• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kemampuan Fleksibilitas Kepemimpinan Dinas Kesehatan Kabupaten Kota di Provinsi Sumatera Utara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kemampuan Fleksibilitas Kepemimpinan Dinas Kesehatan Kabupaten Kota di Provinsi Sumatera Utara"

Copied!
78
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Sosial

Paradigma dalam bahasa Inggris paradigma yang berarti model pola. Friedrichs mengatakan paradigma sebagai pandangan mendasar dari satu disiplin ilmu tentang apa yang semestinya dipelajari, a fundamental images a dicipline has of its subject matter. George Ritzer mendefenisikan paradigma adalah, what is the

subject matter of science. Vardiansyah mendefenisikan, paradigma dalam disiplin

intelektual adalah cara pandang orang terhadap diri dan lingkungannya yang akan mempengaruhi dalam berfikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkahlaku (kognaktif). Dalam Online Dictionary disebutkan, paradigma dapat juga berarti seperangkat asumsi, konsep, nilai dan praktek yang diterapkan dalam memandang realitas dalam sebuah komunitas yang sama, khususnya dalam disiplin intelektual (Vardiansyah, 2008). Paradigma membantu merumuskan tentang apa yang harus dipelajari, persoalan-persoalan apa yang harus dijawab, bagaimana menjawabnya, serta aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang diperlukan dalam rangka menjawab persoalan-persoalan tersebut.

(2)

mencakup berbagai asumsi dasar yang berkaitan dengan aspek ontologis, epistemiologis, dan metodologis. Dengan perkataan lain paradigma dapat diartikan sebagai cara berfikir atau cara memahami gejala dan fenomena semesta yang dianut oleh sekelompok masyarakat (world view). Seorang individu / pribadi dapat mempunyai sebuah cara pandang yang spesifik tetapi cara pandang itu bukanlah paradigma, karena paradigma harus dianut oleh suatu komunitas.

Kuhn mengemukakan bahwa paradigma ilmu itu amat beragam. Keragaman paradigma ini pada dasarnya adalah akibat dari perkembangan pemikiran filsafat yang berbeda-beda sejak zaman Yunani. Sebab sudah dapat dipastikan bahwa pengetahuan yang didasarkan pada filsafat Rasionalisme akan berbeda dengan yang didasarkan Empirisme, dan berbeda pula dengan Positivisme, Marxisme dan seterusnya, karena masing-masing aliran filsafat tersebut memiliki cara pandang sendiri tentang hakikat sesuatu serta memiliki ukuran-ukuran sendiri tentang kebenaran. Menurut Ritzer (1985), perbedaan aliran filsafat yang dijadikan dasar berpikir oleh para ilmuwan akan berakibat pada perbedaan paradigma yang dianut. Paling tidak terdapat tiga alasan untuk mendukung asumsi ini; Pertama, pandangan filsafat yang menjadi dasar ilmuwan untuk menentukan tentang hakikat apa yang harus dipelajari sudah berbeda; Kedua, pandangan filsafat yang berbeda akan menghasilkan obyek yang berbeda; Ketiga, karena obyek berbeda, maka metode yang digunakan juga berbeda.

(3)

sosiologi merupakan ilmu yang mempunyai beberapa paradigma (multiple paradigm). Setiap paradigma memiliki obyek kajian, teori, metode analisa yang

berbeda. Meskipun masih banyak terjadi perdebatan penggolongan paradigma dalam ilmu sosiologi, namun menurut Ritzer, secara garis besar ada tiga paradigma yang mendominasi dalam keilmuan sosiologi, yakni:

2.1.2 Paradigma Fakta Sosial

(4)

Menurut Durkheim, pokok bahasan sosiologi haruslah mengenai studi fakta sosial. Pembahasan mengenai paradigma fakta sosial terdiri dari struktur sosial, dan institusi sosial seperti norma-norma, nilai, adat-istiadat, dan segala aturan yang bersifat memaksa diluar kehendak manusia. Berarti struktur dan institusi sosial beserta pengaruhnya terhadap pikiran dan tindakan individu menjadi subject matter sosiologi. Dengan kata lain, para teoritis yang menganut paradigma fakta sosial memusatkan pada relasi antara struktur sosial dengan individu, dan relasi institusi sosial dengan individu. Dengan kata lain, pendorong tindakan individu pada analisis fakta sosial antara struktur dan institusi sosial bersifat terpisah.

Masyarakat mengontrol individu. Individu harus beradaptasi terhadap masyarakat setempat sehingga manusia tidak bisa eksis, yang terjadi dalam masyarakat poko yang menang. Jadi individu atau masyarakat harus dipaksa terlebih dahulu sehingga akan muncul kesadaran yaitu norma-norma atau aturan.

Pada studi fakta sosial, Durkheim tidak hanya melihat sesuatu dalam konteks yang nyata (material) saja, melainkan juga berkaitan dengan sesuatu diluar materi. Untuk mempermudah memahaminya, Durkheim membagi ranah fakta sosial menjadi dua bentuk, yaitu:

(5)

b. Fakta sosial non-material, sebenarnya dapat dikatakan suatu ekspresi atau fenomena yang terkandung dalam din manusia sendiri atas fakta sosial materialnya, dan ini hanya muncul dalam kesadaran manusia. Misalnya, moralitas, kesadaran, egoisme, altruisme dan opini.

Dengan demikian, kajian fakta sosial terdiri atas: kelompok, kesatuan masyarakat tertentu, sistem sosial, peranan, nilai-nilai, keluarga, pemerintahan dan sebagainya. Sedangkan teori yang tergabung dalam paradigma ini yaitu, teori fungsionalisme struktural, teori konflik, teori sistem, dan teori sosiologi makro. Namun yang dominan dari teori ini yang biasa digunakan oleh para penganut fakta sosial, yaitu teori fungsionalisme struktural, dan teori konflik. Struktur sosial menekankan kepada keteraturan dan mengabaikan konflik serta perbaikan-perbaikan dalam masyarakat. Masyarakat berada dalam kondisi statis dan bergerak dalam kondisi seimbang. Teori konflik dibangun untuk menentang secara langsung teori sosial. Masyarakat tersebut berada dalam perubahan yang ditandai pertentangan yang terus menerus diantara unsur-unsurnya.

(6)

material misalnya opini, egoisme, yang hanya dapat dinyatakan sebagai barang sesuatu, tidak dapat diraba, yang hanya ada dalam kesadaran manusia dan dapat berpengaruh terhadap individu maupun kelompok.

Fakta sosial yang dikemukakan Durkheim juga menjelaskan bahwa dalam masyarakat terdapat adanya cara bertindak manusia yang umumnya terdapat pada masyarakat tertentu yang sekaligus memiliki eksistensi sendiri, dengan cara dan dunianya sendiri terlepas dari manifestasi- manifestasi individu. Masyarakat secara paling sederhana dipandang oleh Durkheim sebagai kesatuan integrasi dari fakta-fakta sosial analisa Durkheim terhadap gejala yang terjadi di dalam masyarakat tidak hanya berhenti sampai disitu. Ia juga mencoba untuk melihat agama sebagai fakta sosial yang dijelaskannya dengan teorinya tentang solidaritas sosial dan integrasi masyarakat.

Menurutnya, agama dan masyarakat adalah satu dan sama, agama adalah cara masyarakat memperlihatkan dalam bentuk fakta sosial non material.Penganut paradigma ini lebih besar kemungkinannya menggunakan metode interview-kuesioner dan metode perbandingan sejarah ketimbang penganut paradigma lain. 2.1.2 Paradigma Definisi Sosial

(7)

Sebaliknya, tindakan individu yang diarahkan kepada benda mati atau obyek fisik semata tanpa dihubungkan dengan tindakan orang lain bukan suatu tindakan sosial. Karya Weber membantu menimbulkan minat dikalangan penganut paradigma ini dalam mempelajari cara atau mendefenisikan situasi sosial mereka, dan mempelajari pengaruh defenisi sosial terhadap tindakan dan integrasi berikutnya. Metode observasi adalah metode khusus dalam penelitian penganut paradigma definisi sosial.

Menurut Weber, mempelajari perkembangan pranata haruslah juga melihat tindakan manusia. Sebab tindakan manusia merupakan bagian utama dari kehidupan sosial. Bagi Weber, sosiologi merupakan ilmu yang berusaha menafsirkan dan memahami tindakan sosial serta berbagai hubungan sosial sampai kepada penjelasan kausal. Untuk itu, paradigma ini disebut juga sebagai sosiologi interpretatif. Paradigma definisi sosial didukung oleh beberapa teori, seperti teori aksi, teori interaksionisme simbolik, teori fenomenologi, teori etnometodologi dan teori eksistensialisme.

(8)

Paradigma ini bertolak dari asumsi bahwa manusia mempunyai kemampuan yang kreatif, inovatif, dan daya selektif yang kuat, sehingga apa yang diperbuat bersumber dari dalam dirinya. Tindakan seseorang merupakan cerminan dari dirinya sendiri dan mereka bebas untuk melakukan perbuatan tanpa terpengaruh oleh sistem atau struktur sosial di luar dirinya. Diri manusia merupakan sumber inspirasi terjadinya perubahan-perubahan dalam masyarakat dan tanpa ada sifat-sifat itu tidak akan ada perubahan dalam peradaban manusia. Jadi menurut paradigma ini, system atau struktur di luar diri manusia tidak mempunyai kemampuan mempengaruhi potensi dalam diri manusia. Tokoh utama paradigma ini adalah Max Weber yang telah melahirkan teori Aksi Sosial atau social action.

Menurut paradigma ini, dalam mengamati tindakan sosial diperlukan pemahaman atau penafsiran dari tindakan sosial tersebut. Karena itu yang menjadi perhatian paradigma ini adalah usaha mengungkap apa yang menjadi perhatian paradigma ini adalah usaha mengungkap apa yang menjadi keinginan dari si aktor dalam melakukan suatu tindakan dan mengapa ia melakukan tindakan itu. Sehubungan dengan itu Weber menggunakan istilah verstehen atau interpretative understanding, yaitu suatu konsep untuk memahami makna sedalam-dalamnya

dari fenomena yang muncul atas tindakan sosial manusia.

(9)

interpretasi terhadap tindakan sosial itu sesuai dengan maksud dan tujuan pelaku atas tindakannya itu.

Tindakan sosial itu adalah tindakan individu sepanjang tindakannya itu mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan di arahkan kepada tindakan orang lain. Sebaliknya tindakan individu yang diarahkan kepada benda mati atau obyek fisik semata tanpa di hubungkannya dengan tindakan orang lain bukan merupakan tindakan sosial. Tindakan seorang melempar batu ke sungai itu bukan tindakan sosial. Tapi tindakan tersebut dapat berubah menjadi tindakan sosial kalau dengan melemparkan batu tersebut di maksudkannya untuk menimbulkan reaksi dari orang lain seperti mengganggu seseorang yang sedang memancing.

(10)

dipaksakan sepenuhnya oleh fakta sosial, tidak sepenuhnya ditentukan oleh norma-norma dan nilai yang ada dalam masyarakat.

Bertolak dari konsep dasar tentang tindakan sosial dan antar hubungan sosial sosial itu Weber mengemukakan lima ciri pokok yang menjadi sasaran penelitian sosiologi yaitu :

1. Tindakan manusia, yang menurut si aktor mengandung makna yang subyektif. Ini meliputi berbagai tindakan nyata.

2. Tindakan nyata dan yang bersifat, membatin sepenuhnya dan bersifat subyektif.

3. Tindakan yang meliputi pengaruh positif dari suatu situasi, tindakan yang sengaja diulang serta tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam. 4. Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu. 5. Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang

lain itu.

(11)

rasionalitas tindakan sosial, Weber membedakannya dalam empat tipe, dimana semakin rasional tindakan sosial itu semakin mudah dipahami, empat tipe itu adalah :

a. Zwerk rational, yakni tindakan sosial murni. Dalam tindakan ini aktor tidak hanya sekedar menilai cara yang terbaik untuk mencapai tujuannya tapi juga menentukan nilai dari tujuan itu sendiri.

b. Werktrational action, dalam tindakan tipe ini aktor tidak dapat menilai apakah cara-cara yang dipilihnya itu merupakan yang paling tepat untuk mencapai tujuan yang lain. Dalam tindakan ini memang antara tujuan dan cara-cara mencapainya cenderung menjadi sukar untuk dibedakan, namun tindakan ini rasional karena pilihan terhadap cara-cara sudah menentukan tujuan yang diinginkan.

c. Affectual action, adalah tindakan yang dibuat-buat, dipengaruhi oleh perasaan emosi dan kepura-puraan si aktor. Tindakan ini sukar dipahami kurang atau tidak rasional.

d. Traditional action, tindakan yang didasarkan atas kebiasaan-kebiasaan dalam mengerjakan sesuatu di masa lalu saja.

Kedua tipe tindakan yang terakhir sering hanya merupakan tanggapan secara otomatis terhadap rangsangan dari luar. Karena itu tidak termasuk dalam jenis tindakan yang penuh arti yang menjadi sasaran penelitian sosiologi.

(12)

dan dihubungkan serta diarahkan kepada tindakan orang lain. Tidak semua kehidupan kolektif memenuhi syarat sebagai antar hubungan sosial, dimana tidak ada saling penyesuaian (mutual orientation) antara orang yang satu dengan yang lain meskipun ada sekumpulan orang yang diketemukan bersamaan.

Ada tiga teori yang termasuk ke dalam paradigma definisi sosial ini, yakni: Teori aksi (action theory), teori interaksionisme simbolik (symbolic interactionism) dan teori fhenomenologi (fhenomenology). Ketiga teori ini

mempunyai kesamaan ide dasarnya yang berpandangan bahwa manusia adalah aktor yang aktif dan kreatif dari realitas sosialnya. Artinya tindakan manusia tidak sepenuhnya ditentukan norma-norma, kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai dan sebagainya yang kesemuanya itu tercakup dalam fakta sosial. Manusia mempunyai cukup banyak kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol dari fakta sosial.

Di sini pula terletak perbedaan yang sebenarnya antara paradigma definisi sosial dengan paradigma fakta sosial. Paradigma fakta sosial menganggap bahwa perilaku manusia dikontrol oleh berbagai norma, nilai-nilai serta sekian alat pengendalian sosial lainnya. Sedangkan paradigma perilaku sosial (social behavior) adalah bahwa yang terakhir ini melihat tingkahlaku manusia senantiasa

dikendalikan oleh kemungkinan penggunaan kekuasaan atau kemungkinan penggunaaan kekuatan (re-enforcement).

(13)

dipandang sebagai satu hubungan yang berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari satu jaringan hubungan sosial yang lebih luas, yang melibatkan keseluruhan anggota masyarakat tersebut. Hubungan kedua orang di atas harus dilihat sebagai bagian dari satu struktur sosial. Inilah prinsip dan objek kajian ilmu sosial, menurut RB. Individu-individu yang menjadi komponen dari sebuah struktur sosial bukanlah dilihat dari sudut biologis, yaitu yang terdiri dari sel-sel dan cairan, tetapi sebagai person yang menduduki posisi, atau status, di dalam struktur sosial tersebut. (G.Ritzer, 1985)

Penganut paradigma Definisi Sosial cenderung menggunakan metode observasi dalam penelitian mereka. Alasannya adalah untuk dapat memahami realitas intrasubjective dan intersubjective dari tindakan sosial dan interaksi sosial. Namun kelemahan teknik observasi adalah ketika kehadiran peneliti di tengah-tengah kelompok yang diselidiki akan mempengaruhi tingkah laku subyek yang diselidiki itu. Lagi pula tidak semua tingkah laku dapat diamati, seperti tingkah laku seksual misalnya.

2.1.2.1 Teori Aksi (Action Theory)

Beberapa asumsi dasar fundamental dari Teori Aksi dikemukakan Hinkle dengan merujuk karya Mac Iver, Znaniecki dan Parson sebagai berikut:

a. Tidakan manusia muncul dari kesadarannya sendiri sebagai subyek dan dari situasi ekternal dalam posisinya sebagai obyek.

(14)

c. Dalam bertindak manusia menggunakan cara, teknik, prosedur, metode serta perangkat yang diperkirakan cocok untuk mencapai tujuan tersebut.

d. Kelangsungan tindakan manusia hanya dibatasi oleh kondisi yang tak dapat diubah dengan sendirinya.

e. Manusia memilih, menilai dan mengevaluasi terhadap tindakan yang akan, sedang dan yang telah dilakukannya.

f. Ukuran-ukuran, aturan-aturan atau prinsip-prinsip moral diharapkan timbul pada saat pengambilan keputusan.

g. Studi mengenai antar hubungan sosial memerlukan pemakaian teknik penemuan yang bersifat subjektif seperti metode verstehen, imajinasi, sympathetic reconstruction atau seakan-akan mengalami sendiri

(vicarious experience).

Kesimpulan utama yang dapat diambil adalah bahwa tindakan sosial merupakan suatu proses dimana aktor terlibat dalam pengambilan keputusan-keputusan subyektif tentang sarana dan cara untuk mencapai tujuan tertentu yang telah dipilih, yang kesemua itu dibatasi kemungkinan-kemungkinannya oleh sistem kebudayaan dalam bentuk norma-norma, ide-ide dan nilai-nilai sosial. Di dalam menghadapi yang bersifat kendala baginya itu, aktor mempunyai sesuatu di dalam dirinya berupa kemauan bebas.

2.1.2.2 Teori Interaksionisme Simbolik

(15)

luar dirinya. Interaksi itu membutuhkan simbol-simbol tertentu dan simbol itu biasanya disepakati dalam sekala kecil maupun skala besar, misalnya bahasa, tulisan, dan simbol-simbol lain yang bersifat dinamis dan unik. Interaksi simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis manusia. Bagi perspektif ini, individu bersikaf aktif, reflektif, dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang unik dan sulit diramalkan. (Mulyana, 2009).

Interaksionisme simbolik membedakan antara interaksi adalah organisme pasif yang perilakunya ditentukan oleh kekuatan atau struktur sosial dan luar dirinya oleh karena itu teori berkembang melalui interaksi. Jadi interaksilah yang dianggap merupakan variabel yang penting dalam menentukan perilaku manusia, bukan struktur masyarakat.

Interaksionisme simbolik adalah salah satu model penelitian budaya yang berusaha mengungkapkan realitas perilaku manusia. Falsafah dasar interaksionisme simbolik adalah fenomenologi. Namun, dibanding penelitian naturalistik dan etnografi yang juga memanfaatkan fenomenologi, interaksionisme simbolik memiliki paradigma penelitian tersendiri. Model penelitian ini pun mulai bergeser dan awalnya jika semula lebih mendasarkan pada interaksi kultural antar personal, sekarang telah berhubungan dengan aspek masyarakat dan atau kelompok, karena itu bukan mustahil kalau awalnya lebih banyak dimanfaatkan oleh penelitian sosial, namun selanjutnya juga diminati oleh peneliti budaya.

(16)

melalui komunikasi budaya antar warga setempat. Pada saat berkomunikasi jelas banyak menampilkan simbol yang bermakna, karenanya tugas peneliti menemukan makna tersebut.

Hal ini tercermin dari gagasan tokoh sentral teori ini yakni G.H. Mead yang bermaksud untuk membedakan teori interaksionisme simbolik dengan teori behavioralisme radikal. Behaviorisme Radikal berpendirian bahwa perilaku individu adalah sesuatu yang dapat diamati. Mempelajari tinglahlaku (behavior) manusia secara obyektif dari luar. Penganut behaviorisme cenderung melihat perilaku manusia itu seperti perilaku binatang dalam arti hanya semata-mata merupakan hasil rangsangan dari luar.

(17)

Teori ini menolak pandangan paradigma fakta sosial dan paradigma perilaku sosial dengan alasan yang sama. Keduanya tidak mengakui arti penting kedudukan individu. Bagi paradigma fakta sosial individu di pandangnya sebaagai orang yang terlalu mudah di kendalikan oleh kekuatan yang berasal dan luar dirinya seperti kultur, norma dan peranan-peranan sosial. Sehingga pandangan ini cenderung mengingkari kenyataan bahwa manusia mempunyai kepribadian sendiri sedangkan paradigma perilaku sosial melihat tingkah laku manusia semata- mata di tentukan oleh suatu rangsangan yang datang dari luar dirinya. Kenyataan bahwa manusia mampu menciptakan dunianya sendiri, di ingkari oleh kedua paradigma itu. Oleh karena itu mengikuti jalan pikiran penganut interaksionisme simbolik, pernyataan-pernyataan individu merupakan sebuah fakta ilmiah.

Teori interaksionisme-simbolik dikembangkan oleh kelompok The Chicago School dengan tokoh-tokohnya seperti Goerge H.Mead dan Herbert

(18)

pentingnya pengamatan peserta di dalam studi komunikasi. Lebih lanjut, tradisi Chicago melihat orang-orang sebagai kreatif, inovatif, dalam situasi yang tak dapat diramalkan. masyarakat dan diri dipandang sebagai proses, yang bukan struktur untuk membekukan proses adalah untuk menghilangkan intisari hubungan sosial. Menurut H. Blumer teori ini berpijak pada premis bahwa (1) manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna yang ada pada "sesuatu" itu bagi mereka, (2) makna tersebut berasal atau muncul dari "interaksi sosial seseorang dengan orang lain", dan (3) makna tersebut disempurnakan melalui proses penafsiran pada saat "proses interaksi sosial" berlangsung. "Sesuatu" - alih-alih disebut "objek" ini tidak mempunyai makna yang intriksik. Sebab, makna yang dikenakan pada sesuatu ini lebih merupakan produk interaksi simbolis.

(19)

bahwa tindakan manusia tidak disebabkan oleh "kekuatan luar" (sebagaimana yang dimaksudkan kaum fungsionalis struktural), tidak pula disebabkan oleh "kekuatan dalam" (sebagaimana yang dimaksud oleh kaum reduksionis psikologis) tetapi didasarkan pada pemaknaan atas sesuatu yang dihadapinya lewat proses yang oleh Blumer disebut self-indication. Menurut Blumer proses self-indication adalah proses komunikasi pada din individu yang dimulai dari

mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna, dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna tersebut. Dengan demikian, proses self-indication ini terjadi dalam konteks sosial di mana individu mengantisipasi tindakan-tindakan orang lain dan menyesuaikan tindakan-tindakannya sebagaimana dia memaknakan tindakan itu.

Interaksi simbolik, menurut Herbert Blumer, merujuk pada... "karakter interaksi khusus yang berlangsung antar manusia." Aktor tidak semata-mata bereaksi terhadap tindakan yang lain tetapi dia menafsirkan dan mendefinisikan setiap tindakan orang lain. Respon aktor baik secara langsung maupun tidak langsung, selalu didasarkan atas makna penilaian tersebut. Oleh karenanya, interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan simbol-simbol penafsiran atau dengan menemukan makna tindakan orang lain. Dalam konteks itu, menurut Blumer, aktor akan memilih, memeriksa, berpikir, mengelompokan, dan mentransformasikan makna dalam kaitannya dengan situasi di mana dan ke arah mana tindakannya.

(20)

Tindakan manusia itu sama sekali bukan stimulus - respon, melainkan stimulus - proses berpikir - respons. Jadi, terdapat variabel antara atau variabel yang menjembatani antara stimulus dengan respon, yaitu proses mental atau proses berpikir, yang tidak lain adalah interpretasi. Teori interaksionisme simbolik memandang bahwa arti/makna muncul dari proses interaksi sosial yang telah dilakukan. Arti dari sebuah benda tumbuh dari cara-cara dimana orang lain bersikap terhadap orang tersebut.

Teori interaksionisme simbolik mempelajari sifat interaksi yang merupakan kegiatan sosial dinamis sosial manusia. Bagi perspektif ini, individu bersifat aktif, reflektif dan kreatif, menafsirkan, menampilkan perilaku yang rumit dan sulit diramalkan. Paham ini menolak gagasan bahwa individu adalah organisme pasif yang perilakunya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan struktur yang ada di luar dirinya. Interaksilah yang dianggap variabel penting yang menentukan perilaku manusia, bukan struktur masyarakat.

(21)

yang menciptakan dan menegakan aturan-aturan, bukan aturan-aturan yang menciptakan dan menegakan kehidupan kelompok.

Menurut teoritisi perspektif ini, kehidupan sosial adalah "interaksi manusia dengan menggunakan simbol-simbol." Penganut interaksionisme simbolik berpandangan, perilaku manusia adalah produk dari interpretasi mereka atas dunia di sekeliling mereka, jadi tidak mengakui bahwa perilaku itu dipelajari atau ditentukan, sebagaimana dianut teori behavioristik atau teori struktural.

Di dalam bukunya yang amat terkenal, yaitu "Symbolic Interactionism; Perspective, and Method" Herbert Blumer (1969), menegaskan bahwa ada tiga

asumsi yang mendasari tindakan manusia. Tiga asumsi tersebut adalah sebagai berikut:

1) Human being act toward things on the basic of the meaning that the things have for them;

2) The meaning of the things arises out of the social interaction one with one's fellow;

3) The meaning of things are handled in and modified through an interpretative process used by the person in dealing with the thing he encounters.

Premis pertama sampai ketiga itu mempunyai pengertian seperti ini. Pertama, bahwa manusia itu bertindak terhadap sesuatu (apakah itu benda, kejadian, maupun fenomena tertentu) atas makna yang dimiliki oleh benda, kejadian, atau fenomena itu bagi mereka. Individu merespon suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial (perilaku manusia) berdasarkan makna yang dikandung komponen tersebut bagi mereka.

(22)

fenomenanya itu sendiri, melainkan tergantung pada orang-orang yang terlibat dalam interaksi itu. Makna dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa. Negosiasi itu dimungkinkan karena manusia mampu menamai segala sesuatu, bukan hanya objek fisik, tindakan, atau peristiwa (bahkan tanpa kehadiran objek fisik, tindakan, atau peristiwa itu) namun juga gagasan yang abstrak. Akan tetapi, nama atau simbol yang digunakan untuk menandai objek, tindakan, peristiwa, atau gagasan itu bersifat arbitrer (sembarang). Melalui penggunaan simbol itulah manusia dapat berbagi pengalaman dan pengetahuan tentang dunia.

Ketiga, makna tadi ditangani dan dimodifikasi melalui proses interpretasi dalam rangka menghadapi fenomena tertentu lainnya. Makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial. Perubahan interpretasi dimungkinkan karena individu dapat melakukan proses mental, yakni berkomunikasi dengan dirinya sendiri.

(23)

pembatasan terhadap tindakannya, namun dengan kemampuan berfikir yang dimilikinya manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan tindakan dan tujuan- tujuan yang hendak di capainya.

Beberapa asumsi teori Interaksionisme Simbolik menurut Blumer (1997): a. Manusia hidup dalam suatu lingkungan simbol-simbol. Manusia memberikan tanggapan terhadap simbol-simbol melalui proses belajar dan bergaul dalam masyarakat. Kemampuan manusia berkomunikasi, belajar, serta memahami simbol-simbol itu merupakan kemampuan yang membedakan manusia dengan binatang.

b. Melalui simbol-simbol manusia berkemampaun menstimulir orang lain dengan cara yang mungkin berbeda dari stimuli yang diterimanya dari orang lain.

c. Melalui komunikasi simbol-simbol dapat dipelajari sejumlah besar arti dan nilai-nilai, dan karena itu dapat dipelajari cara-cara tindakan orang lain.

d. Terdapat satuan-satuan kelompok yang mempunyai simbol-simbol yang sama atau akan ada simbol kelompok.

e. Berfikir merupakan proses pencarian kemungkinan yang bersifat simbolis dan untuk mempelajari tindakan-tindakan yang akan datang, menaksir keuntungan dan kerugian relativ menurut individual, di mana satu diantaranya dipilih untuk dilakukan. Kehidupan bermasyarakat terbentuk melalui proses interaksi dan komunikasi antar individu dan antar kelompok dengan menggunakan simbol-simbol yang dipahaminya melalui proses belajar.

(24)

dasarnya adalah produk dari interpretasi mereka atas dunia di sekeliling mereka, jadi tidak mengakui bahwa perilaku itu dipelajari atau ditentukan, sebagaimana dianut oleh teori behavioristik atau teori struktural. Perilaku dipilih sebagai hal yang layak dilakukan berdasarkan cara individu mendefinisikan situasi yang ada. Orang mampu melakukan modifikasi atau mengubah makna dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan interpretasi mereka atas situasi.

Secara ringkas interaksi simbolik didasarkan pada premis-premis tersebut:

1. Individu merespon suatu situasi simbolik. Mereka merespon lingkungan, termasuk objek fisik (benda) dan objek sosial (perilaku manusia) berdasarkan makna yang dikandung, komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka. Ketika mereka menghadapi suatu situasi, respon mereka tidak bersifat mekanis. Tidak pula ditentukan oleh faktor-faktor eksternal. Respon mereka bergantung pada bagaimana mereka mendefenisikan situasi yang dihadapi dalam interaksi sosial. Jadi individulah yang dipandang aktif untuk menentukan lingkungan mereka sendiri.

(25)

3. Makna yang diinterpretasikan individu dapat berubah dari waktu kewaktu sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial. Perubahan interpretasi dimungkinkan karena individu dapat melakukan proses mental, yakni berkomunikasi dengan dirinya sendiri. Manusia membayangkan atau merencanakan apa yang akan mereka lakukan (Mulyana, 2008).

Menurut Blumer (1997) ada beberapa premis interaksionisme simbolik yang yang perlu dipahami peneliti sosial (budaya), yaitu sebagai berikut: pertama: manusia melakukan berbagai hal atas dasar makna yang diberikan kepada mereka. Dalam suatu kerumunan yang memiliki simbol yang bermakna khusus. Kedua: dasar interaksionisme simbolik adalah makna yang berasal dari, atau muncul dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain. Kebudayaan sebagai suatu sistem makna yang dimiliki bersama, dipelajari, diperbaiki, dipertahankan, dan didefenisikan dalam konteks orang yang berinteraksi. Ketiga: dari interaksionisme simbolik, makna ditangani atau dimodifikasi melalui suatu proses penafsiran yang digunakan oleh orang dalam kaitannya dengan berbagai hal yang dihadapi.

(26)

Keenam, perilaku manusia itu wajar, konstruktif, dan kreatif, bukan elementer-reaktif. Ketujuh, perlu menggunakan metode introspeksi simpatetik, menekankan pendekatan intuitif untuk menangkap makna.

Melalui premis dan proporsi dasar diatas, muncul tujuh prinsip interaksionisme simbolik, yaitu :

1. Simbol dan interaksi menyatu. Karena itu tidak cukup seorang peneliti hanya merekam fakta, melainkan harus sampai pada konteks. 2. Karena simbol bersifat personal diperlukan pemahaman tentang jati

diri pribadi subjek penelitian.

3. Peneliti sekaligus mengkaitkan antara simbol pribadi dengan komunitas budaya yang mengitarinya.

4. Perlu direkam situasi yang melukiskan simbol.

5. Metode perlu merefleksikan bentuk perilaku dan prosesnya. 6. Perlu menangkap makna dibalik fenomena.

7. Ketika memasuki lapangan, sekedar mengarahkan pemikiran subjek, akan lebih baik.

(27)

simbol berdasarkan interkasi, berarti penafsiran selalu berada pada konteksnya. Menurut Ritzer, kesimpulan utama yang perlu diambil dari substansi teori interaksionisme simbolik adalah sebagai berikut. Kehidupan bermasyarakat itu terbentuk melalui proses komunikasi dan interaksi antar individu dan antara kelompok dengan menggunakan simbol-simbol yang dipahami maknanya melalui proses belajar. Tindakan seseorang dalam proses interaksi itu bukan semata-mata merupakan suatu tanggapan yang bersifat langsung terhadap stimulus yang datang dari lingkungannya atau dari luar dirinya, melainkan dari hasil sebuah proses interpretasi terhadap stimulus. Jadi jelas, bahwa hal ini merupakan hasil proses belajar, dalam arti memahami simbol-simbol, dan saling menyesuaikan makna dari simbol-simbol tersebut. Meskipun norma-norma, nilai-nilai sosial dan makna dari simbol-simbol itu memberikan pembatasan terhadap tindakannya, namun dengan kemampuan berpikir yang dimilikinya, manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan tindakan dan tujuan-tujuan yang hendak dicapainya. Singkatnya, bahwa symbolic interactionist (para pengikut teori interaksionisme simbolik) memberi dasar penalaran bahwa, there is a 'minding process that interveness between stimulus and response. It is this mental process, and not

simply the stimulus, that determines how a man will react (Ritzer, 1980).

(28)

“Memahami individu sendiri sebagai agen yang secara eksistensi bebas yang bisa menerima,menolak, memodifikasi, atau sebaliknya,‘menegaskan’ norma, peran, kepercayaan masyarakat, dan sebagainya, sesuai dengan kepentingan dan rencana mereka sendiri pada waktu itu”. Sebaliknya, dalam pandangan realisme sosial, lebih menekankan pada masyarakat dan bagaimana itu bisa membentuk dan mengendalikan proses mental individu. Lebih tepatnya mungkin sebagai agen bebas; para pelaku sadar bahwa perilaku mereka dikendalikan oleh komunitas yang lebih luas. (Ahmadi, 2005 : 303)

2.1.2.3 Teori Fenomenologi (Phenomenological Sociology)

Persoalan pokok yang hendak yang diterangkan oleh teori ini justru menyangkut persoalan pokok ilmu sosial sendiri, yakni bagaimana kehidupan bermasyarakat itu dapat terbentuk. Ada empat unsur pokok dari teori fenomenologi yaitu :

a. Perhatian terhadap aktor dengan memahami makna tindakan aktor yang ditujukan kepada dirinya sendiri.

b. Memusatkan perhatian kepada kenyataan yang penting atau pokok dan kepada sikap. yang wajar atau alamiah (natural attitude). Teori ini jelas bukan bermaksud fakta sosial secara langsung. Tetapi proses terbentuknya fakta sosial itulah yang menjadi pusat perhatiannya. Artinya bagaimana individu ikut serta dalam proses pembentukan dan pemeliharaan fakta-fakta sosial yang memaksa mereka itu.

(29)

pada tingkat interaksi tatap muka untuk memahaminya dalam hubungannya dengan situasi tertentu.

d. Memperhatikan pertumbuhan, perubahan dan proses tindakan. Berusaha memahami bagaimana keteraturan dalam masyarakat diciptakan dan dipelihara dalam pergaulan sehari-hari. Norma-norma dan aturan-aturan yang mengendalikan tindakan manusia dan yang memantapkan struktur sosial dinilai sebagai hasil interpretasi si aktor terhadap kejadian-kejadian yang dialaminya.

2.1.2.4 Etnometodologi

Istilah etnometodologi berasal dari bahasa Yunani yang berarti "metode" yang digunakan orang dalam menyelesaikan masalah kehidupan sehari-hari.

"Kumpulan pengetahuan berdasarkan akal sehat dan rangkaian prosedur dan pertimbangan (metode) yang dengannya masyarakat bisa dapat memahami, mencari tahu, dan betindak berdasarkan situasi dimana mereka menemukan diri mereka sendiri." ( Blumer 1997)

Etnometodologi memusatkan perhatian pada kehidupan sehari-hari. Etnometodologi sebagai realitas objektif yang terdapat fakta sosial didalamnya. Etnometodologi mencari capaian praktis yang dihasilkan pada tingkat lokal dan endogen. Hal ini, dapat diorganisasikan secara ilmiah, dilaporkan secara reflektif, berkesinambungan, pencapaian praktis, selalu, hanya, pasti dan menyeluruh, tanpa henti dan tanpa peluang menghindar, melampaui, atau menunda.

(30)

etnometodologi menganut pendirian ketak acuhan etno metodologis. Artinya, mereka tidak menilai sifat dasar penjelasan, tetapi lebih menganalisis penjelasan itu dilihat dari sudut pandang bagaimana cara penjelasan itu digunakan dalam tindakan praktis. Mereka memperhatikan penjelasan dan metode yang digunakan pembicara dan pendengar untuk mengajukan, memahami dan menerima atau menolak penjelasan.

2.2 Kepemimpinan

Kepemimpinan merupakan kemampuan memengaruhi suatu kelompok kearah tercapainya sasaran.Seorang pemimpin akan diakui manakala berhasil memengaruhi dan mampu mengarahkan bawahannya untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam melaksanakan tugasnya, seorang pemimpin memiliki tiga pola dasar gaya kepemimpinan, yaitu mementingkan pelaksanaan tugas, mementingkan hubungan kerjasama, dan mementingkan hasil yang dapat dicapai (Rivai, 2004).

Kepemimpinan juga dibatasi sebagai proses mengarahkan dan memengaruhi aktivitas-aktivitas tentang pekerjaan anggota kelompok. Implikasi penting dalam hal ini ialah kepemimpinan melibatkan pendistribusian kekuasaan pemimpin dengan anggota secara seimbang karena anggota bukanlah tanpa daya dan adanya kemampuan menggunakan bentuk kekuasaan yang berbeda dalam memengaruhi tingkah laku pengikutnya melalui berbagai cara (Bambang, 2012).

(31)

rintangan. Perilaku pemimpin yang istimewa ialah (1) kemampuan memberi inspirasi bersama (inspirational motivation),yaitu memberi gambaran ke masa depan dan membantu orang lain dan (2) kemampuan membuat pemecahan (idealized influence), yaitu memberi keteladanan dan merencanakan keberhasilan-keberhasilan kecil. Semuanya untuk memahami transformational leadership, yaitu pemimpin mentransformasikan bawahan melalui caraidealized influence, inspirational motivation, intelectual stimulation, dan individualized consideration.

Menurut Terry (1999) berpendapat bahwa seorang pemimpin ditingkat individu terlibat dalam pemberian nasihat, bimbingan inspirasi, dan pemberian motivasi kepada bawahan. Pemimpin membangun tim, menciptakan kesatuan dan menyelesaikan perselisihan ditingkat kelompok, mempengaruhi dan tidak memaksa, dan mampu membujuk bawahan untuk bertindaksecara sukarela dalam mencapai tujuan. Dalam pengertian mendasar, kepemimpinan berada dibarisan terdepan, mampu menggerakkan, dan terampil berkomunikasi untuk mengarahkan orang lain tentang jalan yang harus ditempuh.

(32)

yaitu pemimpin memberi pertimbangan dan rangsangan intelektual, dan memiliki karisma. Keempat, kepemimpinan visioner, yakni kemampuan menciptakan dan mengartikulasikan visi atraktif, terpercaya, dan realistis tentang masa depan suatu organisasi atau unit yang terus bertumbuh dan membaik sampai saat ini.

Fungsi kepemimpinan, menurut Kartono (2008), adalah memandu, menuntun, membimbing, memberi, atau membangkitkan motivasi-motivasi kerja, mengemudikan organisasi, membangun jaringan komunikasi yang baik, memberikan supervisi atau pengawasan yang efisien, mendelegasikan dan melimpahkan wewenang, dan membawa para pengikutnya menuju sasaran yang ingin ditujusesuai dengan ketentuan waktu dan perencanaan.

Konsep-konsep kepemimpinan dari para pakar tersebut pada hakikatnya mengandung beberapa pokok pikiran. Pertama, kepemimpinan adalah sesuatu yang melekat pada diri seorang pemimpin yang berupa sifat-sifat tertentu seperti kepribadian, kemampuan, dan kesanggupan. Kedua, kepemimpinan adalah serangkaian kegiatan pemimpin yang terkait dengan kedudukan (posisi) serta gaya atau perilaku pemimpin itu sendiri. Ketiga, kepemimpinan adalah proses antar hubungan atau interaksi antara pemimpin, bawahan, dan situasi.

(33)

Menurut Kaloh (2002), pemahaman dan penguasaan ilmu kepemimpinan sangat membantu setiap pemimpin dalam membawa organisasi kepencapaian tujuan mengingat pemimpin memiliki keterampilan berikut: (1) pemberdayaan (empowerment), (2) intuisi (intuition), (3) pemahaman diri (self understanding), (4) pandangan (vision), dan (5) nilai keselarasan (congruence value).

Kepercayaan pada diri sendiri bergantung pada persepsi tentang visi, yaitu pandangan ke depan dan positif mengenai eksistensi organisasi serta misi yang harus diembannya, hak yang dimilikinya, tanggung jawab yang harus dipikulnya, fungsi yang harus diselenggarakan, dan pendekatan operasional yang digunakan. Selaras dengan itu, pemimpin hanya berhasil jika sanggup menghadapi keadaan apa saja dan mewujudkan serta menyatakan nilai-nilai yang berakar dalam watak sosial suatu kelompok, kelas, atau bangsa (Newstrom,1996).

Stone dan Sachs (1995) mengemukakan empat strategi pemimpin dalam memimpin organisasi, yaitu memberdayakan anggota organisasi, menciptakan lingkungan pelatihan, mengupayakan visi, misi, dan nilai-nilai organisasi menjadi milik anggota, membuka diri terhadap perkembangan dan mudah menyesuaikan diri dengan perkembangan. Selanjutnya, pemimpin yang dapat memberdayakan anggota organisasi memahami secara utuh keberadaan staf, mendengar dengan sungguh-sungguh perkataan dan keinginan bawahan, bersedia menjelaskan secara terperinci tujuan yang ingin dicapai, memberi kesempatan kepada staf untuk berkembang dan bersedia melatih staf untuk berpikir kritis (Dharma, 2005).

(34)

variabel-variabel makro), dan perilakunya. Pendekatan ini mendasari suatu konsepsi yang menyeluruh bagi perilaku organisasi. Social learning merupakan suatu teori yang menyajikan model dalam menjamin suatu kelangsungan, interaksi timbal balik pemimpin dengan perilakunya.Pendekatan social learning menekankan peranan perilaku pemimpin, kelangsungan, dan interaksi timbal balik antara semua variabel yang ada. Aplikasinya yang lebih spesifik ialah bawahan secara aktif bersama dengan atasan berfokus pada perilakunya dan perilaku lainnya, serta memperhitungkan kemungkinan lingkungan dan sebagainya sebagai perantara. Tiga faktor penentu ini merupakan dasar dari teori kepemimpinan yang digunakan ilmu perilaku organisasi. Dengan pendekatan social learning, atasan dan bawahan berkesempatan untuk memusyawarahkan semua perkara yang mungkin timbul. Keduanya mempunyai hubungan interaksi yang dinamis dan memiliki kesadaran untuk menekankan cara menyempurnakan perilaku masing-masing dengan memberikan penghargaan-penghargaan yang diinginkan (Jamaluddin, 2011).

Menurut Giddens (2009) mengatakan bahwa setiap manusia adalah agen yang bertujuan (purposive agent). Sebagai individu, manusia cenderung memiliki alasan untuk tindakan-tindakannya dan mengelaborasi alasan ini secara terus-menerus sebagai bertujuan, bermaksud, dan bermotif.

Purwanlo (2002) merangkum kepemimpinan dalam tiga pendekatan/teori, yaitu pendekatan sifat, pendekatan perilaku, dan pendekatan situasional.

(35)

seseorang karena bawaan atau turunan. Jadi, seseorang menjadi pemimpin karena sifat-sifat yang dibawanya sejak lahir, dan bukan karena dibuat atau dilatih. Teori The Great Man menyatakan bahwa“Seseorang yang dilahirkan sebagai pemimpinakan menjadi pemimpin apakah ia mempunyai sifat pemimpin atau tidak. Contohnya, Napoleon Bonaparte memiliki kemampuan alamiah untuk menjadi pemimpin besar. Beberapa syarat pemimpin ialah kekuatan fisik dan susunan syaraf, penghayatan terhadap arah dan tujuan, antusiasme, keramah-tamahan, integritas, keahlian teknis, kemampuan mengambil keputusan, intelegensi, keterampilan pemimpin dan kepercayaan. 2. Pendekatan/Teori Perilaku (Behavioral Theory of Leadership) menjelaskan

gaya-gaya kepemimpinan yang harus diterapkan pemimpin. Teori ini ialah perkembangan baru dari temuan para pakar manajemen yang tidak puas dengan hasil-hasil yang dicapai teori sifat. Teori Perilaku berkembang pesat karena pakar manajemen banyak melakukan penelitian dan percobaan untuk menemukan keefektifan gaya kepemimpinan yang harus diterapkan dalam memimpin bawahan dalam mencapai tujuan organisasi (Mulyasa, 2002).

Dalam perspektif Teori Perilaku, studi kepemimpinan dipelopori oleh Universitas Michigan dan Universitas Ohio USA.

a. Kepemimpinan versi Universitas Michigan. Studi ini mengidentifikasikan dua konsep pemimpin yang efektif, yaitu (1) berorientasi pada bawahandan (2) berorientasi pada tugas/produksi (two concepts, which the calledemployee orientation and production orientation the studies

(36)

bawahan memperhatikan bawahan. Mereka merasa setiap pegawai penting dan pegawai diterima sebagai pribadi. Pemimpin yang berorientasi pada produksi memperhatikan produksi dan aspek-aspek teknik kerja, dan bawahan hanyala alat untuk mencapai tujuan organisasi (Mulyasa, 2002). b. Kepemimpinan versi Universitas Ohio. Studi ini berhasil menggambarkan

konsep kepemimpinan dalam kuadran kepemimpinan yang disebut The Ohio State Leadership Quadrants, seperti terlihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1.The Ohio State Leadership Quadrants Berdasarkan teori Ohio ada empat tipe kepemimpinan, yaitu:

a. Kepemimpinan yang rendah hubungan (kurang memperhatikan kepentingan bawahan atau sedikit pengarahan) dan rendah tugas (kurang memperhatikan keadaan produk atau tugas-tugas yang harus diselesaikan oleh bawahan). b. Kepemimpinan yang tinggi hubungan (sangat memperhatikan kepentingan

(37)

c. Kepemimpinan yang tinggi tugas (sangat memperhatikan produk yang harus dicapai atau tugas-tugas yang harus diselesaikan bawahan) dan tinggi hubungan (sangat memperhatikan kepentingan bawahan dan hubungan dengan bawahan).

d. Kepemimpinan yang tinggi tugas (sangat memperhatikan produk yang harus dicapai atau tugas-tugas yang harus diselesaikan bawahan), tetapi rendah hubungan (kurang mempedulikan kepentingan bawahan atau sedikit pengarahan). Dari kuadran tersebut jelas bahwa tipe kepemimpinan yang tinggi tugas dan tinggi hubungan adalah yang paling ideal.

3. Pendekatan Situasional (Situational Leadership)

Pendekatan situasional, atau pendekatan kontingensi, pada dasarnya hampir sama dengan pendekatan kepemimpinan sebelumnya. Pendekatan ini tidak hanya bergantung pada atau dipengaruhi oleh perilaku dan sifat-sifat pemimpin, tetapi juga sifat-sifat lingkungan. Setiap organisasi memiliki ciri-ciri khusus dan unik bahkan dalam organisasi sejenispun akan ditemukan masalah yang berbeda karena lingkungan yang berbeda serta semangat dan watak bawahan yang berbeda.Situasi yang berbeda mesti dihadapi dengan perilaku kepemimpinan yang berbeda. Banyak kemungkinan yang harus dihadapi dalam menerapkan perilaku kepemimpinan sesuai dengan situasi organisasi.

(38)

kesiapan (kematangan) yang diperlihatkan pengikut dalam pelaksanaan tugas, fungsi, atau tujuan tertentu. Konsep ini dikembangkan untuk membantu orang-orang melakukan proses kepemimpinan dan menjelaskan hubungan antara gaya kepemimpinan yang efektif dan tingkat kematangan para pengikut.

Konsep dasar teori kepemimpinan situasional yang dikemukakan Hersey (1998) ialah sebagai berikut:

“According to situasional leadership theory, as level of maturity of their follower continues io increase in terms of accomplishing a specific task, leaders should begin to reduce their task behavior and increase relationship behavior until the individual or group reaches a moderate level of maturity. As the individual or group begins to move into an above average level of maturity, it becomes appropriates for leader to decrease not only task behavior but also relationship behavior.”

Ciri kepemimpinan ditandai oleh aktivitas pemantauan yang dilakukan sehari-hari dan melibatkan perilaku individu dan perilaku orang lain.Pemimpin tidak hanya memantau arus aktivitas dan berharap orang lain berbuat sama dengan aktivitasnya; mereka juga secara rutin memantau aspek sosial dan aspek fisik konteks tempat dirinya beraktivitas.

(39)

tertentu kendati jarang disadari, baik oleh perilaku seperti itu maupun oleh orang lain yang menyaksikannya (Giddens, 2009).

Kepemimpinan situasi dengan konsep dasar kedewasaan/kematangan bawahan baru berarti apabila pemimpin/manajer berperan dalam memotivasi bawahan sesuai dengan tingkat kedewasaannya. Organisasi dapat menjadi efektif. Dari beberapa definisi kepemimpinan diatas tampak ada beberapa hal: (a) Kepemimpinan adalah serangkaian tindakan atau suatu proses; (b) Ada tujuan-tujuan tertentu yang hendak dicapai bersama, (c) Fungsi kepemimpinan, yaitu memengaruhi, menggiatkan orang lain dalam kegiatan atau usaha bersama, dan (d) Perwujudan kegiatan pimpinan atau proses pemimpin itu antara lain berupa pemberian contoh atau bimbingan, pemberian jalan yang mudah bagi mereka yang melakukan kegiatan-kegiatan atau usaha-usaha yang terorganisasi (House, 2008).

Pendekatan Kontingensi merupakan upaya dalam menemukan konsep kepemimpinan yang bersifat universal yang berfokus pada sifat dan perilaku seorang pemimpin. Keyakinan dasar dari Pendekatan Kontingensi ialah bahwa perilaku pemimpin yang efektif pada situasi tertentu belum tentu efektif pada situasi lain; artinya, keefektifan pemimpin bergantung (kontingen) pada situasi organisasi dan bukan sebaliknya bahwa perilaku yang efektif pada satu situasi akan efektif juga pada situasi lain (Rivai, 2004).

(40)

perhatian mengenai pengukuran orientasi kepemimpinan dari seorang individu. Ia mengembangkan Least-Preferred Co-Worker (LPC) Scale untuk mengukur dua gaya kepemimpinan, yaitu gaya berorientasi tugas yang mementingkan tugas atau otoritatif dan gaya berorientasi hubungan yang mementingkan hubungan kemanusiaan. Kondisi situasi terdiri atas dua faktor utama: (a) Hubungan pemimpin-anggota, yaitu derajat baik/buruknya hubungan atasan dengan bawahan, (b) Struktur tugas, yaitu derajat tinggi/rendahnya strukturisasi, standarisasi, dan perincian tugas pekerjaan, dan (c) Posisi kekuasaan, yaitu derajat kuat/lemahnya kewenangan dan pengaruh pemimpin atas variabel-variabel kekuasaan, seperti memberikan penghargaan dan mengenakan sanksi. Situasi akan menyenangkan pemimpin apabila ketiga dimensi diatas mempunyai derajat yang tinggi. Situas menyenangkan jika (1) pemimpin diterima oleh para pengikutnya, (2) tugas-tugas dan semua yang terkait ditentukan dengan jelas, dan (3) penggunaan otoritas dan kekuasaan secara formal diterapkan pada pemimpin. Jika terjadi sebaliknya, situasinya tidak menyenangkan bagi pemimpin.

(41)

yang digunakan dalam situasi yang lain, dan (e)Terdapat sejumlah proses sosial yang memengaruhi kadar keikutsertaan bawahan dalam pemecahan masalah. Model partisipasi oleh Vroom dan Jago merupakan teori kepemimpinan yang memberikan seperangkat aturan untuk menentukan ragam dan banyak pengambilan keputusan partisipatif dalam situasi-situasi yang berlainan.

Teori model Jalur Tujuan (Path Goal Model) merupakan pendekatan kepemimpinan situasional atau kontingensi lain.Model kepemimpinan jalur tujuan berusaha meramalkan efektivitas kepemimpinan dalam berbagai situasi. Menurut Robert J. (House, 2008), pemimpin menjadi efektif karena pengaruh motivasi yang positif, kemampuan melaksanakan, dan kepuasan pengikutnya. Teori ini disebut jalur-tujuan karena berfokus pada cara pemimpin memengaruhi persepsi pengikutnya pada tujuan mereka, tujuan pengembangan diri, dan jalan untuk mencapai tujuan.

(42)

tellingmenjual/selling, partisipasi/participating, dandelegasi/delegating.

Kepemimpinan situasional menurut Hersey dan Blanchard (1998) berbasis pada relasi hal-hal berikut ini: (a) jumlah petunjuk dan pengarahan pimpinan, (b) jumlah dukungan sosio-emosional pimpinan, dan (c) tingkat kesiapan atau kematangan para pengikut dalam melaksanakan tugas khusus, fungsi, atau tujuan tertentu.Dalam model kepemimpinan ini, gaya kepemimpinan yang paling efektif bervariasi sebagaimana kesiapan karyawan yang dibatasi dengan keinginan berpartisipasi, kemauan bertanggung jawab, kemampuan melaksanakan tugas, keterampilan, dan pengalaman. Sasaran dan pengetahuan pengikut merupakan variabel penting dalam menentukan gaya kepemimpinan yang efektif.

Kerr & Jermier (1978.p 28) menyatakan:

“Teori faktor situasional sebagai pengganti peran pemimpin merupakan setelah beberapa pendekatan kontingensi dijelaskan didepan pada perkembangan selanjutnya pendekatan ini menghasilkan konsep baru tentang kepemimpinan. Konsep tersebut menegaskan bahwa faktor-faktor situasional dapat sangat besar pengaruhnya sehingga faktor-faktor ini secara nyata menjadi pengganti (substitute) atau menjadi penetralisir kebutuhan akan peran pemimpin didalam organisasi.”

Menurut Ki Hajar Dewantoro, ada motto kepemimpinan Jawa (kearifan lokal) yang berbunyi Ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso tut wuri handayani,‘Didepan memberikan keteladanan, ditengah menggerakan, dibelakang

memberikan dukungan’.

(43)

mengendalikan, mencerdaskan, serta menegakkan kebenaran dan keadilan ditengah-tengah masyarakat, bangsa. Paranata hidup itu dijadikan aturan hukum yang harus dihormati dan dijunjung tinggi seluruh individu masyarakat Batak-Toba dalam kehidupan sehari-hari. Fondasi kehidupan Batak-Batak-Toba ialah falsafah Dalihan Na Tolu (DNT), yaitu somba marhula-hula, manat mardongan tubu, elek marboru yang merupakan warisan leluhur. Falsafah Dalihan Na Tolu (DNT)

telah membentuk karakter spesifik, jati diri Batak-Toba dari generasi ke generasi. Keragaman kearifan lokal tumbuh subur di masyarakat. Bangsa juga melahirkan berbagai tipologi kepemimpinan yang belum tentu sesuai dan serasi apabila diseragamkan (uniform) atau diterapkan pada masyarakat, bangsa yang berbeda. Aneka ragam kepemimpinan yang berdasarkan kearifan lokal perlu digali, didalami, dan dikembangkan sebagai salah satu instrumen penting dalam memformulasikan kepemimpinan yang berbasis pada kearifan lokal supaya benar-benar menyentuh kehidupan nyata sesuai dengan jati diri bangsa.

Pada komunitas Batak-Toba, kepemimpinan ialah hal yang paling penting dan strategis sehingga seorang pemimpin harus mampu menempatkan dirinya sebagai panutan dan teladan dalam segala hal. Seorang pemimpin bukan bagian dari masalah, melainkan solusi berbagai masalah yang dihadapi masyarakat dan bangsa. Oleh karena itu, seorang pemimpin merupakan public figure yang pantas digugu ditiru. serta diteladani oleh seluruh elemen masyarakat.

(44)

moyang.Ada ungkapan: “Jadi hata raja ima patuduhon ianggo halak Batak ingkon marpangalaho na raja do, ndang songon pangalaho ni hatoban na so

marhasangapon di tonga-tonga ni huta dohot mangajana”. (Dalam terjemahan

bebas, ‘pengertian raja pada bangsa Batak bukan raja dalam pemerintahan, melainkan kualitas karakter moral, sopan santun, kehormatan, kemuliaan, kewibawaan dan sebagainya. Sebutan raja bermakna bangsa Batak harus berperilaku seorang raja, bukan seperti perangai, perilaku budak yang tidak memiliki harga diri atau kehormatan. Orang yang berperilaku raja akan dihormati ditengah-tengah masyarakat, bangsa, dan negara.)

2.3 Kemampuan Fleksibilitas Kepemimpinan

Kemampuan fleksibilitas kepemimpinan adalah kapasitas mempraktikkan 4F, yaitu focus, flexi, fast, dan friendly (Bennis, 2000). Dalam organisasi dibutuhkan kemampuan fleksibilitas. Ini membantu dalam menanggapi situasi-situasi secara tepat dan membuat penyesuaian apabila terjadi penyimpangan dan mengantisipasinya.

Menurut Siagian (2008), kepemimpinan untuk mencapai tujuan organisasi memerlukan lima fungsi berikut:

1. Pemimpin sebagai penentu arah yang hendak dicapai pada masa depan merupakan saham yang teramat penting dalam kehidupan organisasi strategi, taktik, dan teknik. Keputusan operasional pemimpin yang tidak tepat akan mengakibatkan organisasi bergerak ke arah yang tidak benar, yang apabila dibiarkan berlanjut tidak hanya akan merugikan organisasi yang bersangkutan, tetapi akan menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup organisasi tersebut.

(45)

3. Pemimpin sebagai komunikator yang efektif.Pemeliharaan hubungan baik keluar dan kedalam dilakukan melalui proses komunikasi, baik secara lisan maupun secara tertulis.

4. Pemimpin sebagai mediator dalam kehidupan organisasi selalu saja ada situasi konflik yang harus diatasi, baik dalam hubungan keluar maupun dalam hubungan kedalam organisasi.

5. Peranan selaku integrator merupakan kenyataan dalam kehidupan organisasi bahwa timbulnya kecenderungan berpikir dan bertindak berkotak-kotak dikalangan para anggota organisasi dapat diakibatkan oleh sikap yang positif, tetapi mungkin pula sikap yang negatif.

Rivai (2014) berpendapat bahwa pemimpin yang berhasil tidak hanya didukung keterampilan teknis dan kepintaran belaka. Faktor yang tak kalah penting dan menentukan ialah emotional intelligence (EQ) yang tinggi. EQ adalah kesanggupan memahami diri sendiri. Orang yang memiliki selfawareness yang baik akan mampu mengendalikan dirinya sendiri (selfcontrol) secara efektif. Selfcontrol di sini bukan kemampuan seseorang menekan sedalam-dalamnya

perasaan di lubuk hati, melainkan kesanggupan mengelola seluruh emosinya secara aktif.

Rivai (2014) menambahkan bahwa pemimpin yang melayani memiliki kasih dan perhatian kepada orang-orang yang dipimpinnya. Kasih itu terwujud dalam bentuk kepedulian akan kebutuhan, kepentingan, impian dan harapan dari anggota. Ciri keempat seorang pemimpin yang memiliki hati yang melayani adalah akuntabilitas (accountable). Istilah akuntabilitas ialah penuh tanggung jawab dan dapat diandalkan. Artinya, seluruh perkataan, pikiran, dan tindakan pemimpin dapat dipertanggung jawabkan kepada publik atau kepada setiap anggota organisasinya.

(46)

“Tiga aspek kepemimpinan yang melayani, yaitu seorang pendeta, seorang profesor, dan seorang profesional yang sangat berhasil di dunia bisnis. Dua aspek kepemimpinan tersebut adalah hati yang melayani (servant head) dan juga tangan yang melayani (servant hands).”

Kepemimpinan yang melayani dimulai dari diri kita. Kepemimpinan mensyaratkan suatu transformasi dari dalam hati dan perubahan karakter. Kepemimpinan sejati bermula dari dalam dan kemudian bergerak ke luar untuk melayani orang-orang yang dipimpin. Disinilah pentingnya karakter dan integritas seseorang untuk menjadi pemimpin sejati. Tujuan utamanya ialah melayani kepentingan orang-orang. Orientasinya bukan untuk kepentingan diri sendiri atau golongannya, tetapi justru untuk kepentingan publik. Ia rindu membangun dan mengembangkan potensi orang-orang yang dipimpinnya agar tumbuh banyak pemimpin dalam kelompoknya. Hal ini sejalan dengan buku yang ditulis oleh John Maxwell berjudul Developing the Leaders Around You.

“Keberhasilan seorang pemimpin sangat tergantung dari kemampuannya untuk membangun orang-orang di sekitarnya, karena keberhasilan sebuah organisasi sangat tergantung pada potensi sumber daya manusia dalam organisasi tersebut.”

Menurut Mathis dan Jackson (2001), jika sebuah organisasi atau masyarakat mempunyai banyak anggota dengan kualitas pemimpin, organisasi atau masyarakat tersebut akan berkembang dan menjadi kuat.

(47)

Kepemimpinan yang efektif bermula dari visi yang jelas. Visi ialah sebuah daya atau kekuatan untuk melakukan perubahan, yang mendorong terjadinya proses ledakan kreativitas yang dahsyat melalui integrasi dan sinergi berbagai keahlian dari orang-orang dalam organisasi tersebut. Bahkan dikatakan bahwa nothing motivates change more powerfully than a clear vision. Visi yang jelas

dapat mendorong terjadinya perubahan dalam organisasi (Bambang, 2012).

Seorang pemimpin adalah inspirator perubahan dan visioner,yakni memiliki visi yang jelas tentang tujuan organisasi. Kepemimpinan secara sederhana adalah proses membawa orang-orang atau organisasi yang dipimpinnya menuju suatu tujuan (goal) yang jelas. Tanpa visi, kepemimpinan tidak ada artinya sama sekali. Visi inilah yang mendorong sebuah organisasi untuk senantiasa tumbuh dan belajar, serta berkembang dalam mempertahankan survivalnya sehingga bisa bertahan sampai beberapa generasi (Nawawi, 2013).

Pemimpin yang efektif bersifat responsif. Artinya, ia selalu tanggap terhadap setiap persoalan, kebutuhan, harapan, dan impian bawahan. Ia juga aktif dan proaktif dalam mencari solusi dari setiap permasalahan organisasinya.Ia menjadi pelatih/pendamping bagi bawahan (performance coach); artinya, dia memiliki kompetensi untuk menginspirasi, memotivasi, dan menginisiasi bawahan dalam menyusun perencanaan (termasuk kegiatan, target atau sasaran, dan kebutuhan sumber daya), melakukan aktivitas sehari-hari (pemantauan dan pengendalian), dan mengevaluasi kinerja anak buahnya (Rivai, 2014).

(48)

Setiap hari ada keselarasan (recalibrating) diri dengan komitmen untuk melayani Tuhan dan sesama melalui solitude (keheningan), prayer (doa), dan scripture (membaca firman Tuhan) (Handoko, 2003).

Winardi (2000)berpendapat bahwa:

“Pemimpin harus mampu menggunakan gaya kepemimpinannya dengan fleksibel supaya kepemimpinannya efektif. Fleksibilitas atau keluwesan merupakan kemampuan untuk menggunakan berbagai variasi pendekatan.”

Manajer adalah individu yang mendapat kekuasaan formal untuk mengelola suatu perusahaan. Manajer bertugas menata sumber-sumber daya yang tersedia (manusia, uang, tanah, peralatan dan sebagainya) guna mencapai sasaran-sasaran tertentu dan individu ini biasanya juga bertugas untuk menetapkan sasaran-sasaran tersebut (Winardi, 2006).

(49)

kemampuan untuk beradaptasi dengan tuntutan perubahan.

Tumbuh kembangnya benih-benih kekuatan jiwa fleksibilitas diharapkan menjadi daya kemauan untuk kebiasaan berpikir. Benih-benih itu menjadi daya kekuatan untuk mendorong kebiasaan berpikir yang mengubah bahasa kehidupan, mengelola stres, menatap kehidupan melalui mata orang lain, berkomunikasi secara efektif, menerima diri sendiri dan orang lain, memaksimalkan hubungan dan membangun kasih sayang, menangani berbagai kesalahan secara efektif, membangun kompetensi kedalam keberhasilan, membangun disiplin dan kontrol diri, mengelola gaya hidup yang berdaya fleksibilitas. Benih-benih itu merupakan kekuatan kebiasaan berpikir yang mampu menjadi tuntutan dalam bersikap dan berperilaku dan sekaligus menjadi unsur pendorong untuk usaha-usaha memperkuat daya kemauan. Daya kemauan tersebut diharapkan menggerakkan jiwa fleksibilitas kedalam tindakan yang dituntun kekuatan kebiasaan produktif sehingga mendorong terbentuknya karakter dan kebiasaan yang selalu siap membangkitkan daya ingat agar mudah dikendalikan dan disesuaikan. Benih-benih dalam membangun jiwa fleksibilitas di sini diungkapkan sebagai bahan renungan seperti yang termuat dalam pokok-pokok pikiran dibawah ini (Mas’ud, 2004).

(50)

memperoleh kewenangan karena amanah atau bersifat given, tetapi karena rekam jejak yang baik, reputasi, serta kemampuan yang spektakuler (Mas’ud, 2004).

Menurut Rivai (2004) mengatakan bahwa pemimpin yang visioner dalam banyak hal bersikap proaktif dalam mendorong perubahan dan perubahan itu umumnya bersifat radikal. Ia tidak akan bersikap superior dalam mengajukan gagasannya kepada para pengikut atau orang-orang yang dipimpinnya dengan cara-cara represif dan regulatif. Justru pemimpin yang visioner bersedia untuk belajar dengan mengembangkan pendekatan learning from the people.

(51)

2.3.1 Kemampuan Fleksibilitas Dimensi Fokus (Focused)

Menjadi pemimpin dalam satu unit organisasi/perusahaan bukan hal yang mudah. Pemimpin adalah cerminan dan indikator keberhasilan suatu unit organisasi. Ia berkomitmen terhadap seluruh pelaksanaan tugas yang mengarah pada visi dan misi dan mengendalikan kesalahan (jika ada). Pemimpin menyelenggarakan koordinasi pelaksanaan kegiatan program yang solid, menyesuaikan diri dengan cepat terhadap konflik yang terjadi dalam organisasi. Pemimpin mengevaluasi pencapaian kegiatan program secara bertahap. Kebijakan organisasi berjalan dengan kapasitas maksimal dan menghasilkan kinerja yang maksimal (Darwito, 2008).

Pemimpin dengan pendekatan sifat yang menekankan karakteristik pribadi berbeda dengan pemimpin dengan pendekatan keahlian yang menekankan kemampuan administratif. Pemimpin dalam mewujudkan tujuan organisasi menerapkan gaya kepemimpinan yang menuju visi dan misi organisasi sehingga ia mengetahui semua permasalahan dan cara menyelesaikannya. Pendekatan ini juga memperluas kajian kepemimpinan dengan bergerak kearah terwujudnya tujuan organisasi (Robbins,1998).

(52)

hubungan) guna memengaruhi bawahan dalam upaya mencapai tujuan organisasi (Abidin. N, 2013).

2.3.2 Kemampuan Fleksibilitas Dimensi Lentur (Flexi)

Pemimpin menentukan sukses atau gagalnya suatu organisasi. Ia memberi arahan dalam menyesuaikan kegiatan program dengan situasi dan kondisi pekerjaan untuk mencapai tujuan organisasi/lembaga. Ia menetapkan arah dengan memanfaatkan dan mengembangkan teknologi untuk mempermudah pencapaian tujuan program. Ia menyesuaikan kegiatan program dengan situasi dan kondisi dengan mengikutsertakan anggota dalam pengambilan keputusan dengan membuat program-program alternatif yang lebih menguntungkan (Ahmadi, 2010).

Seorang pemimpin harus dapat membuat program-program alternatif yang menguntungkan karena terkadang terjadi perubahan pada bidang yang dipimpinnya. Wajar jika ada kebiasaan yang sering dilakukan, yaitu seseorang menjadi pemimpin di tingkat manajer kalau pernah memimpin tiga bidang yang berbeda. Hal itu bertujuan untuk mendapatkan pengalaman dari bidang masing-masing. Kepemimpinan sangat diperlukan dengan tetap fokus terhadap apa yang sedang dia pimpin (Ahmadi, 2010).

2.3.3 Kemampuan Fleksibilitas Dimensi Cepat (Fast )

(53)

kepentingan umum daripada kepentingan pribadi (Robbins, 1998).

Pemimpin bukan sekadar seseorang yang dicintai atau dikagumi, melainkan seseorang yang mempunyai pengikut dan mampu bekerja dengan benar. Ia tidak hanya memilik gelar atau uang, tetapi juga memiliki tanggung jawab, tanggap, dan andal dalam menyelesaikan permasalahan kegiatan program yang dipikul di pundaknya dan membawanya ke tingkat keberhasilan maksimal. Jadi, pemimpin harus profesional (Ahmadi, 2010).

Kepemimpinan yang sukses, seseorang dituntut memiliki karakteristik khusus, setidaknya dapat menetapkan target waktu pada setiap program yang berwawasan luas, mengambil keputusan yang lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi, tidak berbasa-basi langsung pada persoalan, penuh imajinasi, serta pandai mendelegasikan dan memotivasi sumber daya manusia (Jaafar Muhamad, 2012).

Pemimpin harus mampu mendelegasikan dan mendukung komunikasi yang efektif untuk mencapai tujuan. Jika setiap permasalahan diselesaikan dengan segera dan tuntas, perjalanan organisasi akan cepat berkembang. Jadi, pemimpin harus selalu bekerja singkat dan tepat dengan hasil terhebat (Bambang, 2012). 2.3.4 Kemampuan Fleksibilitas Dimensi Ramah (Friendly)

(54)

bawahannya secara berjenjang ( Sujana, 2005).

Kepemimpinan yang efektif menunjukkan kepedulian pada kepemimpinan pendukung, yaitu pemimpin yang pandai bersahabat yang peduli dengan kebutuhan bawahan. Menandai keberadaan pemimpin efektif, status dan rencana pengembangan kedepan terhadap pribadi dan organisasi dan mengembangkan hubungan interpersonal yang menyenangkan sesama anggota (Jackson Matis, 2001).

2.3.5 Kemampuan Fleksibilitas Dimensi Adil (Fair)

Pemimpin yang kuat hanya berpihak pada kebenaran. Ia selalu bersikap proporsional, tidak membedakan orang-orang berdasarkan keturunan, suku, dan golongan. Ia juga dituntut untuk membina kelompok kerja sesuai dengan harapan. Sementara itu, pemimpin yang tegas mencegah terjadinya kecurangan di dalam lingkungannya, berpihak pada kepentingan bersama, dan tidak mementingkan egoisme pribadi atau kelompok. Kebijakannya tidak bersifat diskriminatif. Pemimpin besar sangat piawi dalam menggali dan menerima masukan dari para ahli untuk pertimbangan sebelum membuat keputusan ( Kartono, 2008).

Rivai (2014, hal 128) menyatakan:

“Adil asal katanya dari bahasa arab alih bahasanya adalah lurus secara istilah berarti menempatkan sesuatu pada tempat/aturannya, lawan katanya adalah zalim/aniaya (meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya).”

Macam-macam keadilan ialah : 1. Keadilan legal atau keadilan moral 2. Keadilan distributif

(55)

4. Kejujuran atau jujur 5. Kecurangan atau curang

Menurut Rivai (2014) mengatakan bahwa Plato dikenal sebagai sumber inspirasi kejayaan peradaban Barat. Dalam "The republic", ia menanamkan tiga prinsip keadilan dalam pelaksanaan ketatanegaraan. Pertama, pemimpin harus memiliki bekal pendidikan yang memadai. Kedua, masyarakat yang beradab harus berorganisasi, termasuk organisasi pemerintahan. Ketiga, keadilan tidak hanya dalam kerangka menjalankan pemerintahan yang baik, tetapi untuk tujuan hidup yang lebih tinggi, yaitu mencapai tingkat kebahagiaan.

Pemimpin pada hakikatnya ialah orang yang dicintai bawahan. Ia mampu memberi semangat, motivasi, dan inspirasi kepada orang-orang yang dipimpinnya. Ia juga mempunyai visi ke depan yang dimengerti orang banyak dan bermanfaat bagi kepentingan umum. Sebaliknya, penguasa atau administrator adalah orang yang menjalankan roda pemerintahan karena faktor kewajiban saja (Rivai, 2014).

2.4 Faktor-Faktor Memengaruhi Kemampuan Fleksibilitas Kepemimpinan 2.4.1 Faktor Gaya Kepemimpinan

(56)

Menurut Trisnawati (2005),

“Kepemimpinan diartikan sebagai proses mempengaruhi dan mengarahkan para pegawai dalam melakukan pekerjaan yang telah ditugaskan kepada mereka. Kepemimpinan adalah kemampuan dalam mengatur, memberi pengaruh serta memperoleh komitmen dari sebuah tim terhadap sasaran kerjanya. Selain itu pemimpin yang baik harus dapat menyelaraskan kebutuhan kelompok di mana untuk mengembangkan nilai-nilai dan sesuatu yang menarik perhatian organisasi.”

Robbins juga membedakan berbagai gaya kepemimpinan dengan mengutip pendapat House (2008), antara lain:

“(a) Kepemimpinan direktif, kepemimpinan ini membuat bawahan agar tahu apa yang diharapkan pimpinan dari mereka, menjadwalkan kerja untuk dilakukan dan memberi bimbingan khusus mengenai bagaimana menyelesaikan tugas. (b) Kepemimpinan suportif, kepemimpinan yang mendukung, kepemimpinan ini bersifat ramah dan menunjukkan kepedulian akan kebutuhan bawahan. (c) Kepemimpinan partisipatif, kepemimpinan ini berkonsultasi dengan bawahan dan menggunakan saran mereka sebelum mengambil suatu keputusan.(d) Kepemimpinan orientasi prestasi kepemimpinan ini menetapkan tujuan yang menantang dan mengharapkan bawahan untuk berprestasi pada tingkat tertinggi mereka.”

Menurut Gibson (1997):

“Ada empat perilaku yang spesifik, yaitu (1) Pemimpin yang direktif cenderung membiarkan bawahan mengetahui apa yang diharapkan dari mereka. (2) Pemimpin yang suportif memperlakukan bawahan denganderajat yang sama. (3) Pemimpin yang partisipatif meminta pendapat bawahan dan mempertimbangkan saran dan ide mereka sebelum mencapai suatu keputusan. (4) Pemimpin orientasi prestasi menetapkan tujuan-tujuan yang menantang, mengharapkan bawahan memberikan prestasinya pada tingkat paling tinggi dan secara terus menerus melakukan perbaikan prestasi.”

(57)

ditentukan sesuai dengan kegiatan pemimpin; (2) gaya konsultatif, yakni kemampuan memengaruhi orang lain agar bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan berbagai kegiatan yang akan dilakukan pemimpin setelah mendengarkan masukan/saran bawahan; (3) gaya partisipatif, yaitu kemampuan memengaruhi orang lain agar bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan berbagai kegiatan yang akan dilakukan bersama antara atasan dan bawahan; dan (4) gaya delegatif, yaitu kemampuan memengaruhi orang lain agar bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dengan berbagai kegiatan yang akan dilakukan yang lebih banyak diserahkan kepada bawahan.

Setiap pemimpin memiliki gaya yang berbeda-beda. Gaya kepemimpinan adalah norma perilaku seseorang saat ia berusaha memengaruhi perilaku orang lain seperti yang dilihatnya. Ini merupakan sebuah pendekatan untuk memahami kesuksesan pemimpin dengan pusat perhatian pada tindakan pemimpin (Kusumawati, 2008). Dalam organisasi, gaya kepemimpinan sangat diperlukan untuk mengembangkan lingkungan kerja yang kondusif dan membangun iklim motivasi bagi karyawan sehingga diharapkan menghasilkan produktivitas yang tinggi (Kusumawati, 2010).

(58)

Pemimpin yang efektif dalam menerapkan gaya tertentu memahami siapa bawahannya, memahami kekuatan dan kelemahan bawahannya, dan mengetahui cara memanfaatkan kekuatan bawahan untuk mengimbangi kelemahannya. Istilah gaya adalah cara yang dipergunakan pimpinan dalam memengaruhi para pengikutnya. Dalam teori jalur tujuan (Path Goal Theory) dinyatakan bahwa pemimpin mendorong kinerja yang lebih tinggi dengan memberikan kegiatan-kegiatan yang memengaruhi bawahannya agar percaya bahwa hasil yang berharga bisa dicapai dengan usaha yang serius (Sutarto, 2011).

Menurut Davis dan Newstrom (1996), gaya kepemimpinan adalah pola tindakan pemimpin secara keseluruhan seperti yang dipersepsikan orang-orang yang dipimpinnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Harsey dan Blancard (1998) yang menyatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah pola tingkah laku orang lain seperti yang dipersepsikan oleh yang akan dipengaruhinya.

Gambar

Gambar 2.1.The Ohio State Leadership Quadrants
Gambar 2.2. Model Kepemimpinan Jalur Tujuan (Path Goal Model) dari: Robert J. House 1976
Gambar 2.3. Modifikasi Determinan Gaya Kepemimpinan
Gambar 2.4. Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Bidang lemah tersebut dapat dilihat pada meter ke (180- 230) dari elektroda 1 dengan kedalaman berkisar (2,50-40) meter dari permukaan tanah yang memotong

thuringiensis yaitu K.K1.S.K2 dan W.Swh.S.K2 dari 26 isolat bakteri yang mampu membunuh larva Aedes aegypti instar III lebih dari 50 %.. Isolat W.Swh.S.K2 hasil isolasi dari

Hasil penelitian yang telah dilakukan berdasarkan data yang diperoleh baik berupa data primer maupun sekunder adalah sebagai berikut: (1) Peranan kepala

Berdasarkan data-data yang telah dikumpulkan dan telah dianalisis dapat disimpulkan Efektivitas Pelaksanaan Program Keluarga Harapan di Kelurahan Titi Kuning Kecamatan Medan

Hasil perhitungan yang telah dilakukan diketahui sisa makanan yang tinggi (≥25%) menghasilkan rata-rata biaya sisa terbesar Rp 9.530,00 apabila hasil ini diakumulasikan

[r]

From tests result, nurse working schedule generated by Simulated Annealing algorithm with combination to PCS cooling method and transition rules based on cost matrix have a better

Melibatkan auditor internal dalam tim perancangan system merupakan suatu langkah yang baik untuk mendapatkan system informasi yang terkendali dengan baik, dan system