• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN EFISIENSI PENATALAKSANAAN APENDISITIS AKUT PADA PASIEN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DENGAN PASIEN UMUM (STUDI KASUS DI RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL) | Widiyantara | JMMR (Jurnal Medicoeticolegal dan Manajemen Rumah Sakit) 829 6562 1 PB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERBANDINGAN EFISIENSI PENATALAKSANAAN APENDISITIS AKUT PADA PASIEN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL DENGAN PASIEN UMUM (STUDI KASUS DI RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL) | Widiyantara | JMMR (Jurnal Medicoeticolegal dan Manajemen Rumah Sakit) 829 6562 1 PB"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

DOI: 10.18196/jmmr.5104.

Perbandingan Efisiensi Penatalaksanaan Apendisitis Akut Pada

Pasien Jaminan Kesehatan Nasional Dengan Pasien Umum

(Studi Kasus di Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati

Bantul)

Agus Tri Widiyantara 1*

& Arlina Dewi 2

*Penulis Korespondensi: dewikoen@yahoo.com

1Rumah Sakit Umum Daerah Panembahan Senopati Bantul

2Magister Manajemen Rumah Sakit Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

I N D E X I N G A B S T R A C T Keywords:

efficiency, length of stay, costs.

Kata kunci:

efisiensi,

lama hari rawat, biaya.

BP S PB ’ a a a nts that a part of National Health Insurrance have financing with prospective payment system, while general patient use fee for service., To avoid losses, the hospital must manage patients more efficiently in the prospective payment system than the fee for service with strict quality control and control of costs. The type of research is a quantitative research using

a a a. P a BP S PB ’ a a a a

uncomplicated acute appendicitis and action appedictomi. There are 60 respondent. Analyses test using independent t test and Mann-Whitney test. Based on the length of stay and cost management in

a , BP S PB ’ a a a a a a .

Pasien peserta Badan Pengelola Jaminan Sosial Penerima Bantuan Iuran (BPJS PBI) yang merupakan bagian dari Jaminan Kesehatan Nasional melakukan pembiayaan dengan prospective payment system, sementara pasien umum menggunakan fee for service. Dengan kendali mutu dan kendali biaya yang lebih ketat, rumah sakit harus mengelola pasien lebih efisien pada prospective payment system dibandingkan dengan fee for service untuk menghindari kerugian. Jenis penelitian merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan data sekunder. Populasi adalah pasien BPJS PBI dan pasien umum yang mengalami apendisitis akut tanpa komplikasi dan dilakukan tindakan apediktomi.Jumlah sampel 60 orang. Uji analisis menggunakan independen t test dan Mann-Whitney test. Berdasarkan lama hari rawat dan biaya, penatalaksaan apendisitis pada pasien BPJS PBI lebih efisien dibanding pasien umum.

© 2016 JMMR. All rights reserved

PENDAHULUAN

Untuk menyelenggarakan jaminan sosial bidang kesehatan, dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang mengembangkan sistem pelaya-nan kesehatan, sistem kendali mutu pelayapelaya-nan, dan

sistem pembayaran pelayanan kesehatan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas. Pemerintah telah melaksanakan program jaminan kesehatan sosial,

dimulai dengan program Askeskin, kemudian berubah menjadi program Jamkesmas, dan akhirnya berubah menjadi program JKN yang dilaksanakan oleh BPJS sejak 1 Januari 2014 (Perpres no 12/2013).

Pelaksa-naan program jaminan mengikuti prinsip-prinsip penyelenggaraan sebagaimana yang diatur dalam UU

SJSN, yaitu dikelola secara nasional, nirlaba, portabilitas, transparan, efisien dan efektif.

Pada tahun 1997, pembiayaan kesehatan di Amerika kurang efisien, yang mungkin terjadi karena sistem pembiayaan kesehatannya sangat berorientasi pasar dengan pembayaran langsung oleh pasien (out of

pocket) relatif tinggi yaitu kurang lebih 1/3 dari seluruh pengeluaran pelayanan kesehatan (Murti, 2000). Salah satu cara pembiayaan yang merupakan

pengendalian biaya, sehingga meningkatkan aksesitas terhadap pelayanan kesehatan adalah dengan asuransi. Murti (2010) menekankan pentingnya pemerintah untuk mengambil langkah-langkah kebijakan yang

(2)

ketergantungan kepada sistem membayar langsung

(fee for service).

Model pembayaran pelayanan kesehatan pasien keluarga miskin berdasarkan prospective payment

system, yaitu sistem pembayaran pada pemberi pelayanan kesehatan di rumah sakit dalam jumlah yang ditetapkan sebelum suatu pelayanan diberikan kepada pasien, tanpa memperhatikan tindakan medis yang

diberikan atau lamanya hari perawatan. Sistem ini dikenal dengan istilah INA-DRG (Indonesians Diagnosis Related Groups) yang kemudian berganti

menjadi Indonesians Case Base Groups (INA-CBGs). Menurut Firmanda (2008) INA-DRG casemix berisi tarif paket pelayanan kesehatan yang meliputi diagnosis, jumlah hari rawat dan besar biaya per diagnosis penyakit. Keuntungan menggunakan

INA-DRG adalah transparansi tarif atas biaya pelayanan yang diberikan serta adanya perencanaan pelayanan pasien yang lebih baik Selain memberikan pelayanan

kepada masyarakat umum dengan pembiayaan kese-hatan secara mandiri (fee for service), sebagai salah satu bentuk perwujudan misi, RSUD Panembahan

Senopati melakukan kerjasama dengan pihak penyedia asuransi kesehatan, baik Jamsostek, Askes sosial, maupun asuransi bagi masyarakat miskin (BPJS) serta asuransi lainnya.

Dalam memberikan pelayanan rawat inap bagi peserta BPJS, RSUD Panembahan Senopati juga menerapkan sistem casemix INA CBGs dalam pembiayaannya. Salah satu kasus bedah yang banyak

dilayani oleh RSUD Panembahan Senopati dan termasuk dalam diagnosis yang ada dalam INA

RG/ G’ a ala ap n . Dalam

penatalaksa-naan kasus apendisitis akut bagi pasien BPJS PBI,

rumah sakit akan mendapatkan klaim pembiayaan sesuai yang tercantum dalam ketentuan tarif INA DRG/INA CBGs. Rumah sakit dituntut dapat

mela-kukan efisiensi dalam penatalaksanaan pasien, tetapi disisi lain rumah sakit dituntut juga harus memberikan pelayanan yang bermutu bagi pasien (sistem kendali mutu dan kendali biaya).

Pada pasien umum,rumah sakit akan menda-patkan pembayaran dari pasien umum sesuai dengan jumlah biaya yang dikeluarkan untuk penatalaksanaan penyakitnya (fee for service). Dengan sistem ini rumah

sakit dapat lebih leluasa dalam melaksanakan proses pengobatan, mulai dari pemeriksaan, pemeriksaan penunjang, hingga pengobatan tanpa perlu khawatir

memikirkan klaim pembayaran. Seluruh biaya yang

dikeluarkan dapat diklaim kepada pasien.

Mempertimbangkan pembiayaan bagi pasien BPJS, rumah sakit harus melakukan efisiensi dalam

penatalaksanaan kasus apendisitis akut pada pasien BPJS. Selain pengendalian biaya penatalaksanaan kasus, rumah sakit juga harus memperhitungkan lama perawatan pasien. Semakin lama pasien mendapatkan

perawatan di rumah sakit, semakin besar biaya yang harus dikeluarkan oleh rumah sakit.

Menurut penelitian Septianis, Misnaniarti dan

Alwi (2010), ada kecenderungan rumah sakit merugi di pelayanan tindakan medis operatif pada pasien Jamkesmas karena sebagian besar biaya tindakan tidak sesuai (lebih besar) dibanding tarif INA-DRG. Hal ini juga didukung oleh hasil perhitungan terhadap rincian

komponen biaya pada tiap jenis pelayanan yang diberikan pada pasien tersebut.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui

bagaimana efisiensi dalam penatalaksanaan pasien peserta BPJS PBI yang berbasis sistem pembiayaan sistem INA DRG / INA CGBs dibandingkan dengan

pasien umum dengan sistem pembiayaan fee for service yang dirawat di Rumah Sakit Umum kelas B. Untuk mengetahui efisiensi tersebut dilakukan penelitian terhadap 30 orang pasien yang

menggunakan jaminan kesehatan BPJS penerima bantuan iur biaya (PBI) dan 30 orang pasien umum kelas 3. Data diambil dari data rekam medik dan billing pasien yang ada pada bagian keuangan rumah

sakit.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan data sekunder untuk melihat

lama hari rawat dan besaran komponen biaya yang diterima pasien sesuai dengan besaran tarif berdasarkan peraturan daerah. Data dibedakan antara data pasien BPJS PBI yang menggunakan sistem

pembiayaan INA DRG/CBG dan pasien umum dengan sistem pembiayaan fee for service. Populasi penelitian ini adalah pasien BPJS PBI dan pasien umum kelas 3 yang didiagnosa mengalami apendisitis akut tanpa

(3)

Sampel diambil dari rekapitulasi data pasien

apendisitis akut tanpa komplikasi yang dilakukan operasi apendisitis pada unit rekam medik. Variabel independen pada penelitian ini adalah kasus apendisitis

akut tanpa komplikasi. Sedangkan variabel dependen penelitian meliputi lama hari rawat dan biaya penata-laksanaan pasien apendisitis akut. Variabel biaya penatalaksanaan dibagi menjadi komponen biaya

tindakan operasi, biaya pemeriksaan penunjang, biaya pemeriksaan dokter, biaya perawatan, biaya obat-obatan, biaya bahan medis habis pakai (BMHP) dan

biaya akomodasi.

Data yang terkumpul akan dilakukan analisa data dengan menggunakan uji T tidak berpasangan (independent T test) untuk mengetahui perbandingan hari rawat dan biaya antara pasien yang menggunakan

sistem pembiayaan INA DRG/CBGs dan fee for service. Apabila tidak memenuhi syarat pengujian T test, data akan dianalisa dengan menggunakan uji

alternatifnya sebagai uji non parametrik, yaitu Mann-Whitney. Hasil yang diperoleh dikatakan berbeda bermakna bila nilai p < 0,05.

PEMBAHASAN

Karakteristik subyek penelitian berdasarkan jenis kelamin, pasien peserta BPJS PBI yang menggunakan sistem pembiayaan INA DRG/CBGs.

Tabel 1. Hasil analisis uji Mann-Whitney hari

rawat

n Media

n (min-ax)

p

BPJS PBI 3

0

4 (4-6) <

0,001

Pasien Umum 3

0

6 (4-7)

Rata-rata hari rawat pasien umum yang menggunakan sistem pembayaran fee for service lebih lama dibanding pasien peserta BPJS PBI yang

menggunakan system pembiayaan sesuai INA CBGs. Rata-rata hari rawat pasien umum 4 (4-6) hari dan pasien BPJS PBI 6 (4-7) hari dan uji statistik menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna.

Sehingga dari variabel hari rawat, penatalaksanan

pasien apendisitis tanpa komplikasi pada pasien BPJS PBI lebih efisien dibandingkan pada pasien umum.

Lama hari rawat selain menunjukkan tingkat

efisiensi pengelolaan rumah sakit, juga menggam-barkan aspek mutu asuhan (quality of care) yang dilakukan oleh tenaga medis dan paramedis yang bekerja di rumah sakit tersebut (Mosley dan Grimmes,

1976). Dalam proses penghitungan billing biaya operasi tidak dibagi menurut unit costnya tetapi langsung ditentukan sesuai tarif operasi yang

tercantum di dalam peraturan daerah. Dalam penelitian ini tidak ada perbedaan antara biaya operasi pasien BPJS PBI dengan pasien umum.

Rerata biaya obat yang dipergunakan pada pasien peserta BPJS PBI sebesar Rp.278.434

(208.139-445.016) lebih rendah dibandingkan pasien umum Rp.677.861 (511.665-731.207). Dengan p<0,005 secara statistik menunjukkan perbedaan bermakna

antara biaya obat pasien peserta BPJS PBI dengan pasien umum. Adanya variasi dalam biaya obat bisa disebabkan oleh beberapa sebab, salah satunya belum

diterapkannya clinical pathway dalam penatalaksanaan apendisitis. Setiap dokter yang menangani pasien dapat menentukan jenis obat yang diberikan pada pasien sesuai kebutuhan.

Rerata biaya perawatan pasien BPJS PBI sebesar Rp.442.250 (303.000-688.500), sedangkan pada pasien umum rerata Rp.492.750 (194.500 -.867.500). Dari uji statistik didapatkan hasil p = 0,487 (>0,05). Dengan

demikian secara statistik tidak ada perbedaan bermakna antara rerata biaya perawatan pasien BPJS PBI dengan pasien umum. Dari hasil penelitian Gunardi (1997), rata-rata biaya perawatan pasien

Askes lebih rendah dibanding perawatan pada pasien umum. Besarnya perawatan dipengaruhi oleh lama perawatan pasien di rumah sakit. Sesuai yang

dikemukakan Fauzi (1995), lama hari rawat yang lebih lama mengakibatkan terjadinya peningkatan pembia-yaan

Penatalaksanaan penderita apendisitis yang

membutuhkan asuhan keperawatan lebih tinggi biasa-nya pada hari-hari awal post operasi. Hari-hari selan-jutnya relatif tidak membutuhkan asuhan keperawatan yang lebih intensif. Hal ini menjadi salah satu

(4)

Rerata biaya pemeriksaan dokter pasien BPJS PBI

sebesar Rp.172.500 (133.000 - 277.500). sedangkan rerata biaya pemeriksaan dokter pasien umum sebesar Rp.234.000 (105.000-343.000). Secara statitik

didapatkan hasil p = 0,012 (<0,05), sehingga menun-jukkan ada perbedaan bermakna.

Penelitian Gunardi menyebutkan bahwa rata-rata kunjungan dokter ke pasien pada pasien Askes 2,3 kali

selama perawatan dan pada pasien umum sebanyak 3,4 kali. Menurut Gunardi, kemungkinan kunjungan ke pasien Askes yang lebih rendah disebabkan karena

honorarium yang diterima dokter yang merawat pasien Askes lebih rendah dari pasien umum sehingga segi pelayanan ke pasien umum lebih diperhatikan.

Dengan diberlakukannya remunerasi di RSUD Panembahan Senopati, kemungkinan tidak

dilaku-kannya visite bagi pasien BPJS PBI sangat kecil. Visite baik bagi pasien BPJS maupun pasien umum akan mendapatkan jasa pelayanan yang sama.

Kemungkinan faktor yang berpengaruh terhadap per-bedaan besarnya biaya pemeriksaan dokter adalah lamanya pasien mendapatkan perawatan di rumah

sakit. Semakin lama pasien di rawat, maka biaya pemeriksaan dokter juga akan semakin bertambah.

Rerata biaya akomodasi pasien BPJS PBI sebesar Rp.160.000 (145.000-240.000) dan biaya akomodasi

pasien umum sebesar Rp.225.000 (145.000-280.000). Dari uji statistik didapatkan hasil p <0,001 (<0,05). Dari data tersebut menunjukkan ada perbedaan bermakna antara rerata biaya akomodasi pasien BPJS

PBI dengan pasien umum. Biaya akomodasi berhubungan dengan biaya akomodasi kamar dan pelayanan gizi selama menjalani perawatan. Besarnya biaya akomodasi ditentukan oleh lamanya hari rawat.

Semakin lama hari rawat, akan semakin banyak biaya akomodasi yang dikeluarkan. Factor-faktor yang berpengaruh terhadap lama hari rawat secara otomatis

akan berpengaruh terhadap biaya akomodasi.

Rerata biaya BMHP pasien BPJS PBI sebesar Rp. 163.946,27±30.409,78. Dan rerata biaya BMHP pasien umum sebesar Rp.285.027,30 ±67.928. Hasil

analisa statistik didapatkan hasil p < 0,001 (<0,05), menunjukkan ada perbedaan bermakna antara rerata biaya BMHP pasien BPJS PBI dengan pasien umum. Bahan medis yang dipakai pada waktu operasi sudah

termasuk dalam tarif operasi. Dalam pemakaian bahan medis habis pakai bagi pasien umum, terdapat keleluasaan untuk mempergunakan jenis bahan medis

yang dipakai. Namun untuk pasien BPJS PBI ada

sistem kendali biaya untuk efisiensi pembiayaannya. Rerata biaya pemeriksaan penunjang pasien BPJS PBI sebesar Rp.666.266,17 ±112.931 dan rerata

biaya pemeriksaan penunjang pasien umum sebesar Rp.745.150 ±145.446,17. Uji bivariat t tidak berpasangan menunjukkan hasil p = 0,023 (<0,05), secara statistik menunjukkan ada perbedaan bermakna

Saergesser (1976) merekomendasikan untuk mela-kukan pemeriksaan darah rutin pada semua pasien apendisitis. Pemeriksaan kimia darah, Ro thorax, EKG

dilakukan untuk mengetahui kondisi pasien atau komplikasi yang ada.

Jenis pemeriksaan penunjang yang dilakukan tergantung kondisi pasien dan dokter yang mengajukan

permintaan pemeriksaan. Karena clinical pathway belum diterapkan dengan optimal, jenis pemeriksaan penunjang yang dilakukan menjadi sangat bervariasi. Untuk lebih mengendalikan pemeriksaan penunjang,

perlu dilakukan penatalaksanaan pasien apendisitis dengan menggunakan clinical pathway serta dilakukan penghitungan unit cost berdasar clinical pathway yang

sudah disusun.

Tabel 2. Hasil analisis uji t tidak berpasangan biaya

total

n Rerata±sd p

BPJS PBI 30 3.610.926

± 199.217

<0,001

Pasien Umum

30 4.291.737,33

±448.965,97

Rerata biaya total pasien BPJS PBI sebesar Rp. 3.610.926 ±199.217 dan rerata biaya total pasien umum sebesar Rp. 4.291.737,33±448.965,97. Dari

analisa bivariat didapatkan hasil p< 0,001 (<0,05) yang menunjukkan ada perbedaan bermakna antara rerata biaya total pasien BPJS PBI dengan pasien

umum

SIMPULAN

Rata-rata hari rawat pasien BPJS PBI 4 (4-6) hari dan pasien umum 6 (4-7) hari. Terdapat perbedaan yang signifikan (p<0,001) antara rerata hari rawat

(5)

tingkat efisiensi yang lebih baik pada penanganan

apendisitis tanpa komplikasi terhadap pasien peserta BPJS PBI dibanding pasien umum. Terdapat perbedaan yang signifikan (p<0,05) rerata beberapa

komponen biaya penatalaksanaan apendisitis tanpa komplikasi ( obat, pemeriksaan dokter, akomodasi, BMHP, pemeriksaan penunjang, biaya total). Tidak ada perbedaan biaya operasi apendiktomi pada peserta

BPJS PBI maupun pasien umum karena biaya operasi mengacu peraturan daerah. Pada biaya perawatan, meskipun rerata biaya perawatan pasien BPJS PBI

sebesar Rp.442.250 (303.000-688.500) lebih rendah dari rerata pasien umum sebesar Rp.492.750 (194.500-867.500), tetapi secara statistik tidak terdapat perbedaan yang signifikan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Fauzi, Muhammad 1997, Faktor-faktor yang berhubungan dengan Lama Hari Rawat Pasien Bedah RSUD Tangerang, Tesis Program Pasca

Sarjana Program Studi Kajian Administrasi Rumah Sakit UI,

2. Firmanda, D 2008, Pengendalian Mutu dan Efisiensi Pembiayaan Layanan Kesehatan dari

Perspektif Rumah Sakit. Makalah Evaluasi Program Pelayanan Askes Terpadu Rumah Sakit (PPATRS) diselenggarakan oleh Kantor Pusat PT Askes (Persero) di Hotel Panorama Batam 10

Desember 2008

3. Gunardi,Indrawati 1997, Hubungan antara system pembayaran dengan kualitas pelayanan operasi apendisitis kasus pasien Askes dan

pasien umum di Unit Bedah RS Kepolisian Pusat 1995-1996, Tesis, Program Pasca Sarjana Program Studi Kajian Administrasi Rumah Sakit

UI

4. Mosley,SK and Richard M.Grimmes 1976. The organization of efective Hospital, Health Care Management Review, Vol.1, No 32, Summer

5. Murti, Bhisma 2000, Dasar-dasar asuransi kesehatan, penerbit Kanisius Yogyakarta 6. Murti Bhisma 2010, Strategi untuk mencapai

cakupan universal pelayanan kesehatan di

Indonesia, Makalah Temu Ilmiah Reuni Akbar FK-UNS, di Surakarta, 27 November.

7. Peraturan Presiden RI nomor 12 tahun 2013

tentang Jaminan Kesehatan

8. Saergesser, Max. 1976 Spezielle Chirurgische Therapie, Verlag Hans Huber Bern, Switzerland.

9. Spencer, Schwatrz Shires, 1994: Principal of Surgery, 6th edition, Mc Graw Hill International Edition, Health Profesion series.

10. Septianis. D, Misnaniarti dan Alwi, Masnir 2010

Perbandingan biaya pelayanan tindakan medik operatif terhadap tarif INA-drg pada program jamkesmas Di RSUP Dr. Mohammad Hoesin

Palembang, Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Vol. 13,

11. Undang-undang nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

12. WHO 2009 World Health Statistics 2009,

Gambar

Tabel 2. Hasil analisis uji t tidak berpasangan biaya total

Referensi

Dokumen terkait