• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fluktuasi Hubungan Lembaga Politik Eksek

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Fluktuasi Hubungan Lembaga Politik Eksek"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

EDISI 07 - November 2007

www.lsi.co.id

Pilkada dan Pemerintahan

Yang Terbelah

(Divided Government)

Jika pemerintah tidak didukung

kekuatan mayoritas di legislatif,

dikhawatirkan terjadi kemacetan

dalam penyusunan kebijakan.

Hlm. 1

Fluktuasi Hubungan Lembaga

Politik (Eksekutif-Legislatif) dan

Birokrat Pasca Pilkada

Apa yang terjadi jika Kepala

Daerah, DPRD dan birokrasi

serta masyarakat terus

mengalami keretakan

hubungan?

Hlm. 13

S

ALAH satu fenomena politik pasca Pilkada adalah adanya pemerintahan yang terbelah (divided government) di daerah. Ini terjadi ketika kekuasaan pemerintahan eksekutif (kepala daerah) dikuasai oleh satu partai sementara kekuasaan legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD) dikuasai oleh partai lain. Hingga Desember 2006, dari 290 wilayah Pilkada yang telah melangsungkan Pilkada, menunjukkan sebagian besar (56.9%) daerah ditandai dengan pemerintahan yang terbelah. Fenomena divided government ini meru-pakan konsekuensi dari pemilihan langsung, dimana anggota legislatif (DPRD) dan kepala daerah dipilih secara langsung oleh pemilih. Feno-mena ini kurang terlihat dalam sistem pemilihan tidak langsung—di mana kepala daerah dipilih oleh anggota DPRD.

Fenomena divided government penting dibahas karena berhubungan dengan efektivitas pemerintahan di daerah pasca Pilkada. Apakah peme-rintahan berjalan secara efektif, berbagai kebijakan pembangunan bisa dijalankan ataukah justru pemerintahan di daerah diwarnai dengan konflik yang berkepanjangan, terutama antara kepala derah dengan DPRD. Meski demikian, tidak selamanya wilayah dengan kondisi divided government, pasti kondisi politik lokal tidak stabil (terjadi konflik antara kepala daerah dengan DPRD).

Masalahnya, banyak kepala daerah yang melihat divided government ini sebagai monster yang menakutkan dan harus dihindari. Jika peme-rintah tidak didukung kekuatan mayoritas di legislatif, dikhawatirkan pemerintahan tidak berjalan dan terjadi kemacetan dalam penyusunan kebijakan. Ketakutan ini yang mendominasi suasana politik di banyak daerah. Akibatnya, banyak kepala daerah yang melakukan politik akomodasi yang tidak sehat—mulai dari bagi-bagi kekuasan kepada orang partai, hingga korupsi kolusi berjamaah (bersama-sama).

Pilkada dan Pemerintahan Yang Terbelah

(2)

HASIL Pilkada yang telah lewat menunjukkan salah satu fenomena menarik di daerah, yakni terciptanya suatu pemerintahan yang terbelah (divided government). Ini terjadi ketika kekuasaan pemerintahan eksekutif (kepala daerah) dikuasai oleh satu partai sementara kekuasaan legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/DPRD) dikuasai oleh partai lain. Hingga Desember 2006, dari 290 wilayah Pilkada yang telah melangsungkan Pilkada, menunjukkan sebagian besar (56.9%) daerah ditandai dengan pemerintahan yang terbelah. Sebanyak 56.9% wilayah ditandai dengan adanya kepala daerah yang diusung oleh partai yang bukan partai dengan kursi mayoritas di DPRD. Sebanyak 43.1% lainnya ditandai dengan adanya kepala daerah yang diusung oleh partai dengan kursi mayoritas di DPRD (lihat Grafik 1).

Tabel 1 menyajikan secara detil pola pemerintahan di daerah pasca Pilkada menurut provinsi. Pemerintahan yang terbelah (divided government) dengan jumlah besar ditemukan di provinsi Bengkulu, Irian Jaya Barat, Kali-mantan Selatan, KaliKali-mantan Tengah, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur dan Sumatera Barat. Sementara peme-rintahan yang tidak terbelah (unified government) dengan jumlah besar ditemukan di provinsi Jawa Timur, Kepu-lauan Riau dan Nusa Tenggara Barat. Tabel 2 menya-jikan contoh divided dan unified government di wilayah provinsi Bengkulu dan Nusa Tenggara Timur.

Fenomena divided government ini merupakan konse-kuensi dari pemilihan langsung, dimana anggota legislatif (DPRD) dan kepala daerah dipilih secara langsung oleh pemilih. Fenomena ini kurang terlihat dalam sistem pemi-lihan tidak langsung—dimana kepala daerah dipilih oleh

anggota DPRD. Dalam sistem pemilihan tidak langsung, kemungkinan besar kepala daerah berasal dari partai dengan kursi mayoritas di DPRD. Jika tidak ada politik uang dan suara anggota DPRD dari partai solid, calon yang didukung oleh partai mayoritas itu hampir bisa dipastikan akan terpilih sebagai kepala daerah.

Fenomena divided government kerap dikaitkan dengan kecenderungan pemilih untuk memilih calon dari partai yang berbeda untuk beberapa jenis pemilihan (split-ticket voting). Di sini, pemilih membagi suara (split) untuk bebe-rapa posisi. Untuk pemilihan anggota legislatif, pemilih memilih partai A, sementara untuk pemilihan kepala daerah, pemilih memilih calon yang didukung oleh partai B, dan seterusnya. Akibat logis dari pembagian suara (split) itu adalah adanya dua kekuasaan yang dikuasai oleh partai yang berbeda. Misalnya, untuk kekuasaan eksekutif dikuasai oleh partai A, sementara untuk kekua-saan pembuatan legislasi (legislatif) dikuasai partai B.

Dalam literatur perilaku pemilih (voter behavior), kecen-derungan pemilih untuk membagi suara dan berakibat pada terjadinya divided government ini umumnya dijelaskan lewat dua penjelasan utama.

Pertama, penjelasan non intensional. Adanya peme-rintahan yang terbelah adalah akibat logis dari sistem pemilihan yang memilih orang, dan bukan partai. Pemilih lebih mengevaluasi kandidat (baik anggota legislatif ataupun kepala daerah) daripada partai pendukung. Pemilih akan memilih kandidat yang disukai tanpa mem-perhitungkan asal partai dari kandidat tersebut. Ini meng-akibatkan terjadinya kemungkinan dimana pemilih

Keterangan : Data didasarkan pada hasil Pilkada sampai Bulan Desember 2006. Hingga Desember 2006, menurut Depertemen Dalam Negeri ( www.depdagri.go.id), Pilkada telah dilangsungkan di 296 wilayah di seluruh Indonesia. Data dalam tulisan ini menyertakan Pilkada di 290 wilayah yang telah melangsungkan Pilkada hingga Desember 2006.

Sumber: Diolah dari database Lingkaran Survei Indonesia.

Grafik 1: Pola Pemerintahan di Daerah Pasca Pilkada

Divided Government Unified Government 56,90%

(3)

Tabel 1: Pola Pemerintahan di Daerah Pasca Pilkada Menurut Provinsi

PROVINSI Divided Government Unified Government Total

Jumlah Persen (%) Jumlah Persen (%)

Bangka Belitung 2 50.0 2 50.0 4

Bali 3 50.0 3 50.0 6

Banten 2 50.0 2 50.0 4

Bengkulu 7 87.5 1 12.5 8

Daerah Istimewa Yogyakarta 2 40.0 3 60.0 5

Gorontalo 3 60.0 2 40.0 5

Irian Jaya Barat 7 77.8 2 22.2 9

Jawa Barat 3 42.9 4 57.1 7

Jambi 4 50.0 4 50.0 8

Jawa Tengah 15 60.0 10 40.0 25

Jawa Timur 5 26.3 14 73.7 19

Kalimantan Barat 4 50.0 4 50.0 8

Kalimantan Selatan 8 100.0 0 0.0 8

Kalimantan Tengah 3 75.0 1 25.0 4

Kalimantan Timur 5 45.5 6 54.5 11

Kepulauan Riau 1 16.7 5 83.3 6

Lampung 4 66.7 2 33.3 6

Maluku 4 66.7 2 33.3 6

Maluku Utara 5 71.4 2 28.6 7

Nanggroe Aceh Darussalam 13 65.0 7 35.0 20

Nusa Tenggara Barat 2 33.3 4 66.7 6

Nusa Tenggara Timur 6 75.0 2 25.0 8

Papua 9 60.0 6 40.0 15

Riau 5 50.0 5 50.0 10

Sulawesi Barat 1 100.0 0 0.0 1

Sulawesi Selatan 7 58.3 5 41.7 12

Sulawesi Tengah 3 42.9 4 57.1 7

Sulawesi tenggara 3 50.0 3 50.0 6

Sulawesi Utara 4 50.0 4 50.0 8

Sumatera Barat 11 73.3 4 26.7 15

Sumatera Selatan 3 50.0 3 50.0 6

Sumatera Utara 11 55.0 9 45.0 20

TOTAL 165 56.9 125 43.1 290

(4)

memilih anggota legislatif dari partai A, dan kepala daerah dari partai B.

Kedua, penjelasan intensional. Penjelasan ini umumnya bersumber dari pendekatan-pendekatan rasional (ekonomi politik) dalam studi mengenai perilaku pemilih. Tindakan pemilih dalam membagi suara (split) di sini dipahami sebagai sikap rasional dan sengaja (purposif) dari pemilih. Sebelum masuk ke bilik suara pemilih memang secara sadar berusaha membagi suara agar kekuasaan tidak berpusat kepada salah satu partai.

Pemilih berusaha untuk menciptakan keseimbangan, dan itu bisa diperoleh jika kekuasaan tersebar pada

bebera-pa bebera-partai. Penjelasan mana yang lebih sesuai dalam konteks Indonesia, tentu perlu penelitian tersendiri.

Efektivitas Pemerintahan di Daerah

Fenomena divided government penting dibahas karena berhubungan dengan efektivitas pemerintahan di daerah pasca Pilkada. Apakah pemerintahan berjalan secara efektif, berbagai kebijakan pembangunan bisa dijalankan ataukah justru pemerintahan di daerah diwarnai dengan konflik yang berkepanjangan—terutama antara kepala derah dengan DPRD.

Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), memberi kekuasaan yang besar Tabel 2: Contoh Divided Government dan Unified Government di Provinsi Bengkulu dan Nusa Tenggara Timur

Provinsi DPRD Total Partai Kursi Partai Partai Kursi Partai

Kabupaten/ Kursi di Kursi Pemenang Penyokong Penyokong

Kota/ DPRD Terbesar Pemilu Kepala Kepala Daerah

Provinsi Legislatif Daerah di DPRD

Jumlah Persen Jumlah Persen

Bengkulu Prov. Bengkulu 45 Golkar 13 29% PKS dan PBR 7 16%

Kab.Kaur 25 Golkar 4 16% PDIP, PKPB,

P. Pelopor, PPD

dan PKPI 8 32%

Kab. Seluma 25 Golkar 5 20% PKPI 5 20%

Kab. Muko-Muko 25 Golkar 4 16% PDIP dan PKS 5 20%

Kab. Lebong 20 Golkar 5 25% PPP, PBB 3 15%

Kab. Kepahiang 25 Golkar 8 32% PDIP dan PPP 5 20%

Kab. Rejang Lebong 30 Golkar 11 37% PKPB, PAN, PBR 7 23%

Kab. Bengkulu Utara 32 Golkar 9 28% Golkar 9 28%

NTT Kab. Sumba Timur 25 Golkar 11 44% Golkar 11 44%

Kab. Sumba Barat 35 PDIP 10 29% Golkar 10 29%

Kab. Flores Timur 30 Golkar 7 23% PPDI, Demokrat,

PKS, PBSD 6 20%

Kab. Timor Timur Utara 30 Golkar 13 43% PDIP 13 43%

Kab. Lembata 20 Golkar 5 20% Golkar 5 20%

Kab. Ngada 30 Golkar 7 23% PD, PAN, PKPI 3 10%

Kab. Manggarai 40 Golkar 11 28% PKB, PD, PPDI,

PNBK, PAN 7 18%

Kab. Manggarai Barat 25 PDIP 5 20% PPDK, PD, PKB,

PNBK, PBB, PPD,

PKS, PDS 6 24%

(5)

pada DPRD. Paling tidak terdapat tiga hubungan antara DPRD dengan kepala daerah.1 Pertama, hubungan dalam

konteks legislasi. Hubungan antara kedua lembaga negara di sini adalah pada saat membuat peraturan daerah (Perda). Kedua lembaga sama-sama berhak untuk membuat perda (Pasal 140 ayat 1). Tetapi pada saat pembahasan tentang perda yang substansinya sama maka yang harus didahulukan adalah perda yang dibuat oleh legislatif, sedangkan perda yang dibuat oleh eksekutif sebagai bahan perbandingan (Pasal 140 ayat 2). Sebisa mungkin, sebuah perda memiliki kandungan filosofis, sosiologis, yuridis; atau dalam bahasa hukum seperti yang tertera dalam Pasal 137 - syarat perda dan Pasal 138 - asas perda). Sementara satu-satunya perda yang dibuat oleh pemda yang juga dibahas bersama DPRD adalah perda tentang Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (ABPD) (Pasal 181).

Kedua, hubungan dalam konteks anggaran. Semua urusan pemerintahan di daerah didanai oleh APBD. APBD tersebut harus mendapat persetujuan dari DPRD karena APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah (Pasal 179) dalam melakukan pelayanan publik dalam masa satu tahun anggaran. Eksekutif kendati memiliki hak untuk membuatnya, tidak berarti harus menafikan DPRD untuk memperoleh persetujuan bersama (Pasal 181). Dengan demikian keterlibatan DPRD di sini adalah membahas atau memberikan persetujuan atas ran-cangan APBD yang dibuat oleh eksekutif (Pasal 42 b). Walau akhirnya, eksekutif merupakan pemegang kekua-saan pengelolaan keuangan daerah (Pasal 156 ayat 1).

Ketiga, hubungan dalam konteks pengawasan. Peng-awasan yang dilakukan oleh DPRD sebenarya meru-pakan manifestasi dari mekanisme check and balances dalam sistem demokrasi. Beberapa fungsi pengawasan yang dilakukan oleh DPRD tersebut adalah sebagai berikut: a) mengawasi pelaksanaan peraturan daerah dan perundang-undangan lainnya, b) mengawasi pelaksa-naan keputusan pemerintah daerah (gubernur, bupati/ walikota), c) mengawasi pelaksanaan APBD, d) meng-awasi kebijakan pemerintah daerah, dan e) mengmeng-awasi pelaksanaan kerja sama internasional di daerah (Pasal 42 ayat 1 huruf c), serta mengawasi KPUD dalam penye-lenggaraan pemilihan kepala daerah.2

1 Uraian dan penjelasan mengenai hubungan antara kepala daerah dan DPRD ini disarikan dari sejumlah bahan, diantaranya Lexy

Armanjaya, “Reformulasi Hubungan DPRDKepala Daerah”, Sinar Harapan, 23 Februari 2007; Budiman Rusli,” Hubungan DPRD -Kepala Daerah Pasca-Pilkada Langsung”, Pikiran Rakyat, 27 Juni 2005.

2 Ketika DPRD melakukan tugas-tugas pengawasan tersebut dan ternyata banyak hal yang diharapkan tidak terlaksana dengan baik

oleh eksekutif maka DPRD dapat menggunakan hak-haknya seperti pada Pasal 43 ayat (1) yaitu hak menyatakan pendapat, hak interpelasi dan hak angket. Penggunaan ketiga hak ini oleh DPRD memungkinkan pemerintah daerah di-impeach. Sehingga kemungkinan munculnya implikasi negatif dari pemberian hak yang sangat besar kepada DPRD (legislative heavy) juga perlu mendapat perhatian, yaitu kemungkinan terjadinya “konflik” yang berkepanjangan antara kepala daerah dan DPRD.

Secara teoritis, pemerintahan dengan pola unified government relatif lebih efektif dibandingkan dengan pemerintahan dengan pola divided government. Pada pemerintahan yang terbelah (divided government) potensial terjadi konflik—terutama apabila antara DPRD dan kepala daerah tidak sejalan. Baik dalam hal anggaran, pembuatan peraturan daerah hingga pengawasan, potensial terjadi konflik antara DPRD dengan kepala daerah. Kalangan DPRD bisa terus menerus memper-soalkan kebijakan yang dibuat oleh kepala daerah. DPRD juga bisa tidak menyetujui anggaran (APBD) yang diajukan oleh kepala daerah, sehingga berbagai kebijakan yang telah dirancang oleh kepala daerah bisa terbengkalai. Jika kepala daerah tidak bisa menyelesaikan masalah dengan DPRD, pemerintahan akan terus menerus diwarnai oleh konflik berkepanjangan.

Salah satu ilustrasi dari konflik antara kepala daerah dengan DPRD adalah apa yang terjadi di Kabupaten Banyuwangi. Selama masa pemerintahan, bupati Ratna Ani Lestari tidak bisa berkonsentrasi dalam menjalankan program kerja akibat konflik yang berkepanjangan dengan DPRD. Bahkan berkali-kali anggota DPRD berencana memberhentikan (impeach) bupati. Kursi di DPRD ma-yoritas dikuasai oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Dari 45 kursi yang ada, PKB menguasai 16 kursi. Dalam pemilihan kepala daerah, Ratna Ani Lestari didukung oleh partai kecil yang tidak mempunyai kursi di DPRD— PAN, PBR, PNBK dan sejumlah partai lain. Dalam kondisi seperti ini berbagai program kepala daerah bisa diganjal oleh DPRD. Lebih lanjut mengenai kecenderungan konflik pasca Pilkada, terutama di Kabupaten Banyuwangi, lihat dalam tulisan 2 dalam newsletter ini (Fluktuasi Hubungan Lembaga Politik dan Birokrasi Pasca Pilkada).

(6)

saat pencalonan dalam pemilihan kepala daerah. Yang menarik, dari 290 wilayah yang telah melangsungkan Pilkada hingga Desember 2006, sebagian besar ditandai dengan fakta bahwa partai pendukung kepala daerah tidak menguasai kursi mayoritas di DPRD. Sebanyak 86.21% dari wilayah yang telah melangsungkan Pilkada, partai pengusung kepala daerah tidak mempunyai kursi mayoritas di DPRD (Lihat Grafik 2). Tabel 3 merinci lebih lanjut mengenai kursi di DPRD ini menurut provinsi.

Jika partai atau koalisi partai pendukung kepala daerah tidak mengusai mayoritas kursi di DPRD, lalu seberapa besar kekuatan dari partai penyokong kepala daerah ini? Grafik 3 memperlihatkan kekuatan kursi yang dipunyai oleh partai penyokong kepala daerah di DPRD. Dari grafik ini terlihat, sebagian besar (45.52%), wilayah yang telah melangsungkan Pilkada ditandai dengan kenyataan partai penyokong kepala daerah mempunyai kekuatan lemah— dengan jumlah kursi di DPRD antara 15 hingga 30 persen. Ini menunjukkan, pasca Pilkada di banyak wilayah poten-sial terjadi konflik antara kepala daerah terpilih dengan

DPRD. Yang menarik, sebanyak 9.66% wilayah ditandai oleh kekuatan partai yang sangat lemah—jumlah kursi di DPRD di bawah 15%.3

Tabel 4 merinci lebih lanjut kekuatan kursi partai pendukung kepala daerah terpilih ini menurut provinsi. Besar kecilnya kekuatan partai pendukung di DPRD ini menentukan potensi besar kecilnya konflik dan pola hubungan antara kepala daerah dengan DPRD. Kepala daerah yang didukung oleh partai dengan kursi minoritas di DPRD harus siap-siap konflik dengan DPRD.

Pola Akomodasi dan Konsolidasi

Tulisan ini hanya memfokuskan pada potensi konflik yang mungkin terjadi akibat pemerintah di daerah yang terbelah —dimana kepala daerah dan mayoritas kursi di DPRD dikuasai oleh partai yang berbeda. Apakah pemerintahan daerah yang mengalami divided government cenderung tidak stabil kondisi politiknya, perlu penelitian lebih lanjut. Tidak selamanya wilayah yang mengalami unified government, politik lokal akan stabil. Sebaliknya, tidak

3 Ini terjadi di sejumlah wilayah. Sebagai ilustrasi sebagai berikut. Di Kabupaten Belitung Timur, partai pendukung kepala daerah

(PIB, PNBK) hanya menguasi 3 kursi (15%) dari total kursi DPRD. Di Kabupaten Banyuwangi, partai pendukung kepala daerah bahkan tidak mempunyai satu pun kursi di DPRD. Di Kota Tomohan, kepala daerah didukung oleh partai dengan kursi minoritas di DPRD (PNIM, PNBK, PKPB, PPD dan P. Pancasila). Total kursi dari partai-partai ini adalah 2 kursi (10%) dari total 21 kursi di DPRD Kota Tomohon. Di Kabupaten Seram Bagian Timur juga demikian. Partai pendukung kepala daerah (PKS, PKPB, PKPI) hanya mempunyai 2 kursi (10%) dari keseluruhan kursi di DPRD. Di Kabupaten Rembang, kepala daerah terpilih didukung oleh PAN dan partai kecil lain, yang total hanya menguasai 2 kursi (4%) dari total kursi di DPRD yang mencapai 45 kursi. Di Kabupaten Dompu, dari total 21 kursi di DPRD, hanya 3 kursi saja yang dikuasai oleh partai pendukung kepala daerah (Golkar). Di Kabupaten Bulukumba juga demikian. Kepala daerah terpilih hanya didukung oleh partai yang menguasai 14 persen (5 kursi) kursi di DPRD—dalam hal ini PDIP dan PBB.

Partai Pengusung Kepala Daerah Terpilih Mempunyai Kursi Mayoritas di DPRD

86.21%

13.79%

Partai Pengusung Kepala Daerah Terpilih Tidak Mempunyai Kursi Mayoritas di DPRD

Keterangan: Yang dimaksud kursi mayoritas di sini adalah jumlah kursi di atas 50 persen dari total kursi di DPRD. Untuk kepala daerah yang didukung oleh koalisi partai, perolehan kursi dibuat dengan menjumlah kursi dari semua partai anggota koalisi. Data didasarkan pada hasil Pilkada sampai Bulan Desember 2006. Data dalam tulisan ini menyertakan Pilkada di 290 wilayah yang telah melangsungkan Pilkada hingga Desember 2006. Sumber: Diolah dari database Lingkaran Survei Indonesia

(7)

Tabel 3: Kursi Partai Pengusung Kepala Daerah Terpilih Menurut Provinsi

Partai Pengusung Partai Pengusung

Kepala Daerah Terpilih Kepala Daerah Terpilih

Mempunyai Kursi Tidak Mempunyai Kursi

PROVINSI Mayoritas di DPRD Mayoritas di DPRD Total

Jumlah Persen (%) Jumlah Persen (%)

Bangka Belitung 1 25.0 3 75.0 4

Bali 2 33.3 4 66.7 6

Banten 1 25.0 3 75.0 4

Bengkulu 0 0.0 8 100.0 8

Daerah Istimewa Yogyakarta 1 20.0 4 80.0 5

Gorontalo 1 20.0 4 80.0 5

Irian Jaya Barat 1 11.1 8 88.9 9

Jawa Barat 1 14.3 6 85.7 7

Jambi 3 37.5 5 62.5 8

Jawa Tengah 4 16.0 21 84.0 25

Jawa Timur 8 42.1 11 57.9 19

Kalimantan Barat 0 0.0 8 100.0 8

Kalimantan Selatan 0 0.0 8 100.0 8

Kalimantan Tengah 0 0.0 4 100.0 4

Kalimantan Timur 2 18.2 9 81.8 11

Kepulauan Riau 0 0.0 6 100.0 6

Lampung 2 33.3 4 66.7 6

Maluku 0 0.0 6 100.0 6

Maluku Utara 0 0.0 7 100.0 7

Nanggroe Aceh Darussalam 2 10.0 18 90.0 20

Nusa Tenggara Barat 0 0.0 6 100.0 6

Nusa Tenggara Timur 0 0.0 8 100.0 8

Papua 0 0.0 15 100.0 15

Riau 2 20.0 8 80.0 10

Sulawesi Barat 0 0.0 1 100.0 1

Sulawesi Selatan 1 8.3 11 91.7 12

Sulawesi Tengah 2 28.6 5 71.4 7

Sulawesi tenggara 0 0.0 6 100.0 6

Sulawesi Utara 2 25.0 6 75.0 8

Sumatera Barat 0 0.0 15 100.0 15

Sumatera Selatan 0 0.0 6 100.0 6

Sumatera Utara 4 20.0 16 80.0 20

TOTAL 40 13.8 250 86.2 290

(8)

selamanya juga wilayah dengan kondisi divided government, pasti kondisi politik lokal tidak stabil (terjadi konflik antara kepala daerah dengan DPRD). 4

Tulisan ini hanya memperlihatkan adanya potensi masalah yang harus dihadapi oleh kepala daerah terpilih hasil Pilkada. Tetapi pada akhirnya, keberhasilan dan efektifitas pemerintahan lebih ditentukan oleh kemam-puan kepala daerah dalam menjalin komunikasi dengan DPRD. Konflik harus dipahami secara sehat sebagai bagian dari kritik dan chek and balances kekuasaan.

Kepala daerah harus melihat kondisi divided government ini tidak hitam putih. Lobi dan komunikasi dengan anggota DPRD bisa dilakukan agar program dan kebijakan bisa dijalankan dengan baik. Sistem politik yang multi partai seperti di Indonesia sebenarnya memberi kesempatan luas kepada kepala daerah untuk mendapatkan dukungan

dari legislatif. Kepala daerah hasil Pilkada meski didukung oleh minoritas partai politik di DPRD, tetap mempunyai kesempatan besar mendapat dukungan dai DPRD asal bisa berkomunikasi dengan baik, melakukan konsensus. Mengapa? Hal ini karena partai pemenang Pemilu Legislatif sebenarnya juga tidak menguasai mayoritas kursi di DPRD. Dalam sistem multi partai, kursi di DPRD dikuasi oleh banyak partai, sehingga antara kepala daerah dengan partai terbesar di DPRD sebenarnya tidak berhadapan secara diametral.

Grafik 4 memperlihatkan dengan jelas kondisi tersebut. Dari grafik ini terlihat, pemenang Pemilu Legislatif sebagian besar hanya menguasai antara 15-30% kursi di DPRD. Ini berarti kekuatan pemenang Pemilu Legislatif juga lemah di DPRD. Baik partai pemenang pemilu legislatif maupun partai pendukung kepala daerah harus bekerjasama atau koalisi dengan partai lain dalam

4 Jika melihat pengalaman beberapa negara yang mengalami divided government, tidaklah otomatis divided government selalu

menghasilkan pemerintahan yang tidak efektif. Di Amerika Serikat, selama 50 tahun lebih, hampir semua pemerintahan hidup dalam divided government. Ternyata mereka mampu bekerja sama dengan Kongres yang dikuasai partai oposisi untuk menghasilkan berbagai agenda penting. Presiden Bill Clinton (Partai Demokrat), misalnya, bersama Kongres yang mutlak dikuasai Partai Republik berhasil melahirkan UU untuk besar-besaran mereformasi welfare system. Presiden Ronald Reagan (Republikan) bersama Kongres yang dikuasai Partai Demokrat mampu menghasilkan sistem perpajakan yang dipakai hingga kini. UU Udara Bersih, yang didorong Presiden Richard Nixon (Republikan) juga dihasilkan ketika Kongres dikuasai Partai Demokrat. Suatu penelitian yang dilakukan Joseph Klesner (profesor di Kenyon College, Ohio, AS) atas divided government pada periode Kepresidenan Ernesto Zedillo (1997-2000) menunjukkan, pemerintah dapat membangun koalisi temporer dengan partai-partai oposisi berdasar isu-isu tertentu. Penelitian lain yang dilakukan Benito Nacif, peneliti di lembaga think thank di Meksiko bernama CIDE, atas periode kepresidenan Vincente Fox 2000-2003 juga menunjukkan pemerintah dan partai yang berseberangan tetap bisa bekerja sama dan membangun koalisi berdasar isu-isu. Dikutip dari Bara Hasibuan, “ Pemerintahan Yang Terbelah”, Kompas, 7 Agustus 2003.

Keterangan: Data didasarkan pada hasil Pilkada sampai Bulan Desember 2006. Data dalam tulisan ini menyertakan Pilkada di 290 wilayah yang telah melangsungkan Pilkada hingga Desember 2006. Sumber: Diolah dari database Lingkaran Survei Indonesia.

9.66%

45.52%

28.28%

7.93% 8.62%

Grafik 3: Kekuatan Kursi Partai Penyokong Kepala Daerah Terpilih di DPRD

Sangat lemah (Jumlah kursi di DPRD <15%)

Lemah (Jumlah kursi di DPRD 15-30%)

Sedang (Jumlah kursi di DPRD 31-45%)

Kuat (Jumlah kursi di DPRD 46-60%)

(9)

Tabel 4: Kekuatan Kursi Partai Penyokong Kepala Daerah Terpilih di DPRD Menurut Provinsi

Lemah (Jumlah Kursi Sedang (Jumlah Kursi Kuat (Jumlah Kursi

PROVINSI di DPRD < 30%) di DPRD 31-45%) di DPRD >45%) Total

Jumlah Persen (%) Jumlah Persen (%) Jumlah Persen (%)

Bangka Belitung 3 75.0 0 0.0 1 25.0 4

Bali 1 16.7 2 33.3 3 50.0 6

Banten 1 25.0 2 50.0 1 25.0 4

Bengkulu 7 87.5 1 12.5 0 0.0 8

DIY 2 40.0 2 40.0 1 20.0 5

Gorontalo 2 40.0 2 40.0 1 20.0 5

Irian Jaya Barat 5 55.6 3 33.3 1 11.1 9

Jawa Barat 4 57.1 2 28.6 1 14.3 7

Jambi 4 50.0 1 12.5 3 37.5 8

Jawa Tengah 7 28.0 14 56.0 4 16.0 25

Jawa Timur 4 21.1 5 26.3 10 52.6 19

Kalimantan Barat 5 62.5 3 37.5 0 0.0 8

Kalimantan Selatan 5 62.5 3 37.5 0 0.0 8

Kalimantan Tengah 3 75.0 1 25.0 0 0.0 4

Kalimantan Timur 7 63.6 1 9.1 3 27.3 11

Kepulauan Riau 5 83.3 1 16.7 0 0.0 6

Lampung 3 50.0 1 16.7 2 33.3 6

Maluku 6 100.0 0 0.0 0 0.0 6

Maluku Utara 4 57.1 3 42.9 0 0.0 7

NAD 16 80.0 2 10.0 2 10.0 20

Nusa Tenggara Barat 5 83.3 1 16.7 0 0.0 6

Nusa Tenggara Timur 6 75.0 2 25.0 0 0.0 8

Papua 11 73.3 3 20.0 1 6.7 15

Riau 5 50.0 3 30.0 2 20.0 10

Sulawesi Barat 1 100.0 0 0.0 0 0.0 1

Sulawesi Selatan 6 50.0 3 25.0 3 25.0 12

Sulawesi Tengah 4 57.1 1 14.3 2 28.6 7

Sulawesi tenggara 4 66.7 1 16.7 1 16.7 6

Sulawesi Utara 3 37.5 3 37.5 2 25.0 8

Sumatera Barat 7 46.7 8 53.3 0 0.0 15

Sumatera Selatan 5 83.3 1 16.7 0 0.0 6

Sumatera Utara 9 45.0 7 35.0 4 20.0 20

TOTAL 160 55.2 82 28.3 48 16.6 290

(10)

menggolkan suatu kebijakan. Tabel 5 merinci kekuatan partai pemenang Pemilu Legislatif menurut partai politik. Tabel 6 merinci kekuatan partai pemenang Pemilu Legis-latif menurut provinsi.

Masalahnya, banyak kepala daerah yang melihat divided government ini sebagai monster yang menakutkan dan harus dihindari dengan segala cara. Jika pemerintah tidak didukung kekuatan mayoritas di legislatif, dikhawatirkan pemerintahan tidak lancar dan terjadi kemacetan dalam penyusunan kebijakan. Ketakutan ini yang mendominasi suasana politik di banyak daerah. Akibatnya, banyak kepala daerah melakukan politik akomodasi yang tidak sehat.

Ada beberapa politik akomodasi yang kerap dilakukan. Pertama, membagi-bagi kekuasaan di daerah kepada orang-orang yang dekat dengan partai. Terpilihnya kepala daerah baru kerap diikuti dengan gerbong mutasi kepala dinas-kepala dinas. Tujuannya jelas, kepala daerah yang

tidak mendapat dukungan di legislatif ingin memperluas dukungan dari partai dengan menempatkan orang-orang partai atau orang yang didukung oleh partai di jajaran birokrasi. Kepala derah umumnya “bagi-bagi jabatan” kepada orang dari partai politik. Penempatan orang-orang partai di jajaran birokrasi ini juga untuk menegaskan kebijakan yang dibuat oleh kepala daerah adalah tanggungjawab bersama, tidak bisa ditimpakan kepada satu orang. 5

Kedua, memberikan insentif kepada anggota legislatif— bisa berupa kenaikan gaji, pemberian tunjangan, tam-bahan fasilitas dan sebagainya—yang dananya didapat-kan dari APBD. Kerap kali terjadi, berbagai fasilitas dan tunjangan ini diusulkan oleh kepala daerah. Pola ako-modasi ini dimaksudkan agar anggota DPRD tidak kritis dengan apa yang dilakukan oleh kepala daerah. Ketiga, melakukan sogokan kepada anggota legislatif atau korup-si yang dilakukan secara bersama-sama. Ini umumnya

5 Pola ini bukan khas politik lokal tetapi juga nasional. Agar pemerintahannya didukung oleh partai besar, Presiden Susilo Bambang

Yuhoyono membentuk kabinet yang terdiri dari orang dari beragam partai. Tujuannya jelas, agar kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah nantinya didukung minimal tidak diganggu gugat oleh partai-partai di parlemen.

Keterangan: Data didasarkan pada hasil Pilkada sampai Bulan Desember 2006. Data dalam tulisan ini menyertakan Pilkada di 290 wilayah yang telah melangsungkan Pilkada hingga Desember 2006. Sumber: Diolah dari database Lingkaran Survei Indonesia.

Sangat lemah (Jumlah kursi di DPRD <15%)

9.66%

Lemah (Jumlah kursi di DPRD 15-30%)

Sedang (Jumlah kursi di DPRD 31-45%)

Kuat (Jumlah kursi di DPRD 46-60%)

Sangat kuat (Jumlah kursi di DPRD >60%) 1.03%

45.52% 55.52%

28.28% 34.83%

7.93% 7.24% 8.62%

1.38%

Kursi Partai Pemenang Pilkada di DPRD Kursi Partai Pemenang Pemilu Legilatif di DPRD

(11)

Tabel 5: Kekuatan Kursi Partai Pemenang Pemilu Legislatif di DPRD

Lemah (Jumlah Kursi Sedang (Jumlah Kursi Kuat (Jumlah Kursi

PARTAI di DPRD < 30%) di DPRD 31-45%) di DPRD >45%) Total

Jumlah Persen (%) Jumlah Persen (%) Jumlah Persen (%)

Demokrat 1 100.0 0 0.0 0 0.0 1

Golkar 117 60.9 62 32.3 13 6.8 192

PAN 4 80.0 1 20.0 0 0.0 5

PBB 0 0.0 1 100.0 0 0.0 1

PBSD 0 0.0 1 100.0 0 0.0 1

PDIP 22 44.9 20 40.8 7 14.3 49

PDIP-Golkar 2 25.0 4 50.0 2 25.0 8

PDIP-PKS 1 100.0 0 0.0 0 0.0 1

PD-PBR 0 0.0 1 100.0 0 0.0 1

PDS 2 100.0 0 0.0 0 0.0 2

Pelopor 2 100.0 0 0.0 0 0.0 2

PKB 1 9.1 9 81.8 1 9.1 11

PKB-PDIP 0 0.0 0 0.0 1 100.0 1

PKPI 1 100.0 0 0.0 0 0.0 1

PKS 4 100.0 0 0.0 0 0.0 4

PKS-Golkar 0 0.0 2 100.0 0 0.0 2

PPP 5 100.0 0 0.0 0 0.0 5

PP-PAN-PKS 1 100.0 0 0.0 0 0.0 1

PPP-Golkar 1 50.0 0 0.0 1 50.0 2

TOTAL 164 56.6 101 34.8 25 8.6 290

Keterangan: Data didasarkan pada hasil Pilkada sampai Bulan Desember 2006. Data dalam tulisan ini menyertakan Pilkada di 290 wilayah yang telah melangsungkan Pilkada hingga Desember 2006. Sumber: Diolah dari database Lingkaran Survei Indonesia.

terjadi saat pembahasan Anggaran Pendapatan dan Be-lanja daerah (APBD). Kepala daerah umumnya mengalo-kasikan anggaran untuk anggota legislatif dengan tujuan agar rancangan APBD diterima oleh DPRD.6 Jika ini yang

terjadi divided government bukan melahirkan chek and balances, sebaliknya melahirkan korupsi dan nepotisme bersama. (Eriyanto)

Daftar Pustaka

Alvarez, Michael and Matthew M. Schousen, “Policy Moderation or Conflicting Expectations: Testing the Intentional Models of Split-Ticket Voting”, American Politics Quarterly, Vol. 21, No. 4, Oktober, 1993. Anugrah, Panji, “ Pilkada Langsung dan Mitos Good

Governance”, dalam Pheni Chalid (ed), Pilkada Langsung: Demokratisasi daerah dan Mitos Good

Governance, Jakarta, Partnership for Governance Reform in Indonesia, 2004.

Armanjaya, Lexy, “Reformulasi Hubungan DPRD-Kepala Daerah”, Sinar Harapan, 23 Februari 2007

Hasibuan, Bara, “ Pemerintahan Yang Terbelah”, Kompas, 7 Agustus 2003.

Lewis-Beck, Michael and Richard Nadeau, “Split-Ticket Voting: The Effect of Cognitive Madisonianism”, The Journal of Politics, Vol. 65, No. 1, February 2004. Roscoe, Douglas D.,” The Choosers or the Choice? Voter

Characteristics and the Structure of Electoral Competition as Explanations for Ticket Splitting”, The Journal of Politics, Vol. 65, No. 4, November, 2003. Rusli, Budiman, “ Hubungan DPRD - Kepala Daerah

Pasca-Pilkada Langsung”, Pikiran Rakyat, 27 Juni 2005.

6 Lihat Panji Anugrah, “ Pilkada Langsung dan Mitos Good Governance”, dalam Pheni Chalid (ed), Pilkada Langsung: Demokratisasi

(12)

Tabel 6: Kekuatan Kursi Partai Pemenang Pemilu Legislatif di DPRD Menurut Provinsi

Lemah (Jumlah Kursi Sedang (Jumlah Kursi Kuat (Jumlah Kursi

PROVINSI di DPRD < 30%) di DPRD 31-45%) di DPRD >45%) Total

Jumlah Persen (%) Jumlah Persen (%) Jumlah Persen (%)

Bangka Belitung 3 75.0 1 25.0 0 0.0 4

Bali 0 0.0 1 16.7 5 83.3 6

Banten 3 75.0 1 25.0 0 0.0 4

Bengkulu 6 75.0 2 25.0 0 0.0 8

DIY 3 60.0 2 40.0 0 0.0 5

Gorontalo 0 0.0 2 40.0 3 60.0 5

Irian Jaya Barat 4 44.4 5 55.6 0 0.0 9

Jawa Barat 2 28.6 5 71.4 0 0.0 7

Jambi 7 87.5 1 12.5 0 0.0 8

Jawa Tengah 10 40.0 13 52.0 2 8.0 25

Jawa Timur 4 21.1 12 63.2 3 15.8 19

Kalimantan Barat 4 50.0 4 50.0 0 0.0 8

Kalimantan Selatan 6 75.0 1 12.5 1 12.5 8

Kalimantan Tengah 2 50.0 2 50.0 0 0.0 4

Kalimantan Timur 7 63.6 3 27.3 1 9.1 11

Kepulauan Riau 6 100.0 0 0.0 0 0.0 6

Lampung 3 50.0 2 33.3 1 16.7 6

Maluku 5 83.3 1 16.7 0 0.0 6

Maluku Utara 5 71.4 2 28.6 0 0.0 7

NAD 19 95.0 1 5.0 0 0.0 20

Nusa Tenggara Barat 4 66.7 2 33.3 0 0.0 6

Nusa Tenggara Timur 6 75.0 2 25.0 0 0.0 8

Papua 11 73.3 3 20.0 1 6.7 15

Riau 7 70.0 3 30.0 0 0.0 10

Sulawesi Barat 1 100.0 0 0.0 0 0.0 1

Sulawesi Selatan 1 8.3 8 66.7 3 25.0 12

Sulawesi Tengah 4 57.1 2 28.6 1 14.3 7

Sulawesi tenggara 3 50.0 2 33.3 1 16.7 6

Sulawesi Utara 1 12.5 5 62.5 2 25.0 8

Sumatera Barat 8 53.3 6 40.0 1 6.7 15

Sumatera Selatan 5 83.3 1 16.7 0 0.0 6

Sumatera Utara 14 70.0 6 30.0 0 0.0 20

TOTAL 164 56.6 101 34.8 25 8.6 290

(13)

C

ITA-CITA utama adanya penyelenggaraan Pilkada secara langsung adalah terpilihnya sebuah struktur politik lokal yang demokratis dan sistem pemerintahan yang mampu berjalan secara efektif. Melalui Pilkada, rakyat memiliki kesempatan lebih luas untuk menentukan pasangan pemimpin eksekutif sesuai dengan yang dikehendaki. Harapan terbesar tentunya para pemimpin yang terpilih melalui Pilkada agar mampu menjalankan fungsi dan perannya dalam berbagai kebijakan publik dengan lebih optimal.

Apa yang terjadi jika pasangan bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota, gubernur/wakil gubernur, DPRD dan birokrasi serta masyarakat terus mengalami keretakan hubungan internal, eksternal, vertikal dan horizontal? Kondisi inilah yang seringkali mewarnai relasi kekuasaan Pasca Pilkada. Ada beberapa fenomena yang kerapkali terjadi. Pertama, keretakan internal terjadi ketika kedua pasangan tersebut tidak lagi harmonis. Kedua, keretakan eksternal terjadi ketika kedua pasangan tersebut, atau salah satunya mengalami ketegangan dan konflik dengan pimpinan DPRD atau pihak DPRD. Ketiga, keretakan vertikal terjadi ketika kedua pasangan tersebut mengalami ketegangan dan konflik dengan pimpinan birokrasi dan struktur birokrasi di semua lapisan. Keempat, keretakan horizontal terjadi ketika kedua pasangan tersebut, atau salah satunya terus menerus mendapatkan desakan mundur (deligitimasi) oleh publik.

Fluktuasi Hubungan Lembaga Politik

(Eksekutif-Legislatif) dan Birokrat

Pasca Pilkada

KEEMPAT model keretakan, ketegangan dan keterbelahan inilah yang akan menjadi ulasan dalam artikel ini. Kasus pasca Pilkada di Kabupaten Banyuwangi dan Kota Depok akan disajikan untuk menggambarkan bagaimana model-model keretakan dan ketegangan yang melibatkan eksekutif-legislatif pasca Pilkada berlangsung. Beberapa data juga akan disajikan bagaimana potensi konflik yang muncul menjelang Pilkada ikut memberikan dampak terhadap konflik-konflik pada level aktor, kelembagaan dan konflik massa pasca Pilkada. Analisis juga memaparkan bagaimana solusi yang memungkinkan untuk dilakukan di dalam menyikapi fenomena keretakan, ketegangan dan

keterbelahan yang melibatkan eksekutif-legislatif dan birokrasi yang terus berlangsung pasca Pilkada.

(14)

Salah satu sumber keretakan, ketegangan dan konflik pasca Pilkada yang sangat menonjol adalah antara eksekutif (kepala daerah/wakil kepala daerah) dengan legislatif (DPRD), Parpol, NGO/LSM dan massa. Feno-mena keretakan, ketegangan dan konflik antara lembaga-lembaga politik dan masyarakat tersebut pada akhirnya memunculkan keterbelahan kekuasaan pemerintahan, tidak efektif dan rentan dengan berbagai keretakan, kete-gangan dan konflik.

Pemerintahan dengan kondisi tersebut seringkali dikenal dengan istilah divided government.1 Divided government

berlangsung ketika kepala daerah atau wakil kepala dae-rah tidak berasal satu partai dengan mayoritas anggota DPRD. Sebaliknya, united government/unified government berlangsung ketika kepala daerah atau wakil kepala daerah berasal dari satu partai dengan mayoritas anggota DPRD2. Fenomena Divided government didominasi oleh

adanya beragam keretakan, ketegangan dan konflik yang berlangsung pada elit/aktor politik dan lembaga-lembaga birokrasi. Namun ketegangan antara elit/aktor politik dan lembaga-lembaga birokrasi dengan massa juga bisa memperuncing derajat keretakan, ketegangan dan konflik yang berdampak pada kinerja lembaga pemerintahan dan sistem demokrasi di masing-masing daerah.

Fenomena keretakan, ketegangan dan konflik antar aktor politik maupun antar lembaga politik di Indonesia tidak

dapat dipisahkan dari model relasi kekuasaan di atas. Proses pilkada di Indonesia seringkali memiliki latar belakang dan konteks ekonomi-politik yang beragam dan sangat kompleks. Arus kepentingan ekonomi-politik dari para aktor politik, maupun lembaga-lembaga politik yang menjadi pelaku Pilkada berdampak besar bagi muncul-nya keretakan, ketegangan dan konflik pasca Pilkada3.

Ada beberapa model keretakan, ketegangan dan konflik yang muncul pasca Pilkada. Pertama, keretakan, kete-gangan dan konflik di kalangan elit/aktor politik. Kedua, keretakan, ketegangan dan konflik di kalangan lembaga-lembaga politik dan birokrasi. Ketiga, keretakan, kete-gangan dan konflik pada level massa. Realitas politik di lapangan menunjukkan bahwa ketiga model keretakan, ketegangan dan konflik tersebut seringkali memiliki keterkaitan satu sama lain. Bahkan masing-masing model ikut memberikan dampak terhadap sirkulasi keretakan, ketegangan dan konflik pada masing-masing aktor/elit politik maupun pada lembaga-lembaga politik.

Ketegangan dan Konflik di Kalangan Elit/Aktor Politik

Ada beberapa model keretakan, ketegangan dan konflik pada level ini. Pertama, keretakan, ketegangan dan konflik antar ketua/anggota parpol (baik pada level DPD/DPW dan DPC)4. Kedua, ketegangan dan konflik antar partai

politik. Ketiga, ketua/anggota partai politik versus ketua/ wakil ketua DPRD5.

1 Fenomena divided government dan united government di berbagai negara demokrasi memiliki dampak terhadap efektifitas kinerja

pemerintahan dan arah kebijakan publik. Secara umum, divided government berdampak pada munculnya berbagai kebijakan publik yang tidak responsif terhadap kebutuhan publik dan menimbulkan pola kebijakan yang tidak efektif. Sebaliknya united government— baik pada level Negara maupun pemerintahan lokal/federal—akan memberikan dampak berlangsungnya sistem pemerintahan yang lebih efektif dan kebijakan yang mampu merespon kebutuhan, keinginan dan tuntutan publik. Lebih lanjut tentang hal ini lihat dalam John J. Coleman, “Unified Government, Divided Government, and Party Responsiveness”, The American Political Science Review, Vol. 93, No. 4, Desember 1999, pp. 821-835. Bandingkan dengan William Niskanen (2003), A Case for Divided Government, dalam http://www.cato.org/dailys/05-07-03.html. Selain itu, lihat juga dalam Stephen Slivinski (2005), Would Divided Government Be Better?, dalam http://www.cato.org/pub_display.php?pub_id=6650.

2 Fenomena divided government dan united government telah berlangsung di berbagai negara yang menerapkan demokrasi langsung

dalam pemilihan eksekutif (kepala daerah dan wakil kepala daerah) dan legislatif (senate dan house of representative). Studi komparasi tentang fenomena divided government dan united government di Amerika Serikat, Ekuador, Meksiko, Finlandia, Perancis, Polandia, Denmark, Jerman dan Irlandia lihat dalam Robert Elgie (Eds), Divided Government in Comparative Perspective. Robert Dublin City University, Ireland, 2001

3 Kuatnya warisan struktur sosial feodal dan rejim oligarki di daerah menjadikan proses demokrasi didominasi oleh kepentingan

ekonomi-politik para elit. Otonomi daerah bahkan menciptakan ruangan bagi perjuangan kepentingan individu elit daerah. Syarif Hidayat (2006) melihat ada tiga bentuk kepentingan individu para elit lokal. Pertama, kepentingan ekonomi (seeking economic ends). Kedua, kepentingan untuk pengembangan karier (career advancement). Ketiga, kepentingan untuk sponsor politik (political sponsorship). Lihat Syarif Hidayat “Mencari Terapi Pilkada Terbaik”, Batam Pos, 26 Agustus, 2006.

4 Keretakan, ketegangan dan konflik pada level ini biasa berlangsung sejak menjelang pencalonan hingga pasca pencalonan dalam

Pilkada. Salah satu contoh di sini misalnya konflik terjadi antara DPC Partai Demokrat Kota Semarang dan DPD Partai Demokrat Jawa Tengah. Dalam hal ini terjadi silang pendapat menyangkut kepengurusan partai dalam mengusung calon wali kota Semarang. Contoh lainnya misalnya, konflik dalam tubuh DPC PDI-P Boyolali. Hal ini dilatarbelakangi kondisi politik dimana Antara DPC dan sebagian besar PAC terjadi ketidaksepakatan menyangkut calon bupati yang akan mereka ajukan.

5 Hal ini banyak terjadi di berbagai daerah pasca pilkada. Salah satunya misalnya di Kabupaten Banyuwangi. Jajaran pimpinan dan

(15)

Keempat, keretakan, ketegangan dan konflik antara kepala daerah/wakil kepala daerah6. Kelima, keretakan,

ketegangan dan konflik antara kepala daerah/wakil kepala daerah versus ketua partai politik7. Keenam, ketegangan

dan konflik antara kepala daerah /wakil kepala daerah versus tokoh-tokoh masyarakat. Ketujuh, ketegangan dan konflik antara pimpinan KPUD, DPRD dan pimpinan partai politik8.

Keretakan, ketegangan dan konflik di atas terus menerus tidak lepas dari proses politik yang terjebak dalam perangkap demokrasi elektoral. Demokrasi elektoral merupakan konsep yang menekankan pada pertarungan kompetitif dalam memperoleh suara rakyat. Pasca Pilkada langsung dalam kadar tertentu elit politik seringkali terpe-rangkap demokrasi elektoral. Di kalangan aktor politik masing-masing daerah ada kecenderungan kuat dimana dalam merumuskan makna demokrasi para aktor politik selalu merujuk pada tiga hal yang paling elementer; partisipasi, kompetisi dan liberalisasi. Akibatnya fluktuasi relasi kekuasaan terus menerus terjadi di tengah berbagai ketidakpuasan hasil Pilkada dan model kepemimpinan politik dari pejabat publik yang telah terpilih.

Trend menguatnya penekanan yang berlebihan pada elektoralisme menimbulkan beberapa kosekuensi9.

Pertama, demokrasi seolah-olah sudah selesai untuk dibicarakan ketika sistem pemilihan yang menjamin

partisipasi dan kompetisi politik secara formal sudah terbangun. Kedua, konsep-konsep demokrasi elektoral beresiko menimbulkan potensi kekeliruan elektoralisme. Kekeliruan elektoralisme ini terjadi ketika konsep itu mengistimewakan pemilu di atas dimensi-dimensi lain, dan mengabaikan kemungkinan yang bisa ditimbulkan pemilu multi partai dalam menyisihkan hak sebagian masyarakat tertentu untuk bersaing memperebutkan kekuasaan atau meningkatkan dan membela kepen-tingannya, atau menciptakan arena-arena pembuatan kebijakan penting yang berada di luar kendali para pejabat terpilih10.

Ketiga, optimisme yang menggebu dari konsep demokrasi elektoral dalam menciptakan kepastian-kepastian membuat konsep ini mengabaikan faktor-faktor di luar dimensi pemilu dan partai politik, seperti budaya politik dan legitimasi demokrasi. Keempat, demokrasi elektoral cenderung formalis dan prosedural sehingga gagal untuk menjelaskan kemunculan bentuk-bentuk partisipasi dan kompetisi semu11.

Ketegangan dan Konflik di Kalangan Lembaga Politik dan Birokrasi

Ketegangan dan konflik yang berlangsung dalam lembaga-lembaga politik (eksekutif dan legislatif) dan birokrasi pada umumnya berlangsung secara kompleks. Masing-masing kelembagaan politik memiliki derajat

6 Keretakan, ketegangan dan konflik pada level ini kecenderungan kuat berlangsung di kalangan pasangan Kepala daerah dan wakil

kepala daerah yang memiliki latarbelakang partai politik, latarbelakang kepentingan ekonomi-politik dan latarbelakang personalitas yang berbeda. Latarbelakang partai politik (dukungan politik) dan latar belakang kepentingan ekonomi-politik merupakan faktor yang cukup menonjol dibalik keretakan, ketegangan dan konflik antara kepala daerah dan wakil kepala daerah.

7 Fenomena ketegangan dan konflik ini pada umumnya berlangsung ketika pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah salah

satunya atau keduanya tidak berasal dari partai politik yang dominan di DPRD atau berasal dari partai yang memiliki dukungan legislatif yang rendah. Kendatipun tidak menutup kemungkinan ada beberapa kepala daerah dan wakil kepala daerah, pasca Pilkada berpindah dukungan partai politik atau bahkan menjadi ketua partai yang memiliki kursi dominan di DPRD dalam rangka mendapatkan dukungan politik.

8 Konfigurasi politik seperti ini misalnya berlangsung di Kabupaten Semarang Pasca Pilkada. Beberapa anggota DPRD Kabupaten

Semarang menyatakan menolak hasil pemilihan bupati 31 Juli 2005. Mereka berdalih, KPUD setempat telah melanggar hukum. Anggota DPRD yang menolak hasil pemilihan adalah Achsin Ma’ruf (Ketua FPAN) dan Bambang Kusriyanto (Wakil Ketua DPRD dari PDI Perjuangan). Menurut mereka, KPUD telah berpihak pada pasangan Bambang Guritno-Siti Ambar Fathonah, yang dicalonkan Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Kesatuan dan Persatuan Indonesia. KPUD meloloskan Ambar meski keabsahan ijazahnya yang dikeluarkan Pesantren Pabelan, Magelang, dipertanyakan. KPUD jugs mengundur tahapan pemilihan seperti penetapan pasangan calon yang lolos administrasi (mestinya 30 Juni menjadi 1 Juli) serta pengambilan nomor urut pasangan calon (semula 1 Juli menjadi 4 Juli) Lihat Tempo Interaktif, 5 Agustus 2005.

9 AAGA Ari Dwipayana, Pilkada Langsung & otonomi Daerah, dalam http://www.bainfokomsumut.go.id/open.php?id=13&db=pilkada. 1 0 Keyakinan mendapatkan legitimasi yang kuat bagi kalangan pejabat publik seringkali memunculkan otoritas yang luar biasa sehingga

cenderung mengabaikan tuntutan publik. Hal ini membawa implikasi dimana para pejabat publik pimpinan eksekutif mengedepankan kepentingannya, kepentingan politik kelompoknya, kepentingan bisnisnya atau bahkan kepentingan keluarganya dengan mengabaikan berbagai harapan publik pasca Pilkada.

11 Kecenderungan ini menguat terutama jika pimpinan eksekutif cenderung gagal memahami aspirasi elemen-elemen politik dan

(16)

ketegangan dan konflik satu sama lain. Selain itu, masing-masing aktor politik yang ada di dalamnya juga ber-pengaruh terhadap realitas politik yang berlangsung12.

Ada beberapa model keretakan dan konflik di kalangan lembaga-lembaga politik dan birokrasi. Pertama, kere-takan internal terjadi ketika kepala daerah dan wakil kepala daerah tersebut tidak lagi harmonis13. Kedua,

keretakan eksternal terjadi ketika kedua pasangan tersebut, atau salah satunya mengalami ketegangan dan konflik dengan DPRD atau faksi-faksi yang ada di DPRD. Ketiga, keretakan vertikal terjadi ketika Kepala daerah dan wakil kepala daerah tersebut mengalami ketegangan dan konflik dengan birokrasi di beberapa lapisan atau bahkan semua lapisan. Keempat, keretakan horizontal terjadi ketika kepala daerah dan wakil kepala daerah tersebut, atau salah satunya terus menerus mendapatkan desakan mundur (delegitimasi) oleh publik14. Kelima, ketegangan

dan konflik antara KPUD dan Parpol, karena ketidak-puasan terhadap proses penyelenggaraan Pilkada15.

Keenam, ketegangan dan konflik antara Kepala Daerah dan LSM/ organisasi lokal16.

Berbagai keretakakan, ketegangan dan konflik antara lembaga-lembaga politik(eksekutif-legislatif) dan birokrasi ini secara umum mulanya tidak nampak ke permukaan. Namun ketika skala relasi semakin mem-buruk, ketegangan dan konflik pun seringkali

menim-bulkan dampak yang meluas. Padahal keterkaitan antara keduanya secara tegas dirumuskan dalam UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) Pasal 19 ayat 2 bahwa keduanya sebagai mitra sejajar yang sama-sama melakukan tugas sebagai penyeleng-gara pemerintahan daerah. Itu berarti bahwa salah satu dari keduanya tidak boleh ada yang disubordinatkan. Tidak ada peran yang bisa disubstitusikan oleh lembaga lain17.

Realitas politik pasca Pilkada menunjukkan, salah satu diantaranya seringkali lebih dominan di dalam penye-lenggaraan pemerintahan. Bahkan perebutan otoritas seringkali terjadi terkait wewenangan dan koordinasi kelembagaaan dengan dinas dan badan-badan peme-rintahan daerah. Akibatnya format hubungan ideal diantara keduanya cukup sulit dilakukan.

Ketegangan dan Konflik Pada level Massa

Ketegangan dan konflik pasca Pilkada juga kadangkala terjadi pada level massa. Beberapa kota/kabupaten yang dilanda konflik politik horizontal seperti demonstrasi yang berbuntut pada terjadinya kerusuhan sosial sebagai bentuk protes terhadap hasil perhitungan suara pikada. Adanya iklim politik yang kontroversial sangat berpengaruh pasca diselenggarakannya pilkada langsung.

Ada beberapa fakta yang cukup signifikan terkait dengan ketergangan dan konflik pasca Pilkada.

1 2 Selama Pilkada gelombang pertama Juli 2005, tercatat beberapa DPRD yang enggan meneruskan hasil pilkada ke gubernur, antara

lain Kabupaten Gorontalo, Banyuwangi, Padang Pariaman, Samosir, Mandailing Natal, Poso, Seram Bagian Timur, dan Manggarai. Sementara daerah yang masih menunggu keputusan pengadilan adalah Kabupaten Tanah Toraja, Kota Surabaya, Kota Gresik, Kabupaten Kediri, dan Kota Manado. Sedangkan Pilkada Kota Bitung diliputi permasalahan, karena DPRD menyatakan status quo terhadap keputusan KPUD yang menyatakan pencoblosan ulang di beberapa TPS bermasalah (Pikiran Rakyat, 8 September 2005)

1 3 Keretakan hubungan antara kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam kadar tertentu terus berlangsung pasca Pilkada. Secara

umum, tidak banyak media massa yang mengekspos fenomena tersebut. Namun rumor-rumor politik tentang keretakan hubungan antar keduanya seringkali banyak menjadi pembicaraan di kalangan birokrat, elit parpol dan para tokoh masyarakat.

1 4 Contoh di sini misalnya yang terjadi di Kota Surabaya, Propinsi Jawa Timur. Tanggal 12 Juli 2005, massa melakukan perusakan di

gedung DPRD. Massa juga memaksa anggota dewan untuk menandatangani pernyataan yang menolak hasil penetapan pemilihan walikota (Suara Karya, 19 Juli 2005)

1 5 Contoh di Kabupaten Cilegon, Jawa Barat. PKS mengadukan kecurangan penghilangan suara dalam tahap pendataan pemilih di

Pilkada Cilegon pada Desk Pusat Pilkada di Departemen Dalam Negeri. Sekitar 56.208 suara atau 24,3 persen dari jumlah pemilih tidak dapat memberikan suara karena tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap walaupun mereka menyoblos dalam Pemilu 2004 lalu (Kompas, 11 Juni 2005). Selain itu fakta serupa juga terjadi di Kota Bitung. DPRD Kota Bitung yang mementahkan keputusan KPU setempat yang telah lebih dulu menetapkan pengulangan pilkada pada 13 Agustus 2005 di 12 TPS bermasalah (Kompas, 05 Agustus 2005).

1 6 Kabupaten Bone Bolango, Propinsi Gorontalo, Lembaga swadaya masyarakat (LSM) bersama sejumlah warga meminta agar

bupati-wakil bupati terpilih Bone Bolango yang baru saja dilantik, segera melakukan perombakan ‘kabinet‘, karena kinerja mereka selama ini dinilai tidak berhasil. Ketua LSM Walihua, Iwan Hulakati, mengatakakan, jika ingin ada perubahan dalam pemerintah dan pemba-ngunan, maka bupati-wakil bupati definitif, Ismet Mile-Mohammad Kilat Wartabone segera melakukan perombakan personil di jajaran pemerintah kabupaten setempat (Suara Merdeka, 28 September 2005) . Kasus lainnya misalnya di Kabupaten Fak-Fak, Propinsi Papua. Masyarakat adat Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua akan menolak pelantikan bupati terpilih hasil pilkada langsung 2005 karena yang bersangkutan dinilai “cacat hukum”. Penolakan terhadap Bupati terpilih Wahidin Puarada karena selama kepemimpinan sebagai bupati pada periode 2001-2005 dia dianggap banyak terlibat kasus pidana yang dilakukan(Suara Karya, 30 November 2005)

(17)

Pertama, menguatnya alienasi politik dan kekerasan politik18. Kedua, menguatnya ketidakpercayaan terhadap

lembaga penyelenggara Pilkada (KPUD) dan legitimasi hasil Pilkada19. Ketiga, menguatnya ketidakpercayaan

publik terhadap kepala daerah atau wakil kepala daerah yang terpilih20.

Pilkada secara langsung yang diadakan dari bulan Juni 2005 sampai sekarang ini nampak masih dihiasi konflik yang berujung kekerasan atau kerusuhan massa. Hal ini antara lain berupa bentrokan antara pendukung, atau dengan pihak kepolisian yang penyebabnya tidak puas dengan pelaksanaan pilkada. Konflik massa ini dipe-ngaruhi oleh beberapa faktor yang juga terkait dengan konfigurasi kepentingan politik parpol, DPRD dan organisasi sosial/keagamaan setempat. Beberapa kasus seperti ini misalnya muncul pasca Pilkada Binjai, Labuhan batu, Sibolga, Sumatera Utara, Kota Depok Jawa Barat, dan di Kabupaten Kaur, Bengkulu21.

Dari beberapa kasus keretakan, ketegangan dan konflik pasca Pilkada yang berlangsung, dua fenomena yang cukup menonjol adalah apa yang berlangsung di Kabu-paten Banyuwangi dan Kota Depok. Dua fenomena ini

nampak mencerminkan bagaimana kompleksitas kere-takan, ketegangan dan konflik yang melibatkan berbagai aktor/elit politik, lembaga-lembaga politik dan birokrasi. Fenomena pasca Pilkada di Kabupaten Banyuwangi menarik dibahas terkait dengan keberadaan pasangan Bupati dan Wakil Bupati yang diusung oleh koalisi parta-partai kecil yang menang dalam Pilkada, namun terus mengalami guncangan politik yang luar biasa sehingga pemerintahan daerah tidak mampu berjalan secara efektif. Fenomena pasca Pilkada di Kota Depok menarik dibahas terkait dengan dinamika sengketa putusan Pilkada, ketegangan dan konflik antara para elit politik dan lembaga-lembaga politik(DPRD dan Parpol) dan NGO/LSM yang menjadi pendukung masing-masing pasangan walikota dan wakil walikota yang terpilih.

Kasus Banyuwangi

Peristiwa kemenangan pasangan calon Bupati Banyu-wangi Ratna Lestari-Yusuf Noer Iskandar dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung cukup mengagetkan banyak kalangan. Ratna Ani Lestari- Yusuf Noer Iskandar yang diusung oleh koalisi 18 partai kecil non parlemen di Kabupaten Banyuwangi menjadi pemenang Pilkada Kabupaten Banyuwangi22. Ratna-Noeris dinyatakan

menang di 20 kecamatan dari 24 kecamatan yang ada.

1 8 Sebelum dan pasca pilkada senantiasa diwarnai berbagai bentuk kekerasan politik seperti kerusuhan yang disertai dengan pengrusakan

dan pembakaran terhadap bangunan/gedung pemerintah dan swasta, pembakaran kendaraan (mobil dan motor) dan bentrokan antara massa pendukung calon kepala daerah. Kekerasan komunal dan tindakan anarkis menghambat terwujudnya relasi politik yang sehat

1 9 Maraknya aksi kekerasan politik massa terutama setelah pelaksanaan pilkada langsung tidak lepas dari beberapa faktor seperti adanya

dugaan terjadinya kecurangan (manipulasi) suara hasil pilkada, munculnya kandidat yang dinilai tidak memenuhi syarat (bermasalah) namun dalam kenyataannya tetap lulus seleksi calon kepala daerah, adanya sebagian anggota KPUD yang independensinya masih dipertanyakan, kuatnya dugaan terjadinya praktik politik uang yang telah dilakukan oleh calon tertentu, adanya calon yang telah mengeluarkan ongkos politik yang sangat mahal dan tidak siap menerima kekalahan dalam pemilihan dan selanjutnya menolak hasil pilkada dan bahkan kalau perlu masalah ini menjadi sengketa pilkada di pengadilan, serta munculnya anggapan di kalangan pendukung calon kepala daerah tertentu tentang terjadinya konspirasi politik di tingkat elit yang hanya membodohi rakyat

2 0 Fenomena ini misalnya berlangsung di Kabupaten Fak-Fak, Propinsi Papua. Masyarakat adat Kabupaten Fakfak, Provinsi Papua

akan menolak pelantikan bupati terpilih hasil pilkada langsung 2005 karena yang bersangkutan dinilai “cacat hukum”. Penolakan terhadap Bupati terpilih Wahidin Puarada karena selama kepemimpinan sebagai bupati pada periode 2001-2005 dia dianggap banyak terlibat kasus pidana yang dilakukan(Suara Karya, 30 November 2005)

2 1 Massa yang tidak puas dengan hasil pilkada yang dimenangkan oleh pasangan Syaukani Saleh-Warman Suwardi, melakukan

tindakan-tindakan anarkis yang menyebabkan terbakarnya: kantor Dinas Pekerjaan Umum (DPU), kantor KUA dan musholla, rumah dinas ketua DPRD, dan kantor camat Kaur Selatan. Sedangkan yang dirusak Kantor DPRD, pemerintah kabupaten dan KPUD.

2 2 Rintisan karir politik Ratna Ani Lestari—istri Bupati Jembrana, Bali, Gede Winasa—ketika maju dalam pencalonan Pilkada terbilang

(18)

Meski masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya alias golput, memang cukup tinggi, sekitar 35,36%. Dari 1.202.303 pemilih, yang memanfaatkan hak pilihnya hanya sekitar 777.145 ribu orang saja.

Kemenangan Ratna dalam pilkada Banyuwangi ini disinyalir tidak lepas dari limpahan suara warga Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). PKB di Kabupaten Banyu-wangi merupakan salah satu partai besar yang sangat berpengaruh di wilayah basis NU tersebut. Namun konflik internal PKB di Banyuwangi melahirkan dua arus politik. Dualisme arus politik PKB telah muncul sejak dalam proses pendaftaran calon. Pasangan Wahyudi– Eko Sukartono, yang mendapatkan rekomendasi dari DPW PKB Jawa Timur dan DPP PKB pusat versi Alwi Shihab, mendaftar ke KPUD lebih dulu. Sedangkan Samsul Hadi (incumbent) mendapatkan rekomendasi PKB versi Gus Dur-Muhaimin23.

Perjalanan pemerintahan pasangan Bupati dan Wakil Bupati Banyuwangi tersebut selama beberapa tahun nampak cenderung mengalami guncangan politik dari berbagai elemen parpol, LSM dan masyarakat. LSM yang tergabung dalam Sekretaris Bersama (Sekber) LSM Banyuwangi pada 1 September 2005, mengajukan permintaan mundur pada bupati terpilih. Sikap politik ini didasarkan pada kondisi Banyuwangi yang terus terjadi

pro dan kontra terhadap hasil pilkada. Pilkada Banyuwangi juga dinilai cacat hukum. Mereka menilai tahapan pilkada telah banyak dilanggar oleh KPUD Banyuwangi. Ketua DPRD Banyuwangi Ahmad Wahyudi menyatakan setuju dan segera mengambil jalan tengah untuk menyelesaikan polemik Banyuwangi. Salah satunya, membuat sebuah kesepakatan antara pihak yang berkepentingan dan pemenang pilkada, untuk menemukan jalan tengah (Bali Post, 3 September, 2005).

Reaksi elemen-elemen politik dan masyarakat terhadap pasangan Bupati dan Wakil Bupati Banyuwangi dari waktu ke waktu pun terus menguat. Ratusan warga yang terga-bung dalam Gerakan Antikorupsi (Gerak) berunjuk rasa di depan Pendopo Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur pada tanggal 28 November, 2006. Mereka menuntut penyelidikan kasus dugaan penyelewengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2006 senilai Rp 2,2 miliar yang dilakukan Bupati Banyuwangi, Ratna Ani Lestari. Sebelumnya, massa sempat mendatangi Gedung DPRD Banyuwangi. Mereka meminta sikap tegas anggota DPRD merespons dugaan korupsi dana tersebut. Anggota Dewan yang menerima pengujuk rasa berjanji akan mengusut kasus ini melalui pembentukan panitia khusus. Setelah itu, massa bergerak ke Kantor Bupati Banyuwangi(Metrotvnews.com, 28 November 2006).

partai kecil tersebut cukup efektif karena tersebar ke seluruh pelosok Banyuwangi. Ratna dengan dukungan 18 koalisi partai-partai kecil tersebut kemudian mengusung isu pendidikan gratis dan pengobatan gratis dalam setiap acara sosialisasi dan kampanyenya. Isu-isu tersebut ternyata mendapatkan sambutan positif dari para konstituen. Pendekatan humanis yang dilakukan Ratna juga sangat bagus, seperti mendatangi warga Banyuwangi di pasar-pasar, tempat berkumpulnya ibu-ibu rumah tangga seperti posyandu, klinik bersalin, dan lain-lain. Dan hal itu sangat efektif untuk menarik simpati konstituen. Ibu-ibu inilah yang diperkirakan memberikan sumbangan besar bagi kemenangan Ratna.

2 3 KPUD bersikukuh tidak bisa menerima pendaftaran Samsul Hadi, karena dalam aturannya, partai hanya bisa mendaftarkan satu

pasangan calon. Samsul Hadi sendiri memiliki suara yang benar-benar riil. Kekecewaannya karena tidak bisa masuk dalam bursa Pilkada, bisa saja membuat dirinya mengarahkan suaranya bukan pada pasangan Wahyudi-Eko Sukartono. Kabarnya, dua hari sebelum pilkada di gelar, Samsul Hadi mengarahkan massanya untuk mendukung pasangan Ratna – Noeris (Sinar Harapan, 22 Juni 2005).

Tabel 1: DPRD Kabupaten Banyuwangi Periode 2004-2009

No Nama Partai Peroleh Kursi

1. Partai Kebangkitan Bangsa 16

2. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 11

3. Partai Golkar 7

4. Partai Demokrat 5

5. Partai Persatuan Pembangunan 4

Jumlah 45

(19)

Tabel 2: Ketua Komisi DPRD Kabupaten Banyuwangi Periode 2004-2009

Nama Komisi Nama

Komisi A (Bidang Pemerintahan) H.Ruliono, SH (Fraksi Partai Golkar)

Komisi B (Bidang Perekonomian) Drs. H. Khairullah Nahrawi (Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa) Komisi C (Bidang Keuangan) Pebri Arisdiawan, SE (Fraksi Partai Golkar)

Komisi D (Bidang Pembangunan) Wahyudi, SE (Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa)

Sumber : KPUD Kabupaten Banyuwangi dan DPRD Kabupaten Banyuwangi

Tiga bulan kemudian, desakan tuntutan mundur terahadap pasangan Bupati dan Wakil Bupati Banyuwangi juga terus bermunculan. Demonstrasi tidak hanya datang dari kalangan masyarakat, namun juga dari lingkungan birokrasi. Belasan ribu pegawai negeri sipil di seluruh Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, melakukan mogok kerja mulai 22 Januari, 2006. Mereka memprotes kepemimpinan Bupati Ratna Ani Lestari karena kebijakan-kebijakannya dinilai banyak menyengsarakan PNS. Para PNS ini mengancam akan terus mogok kerja hingga Ratna Ani mundur dari jabatannya. Ancaman mogok kerja massal para PNS sudah terlihat sejak pagi tadi dalam apel yang dipimpin Sekretaris Kabupaten (Sekkab) non-aktif, Sudjiharto.

Sementara di gedung pemerintah Kabupaten Banyu-wangi, sejumlah ruang kerja terlihat lengang, bahkan hampir tidak ada aktivitas sama sekali. Selain PNS, aksi tersebut juga diikuti kelompok masyarakat yang mena-makan diri Gerakan Masyarakat Penyelamat Banyuwangi yang berasal dari 24 kecamatan yang berasal dari Kabupaten Banyuwangi. Aksi juga dihadiri oleh Mantan Bupati Banyuwangi Syamsul Hadi. Dalam aksi ini berbagai orasi dilakukan secara bergantian. Intinya mereka menuntut Bupati Ratna Ani Lestari mundur dari jabatannya. Dalam orasinya, Syamsul secara spesifik meminta Bupati Ratna Ani untuk segera lengser dari jabatannya guna menyelamatkan masyarakat Banyuwangi24.

Tabel 3: Berbagai Alasan Tuntutan Mundur Untuk Bupati Banyuwangi

Alasan Penuntutan Mundur Keterangan

Mutasi terhadap PNS secara sepihak Kebijakan-kebijakan Bupati Ratna Ani dinilai banyak menyengsarakan pegawai, termasuk soal pemutasian PNS

Dugaan Korupsi APBD 2006 Kasus korupsi yang diduga melibatkan Bupati Ratna Ani dan Wakil Bupati

Yusuf Nur Iskandar dalam penggelembungan dana APBD 2006 Sebesar Rp 2 miliar Isu Pelecehan Agama (Islam dan Hindu) Ratna dituding telah melakukan pembohongan publik, melecehakan agama Islam

dan Hindu, membuat keresahan masyarakat Banyuwangi serta membuat perpecahan di antara para ulama. Ratna juga dituding berpindah-pindah agama demi kepentingan politik. Status perkawinan Ratna pun dianggap melanggar norma agama. Ratna juga mengeluarkan peraturan daerah yang mengatur penjualan daging babi, yang membuat harga daging babi lebih murah dari harga daging lainnya. Kebijakan pendidikan yang tidak Di antara kebijakan tersebut adalah tidak membebaskan biaya belajar di madrasah, memihak masyarakat Islam. berbeda dengan sekolah negeri. Maraknya Keluhan para guru terkait belum cairnya

dana insentif mereka, meski telah disetujui dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2006.

Pelarangan menghadiri Istighotsah Kebijakan yang melarang masyarakat Banyuwangi untuk menghadiri istighotsah. Pengadopsian perda-perda Kabupaten Etika dan kebijakan bupati yang mengadopsi peraturan daerah Jembrana ke Jembrana ke Kabupaten Banyuwangi Banyuwangi dianggap meresahkan warga.

Keterangan : Diolah dari hasil analisis media nasional dan lokal.

(20)

Keretakan, ketegangan dan konflik politik yang berlang-sung di Kabupaten Banyuwangi berlangberlang-sung cukup kompleks. Sejak pasca terpilihnya Bupati dan Wakil Bupati Banyuwangi Ratna Ani Lestari-Yusuf Noer Iskandar, peme-rintahan daerah dan agenda pelayanan publik cende-rungan mengalami penurunan. Legitimasi politik yang pernah didapatkan kedua pasangan ini pada waktu Pilkada, ternyata terus menuai reaksi penolakan dari berbagai elemen politik, LSM dan masyarakat.

Fluktuasi hubungan lembaga-lembaga politik, aktor-aktor politik dengan masyarakat di Kabupaten Banyuwangi tersebut pada akhirnya menimbulkan respons pemerintah pusat. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Mohammad Ma’ruf, 23 Januari, 2007 meminta Gubernur Jawa Timur untuk segera menyelesaikan konflik yang terjadi antara Bupati Banyuwangi dengan Pegawai Negeri Sipil di Banyuwangi. Permintaan Mendagri ini disampaikan untuk menanggapi pemogokan kerja yang dilakukan PNS honorer se-Kabupaten Banyuwangi. Mendagri bahkan meminta Gubernur Jawa Timur harus segera turun tangan. Mendagri menilai telah terjadi kesalahan dalam pembinaan kepegawaian, dan kekeliruan dalam hal hubungan antara bupati dan sekretaris daerah. Mendagri juga menghimbau agar PNS Banyuwangi segera aktif bekerja kembali agar aktivitas pelayanan publik tidak terganggu (Metrotvnews.com, 24 Januari 2007).

Hingga saat ini, fluktuasi politik tersebut terus berlangsung. Bupati Ratna Ani Lestari merasa tetap sah sebagai Kepala Daerah di Banyuwangi kendatipun rapat paripurna DPRD pernah menyatakan pemecatan. Keberadaan Gubernur Jawa Timur juga mengalami dilema yang tak kalah rumitnya karena pemecatan dan pengesahan kepala daerah/wakil kepala daerah meru-pakan wewenang Presiden melalui Mendagri. Padahal, Mendagri telah meminta Gubernur Jawa Timur untuk menyelesaikan kasus tersebut. Sementara UU No.32 tahun 2004 tidak mengatur secara spesifik terkait dengan penyelesaian kasus seperti ini. Akibatnya, keretakan, ketegangan dan konflik antara Bupati Banyuwangi dengan elemen-elemen politik, DPRD, LSM dan masyarakat terus berlangsung tanpa menemukan solusi terbaik.

Kasus Kota Depok

Tanggal 5 Juli, 2005, Komisi Pemilihan Umum Daerah

Kota Depok secara resmi menetapkan pasangan Nurmahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra sebagai walikota dan wakil walikota Depok. Kedua pasangan yang diusung oleh Partai Keadilan Sejahtera tersebut dinyatakan menjadi pemenang Pilkada berdasarkan hasil resmi pemilihan secara langsung pada 26 Juni 200525.

Hari Kamis, tanggal 4 Agustus 2005, Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Barat, mengabulkan permohonan Badrul Kamal-Syihabuddin Ahmad (BK-SA) dan membatalkan penghitungan suara pemilihan kepala daerah Kota Depok. Majelis hakim juga memutuskan suara yang benar untuk pasangan BK-SA sebanyak 269.551 suara dan untuk pasangan Nur Mahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra, sebanyak 204.248 suara. Keputusan tersebut dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim, Nana Juwana, S.H, di ruang sidang Pengadilan Tinggi Jabar, Bandung. Dengan keputusan PT Jabar ini, maka kemenangan pasangan Nur Mahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra dianulir. Dasar hukum pembatalan kemenangan Nur Mahmudi ini, menurut majelis hakim, adalah keterangan 11 saksi dari pihak pemohon. Hakim menilai, kesaksian itu meng-ungkapkan adanya kejanggalan dan penyimpangan, yang terungkap di pengadilan. Kejanggalan tersebut antara lain, bertambahnya jumlah pemilih yang berasal dari luar Kota Depok, adanya kartu pemilih yang salah cetak dan banyaknya pemilih yang tidak bisa memilih. Hakim, juga berdasarkan keterangan saksi meyakini, ribuan suara untuk pasangan BK-SA terbukti digembosi. Total suara yang digembosi, mencapai 62.772 suara. Sementara untuk pasangan calon nomor 5, Nur Mahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra, ada penggelembungan suara hingga 27.782 suara.

Berdasarkan keterangan dan bukti yang diajukan ke pengadilan, majelis hakim mengabulkan permohonan pemohon dan membatalkan penghitungan hasil akhir suara pilkada Kota Depok. Pihak BK-SA sebagai peserta Pilkada No 3 mengajukan keberatan terhadap penetapan KPUD Kota Depok pada 6 Juli lalu tentang penetapan pasangan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Depok (Nur Mahmudi Ismail- Yuyun Wairasaputra). Dalam penghitungan suara yang telah ditetapkan KPUD Kota Depok tanggal 6 Juli 2005, pasangan Badrul Kamal-Syihabuddin hanya memperoleh 206 ribu lebih suara dan pasangan Nur Mahmudi Ismail-Yuyun Wirasaputra sebanyak 232 ribu lebih suara (Pikiran Rakyat, 5 Agustus 2005).

2 5 Pengumuman dilakukan oleh Kepala Bidang Penghitungan Suara KPUD, Udi Bin Muslih. Acara tersebut dihadiri oleh pelaksana

(21)

Putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat ini pada akhirnya memunculkan protes dari berbagai kalangan. Pengunjuk rasa menentang keputusan Pengadilan Tinggi yang menganulir kemenangan Nurmahmudi Ismail menjadi Wali Kota Depok.

Ada beberapa jenis pelaku konflik Pasca Pilkada. Pertama, massa pendukung kandidat, baik yang jadi ataupun yang tersingkirkan dalam pertarungan Pilkada. Kedua, massa penentang kandidat yang terpilih. Ketiga, massa partai politik yang menjadi pendukung salah satu kandidat dalam Pilkada ataupun pendukung kebijakan politik DPRD. Keempat, aktivis/mahasiswa/LSM. Kelima, warga masyarakat di wilayah setempatt.

Keretakan, ketegangan dan konflik yang potensial berlangsung Pasca Pilkada di berbagai wilayah di Indo-nesia tidak lepas dari berbagai latarbelakang konfigurasi politik dan birokrasi. Ada beberapa kondisi yang menjadi latarbelakang hubungan eksekutif-legislatif pasca Pilkada. Pertama, kepala daerah, wakil kepala daerah dan ketua DPRD berasal dari satu partai. Kedua, kepala daerah dan wakil kepala daerah salah satu dari keduanya satu partai dengan ketua DPRD. Ketiga, kepala daerah, wakil kepala daerah kedua-duanya tidak berasal dari satu partai dengan ketua DPRD. Keempat, kepala daerah atau

wakil kepala daerah pada mulanya dari calon partai kecil atau bukan orang partai tetapi diusulkan oleh partai tertentu, namun setelah menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah kemudian mencalonkan diri dan menjadi ketua partai dominan dalam DPRD, atau partai yang pemimpinya secara nasional berkuasa.

Ditinjau dari ragam keretakan, ketegangan dan konflik yang muncul ada beberapa sumber pemicu yang signifikan. Pertama, bersumber dari konflik internal parpol. Kedua, bersumber konflik antar pendukung kandidat. Ketiga, bersumber dari konflik internal pasangan Kepala daerah dan wakil kepala daerah. Keempat, bersumber dari konflik antara pasangan Kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan birokrasi. Kelima, bersumber dari konflik antara pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan para kandidat Pilkada lainnya. Keenam, bersumber dari konflik antara pasangan Kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan faksi-faksi politik di DPRD. Ketujuh, bersumber dari pasangan Kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan partai-partai politik. Kedelapan, bersumber dari konflik antara Kepala daerah dan wakil kepala daerah dengan LSM dan masyarakat.

Konsolidasi Pasca Pilkada

Dibalik beragam fenomena potensial yang muncul pasca Pilkada, konsolidasi pasca Pilkada menjadi persoalan Tabel 6: Struktur Pimpinan DPRD Kota Depok

Posisi Nama

Ketua DPRD H.Naming D.Bothin, S.Sos (Partai Golkar)

Wakil Ketua DPRD I Drs. Amri Yusro (Partai Keadilan Sejahtera) Wakil Ketua DPRD II Agung Witjaksono, SH (Partai Demokrat)

Sumber : KPUD Kota Depok dan DPRD Kota Depok.

Tabel 5: Perolehan Kursi Parpol di DPRD Kota Depok

No Nama Partai Jumlah Kursi

1. Partai Keadilan Sejahtera 12

2. Partai Demokrat 8

3. Partai Golongan Karya 8

4. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 6

5. Partai Amanat Nasional 5

6. Partai Persatuan Pembangunan 6

Jumlah 45

Gambar

Grafik 1: Pola Pemerintahan di Daerah Pasca Pilkada
Tabel 1: Pola Pemerintahan di Daerah Pasca Pilkada Menurut Provinsi
Tabel 2: Contoh Divided Government dan Unified Government di Provinsi Bengkulu dan Nusa Tenggara Timur
Grafik 2: Apakah Partai Pengusung Kepala Daerah Terpilih Mempunyai Kursi Mayoritas di DPRD?
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan dari kedua definisi diatas bahwa manajemen pelayanan pasien adalah suatu proses koordinasi pelayanan kolaboratif untuk mempergunakan sumber daya yang tersedia dengan

%ada rangkaian eksternal, sekering akan memisahkan unit kapasitor yang rusak dari kapasitor bank, sehingga tidak menimbulkan kerusakan pada unit kapasitor yang lain, dan

Pengaruh kepemilikan institusional terhadap manajemen laba pernah diteliti oleh Widyastuti (2009), dan hasil penelitian menyimpulkan bahwa kepemilikan institusional

Unit analisis yang digunakan adalah komunikasi personal berupa persepsi dan motivasi, dinamika kelompok berupa peranan, kekompakan dan kepemimpinan dalam program

Berdasarkan paparan tersebut, terdapat dua sisi output dan predictive outcomepembelajaran siswa yang harus diamati dan karenanya dimungkinkan untuk diukur

Uji simultan F digunakan untuk mengetahui pengaruh dari seluruh variable independent (harga, kepercayaan, kualitas layanan) secara bersama-sama atau simultan

Salah satu penyebab kesulitan siswa dalam pemecahan masalah matematika adalah pendekatan yang digunakan oleh guru bidang studi ( teacher centered ), masih didominasi oleh