9 BAB II
LANDASAN TEORI SAKRAL DAN PROFAN
A. Biografi Emile Durkheim
Emile Durkheim lahir di Epinal, Perancis 15 April 1858. Ia keturunan
pendeta Yahudi dan ia sendiri belajar untuk menjadi pendeta (rabbi). Tetapi, ketika berumur 10 tahun ia menolak menjadi pendeta. Sejak itu perhatiannya terhadap agama lebih bersifat akademis ketimbang teologis (Mestrovic, 1988). Ia
bukan hanya kecewa terhadap pendidikan agama, tetapi juga pendidikan masalah kesusastraan dan estetika. Ia juga mendalami metodologi ilmiah dan prinsip
moral yang diperlukan untuk menuntun kehidupan sosial. Ia menolak karir tradisional dalam filsafat dan berupaya mendapatkan pendidikan ilmiah yang dapat disumbangkan untuk pedoman moral masyarakat. Meski kita tertarik pada
sosiologi ilmiah tetapi waktu itu belum ada bidang studi sosiologi sehingga antara 1882-1887 ia mengajar filsafat di sejumlah sekolah di Paris.1
Hasratnya terhadap ilmu makin besar ketika dalam perjalanannya ke Jerman ia berkenalan dengan psikologi ilmiah yang dirintis oleh Wilhelm Wundt. Beberapa tahun sesudah kunjungannya ke Jerman, Durkheim
menerbitkan sejumlah buku diantaranya adalah tentang pengalamannya selama di Jerman. Penerbitan buku itu membantu Durkheim mendapatkan jabatan di
Jurusan Filsafat Universitas Bordeaux tahun 1887. DI sinilah Durkheim pertama kali memberikan kuliah ilmu sosial di Universitas Perancis. Ini adalah sebuah
1
10 prestasi istimewa karena hanya berjarak satu dekade sebelumnya kehebohan meledak di Universitas Perancis karena nama Auguste Comte muncul dalam
disertasi seorang mahasiswa. Tanggung jawab utama Durkheim adalah mengajarkan pedagogik di sekolah pengajar dan kuliahnya yang terpenting
adalah di bidang pendidikan moral. Tujuan instruksional umum mata kuliahnya adalah akan diteruskan kepada anak-anak muda dalam rangka membantu menanggulangi kemerosotan moral yang dilihatnya terjadi di tengah masyarakat
Perancis.2
Tahun-tahun berikutnya ditandai oleh serentetan kesuksesan pribadi.
Tahun 1893 ia menerbitkan tesis doktornya, The Devision of Labor in Society
dalam bahasa Perancis dan tesisnya tentang Montesquieu dalam bahasa Latin. Buku metodologi utamanya, The Rules of Sociological Method, terbit tahun
1895 diikuti oleh hasil penelitian empiris bukunya itu dalam studi tentang bunuh diri. Sekitar tahun 1896 ia menjadi profesor penuh di Universitas Bordeaux.
Tahun 1902 ia mendapat kehormatan mengajar di Universitas di Perancis yang terkenal, Sorbonne, dan tahun 1906 ia menjadi profesor ilmu sangat terkenal lainnya, The Elementary Forins of Religious Life, diterbitkan pada tahun 1912.3
Kini Durkheim sering dianggap menganut pemikiran politik konservatif dan pengaruhnya dalam kajian sosiologi jelas bersifat konservatif pula. Tetapi
dimasa hidupnya ia dianggap berpikiran liberal dan ini ditunjukkan oleh peran publik aktif yang dimainkannya dalam membela Alfred Drewfus, seorang kapten
2Ibid. 3Ibid.,
11 tentara Yahudi yang dijatuhi hukuman mati karena penghianatan yang oleh banyak orang dirasakan bermotif anti-yahudi (Farrel, 1997).4
Durkheim merasa sangat terluka oleh kasus Dreyfus itu, terutama oleh pandangan anti-Yahudi yang melatarbelakangi pengadilannya. Namun
Durkheim tidak mengaitkan pandangan anti-Yahudi ini dengan rasialisme di kalangan rakyat Perancis. Secara luas ia melihatnya sebagai gejala penyakit moral yang dihadapi masyarakat Perancis sebagai keseluruhan.
Durkheim berpengaruh besar dalam pembangunan sosiologi, tetapi pengaruhnya tak hanya terbatas di bidang sosiologi saja. Sebagian besar
pengaruhnya terhadap bidang lain tersalur melalui jurnal L’annee Sociologique yang didirikannya tahun 1898. Sebuah lingkaran intelektual muncul sekeliling
jurnal itu dan Durkheim berada dipusatnya. Melalui jurnal itu, Durkheim dan gagasannya mempengaruhi berbagai bidang seperti antropologi, sejarah, bahasa dan psikologi yang agak ironis, mengingat serangannya terhadap bidang
psikologi. Durkheim meninggal pada 15 November 1917 sebagai seorang tokoh intelektual Perancis tersohor. Tetapi, karya Durkheim mulai memengaruhi sosiologi Amerika dua puluh tahun sesudah kematiannya, yakni setelah terbitnya
The Structure of Social Action karya Talcott Parsons.5
12 B. Kosep Tentang Masyarakat
Durkheim menjelaskan bahwa kehidupan sosial telah membentuk corak-corak paling mendasar dalam kebudayaan manusia, namun sayangnya, yang
menjadi perhatian utama para pemikir sebelumnya bukanlah kenyataan tersebut. Saat kembali ke masa lalu, mereka hanya dapat mendasarka diri pada sebatas ide-ide, seperti kontrak sosial, yang menyatakan bahwa masyarakat tercipta
pertama kali dari dua individu yang sepakat untuk bekerja sama.6
Menurut Durkheim, perbedaan mendasar antara masyarakat purba dan
masyarakat modern adalah usaha masyarakat purba untuk selalu mewujudkan kesatuan. Misalnya: studi tentang tatanan hukum mereka memperlihatkan kecenderungan masyarakat purba selalu bergerak dalam solidaritas mekanik. Di
lain pihak, bagi masyarakat modern solidaritas mekanik ini mengalami perubahan bentuk, karena dalam masyarakat modern terdapat pembagian kerja,
lain orang lain pula pekerjaannya. Masyarakat purba juga memiliki kesadaran kolektif yang kuat dan luas; di dalam kesadaran ini terdapat satu kata sepakat
tentang ketentuan yang benar dan yang salah dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Dalam masyarakat modern, yang menentukannya adalah moral individualisme. Mereka tetap membutuhkan sebuah landasan, basis moral bagi
seluruh masyarakat, namun karena kebebasan dan perbedaan individu lebih
diuatamakan, maka cakupan “kesadaran kolektif” lebih kecil dibandingkan
dengan masyarakat purba. Kesadaran tersebut hanya terbatas pada beberapa bentuk hukum dan aturan moral saja.7
6Ibid.,
136.
7Ibid.,
13 Durkheim menegaskan bahwa fakta sosial tidak ada bedanya dengan batu
atau kerang di lautan. Fakta sosial sama “riil” dan sama “padat”nya dengan
kedua benda tersebut. Sebuah masyarakat bukan hanya sekedar sekelumit pemikiran yang ada dalam kepala seseorang, tapi merupakan kumpulan sekian
banyak fakta mulai dari bahasa, hukum, kebiasaan, ide, nilai, tradisi, teknik, sampai kepada aneka jenid produk yang dihasilkan masyarakat tersebut.semua itu saling terkait satu sama lain dan keberadaannya merupakan sesuatu yang
bersifat “eksternal” dari pikiran manusia saja. Semuanya telah ada dalam alam
nyata sebelum individu-individu dilahirkan.8
Lebih jauh, pendapat Durkheim itu juga mempunyai alasan lain, yaitu bahwa beberapa fakta sosial yang riil dan independen sebenarnya telah mengungkung kita. Oleh sebab itu, kita juga tidak bisa menjelaskan masyarakat
hanya dengan mempergunakan biologi, psikologi, maupun ekonomi. Masyarakat juga butuh sosiologi karena disiplin-disiplin lain tersebut belum memadai.9
Durkheim juga menjelaskan bahwa untuk mempelajari sebuah masyarakat harus dengan melihat fakta-fakta sosial yang terjadi dalam masyarakat itu sendiri, di mana individu dibentuk oleh masyarakat. Ciri utama
dari fakta sosial adalah berada di luar individu. Hal tersebut berasal ketika manusia saling berinteraksi. Durkheim menyebutkan bahwa fakta sosial adalah
sesuatu yang riil dan bukan hanya ide atau gagasan saja melainkan juga perbuatan-perbuatan yang ada di luar individu secara terpisah dan memaksa individu untuk melakukan sesuatu sesuai dengan keadaan masyarakat. Dalam
8Ibid
., 139.
14 buku ini, Durkheim juga menjelaskan bahwa fakta sosial dibedakan antara dua tipe yaitu fakta sosial material dan nonmaterial. Keduanya memiliki peran yang
penting dalam masyarakat.10
Fakta sosial terdapat dalam masyarakat, bukan pada individu. Hal ini
selaras dengan kenyataan bahwa kalau individu dimusnahkan maka masyarakat akan tetap ada. Ini membuktikan bahwa penjelasan mengenai kehidupan sosial harus dicari pada hakikat masyarakat itu sendiri, bukan di individunya.11 Bagi
Durkheim, hal-hal yang bersifat sosial hanya dapat teraktualisasi melalui manusia karena hal tersebut adalah produk aktivitas manusia dan bahwa
masyarakat bukan semata-mata hanyalah kumpulan sejumlah individu. Masyarakat adalah suatu realitas yang bersifat sui generis, memiliki ciri khusus yang tidak dapat ditemukan kesamaannya.12
Fakta sosial sebagai kesadaran kolektif yang merupakan ide atau gagasan yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota masyarakat dan menjadi tujuan
kolektif sebagai bentuk consensus normativ yang mencakup kepercayaan-kepercayaan keagamaan. Selain itu gambaran kolektif merupakan simbol-simbol yang memiliki kesamaan makna bagi semua anggota sebuah kelompok.13
10
Ibid., 133.
11Ibid. 12Ibid.,
103.
13
15 C. Konsep Tentang Solidaritas Sosial
Dalam buku The Division of Labour in Society, Durkheim menjelaskan bahwa pertumbuhan dalam pembagian kerja meningkatkan suatu perubahan
dalam struktur sosial dari solidaritas mekanik ke solidaritas organik. Pembagian antara solidaritas mekanik dan organik merupakan salah satu sumbangan Durkheim yang paling terkenal. Durkheim menggunakan istilah solidaritas
mekanik dan organik untuk menganalisa masyarakat secara keseluruhannya, bukan organisasi-organisasi dalam masyarakat. Solidaritas mekanik didasarkan
pada suatu “kesadaran kolektif” bersama, yang menunjuk pada totalitas
kepercayaan-kepercayaan dan sentimen-sentimen bersama yang rata-rata pada warga masyarakat yang sama itu.14 Hal ini merupakan suatu bentuk solidaritas
yang tergantung pada individu-individu yang memiliki sifat-sifat yang sama dan menganut kepercayaan dan pola normatif yang sama.15
Bagi Durkheim indikator yang paling jelas untuk solidaritas mekanik adalah ruang lingkup dan kerasnya hukum-hukum yang bersifat menekan
(repressive). Hukuman tidak harus mencerminkan pertimbangan rasional yang
mendalam mengenai jumlah kerugian secara obyektif yang menimpa masyarakat, juga tidak merupakan pertimbangan yang diberikan untuk
menyesuaikan hukuman itu dengan kejahatannya. Sebaliknya hukuman itu mencerminkan dan menyatakan kemarahan kolektif. Ciri khas yang penting dari
solidaritas mekanik adalah bahwa solidaritas itu didasarkan pada suatu tingkat
14
Emile Durkheim, The Division of Labor In Society. Translate by George Simpson (New York, The Free Press: 1964), 79.
15Ibid.,
16 homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan dan sentimen. Homogenitas hanya mungkin kalau pembagian kerja bersifat sangat minim.16
Berlawanan dengan itu, solidaritas organik muncul karena pembagian kerja yang sangat tinggi. Solidaritas organik itu didasarkan pada tingkat saling
ketergantungan yang tinggi. Saling ketergantungan itu bertumbuh sebagai hasil dari bertambahnya spesialisasi dalam pembagian kerja, yang memungkinkan dan juga menggairahkan bertambahnya perbedaan di kalangan individu. Menculnya
perbedaan-perbedaan di tingkat individu ini merombak kesadaran kolektif, yang pada gilirannya menjadi kurang penting lagi sebagai dasar untuk keteraturan
sosial dibandingkan dengan saling ketergantungan fungsional yang bertambah antara individu-individu yang memiliki spesialisasi dan secara relatif lebih
otonom sifatnya. Seperti yang dikatakan Durkheim, “Itulah pembagian kerja
yang terus saja mengambil peran yang tadinya diisi oleh kesadaran kolektif”.
Durkheim memepertahankan bahwa kuatnya solidaritas organik itu ditandai oleh
pentingnya hukum yang bersifat memulihkan (restutive) daripada yang bersifat represif.17
Tujuan kedua tipe hukum itu sangat berbeda. Hukum represif
mengungkapkan kemarahan kolektif yang dirasakan kuat, hukum restitutif berfungsi mempertahankan atau melindungi pola saling ketergantungan yang
kompleks antara berbagai individu yang berspesialisasi atau kelompok-kelompok dalam masyarakat. Karena itu sifat hukuman yang diberiakn kepada seorang penjahat berbeda dalam kedua hukum itu. Dalam sistem organik,
16Ibid.,
84.
17Ibid.,
17 kemarah kolektif yang timbul kareana perilaku menyimpang menjadi kecil kemungkinannya, karena kesadaran kolektif tidak begitu kuat. Sebagai hasilnya,
hukuman lebih bersifat rasional, disesuaikan dengan parahnya pelanggaran dan bermaksud untuk memulihkan atau melindungi pihak atau yang dirugikan atau
menjamin bertahannya pola saling ketergantungan yang kompleks, yang mendasari solidaritas sosial.18
Tidak hanya hukum-hukum represif yang terus-menerus menjadi
semakin penting dalam suatu masyarakat organik, melainkan juga kesadaran kolektif menyumbang pada solidaritas sosial, memperkuat ikatan yang muncul
dari saling ketergantungan fungsional yang semakin bertambah. Pertumbuhan dalam pembagian kerja tidak menghancurkan kesadaran kolektif.19
Durkheim menekankan pentingnya kesadaran kolektif bersama yang
mungkin ada dalam pelbagai kelompok pekerjaan dan profesi. Kesamaan dalam kegiatan-kegiatan dan kepentingan pekerjaan memperlihatkan suatu
homogenitas internal yang memungkinkan berkembangnya kebiasaan, kepercayaan, perasaan, dan prinsip moral atau kode etik bersama. Durkehim merasa bahwa solidaritas mekanik dalam pelbagai kelompok pekerjaan dan
profesi harus menjadi semakin penting ketika pembagian kerja meluas, sebagai satu alat perantara yang penting antara individu dan masyarakat secara
keseluruhan.20
18Ibid.,
86.
19Ibid. 20Ibid.,
18 D. Konsep Tentang Agama
Dalam buku The Elementary Forms Life, Durkheim mendefinisikan
agama adalah suatu sistem kepercayaan dan praktek yang berhubungan dengan benda-benda suci yakni benda-benda khusus yang dipercaya dalam satu
komunitas yang disebut umat.21 Dengan demikian, agama berasal dari masyarakat dengan mendefinisikan fenomena tertentu yang dianggap sebagai suatu yang terpisah dari peristiwa sehari-hari yang membentuk esensi agama.22
Satu konsep yang biasanya dipandang menjadi karakteristik dari segala sesuatu yang religius adalah konsep supranatural. Yang supranatural adalah
suatu hal yang berada di luar kemampuan pemahaman manusia, di mana yang supranatural adalah dunia misteri, yang tidak dapat di tangkap oleh pikiran manusia. Maka agama pun menjadi semacam spekulasi terhadap segala sesuatu
yang yang ada di luar ilmu atau akal sehat pada umumnya.23
Studi tentang agama tidak semata-mata untuk mengembangkan ilmu
tentang keagamaan masyarakat. Agama dipelajari sebagai suatu sistem pengetahuan masyarakat, maka dapat pula diungkap bagaimana sistem pengetahuan dari masyarakat tersebut. Menurut Durkheim, agama adalah segala
sesuatu yang supranatural. Artinya, hal ini melebihi panca indera untuk memahaminya, karena supranatural adalah sesuatu yang misterius. Bagi
Durkheim, hal ini tidap dapat diungkapkan dan dipahami oleh ilmu pengetahuan, sehingga tidak dapat dijadikan objek dalam studi.24
21
Emile Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life,...62.
22Ibid.,
63.
23Ibid.,
49
24Ibid.,
19 Durkheim mendefinisikan agama dari sudut pandang Yang Sakral. Ini berarti agama adalah kesatuan sistem keyakinan dan praktek-praktek yang
berhubungan dengan suatu Yang Sakral. Durkheim menemukan karakteristik paling mendasar dari setiap kepercayaan agama bukanlah terletak pada
elemen-elemen “supranatural”, melainkan terletak pada konsep tentang Yang Sakral, di
mana keduanya supranatural dan Yang Sakral memiliki perbedaan yang mendasar. Menurut Durkheim, seluruh keyakinan keagamaan manapun, baik
yang sederhana maupun yang kompleks, memperlihatkan satu karakteristik umum yaitu memisahkan antara Yang Sakral dan Yang Profan.25
Durkheim juga menambahkan bahwa hal-hal yang bersifat sakral selalu diartikan sebagai sesuatu yang superior, berkuasa, yang dalam kondisi normal
ha-hal tersebut tidak tersentuh dan selalu dihormati. Sedangkan hal-hal Yang Profan merupakan bagian keseharian dari hidup dan bersifat biasa-biasa saja. Durkheim mengatakan, kosentrasi utama agama terletak pada Yang Sakral,
karena memiliki pengaruh luas, menentukan kesejahteraan dan kepentingan seluruh anggota masyarakat. Yang Profan tidak memiliki pengaruh yang begitu
besar dan hanya merupakan refleksi keseharian dari setiap individu. 26
Dalam The Elementary of the Religious Life, Durkheim pada teorinya
juga membuat suatu pemisahan yang signifikan antara ”yang sakral” dan ”yang
profan” dan mendasarkan definisi agama kepada pemisahan ini. Maka, dikotomi
25
Emile Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life,...,34-35.
26Ibid.,
20 atau pemisahan yang dilakukan Durkheim ini, dikritik oleh sosiolog yang lain.27 Durkheim juga menyatakan agama itu bersifat sosial. Agama menurutnya
didasarkan pada perbedaan antara Yang Sakral dan Yang Profan, perhatian utama agama ditujukan kepada Yang Sakral yang harus dijaga agar jangan
sampai tercampur dengan Yang Profan. Sakral selalu terikat dengan peristiwa-peristiwa besar dalam sebuah klan dan sebaliknya yang profan merupakan bagian dari kehidupan pribadi. Konsep dasar ini menjadi landasan bagi
keseluruhan bangunan teori Durkheim dan jika dari awal Durkheim telah membayangkan yang sakral itu bersifat sosial.28
Durkheim mengatakan, konsentrasi utama agama terletak pada Yang Sakral, karena memiliki pengaruh luas, menentukan kesejahteraan dan
kepentingan seluruh anggota masyarakat. Yang profan tidak memiliki pengaruh yang begitu besar dan hanya merupakan refleksi keseharian dari setiap individu. Maka, Durkheim mengingatkan bahwa dikotomi tentang Yang Sakral dan Yang
Profan hendaknya tidak diartikan sebagai sebuah konsep pembagian moral, bahwa yang sakral sebagai kebaikan dan Yang Pofan sebagai keburukan. Menurut Durkheim, kebaikan dan keburukan sama-sama ada dalam Yang Sakral
ataupun Yang Profan. Hanya saja yang sakral tidak dapat berubah menjadi profandan begitupula sebaliknya yang profan tidak dapat menjadi yang sakral.
Dari definisi ini, konsentrasi utama agama terletak pada hal-hal yang sakral.29
27Ibid.,
46.
28Ibid. 29Ibid.,
21 Dengan demikian, Durkheim menjelaskan bahwa kesadaran kolektiflah yang menjadikan segala sesuatu yang kemudian dapat disebut sebagai sakral.
Dengan kata lain, segala sesuatu dapat dikatakan sakral hanya beradasarkan suatu kesadaran kolektif masyarakat. Hal yang sakral menurut Durkheim dapat
berubah-ubah sesuai dengan kesadaran kolektif atau kesadaran bersama dari suatu komunitas bahkan masyarakat yang kemudian dengan sendirinya
menjadikan hal-hal tertentu menjadi sakral sesuai dengan perkembangan zaman.
E. Yang Sakral dan Yang Profan
Durkheim menjelaskan munculnya agama dalam masyarakat yaitu
dengan memisahkan antara sakral dan profan.
All known religious beliefs, whether simple or complex, present one common characteristic: they presuppose a classification of all things, real and ideal, of which men think, into two classes or opposed groups, generally designated by two distinct terms which are translated well enough by the words profane and sacred. This division of the world into two domains, the one containing all that is sacred, the other all that is profane, is the distinctive trait of religious thought.30
Bagi Durkheim, setiap masyarakat mengembangkan perbedaan yang
sama, antara yang sakral dan profan. Dengan demikian, sakral dan profan memiliki perbedaan yang mendasar dan universal yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Sakral berasal dari ritual-ritual keagamaan yang merubah nilai-nilai
moral dengan simbol-simbol religius yang dimanifestasikan menjadi hal yang nyata. Sedangkan profan merupakan peristiwa yang biasa terjadi dalam
masyarakat sehari-hari dan tidak memiliki nilai-nilai suci yang disakralkan.31
30Ibid.,
34.
22 Durkheim menemukan karakteristik paling mendasar dari setiap kepercayaan agama bukanlah tertelak pada elemen-elemen supranatural,
melainkan terletak pada konsep tentang yang sakral di mana keduanya yaitu yang sakral, memiliki perbedaan yang mendasar. Menurut Durkheim, seluruh
keyakinan keagamaan manapun, baik yang sederhana maupun kompleks memperlihatkan satu karakteristik umum yaitu memisahkan yang sakral dan yang profan,32 yang selama ini dikenal dengan natural dan supranatural.
Durkheim menambahkan bahwa hal-hal yang bersifat sakral selalu diartikan sebagai sesuatu yang superior, berkuasa, yang dalam kondisi normal hal-hal
tersebut tidak tersentuh dan selalu dihormati. Hal-hal yang bersifat profan merupakan bagian keseharian dari hidup da bersifat biasa-biasa saja.33
Durkheim menegaskan bahwa agama umat manusia, baik sederhana
maupun kompleks, memperlihatkan karakteristik yang umum, baik secara riil maupun ideal, yakni suatu pembedaan antara hal-hal yang sakral dan profan.
Keduanya merupakan suatu prinsip kejiwaan yang ada dalam dinamika hidup agama umat manusia. Perbedaan antara dunia yang sakral dan profan tidak dapat dilepaspisahkan dalam masyarakat beragama. Sakral merupakan hal-hal yang
terlarang dan ditunjukkan kepada suatu yang tunggal, di mana masyarakat memberikan kesetiaam untuk tunduk kepadanya.34 Untuk menghindari
timbulnya pencemaran inilah maka yang sakral dibatasi dengan larangan-larangan atau tabu. Sebagaimana yang dikatakan oleh Durkheim:
32Ibid.,
35.
33Ibid.,
36.
34Ibid.,
23
Sacred things are those which the interdictions protect and insolate; profane things, those to which these interdictions are applied and which must remain at distance from the first.35
Durkheim juga menulis:
Religious force is none other than the feeling that the collectivity inspires in its members, but projected outside the minds that exprerience them, and objectified. To be come objectified, it fixed on a thing that thereby becomes sacred; any object can play this role. The sacredness exhibitied by the thing is not implicated in the instrinsic properties of the thing: It added to them. The world of the religious is not a special aspect of empirical nature: It is superimposed upon nature.36
Artinya bahwa kekuatan dari agama tidak lain ada sebuah kolektifitas masyarakat yang terjadi lewat pikiran untuk mendatangkan suatu objektivitas
yang menjadikannya suci. Dengan demikian, penetapan sakral atau atau tidaknya suatu objek tertentu sangat dipengaruhi oleh konsepsi-konsepsi kolektif yang
berkembang dalam masyarakat. Sesuatu akan menjadi sakral bila disakralkan oleh masyarakat tertentu. Dalam Introduction yang ditulisnya dalam buku
Durkheim On Morality and Society, Bellah menjelaskan bahwa yang sakral
adalah masyarakat itu sendiri.37 Defenisinya tentang agama antara lain dengan menjelaskan bahwa perhatian agama adalah tentang hal-hal yang sakral:
Religious beliefs are the representations which express the nature of sacred things and the relations which they sustain either with each
Robert N. Bellah (Ed), Emile Durkheim, On Morality and Society, (Chicago and London: The University of Chicago Press, 1973), x.
24 Agama menjawab problem dan kebutuhan individu maupun kebutuhan pribadi. Ide keagamaan lahir dari lingkungan sosial. Dengan demikian agama
adalah ekspresi dari masyarakat, suatu sistem ide dengan nama individu-individu dengan menjadi bagian dari masyarakat.39
F. Hubungan Agama dan Masyarakat
Bagi Durkheim, agama adalah representasi kolektif dari masyarakat.
Pusat dari seluruh pandangan Durkheim berada dalam klaimnya bahwa “agama
adalah sesuatu yang amat bersifat sosial”. Ia menegaskan walaupun sebagai
seorang individu, setiap kita memang memiliki pilihan-pilihan dalam hidup ini, namun pilihan itu tetap berada dalam kerangka sosial, sesuatu yang given kepada kita sedari lahir dulu. Dalam setiap kebudayaan, agama adalah bagian yang
paling berharga dari seluruh kehidupan sosial. Dia melayani masyarakat dengan menyediakan ide-ide, ritual dan perasaan-perasaan yang akan menuntun
seseorang dalam hidup bermasyarakat.40
Pengaruh sosial atas agama atau sebaliknya pengaruh agama terhadap kehidupan sosial, menjadi hal yang sangat umum. Tapi untuk melihat
keistimewaan perspektif Durkheim ini, kita harus mengingat kembali tulisan Tylor tentang agama yang ditulis setengah abad sebelum Durkheim. Ketika
Tylor membicarakan agama masyarakat primitif, ia menganggap agama tersebut hanyalah buah pikiran dari filosof-filosof lain yang menemukan ide-ide tentang roh dan dewa-dewa. Durkheim memang bukan orang pertama dan bukan pula
39
Emile Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life,...,205-229.
40Ibid.,
25 satu-satunya yang memperhatikan kekuatan sosial dalam kehidupan mansuia, tapi keunikannya terletak pada pemahamannya terhadap arti penting kekuatan
sosial tersebut dan penekanan yang ia berikan bahwa perspektif ini harus diterapkan dalam studi-studi di masa yang akan datang.41
G. Biografi Mircea Eliade
Mircea Eliade lahir di Bucharest pada tanggal 9 Maret 1907, anak
seorang pegawai dalam angkatan darat Rumania. Saat anak-anak, Eliade suka dengan tempat-tempat yang sepi, sains, cerita dan menulis. Pada saat dewasa
Eliade melanjutkan studi di Universitas Bucharest dan di Italia. Ia mempelajari para pemikir Platonis mistik dari zaman Renaisance Italia. Saat melakukan pekerjaan ini, ia menemukan pemikiran Hindu yang menekankan kesatuan
spiritual dengan jiwa tertinggi yang ada di balik dunia. Segeralah ia berangkat ke India untuk belajar pada sarjana dan orang bijak yang terkenal, Surendranath
Dasgupta. Datang di akhir tahun 1928, Eliade mendaftar di Universitas Calcutta dan bekerja dengan Dasgupta di rumahnya. Dalam suatu bidang yang agak kurang spiritual, ia juga memulai affair dengan putri penasihatnya itu. Suatu
perpisahan yang tak menyenangkan dari gurunya pun terjadi, dan ia pindah untuk berlatih yoga bersama dengan seorang guru di Himalaya.42
Selanjutnya, Eliade menyatakan bahwa tinggalnya di India itu memiliki pengaruh yang menentukan pada kehidupannya. Khususnya, kata Eliade, ia menemukan tiga hal: Pertama, bahwa kehidupan dapat diubah dengan apa yang
41Ibid. 42
26 ia sebut sebagai pengalaman “sacramental”. Kedua, bahwa symbol adalah kunci untuk sebuah kehidupan spiritual yang sebenarnya. Ketiga, yang paling
penting bahwa banyak hal yang dapat dipelajari dari daerah pedalaman India, dimana ada suatu warisan agama rakyat yang besar dan sangat kuat-suatu
bentuk kehidupan spiritual yang terasa, yang telah muncul sejak dahulu kala. Sehingga, Eliade menyebutkan bahwa keberadaannya selama di India merupakan awal dalam menemukan perasaan religious yang kosmis.43
Pada tahun 1931, tiga tahun kemudian, Eliade kembali ke Rumania untuk menyelesaikan tugas militer. Eliade terus menulis, dan pada tahun 1933, pada
usia dua puluh enam tahun, ia terkenal di negaranya dengan menerbitkan sebuah novel yang memenangkan hadiah, berjudul Maitreyi (dalam bahasa Inggris,
Bengal Night), yang didasarkan pada percintaannya dengan Putri Dasgupta.
Eliade menyelesaikan disertasinya yang berjudul Yoga: An Essay on the origin of Indian Mystical Theology (1936), diterbitkan di Prancis, sebuah karya
pertama dari karya-karya tentang subjek yang semacam itu. Setelah menerima gelar ini, Eliade mulai mengajar di Bucharest sebagai asisten filsuf yang berpengaruh, Nae Ionesco, yang juga seorang tokoh terkemuka di dalam
organisasi nasional Rumania yang dikenal Legion on the Arshangel Micheal.44
Beberapa anggota dari kelompok ini, yakni sayap teroris yang kejam dan
dikenal sebagai the Iron Guards, melihat peran mereka di Rumania seperti peran partai Nazi di Jerman, dan mereka menunjukkan simpati pada Hitler. Dari kalangan ini Eliade memiliki teman yang lain juga, meskipun dalam perannya,
43Ibid. 44Ibid.,
27 Eliade tampak lebih suka dengan kehidupan lebih intelektual, mengedit jurnal, menulis dan melakukan diskusi tentang isu-isu dan gerakan mutakhir dalam
sastra, filsafat dan seni. Tentang kegiatan yang lain, Eliade selalu enggan berbicara, secara umum menggambarkan dirinya sebagai seorang yang
nonpolitik.45
Selama tahun-tahun Perang Dunia II, Eliade diperintahkan oleh pemerintah Rumania untuk menduduki jabatan diplomat di Lisbon, Portugal.
Saat peperangan berakhir, ia memilih tidak kembali ke Rumania tetapi memilih tinggal di Paris, di mana ia diberi kesempatan untuk mengajar di Ecole des
Hautes Etudes. Di sini, Eliade menyelesaikan riset untuk dua buku penting, yang memberi jalan pada sebagian besar dari pemikiran dan studinya yang belakangan. Pattern in Comparative Religion (1949) yang menggali peran
simbol-simbol dalam agama, sementara The Myth of the Eternal Return (1949) meneliti konsep sejarah dan waktu yang sakral maupun perbedaan antara agama
purba (archaic religion) dengan pemikiran modern.46
Kedua buku itu diterbitkan di Prancis. Saat karyanya sedang berkembang, Eliade lebih lanjut mengambil inspirasi dari Carl Jung, seorang
psikolog Swiss dan bekas kawan Freud, yang ia temui pada tahun 1950 di Ascona, Switzerland, selama pertemuan rutin para intelektual Eropa yang
dikenal dengan the Eranos Conference. Hingga kematian Jung di tahun 1960-an, Eliade mengunjunginya secara rutin, menemukan pada diri Jung tidak hanya pendukung ide-idenya tentang agama purba, tetapi juga semacam pertunjukan
45Ibid.,
226.
28 yang hidup tentang ide-idenya. Tentang diskusi mereka, Eliade menulis, “Aku merasa bahwa aku sedang mendengarkan seorang bijak dari Cina atau seorang
petani Eropa Timur, tetap berakar pada ibu Bumi, namun di saat yang sama
melekat di langit.”47
Tahun 1950-an membawa perubahan penting yang terakhir dalam karir ilmiah Eliade. Setelah mengajar di University Chicago, Eliade meneriama jabatan guru besar di Divinity School; pada tahun 1962, ia menjadi salah satu
Distinguished Service Professor di Universitas tersebut. Dengan jabatannya di Chicago selama sisa hidupnya, Eliade dapat mengabdi sebagai pembimbing bagi
suatu generasi sarjana muda yang berbakat, yang terinspirasi oleh teladannya, meskipun pada umumnya mereka cenderung berbeda pandangan dari dirinya. Eliade memilih mengukur pengaruhnya dengan menyebut suatu statistik yang
sederhana. Saat ia datang ke Chicago, disana baru ada tiga guru besar yang penting dalam sejarah agama-agama di Amerika Serikat; dua belas tahun
kemudian, ada tiga puluh, separonya merupakan mahasiswa-mahasiswanya. Bermula di India dan berakhir di Chicago, meskipun karir-dan kehidupan Eliade- di mana ia melihat banyak pertentangan bertemu: Timur dan Barat,
tradisi dan modernitas, mistisisme dan rasionalitas, kontemplasi dan kritisisme. Eliade melanjutkan riset dan menulis saat telah pensiun hingga meninggal akibat
stroke pada tanggal 22 April 1986.48
47Ibid.
, 227.
48Ibid.,
29 H. Hakikat dari Yang Sakral Menurut Mircea Eliade
The Sacred and the profane adalah sebuah karya pengantar singkat yang menjelaskan bahwa dalam usaha memahami agama, langkah pertama yang harus
dilakukan adalah seorang sejarawan agama harus keluar dari peradaban modern dan masuk pada kelompok manusia purba (archaic people). Manusia purba adalah orang-orang yang telah hidup pada masa prasejarah atau orang-orang
pada masa sekarang yang hidup dalam masyarakat suku dan kebudayaan rakyat pedalaman, tempat-tempat dimana mereka berburu di alam, memancing, dan
bertani yang merupakan rutinitas sehari-hari. Apa yang kita temukan di kalangan orang-orang semacam itu adalah sebuah kehidupan yang didasarkan pada dua
bidang yang jelas-jelas berbeda. Bidang yang sakral dan bidang yang profan.49
Yang profan adalah wilayah urusan setiap hari-hal-hal yang biasa, tak disengaja, dan pada umumnya tidak penting. Yang sakral adalah wilayah
supernatural, hal-hal yang luar biasa, mengesankan, dan penting. Sementara yang profan adalah yang penuh dengan substansi dan realitas. Yang profan adalah arena urusan manusia, yang dapat berubah-ubah dan sering kacau; yang
sakral adalah wilayah keteraturan dan kesempurnaan, rumah para leluhur, pahlawan, dan dewa. Dimanapun kita memandang suku-suku purba, agama
dimulai dari pemisahan yang fundamental ini.50 Eliade pun menyatakan bahwa pikiran agama secara umum terletak pada dua perbedaan yang tajam antara dua
49
Mircea Eliade, The Sacred and the Profane: The Nature of Religion, terj. Willard R. Trask,..., 11.
50Ibid
30 modalitas kesadaran ini. Apakah ia mengambil bentuk tuhan, dewa-dewa, atau
mitos para leluhur.51
Dualitas yang sakral dan profan dalam Eliade awalnya dipengaruhi oleh Rudolf Otto dalam the Idea of the Holy/Das Heilige (1916). Otto menggunakan
konsep yang sakral ketika dia menulis tentang pengalaman individu yang dramatis ketika berhadapan dengan sesuatu yang suci. Suatu saat dalam
hidupnya, banyak orang merasa berhubungan dengan sesuatu yang tidak biasa. Mereka merasa terserap oleh realitas yang sepenuhnya berbeda dari dirinya, sesuatu yang misterius, kuat, dan menyenangkan (mysterium tremendum,
mysterium fascinans, majestas, atau ganz andere) sesuatu yang sangat luar biasa, substansial, sublime, dan betul-betul riil. Menurut Otto, itulah pengalaman
tentang “yang suci”, sesuatu yang berhubungan dengan yang sakral. Ia
menamakannya dengan the numinous (dari kata Latin numen, yang berarti spirit atau realitas keilahian). Ia percaya bahwa numinous ini unik tidak seperti
berhadapan dengan sesuatu keindahan lain.52
Selanjutnya bagi Eliade, yang sakral tidak cukup hanya diekspresikan secara irasional sebagai bentuk ketakutan manusia di hadapan sosok misterius
yang mempesona, agung, menawan dan sepenuhnya berbeda. Yang sakral ada dan dapat dipahami ketika memanifestasikan dirinya sebagai sesuatu yang
berbeda dari yang profan. Inilah yang disebut hierophany (proses bertemu dengan Tuhan). Menurutnya:
31
It could be said that the history of religions-from the most primitive to the most highly developed-is constituted by a great number of hierophanies, by manifestations of sacred realities. From the most elementary hierophany-e.g., manifestation of the sacred in some ordinary object, a stone or tree-to the supreme hierophany (which, for Chritians, is the incarnation of God in Jesus Christ.53
Menurut Eliade, ketika batu dan pohon disakralkan, yang terjadi bukanlah pemujaan batu atau pohon dalam dirinya sendiri. Pohon atau batu yang
dianggap sakral tidak disembah sebagai batu atau pohon. Keduanya disembah karena hierophany, karena keduanya menunjukkan sesuatu yang tidak lagi batu atau pohon semata, tetapi ia juga menunjukkan yang sakral. Dengan kata lain,
ketika batu dan pohon memanifestasikan yang sakral, maka keduanya menjadi sesuatu yang lain, tetapi tanpa menghilangkan sifat batu dan pohon itu, karena
secara profan ia tetap berhubungan dengan lingkungan alam sekitarnya. Batu dan pohon yang dianggap sakral itu, jika dilihat dari sudut pandang profan,
tetaplah batu dan pohon sebagaimana yang lain. Tetapi bila dilihat dari sudut batu dan pohon yang sakral, realitas keduanya dirubah menjadi supranatural. Keduanya kini menjadi hierophany yang menjadi manifestasi dari realitas sakral
yang melekat dalam dirinya. Karena yang sakral akan senantiasa hadir dalam profanitas dan tidak dapat muncul dengan sendirinya atau muncul di luar
realitas.54
Dalam buku The Sacred and the profane, Eliade menggunakan contoh-contoh dari berbagai kebudayaan untuk menunjukkan keseriusan masyarakat
tradisional dalam menerapkan model-model ilahiah. Otoritas Yang Sakral
32 mengatur semua kehidupan. Singkat kata, masyarakat punya sistem-sistem Yang Sakral. Karena masyarakat baru ini berkembang mulai dari titik pusat tadi, maka
dia tidak akan terpengaruh oleh keadaan lokasi-lokasi disekitarnya. Dalam pandangan Eliade, perilaku-perilaku imitatif terhadap perbuatan dewa-dewa ini
merupakan hasrat terdalam dari pandangan hidup masyarakat purba. Keinginan ini tidak hanya bertujuan untuk mencerminkan Yang Sakral saja, tapi lebih dari itu juga bertujuan untuk berada di dalam Yang Sakral dan dapat hidup bersama
para dewa.55
Yang Sakral tetap merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pikiran
dan aktivitas manusia dan tidak ada manusia yang bisa hidup tanpanya karena ternyata Yang Sakral berada di segala penjuru, di mana hal Yang Sakral
dianggap absolut dan amat penting bagi kelangsungan eksistensi alam dan akan selalu mempengaruhi jalan hidup mereka.56
Eliade memfokuskan diri untuk menunjukkan bahwa ide pengalaman
religius sangat membantu membangkitkan rasa hormat sekaligus rasa takut ketika berjumpa dengan entitas sakral yang sama sekali asing dari dunia kehidupan dan yang lahir adalah eksplorasi terhadap signifikansinya religius dari
obejk natural, proses kehidupan, ruang sakral (tempat-tempat suci agama) dan waktu sakral (ritual keagamaan). Menurut Eliade bahasa yang sakral harus
ditemukan dalam simbol atau mitos. Simbol berakar pada prinsip-prisnip seperti keserupaan atau analogi. Mitos adalah juga simbolik, tetapi dalam suatu cara
55Ibid.,
55.
56
33 yang sedikit lebih complicated; mitos adalah simbol yang diletakkan dalam bentuk cerita. Sebuah mitos bukan hanya suatu gambaran atau tanda, ia adalah
serangkaian gambaran yang dikemukakan dalam bentuk cerita. Ia mengatakan suatu dongeng tentang para dewa, leluhur atau pahlawan, dan dunia
supernaturalnya.57
Eliade berpendapat bahwa di manapun lokasi yang kita pilih atau
dimanapun sejarah yang kita lihat, beberapa simbol, mitos dan ritual yang umum akan terus muncul. Sebagian besar hal yang merupakan kehidupan setiap hari adalah profan; hal-hal itu saja, tak lebih. Tetapi pada saat yang tepat, segala yang
profan dapat diubah menjadi sesuatu yang lebih darinya atau tanda dari yang bukan profan, tetapi yang sakral.58
I. Simbol dan Mitos
Simbol dan mitos memberi daya tarik pada imajinasi, yang sering hidup
di atas ide kontradiksi. Keduanya memikat orang sepenuhnya, emosi, kehendak, dan bahkan aspek kepribadian yang bersifat bawah sadar. Dan sebagaimana dalam kepribadian, semua jenis dorongan yang bertubrukan menyatu,
sebagaimana dalam mimpi dan fantasi semua jenis hal-hal yang illogic dapat terjadi, maka di dalam pengalaman keagamaan, hal-hal yang berlawanan seperti
yang sakral dan yang profan dapat bertemu. Di dalam suatu ledakan pencarian yang intuitif, imajinasi keagamaan melihat hal-hal yang biasa dan profane
57Ibid., 33. 58Ibid.,
34 sebagai lebih dari keadaannya dan mengubahnya menjadi yang sakral. Yang
natural menjadi yang supernatural.59
Eliade mengemukakan suatu tesis yang sangat kuat: bahwa tema yang mendominasi pemikiran semua orang purba adalah dorongan untuk menghapus
sejarah-semua sejarah- dan kembali ke tempat di luar waktu ketika dunia dimulai. Keinginan untuk kembali ke permulaan, tegas Eliade, adalah kerinduan yang terdalam, keinginan yang paling mendesak dan sepenuh hati di dalam jiwa
semua orang-orang purba. Semua tema yang konstan dari ritual dan mitos purba adalah keinginan untuk hidup di dunia seperti saat dunia itu datang dari tangan
pencipta, bersih, murni, dan kuat.60
Dengan demikian, dapat dipahami mengapa mitos penciptaan mempunyai peran yang begitu penting dan terdapat di banyak masyarakat, juga
mengapa begitu banyak ritual terkait dengan tindakan penciptaan. Sejauh ini, kita belum banyak berbicara tentang ritual, tetapi Eliade telah merasakannya
penting terutama di dalam kaitannya dengan keterangan penciptaan. Biasanya ritual-ritual itu melibatkan suatu pemeranan kembali tentang apa yang dilakukan para dewa dalam in illon tempore (kata Latin untuk “di dalam waktu”), pada saat ketika dunia diciptakan.61
59Ibid.,
92.
60Ibid.,
115
35 J. Rangkuman :
Berdasarkan teori yang dipakai dalam penulisan ini, maka dapat dengan jelas Durkheim menjelaskan bahwa masyarakat berkembang dari masyarakat
tradisional ke masyarakat modern. Kedua masyarakat ini berbeda satu dengan yang lainnya. Perbedaannya terdapat pada pembagian pekerjaan. Di mana pada masyarakat traduisional, semua pekerjaan sama atau seragam, misalnya:
petalisan ini. Sedangkan pada masyarakat modern telah dibagi, masyarakat memiliki pembagian kerja. Pekerjaan masyarakat berbeda-beda satu dengan
yang lainnya. Misalnya: yang si A bekerja sebagai tukang bangunan, si B sebagai pedagang dan si C sebagai pegawai. Hal ini menyebabkan saling ketergantungan satu dengan yang lainnya. Maka Durkehim menyebutkan bahwa
solidaritas dari yang tradisional adalah mekanik. Mengapa? Karena masyarakat ikut aturan adat tanpa mempertanyakannya atau ikut saja tanpa mengetahui
alasan. Pada masyarakat tradisional, masyarakat mengasai individu secara penuh. Sehingga semua yang diatur oleh masyarkat lewat adat, semua harus diikuti tanpa ada pilihan. Sedangkan pada masyarakat modern, pembagian kerja.
Persekutuan mereka tergantung pada satu dengan yang lain. meteka sadar bahwa mereka harus saling solider karena saling ketergantungan, sehingga mereka
disebut sebagai masyarakat organik.
Dalam teori sakral dan profan dari kedua tokoh yakni Emile Durkheim dan Mircea Eliade, maka dapat dikatakan bahwa bagi Durkheim, yang
36 profan bila bersentuhan dengan yang sakral berdasarkan kesepakatan masyarakat, maka hal tersebut akan menjadi sakral. Sedangkan bagi Eliade,
suatu hal yang profan, tidak dapat disakralkan dengan alasan apapun, karena tidak berhubungan langsung dengan leluhur atau para dewa dan Tuhan.
Sehingga dalam teori Eliade, yang profan tetaplah menjadi profan. Lebih dari itu, yang sakral adalah segala sesuatu yang berhubungan langsung dengan leluhur, para dewa atau Tuhan serta bersifat yang ilahi, abadi dan tidak pernah