146
Oleh: Abidin Nurdin
(Dosen Agama FISIP Unimal, Lhokseumawe) Email: [email protected]
Abstrak
This paper discuss about the principles and the source of Islamic law. The human nature (fithrah) is to understand good and bad thing and also the right and the wrong thing. Fithrah is the basic element of human being, which connected intuition, heart and conscience. This is also reinforced by religion (revelation), or its derived nature (fithrah al-munazzalah). The main sources for Islamic law are the Qur'an and Sunnah, also ijtihad. Basically Islamic law is straight forward with the the humanism, which means its harmony with humanity. The reason of syariah revelation is for the good sake of human being. Then the principles of Islamic law, are tawhid, justice, amar makruf nahi mungkar, al-Hurriyah (independence and freedom), egalitarian (equality), ta'awun (mutual help) and Tasamuh (tolerance).
Kata Kunci: Hakekat Manusia, Sumber dan Prinsip Hukum Islam.
A. Pendahuluan
Otoritas dan otentitas al-Qur’an tak dapat diragukan lagi kehujjahannya
dalam perspektif hukum.1 Ia mengandung prinsip-prinsip dan tata nilai yang menjadi pedoman hidup bagi manusia. Sehingga al-Qur’an menjadi sumber
1
Al-Qur’an sangat sejalan dengan eksistensi materis, karena ia adalah wahyu dari
pencipta eksistensi (khaliq al-wujud), pencipta dialektika (khaliq al-jadal) dan pencipta
keberakhiran (khaliq al-gha’iyyah). Al-Qur’an adalah satu-satunya bukti teoritis yang tidak
mungkin mengandung kesalahan atau kebatilan dan berbagai segi. Dan bahwa kehidupan, kebebasan dan kesejahteraan manusia adalah tujuan duniawi, dan syurga adalah tujuan ukhrawi. Kebaikan dan keburukan adalah dua hal yang saling terkait dalam bentuk yang tak
terpisahkan. Lebih lanjut lihat Muhammad Shahrur,Metodologi Fiqh Islam Kontemporer,Terj.
oleh Sahiron Syamsuddin, (Yogyakarta: eLSAQ, 2004), hal. 65. Kemudian diskursus mengenai
masalah pembacaan atau interpretasi baru terhadap al-Qur’an terutama pendekatan
hermeneutika dapat dilihat dalam karyanya, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Qur’an
hukum Islam yang pertama dan utama,2 yang kemudian mewarnai seluruh sendi kehidupan umat Islam sepanjang sejarah.
Sebagian ayat-ayat al-Qur’an mengandung prinsip-prinsip yang masih bersifat universal. Ayat-ayat semacam ini kemudian dijelaskan oleh Rasulullah saw. sehingga penjelasannya (mubayyan) disebut sebagai sunnah atau hadis. Sunnah dianggap sebagai refresentasi dan interpretasi terhadap al-Qur’an yang
teraplikasi dalam tradisi hidup Nabi yang diikuti oleh para sahabat. Sehingga pada konteks tersebut sumber hukum telah bertambah menjadi dua yaitu sunnah, setelah al-Qur’an.
Proses interpretasi terhadap kedua sumber hukum tersebut semakin lama semakin dibutuhkan, sebab persoalan-persoalan yang baru terus muncul yang membutuhkan jawaban. Termasuk di dalamnya mengkritisi penafsiran-penafsiran ulama klasik, menurut Khaled Abou el-Fadhl bahwa interpretasi
terhadap syari’at merupakan sebuah keniscayaan. Menyumbat proses penafsiran merupakan sebuah bentuk kezaliman.3
Langkah interpretasi, rekonstruksi dan redefenisi terhadap nash
merupakan langkah yang paling bijak untuk tetap mengharmonisasikan syari’at
Islam dengan tuntutan zaman. Langkah tersebut dalam ushul fiqh disebut ijtihad, yaitu mengeluarkan seluruh kemampuan untuk mengistimbathkan hukum dari al-Qur’an dan Sunnah. Proses inilah yang kemudian harus
dilakukan secara sungguh-sungguh oleh para ulama agar Islam tetap mampu
menjadi pandangan dan jalan hidup, sebagaimana arti syari’at itu sendiri yaitu
jalan menuju air kehidupan.
Sebab tujuan diturunkannya syari’at oleh Allah swt adalah untuk
kemaslahatan dan kesejateraan manusia itu sendiri. Olehnya tidak mungkin ada prinsip-prinsip syariat yang bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan,
sebaliknya syari’at Islam sangat sarat dengan dimensi humanisme. Sebab itu juga dalam ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara mengenai persoalan-persoalan sosial kemasyarakatan lebih banyak dan panjang disbanding ayat-ayat yang
lain. Hal ini membuktikan bahwa syari’at memang untuk kemaslahatan manusia.
2
Hukum dalam makna kata asalnya adalah al-hukm, bermakna lebih luas daripada
yang biasa dipahami dalam percakapan sehari-hari. Dalam hal ini pengertian hukum tidak lepas
dari kedalam dan keluasan makna perkataan Arabal-hukmdanhikmahyang mengarah kepada
perkataan wisdom (kebijaksanaan). Bahkan kata tersebut juga digunakan untuk pengertian
seluruh ajaran Islam.Hal tersebut menunjukkan bahwa antara hukum dan hikmah yang berarti kebijaksanaan adalah suatu hal yang tak dapat dipisahkan. Itulah sebabnya seseorang yang menegakkan hukum harus bijaksanaan sebagaimana esensi hukum itu sendiri. Nurcholish
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan,
Kemanusiaan dan Kemoderenan, Cet.IV, (Jakarta: Paramadina, 2000), hal. 319. 3
Khaled M. Abou el-Fadhl,Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif,
Berkait dengan hal tersebut, makalah ini bermaksud membahas mengenai masalah hakekat manusia, sumber-sumber hukum dan prinsip-prinsip hukum dalam konteks filsafat hukum Islam.4 Studi tersebut menarik untuk kaji, sebab membahas hukum dalam perspektif filsafat berarti mendudukan hukum dalam kerangka pikir dan sistimatika yang jelas.
B. Hakekat Manusia
Manusia adalah satu-satu ciptaan Allah swt. yang teramat mulia. Sebab manusia diberikan potensi akal. Dengan akal, manusia mampu membedakan yang baik dan buruk. Esensi dan hakekat manusia adalah makhluk dalam citra kesucian, kesucian tersebut merupakan desain Tuhan pada manusia. Kesucian manusia disebut sebagai fithrah, yaitu kecenderungan untuk menyembah kepada Tuhan.
Menurut Ibnu Taymiyyah dasar ilmu pengetahuan manusia adalah fithrahnya; dengan fithrah manusia dapat mengetahui baik dan buruk, dan tentang benar dan salah. Fithrah merupakan asal kejadian manusia, yang menjadi satu dengan dirinya melalui intuisi, hati kecil, hati nurani dan lain-lain, diperkuat oleh agama (wahyu), atau fithrah yang diturunkan (fithrahal-munazzalah).5
Konsep fithrah manusia dan tiga potensi utama: 1) quwah al-aql (potensi akal), 2) al-quwah aal-syahwah (potensi nafsu), 3) quwah al-ghaldlah atau al-da’fi’ah (potensi marah). Quwah al-aql adalah potensi tertinggi manusia yang berfungsi untuk mengetahui (ma’rifatullah) serta mengimani, mengesakan dan mencintai Tuhan. Yang amat menarik ialah bahwa epistimologi Ibnu Taymiyyah yang Hanbali berdasarkan fithrah itu
paralel dengan epistimologi Abu Ja’far Muhammad Ibn Ali al-Husain Babwayh al-Qummi (w. 381), seorang ahli ilmu kalam terkemukan kalangan
Syi’ah. Al-Qummi, dengan mengutip berbagai hadis, memperoleh penegasan bahwa pengetahuan tentang Tuhan diperoleh manusia melalui fithrahnya, dan
4
Hasby Ash-Shiddieqy mengatakan bahwa filsafat hukum ialah, setiap kaidah, asas, ataumabda’atau aturan-aturan yang digunakan untuk mengendalikan masyarakat Islam, baik
akidah itu merupakan ayat al-Qur’an ataupun merupakan hadis, maupun merupakan pendapat
sahabat dan tabi’in, atau suatu pendapat yang berkembang di suatu masa dalam kehidupan
umat Islam atau pada suatu bidang-bidang masyarakat Islam. Hasby Ash-Shiddieqy,Falsafah
Hukum Islam,(Semarang: Pustaka Rizki, 2000), hal. 23. 5
Nurcholish Madjid, ibid., hal. 213. Belakangan para ilmuan Barat mengakui bahwa
pada diri manusia terdapat suatu esensi diluar dirinya yang fitri dan alami yang berada dalam alam bawa-sadar manusia. Manusia juga terkadang melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan perhitungan material. Perbuatan tersebut merupakan perbuatan keagamaan, misalnya; ketulusan, keikhlasan, kerinduan, keramahan, kecintaan dan pengorbanan. Tokoh-tokoh Barat yang dimaksud misalnya; Carl Gustv Jung, William James, dan Albert Einstein.
Lebih lanjut lihat Murthadha Muthahhari, Prespektif Al-Qur’an Tentang Manusia dan Agama,
hanya dengan adanyafithrahitulah manusia mendapat manfaat dari bukti-bukti dan dalil-dalil.Maka sejalan dengan itu, Ibnu Taymiyyah menegaskan bahwa pangkal iman dan ilmu ialah ingat (zikir) kepada Allah.6 Inilah yang dimaksud sebagaial-quwah aqal, yaitu kemampuan atau daya manusia untuk mengetahui Tuhan dan sesuatu yang baik dan buruk. Potensi ini ada dalam diri manusia sejak ia lahir secarafithrawi.
Quwah al-syahwat berfungsi untuk menginduksi segala yang menyenangkan. Sedangkan daya syahwat berfungsi sebagai daya ofensif, daya ini berfungsi untuk menginduksi obyek-obyek yang bermanfaat dan menyenangkan.7 Syahwat tersebut dapat mengantarkan manusia untuk mendapatkan keinginannya, namun juga terkadang menjerumuskan manusia pada nafsu sesat. Daya syahwat bagaikan pisau bermata dua yang berfungsi ganda, ia dapat mendatangkan manfaat tetapi jugamudharat.
Sedangkan al-Quwah al-gadlab berfungsi mempertahankan diri. Yaitu mengfungsikan ide-ide bawaan yang inheren di dalam diri manusia itu memerlukan bantuan dari luar dirinya yang bersifat eksternal. Akan tetapi, faktor eksternal yang dapat membantu memfungsikan ide-ide bawaan itu harus sesuai dengan potensi yang telah ada secara inheren di dalam diri manusia. Faktor eksternal itu tiada lain ialah fihtrah al-munazzalah (wahyu). Nisbah antara ide bawaan atau fithrah dengan fithrah al-munazzalah ialah: nisbah antara mata dengan cahaya. Mata dapat melihat karena ada cahaya. Fihtrah manusia dapat beraktualisasi karena ada wahyu.8 Daya ghalab berfungsi defensif, yakni untuk menghindarkan diri, secara naluriah, dari segala yang membahayakan. Oleh karena itu, daya ini sering kali disebut juga al-quwwah al-da’fiyahyang secara harfiyah pun berarti daya defensif.
Fithrahal-munazzalah atau wahyu tersebut berada diluar diri manusia, dan berfungsi untuk membantu manusia itu sendiri. Wahyu kemudian menjelaskan perincian perbuatan yang baik dan harus dilakukan manusia serta perbuatan buruk yang harus ditinggalkan. Dengan fithrah yang difungsikan secara maksimal, panduan wahyu, fithrah manusia lebih cepat berfungsi sehingga daya akal segera mengetahui Allah (ma’rifatullah) dan mengimani-Nya serta mengesakan-mengimani-Nya; mentaati perintah-perintah-mengimani-Nya serta menjauhi segala larangan-Nya; membenarkan Allah dan Rasul-Nya.9
6
Nurcholish Madjid,op. cit., hal. 214.
7
Juhaya S. Praja,Filsafat Hukum Islam,Bandung: Lathifah Press Kerjasama dengan
Fakultas Syariah IAILM Suryalaya, Tasikmalaya, 2004),hal. 33. 8
Juhaya S. Praja, Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam dan Penerapannya di
Indonesia,Cet. I, ( Jakarta: Teraju, 2002), hal. 166. Lihat juga Juhaya S. Praja, Paradigma dan Penalaran Fiqh dalam Konteks Kekinian dan Keindonesiaan, Makalah dipresentasikan pada Annual Conference PPs IAIN/UIN/STAIN Se-Indonesia, 16-20 Desember 2004, hal. 7.
9
Potensi-potensi di atas merupakan alat pacu atau penggerak yang dianugrahkan Allah kepada manusia. Dengan gerak atau al-harakah inilah manusia dapat membedakan perbuatan mana yang bermanfaat dan perbuatan mana yang membahayakan atau mudharat. Fithrah merupakan potensi yang menggerakkan manusia itu adalah anugrah Allah. Ia bagaikan cahaya Allah di muka bumi ini serta manifestasi keadilan-Nya. Dengan fithrah itu manusia dapat membedakan dan memilih perbuatan apa yang harus dilakukan apa perbuatan apa yang harus dihindarkan atau dilakukan. Bahkan fithrah itu pun bukan hanya potensi-potensi sebagaimana dijelaskan di atas, melainkan juga indera atau al-hiss seperti yang dimiliki hewan. Fithrah lebih sekedar al-hiss atau indera, karena fithrah manusia dapat membedakan perbuatan yang baik atau buruk, baik di dunia maupun di akhirat.10
Di samping potensi-potensi tersebut diatas dalam konteks kehidupan Allah juga mengutus Rasul yang membawa wahyu untuk memberikan informasi tentang kebenaran dan kebaikan. Sebab manusia tidak akan mampu menjangkau kebenaran Mutlak atau Tuhan, hal merupakan suatu yang mustahil. Kebenaran mutlak hanya ada pada Tuhan saja. Pengetahuan yang benar tentang wujud ini dapat diperoleh hanya jika seseorang meneliti langsung apa yang ada sebagai particular-partikular (al-juziyyat), bukannya pada abstraksi-abstraksi filosofis. Hal yang sama juga berlaku untuk pengetahuan tentang Tuhan, yang hanya dapat diperoleh dengan sikap percaya kepada wahyu-Nya, dan dengan menghayati wahyu itu menurut bahasa apa adanya. Melalui partisipasi dalam dinamika al-Qur’an yang bahasa puitiknya merupakan suatu unsur mu’jizat itu seseorang akan mampu menangkap sumber vitalistas keagamaan bukannya lewat teologi dan pemikiran spekulatif.11
Berbeda dengan filosof sebelumnya seperti al-Kindi, al-Farabi, al-Razi maupun Ibnu Sina yang beranggapan bahwa dengan akal rasional (filsafat), manusia dapat mencapai kebenaran ketuhanan. Sebab antara filsafat dan agama fungsinya sama yaitu sama-sama mencari kebenaran. Sedangkan kajian lebih lanjut terutama pandangan Suhrawardi al-Maqtul dan Mulla Sadra mereka lebih merinci pandangan sebelumnya jalan manusia untuk yaitu pada wahyu (qur’ani-bayani), rasio (burhani-demostratif) dankasyf(irfani-sufistik).12Kajian
10
Ibid.
11
Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, Cet. I., (Jakarta: Bulan Bintang,
1994), hal. 40-45. 12
Abdul Hadi, Filsafat Pasca-Ibnu Rusyd dalam Nurcholish Madjid dan Budhy
Munawar Rahman (Editor), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban Jilid IV, (Jakarta: Ichtiar baru Van Hoeve, 2002), hal. 230. Bandingkan dengan Hasyimsyah
yang nampak lebih komprehensip mengenai hubungan antara ketiga penalaran tersebut adalah pandangan Muhammad Abed al-Jabiry.13
C. Sumber Hukum Islam
1 Al-Quran
Al-Qur’an merupakan sumber utama dan pertama hukum Islam, sekaligus dalil utama dalam fiqh.14 Al-Qur’an membimbing dan memberikan
petunjuk untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung dalam ayat-ayatnya. Oleh karena itu, jika seseorang ingin menemukan hukum untuk suatu kejadian, maka tindakan pertama yang harus dilakukan adalah mencari jawaban penyelesaian dalam al-Qur’an. Selama hukumnya dapat ditemukan
dalam al-Qur’an maka tidak boleh mencari jawaban lain selain dalam al
-Qur’an.15
Kedudukan al-Qur’an sebagai sumber utama atau pokok hukum Islam, berarti al-Qur’an itu menjadi sumber dari segala sumber hukum. Karena itu,
jika akan menggunakan sumber hukum lain di luar al-Qur’an maka tidak boleh
bertentangan dengan al-Qur’an. Hal ini berarti sumber-sumber hukum selain al-Qur’an tidak boleh menyalahi apa-apa yang telah ditetapkan dalam
al-Lihat Muhammad Abed al-Jabiri, Formasi Nalar Arab: Kritik Tradisi Menuju
Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interrelegius, Terjemahan Imam Khori (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003), hal. 5-12.
14
Para fuqaha perpendapat bahwa dalam al-Qur’an terdapat sekitar 500 ayat-ayat
tentang hukum. Jika dibandingkan dengan keseluruhan materi al-Qur’an, ayat-ayat hukum
cenderung kecil, dan hal itu memberi kesan yang salah bahwa al-Qur’an memperhatikan aspek
-aspek hukum, akan tetapi jika dilihat ayat-ayat yang membicarakan tentang hukum, maka ayat tersebut dua kali atau tiga kali lebih panjang dari ayat-ayat yang tidak berbicara tentang
hukum. Lihat Wael B. Halleq, Sejarah Teori Hukum Islam: Pengantar Untuk Ushul Fiqh
Mazhab Sunni,Terj. (Jakarta: Rajawali Press, 2000), hal. 4-5. 15
Amir Syarifuddin,Ushul Fiqh Jilid I, (Jakarta: Logos, 1997), hal. 73.
16
Ibid.Kekuatan hujjah al-Qur’an sebagai sumber hukum dapat dikaji dari al-Qur’an
sendiri yang memerintahkan umat manusia mematuhi Allah yang disebut lebih dari 30 kali
dalam al-Qur’an. Perintah mematuhi Allah berarti perintah untuk mengikuti apa-apa yang
diucapkan-Nya. Ismail Muhammad Syah dkk., Filsafat Hukum Islam,(Jakarta: Bumi Aksara,
1992), hal. 36. 17
Di satu sisi benar bahwa hanya terdapat sekitar 500 ayat (atau 600 menurut sebagian
ulama) dari seluruh ayat al-Qur’an yang berjumlah 6.219 ayat yang mengandung elemen
hukum, dan itupun sebagian besar berkaitan dengan ibadah ritual. Hanya sekitar 80 ayat yang mengandung pembahasan pokok tentang hukum, dalam pengertian menggunakan istilah hukum secara langsung dan jelas. Di sisi lain, tidak hanya 80 ayat itu saja yang dikonstruksi sedemikian rupa sehingga menjadi intisari yang sangat jauh artinya dari ayat-ayat itu. Bahkan ayat-ayat hukum pun dikontruksi dengan berbagai cara sehingga bermuatan dan berimplikasi
Qur’an dinukilkan secara mutawatir, melalui perantaraan Malaikat Jibril kemudian sampai ke Rasulullah selanjutnya kepada para sahabat. Sehingga menimbulkan keyakinan tentang kebenaran karena disampaikan oleh banyak orang yang mustahil untuk berbohong. Konsekwensi logis dari periwayatan mutawatir tersebut menyebabkan al-Qur’an bersifat qath’isubut artinya,proses penyampaian dan penerimaan riwayatnya dapat dipertanggungjawabkan secara kuat, danqath’i al-dilalah.18
Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa seluruh ayat al-Qur’an dari segi
lafazh dan maknanya adalah qath’iy al-wurud. Artinya, semua lafazh dan maknanya datang dari Allah tanpa diragukan lagi keasliannya. Itulah yang membuat al-Qur’an mutawatir. Sedangkan dari segi dalalah hukumnya, sebagian qathiy al-dalalah dan sebagai lagi zhanniy al-dalalah. Qathiy al-dalalah berarti ketentuan hukumnya tidak membutuhkan penafsiran lagi. Sedangkan ketentuan hukum zhanniy al-dalalah adalah mengandung dan menampung berbagai penafsiran.19
2 Hadis
Pada dasarnya hadis20 Nabi berfungsi untuk menjelaskan hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an. Hukum dalam al-Qur’an teraplikasi
dalam praktek-praktek ibadah yang dilakukan oleh Nabi saw. praktek-praktek tersebut merupakan penjelasan yang bertujuan agar hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah dapat terlaksana secara sempurna oleh umat.21
Dari segi bentuk penjelasan Nabi terhadap hukum yang disebutkan dalam al-Qur’an, terdapat beberapa bentuk penjelasan. Penjelasan Nabi secara
adalah perintah langsung dan komperhensif dari Tuhan. Konsekuensinya, seluruh sumber dan teknik lainnya, baik prinsip (cara) individu atau aturan syari’ah, hatus berdasarkan al-Qur’an
atau paling tidak menunjukkan konsistensi dengan petunjuk al-Qur’an. Lebih lanjut lihat
Abdullahi Ahmed An-Na’im, Dekontruksi Syari’ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi
Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam,(Yogyakarta: LKiS, 1994), hal. 39. 18
Mukhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam,
(Bandung: al-Ma’arif, 1986), hal. 32- 38.
19
Fathurrahman Djamil,Filsafat Hukum Islam,(Jakarta: Logos, 1997), hal. 84.
20
Fazlurrahman membedakan antara hadis dan sunnah, hadis diartikan sebagai tradisi verbal sedangkan sunnah adalah tradisi praktis. Kemudian ia menyimpulkan; pertama, sunnah dan hadis ada bersama-sama dan memeliki substansi yang sama pada masa yang paling awal sesudah Nabi dan bahwa keduanya diarahkan kepada dan memperoleh normatifitasnya dari
Nabi. Kedua, kita juga telah mencatat bahwa konsep sunnah, karena ia berarti “tradisi yang hidup yang diam” maka ia lalu memiliki arti tradisi yang hidup dalam setiap generasi berikutnya. Karena itu, walaupun sunnah sebagai suatu konsep merujuk kepada prilaku Nabi, namun isinya dengan sendirinya pasti mengalami perubahan dan sebagian besar berasal dari praktek aktual masyarakat Muslim. Tetapi praktek aktual dari suatu masyarakat yang hidup mestilah terus-menerus menjadi subyek modifikasi melalui tambahan-tambahan. Lihat
penjelasannya dalam Fazlurrahman, Islam Terjemahan oleh Ahsin Mohammad, Cet. III,
(Bandung: Pustaka, 1997), hal. 68-72. 21
jelas dan rinci sehingga tidak mungkin ada pemahaman lain. Walaupun dalam al-Qur’an beberapa hukum bersifatmujmal(secara garis besar), namun dengan penjelasan Nabi secara rinci lafaz-lafaz yang menunjukkan hukum itu menjadi jelas. Fungsi untuk memperjelas itu, disebutmubayyan.22
Secara umum hadis menjelaskan (bayan) al-Qur’an antara lain;
Pertama,bayan tafsir, yaitu menerankan apa yang tidak mudah dipahami atau tersembunyi pengertiannya), seperti ayat-ayat mujmal dan musytarak.23 Sebagai, contoh dalam al-Qur’an perintah shalat diungkapkan beberapa kali,
tetapi tidak satupun yang menjelaskan cara dan kaifiyyahnya. Dengan demikian, perintah shalat itu dalam bentuk mujmal, oleh karenanya belum dapat dilaksanakan menurut apa adanya sebelum ada penjelasan dari Nabi. Untuk memberikan penjelasan terhadap cara dan bentuk shalat secara sempurna maka Hadis Nabi menjelaskan mengenai tata caranya. Nabi bersabda: “Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat saya shalat.” Oleh karena itu, penjelasan yang diberikan oleh Nabi begitu rinci, sehingga dapat dipahami secara baik oleh sahabat. Dalam hal ini tidak timbul perbedaan pendapat dalam memahami sunnah yang menjelaskan ayat al-Qur’an
tersebut.24
Kedua, bayan taqrir, yaitu keterangan yang didatangkan oleh hadis untuk menambah kuat apa yang telah disampaikan oleh Al-Qur’an. Misalnya,
Nabi melaksanakan puasa setelah melihat bulan; Nabi mengatakan:
“Berpuasalah kamu sesudah melihat bulan dan berbukalah kamu sesudah melihatnya”. Hadis ini merupakan bayan taqrir dari ayat al-Baqarah 185 tentang puasa.25
Kehujjahan sunnah sebagai sumber hukum tak dapat dipungkiri sebab hal tersebut juga dijustifikasi oleh al-Qur’an sendiri misalnya, Ali Imran; 32,
al-Nisa; 80, al-Ahzab; 36 dan sebagainya. Jadi dengan demikian, keyakinan terhadap sunnah secara tidak langsung juga yakin akan kebenaran al-Qur’an
atau dengan kata lain, percaya kepada Rasul juga bagian dari kepercayaan kepada Allah. Oleh karena itu, dasar yang dikemukakan oleh orang yang ingkar sunnah adalah sesuatu yang tidak kuat.
22
Ibid., hal. 91. 23
Menurut Imam Syafi’i bahwa fungsi hadis terhadap al-Qur’an yaitu; 1)bayan tafsil
yakni menjelaskan ayat-ayat yang mujmal atau yang sangat ringkas petunjuknya; 2) bayan
takhsis, ialah menentukan sesuatu dari ayat-ayat umum; 3) bayan ta’yin, yakni menentukan
mana yang dimaksud dari dua tiga perkara yang mungkin dimaksudkan; 4) bayan tasyri’,
menetapkan sesuatu hukum yang tidak ada dalam al-Qur’an (contohnya: sunnah
mengharamkan keledai kampung); 5)bayan naskh,yaitu menentukan mana yang dinasikhkan
dan mana yang dimansukhkan dari ayat-ayat al-Qur’an yang kelihatannya berlawanan. M.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,
2001), hal. 157-164. 24
Amir Syarifuddin,loc. cit.
25
Kemudian ijma dan qiyas merupakan sumber hukum Islam yang
dihasilkan dari ijtihad seperti yang kemukakan oleh Imam Syafi’i bahwa selain
al-Qur’an dan Sunnah, ijma’ dan qiyas juga termasuk. Namun Imam Syafi’i
memahami qiyas sama dengan ijtihad, meskipun ulama lain memperluasnya dalam bentuk istihsan (Abu Hanifa) dan maslahah al-mursalah (Imam Malik).26 Kemudian, menurut Ahmed An-Na’im bahwa keduanya
diterjemahkan dengan konsesus dan penalaran melalui analogi. Ijtihad (penalaran hukum secara independen), yang terkadang dianggap sebagai sumber hukum dalam catatan tradisi-tradisi awal. Walaupun ijma’ dan qiyas tidak secara jelas disebutkan dalam al-Qur’an dan sunnah sebagai sumber
hukum, namun perkembangan kedua konsep ini merupakan produk dari sumber yang disepakati yaitu ijtihad, para ahli hukum pendiri abad II dan III hijriyah.27
Meskipun ada sebagian ulama yang memasukkan ijma dan qiyas sebagai sumber hukum yang diperselisihkan, namun demikian nampaknya keduanya lebih cenderung dapat dikatakan sebagai metode penalaran hukum. Kemudian al-Qur’an dan sunnah sebagai sumber hukum atau nash dan dalil. D. Prinsip-Prinsip Hukum Islam
1 Tauhid
Tauhid adalah prinsip umum hukum Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua manusia ada dibawah suatu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan
tauhid yang dinyatakan dalam kalimat “ ” (tiada Tuhan melainkan
Allah). Prinsip ini dipahami dari firman Allah swt. antara lain, dinyatakan dalam al-Qur’an surah Ali Imran: 64;
َن ﻮ ُﻤ ِﻠ ْﺴ ُﻣ
28
Berdasarkan prinsip tauhid ini, maka pelaksanaan hukum Islam merupakan ibadah. Ibadah dalam arti perhambaan manusia dan penyerahan dirinya kepada Allah sebagai manifestasi pengakuan atas ke-Mahaesaan-Nya dan manifestasi kesyukuran kepada-Nya. Dengan demikian, tidak boleh terjadi
26
Juhaya S. Praja,Filsafat Hukum…op. cit.,hal. 62.
27
Abdullahi Ahmed An-Na’im,op. cit.,hal. 39.
28
saling mentuhankan sesama manusia atau sesama makhluk lainnya. Pelaksanaan hukum Islam adalah ibadah dan penyerahan diri manusia kepada keseluruhan kehendak-Nya.
Prinsip tauhid ini pun menghendaki dan mengharuskan manusia untuk menetapkan hukum sesuai apa yang diturunkan Allah (al-Qur’an dan Sunnah).
Allah adalah pembuat hukum. Barang siapa yang tidak menetapkan hukum berdasarkan hukum-hukum Allah, maka orang terebut dapat dikategorikan ke dalam kelompok orang yang kafir dalam arti yang menutupi dan mengingkari kebenaran; kelompok orang zhalim dalam arti yang membuat ketetapan hukum berdasarkan hawa nafsu dan merusak orang lain; kelompok orang fasik dalam arti orang yang tidak konsisten dalam bertauhid. Orang-orang seperti tersebut di atas digambarkan dalam al-Qur’an surah al-Maidah: 44,45 dan 47;
Karena prinsip tauhid ini merupakan prinsip umum, maka ada prinsip-prinsip khusus yang merupakan kelanjutan dari prinsip-prinsip tauhid ini terdapat dalam setiap cabang hukum Islam. Umpamanya prinsip-prinsip tauhid yang melahirkan prinsip-prinsip khusus yang berlaku dalam fiqh ibadah sebagaimana dijelaskan dibawah ini;
a. Prinsip pertama: Berhubungan langsung dengan Allah tanpa perantara. Prinsip ini berarti bahwa tak seorang pun manusia dapat menjadikan dirinya sebagai zat yang wajib disembah. Nabi dan Rasul pun hanyalah manusia pilihan yang bertugas menyampaikan (tabligh) pesan-pesan Allah. Mereka adalah perantara (wasit) dan mempunyai tugas menyampaikan pesan-pesan Allah (muballigh) yang sama sekali tidak berhak disembah.
Dengan demikian, Allah adalah “dekat” dengan manusia walaupun Ia tetap
transenden. Firman-firman Allah yang menjadi landasan prinsip ini antara lain; surah al-Gafir; 60: al-Baqarah; 186;
30
29
Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dhalim. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.(QS. al-Maidah: 44,45 dan 47).
30
b. Prinsip kedua: Beban hukum (taklifi) ditujukan untuk memelihara akidah dan iman, penyucian jiwa (tazkiya al-nafs) dan pembentukan pribadi yang luhur. Atas prinsip tersebut inilah hamba-hamba Allah dibebani ibadah sebagai bentuk kesyukuran atas nikmat Allah. Pembelanjaan harta di jalan Allah, baik sadaqah, infaq, zakat, dan sebagainya. Pelaksanaan shalat demi terpeliharanya akidah dan iman serta penyucian jiwa. Firman-firman Allah yang menjadi rujukan penarikan prinsip di atas, antara lain, al-Baqarah; 185:
31
Ayat di atas adalah kelanjutan dari ayat yang menjelaskan kewajiban bersuci (berwudhu) atas orang yang hendak menunaikan ibadah shalat.
Berdasarkan atas prinsip tauhid dan prinsip-prinsip yang mengikutinya dalam bidang ibadah tersebut di atas, maka terumuskanlah asas hukumnya. Asas hukum ibadah itu, antara lain azas kemudahan atau meniadakan kesulitan
yang berbunyi: ‘adam al-haraj. Setelah ada prinsip dan asas hukum, terumuskan pula kaidah-kaidah hukum ibadah, seperti;
1) Pada pokoknya ibadah itu tidak wajib dilaksanakan, dan pelaksanaan ibadah itu hanya mengikuti apa saja yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya.
2) Kesulitan dalam melaksanakan ibadah akan mendatangkan kemudahan Berdasarkan prinsip, asas, dan kaidah hokum itulah kemudian dijumpai adanya dispensasi (rukhshah) yang merupakan keringanan dalam melaksanakan ibadah. Misalnya: keringanan berupa kebolehan menjamak
bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo`a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS. Al-Baqarah: 186).
31
shalat dan menqasar shalat, disebabkan karena sakit atau dalam keadaan musafir.
2 Keadilan (al-Adalah)
Term keadilan pada umumnya berkonotasi dalam penetapan hukum atau kebijaksanaan raja. Akan tetapi, keadilan hukum Islam meliputi berbagai aspek kehidupan. Apalagi dalam bidang dan sistem hukum.32 Dengan demikian, konsep keadilan yang merupakan prinsip kedua setelah tauhid meliputi keadilan dalam berbagai hubungan: hubungan antara individu dengan diri sendirinya; hubungan antara individu dengan manusia dan masyarakatnya; hubungan antara individu dengan hakim dan perkara serta hubungan-hubungan dengan berbagai pihak yang terkait.
Al-Qur’an memperingatkan dalam berbagai ayat bahwa jiwa manusia
cenderung mengikuti hawa nafsu. Kecintaan dan kebencian merupakan faktor yang memungkinkan manusia mendahulukan kebatilan daripada kebenaran; mendahulukan kezaliman daripada keadilan. Surah Al-Maidah: 8 menegaskan;
ُﻟِﺪ ْﻋ ا ا ﻮ ُﻟ ِﺪ ْﻌ َﺗ ﱠﻻ َأ
33
Allah memerintahkan manusia untuk berlaku adil dalam segala hal. Keharusan berlaku adil itu terutama ditujukan kepada mereka yang mempunyai kekuasaan, atau yang mempunyai hubungan dengan kekuasaan. Mereka adalah para pemimpin yang berpengaruh terhadap masyarakat, seperti mufti, pemerintah, juru dakwah dsb. Berdasarkan al-Qur’an surah al-‘An’am: 125:
34
32
Bandingkan dengan Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan
pemikiran Orinetalis: Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam,TerjemahanYudian Wahyudi
Asmin, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogyakarta, 1991),hal. 78-84.
33
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Maidah: 8).
34
Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki ke langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang
Perintah berlaku adil ditujukan kepada setiap orang, tanpa pandang bulu. Perkataan yang benar mesti disampaikan apa adanya walaupun perkataan itu akan merugikan kerabat sendiri. Kemestian berlaku adil pun mesti ditegakkan di dalam keluarga dan masyarakat Muslim itu sendiri. Bahkan kepada orang kafir pun umat Islam diperintahkan berlaku adil.
Kemestian berlaku adil kepada sesama isteri dinyatakan dalam
al-Qur’an surat al-Nisa: 128. Keadilan sesama Muslim, dinyatakan dalam surat al-Hujurat: 9.
Keadilan dalam hukum Islam berarti pula keseimbangan antara kewajiban yang harus dipenuhi oleh manusia (mukallaf) dengan kemampuan manusia untuk menunaikan kewajiban itu. Hal ini dinyatakan dalam surat
al-An’am: 52; antara lain mengandung perintah pemenuhan takaran dan
timbangan serta berlaku adil dalam pembicaran.
Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir, Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. al-Nisa: 128).
36
Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mu'min berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. al-Hujurat: 9).
37
Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedang mereka menghendaki keredhaan-Nya. Kamu tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatan mereka dan merekapun tidak memikul tanggung jawab sedikitpun terhadap perbuatanmu, yang menyebabkan kamu (berhak) mengusir mereka,
Karena prinsip keadilan ini pulalah kiranya lahir kaidah yang menyatakan bahwa hukum Islam dalam praktiknya dapat berbuat sesuai dengan ruang dan waktu. Akan tetapi, ketika terjadi perubahan; kesulitan menjadi kelonggaran, maka terbataslah kelonggaran itu sekedar terpenuhinya kebutuhan yang bersifat primer atau sekunder (dharuriyyah atau hajiyyah). Suatu kaidah yang menyatakan elastisitas hukum Islam dan kemudahan dalam melaksanakannya sebagai kelanjutan dari prinsip keadilan adalah kaidah yang berbunyi:38
ﺖ ﻗ ﺎ ﺿ ﺖ ﻌ ﺴ ﺗ ا ا ذ ا و ﺖ ﻌ ﺴ ﺗ ا ﺖ ﻗ ﺎ ﺿ ا ذ ا ر ﻮ ﻣ ﻻ ا
Artinya: Perkara-perkara dalam hukum Islam apabila telah menyempit, maka menjadi meluas; apabila perkara-perkara itu telah meluas maka kembali menyempit.
Dalam teologi Mu’tazilah, keadilan merupakan pokok aqidah kedua setelah tauhid. Keadilan menurut Mu’tazilah mengandung dua pengertian. Pertama, keadilan dalam perbuatan; kedua, keadilan yang berarti pelaku perbuatan. Apabila yang dimaksud keadilan itu perbuatan, maka berarti setiap perbuatan baik yang dilakukan oleh pelakunya agar dapat dimanfaatkan oleh orang lain. Dengan demikian, setiap perbuatan Allah dalam menciptakan alam ini semuanya adil dalam arti perbuatan, maka berarti Allah tidak berbuat buruk atau jelek (al-Qubh).
Teori keadilan ini melahirkan dua teori, yaitu: teori al-aslah wa aslah; dan teori al-Husn wa al-Qubh. Kedua teori ini dikembangkan lahi sehingga menjadi dua pernyataan. Pernyataan pertama: Allah tidak berbuat sesuatu tanpa hikmah dan tujuan. Perbuatan tanpa tujuan adalah sia-sia dan percuma.”
Pernyataan kedua; “Segala sesuatu dan perbuatan itu mempunyai nilai
subyektif sehingga dalam perbuatan baik, seperti adil dan jujur, terdapat sifat-sifat yang menjadi perbuatan baik. Demikian halnya dalam perbuatan buruk. Sifat-sifat itu dapat diketahui oleh akal sehingga masalah baik dan adalah
masalah akal”.39
3 Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Amar ma’ruf berarti hukum Islam digerakkan untuk, dan merekayasa umat manusia untuk menuju tujuan yang baik dan benar yang dikehendaki dan diridhai oleh Allah. Dalam kajian filsafat hukum Barat biasanya diartikan fungsi social engineering hukum. Sedang nahi mungkar berarti fungsi
38
Juhaya S. Praja,Filsafat Hukum… op. cit.,hal. 75.
39
socialcontrol nya. Atas dasar prinsip inilah hukum Islam dikenal adanya perintah dan larangan; wajib dan haram; pilihan antara melakukan dan tidak melakukan perbuatan yang kemudian dikenal dengan istilah ahkam al-Khamsahatau hukum lima; wajib, haram, sunat, makruh dan mubah.
Prinsip amar ma’ruf nahi mungkar ini berdasarkan atas firman Allah surat Ali Imran: 110. Kategori ma’ruf dan mungkar seperti dinyatakan dalam ayat tersebut, ada juga ditentukan berdasarkan akal.
40
Dalam konteks pemikiran teologi prinsip ini merupakan salah bagian
dari lima prinsip yang diperpegami oleh Mu’tazilah. Seperti diketahui bahwa Mu’tazilah merupakan aliran yang mengedepankan akal sehingga dikenal
sebagai mazhab rasional dalam Islam.
4 Kemerdekaan atau Kebebasan (Al-Hurriyyah)
Kebebasan dalam arti luas yang mencakup berbagai macamnya, baik kebebasan individual maupun komunal; kebebasan beragama, kebebasan berserikat, dan kebebasan berpolitik. Kebebasan individual meliputi kebebasan dalam melakukan suatu perbuatan atau tidak melakukan suatu perbuatan.
Kebebasan beragama dalam Islam dijamin berdasarkan prinsip “tidak ada
paksaan di dalam beragama (la’ikraha fi al-din) (surah Baqarah: 256 dan al-Kafirun: 5-6). tidak disiarkan berdasarkan paksaan, akan tetapi berdasarkan penjelasan,
40
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (QS. Ali Imran: 110)
41
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. al-Baqarah: 256).
42
demontrasi, argumentasi, dan pernyataan yang meyakinkan (Burhan wa al-Iqna). Ayat 256 al-Baqarah turun ketika para sahabat mengusulkan pada Nabi (tahun keempat Hijriyah) untuk memaksa anak-anak Bani Nadhir agar memeluk Islam. Akan tetapi, Nabi melarangnya sehingga turunlah ayat tersebut di atas.43
5 Persamaan atau Egalite (Al-Musawah)
Prinsip ini mempunyai landasan amat kuat dalam al-Qur’an dan
Sunnah. Konstitusi Madinah yang dikenal dengan al-Sahifah adalah contoh yang paling nyata. Pelaksanaan prinsip egalite dalam Islam, antara lain disebabkan prinsip egalite ini. Islam menentang perbudakan dan penghisapan darah manusia atas manusia.
Al-Qur’an surat al-Hujurat: 13 al-Qur’an menegaskan;
َﻘْﺗ َأ ِ ﱠﷲ َﺪ ْﻨ ِﻋ ْﻢ ُﻜ َﻣ َﺮ ْﻛ َأ
44
Ayat ini menggunakan kata manusia (al-Nas), hal tersebut menunjukkan bahwa ayat tersebut ditujukan kepada umat manusia secara keseluruhan, tidak terbatas bagi kaum Muslim saja. Ayat ini menghendaki tidak ada perbedaan antara sesama manusia, dengan alasan apapun. Manusia adalah makhluk yang mulia sebagaimana dinyatakan dalam surat al-Isra’: 70,
sebagai berikut:
َو
45
Kemuliaan manusia bukanlah karena ras dan warna kulitnya. Kemudian manusia adalah karena zat manusianya itu sendiri. Oleh karena itu, Nabi mempertegasnya dengan menyatakan;
Kendatipun prinsip persamaan merupakan bagian terpenting dalam pembinaan dan pengembangan hukum Islam dalam menggerakkan dan mengontrol bidang sosial, tetapi tidaklah berarti hukum Islam menghendaki
43
Juhaya S. Praja,Filsafat Hukum… op. cit.,hal. 76.
44
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat: 13).
45
Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan. (QS.
masyarakat tanpa kelas (classless society) ala komunisme, atau masyarakat yang menguasai kelas yang lemah (kapitalisme). Hukum Islam selanjutnya mengenal prinsipta’awun (kerjasama antara kelas).46
6 Tolong Menolong (Al-Ta’awun)
Prinsip ta’awun berarti Bantu-membantu antara sesama anggota masyarakat. Bantu-membantu ini diarahkan sesuai dengan prinsip tauhid, terutama dalam upaya meningkatkan kebaikan dan ketaqwaan kepada Allah. Prinsip ta’awunmenghendaki kaum Muslimin saling tolong-menolong dalam kebaikan dan ketaqwaan sebagaimana yang dijelaskan al-Qur’an Surah al -Maidah: 2 dan al-Mujadalah: 9.
َو ا و ُد ﺎ َﻄ ْﺻ ﺎ َﻓ
َ ﱠﷲ ﱠن ِإ َ ﱠﷲ ا ﻮ ُﻘ ﱠﺗ ا َو ِن ا َو ْﺪ ُﻌ ْﻟ ا َو ِﻢ ْﺛ ِ ْﻹ ا ﻰ َﻠ َﻋ ا ﻮ ُﻧ َو ﺎ َﻌ َﺗ َﻻ َو ى َﻮ ْﻘ ﱠﺘ ﻟ ا َو ﱢﺮ ِﺒ ْﻟ ا ﻰ َﻠ َﻋ ا ﻮ ُﻧ َو ﺎ َﻌ َﺗ َو
47
48
7 Tasamuh (Toleransi)
Prinsip ini sebagai kelanjutan dari prinsip-prinsip sebelumnya sebagaimana diuraikan di atas. Hukum Islam mengharuskan umatnya hidup rukun dan damai di muka bumi ini tanpa memandang ras, dan warna kulit.
46
Juhaya S. Praja,Filsafat Hukum… op. cit.,hal. 77.
47
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi`ar-syi`ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram, jangan (mengganggu) binatang-binatang
had-ya, dan binatang-binatang qalaa-id, dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang
mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari karunia dan keredhaan dari Tuhannya dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu. Dan janganlah sekali-kali kebencian (mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS. al-Maidah: 2).
48
Toleransi yang dikehendaki Islam ialah toleransi yang menjamin tidak terlarangnya hak-hak Islam dan umatnya. Toleransi hanya dapat diterima apabila tidak merugikan agama Islam.49 Peringatan Allah berkenaan dengan toleransi ini dinyatakan dalam al-Qur’an surah al-Muntahanah: 8-9.
ل
Di samping prinsip-prinsip di atas masih terdapat prinsip-prinsip, baik yang bersifat umum seperti prinsip musyawarah (syura) serta prinsip-prinsip suka sama suka (an taradhin) dalam jual beli dan sebagainya.
E. Penutup
Manusia adalah makhluk yang paling mulia di sisi Allah. Manusia dibekali akal yang berpotensi untuk berpikir dan dapat membedakan antara yang baik. Di samping itu, dalam diri manusia terdapat kecenderungan untuk mengarah pada kebaikan dan kesucian yang disebut fithrah. Fithrah tersebut merupakan anugrah yang tak terkira makna yang berasal dari Tuhan, dalam bahasa Ibnu Taymiyah disebut sebagai fitrah al-munazzalahatau wahyu. Sehingga manusia pada hakekatnya merupakan citra Tuhan dimuka bumi yang mempunyai kecenderungan untuk mempunyai sifat kasih-sayang, saling tolong menolong, sebagaiman sifat Tuhan yang baik (asma al-husna).
Manusia diberikan tugas sebagai khalifah dimuka bumi, Allah kemudian mengutus Rasul sebagai media untuk mengenal syariat Allah. Pada Rasul tersebut ada Kitab suci sebagai pedoman dalam kehidupan yaitu
al-Qur’an, kemudian aplikasi al-Qur’an dan seluruh tradisi Nabi belakangan
disebut sebagai Sunnah atau hadis. Oleh karena itu al-Qur’an menempati posisi pertama sebagai sumber hukum dan sunnah pada tempat kedua. Sedangkan
metode penalaran terhadap al-Qur’an dan Sunnah. Meskipun juga ada yang mengkategorikannya sebagai salah satu sumber hukum.
Penerapan hukum Islam dalam masyarakat bukan tidak mengedepankan sisi humanisme, akan tetapi justru sangat memperhatikan prinsip tersebut. Bahkan diakui bahwa hukum dari Allah hanyalah untuk kemaslahatan manusia. Oleh karena itu, hukum Islam mengusung prinsip-prinsip hukum yang itu;
DAFTAR PUSTAKA
Abdullahi Ahmed An-Na’im, Dekontruksi Syari’ah: Wacana Kebebasan Sipil,
Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam, Yogyakarta: LKiS, 1994.
Abdul Hadi, Filsafat Pasca-Ibnu Rusyd dalam Nurcholish Madjid dan Budhy Munawar Rahman (Editor), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam: Pemikiran dan Peradaban Jilid IV, Jakarta: Ichtiar baru Van Hoeve, 2002.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid I, Jakarta: Logos, 1997.
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos, 1997.
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999. Ismail Muhammad Syah, dkk., Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara,
1992.
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, Bandung: Lathifah Press Kerjasama dengan Fakultas Syariah IAILM Suryalaya, Tasikmalaya, 2004.
---, Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam dan Penerapannya di Indonesia, Cet. I, Jakarta: Teraju, 2002.
---,Paradigma dan Penalaran Fiqh dalam Konteks Kekinian dan Keindonesiaan, Makalah dipresentasikan pada Annual Conference PPs IAIN/UIN/STAIN Se-Indonesia, 16-20 Desember 2004.
Khaled M. Abou el-Fadhl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, Terj. R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta: Serambi, 2004. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2001.
M. Hasby Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, Semarang: Pustaka Rizki, 2000.
Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, Terj. oleh Sahiron Syamsuddin, Yogyakarta: eLSAQ, 2004.
Muhammad Shahrur,Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al-Qur’an Kontemporer,
Terj. oleh Sahiron Syamsuddin, Yogyakarta: eLSAQ, 2004.
Muhammad Abed al-Jabiri, Formasi Nalar Arab: Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Interrelegius, Terjemahan Imam Khori, Yogyakarta: IRCiSoD, 2003.
Mukhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam, Bandung: al-Ma’arif, 1986.
Murthadha Muthahhari, Prespektif Al-Qur’an Tentang Manusia dan Agama,
Terj. oleh Haidar Baqir, Bandung: Mizan, 1998.
Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, Cet.IV, Jakarta: Paramadina, 2000.
Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, Cet. I., Jakarta: Bulan Bintang, 1994.