya Sakti sesuai dengan kontraknya. Padahal, pihak PT.Djaya Kuslie Pratama telah melaksanakan kewajibannya dalam pengangkutan nikel, yang artinya ada hak yang tidak dapat dipisahkan dari PT.Djaya Kuslie Pratama.

d. Implementation atau pelaksanaan, mengandung arti bahwa dalam setiap

pelaksanaan kegiatan perjanjian kerjasama pengangkutan muatan kapal selalu mengikuti amanat dalam Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran

Menurut Penulis, secara normatif, Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran sudah sangat baik dan memberikan aspek keadilan bagi para pihak, dan dalam pelaksanaannya, ketika ada salah satu pihak ingin mendapatkan keadilan pada aparat penegak hukum, khususnya Hakim Pengadilan, hakim tersebut dapat melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya.

(13)

Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa Hakim wajib untuk menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Makna dari Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ialah Hakim diberi hak untuk memutuskan dan menjalankan hukum sesuai keyakinannya akan nilai keadilan.

Keadilan di dalam kasus ini adalah tentang hak PT.Djaya Kuslie Pratama yang telah melaksanakan kewajibannya dalam pengangkutan nikel sesuai dengan perjanjian kerjasama pengangkutan muatan kapal yang dilakukan secara lisan oleh PT.Roda Jaya Sakti, sehingga Hakim Pengadilan Negeri Makassar dan Pengadilan Tinggi Makassar, serta Hakim Mahkamah Agung memberikan pertimbangan bahwa perjanjian lisan antara PT.Djaya Kuslie Pratama dengan PT.Roda Jaya Sakti adalah sah berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata, yang mengatur untuk dapat dikatakan suatu perjanjian adalah sah harus memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu adanya kesepakatan, kecapakan, sebab yang halal dan obyek tertentu, sehingga perjanjian lisan yang telah diakui oleh para pihak tersebut lebih lanjut mengikat kedua belah pihak.

2. Masalah Yang Timbul Dari Adanya Selisih Antara Pengiriman Muatan Kapal Dengan Pembayaran Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, dan Upaya Penyelesaiannya

(14)

Dalam kasus antara PT.Djaya Kuslie Pratama dengan PT.Roda Jaya Sakti yang terdapat selisih antara pengiriman muatan kapal dengan pembayaran, tentunya terdapat faktor pendukung dan faktor penghambat, sehingga dapat muncul kasus tersebut. Faktor-faktor tersebut, yaitu:

1. Faktor Pendukung Ada Pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran.

Dalam Pasal 35 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran menyatakan bahwa tarif angkutan penumpang nonekonomi ditetapkan oleh penyelenggara angkutan berdasarkan tingkat pelayanan yang diberikan. Kemudian di ayat (4) menyatakan tarif angkutan barang ditetapkan oleh penyedia jasa angkutan berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dan penyedia jasa angkutan sesuai dengan jenis, struktur, dan golongan yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Adanya pembatalan perjanjian secara sepihak yang dilakukan oleh PT.Roda Jaya Sakti, tentunya berakibat ketidakpastian hukum terhadap PT.Djaya Kuslie Pratama yang telah melaksanakan kewajibannya sebagaimana amanat dalam Pasal 35 ayat (3) dan Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran. b. Faktor Penghambat Ada Pada Para Pihak

Fakta persidangan memperlihatkan bahwa PT.Djaya Kuslie Pratama telah melaksanakan kewajibannya, namun tidak mendapatkan haknya, oleh karena PT.Roda Jaya Sakti telah melakukan wanprestasi.

(15)

Atas perbuatan PT.Roda Jaya Sakti yang tidak membayar biaya pengangkutan tersebut secara penuh oleh sesuai dengan kontraknya, bahkan pada tanggal 16 Januari 2012 PT.Roda Jaya Sakti secara sepihak telah memutuskan hubungan kerjasama tanpa ada persetujuan kedua belah pihak, mengakibatkan timbulnya sengketa antara PT.Djaya Kuslie Pratama dengan PT.Roda Jaya Sakti.

Menurut Penulis, dalam upaya mencegah terjadinya kasus seperti yang terjadi antara antara PT.Djaya Kuslie Pratama dengan PT.Roda Jaya Sakti, maka perlu ada budaya hukum yang harus diarahkan pada pembangunan kesadaran dalam penegakan hukum. Upaya mewujudkan keadilan sebagai perlindungan hukum bagi pihak yang dirugikan dalam kerjasama bisnis secara lisan itu sendiri harus menyentuh 3 (tiga) indikator, yaitu:

a. Materi aturan hukum yang harus menjamin tidak adanya celah untuk menafsirkan hukum secara ambigu, sebab ketidakjelasan itu akan menimbulkan ketidakpastian hukum

Perjanjian kerjasama bisnis dapat dibuat dihadapan Notaris, sehingga perjanjian kerjasama bisnis tersebut sebagai akta otentik yang merupakan bentuk pencegahan hukum secara preventif. Akta otentik memberikan bukti yang sempurna, artinya ia sudah tidak memerlukan suatu penambahan pembuktian, dan merupakan suatu alat bukti yang mengikat dan sempurna. Dengan adanya perjanjian kerjasama bisnis

(16)

yang dibuat dihadapan Notaris, maka perjanjian kerjasama bisnis tersebut tidak kehilangan marwah kepastian hukumnya.

b. Mental aparat penegak hukum yang harus kuat dan penuh integritas sebab jika mental aparat rusak, maka penegakan hukum juga bisa rusak

Hakim wajib melihat fakta hukum di pengadilan dan dapat memberikan keputusan yang dapat mengakomodir kepentingan dan keadilan semua pihak. Sesuai dengan makna keadilan distributif yang dinyatakan oleh Aristoteles, yaitu keadilan yang memberikan kepada tiap orang jatah atau bagian menurut jasanya, maka memang sudah seharusnya Hakim Pengadilan Negeri Makassar dan Pengadilan Tinggi Makassar, serta Hakim Mahkamah Agung mengakui adanya perjanjian kerjasama bisnis secara lisan antara PT.Djaya Kuslie Pratama dengan PT.Roda Jaya Sakti, dan memerintahkan kepada PT.Roda Jaya Sakti untuk memberikan hak PT.Djaya Kuslie Pratama sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.

c. Kesadaran dan kepatuhan hukum serta perilaku masyarakat

Ketidakpastian hukum dalam perjanjian kerjasama bisnis secara lisan antara PT.Djaya Kuslie Pratama dengan PT.Roda Jaya Sakti adalah karena ketidakpatuhan PT.Roda Jaya Sakti untuk melaksanakan perjanjian kerjasama bisnis secara lisan tersebut secara sukarela. Menurut Penulis, untuk itu perlu adanya itikad baik atau good faith dari para pihak yang berniat melakukan perjanjian kerjasama bisnis secara lisan.

(17)

C. Kesimpulan

1. Penerapan Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran terkait dengan tanggung jawab pengangkut dan pengirim terhadap selisih antara pengiriman muatan kapal dengan pembayaran telah sesuai dengan prinsip keadilan, yaitu pada prinsip

equality atau kesamaan, Hakim Mahkamah Agung memutuskan bahwa

PT.Roda Jaya Sakti telah melakukan wanprestasi dan dihukum untuk mengganti kerugian yang diderita PT.Djaya Kuslie Pratama akibat perbuatannya. Kemudian pada prinsip certainty atau kepastian hukum, dengan Hakim Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa perjanjian kerjasama pengangkutan muatan kapal antara PT.Djaya Kuslie Pratama dengan PT.Roda Jaya Sakti adalah perjanjian yang sah, maka menyebabkan kepastian hukum terhadap para pihak atas hak-hak dan kewajiban mereka. Pada prinsip arrangement atau pengaturan, Pasal 35 ayat (3) dan (4) serta Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran telah mengatur dengan baik kepada para pihak dalam penyelenggaraan perjanjian kerjasama pengangkutan muatan kapal. Terakhir pada prinsipimplementationatau pelaksanaan, Hakim pengadilan telah menjalankan amanat dalam Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Pasal 1320 KUHPerdata, sehingga terciptanya kepastian hukum bagi para pihak.

(18)

2. Masalah yang timbul dari adanya selisih antara pengiriman muatan kapal dengan pembayaran berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran terbagi menjadi 2 (dua), yaitu terhadap peraturan perundang-undangan, menyebabkan ketidakpastian hukum terhadap PT.Djaya Kuslie Pratama yang telah melaksanakan kewajibannya sebagaimana amanat dalam Pasal 35 ayat (3) dan Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran. Hal tersebut berakibat menimbulkan permasalahan yang kedua, yaitu bagi para pihak terjadi sengketa hukum antara PT.Djaya Kuslie Pratama dengan PT.Roda Jaya Sakti yang dapat diselesaikan melalui upaya hukum non yudisial atau upaya hukum yudisial. Oleh karena itu, upaya mencegah terjadinya kasus seperti yang terjadi antara PT.Djaya Kuslie Pratama dengan PT.Roda Jaya Sakti, maka perlu ada budaya hukum yang harus diarahkan pada pembangunan kesadaran dalam penegakan hukum yang menyentuh 3 (tiga) indikator, yaitu pertama adalah perjanjian kerjasama bisnis wajib dibuat secara tertulis dihadapan Notaris, sehingga perjanjian kerjasama bisnis tersebut sebagai akta otentik yang merupakan bentuk pencegahan hukum secara preventif. Kedua adalah hakim pengadilan harus mempunyai integritas yang tinggi, sehingga dapat melaksanakan amanat dalam Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran dan Pasal 1320 KUHPerdata. Ketiga adalah perlu adanya itikad baik atau good faith dari para pihak yang berniat melakukan perjanjian kerjasama bisnis secara lisan.

(19)

D. Saran

1. Kepada Pemerintah, perlu melakukan sosialisasi kepada masyarakat, pentingnya perjanjian bisnis secara tertulis. Hal tersebut perlu dilakukan agar masyarakat tersadar bahwa perjanjian kerjasama bisnis yang dilakukan secara lisan, rentan terhadap sengketa hukum.

2. Kepada Masyarakat, ketika akan melakukan kerjasama bisnis pengiriman muatan kapal wajib dilakukan perjanjian secara tertulis, bila perlu dapat dibuat dihadapan Notaris. Hal tersebut perlu dilakukan agar perjanjian kerjasama bisnis tersebut menjadi akta otentik, sehingga tidak ada lagi celah hukum untuk menafsirkan apakah perjanjian tersebut sah atau tidak secara hukum.

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Abdulkadir Muhammad,Hukum Asuransi Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006.

,Hukum Pengangkutan Niaga,Bandung: Citra Aditya Bakti,

2013.

,Hukum Perdata Indonesia,Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001. Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam

Kontrak Komersial,Jakarta: Kencana Prenada Group, 2009.

,Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam

Kontrak Komersial, Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2008.

Apeldoorn, L.J. van,Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya Paramitha, 2016.

B. Arief Sidarta, et.al, (Editors),Butir-butir Gagasan tentang

Penyetenggaraan Hukum dan Pemerintahan yang Layak,Bandung:

Citra Aditya Bakti, 1996.

Boy Nurdin,Kedudukan dan Fungsi Hakim dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Bandung: Alumni, 2012.

Bur Rasuanto,Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas, Dua Teori Filsafat Politik Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005.

Darji Darmodihardjo dan Sidartha,Pokok-pokok Filsafat Hukum, Apa dan

Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia,Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama, 2008.

Djaja S. Meliala, Masalah Itikad Baik dalam KUHPerdata, Bandung: Bina Cipta, 1987.

Fachmi,Kepastian Hukum Mengenai Putusan Batal Demi Hukum Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia,Bogor: Ghalia Indonesia Publishing, 2011.

(21)

Goodpaster, Gerry,Negosiasi dan Mediasi: Sebuah Pedoman Negosiasi dan Penyelesaian Sengketa Melalui Negosiasi, Jakarta: ELIPS Project, 1993.

Gunawan Widjaja,Seri Hukum Bisnis Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend Recht) dalam Hukum Perdata, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.

HFA, Vollmar, terjemahan I.S. Adiwimarta,Pengantar Studi Hukum Perdata (II), Jakarta: CV. Rajawali, 1984.

Handri Raharjo,Hukum Perjanjian di Indonesia, Jakarta: Pustaka Yustisia, 2009.

Hardijan Rusli,Hukum Perjanjian Indonesia Dan Common Law, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993.

Hasan Alwi,Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2009. Hilman Hadikusuma.Bahasa hukum Indonesia. Alumni, Bandung. 2005.

Huijbers, Theo,Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah,Yogyakarta: Kanisius, 1982.

J. Satrio,Hukum Perikatan yang Lahir Dari Perjanjian Buku I, Bandung: PT. Citra Aditya, 2001.

Johanes Ibrahim dan Lindawaty Sewu,Hukum Bisnis (Dalam Persepsi

Manusia Modern), Bandung: Refika Aditama, 2003.

Kelly, David, Ann Holmes, Ruth Hayward., Business Law, London: Cavendish Publishing Limited, 2002.

Komariah,Hukum Perdata, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2001.

M.A. Moegni Djojodirdjo,Perbuatan Melawan Hukum Tanggung Gugat, Jakarta: Pradnya Paramita, 1979.

Mariam Darus Badrulzaman,KUHPerdata Buku III, Hukum Perikatan

Dengan Penjelasannya, Bandung: Alumni, 1996.

Muhammad Taufiq,Keadilan Substansial: Memangkas Rantai Birokrasi Hukum,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014.

(22)

Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, Buku kedua, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1994.

,Hukum Jaminan Utang, Bandung: Erlangga, 2013.

Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Hukum,Jakarta: Kencana, 2016.

Pound, Roscoe,Pengantar Filsafat Hukum, Diterjemahkan oleh Mohammad Radjab, Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1982.

Prodjodikoro,Asas-Asas Hukum Perdata, Bandung: Penerbit Sumur, 1992. Purwahid Patrik, Azas Itikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian,

Semarang: FH. UNDIP, 1982.

R. Subekti,Hukum Perjanjian, Jakarta: PT Intermasa, 2010.

,Pokok-Pokok Hukum Perdata,Jakarta: Intermasa, 2011. Rachmadi Usman,Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan,

Bandung: Citra Aditya Bakti, 2013.

Rawls, John,A Theory of Justice, London: Oxford University Press, 1973, Terjemahan Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo,Teori Keadilan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.

Ridwan HR,Hukum Administrasi Negara,Jakarta: Rajawali Press, 2011. Rochmat Soemitro,Asas dan Dasar Perpajakan, Bandung: Refika Aditama,

2010.

Satjipto Rahardjo,Hukum Progresif, Sebuah Sintesa Hukum Indonesia, Yogyakarta: Genta Publishing, 2009.

,Biarkan Hukum Mengalir, Jakarta: Kompas, 2007.

Simanjuntak,Pokok-Pokok Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2005.

Soediman Kartohadiprodjo,Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa,

Jakarta: Gramedia, 2010.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji,Penelitian Hukum Normatif-Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013.

(23)

Sri Soemantri,Bunga Rampai Hukum Negara Indonesia,Bandung: PT. Alumni, 1992.

Sutarto,Encyclopedia Admimsirasi, Jakarta: Gramedia, 2009.

Suwoto Mulyosudarmo,Peralihan Kekuasaan: Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap Pidato Newaksara, Jakarta: Gramedia, 1997.

Tuti Triyanti Gondhokusumo,Pengangkutan Melalui Laut I,Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1982.

Widiyono,Wewenang dan Tanggung Jawab,Bogor: Ghalia Indonesia, 2004. Yoachim Agus Tridiatno, Keadilan Restoratif, Yogyakarta: Cahaya Atma

Pustaka, 2015.

Jurnal:

Arief Nugroho, Dyah Hapsari Prananingrum, “Ketidakadilan dalam Perjanjian Jual-Beli Sayur”,Jurnal Ilmu Hukum,Vol. 10 No.2. September 2007.

Ahmad Zaenal Fanani, “Teori Keadilan dalam Perspektif Filsafat Hukum dan Islam”,Makalahpada Program Doktor (S3) Ilmu Hukum UII

Yogyakarta.

Dodo S.D.W., “Aspek Hukum Dalam Ekonomi dan Bisnis”,Modul,Bogor: Fakultas Hukum Universitas Pakuan, 2012.

Donnel, John D.Law for Bussiness, Illionis-Homewood 60430: Richard D Irwin, Inc, 1983. Lihat: Dodo SDW, “Hukum Kontrak”,Modul,Bogor: Fakultas Hukum Universitas Pakuan, 2017.

Groudine, Candace J. “Authority. H.L.A. Hart and the Problem with Legal Positivism”,The Journal of Libertarian StudiesIV:3 1980.

Sri Gambir Melati Hatta, “Peranan Itikad Baik Dalam Hukum Kontrak dan Perkembangannya,Serta Implikasinya Terhadap Hukum dan Keadilan”,

Pidatopada Upacara Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Madya

(24)

Putusan Pengadilan:

Putusan Mahkamah Agung Nomor 1128 K/Pdt/2015.

Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

(25)

Referensi

Dokumen terkait