• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Agama-Agama dalam Nation Building Menurut Soekarno T1 712012037 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Agama-Agama dalam Nation Building Menurut Soekarno T1 712012037 BAB II"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

2. Teori Agama dan Pengertian Nation Building 2.1 Teori Agama Moojan Momen1

John Hick juga mendefinisikan agama sebagai respon manusia terhadap

realitas Tuhan yang transenden.2 Senada dengan itu, agama dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan sebagai ajaran, sistem yang mengatur tata

keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta

tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta

lingkungannya.3 Definisi ini memuat dua aspek hubungan yakni hubungan dengan

Tuhan dan hubungan dengan manusia, juga dalam definisi ini agama ditempatkan

pada posisi sebagai sumber tatanan keimanan dan tatanan aturan.

Hampir sama dengan definisi tersebut, secara etimologis “agama” berasal

dari dua kata dalam bahasa Sansekerta yaitu “gam” yang berari pergi, sedangkan

awalan “a” berarti yang tetap atau yang tidak berubah sehingga dapat diartikan sebagai: peraturan tradisional, ajaran, kumpulan peraturan-peraturan atau ajaran;

pendeknya apa saja yang turun temurun dan ditentukan oleh kebiasaan.4

Moojan Momen mendefinisikan agama sebagai tanggapan manusia untuk

pengalaman yang kudus; sebuah sistem simbol yang menciptakan tatanan

universal yang sangat kohesif, koheren dan menarik sehingga menjadi 'kenyataan'

untuk kelompok sosial yang mengadopsi agama itu; yang memberikan manusia

dengan cara pandang yang menyatukan masyarakat, yang menyediakan kode

moral dan di mana makhluk dapat mengarahkan hidup mereka.5 Definisi tersebut

mencakup tiga aspek yakni definisi substantif dan metafisikal, definisi simbolis

1

Moojan Momen adalah lulusan Cambridge University dan pengajar di berbagai universitas pada topik dalam studi Timur Tengah dan studi agama. Ia merupakan penulis sejumlah buku tentang Baha'i Faith, perkembangan historisnya, dan hubungannya dengan Hindu, Buddha, dan Islam. Dia telah menerbitkan sejumlah artikel tentang mata pelajaran Baha'i dan telah berbicara tentang Iman di banyak konferensi akademik. Teorinya dipilih dalam penulisan jurnal ini mengingat latar belakang beliau dari India, sehingga tentu ia memahami situasi keagamaan di Asia. Lagipula, sebagaimana judul bukunya: The Phenomenon of Religion, Momen berusaha menyajikan fenomena keagamaan di Asia.

2

John Hick, Tuhan Punya Banyak Nama (Yogyakarta: Institut DIAN, 2006), 42. 3

Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 12. 4

Ensiklopedi Populer Politik dan Pembangunan Pancasila: Edisi keenam Jilid I (Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1988), 31.

5

(2)

dan definisi fungsional agama. Berangkat dari definisi tersebut, maka Moojan

Momen berusaha melihat relevansi agama dengan kehidupan penganutnya, secara

khusus dalam kaitanya dengan kekuasaan dalam tiga bagian, yaitu: agama dan

legitimasi, agama dan negara, kekuasaan dan agama resmi.

Fungsi sosial yang paling penting dari agama adalah legitimasi. Istilah ini

mengacu pada pembentukan dari konsensus sosial yang menjelaskan dan

membenarkan tatanan sosial.6 Kita sebagai manusia bertindak secara kolektif,

menghasilkan baik tatanan sosial dan konsep alam semesta di mana masyarakat

kita ada. Kita juga dibentuk oleh masyarakat dan budaya di mana kita tumbuh.

Dengan demikian, tatanan sosial dan konsep alam semesta keduanya diproduksi

oleh manusia dan pada gilirannya membentuk manusia. Dengan demikian,

legitimasi berfungsi untuk memberikan makna terhadap tatanan sosial, untuk

membuatnya masuk akal dan dengan demikian untuk memperkuat dan

memberikan kohesi.7 Di atas semua itu, bagaimanapun, proses legitimasi harus

mencakup situasi marjinal (kematian, mimpi dan fenomena alami yang tidak

biasa), serta realitas sehari-hari. Proses legitimasi melibatkan justifikasi mengapa

hukum dan ketertiban itu diperlukan dalam masyarakat dan mengapa hal itu benar

untuk mencapainya dengan cara tertentu. Agama telah dipakai oleh para penguasa

dan pemerintah untuk berbagai macam tujuan, secara khusus untuk melegitimasi.

Ada tiga bentuk penggunaan agama untuk legitimasi. Pertama,

penggunaan agama untuk melegitimasi struktur sosial. Dalam masyarakat

tradisional, hal ini dengan mudah dapat diobservasi. Peran agama sebagai

legitimator dari tatanan sosial telah diterapkan, khususnya, di mana struktur sosial

memiliki unsur ketimpangan atau ketidakadilan dan karena itu berpotensi tidak

stabil. Kedua, penggunaan agama untuk melegitimasi otoritas penguasa tertentu

dimana pemegang kekuasaan di masyarakat sering melibatkan identifikasi

seseorang dalam beberapa cara dengan sumber tertinggi kekuasaan di alam

semesta. Salah satu contohnya ialah doktrin The Divine Right of Kings di Eropa

yang menetapkan bahwa kekuasaan raja diperoleh dari otoritas Allah. Di

Indonesia, setiap proses pelantikan pemimpin mulai dari kepala negara hingga

6

(3)

kepala daerah senantiasa memakai sumpah dengan kitab suci agamanya. Ketiga,

penggunaan agama untuk melegitimasi perang. Agama digunakan untuk

membangkitkan orang berperang bagi para penguasa yang pada kenyataannya

dilancarkan karena alasan ekonomi atau lainnya.8 Contoh akan hal ini dapat

dilihat dalam perang yang terjadi di Israel dan Iran dengan kontribusi nyata

Amerika, dimana perang yang adalah bentuk kekerasan ini dilegitimasi dengan

agama.9 Di Indonesia, kekerasan bernuansa agama sudah terjadi seperti kerusuhan

Poso tahun 1998 – 2002, di Ambon dan Maluku tahun 1999 – 2002, di

Kalimantan Barat dan Tengah tahun 2000 – 2001.

Setiap agama memiliki struktur kekuasaan internal. Ini tidak bisa dihindari

jika akan membentuk organisasi agama, dan organisasi diperlukan jika agama

ingin bertumbuh melampaui pengelompokan lokal yang kecil. Dalam beberapa

kelompok agama, semua otoritas dan kekuasaan berpusat pada satu pemimpin

pusat karismatik.10 Gerakan keagamaan baru seringkali timbul melalui pengajaran

pemimpin karismatik dan figur ini juga merupakan pusat kekuasaan dan

kewenangan untuk gerakan itu.

Pola umum dari organisasi keagamaan ialah melibatkan beberapa bentuk

kepemimpinan imam dan hierarki. Puncak hirarki dianggap sebagai pemimpin

dari kelompok agama. Jika kelompok agama cukup besar, pemimpin menjadi

figur dari kepentingan nasional. Hal ini berlaku di sebagian besar negara-negara

non Barat yang memiliki agama yang dominan, misalnya di Iran, di mana

pemimpin agama tertinggi memiliki tempat formal dalam struktur kekuasaan.

Struktur kekuasaan dalam setiap agama adalah agen untuk menyalurkan kekuatan

besar agama dalam masyarakat.11

Sangat jelas bahwa agama adalah kekuatan yang sangat kuat untuk

memotivasi manusia. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa banyak orang

berupaya untuk menyalurkan kekuatan agama ke arah tujuan duniawi yang lebih

8

Momen, The Phenomenon, 409. 9Jonathan Lusthaus, “Religion and

State Violence: Legitimation in Israel, the USA and

(4)

instan. Hanya dengan membuat komunal, ekspresi sosial dari pengalaman pusat

religius ini dapat dicapai. Dengan demikian jalan keselamatan (monastisisme,

gnostisisme, ritualisme dan sebagainya) dalam hal sosiologis, dilihat sebagai

mekanisme untuk menyalurkan dan memanfaatkan kekuatan agama. Sayangnya

bagi dunia dari agama, kebanyakan penggunaan jalan keselamatan ini adalah bagi

alasan duniawi.

Hubungan antara agama dan negara sudah beragam dan kompleks. Paling

tidak, ada enam bentuk hubungan yang mungkin saja terjadi menurut Momen.

Pertama, teokrasi atau hierokrasi. Dalam teokrasi, otoritas keagamaan juga

otoritas politik atau setidaknya lembaga keagamaan dan politik bertindak sebagai

badan kesatuan.12 Contoh keadaan ini tidak sangat umum, tetapi dapat mengutip

empat khalifah pertama Islam, khalifah Fatimiyah di Mesir, Calvin Jenewa, aturan

Dalai Lama di Tibet 1642-1959 dan rezim Ayatollah Khomeini di Iran. Oleh

karena paham teokrasi ini, maka lahirlah bentuk pemerintahan hierokrasi, yaitu

pemerintahan oleh pimpinan agama.13 Kedua, negara agama dimana ada agama

tertentu yang dijadikan dasar negara.14Ketiga, agama dominan. Di banyak negara

di dunia, ada satu agama yang sangat dominan namun bukan agama negara.

Dalam situasi ini, agama dominan dapat memiliki pengaruh yang cukup besar atas

negara. Mungkin malah lebih berpengaruh daripada agama negara (karena yang

terakhir ini sampai batas tertentu dikuasai oleh Negara). Keempat masyarakat

multi agama, di mana ada beberapa komunitas agama yang masing-masing terdiri

proporsi besar dari penduduk dan ada kemungkinan muncul konflik.15 Di negara

tertentu, pemerintah sering mencoba untuk bersikap netral, bertindak sebagai

penengah dan penjaga perdamaian antara garis agama yang berbeda. Contoh

terakhir adalah Lebanon, di mana konstitusi resmi membagi kantor utama negara

antara komunitas agama utama (Maronit, Sunni, Syiah dan Druze). Kelima,

masyarakat non-religius dimana banyak orang telah terjerumus ke dalam

materialisme dan hedonisme.16 Di Eropa hal ini mudah diidentifikasi, walau pun

harus sangat berhati-hati. Dalam dunia politik, pemerintah Eropa Barat umumnya

(5)

tidak lagi memperhitungkan unsur agama ketika merumuskan kebijakan. Keenam,

ialah negara anti agama. Sampai dengan perubahan negara komunis yang

berlangsung antara 1989 dan 1990, kebanyakan negara komunis di Eropa dan

Asia menjadi anti terhadap agama.17 Instansi pemerintah yang didanai dibentuk

khusus untuk melawan pengaruh agama. Meskipun beberapa dekade ada

kampanye anti agama yang kuat, namun negara-negara ini tidak dapat

menghilangkan agama dari wilayah mereka.

Terdapat sejumlah bentuk hubungan yang berbeda antara pemimpin agama

dan negara yang mungkin tercipta, menurut Momen yaitu: pertama, dukungan

agama bagi pemerintah sekuler. Mungkin ini adalah peran paling umum bagi

agama untuk mengambil hati masyarakat. Agama adalah legitimator kepala

tatanan sosial dan pemimpin karena agama sering dimasukkan ke aparat negara.

Agama menganugerahkan legitimasi kepada negara dan pada gilirannya, negara

memberikan otoritas bagi agama karena rasa hormat. Katedral, masjid, dan

kuil-kuil yang dibangun oleh negara menambah aura kesucian dan legitimasi yang

diperoleh untuk kedua otoritas sekuler dan religius. Jenis relasi ini sarat dengan

kepetingan politis dan sangat berbahaya jika tidak berhati-hati, dimana agama

dapat membela ketidakadilan negara seperti terjadi di Gereja Katolik sebelum

Reformasi.18 Bertolak belakang dengan itu, bentuk yang kedua adalah penolakan

agama terhadap otoritas sekuler. Dalam masyarakat pramodern, kerusuhan sosial

umum sering disertai dengan bangkitnya gerakan keagamaan, seringkali dari jenis

milenarian. Gerakan keagamaan ini kemudian menempatkan diri sebagai oposisi

pemerintah. Gereja kulit hitam di Amerika Selatan adalah satu contoh alternatif

agama untuk menekan kegiatan politik. Ketiga, sikap acuh tak acuh agama dari

keterlibatan politik dimana pemimpin agama menjauh dari keterlibatan politik

oleh karena memandang dunia ini korup dan tidak ada relevansi dengan urusan

mencapai keselamatan.19 Banyak pemimpin agama Hindu dan Buddha mengambil

17

Momen, The Phenomenon. 18

Momen, The Phenomenon, 418. 19

(6)

sikap ini karena konsep maya (gagasan bahwa dunia ini adalah ilusi dan

mengalihkan perhatian dari Yang Nyata).20

2.2 Pengertian Nation Building

Nation building merupakan istilah yang merujuk pada usaha membina

bangsa supaya para warga negaranya sadar akan harga dirinya sebagai suatu

bangsa merdeka yang berdaulat dan mampu membangun suatu negara hukum

modern.21 Sartono Kartodirdjo mendefinisikan nation building sebagai

pembentukan komunitas berdasarkan kemauan politik bersama yang lazim disebut

nasion atau bangsa.22 Proses tersebut harus berdasarkan prinsip-prinsip

nasionalisme yakni kesatuan/persatuan (unity), kebebasan (liberty), persamaan

(equality), kepribadian (personal-individuality) dan prestasi (performance).23 Prinsip-prinsip ini sangat esensial dalam nasionalisme, maka perlu direalisasikan

dalam negara.

Mengingat keadaan di Indonesia dengan pluralismenya, maka untuk

mewujudkan prinsip pertama diperlukan dukungan ideologi Pancasila yang

mempunyai potensi mentransendensi pluralitas etnisitas, religiositas, linguistik,

dan lain sebagainya.24 Pancasila sebagai religi politik memuat prinsip-prinsip

yang mempunyai kemampuan merekonsiliasi berbagai loyalitas religi, ideologi,

etnisitas, dan lain sebagainya. Pancasila menjadi roh setiap pergerakan politik,

yang berarti bahwa kehidupan rakyat sehari-hari diarahkan oleh nilai-nilai dan

norma-norma sehingga pola kelakuan manusia Indonesia mengendap sebagai

kebiasaan (etos).

Apabila pembangunan sosial masyarakat Indonesia ini dipandang atau

didekati secara holistik maka mencakup dimensi, ekonomis, sosial, politik dan

kultural.25 Dipandang dari perspektif ini pembangunan sosial berdasarkan

Pancasila merupakan proses total yang meliputi masyarakat Indonesia sebagai

20

Momen, The Phenomenon. 21

Heuken, Yulia Gunawan, dkk., Ensiklopedi Politik Pembangunan Pancasil: Dari Kes sampai Par (Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1988), 223.

22

Sartono Kartodirdjo, Pembangunan Bangsa (Yogyakarta: Aditya Media, 1994), 1. 23

Kartodirdjo, Pembangunan Bangsa, 24. 24

(7)

totalitas. Ini tidak berarti bahwa perkembangan masyarakat akan mewujudkan

sistem monolitik melainkan tetap bermuara kepada Bhinneka Tunggal Ika.

Kebudayaan politik berfungsi instrumental untuk melaksanakan

transformasi struktural, yaitu penggeseran dari sistem politik tradisional ke yang

modern dan fungsional bagi negara nasion.26 Pendidikan politik bertujuan

merealisasikan modernisasi politik itu. Struktur terwujud sebagai negara-nasion

hanya berfungsi efektif apabila jaringan hubungan antarwarga negara didasarkan

atas nilai-nilai kebudayaan politik nasionalis yaitu ideologi nasional, identitas

nasional, etos bangsa. Pelembagaan nilai-nilai tersebut pada individu lewat

pendidikan nasional yang secara teleologis diarahkan untuk memantapkan

nilai-nilai tersebut. Dalam hal ini pendidikan dititik beratkan pada pendidikan mental

yakni suatu proses pembudayaan yang mendukung penghayatan kebudayaan

nasional, nasionalisme, etos bangsa, termasuk Pancasila.27

Dalam rangka penyusunan rencana jangka panjang pembangunan nasional

diperlukan kerangka pemikiran futurologis yang bebas dari gambaran masa depan

mitologis, mesianistis, ataupun eskatologi yaitu metode proyeksi masa depan

berdasarkan analisis situasi masa kini sehingga dapat diekstrapolasikan pola,

kecenderungan, ataupun struktur perkembangan pembangunan.28 Pendekatan ini

didasarkan atas beberapa postulat, antara lain:

1. Prinsip kontinuitas merupakan dasar proses perkembangan; maka masa

kini di satu pihak adalah produk-produk masa lampau dan kecenderungan

perkembangan masa depan sudah melekat dalam situasi masa kini;

2. Prinsip progresivitas mendasari gejala pertumbuhan peradaban; maka

masyarakat Indonesia juga berkembang mengikuti garais progresif itu;

3. Meskipun setiap masyarakat mempunyai sejarah perkembangannya

sendiri, namun ada kecenderungan universal yang mengarahkan

masyarakat-masyarakat tersebut, antar lain dari tingkat agraris ke tingkat

industrial.

26

Kartodirdjo, Pembangunan Bangsa, 47. 27

Kartodirdjo, Pembangunan Bangsa, 49. 28

Referensi

Dokumen terkait

Ini dimungkinkan karena perusahaan memiliki kurva biaya marginal (MC) yang juga menurun dan berada di bawah kurva AC. Perusahaan memiliki tingkat efisiensi yang

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

Disemprotkan ( Jet Application of Fluid ), pada proses pendinginan dengan cara ini cairan pendingin disemprotkan langsung ke daerah pemotongan (pertemuan antara

Makalah Seminar Nasional PTBB FT UNY 3 Desember 2011 Page 5 maka perlu kiranya dilakukan pengujian terhadap karakteristik fisik visual serat daun suji tersebut

Hasil penelitian diketahui bahwa: (1) hasil belajar siswa aspek kognitif yang mengikuti pembelajaran dengan metode problem solving lebih baik dibanding metode

Investasi pada produk unit link mengandung risiko, termasuk namun tidak terbatas pada risiko politik, risiko perubahan peraturan pemerintah atau perundang-undangan lainnya,

[r]

BAN-PT menempatkan evaluasi-diri itu sebagai salah satu aspek dalam keseluruhan daur akreditasi, dan menempatkannya dalam posisi yang sangat penting, yaitu sebagai